Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

45
LAPORAN KASUS MANAJEMEN AIRWAY PADA PASIEN DENGAN APPENDISITIS AKUT PERFORATA Disusun Oleh: Astrid Bonita M. G 105070106111016 Pendamping : dr. Pita Pembimbing : dr. Taufik Agus S, SpAn LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

description

Manajemen Airway pada kasus Apendis

Transcript of Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

Page 1: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN AIRWAY PADA PASIEN DENGAN APPENDISITIS AKUT PERFORATA

Disusun Oleh:

Astrid Bonita M. G 105070106111016

Pendamping :

dr. Pita

Pembimbing :

dr. Taufik Agus S, SpAn

LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

MALANG

2015

Page 2: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiforis, biasanya disebabkan oleh

sumbatan lumen apendiks, obstruksi limfoid, benda asing, dan striktur karena fibrosis akibat

peradangan neoplasma. Apendisitis dapat terjadi pada setiap usia, perbandingan antara pria

dan wanita mempunyai kemungkinan yang sama untuk menderita penyakit ini. Namun penyakit

ini paling sering dijumpai pada dewasa muda antar umur 10 - 30 tahun (Smeltzer, 2002). Satu

dari 15 orang pernah menderita appendisitis dalam hidupnya. Insiden tertinggi terdapat pada

laki-laki usia 10-14 tahun dan wanita yang berusia 15-19 tahun. Laki-laki lebih banyak

menderita appendisitis dari pada wanita pada usia pubertas dan pada usia 25 tahun.

Appendisitis jarang terjadi pada bayi dan anak-anak dibawah 2 tahun (Smeltzer, 2002).

Appendisitis akut merupakan keadaan akut abdomen, yang diperlukan tindakan segera.

Dalam hal ini, kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Gejala yang sering pada

appendisitis akut adalah nyeri abdomen, mual dan muntah serta diare. Dan komplikasi yang

sering muncul pada appendisitis akut adalah dehidrasi hingga shock, perforasi yang dapat

terjadi dalam 36 jam setelah munculnya gejala. Dapat juga terjadi abses, massa dan perforasi

appendicular. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan

laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT scan. Tingkat akurasi diagnosis appendisitis akut

berkisar 76-92%.

Komplikasi utama appendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi

abses, peritonitis bahkan shock dan perforasi. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%.

Page 3: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

Insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi terjadi secara umum 24 jam pertama

setelah awitan nyeri. Angka kematian yang timbul akibat terjadinya perforasi adalah 10-15%

dari kasus yang ada, sedangkan angka kematian pasien apendisitis akut adalah 0,2% - 0,8%.

yang berhubungan dengan komplikasi penyakitnya daripada akibat intervensi tindakan

(Sjamsuhidayat, 2005).

Pengobatan appendisitis dapat melalui dua cara yaitu operasi dan non operasi pada kasus

ringan, appendisitis bisa sembuh hanya dengan pengobatan tetapi untuk apendisitis yang

sudah luas infeksinya maka harus segera dilakukam operasi apendiktomi. Apendiktomi adalah

pembedahan untuk mengangkat apendiks yang meradang (Smeltzer, 2002). Pembedahan

segera dilakukan untuk mencegah rupture, terbentuknya abses atau peradangan pada selaput

rongga parut ( peritonitis).

Pengobatan untuk appendisitis akut adalah pembedahan yaitu appendiktomi. Sebelum

pembedahan, pasien diberikan antibiotik perioperatif spektrum luas untuk menekan insiden

infeksi pada luka paska operasi dan pembentukan abses intraabdominal.

Setiap tindakan pembedahan memerlukan penatalaksanaan anastesi yang tepat, termasuk

dalam tindakan apendiktomi kasus appendisitis akut dan sebelum di lakukan tindakan anastesi,

pasien harus dalam kondisi stabil.

Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu

tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi

dapat mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan dengan baik. Riwayat jalan nafas pasien

harus diketahui, bagaimanapun kelayakannya, sebelum memulai perawatan anastesi dan

manajemen saluran nafas pada semua pasien, walaupun dalam waktu yang singkat karena

operasi akan dilakukan segera. Tujuan dari mengetahui riwayat airway adalah untuk

mendeteksi faktor medis, bedah, dan anestesi yang mungkin menunjukkan adanya jalan napas

yang sulit.

Page 4: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

Evaluasi tambahan dapat diindikasikan pada beberapa pasien untuk mencirikan

kemungkinan atau adanya antisipasi kesulitan jalan nafas. Temuan dari riwayat airway dan

pemeriksaan fisik mungkin berguna dalam menentukan manajemen airway yang sesuai dengan

pasien.

Berdasarkan latar belakang dan data-data tersebut di atas, telah jelas bahwa

tatalaksana jalan napas yang baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi. Sehingga

dalam makalah ini, kami akan membahas tentang manajemen airway pada pasien yang akan

dilakukan RA-SAB.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana penatalaksanaan manajemen jalur napas pada penderita apendisitis perforata.

1.3 Tujuan Penulisan

Mengetahui penatalaksanaan manajemen jalur napas pada penderita apendisitis perforata.

1.4 Manfaat Penulisan

Pada penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai tatalaksana pemberian

airway pada penderita apendisitis perforata.

Page 5: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Appendisitis

Appendisitis akut adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah

kanan rongga abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer,

2002).

Appendisitis adalah kondisi di mana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam kasus ringan dapat

sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran

umbai cacing yang terinfeksi. Bila tidak terawat, angka kematian cukup tinggi, dikarenakan oleh

peritonitis dan shock ketika umbai cacing yang terinfeksi hancur.

a. Gejala Klinis

1. Tanda awal nyeri mulai di epigastrium atau region umbilicus disertai mual dan anorexia.

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5 derajat. Bila suhu lebih tinggi,

mungkin sudah terjadi perforasi.

2. Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal

di titik Mc Burney, nyeri tekan, nyeri lepas, defans muskuler.

3. Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung, nyeri kanan bawah pada tekanan kiri

(Rovsing’s sign). nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg’s

sign).

b. Pemeriksaan Penunjang

Page 6: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

1. Laboratorium : terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP).

Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-

20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan

jumlah serum yang meningkat.

2. Radiologi : terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan

ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi

pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang

menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami

inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

c. Komplikasi

• Perforasi dapat terjadi dalam 36 jam setelah munculnya gejala. Observasi aktif dengan

resusitasi cairan yang adekuat dan pemberian antibiotik sebelum operasi dapat menurunkan

kemungkinan mortalitas dan morbiditas.

• Abses, massa dan perforasi appendicular dapat diterapi dengan antibiotik intravena

untuk mengontrol proses inflamasi dan infeksi.

d. Manajemen

1. Sebelum operasi

a. Observasi

Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala appendisitis seringkali

masih belum jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta

melakukan tirah baring dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh diberikan bila dicurigai

Page 7: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

adanya appendisitis ataupun bentuk peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan

rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan hitung jenis) diulang secara periodic. Foto

abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain.

Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan

bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.

b. Antibiotik.

Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotic, kecuali

pada appendisitis gangrenosa atau appendisitis perforate. Penundaan tindakan bedah

sambil memberikan antibiotic dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

2. Operasi

a. Appendiktomi cito (appendicitis akut, abses, dan perforasi)

b. Appendiktomi elektif (appendisitis kronis)

c. Konservatif kemudian operasi elektif (appendisitis infiltrat)

d. Operasi Appendisitis akut disebut : A. Chaud

e. Operasi Appendisitis kronis disebut : A. Froid

3. Pascaoperasi

Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan di

dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien

telah sadar, sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam

posisi Fowler. Pasien dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjai gangguan. Selama itu

pasien dipuasakan. Bila tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau

peritonitis umum, puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali normal.

Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x 30

Page 8: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan

dapat diangkat dan pasien diperbolehkan pulang.

2.2 Defenisi RA – SAB

Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan

obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/subaraknoid disebut juga

sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila

kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang sub arachnoid di daerah antara

vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.

Spinal anestesi atau Subarachniod Blok (SAB) adalah salah satu teknik anestesi

regional yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat anestesi lokal ke dalam ruang

subarachnoid untuk mendapatkan analgesi setinggi dermatom tertentu dan relaksasi otot

rangka. Untuk dapat memahami spinal anestesi yang menghasilkan blok simpatis, blok

sensoris dan blok motoris maka perlu diketahui neurofisiologi saraf, mekanisme kerja obat

anestesi lokal pada SAB dan komplikasi yang dapat ditimbulkannya. Derajat anestesi yang

dicapai tergantung dari tinggi rendah lokasi penyuntikan, untuk mendapatkan blockade

sensoris yang luas, obat harus berdifusi ke atas, dan hal ini tergantung banyak faktor antara

lain posisi pasien selama dan setelah penyuntikan, barisitas dan berat jenis obat. Berat jenis

obat lokal anesthesia dapat diubah–ubah dengan mengganti komposisinya, hiperbarik

diartikan bahwa obat lokal anestesi mempunyai berat jenis yang lebih besar dari berat jenis

cairan serebrospinal, yaitu dengan menambahkan larutan glukosa, namun apabila

ditambahkan NaCl atau aqua destilata akan menjadi hipobarik (Gwinnutt, 2011).

Page 9: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

Indikasi:

o Bedah ekstremitas bawah

o Bedah panggul

o Tindakan sekitar rektum perineum

o Bedah obstetrik-ginekologi

o Bedah urologi

o Bedah abdomen bawah

o Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya dikombinasikan dengan

anesthesia umum ringan

Kontra indikasi absolut:

o Pasien menolak

o Infeksi pada tempat suntikan

o Hipovolemia berat, syok

o Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan

o Tekanan intrakranial meningkat

o Fasilitas resusitasi minim

o Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

.     

Kontra indikasi Relatif:

o Infeksi sistemik (sepsis atau bakterimia)

o Kelainan neurologis

o Kelainan psikis

Page 10: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

o Pembedahan dengan waktu lama

o Penyakit jantung

o Nyeri punggung

o Anak-anak karena kurang kooperatif dan takut rasa baal

Komplikasi :

o Hipotensi Berat

o Bradikardia

o Hipoventilasi

o Trauma pembuluh darah

o Trauma saraf

o Mual muntah

o Gangguan pendengaran

o Blok spinal tinggi atau spinal total

2.3 Anatomi Jalan Nafas (Airway)

Jalan nafas manusia terbagi menjadi 2, yaitu: hidung, yang menuju ke arah nasofaring

(pars nasalis), dan mulut, yang menuju ke arah orofaring (pars oralis). Saluran ini dipisahkan

secara anterior oleh langit-langit mulut, tetapi mereka bergabung secara posterior di dalam

faring.

Faring adalah suatu bentuk-U fibromuscular yang meluas dari dasar tengkorak ke tulang

rawan krikoid di pintu masuk ke esofagus. Faring membuka secara anterior ke dalam rongga

hidung, mulut, pangkal tenggorokan, dan nasofaring, orofaring, dan laringofaring (pars

Page 11: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

laringea), berturut-turut. Nasofaring terpisah dari orofaring oleh satu garis khayal yang meluas

ke posterior.

Di dasar dari lidah, epiglottis secara fungsional memisahkan orofaring dari laringofaring

(atau hipofaring). Epiglotis mencegah aspirasi dengan menutup glottis selama menelan. Laring

adalah suatu tulang rangka kartilago yang disatukan oleh ligamen dan otot.

Laring

terdiri atas sembilan tulang rawan: thyroid, cricoid, epiglottic,dan arytenoids (sepasang),

corniculate, dan cuneiform.

Gambar 2.1 Anatomi Jalan Nafas

2.4 Manajemen Jalan Nafas (Airway)

Pada pasien dalam keadaan anestesia posisi terlentang dan tidak sadar, tonus otot jalan

napas atas, otot genioglossus hilang sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan

Page 12: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

menyebabkan obstruksi jalan napas baik total maupun parsial. Keadaan ini sering terjadi dan

harus cepat diketahui serta dikoreksi dengan beberapa cara misalnya manuver triple jalan

nafas, pemasangan pharyngeal airway, pemasangan laryngeal mask airway (LMA),

pemasangan endotracheal tube (ETT). Obstruksi juga dapat disebabkan karena spasme laring

pada saat anestesia ringan dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh sekret.

Tanda-tanda obstruksi jalan nafas:

• Suara nafas tambahan (Stridor, gargling, snoring)

• Nafas cuping hidung

• Retraksi trakea

• Retraksi dinding dada

• Tidak adanya udara ekspirasi

2.5 Oral & Nasal Airways

Hilangnya tonus otot jalan nafas bagian atas (misalnya, kelemahan dari otot genioglossus)

pada pasien-pasien yang di anestesi menyebabkan lidah dan epiglottis untuk jatuh ke belakang

dinding posterior dari faring.

Pasien sadar atau pasien-pasien teranestesi ringan atau anestesi regional dapat batuk

atau bahkan berkembang menjadi laringospasme selama penyisipan jalan nafas jika refleks

laringeal masih intact. Penempatan dari suatu oral airway kadang-kadang dimudahkan dengan

supresi refleks jalan nafas dan, sebagai tambahan, kadang-kadang dengan penekanan lidah

dengan suatu spatel lidah.

Panjang suatu nasal airway dapat diperkirakan sebagai jarak dari ceruk hidung ke meatus

telinga, dan harus kira-kira 2-4 cm lebih panjang dibanding oral airway.

Page 13: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

Oleh karena resiko dari epistaxis, nasal airway harus tidak digunakan untuk:

1. pasien-pasien yang mendapat anticoagulan atau

2. pada anak-anak dengan adenoid yang menonjol.

3. Juga, nasal airway tidak boleh digunakan pada setiap pasien yang mempunyai fraktur

basilar tengkorak.

Setiap tube yang disisipkan melalui hidung (misalnya, nasal airway, nasogastric kateter,

nasotracheal kateter) harus dilumasi dan dimasukkan sepanjang dasar dari saluran nasal, tidak

seperti usaha orang baru untuk melakukan, melalui apeks saluran nasal untuk menghindari

trauma konka hidung. Nasal airway biasanya lebih ditoleransi dibanding oral airway pada

pasien-pasien dengan anestesi ringan.

2.6 Teknik Pembebasan Jalan Nafas Manual

2.6.1 Jaw-thrust maneuver

Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong kedepan pada

sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher. Karena lidah melekat pada rahang bawah, maka

lidah ikut tertarik dan jalan napas terbuka.

Gambar 2.2 Jaw Thrust Manuver

Page 14: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

2.6.2 Head tillt-Chin lift

Perasat ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong

mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan

epiglotis terbuka, sniffing positon, posisi cium, posisi hirup.

Gambar 2.3 Head tillt-Chin lift

2.6.3 Triple manuver air way (gabungan 1,2,3)

Letekkan pasien pada posisi terlentang, kepala tengadah rahang didorong kedepan,

mulut dibuka dan kalau rongga mulut ada cairan, lendir atau benda asing lainnya, bersiihkan

dahulu sebelum memberikan napas buatan. (Latief, 2009)

2.7 Teknik Pembebasan Jalan Nafas Dengan Alat

2.7.1. Pharyngeal Airway

Jika manuver triple kurang berhasil, maka dapat dipasang oro-pharyngeal airway (OPA)

atau naso-pharyngeal airway (NPA).

• OPA : berbentuk pipa pipih lengkung seperti huruf C berlubang di tengahnya dengan

salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau pasien

menggigit lubang tetap paten sehingga aliran udara tetap terjamin. OPA juga dipasang bersama

pipa trakea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat tersebut dari gigitan pasien.

Page 15: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

• NPA : berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut.

Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi dengan

jelly.

Gambar 2.4 Pemasangan Pipa Orofaring dan Nasofaring

2.7.2 Face mask

Face mask mengantar udara / gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke

jalan nafas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk

bernafas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke trakea

lewat mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia dan

pembuatnya.

Ukuran 03 untuk

bayi baru lahir, 02-

01 untuk anak

kecil, 2-3 untuk

anak besar dan 4-5 untuk dewasa. Sebagian sungkup muka dari bahan transparan supaya

udara ekspirasi kelihatan (berembun) atau kalau ada muntahan atau bibir terjepit terlihat.

Gambar 2.5 Face Mask

Page 16: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

2.7.3. Laryngeal Mask Airway

LMA adalah alat jalan nafas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang dengan

ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembangkempiskan seperti balon pada pipa

trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk

menjaga supaya tetap paten. Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa

bantuan laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan di antaranya supaya dapat

dipasang langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan jika intubasi trakea diramalkan

mengalami kesulitan. LMA memang tidak dapat mengganti kedudukan intubasi trakea, tetapi

terletak di antara face mask dan intubasi trakea. Pemasangan hendaknya menunggu anestesia

cukup dalam atau menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut, faring-

laring. Setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa nafasnya tergigit maka dapat dipasang

gulungan kain kasa atau OPA.

2.6.4. Endotracheal Tube

Page 17: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

ETT atau pipa trakea mengantar gas anestesi langsung ke dalam trake dan biasanya

dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa

trakea dapat dimasukkan melalui mulut

(endotracheal tube) atau melalui hidung

(nasotracheal tube).

2.6.5. Laringoskopi dan Intubasi

Gambar 2.7 Skema Penampakan Laringoskopi

Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima

glotis sehingga ujung distalnya berada kira-kira di pertengahan trakea antara pita suara dan

bifukarsio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai berikut:

• Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun : kelainan anatomi, bedah khusus, bedah

posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain

• Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya, saat resusitasi memungkinan

penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang

• Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Komplikasi intubasi :

• Selama intubasi : trauma gigi-geligi, laserasi bibir gusi laring, merangsang saraf simpatis,

intubasi bronkus, intubasi esofagus, aspirasi, spasme bronkus

Page 18: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

• Setelah ekstubasi: spasme laring, aspirasu, gangguan fonasi, edema glotis-subglotis,

infeksi laring faring trakea.

2.7 Metode pemberian oksigen

2.7.1 Nasal canule

Indikasi pemberian nasal canule adalah Memberikan oksigen dengan konsentrasi relatif rendah

saat kebutuhan oksigen minimal. Pasien yang bernapas spontan tetapi membutuhkan alat

bantu nasal canule untuk memenuhi kebutuhan oksigen (keadaan sesak atau tidak sesak).

Nasal canule Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan o2 kontinu dengan

aliran 2 – 4L/mnt dengan konsentrasi o2 sama dengan kateter nasal.

- Keuntungan

Pemberian o2 stabil dengan volume tidal dan laju pernafasan teratur, mudah memasukkan

kanul dibandingkan kateter, pasien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir

pasien dan nyaman.

- Kerugian

Tidak dapat memberikan konsentrasi o2 lebih dari 44%, suplai o2 berkurang bila klien bernafas

lewat mulut, mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm, mengiritasi selaput lendir.

2.7.2 Simpel facemask

Merupakan alat pemberian o2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt dengan konsentrasi o2 40

– 60%.

Page 19: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

- Keuntungan

Konsentrasi o2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau nasal canule, system

humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat

digunakan dalam pemberian terapi aerosol.

- Kerugian

Tidak dapat memberikan konsentrasi o2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan

penumpukan co2 jika aliran rendah.

2.7.3 Rebreathing mask

Suatu tehinik pemberian o2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80% dengan aliran 8 –

12l/mnt. Memiliki kantong yang terus mengembang baik, saat inspirasi maupun ekspirasi. Pada

saat inspirasi, oksigen masuk dari sungkup melalui lubang antara sungkup dan kantung

reservoir, ditambah oksigen dari kamar yang masuk dalam lubang ekspirasi pada kantong.

Udara inspirasi sebagian tercampur dengan udara ekspirasi sehingga konsentrasi CO2 lebih

tinggi daripada simple face mask. Indikasi pemberian kepada pasien dengan kadar tekanan

CO2 yang rendah.

- Keuntungan

Konsentrasi o2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan

Selaput lendir

- Kerugian

Tidak dapat memberikan o2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat menyebabkan

penumpukan co2 , kantong o2 bisa terlipat

Page 20: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

2.7.4 Non-rebreathing mask

Merupakan tehinik pemberian o2 dengan konsentrasi o2 mencapai 99% dengan aliran 8 –

12l/mnt dimana udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi. Pada prinsipnya,

udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi karena mempunyai 2 katup, 1 katup

terbuka pada saat inspirasi dan tertutup saat pada saat ekspirasi, dan 1 katup yang fungsinya

mencegah udara kamar masuk pada saat inspirasi dan akan membuka pada saat ekspirasi.

Indikasi kepada pasien dengan kadar tekanan CO2  yang tinggi.

- Keuntungan:

Konsentrasi o2 yang diperoleh dapat mencapai100%, tidak mengeringkan selaput lendir.

- Kerugian

Kantong o2 bisa terlipat

Page 21: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. G

Usia : 39 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Ds. Bulurejo RT 8/3 Tempursari, Lumajang,

Pekerjaan : Swasta

Status Pernikahan : Menikah

Tinggi Badan : 166 cm

Berat Badan : 60 kg

No. Register : 11235xxx / 1513xxx

Tanggal MRS : 7 Mei 2015

Tanggal Anestesi : 7 Mei 2015

Lama Anestesi : 21.30 – 00.20( 2 jam 50 menit)

Diagnosa Pra Bedah : Appendisitis akut perforate + SIRS

Jenis Pembedahan : Appendectomy per Laparotomy dan Repair

Jenis Anestesi : RA SAB

3.2 Persiapan Pre Operasi

3.2.1 Anamnesis Pre Operasi (7 Mei 2015)

A : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan dan obat-obatan

Page 22: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

M : Pasien pernah menjalani pengobatan penyakit TB (Tuberkulosis) Paru 1 tahun yang

lalu. Saat ini pasien tidak mengonsumsi obat apapun

P : Pasien dinyatakan bebas TB tanggal 5 Februari 2015. Riwayat hipertensi (-), riwayat

diabetes mellitus (-), riwayat penyakit jantung (-), riwayat penyakit asma (-).

L : Pasien makan terakhir pukul 07.00

E : Pasien datang ke UGD RSSA Malang pada tanggal 7 Mei 2015 pada pukul 16.50.

Pasien mengeluhkan sakit di perut sebelah kanan sejak 1 minggu yang lalu. Badan

panas sejak 3 hari yang lalu.Pasien muntah 2 kali pukul 06.00.

3.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre Operasi (7 Mei 2015)

B1 : Airway paten, nafas spontan, vesikular, RR 22x/mnt regular, simetris, rhonki (-),

wheezing (-), struma (-), massa di leher (-) Stiffness (-), buka mulut > 3 jari, TMD 6

cm, Mallampati Score I, pernafasan cuping hidung (-), gigi geligi (dbn), gigi palsu

(-), oklusi (dbn), gerak leher bebas, nyeri telan (-), trakhea di tengah, saturasi

oksigen 98%room air.

B2 : Akral hangat, kering, merah, CRT < 2 detik, Tax: 37,2oC, N: 96 x/mnt regular kuat

angkat, TD: 140/90 mmHg, S1S2tunggal reguler, murmur (-) , gallop (-).

B3 : Compos mentis, GCS 456, PBI 3mm/3mm, reflek cahaya +/+

B4 : BAK Spontan, terpasang kateter dengan produksi urine 350cc

B5 : Flat, soefl, BU (+) normal, nyeri Mc Burney (+), meteorismus (-)

RT : nyeri arah jam 10-11

B6 : Edema (-), anemis (-), sianosis (-), ikterik (-)

Page 23: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

3.3 Pemeriksaan Penunjang

3.3.1 Pemeriksaan Lab

Darah Lengkap

Hb : 15,10 gr/dl (N : 13,4 - 17,7)

Leukosit : 15,53103/µl (N : 4,3- 10,3)

Trombosit : 323103/µl (N : 142 -424)

Hematokrit : 44,70 % (N : 40,0 - 47,0)

Faal Hemostasis

PPT : 10,90 detik (N: 9,4 – 11,3)

INR : 1,05 (N: 0,8 – 1,30)

APTT : 31,60 detik (N: 24,6 – 30,6)

Kimia Klinik

Ureum : 15,90 mg/dL (N: 16,6 – 48,5)

Kreatinin : 0,84 mg/dL (N: < 1,2)

Serum Elektrolit

Natrium : 142 mmol/L (N : 136 – 145)

Kalium : 4,20 mmol/L (N : 3,5 – 5,0)

Chlorida : 107 mmol/L (N : 98 – 106)

3.4 Laporan Anestesi Pre-Operatif

Assessment : ASA 2 dengan SIRS, riwayat TB

Diagnosa prabedah : Appendisitis akut perforata

Keadaan prabedah (7 Mei 2015, pukul 21.00 WIB) :

o BB: 60 kg, TB: 166 cm

Page 24: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

o Tax: 37,2oC, N: 96 x/mnt, TD: 140/90 mmHg, RR: 22x/mnt

o Terakhir makan tanggal 7 Mei 2015 pukul 07.00 WIB

Jenis tindakan : Appendectomy per Laparotomi

3.5 Persiapan Pre Operatif

3.5.1 Di UGD

Surat persetujuan operasi dan surat persetujuan tindakan anestesi

Puasa: (+) sejak pukul 07.00 WIB – 21.00 WIB (± 14 jam)

IVFD RL500 cc

Premedikasi (7 Mei 2015, diberikan 1 jam preoperatif) :

1. Inj.Metoclopramide 10 mg IV

2. Inj. Ranitidine 50 mg IV

3. Inj.Ciprofloxacine 400 mg IV

Sedia PRC 2 Labu

3.5.2 Di Kamar Operasi

Scope → stetoskop, laringoskop

Tubes → ETT (cuffed) kink size 7,5

Airway → orotracheal airway

Tape → plester untuk fiksasi

Introducer → untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan

Connector → penyambung antara pipa dan ventilator

Suction → memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction

Page 25: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

Peralatan monitor :

tekanan darah, nadi, oksimetri berdenyut, dan EKG.

Peralatan resusitasi dan obat-obatan emergensi :

sulfas atropin, lidokain, adrenalin, efedrin.

3.6 Durante Operatif

3.6.1 Laporan Anestesi Durante Operatif

Jenis anestesi : RA-SAB

Teknik anestesi : pasien duduk desinfeksi identifikasi L3 – L4 insersi

spinocain 27 G LCS (+), jernih (+), barbotage (+), darah (-) insersi regimen

anastesi spinal

Lama anestesi : 21.30-00.20 (2 jam 50 menit)

Lama operasi : 22.00-00.15 (2 jam 15 menit)

Posisi : Supine

Infus : 1 line di tangan kiri 18G

Regimen anastesi : Bupivacain heavy 0,5% 20 mg + MO 0,1 mg + Catapres 30

mcg + Fentanyl 25 mcg

3.6.2 Tindakan Anestesi Umum Dengan RA-SAB

Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite

pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya

kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal

anestesi.

 Posisi pasien :

Page 26: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

a) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm, lutut dan

paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.

b) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna vertebralis, tetapi

pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan

diperlukan seorang asisten untuk memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi

ini digunakan terutama bila diinginkan saddle block.

c) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah

menginginkan posisi Jack Knife atau prone.

Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol, kemudian kulit

ditutupi dengan “doek” bolong steril.

Cara penusukan :

Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin

kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala

(PDPH=post duran puncture headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan

stylet dari jarum spinal akan menyebabkan keluarnya likuor bila ujung jarum ada di

ruangan subarachnoid. Bila likuor keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi

dibatalkan.Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar

adalah likuor yang jernih.Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1

menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan

tempat tusukan.Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik

obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).

3.6.3 Pemberian Cairan

Jam ke I : 220 cc (M+O)

Page 27: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

Jam ke II : 220 cc (M+O)440 cc

Jam ke III : 220 cc (M+O)660 cc

Cairan masuk :

Pre operatif : NS 500 cc

Durante operatif : RL 500 cc

NS 500 cc

Cairan keluar :

Pre operatif : urin 500 cc//kgBB/ 6 jam

Puasa 15 jam

Durante operatif : urin ± 100 cc

perdarahan ± 100 cc

EBV = 70 x 60 kg = 4200 cc

ABL = 15,10–10 x 4200 = 1419 cc

15,10

M = (4x10)+(2x10)+(1x40) = 100 cc/jam

O = 2 x 60 = 120 cc

3.7 Post Operatif

3.7.1 Laporan Anestesi Post Operatif di Ruang Pulih Sadar

Pasien masuk RR jam 00.30

Keluhan pasien : mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (+) VAS 3

Pemeriksaan fisik :

Page 28: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

B1 : airway paten, napas spontan, RR 12x/menit, vesikular, regular, simetris,

retraksi (-), rhonki (-), wheezing (-), pernafasan cuping hidung (-), terpasang

nasal canule 4 lpm dengan saturasi O2 100%.

B2 : akral hangat, kering, merah, N: 88x/menit, TD: 116/61 mmHg, S1S2 single

regular murmur (-) gallop (-), CRT< 2 detik

B3 : compos mentis, GCS 456, PBI 3mm/3mm, reflek cahaya +/+

B4 : produksi urine (+), terpasang kateter ukuran 16 Fr, urin ± 600 cc (PU = 0,8

cc/kgBB/jam)

B5 : flat, soefl, BU (+) normal, mual (-), muntah (-), meteorismus (-).

B6 : mobilitas terbatas, anemis (-), sianosis (-), ikterik (-)

Bromage score : 3

Pasien keluar RR jam 02.30

3.7.2 Terapi Pasca Bedah

IVFD NS/Aminofluid = 2 : 1

Antibiotika : sesuai TS Bedah Digestif

Obat-obatan lain : - Inj. Ketorolac 3 x 30 mg IV

- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg IV

Minum / makan : puasa sementara

3.7.3 Monitoring

Awasi tanda-tanda vital seperti tensi, nadi, pernafasan, dan suhu

Muntah, nyeri, inisiasi makan/minum ditangani sesuai instruksi pasca anestesi

Ketinggian blok

Page 29: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

Cek DL post operasi

Page 30: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Preoperatif

4.1.1 Penilaian Preoperatif

4.1.1.1 History Taking

Berdasarkan history taking dengan metode AMPLE pada kunjungan preoperative

tanggal 07 Mei 2015, didapatkan bahwa tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan

maupun alergi makanan. Pasien tidak sedang menjalani pengobatan apapun. Tidak

didapatkan riwayat hipertensi, dabetes mellitus. Pasien mengeluhkan sakit di perut

sebelah kanan sejak 1 minggu yang lalu, badan panas sejak 3 hari yang lalu dan pasien

muntah 2 kali pukul 06.00 pagi.

.

4.1.1.2 Pemeriksaan Fisik

B1 – Breathing

Pada breathing, tidak ada masalah pada pasien. Laju pernapasan 19x/ menit.

B2 – Blood

Pada blood, ditemukan laju denyut nadi sebanyak 80x/menit.

B3 – Brain

Dalam batas normal.

B4 – Bladder

Pasien dipasang kateter dengan produksi urin 350cc.

B5 – Bowel

Page 31: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

Pada bowel, ditemukan Flat, soefl, BU (+) Normal, Nyeri Mc Burney (+)

B6 – Bone/Body

Dalam batas normal.

4.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang

Luas cakupan pemeriksaan preanestesi telah sesuai dengan keadaan dan kebutuhan

pasien dan prosedur bedah yang direncanakan.

Hasil pemeriksaan dalam rentang beberapa jam sebelum operasi untuk Darah Lengkap,

Faal Homeostatis, ureum, creatinin dan serum elektrolit. Dapat disimpulkan hasil pemeriksaan

didapatkan Leukosit meningkat.

4.1.1.4 Kesimpulan Penilaian Preoperatif

Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien tidak

menderita penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari, sehingga diklasifikasikan

dengan ASA-2 SIRS dengan apendisitis akut perforata.

4.1.2 Masukan Oral

Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama anestesi, semua

pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah menjalani puasa selama periode

tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting

Guideline Pre-operatif - American Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2

jam preoperasi, makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam

preoperasi, dimana pasien telah berpuasa dan tidak mengkonsumsi makanan sejak jam 7.00.

Page 32: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

4.1.3 Terapi Cairan

Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari pasien ini (berat badan 65 kg):

Jam ke I : 220 cc (M+O)

Jam ke II : 220 cc (M+O) 440 cc

Jam ke III : 220 cc (M+O) 660 cc

4.1.4 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan tujuan

untuk melancarkan induksi dan rumatan anestesi.

Mengurangi mual muntah pasca operasi

Mengurangi resiko aspirasi isi lambung

Pada pasien ini diberikan 1 jam sebelum operasi, dengan obat premedikasi berupa inj.

Metoclopramide dan inj. Ranitidine 50 mg. Metoclopramide dan Ranitidin diberikan untuk

profilaksis dari PONV (post operatif nausea vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti

emetik dan untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan metoclopramide dikarenakan obat ini

mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna, meningkatkan tonus

sfingter esofagus bagian bawah, mempercepat pengosongan lambung dan menurunkan volume

cairan lambung sehingga efek-efek ini akan meminimalisir terjadinya pnemonia aspirasi.

Metoclopramide juga mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan

dengan spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu

metoclopramide juga berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor triggerzone

Page 33: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan muntah pasca operasi.

Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga

dapat mengurangi produksi asam lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia

aspirasi.

Page 34: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

BAB V

PENUTUP

Pasien adalah laki-laki usia 39 tahun dengan apendisitis akut perforata, yang dilakukan operasi

apendiktomi pada tanggal 07 Mei 2015. Pasien datang dengan keluhan sakit perut sebelah

kanan, badan panas dan muntah. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi regional

dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi

regional. Evaluasi pre operasi pada pasien tidak menunjukan adanya kelainan yang menjadi

kontraindikasi dilakukannya anestesi regional. Dari pemeriksaan fisik ditemukan laju

pernapasan pasien 19 kali/menit sehinga selama operasi berlangsung pasien hanya diberikan

nasal canule 4 lpm untuk mensuport kebutuhan oksigen pasien.

Page 35: Manajemen Airway Pada Pasien Apendisitis Akut Perforata

DAFTAR PUSTAKA

Gwinnutt, Carl. L. 2011. Catatan Kuliah Anestesi Klinis ed.3; alih bahas: Susanto, Diana; editor

Bahasa Indonesia; Wisurya, K.,Surya, N., Hippy, Indah. Jakarta: EGC

Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. 2009. Ilmu dasar Anestesi in Petunjuk Praktis

Anestesiologi 2nd ed. Jakarta: FKUI:3-8.

R. Sjamsuhidajat. Jong, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah . Edisi 2. Jakarta : EGC.

Smeltzer, S. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8.

Jakarta : EGC.