Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

53
LAPORAN KASUS TATALAKSANA ANESTESI PADA APENDEKTOMI APENDISITIS AKUT Disusun Oleh: Tuti Lisnawati N. Purba 0810713085 Pembimbing: dr. A. Andyk Asmoro, Sp.An LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

description

anestesi

Transcript of Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Page 1: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

LAPORAN KASUS

TATALAKSANA ANESTESI

PADA APENDEKTOMI APENDISITIS AKUT

Disusun Oleh:

Tuti Lisnawati N. Purba 0810713085

Pembimbing:

dr. A. Andyk Asmoro, Sp.An

LABORATORIUM / SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR

MALANG

2013

Page 2: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

DAFTAR ISI

Judul ............................................................................................................ i

Daftar Isi ...................................................................................................... ii

Bab I Pendahuluan ...................................................................................... 1

Bab II Tinjauan Pustaka .............................................................................. 3

Bab III Laporan Kasus ................................................................................. 21

Bab IV Pembahasan ................................................................................... 29

Bab V Penutup ............................................................................................ 36

Daftar Pustaka ............................................................................................. 37

Page 3: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis merupakan kasus nyeri perut yang sering terjadi dan

membutuhkan pengobatan operasi pada anak-anak dan dewasa di bawah

umur 50 tahun, dengan puncak kejadian pada usia dekade kedua dan ketiga

yaitu usia 10-20 tahun. Apendisitis merupakan kasus emergensi obstetrik

yang paling sering pada wanita hamil, terjadi sering pada trisemester kedua1.

Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara

berkembang. Kejadian ini mungkin disebabkan akibat perubahan pola makan

di Negara berkembang yang banyak mengonsumsi makanan berserat. Di

Amerika Serikat, jumlah kasus apendisitis dilaporkan oleh lebih dari 40.000

rumah sakit tiap tahunnya. Laki-laki memiliki rasio tinggi terjadi apendisitis,

dengan rasio laki-laki:perempuan yaitu 1,4:1, dengan resiko seumur hidup

apendisitis yaitu pada laki-laki 8.6% dan 6.7% pada perempuan1.

Di Indonesia, insiden apendisitis akut jarang dilaporkan. Insidens

apendisitis akut pada pria berjumlah 242 sedangkan pada wanita jumlahnya

218 dari keseluruhan 460 kasus. Pada tahun 2008, insiden apendisitis

mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena peningkatan konsumsi

‘junk food’ daripada makanan berserat.

Apendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka

diperlukan tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat

diperlukan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan

fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat

dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium, USG, laparoskopi, dan CT

scan. Tingkat akurasi diagnosis apendisitis akut berkisar 76-92%.

Pengobatan untuk apendisitis akut adalah pembedahan, apendiktomi.

Sebelum pembedahan, pasien diberikan antibiotik perioperatif yang spectrum

luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi dan pembentukan abses

intraabdominal2.

Setiap tindakan pembedahan memerlukan tatalaksana anastesi yang

tepat, termasuk dalam tindakan apendiktomi kasus apendisitis akut.

Page 4: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana

anestesi pada apendiktomi kasus apendisitis akut penting untuk dibahas

dalam suatu kajian ilmiah dalam bentuk laporan kasus.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis akut?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis

akut.

1.4 Manfaat

Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan

dan pemahaman dokter muda dan tenaga medis pada umumnya mengenai

tatalaksana anestesi pada appendektomi appendisitis akut.

Page 5: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manajemen Anestesi Pre-operatif

2.1.1 Penilaian Preoperatif

Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan

persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum

pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang

akan dioperasi.

Tujuannya adalah:

1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien

2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya

riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa

dyspneu maupun urtikaria).

3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien

4. Tahapan risiko anestesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status

praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau/terapi diperlukan)

5. Pemilihan jenis anestesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed

consent) kepada pasien.

6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis

obat induksi3.

Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan

anestesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi, atau decompensatio

cordis. Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter

anestesi bisa menentukan cara anestesi dan plihan obat yang tepat pada pasien.

Kunjungan preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah

identitas dan salah operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking (AMPLE),

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG,

foto thorax, dll. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan

mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan

dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent3.

Page 6: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

2.1.1.1 History Taking

History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi

terhadap makanan, obat-obatan dan suhu, alergi (manifestasi dispneu atau skin

rash) harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal).

Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat

pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi obat

dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa

menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem

organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain yang

belum terdiagnosis.

2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.

Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan asimtomatik

setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, respiratory rate, suhu)

dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system musculoskeletal.

Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi regional sehingga

bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan anestesi regional.

Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan gigi

geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku sangat

penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan intubasi.

Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah diperkirakan pada

pasien dengan abnormalitas wajah yang signifikan. Mikrognatia (jarak pendek

antara dagu dengan tulang hyoid), incisivus bawah yang besar, makroglosia,

Range of Motion yang terbatas dari Temporomandibular Joint atau vertebrae

servikal, leher yang pendek mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk

dilakukan intubasi trakeal.

Skoring Mallampati:

I. Terlihat tonsil, uvula, dan palatum mole secara keseluruhan

II. Terlihat palatum mole dan durum, bagian atas tonsil dan uvula

III. Terlihat palatum mole dan durum, dan dasar uvula

IV. Hanya terlihat palatum durum

Page 7: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Gambar 2.1. Kriteria Mallampati

Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena

efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.

Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya

ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik ASA

secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif. Karena

underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang berkontribusi terhadap

komplikasi perioperatif, maka tidak mengherankan apabila hubungan ini tidak

sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi satus fisik ASA tetap berguna dalam

perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik monitoring4.

Tabel 2.1 Klasifikasi ASA

Kelas I Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.

Kelas IV Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dengan maupun tanpa operasi.

Kelas V Pasien sekarat yang memiliki harapan hidup kecil tapi tetap dilakukan operasi sebagai upaya resusitasi.

Kelas VI Pasien dengan kematian batang otak yang organ tubuhnya akan diambil untuk tujuan donor

E Operasi emergensi, statusnya mengikuti kelas I – VI diatas.

Page 8: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

2.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang

Dasar dan luas cakupan pemeriksaan preanestesi tergantung pada umur

pasien, ada tidaknya kondisi co-morbid saat ini, sama seperti dasar dan luas dari

prosedur bedah yang direncanakan.

Tabel 2.2 Pemeriksaan Tambahan yang Dibutuhkan

Pemeriksaan rutin IndikasiUrinalisis Pada semua pasien (periksa konsentrasi

glukosa darah jika glukosa urine positif)FBC Pada semua wanita: pria > 40 tahun; semua

bedah mayorUreum, Creatinin, Elektrolit Bedah mayorECG Umur > 50 tahunFoto Torak Umur > 60 tahunTes fungsi hati (Liver Function Test)

Bedah mayor pada pasien umur > 50 tahun.

Tabel 2.3 Beberapa pemeriksaan preanestesi berserta indikasinya:

No Test Indikasi1 Darah Lengkap Anemia dan penyakit hematologik lainnya

Penyakit ginjalPasien yang menjalani kemoterapi

2 Ureum, creatinin dan konsentrasi elektrolit

Penyakit ginjalPenyakit metabolik misalnya; diabetes mellitusNutrisi abnormalRiwayat diare, muntahObat-obatan yang merubah keseimbangan elektrolit atau menunjukkan efek toksik dari adanya abnormalitas elektrolit seperti digitalik, diuretic, antihipertensi, kortikosteroid, hipoglikemik agent.

3 Konsentrasi glukosa darah

Diabetes MellitusPenyakit hati yang berat

4 Elektrokardiografi Penyakit jantung, hipertensi atau penyakit paru kronikDiabetes Mellitus

5 Chest X-ray Penyakit respirasiPenyakit kardiovaskuler

6 Arterial blood gases Pasien sepsisPenyakit paruPasien dengan kesulitan respirasi

Page 9: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Pasien obesitasPasien yang akan thorakotomi

7 Test fungsi paru Pasien yang akan operasi thorakotomiPenyakit paru sedang sampai berat seperti COPD, bronchiectasis

8 Skreen koagulasi Penyakit hematologicPenyakit hati yang beratKoagulopatiTerapi antikoagulan, misal: antikoagulan oral (warfarin) atau heparin

9 Test fungsi hati Penyakit hepatobilierRiwayat penyahgunaan alcoholTumor dengan metastase ke hepar

10 Tes fungsi thyroid Bedah thyroidRiwayat penyakit thyroidCuriga abnormalitas endokrin seperti tumor pituitari

Hasil pemeriksaan normal adalah valid selama periode waktu, jarak dari

yang 1 minggu (FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah), 1

bulan (ECG), sampai 6 bulan (chest X-ray). Pemeriksaan sebaiknya diulang

dalam keadaan berikut;

Timbul gejala seperti nyeri dada, diare, muntah

Penilaian untuk efektivitas terapi seperti suplemen potassium untuk

hipokalemia, terapi insulin untuk hiperglikemia, dialysis untuk pasien dengan

gagal ginjal, produk darah untuk koreksi koagulopati.

2.1.1.4 Informed Consent

Hal penting lainnya pada kunjungan preoperasi adalah inform consent.

Inform consent yang tertulis mempunyai aspek medikolegal dan dapat

melindungi dokter bila ada tuntutan. Dalam proses consent perlu dipastikan

bahwa pasien mendapatkan informasi yang cukup tentang prosedur yang akan

dilakukan dan resikonya.

2.1.2 Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama

pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,

Page 10: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus

dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum

induksi anestesi.

Tabel 2.4 Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist, 2011)5

Usia pasien Intake oral Lama puasa (jam) ∑ puasa yg diberikan

< 6 bln Clear fluidBreast milkFormula milk

234

20 cc/kg

6 bln – 5 thn Clear fluidFormula milkSolid

246

10 cc/kg

>5 thn Clear fluidSolid

26

10 cc/kg

Adult, op. pagi

Clear fuid Solid

2Puasa mulai jam 12 mlm

Adult, op. siang

Clear fluidSolid

2Puasa mulai jam 8 pagi

2.1.3 Terapi Cairan

Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan

sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan.

Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat

karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan

insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan

maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:

Tabel 2.5 Kebutuhan Maintenance Normal (Morgan, 2006)6

Berat Badan Jumlah

10kg pertama 4 mL/kg/jam

10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam

Tiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam

Page 11: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami

deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan

kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

2.1.4 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia

diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anesthesia

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestetik

Mengurangi mual muntah pasca bedah

Menciptakan amnesia

Mengurangi isi cairan lambung

Mengurangi reflek yang membahayakan

Tabel 2.6 Obat-Obat Yang Dapat Digunakan Untuk Premedikasi

No. Jenis Obat Dosis (Dewasa)1 Sedatif:

Diazepam Difenhidramin Promethazin Midazolam

5-10 mg1 mg/kgBB1 mg/kgBB0,1-0,2 mg/kgBB

2 Analgetik Opiat Petidin Morfin Fentanil Analgetik non opiat

1-2 mg/kgBB0,1-0,2 mg/kgBB1-2 µg/kgBBDisesuaikan

3 Antikholinergik: Sulfas atropine 0,1 mg/kgBB

4 Antiemetik: Ondansetron Metoklopramid

4-8 mg (iv) dewasa10 mg (iv) dewasa

5 Profilaksis aspirasi Cimetidin Ranitidine Antasid

Dosis disesuaikan

Page 12: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara (a) suntikan

intramuskuler, diberikan 30-45 menit sebelum induksi anestesia. (b) suntikan

intravena diberikan 5-10 menit sebelum induksi anestesia. Komposisi dan dosis

obat premedikasi yang akan diberikan kepada pasien serta cara pemberiannya

disesuaikan dengan masalah yang dijumpai pada pasien7.

2.1.5 Persiapan Di Kamar Operasi

Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:

a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan

b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya

c. Alat-alat resusitasi (STATICS)

d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.

e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium

bikarbonat dan lain-lainnya.

f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.

g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.

h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya;

“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”.

i. Kartu catatan medic anestesia

j. Selimut penghangat khusus untuk bayi dan orang tua.

Tabel 2.7 Komponen STATICS

S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >5 tahun dengan balloon (cuffed).

A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan jalan napas.

T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

I Introducer Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu

Page 13: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

supaya pipa trakea mudah dimasukkan.C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anastesia.S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

2.2 Pemilihan Teknik Anestesi

Secara umum, pemilihan teknik anestesi harus selalu memprioritaskan

keamanan dan kenyamanan pasien. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan

dalam hal ini adalah:

1. Usia pasien

Pada bayi dan anak paling baik dilakukan teknik general anestesi. Pada

pasien dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipemukaan dapat

dilakukan teknik anestesi lokal atau umum.

2. Status fisik pasien

a. Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Penting untuk mengetahui

apakah pasien pernah menjalani suatu pembedahan dan anestesi.

Apakah ada komplikasi anestesi dan paska pembedahan yang dialami

saat itu. Pertanyaa mengenai riwayat penyakit terutama diarahkan pada

ada tidaknya gejala penyakit kardiorespirasi, kebiasaan merokok,

meminum alkohol, dan obat-obatan. Harus menajadi suatu perhatian saat

pasien memakai obat pelumpuh otot nondepolarisasi bila didapati atau

dicurigai adanya penyakit neuromuskular, antaralain poliomielitis dan

miastenia gravis. Sebaiknya tindakan anestesi regional dicegah untuk

pasien dengan neuropati diabetes karena mungkin dapat memperburuk

gejala yang telah ada.

b. Gangguan fungsi kardiorespirasi berat. Sedapat mungkin hindari

penggunaan anestesi umum dan sebaiknya dilakukan dengan anestesi

lokal atau regional.

c. Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi, dan/atau dengan gangguan

jiwa sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

d. Pasien obesitas. Bila disertai leher pendek atau besar atau sering timbul

gangguan sumbatan jalan nafas, sebaiknya dipilih teknik anestesi

regional, spinal, atau anestesi umum ndotrakeal.

3. Posisi pembedahan

Page 14: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Posisi seperti miring, tengkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi

umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian

juga dengan pembedahan yang berlangsung lama.

4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah

Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan

kebutuhan dokter bedah, antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi

perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin untuk

bedah plastik, dna lain-lain.

5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesi

Preferensi pengalaman dan keterampilan dokter anestesiologi sangat

menentukan pilihan-pilihan teknik anestesi. Sebaiknya tidak melakukan teknik

anestesi tertentu bila belum ada pengalaman dan keterampilan.

6. Keinginan pasien

Keinginan pasien untuk pilihan teknik anestesi dapat diperhatikan dan

dipertimbangkan bila keadaan pasien memang memungkinkan dan tidak

membahayakan keberhasilan operasi.

7. Bahaya kebakaran dan ledakan

Pemakaian obat anestesi yang tidak terbakar dan tidak eksploratif adalah

pilihan utama pada pembedahan dengan memakai alat elektrokauter.

8. Pendidikan

Di kamar bedah rumah sakit pendidikan, operasi mungkin dapat berjalan

lama karena sering terjadi percakapan instruktor dengan residen, mahasiswa,

atau perawat. Oleh sebab itu, sebaiknya pilihan adalah anestesi umum atau

bila dengan anestesi spinal atau regioal perlu diberikan sedasi yang cukup3.

Anastesi Regional dengan Sub-arachnoid Block

Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh

August Bier (1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas

untuk menyediakan anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah

umbilikus. Kelebihan utama teknik ini adalah kemudahan dalam tindakan,

peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga

level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi dan

menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan

analgesia yang minimal8.

Page 15: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Anestesi regional meliputi 2 cara yaitu blok sentral yang meliputi blok

spinal, epidural, dan kaudal. Yang kedua adalah blok perifer seperti blok pleksus

brachialis, aksiler, anestesi regional intravena, dan lainnya. Anestesi spinal

adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi

spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang

subarachnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radix anterior dan

posterior, radix ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan

menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom3.

Tabel 2.8 Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal

Indikasi/Kontraindikasi/Komplikasi Keterangan

Indikasi

Transurethral prostatectomy (blok pada T10 diperlukan karena terdapat inervasi pada buli buli kencing)HysterectomyCaesarean section (T6)Evakuasi alat KB yang tertinggalSemua prosedur yang melibatkan ekstrimitas bagian bawah seperti arthroplastyProsedur yang melibatkan pelvis dan perianal

Indikasi Kontra Absolut

Pasien menolakDeformitas pada lokasi injeksiHipovolemia beratSedang dalam terapi antikoagulanCardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis aortaPeningkatan tekana intrakranial.

Indikasi Kontra Relatif

Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)Infeksi sekitar tempat penyuntikanKelainan neurologisKelainan psikisBedah lamaPenyakit jantungHipovolemia ringanNyeri punggung kronis

Komplikasi Tindakan Hipotensi beratBradikardiaHipoventilasiTrauma pembuluh darah

Page 16: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Trauma sarafMual muntahGangguan pendengaranBlok spinal tinggi, atau spinal total

Komplikasi Pasca Tindakan

Nyeri tempat suntikanNyeri punggungNyeri kepala karena kebocoran likuorRetensio urineMeningitis

Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan

pada anestesi umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed

consent dari pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan

kelainan spesifik seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk

sehingga sulit identifikasi prosesus spinosus, dan lainnya), serta pemeriksaan

laboratorium anjuran seperti hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.

Peralatan yag diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan

monitor seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan

resusitasi/anestesi umum; serta jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo

runcing, Quincke-Babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,

Whitecare).

Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau

posisi tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan

posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya

obat. Berikut teknik anesthesia spinal dengan blok subarachnoid:

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus laterl.

Beri bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus

mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.

Gambar 2.2 Posisi anestesi

spinal

2. Perpotongan antara garis

yang menghubungkan kedua

krista iliaka dengan tulang

punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya L2-3,

Page 17: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma medulla

spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3

ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23

G atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G

atau 29 G, dianjurkan menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum

suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak

sedikit ke arah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke

lubang jarum tersebut. Setelah resistensi menghilang, mandrin jarum spinal

dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi obat dan obat dapat

dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk

meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003-

1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobaric.

Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik.

Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik.

Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh dengan

mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk jenis hipobarik biasanya

digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air injeksi3. Ada

beberapa hal yang dapat mempengaruhi blokade saraf pada pemberian anestesi

spinal. Faktor tersebut antara lain barisitas, posisi pasien selama dan sesaat

setelah injeksi, serta dosis obat. Pada umumnya makin tinggi dosis dan posisi

injeksi, maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu pada posisi

supine head down, cairan hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan cairan

hipobarik menyebar ke kaudal dan sebaliknya pada posisi head up. Sementara

pada posisi lateral, cairan spinal hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih

rendah dan cairan hipobarik akan mencapai daerah yang lebih tinggi6.

Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah bupivacaine

hiperbarik dan tetrakain. Toksisitas bupivacain lebih rendah dibandingkan

lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain lebih lama (10-15 menit) dibandingkan

lidocain (5-10 menit) tetapi durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam)

Page 18: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

dibandingkan lidocain (1-2 jam). Penggunaan lidocain harus diperhatikan karena

seringkali menyebabkan transient neurological symptoms (TNS) dan cauda

equine sindrom. Namun ada ahli yang menyatakan penggunaan lidokain ini

aman pada anestesi spinal dengan dosis terbatas 60 mg dan diencerkan 2.5%.

Oleh karena itu penggunaan bupivacaine lebih aman dan lebih efektif6.

2.3 Durante Operasi dan Monitoring

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau

kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular

weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga

mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer

besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian

besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan

dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6.

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.

Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan

hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik

air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut

cairan jenis replacement.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan

jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum

digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan

sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium

serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit

pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling

fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi

biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga empat kali jumlah

volume darah yang hilang6.

Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan

estimated blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya

ditransfusi hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu

yang tepat untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi

yang dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan

hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut:

Page 19: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

1. Estimate Blood Volume

Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70 cc/kgBB. Tetapi ada

sumber yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgBB

dan wanita 65 cc/kgBB.

2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi

3. Perkiraan RBCV pada heatokrit 30% (RBCV30%), menunjukkan volume

darah normal telah dicapai.

4. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit ≤ 30% dengan cara

RBCVlost = RBCVpreop – RBCV30%.

5. Kehilangan darah yang terjadi = RBCVlost x 3.

Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi

apakah ringan, sedang atau berat6.

Tabel 2.9 Kebutuhan cairan berdasarkan derajat trauma

Derajat Trauma Kebutuhan cairan tambahan

Ringan (herniorrhaphy) 0-2 ml/kg

Sedang (cholecystectomy) 2-4 ml/kg

Berat (bowel resection) 4-8 ml/kg

Salah satu tugas utama dokter anestesi adalah menjaga pasien yang

dianestesi selama operasi. Karena proses monitoring sangat membantu dalam

mempertahankan kondisi pasien, oleh karena itu perlu standard monitoring

intraoperatif yang diadopsi dari ASA, yaitu Standard Basic Anesthetic Monitoring.

Standard ini diterapkan di semua perawatan anestesi walaupun pada kondisi

emergensi, appropriate life support harus diutamakan. Standar ini ditujukan

hanya tentang monitoring anestesi dasar, yang merupakan salah satu komponen

perawatan anestesi. Pada beberapa kasus yang jarang atau tidak lazim (1)

beberapa metode monitoring ini mungkin tidak praktis secara klinis dan (2)

penggunaan yang sesuai dari metode monitoring mungkin gagal untuk

mendeteksi perkembangan klinis selanjutnya.

Standard IPersonel anestesi yang kompeten harus ada di kamar operasi selama general

anestesi, regional anestesi berlangsung, dan memonitor perawatan anestesi.

Standard II

Page 20: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Selama semua prosedur anestesi, oksigenasi, ventilasi, sirkulasi, dan

temperature pasien harus dievalusi terus menerus.

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama

anestesi adalah:

- Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

- Heart rate, nadi, dan kualitasnya

- Warna membran mukosa, dan capillary refill time

- Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

palpebra)

- Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

- Pulse oximetry: tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

2.4 Manajemen Anestesi Post Operasi

2.4.1 Recovery dari Regional Anastesi

Pasien yang dilakukan regional anestesi, lebih mudah mengalami

recovery dibandingkan dengan general anestesi. Hal ini dikarenakan pasien

dalam posisi sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing, dan

circulation lebih minimal. Meskipun demikian, tetap harus dilakukan pemeriksaan

tekanan darah, nadi, dan frekuensi nafas sampai pasien benar-benar stabil.

Fungsi neuromuskuler harus dinilai misalnya mengangkat kepala. Monitoring

tambahan berupa penilaian nyeri (skala deskriptif atau numerik), ada atau tidak

mual atau muntah, input dan output cairan termasuk produksi urin, drainase, dan

perdarahan.

2.5.2 Kriteria Discharge dari PACU

Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU

berdasarkan criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah

Aldrete Score. Kriteria ini akan menentukan apakah pasien akan di-discharge ke

Intensive Care Unit (ICU) atau ke ruangan biasa.Tabel 2.10 Aldrete Skor9

Obyek Kriteria Nilai

Aktivitas 1. Mampu menggerakkan 4 ekstremitas

2. Mampu menggerakkan 2 ekstremitas

3. Tidak mampu menggerakkan ekstremitas

2

1

0

Respirasi 1. Mampu nafas dalam dan batuk 2

Page 21: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

2. Sesak atau pernafasan terbatas

3. Henti nafas

1

0

Tekanan darah 1. Berubah sampai 20 % dari pra bedah

2. Berubah 20-50% dari pra bedah

3. Berubah > 50% dari pra bedah

2

1

0

Kesadaran 1. Sadar baik dan orientasi baik

2. Sadar setelah dipanggil

3. Tak ada tanggapan terhadap rangsang

2

1

0

Warna kulit 1. Kemerahan

2. Pucat agak suram

3. Sianosis

2

1

0

Nilai Total

Idealnya, pasien di-discharge bila total skor 10 atau minimal 9, tanpa ada nilai 0

pada kriteria penilaian objektif.

2.5.3 Kunjungan Post-Operatif

Evaluasi post operatif harus dilakukan dalam 24–48 jam setelah operasi

dan dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari

rekam medis, anamnesa terkair perasaan atau keluhan subjektif post operasi,

dan pemeriksaan fisik serta penunjang, termasuk pemeriksaan kemungkinan

komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, kerusakan gigi, cidera saraf,

cidera okular, pneumonia, atau perubahan status mental. Bila diperlukan, harus

dilakukan terapi atau konsultasi lebih lanjut10.

Page 22: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : Nn. L

Usia : 19 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Lowokwaru, Malang

Agama : Islam

Suku : Jawa

Kewarganegaraan : Indonesia

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Status Pernikahan : Menikah

Tanggal MRS : 10 April 2013

No. RM : 11106xxx

Berat Badan : 45 kg

Tinggi Badan : 154 cm

3.2 Pre-Operasi

3.2.1 Anamnesa Kunjungan Pre-Operasi (10 April 2013)

A (Alergy): tidak ada riwayat alergi terhadap obat-obatan, alergi makanan,

maupun asma.

M (Medication): tidak sedang menjalani pengobatan apapun.

P (Past Medical History): tidak didapatkan riwayat hipertensi, diabetes

mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada, keterbatasan aktifitas

akibat sesak dan tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-hari. Pasien

memiliki riwayat BAB tidak lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari. Riwayat

anastesi dan anastesi sebelumnya belum ada. Operasi ini merupakan

pengalaman pertama pasien mengalami pembedahan anastesi. Merokok

(-), konsumsi minuman beralkohol (-). Keadaan psikis: kesan tenang.

L (Last Meal): pasien terakhir makan pukul 07.00

E (Elicit History): pasien mengeluh nyeri perut di tengah sejak 3 hari.

Nyeri perut kemudian terasa juga di perut bagian kanan dan kiri. Pasien

Page 23: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

mengeluhkan perut sakit jika digunakan berjalan. Pasien juga

mengeluhkan tidak BAB sejak 5 hari yang lalu dan demam yang

dirasakan 1 minggu yang lalu. BAK dalam batas normal.

3.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-Operasi

B1-Breathing

o Airway paten, nafas spontan, RR 20 kali/menit

o Wajah dan rongga mulut: bentuk wajah dalam batas normal, buka

mulut lebih dari 3 jari, mallampati 1, gigi utuh dan baik, kebersihan

rongga mulut baik.

o Hidung: perdarahan (-), deviasi septum (-), polip (-), PCH (-)

o Leher: leher gemuk (-), leher ekstensi bebas, trakea di tengah, massa

regio colli (-)

o Paru: suara paru vesikuler, rhonki ≡|≡, wheezing ≡|≡

B2-Blood

o Akral hangat, merah, dan kering. Nadi 88 kali/menit, regular, dan kuat.

TD 130/80 mmHg, JVP tidak meningkat, ictus kordis tidak terlihat,

ictus kordis teraba pada ICS V MCL sinistra, batas jantung kanan atas

ICS II PSL dextra, batas jantung kanan bawah ICS IV PSL dextra,

batas jantung kiri atas ICS II PSL sinistra, batas jantung kiri bawah

ICS IV MCL sinistra, S1S2 tunggal, murmur negatif, gallop negatif.

B3-Brain

Compos mentis, GCS 456, pupil bulat isokor Ø 3mm | 3mm, refleks

cahaya +|+.

B4-Bladder

BAK menggunakan kateter, produksi urin ditampung +40cc/jam, kuning

jernih.

B5-Bowel

Flat, soefl, bising usus (+) menurun, nyeri tekan (+) McBurney

B6-Bone/Body

Mobilitas (+), edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT <2

detik, skoliosis (-), lordosis (-), hemiparesis (-), distrofi otot (-), motorik dan

sensorik normal.

Page 24: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

3.2.3 Pemeriksaan Penunjang Pre-Operasi

3.2.3.1 USG Color Doppler

Pemeriksaan pada tanggal 09 April 2013:

Uterus: ukuran normal, posisi anteversi. Tampak endometrial line menebal.

Mc.Burney: Tidak tampak struktur tubuler blunt end yang mengesankan appendix

edematous, tidak tampak fat stranding/dilatasi caecum, nyeri tekan probe (+) di

R.Mc.Burney dan suprapubic.

Tampak lesi heterogen batas tidak tegas disertai struktur menyerupai GS di

dextro-craniolateral uterus diameter +1,2 cm. Dengan color Doppler tidak jelas

gambaran ring of fire. Tampak echo cairan bebas di fossa hepatorenal,

splenorenal, perivesical dan cavum douglass.

3.2.3.2 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan tanggal 10 April 2013

Nilai Satuan Nilai Rujukan Kesan

Darah Lengkap

Hemoglobin 12.70 g/dL 11.4-15.1 Normal

Eritrosit 4.82106/

mm34.0 – 5.0 Normal

Leukosit 6.64103/

mm34,7-11,3 Normal

Hematokrit 37.80 % 38 - 42 Normal

Trombosit 164103/

mm3142 – 424 Normal

MCV 78.40 fL 80 – 93 Normal

MCH 26.80 Pg 27 – 31 Normal

MCHC 34.10 gr% 32 – 36 Normal

RDW 14.00 % 11,5 - 14,5 Normal

Faal Hemostasis

PPT 11.4 Detik 11.8 Normal

INR 0.98

APTT 26.4 Detik 28.2 Normal

Elektrolit Serum

Natrium (Na) 138 Mmol/L 136 – 145 Normal

Page 25: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Kalium (K) 3.51 Mmol/L 3.5 – 5.0 Normal

Klorida (Cl) 108 Mmol/L 98 - 106 Normal

Urinalisis

Kekeruhan Jernih

Warna Kuning

pH 8.0 4.5 - 8.0 Normal

Glukosa Negatif Negatif Normal

Protein Negatif Negatif Normal

Lekosit Trace Negatif Normal

Darah +1 Negatif Normal

Bakteri 63.9 103/mL ≤ 93x103/mL Normal

Pregnancy Test

Test Kehamilan Negatif

3.2.4 Planning

Tanggal dilakukan anestesi : 10 April 2013

Jenis anastesi : Regional Anastesia-Subarachnoid Block

Jenis pembedahan : Appendiktomi

3.2.5 Persiapan Pre-Operasi

Surat persetujuan operasi dan anastesi

Puasa mulai jam 07.00

IVFD RL 1500 cc

Premedikasi: Inj. Ceftriaxone 1 g, Inj. Ranitidine 50 mg iv, Inj.

Metoclopramid 10 mg iv

3.3 Durante Operasi

Lama operasi : 22.30-23.30

Lama anastesi : 22.00-01.00

Medikasi :

o Inj. Midazolam 2,5 mg

o Inj. Metocloperamide 1x10mg

o Inj. Tramadol 50 mg dalam 50 cc NS

Page 26: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Langkah Tindakan Anastesi:

Persiapan:

1. Menyiapkan meja operasi dan asesorisnya

2. Menyiapkan mesin dan alat anestesi

3. Menyiapkan komponen STATICS:

a. Scope: stetoskop, laringoskop

b. Tubes: ETT cuffed sized 7,0 kink fix

c. Airway: orotracheal airway

d. Tape: plester untuk fiksasi

e. Introducer: untuk memandu agar pipa ETT mudah dimasukkan

f. Connector: penyambung antara pipa dana alat anestesi

g. Suction: memastikan tidak ada kerusakan pada alat suction

4. Menyiapkan obat-obat anastesia yang diperlukan.

5. Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine, aminofilin,

natrium bikarbonat, dan lain-lainnya.

6. Menyiapkan tiang infuse, plester, dan lain-lainnya.

7. Memasang monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi, dan EKG

Teknik Anastesi:

8. Menyiapkan pasien di atas meja operasi dengan posisi miring ke

kanan dan membungkuk.

9. Menentukan tempat tusukan dari perpotongan garis yang

menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung, yaitu L4

atau L4-L5.

10. Mensterilkan tempat tusukan dengan savlon dan memasang doek

steril.

11. Memberikan infiltrasi local pada tempat tusukan, yaitu dengan lidokain

2% secukupnya.

12. Dilakukan penyuntikan jarum spinal 27G di tempat penusukan pada

bidang medial dengan sudut 10-30% terhadap bidang horizontal

kearah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum

supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,

lapisan durameter, dan lapisan subarachnoid. Stilet kemudian dicabut,

sehingga cairan serebrospinal akan keluar. Obat anastetik

Page 27: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

(Bupivacaine 0.5% H 15 mg + morfin 0.1 mg) yang telah disiapkan

disuntikkan ke dalam ruang subarachnoid.

13. Tempat penyuntikkan ditutup dengan plester.

14. Menempatkan kembali pasien dalam posisi supine dan pasien ditanya

apakah kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit untuk

digerakkan dan ditanyakan apa ada keluhan mual-muntah, nyeri

kepala, dan sesak.

15. Memastikan kondisi pasien stabil dengan vital sign dalam batas

normal.

Monitoring

o Pernafasan: O2 nasal canule, 3 lpm

o Cairan Masuk:

Pre operasi : RL 1500cc

Durante operasi : NS 450cc

o Cairan Keluar:

Pre operasi : urin 200 cc (dibuang)

Durante operasi :

Perdarahan: Kassa 100 cc

Urin: 100 cc

o Estimate Blood Volume: 2925 cc

o Allowed Blood Loss: 1082 cc

o Maintenance: 85 cc/jam

o O4: 180cc

3.4 Laporan Anastesi Post-Operasi

3.4.1 Laporan Anastesi Post-Operasi di Post Anesthesi Care Unit (PACU)

(11 April 2013)

Pasien masuk pukul 00.00

Keluhan: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)

Pemeriksaan fisik:

o B1: airway paten, nafas spontan, RR 18x/menit, rhonki ≡|≡, wheezing ≡|≡

o B2: akral hangat, kering, kemerahan, N:90x/menit, TD 110/80 mmHg, S1S2

reguler, murmur (-), gallop (-)

o B3: GCS 456, pupil bulat isokor Ø 3mm | 3mm, refleks cahaya +|+

Page 28: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

o B4: terpasang kateter 16F, urine warna kuning jernih (+), produksi urin 100 cc.

o B5: flat, soefl, bising usus (+), luka operasi bersih.

o B6: mobilitas (-), mampu menggerakkan keempat ekstremitas secara spontan,

edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT<2 detik.

Aldrete score: 10 pasien dapat dipindahkan ke ruangan.

Terapi Pasca Bedah:

o O2 nasal canul 2 lpm

o Infus RL/NS 95 cc/jam

o Antibiotika: sesuai TS bedah

o Inj. Ranitidin 2x50 mg

o Inj. Ketorolac 3x30 mg

o Bila mual/muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p di suction, Inj.

Ondansentron 4 mg

o Bila kesakitan: Inj. Tramadol 100 mg

o Minum makan: bila tidak ada mual/muntah

Monitoring:

Cek vital sign tiap 15 menit selama 2 jam

o Bila RR <10x/menit, berikan O2 NRBM 10 lpm

o Bila nadi <50x/menit, berikan sulfas atropine 0.5 mg iv

o Jika tekanan darah systole <90mmHg, berikan RL 500 cc dalam 30 menit

(efedrin 5 mg iv)

o Pindah ruangan jika aldrete score >8

o Makan dan minum, bertahap bila pasien tidak mual dan muntah.

3.4.2 Laporan Anastesi Post-Operasi di Ruang 18 (11 April 2013)

Keluhan: mual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)

Pemeriksaan fisik:

o B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 20x/menit, rhonki ≡|≡, wheezing ≡|≡.

o B2 : akral hangat, kering, kemerahan, nadi 88x/menit, TD 120/80, S1S2

reguler, murmur (-), gallop (-)

o B3 : GCS 456, pupil bulat isokor Ø 3mm | 3mm, refleks cahaya + | +

o B4 : terpasang kateter 16 fr, urin warna kuning jernih (+), produksi urin

1000cc.

Page 29: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

o B5 : flat, BU (+), luka operasi bersih.

o B6 : edema =|=, sianosis =|=, anemis =|=, ikterik =|=, CRT<2 detik.

Terapi:

o IVFD RL/D5 : Aminofusin= 2:1

o Inf. Ciprofloxacin 2x450 mg iv

o Inj. Ranitidin 2x50 mg iv

o Inj. Ketorolac 3x30 mg iv

o Bila mual kepala head up lapor PPDS anestesi.

o Bila muntah: kepala dimiringkan, head down, k/p suction aktif lapor PPDS

anestesi.

Page 30: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Preoperatif

4.1.1 Penilaian Preoperatif

4.1.1.1 History Taking

Berdasarkan history taking dengan metode AMPLE pada kunjungan

preoperative tanggal 10 April 2013, didapatkan bahwa tidak ada riwayat alergi

terhadap obat-obatan, alergi makanan, maupun penyakit asma. Pasien tidak

sedang menjalani pengobatan apapun. Pasien tidak didapatkan riwayat

hipertensi, diabetes mellitus, mengorok saat tidur, kejang, nyeri dada,

keterbatasan aktifitas akibat sesak dan tidak ada gangguan pada aktifitas sehari-

hari. Pasien memiliki riwayat BAB tidak lancar, frekuensi 1x dalam 3-7 hari.

Riwayat anastesi dan anastesi sebelumnya belum ada. Operasi ini merupakan

pengalaman pertama pasien mengalami pembedahan anastesi. Pasien tidak

merokok, tidak konsumsi minuman beralkohol. Pasien terakhir makan pukul

07.00 dan sedang berpuasa.

4.1.1.2 Pemeriksaan Fisik

B1 – Breathing

Pada breathing, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak

ditemukan dan dalam batas normal.

B2 – Blood

Pada blood, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak ditemukan.

Lain-lain dalam blood dalam batas normal; TD normal, perfusi baik, tidak

didapatkan kelainan anatomis dan fungsional dari sistem sirkulasi.

B3 – Brain

Dalam batas normal.

B4 – Bladder

BAK dengan kateter, produksi urin ditampung +40 cc/jam ~ +0.88 cc/kgBB/

jam, kuning jernih. Berdasarkan rata-rata produksi urin yang dapat diperiksa,

didapatkan bahwa jumlah dan kejernihan produksi urin dalam batas normal.

B5 – Bowel

Page 31: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Pada bowel, hal-hal yang berkaitan dengan penyulit anestesi tidak

ditemukan.

B6 – Bone/Body

Dalam batas normal.

4.1.1.3 Pemeriksaan Penunjang

Luas cakupan pemeriksaan preanestesi telah sesuai dengan keadaan

dan kebuthan pasien, kondisi co-morbid saat ini, dan prosedur bedah yang

direncanakan.

Hasil pemeriksaan masih dianggap valid sesuai periode waktu untuk

masing-masing jenis pemeriksaan tambahan, yakni rentang 1 minggu untuk

FBC, ureum, creatinin, konsentrasi elektrolit, glukosa darah; pada pasien ini

dalam rentang beberapa jam sebelum operasi, sampai 6 bulan chest X-ray,

USG color doppler, dan BNO IVP; pada pasien ini rentang 1 hari sebelum hari

operasi. Dapat disimpulkan hasil pemeriksaan dalam batas normal.

4.1.1.4 Kesimpulan Penilaian Preoperatif

Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,

pasien tidak menderita penyakit sistemik, tanpa limitasi aktivitas sehari-hari,

sehingga diklasifikasikan dengan ASA-1 - dengan apendisitis akut.

4.1.2 Masukan Oral

Untuk meminimalkan risiko aspirasi isi lambung ke jalan nafas selama

anestesi, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi seperti pasien ini telah

menjalani puasa selama periode tertentu sebelum induksi anestesi. Lama puasa

pada pasien ini telah sesuai dengan Fasting Guideline Pre-operatif - American

Society of Anesthesiologist yakni konsumsi cairan maksimal 2 jam preoperasi,

makanan rendah lemak 6 jam preoperasi, dan makanan tinggi lemak 8 jam

preoperasi, dimana pasien telah berpuasa tidak mengkonsumsi makanan jam

07.00.

4.1.3 Terapi Cairan

Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari pasien ini (berat

badan +45 kg):

Page 32: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Berat Badan Jumlah Perhitungan untuk pasien ini

10kg pertama 4 mL/kg/jam 40 mL/jam 10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam + 20 mL/jamTiap kg di atas 20kg + 1 mL/kg/jam + 25 mL/jamTotal kebutuhan cairan maintenance pasien ini:

85 mL/jam

Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance

dengan waktu puasa. Pada pasien ini untuk operasi tanggal 10 April 2013 pukul

22.30 (15,5 jam puasa) maka kebutuhan cairan untuk memenuhi defisit cairan

sebelum operasi: 15,5 x 85 ml/jam = 1317,5 ml. Pada pasien diberikan RL

sebagai cairan maintenance sebanyak 1500cc sampai dengan operasi.

4.1.4 Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi

dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesi

diantaranya:

Meredakan kecemasan dan ketakutan

Memperlancar induksi anestesi

Mengontrol nyeri post operasi

Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

Meminimalkan jumlah obat anestesi

Mengurangi mual muntah pasca operasi

Menciptakan amnesia

Mengurangi resiko aspirasi isi lambung

Pada pasien ini diberikan 4 jam sebelum operasi, dengan obat

premedikasi berupa inj. Metoclopramide 10 mg, inj. Ranitidine 50 mg, dan .

Metoclopramide dan ranitidine diberikan untuk profilaksis dari PONV (post

operatif nausea vomiting). Metoclopramide digunakan sebagai anti emetik dan

untuk mengurangi sekresi kelenjar. Pemilihan metoclopramide dikarenakan obat

ini mempunyai efek menstimulasi asetilkolin pada otot polos saluran cerna,

meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah, mempercepat

pengosongan lambung dan menurunkan volume cairan lambung sehingga efek-

efek ini akan meminimalisir terjadinya pnemonia aspirasi. Metoclopramide juga

mempunyai efek analgesik pada kondisi-kondisi yang berhubungan dengan

Page 33: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

spasme otot polos (seperti kolik bilier atau ureter, kram uterus, dll). Selain itu

metoclopramide juga berefek memblok receptor Dopamine pada chemoreceptor

triggerzone pada sistem saraf pusat sehingga sangat berguna untuk pencegahan

muntah pasca operasi. Pemilihan ranitidin dikarenakan obat ini mempunyai

fungsi sebagai anti reseptor H2 sehingga dapat mengurangi produksi asam

lambung yang nantinya dapat mengurangi risiko pnemonia aspirasi.

4.2 Manajemen Anastesi Durante Operasi

4.2.1 Pemilihan Teknik Anastesi

Pada pasien ini dilakukan regional anestesi. Pemilihan anestesi regional

sebagai teknik anestesi pada pasien ini berdasarkan pertimbangan bahwa

pasien akan menjalani operasi appendiktomi sehingga pasien memerlukan

blockade pada regio abdomen bawah untuk mempermudah operator dalam

melakukan operasi. Teknik ini umumnya sederhana, cukup efektif, dan mudah

digunakan.

Saat sebelum operasi dimulai, pasien diposisikan supine, selanjutnya

pasien diberi Ranitidine yang merupakan H2 receptor antagonist yang berfungsi

mengurangi produksi asam lambung sehingga mencegah stress ulcer akibat

penigkatan asam lambung yang berlebihan pre operasi. Sedangkan

metoclopramide digunakan sebagai anti emetic untuk mencegah pasien mual.

Setelah itu, pasien diposisikan miring ke kanan untuk mengekspose area lumbal

yang akan dilakukan anestesi. Setelah memberi tanda pada L5 atau S1,

kemudian tempat tusukan ditentukan. Setelah itu, area tersebut disterilkan

dengan betadin atau alkohol. Anestetik local dengan lidokain 1-2% diberikan

pada tempat tusukan.

Teknik anestesi regional pada pasien ini dengan menggunakan jarum 27

G dan dibantu dengan introducer (penuntun jarum). Setelah introduser

disuntikkan sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian jarum

spinal berikut mandrinnya dimasukkan ke lubang jarum tersebut. Setelah

resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor. Setelah

terjadi barbotage, yaitu keluarnya cairan serebrospinal tanpa disertai keluarnya

darah, maka pasang semprit berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-

pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum

tetap baik.

Page 34: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

Pada pasien ini diberikan obat anestesi bupivacain dikarenakan toksisitas

bupivacain lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset kerja bupivacain

lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi durasi

kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).

Selain itu diberikan morphine 0,1 mg dengan tujuan untuk memperpanjang waktu

kerja obat anestesi dan sebagai analgetik. Meskipun demikian, perlu diwaspadai

efek samping hipotensi akibat pemakaian obat ini.

4.2.2 Terapi Cairan Durante Operasi

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau

kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low molecular

weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga

mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau glukosa polimer

besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian

besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan

dan mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler6.

Cairan dipilih sesuai dengan jenis kehilangan cairan yang digantikan.

Untuk kehilangan terutama yang melibatkan air, penggantian dengan cairan

hipotonik, juga disebut cairan jenis maintenance. Jika kehilangan melibatkan baik

air dan elektrolit, penggantian dengan cairan elektrolit isotonik, juga disebut

cairan jenis replacement6.

Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan

jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum

digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik, menyediakan

sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk menurunkan natrium

serum 130 mEq / L, Ringer laktat umumnya memiliki efek yang paling sedikit

pada komposisi cairan ekstraseluler dan merupakan menjadi cairan yang paling

fisiologis ketika volume besar diperlukan. Kehilangan darah durante operasi

biasanya digantikan dengan cairan RL sebanyak 3 hingga 4 kali jumlah volume

darah yang hilang6.

Metode yang paling umum digunakan untuk memperkirakan kehilangan

darah adalah pengukuran darah dalam wadah hisap/suction dan secara visual

memperkirakan darah pada spons atau lap yang terendam darah. Untuk 1 spon

ukuran 4x4 cm dapat menyerap darah 10 cc sedangkan untuk lap dapat

Page 35: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

menyerap 100-150 cc darah. Pengukuran tersebut menjadi lebih akurat jika

spons atau lap tersebut ditimbang sebelum dan sesudah terendam oleh darah,

namun pada operasi pasien ini tidak dilakukan.

Pada pasien ini jumlah darah yang hilang didapatkan dari kassa 100 cc.

Pemberian input cairan preoperatif maupun durante operasi sangat

penting dalam keseimbangan hemodinamik pasien saat operasi berlangsung.

Dengan menghitung estimated blood volume (EBV) = berat badan x average

blood volume = 45 kg x 65 ml/kgBB = 2925 ml, allowed blood loss (ABL) = x

EBV, = hemoglobin inisial (hi) – hemoglobin terendah yang diperbolehkan.

Pada kasus kegananasan hemoglobin terendah yang diperbolehkan adalah 10

g/dL. Maka ABL pasien ini adalah = x 2925 = 1082,48 ~ 1082 ml,

kebutuhan cairan maintenance = 85 cc/jam, maka dapat diperkirakan jumlah

cairan yang masuk tiap jamnya demi mempertahankan keseimbangan

hemodinamik cairan selama operasi berlangsung.

Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke

ruang peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya

pembedahan , yaitu :

• 6-8 ml/kg untuk bedah besar

• 4-6 ml/kg untuk bedah sedang

• 2-4 ml/kg untuk bedah kecil

Operasi ini termasuk bedah kecil sehingga menggunakan rumus cairan 4

ml/kg. Sehingga O4 x berat badan pasien adalah 180 cc. Jadi setiap jam nya

selama operasi pasien mendapat cairan 265 cc/jam (M+O4 = 85 cc + 180 cc =

265 cc).

Oleh karena operasi berlangsung selama 1 jam, maka kebutuhan cairan

selama operasi adalah:

Kebutuhan cairan rumatan/maintanance : 85 cc/jam x 1 jam = 85 cc

Jumlah produksi urine durante operasi : = 100 cc

Jumlah darah yang hilang : = 100 cc +

285 cc

Pada pasien ini diberikan input cairan durante operasi:

Page 36: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

- NS : 400 cc

Page 37: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

4.2.3 Monitoring

Pada kasus ini selama proses anestesi, saturasi oksigen pesien tidak

pernah <95%, tekanan darah pasien dalam batas normal berkisar (S: 110-120,

D: 70-80), nadi antara 60-80x/menit. RR: 14-18x/menit.

4.3 Manajemen Anastesi Post Operasi

4.3.1 Recovery dari Regional Anastesi

Pada pasien ini, rencana operasi berjalan sesuai rencana dari pukul

22.30 - 23.30. Dengan berjalannya operasi sesuai rencana maka recovery pada

pasien ini juga cepat karena pasien menggunakan teknik anestesi regional.

4.3.2 Kriteria Discharge dari PACU

Satu jam setelah operasi dan anestesi berakhir pasien dievaluasi

sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan criteria Aldrete Score. Pada pasien

ini didapatkan:

Obyek Kriteria NilaiAktivitas Mampu menggerakkan 4 ekstremitas 2Respirasi Mampu nafas dalam dan batuk 2Tekanan darah Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik 2Warna kulit Kemerahan 2

Nilai Total 10

Dengan nilai total aldrete score pasien kemudian dipindahkan ke ruang 18

dengan rencana monitoring yang dilakukan sudah benar dan sesuai kebutuhan

pasien.

4.3.3 Kunjungan Postoperatif

Evaluasi post operatif dilakukan dalam 24 setelah operasi dan telah

dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini meliputi review dari rekam

medis, anamnesa terkait perasaan atau keluhan subjektif post operasi, dan

pemeriksaan fisik serta penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap post

operasi. Pada kunjungan postoperatif pasien ini dari anamnesa tidak didapatkan

keluhan dan pada pemeriksaan fisik dan penunjang secara keseluruhan dalam

batas normal. Terapi PONV dan management nyeri dilakukan dengan baik.

Page 38: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

BAB V

PENUTUP

Pasien adalah perempuan usia 19 tahun dengan apendisitis akut, yang

dilakukan operasi apendiktomi pada tanggal 10 April 2013. Tindakan anestesi

yang dilakukan adalah anestesi regional dengan blok subarachnoid. Hal ini dipilih

karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi anestesi regional.

Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan

kelainan lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional.

Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif

stabil sampai operasi selesai.

Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak

didapatkan keluhan. Selama di PACU (Post Anesthesy Care Unit) pasien cukup

stabil dengan Aldrete Score bernilai 10 dan tidak terdapat score 0, sehingga

pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat biasa (R.18).

Page 39: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut

DAFTAR PUSTAKA

1. Cole MA, Maldonado N. Emergency Medicine Practice: Evidence-Based

Management of Suspected Appendicitis In The Emergency Department

Vol.13 Number 10. 2011:1-32

2. Humes DJ, Simpson J, Acute Appendicitis. BMJ. 2006;333;530-534

3. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis

Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif FKUI

4. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.

2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott Williams

& Wilkins.

5. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for

Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce

Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures:

An Updated Report by The American Society of Anesthesiologists

Committee on Standards and Practice parameters. USA: Lippincott Williams

& Wilkins.

6. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical Anesthesiology.

4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

7. Miller RD, Eriksson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Miller’s

Anesthesia 7th ed. US : Elsevier

8. Universitas Sumatera Utara (USU). 2011. Anestesi Spinal.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22847/4/Chapter%20II.pdf.

Diakses pada 10 April 2013 pk.19.00

9. Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg

1970;49:924 and Aldrete JA: The post-anesthesia recovery score revisited. J

Clin Anesth 1995;7:89.

10. Dunn, Peter F., Theodore A. Alston, Keith H. Baker, J. Kenneth Davison,

Jean Kwo, dan Carl Rosow. 2007. Clinical Anesthesia Procedures of The

Massachusets General Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams &

Wilkins.

Page 40: Lapsus Apendiktomi Apendisitis Akut