Print Askep
-
Upload
luluk-minarsih -
Category
Documents
-
view
3 -
download
1
description
Transcript of Print Askep
ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN. S (65 TAHUN) DENGAN BPH,
RETENSI URINE DAN ISK DI RUANG MAWAR
RSD DR. SOEBANDI JEMBER
OLEH :
KELOMPOK 2
1. Mashuda Adi Sunanto 092311101018
2. Yeni Kristi Komalia 092311101032
3. Velina Silviyani 092311101044
4. Luluk Minarsih 092311101051
5. Rozy Yudha Yudistira 092311101071
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu keadaan dimana
prostat mengalami pembesaran memanjang ke atas ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra (Smeltzer
& Bare, 2002). Di dunia, diperkirakan jumlah penderita BPH sebesar 30 juta,
jumlah ini hanya pada kaum pria karena wanita tidak mempunyai kalenjar
prostat (emedicine, 2009). Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari setengah
(50%) pada laki laki usia 60-70 th mengalami gejala BPH dan antara usia 70-
90 th sebanyak 90% mengalami gejala gejala BPH (Suharyanto & Abdul,
2009). Menurut persebaran usia, insidensi kasus BPH bervariasi, pada usia
40-an, kemungkinan seseorang menderita penyakit ini sebesar 40%, dan
seiring meningkatnya usia, dalam rentang usia 60-70 tahun, persentasenya
meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya
bisa sehingga 90%. Akan tetapi, jika di lihat secara histology penyakit BPH,
secara umum sejumlah 20% pria pada usia 40-an, dan meningkat pada pria
berusia 60-an, dan 90% pada usia 70 (A.K. Abbas, 2005).
Di Indonesia, BPH menjadi urutan kedua setelah penyakit batu saluran
kemih, dan secara umum, diperkirakan hampir 50% pria Indonesia yang
berusia di atas 50 tahun ditemukan menderita BPH. Oleh karena itu, jika
dilihat, dari 200 juta lebih rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan 100 juta
adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira sejumlah 5
juta, maka dapat dinyatakan kira-kira 2,5 juta pria Indonesia menderita
penyakit (Purnomo, 2009). Pada banyak pasien dengan usia diatas 50 tahun,
kelenjar prostatnya mengalami pembesaran, memanjang ke atas kedalam
kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan menutupi orifisium uretra.
Kondisi ini dikenal sebagai hiperplasia prostatik jinak (BPH), pembesaran,
atau hipertrofi prostat. Kondisi ini penyebab kedua yang paling sering untuk
intervensi medis pada pria di atas usia 60 tahun (Brunner & Suddarth, 2002).
Transuretral Resection of The Prostate (TURP) merupakan salah satu
tindakan pembedahan untuk mengatasi obstruksi pada saluran kemih akibat
BPH. TURP merupakan tindakan pembedahan via endoscopy transuretral
tanpa melakukan pembedahan atau insisi terbuka.
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
Benigna Prostat Hiperplasi sebelum dan setelah dilakukan operasi.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Benigna Prostat Hiperplasi (BPH)
a. Pengertian Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) adalah suatu keadaan dimana
prostat mengalami pembesaran memanjang ke atas ke dalam kandung kemih
dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi orifisium uretra (Smeltzer &
Bare, 2002). Benigna Prostat Hiperplasia adalah suatu kondisi yang sering
terjadi sebagai hasil dari pertumbuhan pengendalian hormon prostat (Elin,
2011). BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D,
2000).
Kesimpulannya BPH adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran memanjang ke atas ke
dalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara menutupi
orifisium uretra.
b. Etiologi Benigna Prostat Hiperplasia (BPH)
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasi prostat adalah:
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut.
2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan.
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang
belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung
pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH
adalah proses penuaan.
c. Patofisiologi BPH
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak
di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya
sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram.
Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dari bukunya Purnomo (2000),
membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer,
zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior dan periuretra
(Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005), menyebutkan bahwa pada usia
lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi
estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini
sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar
prostat hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan
bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara
langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada
traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan patofisiologi yang
disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh kombinasi
resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika serta
kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh
sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem
simpatis.
Tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi
resistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian
detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih
kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam
kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut
trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat
aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang
besar disebut divertikel.
Fase penebalan detrusor ini disebut fase kompensasi otot dinding
kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan
akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk
berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Hiperplasi prostat digolongkan
dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan
detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi
terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes
pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala
iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun belum penuh atau dikatakan sebagai hipersensitivitas otot
detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency,
disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria
tidak mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih
tinggi dari tekanan sfingter dan terjadi obstruksi sehingga berlanjut terjadi
inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi ureter dan ginjal, maka
ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius
bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus
mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intra
abdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang mengendap. Keluhan
yang sering terjadi yaitu iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang
dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan
pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
d. Tanda dan Gejala BPH
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda
gejala yaitu obstruksi dan iritasi.
1. Gejala Obstruktif yaitu :
a) Hesitansi yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-
buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b) Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang disebabkan
karena ketidakmampuan otot destrussor dalam pempertahankan
tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c) Terminal dribling yaitu menetesnya urine pada akhir kencing.
d) Pancaran lemah: kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran destrussor
memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di uretra.
e) Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil dan terasa belum
puas.
2. Gejala Iritasi yaitu:
a) Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
b) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat
terjadi pada malam hari (nokturia) dan pada siang hari.
c) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi
4 stadium yaitu:
a) Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine
sampai habis.
b) Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine
walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa
tidak enak BAK atau disuria dan menjadi nokturia.
c) Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
d) Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine
menetes secara periodik (over flow inkontinen).
e. Komplikasi BPH
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain:
1. dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati
prostat.
2. infeksi saluran kemih
3. apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal (Corwin, 2000).
4. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
yang akan menimbulkan
5. hernia dan hemoroid akibat peningkatan tekanan intra abdomen.
6. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang
menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu,
7. pyelonefritis karena stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme (Sjamsuhidajat, 2005).
f. Pemeriksaan Diagnostic BPH
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara
lain:
1. Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk
mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah
supra simfisis pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi
terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin.
b) Penis dan uretra untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus,
striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis.
c) Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis
d) Rectal touch/pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan
konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat.
Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
A. Derajat I = beratnya 20 gram.
B. Derajat II = beratnya antara 20-40 gram.
C. Derajat III = beratnya 40 gram.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar
gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
b) Pemeriksaan urin lengkap.
c) Prostatik Spesific Antigen (PSA) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
d) Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih..
e) Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang
diujikan.
3. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian:
a) Flow rate maksimal 15 ml / dtk = non obstruktif.
b) Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c) Flow rate maksimal 10 ml / dtk = obstruktif.
4. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a. Buik Overzich (BOF): untuk melihat adanya batu dan metastase
pada tulang.
b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli-buli termasuk residual
urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral
dan supra pubik.
c. Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.
g. Penanganan BPH
Jenis penanganan pada pasien dengan tumor prostat tergantung pada
berat dan gejala kliniknya. Berat deratajat klinik dibagi menjadi empat
gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan siasa volume urin.
Seperti yang tercantum dalam bagan berikut ini:
No Derajat Colok Dubur Sisa Volume Urin
1. I Penonjolan prostat, batas atas
mudah teraba
< 50 ml
2. II Penonjolan prostat jelas, batas
atas dapat dicapai
50-100 ml
3. III Batas atas prostat tidak dapat
diraba
> 100 ml
4. IV Batas atas prostat tidak dapat
diraba
Retensi urin total
Menurut Sjamsuhidayat & Jong (2002) penatalaksanaan BPH
menurut empat derajat BPH dar pemeriksaan colok dubur yaitu:
1. Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberi
pengobatan konservatif.
2. Derajat dua merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya
dianjurkan reseksi endoskopik melalui uretra (trans urethral resection/tur)
3. Derajat tiga reseksi endoskopik dapat dikerjakan, bila diperkirakan
prostate sudah cukup besar, reseksi tidak cukup 1 jam sebaiknya dengan
pembedahan terbuka, melalui trans vesikal retropubik/perianal
4. Derajat empat tindakan harus segera dilakukan membebaskan klien dari
retensi urine total dengan pemasangan kateter.
Modalitas terapi BPH adalah:
1. Observasi
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian
setiap tahun tergantung keadaan klien.
2. Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang,
dan berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari:
phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll),
gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a) Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin
akut.
b) Klien dengan residual urin 100 ml.
c) Terapi medikamentosa tidak berhasil.
d) Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a. TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat 90 - 95%)
b. Retropubic Atau Extravesical Prostatectomy
c. Perianal Prostatectomy
d. Suprapubic Atau Tranvesical Prostatectomy
4. Alternatif lain (misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi,
Terapi Ultrasonik.
h. Pathway
2.2 Kegel Exercise
a. Definisi Kegel Exercise
Kegel exercise (pelvic muscle exercise) adalah salah satu intervensi
promosi kesehatan yang dapat dilakukan pada laki-laki dan perempuan yang
memiliki resiko tinggi atau yang memiliki inkontinensia urin (Miller, 2004).
A. H. Kegel adalah seorang gynecologist yang ahli dalam terapi postpartum
yang memperkenalkan latihan otot pelvis di akhir 1940an. Variasi latihan ini
juga digunakan untuk meningkatkan kenikmatan seksual selain mengontrol
inkontinensia. Latihan ini biasanya dikombinasikan dengan intervensi lain
seperti biofeedback, behavioral training, atau stimulasi listrik otot dasar
panggul (pelvic floor electrical stimulation).
Kegel Exercise melibatkan kontraksi dan relaksasi secara sadar otot
dasar pelvic, menguatkan otot-otot dasar pelvic yang menyokong urethra,
kandung kemih, uterus dan rectum (Wallace & Frahm, 2009).
b. Tujuan Kegel Exercise
Pasien pasca prostatectomy mengalami kelemahan sebagian besar organ
pelvic di urethra khususnya sekitar urethtra sfingter eksterna. Latihan otot
dasar pelvic atau Kegel’s exercise yang dilakukan dengan benar dapat
menguatkan otot tersebut, meningkatkan resistensi urethtra, dan disertai
dengan penggunaan otot secara sadar oleh pasien untuk mencegah dribbling
pasca prostatectomy (Baum, 2003). Membantu mereka yang mengalami
kesulitan mengendalikan buang air kecil (urinary incontinence) pada
periode akhir kehamilan dan setelah melahirkan ataupun masalah
incontinensia selain ibu hamil dan melahirkan (Chopra, 2006). Selain itu
juga untuk mengatasi urgo incontinence / inkontinensia urgensi (keinginan
berkemih yang sangat kuat sehingga tidak dapat mencapai toilet tepat pada
waktunya).
c. Indikasi
a) Klien yang dilakukan pemasangan kateter cukup lama
b) Klien yang akan di lakukan pelepasan dower kateter
c) Klien yang mengalami inkontensia retentio urinea
d) Klien post operasi.
Kekuatan otot dasar pelvic dapat melemah,hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa operasi yang dijalankan pasien khususnya operasi prostat dengan
besar kelenjar >100 gr.
d. Kontraindikasi
a) Sistitis berat
b) Pielonefritis
c) Gangguan/kelainan uretra
d) Hidronefrosis
e) Vesicourethral reflux
f) Batu traktus urinarius
g) Penderita tidak kooperatif
h) Bladder penuh
e. Teknik Kegel Exercise
Ketepatan latihan Kegel Exercise adalah menggunakan latihan otot
yang tepat. Pasien dapat melatih otot dasar pelvic yang tepat yaitu dengan
mempraktekkan teknik dasar latihan Kegel Exercise seperti menghentikan
laju urin ketika miksi berlangsung. Teknik ini menggunakan peran serta
terapis, yaitu terapis memasukan salah satu ujung jari kedalam anus pasien.
Pasien dianjurkan untuk menekan rectum dalam-dalam sehingga rectum
terasa tertarik kedalam atau pasien membayangkan dirinya sedang menahan
buang air besar. Ujung jari terapis akan terasa terikat oleh sfingter ani, hal
ini menandakan psien berhasil mendapatkan latihan dasar penguatan otot
dasar pelvic dianjurkan otot paha, otot abdomen dan otot gluteus tidak ikut
berkontraksi (Memorial Hospital, 2009).
Hoeman (2002) menjelaskan dalam melakukan latihan Kegel
Exercise dapat dilakukan dengan berbagai macam cara,diantaranya pasien
dapat membayangkan dirinya ketika ingin melakukan buang gas tetapi malu
untuk melakukannya. Pasien dianjurkan untuk menahannya sejenak,
sehingga tidak sadar pasien sudah menggunakan otot dasar pelvic.
f. Procedure Kegel Exercise
Teknik penyempurnaan dalam Kegel Exercise adalah pastikan otot
yang digunakan pasien sudah benar, kosongkan kandung kemih atau latihan
ini dilakukan setelah pasien melakukan urinisasi, posisikan tubuh
duduk/berdiri, lakukan latihan Kegel Exercise, dalam melakukan latihan
usahakan pasien melakukan latihan interval setiap 5 detik, dengan 4 sampai
5 latihan, tahan untuk setiap latihan 10 detik, lakukan istirahat sejenak selam
10 detik antara latihan 1 dan 2 dan begitu selanjutnya. Khusus pada pasien
operasi prostatectomy dianjurkan melakukan Kegel Exercise dengan
kontraksi minimal 100-200 otot dasar pelvic (Memorial Hospital, 2009).
Standart operasional procedure (SOP) senam Kegel Exercise:
1. Melakukan cuci tangan
2. Mengucapkan salam
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur tindakan pada klien
4. Menciptakan lingkungan yang nyaman dengan menutup ruangan atau
tirai ruangan
5. Mengatur posisi pasien yang nyaman (posisi duduk atau berbaring)
6. Memakai sarung tangan
7. Anjurkan pasien mengontraksikan otot panggul dengan cara yang sama
ketika menahan kencing atau buang angin (pasien harus dapat
merasakan otot panggul) meremasakan uretra dan anus
8. Bila otot perut atau pantat juga mengeras maka pasien tidak berlatih
dengan benar.
9. Bila pasien sudah menemukan cara yang tepat untuk mengontraksikan
dalam hitungan (1-10) atau selama 10 detik, kemudian istirahat selama
10 detik.
10. Lakukan latihan berulang-ulang sampai 10-15 kali persesi latihan.
11. Latihan ini dilakukan 2-3 kali sehari.
12. Anjurkan pasien untuk minum (200-250 cc)
13. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin berkemih setelah 1 jam
14. Lepaskan sarung tangan dan merapikan semua peralatan.
Terminasi setelah melakukan kegiatan adalah :
1. Setelah waktu latihan senam kegel sudah cukup, pasien diberi tahu untuk
mengakhiri latihan.
2. Pasien dipersilahkan untuk istirahat.
3. Latihan senam kegel tidak perlu lama,tetapi harus rutin.
g. Posisi Kegel Exercise
Berbagai posisi latihan otot dasar pelvic bagi pria antara lain :
1. Saat posisi berdiri
Berdiri dengan ke dua kaki, kemudian cobalah untuk melakukan
kontraksi pada otot dasar pelvic seperti saat anda mencoba menahan
buang angin. Jika dilihat didepan cermin pangkal penis dan skrotum
akan naik keatas mendekat kea rah abdomen. Tahan kontraksi ini
sesuai kemampuan tanpa menahan nafas dan tanpa mengencangkan
otot-otot buttock.
a. Lakukan kontraksi tersbut sebanyak 3 kali dengan lama waktu
menahan selam 10 detik.
b. Lakukan latihan ini dipagi hari
2. Saat posisi duduk
Duduklah dikursi dengan posisi kedua lutut terpisah. Kemudian
cobalah untuk melakukan kontraksi pada otot dasar pelvic seperti saat
anda menahan buang angin. Tahan kontraksi ini sesuai dengan
kemampuan tanpa menahan nafas dan tanpa mengencangkan otot
buttocks
a. Lakukan kontraksi tersebut sebanyak 3 kali dengan lama waktu
menahan selam 10 detik.
b. Lakukan latihan ini dipagi dan sore hari
3. Saat posisi berbaring
Posisikan tubuh tidur terlentang dengan kedua lutut ditekuk tanpa
saling berdekatan. Kemudian cobalah untuk melakukan kontraksi pada
otot dasar pelvic seperti saat anda menahan buang angin. Tahan
kontraksi ini sesuai dengan kemampuan tanpa menahan nafas dan
tanpa mengencangkan otot buttocks.
a. Lakukan kontraksi tersbut sebanyak 3 kali dengan lama waktu
menahan selam 10 detik.
b. Lakukan latihan ini dipagi dan sore hari
4. Saat berjalan
Otot dasar pelvic dilatih dengan menarik secara lembut otot dasar
pelvic saat berjalan
5. Setelah berkemih
Pasien melakukan kegel exercise dengan cara menarik sekuat-kuatnya
otot dasar pelvic setelah berkemih. Latihan ini akan membantu
menguatkan otot dasar pelvic (Dorey, 2008).
BAB IV. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan Nanda. Yogyakarta: Mediaction.
Corwin, E. J. 2000. Buku Saku Pathofisiologi, Editor Endah P. Jakarta: EGC.
Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G. 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Elin, Y. 2011. ISO Farmakologis. Jakarta: ISFI.
Engram, B. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
Jong, et al. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Lab /UPF Ilmu Bedah. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Surabaya:
Fakultas Kedokteran Airlangga/RSUD. dr. Soetomo.
Price, S. A., & Wilson, L. M., 2005, Pathofsiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Alih Bahasa: Editor Caroline Wijaya, Edisi 4. Jakarta: EGC.
Purnomo, B. B. 2000. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: CV Info Medika.
Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Brunner & Suddarth, Editor Suzane, C. S., Brenda, G. B., Edisi 8. Jakarta:
ECG