Print Askep

28
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S (65 TAHUN) DENGAN BPH, RETENSI URINE DAN ISK DI RUANG MAWAR RSD DR. SOEBANDI JEMBER OLEH : KELOMPOK 2 1. Mashuda Adi Sunanto 092311101018 2. Yeni Kristi Komalia 092311101032 3. Velina Silviyani 092311101044 4. Luluk Minarsih 092311101051 5. Rozy Yudha Yudistira 092311101071

description

bph

Transcript of Print Askep

Page 1: Print Askep

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S (65 TAHUN) DENGAN BPH,

RETENSI URINE DAN ISK DI RUANG MAWAR

RSD DR. SOEBANDI JEMBER

OLEH :

KELOMPOK 2

1. Mashuda Adi Sunanto 092311101018

2. Yeni Kristi Komalia 092311101032

3. Velina Silviyani 092311101044

4. Luluk Minarsih 092311101051

5. Rozy Yudha Yudistira 092311101071

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS JEMBER

2015

BAB I. PENDAHULUAN

Page 2: Print Askep

1.1 Latar Belakang

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu keadaan dimana

prostat mengalami pembesaran memanjang ke atas ke dalam kandung kemih

dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra (Smeltzer

& Bare, 2002). Di dunia, diperkirakan jumlah penderita BPH sebesar 30 juta,

jumlah ini hanya pada kaum pria karena wanita tidak mempunyai kalenjar

prostat (emedicine, 2009). Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah

(50%) pada laki laki usia 60-70 th mengalami gejala BPH dan antara usia 70-

90 th sebanyak 90% mengalami gejala gejala BPH (Suharyanto & Abdul,

2009). Menurut persebaran usia, insidensi kasus BPH bervariasi, pada usia

40-an, kemungkinan seseorang menderita penyakit ini sebesar 40%, dan

seiring meningkatnya usia, dalam rentang usia 60-70 tahun, persentasenya

meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya

bisa sehingga 90%. Akan tetapi, jika di lihat secara histology penyakit BPH,

secara umum sejumlah 20% pria pada usia 40-an, dan meningkat pada pria

berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 (A.K. Abbas, 2005).

Di Indonesia, BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran

kemih, dan secara umum, diperkirakan hampir 50% pria Indonesia yang

berusia di atas 50 tahun ditemukan menderita BPH. Oleh karena itu, jika

dilihat, dari 200 juta lebih rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta

adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira sejumlah 5

juta, maka dapat dinyatakan kira-kira 2,5 juta pria Indonesia menderita

penyakit (Purnomo, 2009). Pada banyak pasien dengan usia diatas 50 tahun,

kelenjar prostatnya mengalami pembesaran, memanjang ke atas kedalam

kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra.

Kondisi ini dikenal sebagai hiperplasia prostatik jinak (BPH), pembesaran,

atau hipertrofi prostat. Kondisi ini penyebab kedua yang paling sering untuk

intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 2002).

Transuretral Resection of The Prostate (TURP) merupakan salah satu

tindakan pembedahan untuk mengatasi obstruksi pada saluran kemih akibat

Page 3: Print Askep

BPH. TURP merupakan tindakan pembedahan via endoscopy transuretral

tanpa melakukan pembedahan atau insisi terbuka.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan

Benigna Prostat Hiperplasi sebelum dan setelah dilakukan operasi.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Page 4: Print Askep

2.1 Konsep Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)

a. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu keadaan dimana

prostat mengalami pembesaran memanjang ke atas ke dalam kandung kemih

dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra (Smeltzer &

Bare, 2002). Benigna Prostat Hiperplasia adalah suatu kondisi yang sering

terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan pengendalian hormon prostat (Elin,

2011). BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara

umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat

obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D,

2000).

Kesimpulannya BPH adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh

faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang ke atas ke

dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi

orifisium uretra.

b. Etiologi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti

penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa

hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron

Page 5: Print Askep

(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab

timbulnya hiperplasi prostat adalah:

1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan

estrogen pada usia lanjut.

2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu

pertumbuhan stroma kelenjar prostat.

3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang

mati.

4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel

stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar

prostat menjadi berlebihan.

Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang

belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung

pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH

adalah proses penuaan.

c. Patofisiologi BPH

Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak

di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya

sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.

Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dari bukunya Purnomo (2000),

membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,

zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra

(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia

lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena

produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi

estrogen pada jaringan adipose di perifer.

Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini

sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar

prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan

bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara

Page 6: Print Askep

langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk

mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.

Pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada

traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang

disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi

resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika serta

kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh

sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem

simpatis.

Tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi

resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian

detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih

kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam

kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut

trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat

aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang

besar disebut divertikel.

Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding

kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan

akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk

berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Hiperplasi prostat digolongkan

dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan

detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi

terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes

pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala

iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran

prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi

walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersensitivitas otot

detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,

disuria).

Page 7: Print Askep

Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria

tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih

tinggi dari tekanan sfingter dan terjadi obstruksi sehingga berlanjut terjadi

inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik

menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi ureter dan ginjal, maka

ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius

bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus

mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra

abdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam

vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang mengendap. Keluhan

yang sering terjadi yaitu iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam

vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang

dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan

pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).

d. Tanda dan Gejala BPH

Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda

gejala yaitu obstruksi dan iritasi.

1. Gejala Obstruktif yaitu :

a) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai

dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-

buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan

intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.

b) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan

karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan

tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.

c) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.

d) Pancaran lemah: kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor

memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.

e) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum

puas.

Page 8: Print Askep

2. Gejala Iritasi yaitu:

a) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.

b) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat

terjadi pada malam hari (nokturia) dan pada siang hari.

c) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi

4 stadium yaitu:

a) Stadium I

Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine

sampai habis.

b) Stadium II

Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine

walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa

tidak enak BAK atau disuria dan menjadi nokturia.

c) Stadium III

Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.

d) Stadium IV

Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine

menetes secara periodik (over flow inkontinen).

e. Komplikasi BPH

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain:

1. dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati

prostat.

2. infeksi saluran kemih

3. apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal (Corwin, 2000).

4. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik

mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan

yang akan menimbulkan

5. hernia dan hemoroid akibat peningkatan tekanan intra abdomen.

Page 9: Print Askep

6. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang

menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu,

7. pyelonefritis karena stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media

pertumbuhan mikroorganisme (Sjamsuhidajat, 2005).

f. Pemeriksaan Diagnostic BPH

Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara

lain:

1. Pemeriksaan Fisik

a) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk

mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah

supra simfisis pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi

terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi

dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.

b) Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus,

striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.

c) Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis

d) Rectal touch/pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan

konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.

Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :

A. Derajat I = beratnya 20 gram.

B. Derajat II = beratnya antara 20-40 gram.

C. Derajat III = beratnya 40 gram.

2. Pemeriksaan Laboratorium

a) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar

gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.

b) Pemeriksaan urin lengkap.

c) Prostatik Spesific Antigen (PSA) penting diperiksa sebagai

kewaspadaan adanya keganasan.

d) Sedimen Urin

Page 10: Print Askep

Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi

saluran kemih..

e) Kultur Urin

Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus

menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang

diujikan.

3. Pemeriksaan Uroflowmetri

Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara

obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan

penilaian:

a) Flow rate maksimal 15 ml / dtk = non obstruktif.

b) Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.

c) Flow rate maksimal 10 ml / dtk = obstruktif.

4. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik

a. Buik Overzich (BOF): untuk melihat adanya batu dan metastase

pada tulang.

b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,

volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual

urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral

dan supra pubik.

Page 11: Print Askep

c. Systocopy

Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra

parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

g. Penanganan BPH

Jenis penanganan pada pasien dengan tumor prostat tergantung pada

berat dan gejala kliniknya. Berat deratajat klinik dibagi menjadi empat

gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan siasa volume urin.

Seperti yang tercantum dalam bagan berikut ini:

No Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin

1. I Penonjolan prostat, batas atas

mudah teraba

< 50 ml

2. II Penonjolan prostat jelas, batas

atas dapat dicapai

50-100 ml

3. III Batas atas prostat tidak dapat

diraba

> 100 ml

4. IV Batas atas prostat tidak dapat

diraba

Retensi urin total

Menurut Sjamsuhidayat & Jong (2002) penatalaksanaan BPH

menurut empat derajat BPH dar pemeriksaan colok dubur yaitu:

1. Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi

pengobatan konservatif.

Page 12: Print Askep

2. Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya

dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection/tur)

3. Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan

prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan

pembedahan terbuka, melalui trans vesikal retropubik/perianal

4. Derajat empat tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari

retensi urine total dengan pemasangan kateter.

Modalitas terapi BPH adalah:

1. Observasi

Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian

setiap tahun tergantung keadaan klien.

2. Medikamentosa

Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang,

dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari:

phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll),

gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.

3. Pembedahan

Indikasi pembedahan pada BPH adalah :

a) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin

akut.

b) Klien dengan residual urin 100 ml.

c) Terapi medikamentosa tidak berhasil.

d) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.

Pembedahan dapat dilakukan dengan :

a. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90 - 95%)

b. Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy

c. Perianal Prostatectomy

d. Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy

4. Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi,

Terapi Ultrasonik.

Page 13: Print Askep

h. Pathway

Page 14: Print Askep

2.2 Kegel Exercise

a. Definisi Kegel Exercise

Kegel exercise (pelvic muscle exercise) adalah salah satu intervensi

promosi kesehatan yang dapat dilakukan pada laki-laki dan perempuan yang

memiliki resiko tinggi atau yang memiliki inkontinensia urin (Miller, 2004).

A. H. Kegel adalah seorang gynecologist yang ahli dalam terapi postpartum

yang memperkenalkan latihan otot pelvis di akhir 1940an. Variasi latihan ini

juga digunakan untuk meningkatkan kenikmatan seksual selain mengontrol

inkontinensia. Latihan ini biasanya dikombinasikan dengan intervensi lain

seperti biofeedback, behavioral training, atau stimulasi listrik otot dasar

panggul (pelvic floor electrical stimulation).

Kegel Exercise melibatkan kontraksi dan relaksasi secara sadar otot

dasar pelvic, menguatkan otot-otot dasar pelvic yang menyokong urethra,

kandung kemih, uterus dan rectum (Wallace & Frahm, 2009).

b. Tujuan Kegel Exercise

Pasien pasca prostatectomy mengalami kelemahan sebagian besar organ

pelvic di urethra khususnya sekitar urethtra sfingter eksterna. Latihan otot

dasar pelvic atau Kegel’s exercise yang dilakukan dengan benar dapat

menguatkan otot tersebut, meningkatkan resistensi urethtra, dan disertai

dengan penggunaan otot secara sadar oleh pasien untuk mencegah dribbling

pasca prostatectomy (Baum, 2003). Membantu mereka yang mengalami

kesulitan mengendalikan buang air kecil (urinary incontinence) pada

periode akhir kehamilan dan setelah melahirkan ataupun masalah

incontinensia selain ibu hamil dan melahirkan (Chopra, 2006). Selain itu

juga untuk mengatasi urgo incontinence / inkontinensia urgensi (keinginan

berkemih yang sangat kuat sehingga tidak dapat mencapai toilet tepat pada

waktunya).

c. Indikasi

a) Klien yang dilakukan pemasangan kateter cukup lama

Page 15: Print Askep

b) Klien yang akan di lakukan pelepasan dower kateter

c) Klien yang mengalami inkontensia retentio urinea

d) Klien post operasi.

Kekuatan otot dasar pelvic dapat melemah,hal ini dapat disebabkan oleh

beberapa operasi yang dijalankan pasien khususnya operasi prostat dengan

besar kelenjar >100 gr.

d. Kontraindikasi

a) Sistitis berat

b) Pielonefritis

c) Gangguan/kelainan uretra

d) Hidronefrosis

e) Vesicourethral reflux

f) Batu traktus urinarius

g) Penderita tidak kooperatif

h) Bladder penuh

e. Teknik Kegel Exercise

Ketepatan latihan Kegel Exercise adalah menggunakan latihan otot

yang tepat. Pasien dapat melatih otot dasar pelvic yang tepat yaitu dengan

mempraktekkan teknik dasar latihan Kegel Exercise seperti menghentikan

laju urin ketika miksi berlangsung. Teknik ini menggunakan peran serta

terapis, yaitu terapis memasukan salah satu ujung jari kedalam anus pasien.

Pasien dianjurkan untuk menekan rectum dalam-dalam sehingga rectum

terasa tertarik kedalam atau pasien membayangkan dirinya sedang menahan

buang air besar. Ujung jari terapis akan terasa terikat oleh sfingter ani, hal

ini menandakan psien berhasil mendapatkan latihan dasar penguatan otot

dasar pelvic dianjurkan otot paha, otot abdomen dan otot gluteus tidak ikut

berkontraksi (Memorial Hospital, 2009).

Hoeman (2002) menjelaskan dalam melakukan latihan Kegel

Exercise dapat dilakukan dengan berbagai macam cara,diantaranya pasien

Page 16: Print Askep

dapat membayangkan dirinya ketika ingin melakukan buang gas tetapi malu

untuk melakukannya. Pasien dianjurkan untuk menahannya sejenak,

sehingga tidak sadar pasien sudah menggunakan otot dasar pelvic.

f. Procedure Kegel Exercise

Teknik penyempurnaan dalam Kegel Exercise adalah pastikan otot

yang digunakan pasien sudah benar, kosongkan kandung kemih atau latihan

ini dilakukan setelah pasien melakukan urinisasi, posisikan tubuh

duduk/berdiri, lakukan latihan Kegel Exercise, dalam melakukan latihan

usahakan pasien melakukan latihan interval setiap 5 detik, dengan 4 sampai

5 latihan, tahan untuk setiap latihan 10 detik, lakukan istirahat sejenak selam

10 detik antara latihan 1 dan 2 dan begitu selanjutnya. Khusus pada pasien

operasi prostatectomy dianjurkan melakukan Kegel Exercise dengan

kontraksi minimal 100-200 otot dasar pelvic (Memorial Hospital, 2009).

Standart operasional procedure (SOP) senam Kegel Exercise:

1. Melakukan cuci tangan

2. Mengucapkan salam

3. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien

4. Menciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau

tirai ruangan

5. Mengatur posisi pasien yang nyaman (posisi duduk atau berbaring)

6. Memakai sarung tangan

7. Anjurkan pasien mengontraksikan otot panggul dengan cara yang sama

ketika menahan kencing atau buang angin (pasien harus dapat

merasakan otot panggul) meremasakan uretra dan anus

8. Bila otot perut atau pantat juga mengeras maka pasien tidak berlatih

dengan benar.

9. Bila pasien sudah menemukan cara yang tepat untuk mengontraksikan

dalam hitungan (1-10) atau selama 10 detik, kemudian istirahat selama

10 detik.

10. Lakukan latihan berulang-ulang sampai 10-15 kali persesi latihan.

Page 17: Print Askep

11. Latihan ini dilakukan 2-3 kali sehari.

12. Anjurkan pasien untuk minum (200-250 cc)

13. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam

14. Lepaskan sarung tangan dan merapikan semua peralatan.

Terminasi setelah melakukan kegiatan adalah :

1. Setelah waktu latihan senam kegel sudah cukup, pasien diberi tahu untuk

mengakhiri latihan.

2. Pasien dipersilahkan untuk istirahat.

3. Latihan senam kegel tidak perlu lama,tetapi harus rutin.

g. Posisi Kegel Exercise

Berbagai posisi latihan otot dasar pelvic bagi pria antara lain :

1. Saat posisi berdiri

Berdiri dengan ke dua kaki, kemudian cobalah untuk melakukan

kontraksi pada otot dasar pelvic seperti saat anda mencoba menahan

buang angin. Jika dilihat didepan cermin pangkal penis dan skrotum

akan naik keatas mendekat kea rah abdomen. Tahan kontraksi ini

sesuai kemampuan tanpa menahan nafas dan tanpa mengencangkan

otot-otot buttock.

a. Lakukan kontraksi tersbut sebanyak 3 kali dengan lama waktu

menahan selam 10 detik.

b. Lakukan latihan ini dipagi hari

2. Saat posisi duduk

Duduklah dikursi dengan posisi kedua lutut terpisah. Kemudian

cobalah untuk melakukan kontraksi pada otot dasar pelvic seperti saat

anda menahan buang angin. Tahan kontraksi ini sesuai dengan

kemampuan tanpa menahan nafas dan tanpa mengencangkan otot

buttocks

a. Lakukan kontraksi tersebut sebanyak 3 kali dengan lama waktu

menahan selam 10 detik.

b. Lakukan latihan ini dipagi dan sore hari

3. Saat posisi berbaring

Page 18: Print Askep

Posisikan tubuh tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk tanpa

saling berdekatan. Kemudian cobalah untuk melakukan kontraksi pada

otot dasar pelvic seperti saat anda menahan buang angin. Tahan

kontraksi ini sesuai dengan kemampuan tanpa menahan nafas dan

tanpa mengencangkan otot buttocks.

a. Lakukan kontraksi tersbut sebanyak 3 kali dengan lama waktu

menahan selam 10 detik.

b. Lakukan latihan ini dipagi dan sore hari

4. Saat berjalan

Otot dasar pelvic dilatih dengan menarik secara lembut otot dasar

pelvic saat berjalan

5. Setelah berkemih

Pasien melakukan kegel exercise dengan cara menarik sekuat-kuatnya

otot dasar pelvic setelah berkemih. Latihan ini akan membantu

menguatkan otot dasar pelvic (Dorey, 2008).

Page 19: Print Askep

BAB IV. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis

dan Nanda. Yogyakarta: Mediaction.

Corwin, E. J. 2000. Buku Saku Pathofisiologi, Editor Endah P. Jakarta: EGC.

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G. 2000. Rencana Asuhan

Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian

Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.

Elin, Y. 2011. ISO Farmakologis. Jakarta: ISFI.

Engram, B. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Jong, et al. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Lab /UPF Ilmu Bedah. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya:

Fakultas Kedokteran Airlangga/RSUD. dr. Soetomo.

Price, S. A., & Wilson, L. M., 2005, Pathofsiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit, Alih Bahasa: Editor Caroline Wijaya, Edisi 4. Jakarta: EGC.

Purnomo, B. B. 2000. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Info Medika.

Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.

Brunner & Suddarth, Editor Suzane, C. S., Brenda, G. B., Edisi 8. Jakarta:

ECG