Filsum Print

79
FILSAFAT KONTEMPORER DAN FILSAFAT POSMODERNISME Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur Mata Kuliah Filsafat Umum Dosen pengampu : Dr. Anda Juanda, M. Pd. Disusun oleh Anggit Aprilliani Firman Nurmukhlis Rina Anggraeni Dewi Surati Tursilawati Biologi B / Semester VI KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI 1

Transcript of Filsum Print

Page 1: Filsum Print

FILSAFAT KONTEMPORER DAN

FILSAFAT POSMODERNISME

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur

Mata Kuliah Filsafat Umum

Dosen pengampu : Dr. Anda Juanda, M. Pd.

Disusun oleh

Anggit Aprilliani

Firman Nurmukhlis

Rina Anggraeni Dewi

Surati

Tursilawati

Biologi B / Semester VI

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SYEKH NURJATI

CIREBON

2013

1

Page 2: Filsum Print

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

kemudahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat

Kontemporer dan Posmodernisme” untuk memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Filsafat

Umum.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Anda Juanda, M. Pd. selaku dosen

pengampu mata kuliahy Filsafat Umum ang telah memberikan bimbingan dan arahan

kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini. Dan tak lupa penulis ucapkan terima

kasih kepada teman-teman dan pihak-pihak lain yang turut serta membantu dalam

menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan.

Penulis mengharapkan kepada teman-teman untuk bersedia memberikan kritik dan

sarannya menyangkut pembuatan makalah ini, sebagai bahan pertimbangan untuk

membuat makalah selanjutnya. Namun demikian, penulis sudah berusaha menyajikan

makalah ini dengan sebaik mungkin. Semoga makalah ini bermanfaat untuk pembaca,

peminat keilmuan dan calon penulis di masa mendatang.

Cirebon, Februari 2013

Penulis

2

Page 3: Filsum Print

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah........................................................................................ 2

C. Tujuan Penulisan Makalah ......................................................................... 2

BAB II FILSAFAT KONTEMPORER DAN FILSAFAT POSMODERNISME

A. FILSAFAT KONTEMPORER ............................................................... 3

B. PRAGMATISME....................................................................................... 3

1. Terminologi Pragmatisme .................................................................... 3

2. Tokoh-Tokoh, ajaran dan karya filosofis Pragmatisme ......................... 4

3. Sumbangan Filsafat Pragmatisme terhada

Ilmu Pengetahuan Masa Kini .................................................................. 7

C. EKSISTENSIALISME............................................................................. 8

1. Tokoh dan ajaran filsafat eksistensialisme .......................................... 9

2. Sumbangan Filsafat Eksistensialisme

Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa Kini ............................................... 18

D. FENOMENOLOGI ................................................................................ 18

1. Pengertian ............................................................................................... 18

2. Riwayat hidup tokoh ............................................................................. 19

3. Ajaran dan karya kefilsafatannya........................................................... 19

4. Sumbangan fenomenologi terhadap ilmu masa kini .............................. 22

E. POSTMODERNISME ............................................................................. 25

1. Pengertian .............................................................................................. 25

2. Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme............................................. 25

3. Tokoh Dan Ajaran Filsafat Postmodernisme.......................................... 27

4. Fenomena faktual Posmodernisme ........................................................ 33

5. Sumbangsih Filsafat Postmodernisme ................................................. 34

6. Keunggulan Dan Kekurangan Filsafat Postmodernisme ....................... 39

BAB III KESIMPULAN.......................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA

3

Page 4: Filsum Print

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran

ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya

berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap

perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah

perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan

zaman kontemporer.

Begitu pula dengan filsafat, dalam perkmbangannya filsafat dibagi menjadi 4

babakan yakni Filsafat klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM

dan berakhir pada 529 M dominasi oleh rasionalisme. Filsafat abad pertengahan

meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada

abad ke-15 M didominasi dengan doktrin-doktrin agama Kristen. Filsafat modern dan

filsafat kontemporer yang didominasi kritik terhadap filsafat modern.

Pada tahun 1880-an Nietzsche menyatakan bahwa budaya Barat telah berada di

pinggir jurang kehancuran karena terlalu mendewakan rasio. Hingga pada tahun 1990-

an Capra menyatakan bahwa budaya Barat telah hancur juga karena terlalu

mendewakan rasio. Rasionalisme Filsafat modern perlu di dekonstruksi karena ia

Filsafat yang keliru dan juga keliru cara penggunaannya, akibatnya budaya Barat

menjadi hancur (Tafsir, 2009 : 257).

Renaisans yang secara berlebihan mendewakan rasio manusia. Mencerminkan

kelemahan manusia modern. Akibatnya timbulah kecenderungan untuk menyisihkan

seluruh nilai dan norma yang berdasarkan agama dalam memandang kenyataan hidup,

sehingga manusia modern yang mewarisi sikap positivistik cenderung menolak

keterkaitan antara substansi jasmani dan rohani manusia, mereka juga menolak adanya

hari akhirat, akibatnya manusia terasing tanpa batas.

Pada zaman kita hidup saat ini dikenal dengan zaman postmodern dimana

perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan sangat pesat. Seluruh pengembangan

tersebut bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kelancaran manusia dalam

melakukan aktivitasnya sehari-hari. Pemikiran pada periode ini memfokuskan diri

pada teori kritis yang berbasis pada kemajuan dan emansipasi. Kemajuan dan

4

Page 5: Filsum Print

emansipasi adalah dua hal yang saling berkaitan, seperti yang dinyatakan oleh

Habermas bahwa keberadaan demokrasi ditunjang oleh sains dan teknologi.

Dalam makalah ini penulis akan kemukakan sejarah munculnya filsafat

kontemporer dan filsafat postmodern sebagai ‘isme’ yang mengritik modernitas, juga

akan dipaparkan beberapa tokoh pada periode ini, ajarana-ajaran pokok dan

sumbangih pemikirannya terhadap ilmu pengetahuan masa kini..

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, rumusan

masalahnya adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah munculnya filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?

2. Apa yang dimaksud dengan Pragmatisme, Eksistensialisme, Fenomenologi dan

Posmodernisme?

3. Siapa tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?

4. Apa ajaran dan karya dari tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?

5. Apa sumbangan filsafat Kontemporer dan Posmodernisme terhadap ilmu

pengetahuan masa kini?

6. Apa kelebihan dan kekurangan dari filsafat Posmodernisme?

C. Tujuan Penulisan Makalah

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui sejarah munculnya filsafat Kontemporer dan Posmodernisme?

2. Mengetahui pengertian Pragmatisme, Eksistensialisme, Fenomenologi dan

Posmodernisme?

3. Mengetahui tokoh filsafat Kontemporer dan Posmodernism

4. Mengetahui Mengetahui ajaran dan karya dari tokoh filsafat Kontemporer dan

Posmodernisme?

5. Mengetahui sumbangan filsafat Kontemporer dan Posmodernisme terhadap ilmu

pengetahuan masa kini?

6. Mengetahui kelebihan dan kekurangan dari filsafat Posmodernisme?

5

Page 6: Filsum Print

BAB II

FILSAFAT KONTEMPORER DAN FILSAFAT POSMODERNISME

A. FILSAFAT KONTEMPORER

Filsafat kontemporer yang di awali pada awal abad ke-20, ditandai oleh variasi

pemikiran filsafat yang sangat beragam dan kaya. Mulai dari analisis bahasa,

kebudayaan (antara lain, Posmodernisme), kritik social, metodologi (fenomenologi,

heremeutika, strukturalisme), filsafat hidup (Eksistensialisme), filsafat ilmu, samapai

filsafat tentang perempuan (Feminisme). Tema-tema filsafat yang banyak dibahas oleh

para filsuf dari periode ini antara lain tentang manusia dan bahasa manusia, ilmu

pengetahuan, kesetaraan gender, kuasa dan struktur yang mengungkung hidup

manusia, dan isu-isu actual yang berkaitan dengan budaya, social, politik, ekonomi,

teknologi, moral, ilmu pengetahuan, dan hak asasi manusia.

Ciri lainnya adalah filsafat dewasa ini ditandai oleh profesionalisasi disiplin

filsafat. Maksudnya, para filsuf bukan hanya professional di bidang masing-masing,

tetapi juga mereka telah membentuk komunitas-komunitas dan asosiasi-asosiasi

professional dibidang-bidang tertentu berdasarkan pada minat dan keahlian mereka

masing-masing (Zaenal, 2011: 124).

Sejumlah filsuf sebagai filsuf-filsuf kontemporer antara lain adalah: Wilhelm

Dilthey (1833-1911), Edmund Husserl (1859-1938), Henri Bergson (1858-1941),

Ernst Cassirer (1874-1945), Bertrand Russell (1872-1970) dll.

B. PRAGMATISME

1. Terminologi Pragmatisme

Pragmatisme berasal dari kata “pragma” (bahasa Yunani) yang

berarti artinya adalah tindakan atau perbuatan. Pragmatisme adalah

aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran

sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan

nyata ( Hakim, dkk, 2008:319).

Pragmatism berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah

jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan.

Misalnya, beragama sebagai kebenaran, jika agama memberikan

kebahagiaan. Menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh

kenikmatan intelektual, mendapatkan gaji atau apapun yang bernilai

6

Page 7: Filsum Print

kuantitatif atau kualitatif. Sebaliknya jika memberikan

kemudharatan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran.

2. Tokoh-Tokoh, ajaran dan karya filosofis Pragmatisme

Pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders

Peirce (1839-1914), filosof Amerika yang yang pertama kali

menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi

pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates,

Aristoteles, Barkeley, dan Hume. Untuk mengetahui lebih jauh ajaran

pragmatisme alangka baiknya kita mempelajari tokoh-tokoh yang

menpopulerkan dan pandangannya :

a. C.S. Peirce (1839-1914)

Peirce, seorang

matematikus, fisikawan, filosof

pendiri aliran pragmatism,

dilahirkan di Cambrigde,

Massachausetts pada tahun 1839.

Peirce mendalami filsafat dan

logika hingga masa ia kerja pada

instansi survei panata dan

geodesi. Sebagai filosof yang

sistematik, tulisan-tulisan Peirce mencakup hampir segala aspek

filsafat.

Sumbangannya yang terbesar adalah dalam bidang logika,

tetapi ia juga secara luas menulis tentang epistimologi, metode

ilmiah, semiotics, metafisika, kosmologi, ontology, matematika dan

sedikit tentang etika, agama, sejarah, dan fenomenologi. Berbagai

buah pemikiran filsafatnya di dalam beberapa system yang

merupakan fase-fase perkembangan kematangannnya dalam olah

intelektual. Akan tetapi, semua itu menyatu dan menjadi konsep

yang utuh.

Karya-Karya Charles Sanders Pierce diantaranya :

7

Page 8: Filsum Print

1) Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by

Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard

University Press, Cambridge, Massachusetts, 1931-1958).

2) The Essential Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian

Kloesel, and the Peirce Edition Project (Indiana University Press,

Bloomington, Indiana, 1992, 1998).

3) The New Elements of Mathematics by Charles S. Peirce, Volume I

Arithmetic, Volume II Algebra and Geometry, Volume III/1 and

III/2 Mathematical Miscellanea, Volume IV Mathematical

Philosophy. Edited by Carolyn Eisele (Mouton Publishers, The

Hague, 1976).

Pierce banyak memberikan sumbangan pemikiran yang penting

bagi filsafat pragmatisme. Diantara sumbangan terpenting

pemikiran kefilsafatan pragmatisme pierce adalah theory of meaning

sebagai salah satu aspek epistimologi, khususnya implikasinya

dalam bahasa. Pragmatism berusaha menemukan asal mula serta

hakikat terdalam segala sesuatu merupakan kegiatan yang sangat

menarik, meskipun kegiatan tersebut luar biasa sulitnya.

Penganut pragmatism menaruh perhatian pada praktik. Mereka

memandang hidup manusia sebagai suatu perjuangan untuk hidup

yang berlangsung terus-menerus dan yang terpenting ialah

konsekuensi yang bersifat praktis. Konsekuensi tersebut erat sekali

hubungannya dengan makna dan kebenaran.

b. William James (1842-1910 M)

William James lahir di New York

pada tahun 1842 M, anak Henry

James, Sr. ayahnya adalah orang

yang terkenal, berkebudayaan

tinggi, pemikir yang kreatif. Selain

kaya, keluarganya memang

dibekali dengan kemampuan

8

Page 9: Filsum Print

intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme

dalam kehidupan serta mengembangkannya.

William James (1842-1910) adalah tokoh yang paling

bertanggung jawab yang membuat pragmatism menjadi terkenal

diseluruh dunia. William James mengatakan bahwa secara ringkas

pragmatism adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui (Tafsir,

Filsafat Umum: 190).

Pemikiran filsafatnya lahir karena dalam sepanjang hidupnya

ia mengalami konflik antara pandangan agam. Ia beranggapan

bahwa masalah kebenaran tentang asal tujuan dan hakikat bagi

orang Amerika adalah teoritis. James menginginkan hasil yang

kongkret (Muzairi,2009:141).

Dengan demikian, untuk mengetahui kebenaran dari ide atau

konsep haruslah diselidiki konsekuensi-konsekuensi praktisnya.

Kaitannya dengan agama, apabila ide-ide agama dapat memperkaya

kehidupan maka ide-ide itu benar.

Karya-karyanya antara lain, Tha Principles of Psychology

(1890), The Sentiment of Rationality (1879), The Dilemma of

Determinism (1884), The Will to Believe (1897), The Varietes of

Religious Experience (1902), Pragmatism (1907), The Meaning of

Truth (1909), dll. Karena terbitnya buku, Pragmatism (1907), The

Meaning of Truth (1909), gerakan pragmatism meluncur seolah-olah

akan menguasai filsafat abad ke-20. Pragmatism lebih banyak

disangkutkan dengan James daripada dengan Peirce sekalipun James

berhutang banyak pada Peirce dalam mengembangkan pragmatism

sebagai suatu metode. James memang berbeda dengan Peirce.

Peirce tidak bersedia menggunakan pragmatism dan filsafat

ilmiahnya pada masalah penting yang vital seperti maslah agama,

moral, atau kehidupan personal. Akan tetapi, justru disinilah filsafat

pragmatism James memfokuskan diri. Bagi James kepercayaan

bukanlah sekadar aturan-aturan bertindak atau idea yang

dengannya kita siap untuk bertindak. Kepercayaan adalah sesuatu

9

Page 10: Filsum Print

yang berguna di dalam membuat sesuatu terjadi, dalam membuat

sesuatu pasti benar (Tafsir, 2001:194).

c. John Dewey (1859-1952)

John Dewey adalah seorang filsuf dari

Amerika, pendidik dan pengkritik sosial

yang  lahir di Burlington, Vermont dalam

tahun 1859. Ia masuk ke Universitas

Vermont dalam tahun 1875 dan

mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian

melanjutkan kuliahnya di Universitas

Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884

ia meraih gelar doktornya dalam bidang

filsafat di universitas tersebut. Di

universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari

Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Ia

kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan

nama The Dewey School. Sebagai pengikut filsafat pragmatism, John

Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan

pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam

pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada

faedahnya. Oleh karena itu, filsafat harus berpijak pada pengalaman

dan mengolahnya secara praktis.

Menurutnya tak ada sesuatu yang tetap. Manusia senantiasa

bergerak dan berubah, jika mengalami kesulitan, segera berfikir

untuk mengatasi kesulitan itu. Oleh karena itu, berfikir merupakan

alat (instrumen) untuk bertindak. Kebenaran dari pengertian dapat

ditinjau dari berhasil tidaknya memengaruhi kenyataan, satu-

satunya cara yang dapat dipercaya untuk mengatur pengalaman

dan untuk mengetahui artinya yang sebenarnya adalah metode

induktif. Metode ini tidak hanya berlaku bagi ilmu pengetahuan

fisika, melainkan juga bagi persoalan-persoalan social dan moral

(Hakim, dkk, 2008: 321).

10

Page 11: Filsum Print

Karya-karya Dewey banyak mempengaruhi corak berpikir

Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau

karya-karya yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni

Psychology yang diterbitkan dalam tahun 1891. Dalam tahun 1891,

bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga tahun

kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia

berkarya di Universitas Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My

Pedagogic Creed (1897), The School and Society (1903), dan Logical

Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903), dll.

Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh

minat besar pada bidang logika, metafisika dan teori  pengatahuan.

Tetapi perhatian Dewey di bidang pragmatisme terutama dicurahkan

pada realitas sosial daripada kehidupan individual. Hal ini nampak

dalam tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama,

dan seni.

3. Sumbangan Filsafat Pragmatisme terhadap Ilmu

Pengetahuan Masa Kini

Diakui atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat

berpengaruh dalam pola pikir bangsa Amerika Serikat. Pengaruh

pragmatisme menjalar di segala aspek kehidupan, tidak terkecuali di

dunia pendidikan. Salah satu tokoh sentral yang sangat berjasa

dalam pengembangan pragmatisme pendidikan adalah John Dewey

(1859 – 1952). Pragmatisme Dewey merupakan sintensis pemikiran-

pemikiran Charles S. Pierce dan William James. Dewey mencapai

popularitasnya di bidang logika, etika epistemologi, filsafat, politik,

dan pendidikan. Tulisan ini sendiri selanjutnya akan

mendeskripsikan pemikiran John Dewey tentang pragmatisme

pendidikan misalnya, menitikberatkan pada penguasaan proses

berpikir kritis daripada metode hafalan materi pelajaran.

Filsafat tidak dapat dipisahkan dari pendidikan, karena filsafat

pendidikan merupakan rumusan secara jelas dan tegas membahas

problema kehidupan mental dan moral dalam kaitannya dengan

11

Page 12: Filsum Print

menghadapi tantangan dan kesulitan yang timbul dalam realitas

sosial dewasa ini. Problema tersebut jelas memerlukan pemecahan

sebagai solusinya. Pikiran dapat dipandang sebagai instrumen yang

dapat menyelesaikan problema dan kesulitan tersebut.

Sumbangan dari pragmatisme yang lain adalah dalam praktik

demokrasi. Dalam kondisi ini pragmatisme memfokuskan pada

kekuatan individu untuk meraih solusi kreatif terhadap masalah

yang dihadapi. Pandangan dan gagasan filsafat ilmu berkembang

dalam dialektika yang sangat dinamis. Hal ini karena berbagai

pemikiran baru muncul menggantikan konsep-konsep dan pikiran

lama.

C. EKSISTENSIALISME

Kata dasar eksistensi (existency) adalah exist yang berasal dari bahasa Latin ex

yang berarti keluar dan sistere yang berarti berdiri. Jadi, eksistensi adalah berdiri

dengan keluar dari diri sendiri. Artinya dengan keluar dari dirinya sendiri, manusia

sadar tentang dirinya sendiri. Ia berdiri sebagai “aku” atau pribadi. Pikiran semacam

ini dalam bahasa Jerman disebut dasein (da artinya di sana, sein artinya berada)

(Tafsir, 2009:218).

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil pengertian bahwa cara berada manusia

itu menunjukkan bahwa ia merupakan kesatuan dengan alam jasmani, ia satu susunan

dengan alam jasmani, manusia selalu mengkonstruksi dirinya, jadi ia tidak pernah

selesai. Dengan demikian, manusia selalu dalam keadaan membelum, ia selalu sedang

ini atau sedang itu (Tafsir, 1992:191)

Untuk lebih memberikan kejelasan tentang filsafat eksistensialisme ini, perlu

dibedakan dengan filsafat eksistensi. Filsafat eksistensi yaitu filsafat yang

menempatkan cara wujud manusia sebagai tema sentral. Sedangkan filsafat

eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menyatakan bahwa cara berada manusia

dan benda lain tidaklah sama. Manusia berada di dunia, sapi dan pohon juga, akan

tetapi cara beradanya tidaklah sama antar keduanya. Manusia berada di dalam dunia,

ia mengalami beradanya di dunia itu, manusia menyadari dirinya berada di dunia.

Manusia menghadapi dunia, menghadapi dengan mengerti yang dihadapinya itu.

Manusia mengerti guna pohon, batu dan salah satu di antaranya ialah ia mengerti

12

Page 13: Filsum Print

bahwa hidupnya mempunyai arti. Artinya bahwa manusia sebagai subyek. Subyek

artinya yang menyadari, yang sadar. Barang-barang yang disadarinya tersebut disebut

dengan obyek (Hasan, 1974:7)

Ciri-ciri aliran eksistensialisme meliputi:

1. Orang yang dinilai dan ditempatkan pada kenyataan sesungguhnya;

2. Orang yang berhubungan dengan dunia yang ada;

3. Manusia merupakan satu kesatuan sebelum ada perpisahan antara jiwa dan

badan;

4. Orang berhubungan dengan segala sesuatu yang ada.

1. Tokoh dan ajaran filsafat eksistensialisme

Tokoh-tokoh pada aliran Eksistensialisme diantaranya: Sooren

Kierkegaard (1815-1855), Martin Haidegger (1889-1976), Karr

Jaspers (1883-1969). Ketiganya ini berasal dari Jerman, sedang

tokoh dari Prancis adalah Gabriel Marcel (1889-1973), Jean Paul

Sartre (1905-1980) dan masih banyak lagi diantaranya Albert Camus

dan Simon Beauvoirh.

a. Søren Aabye Kierkegaard

Søren Aabye Kierkegaard

adalah seorang filsuf pada abad

ke-19. Dia lahir pada tanggal 5

Mei 1813 di Kopenhagen,

Denmark dan meninggal dunia

tanggal 11 November 1855 saat

berumur 42 tahun.  saat ini soren

dianggap sebagai bapak filsuf eksistensialisme. Ajarannya

beraliran eksistensialisme dan dia sangat bertentangan dengan

Hegelian. Ayah dari Søren Kierkegaard bernama Michael Pedersen

Kierkegaard, adalah seseorang yang sangat taat terhadap

agama. Dia yakin bahwa ia telah dikutuk Tuhan, dan karena itu ia

13

Page 14: Filsum Print

percaya bahwa tak satupun dari anak-anaknya akan mencapai

umumr melebihi usia Yesus Kristus, yaitu 33 tahun. Pekerjaan

ayahnya sebagai pedagang grosir yang menjual kain, pakaian,

dan makanan. Awal mula Søren Kierkegaard mempelajari ilmu

filsafat ketika ia bersekolah di sekolah khusus kaum lelaki di

Borgerdydskolen. Sedangkan ibu Søren Kierkegaard bernama

Anne Sørensdatter Lund Kierkegaard. (Dagun, 1990:47).

Søren Kierkegaard merupakan anak terakhir dari ketujuh

bersaudaranya. Banyak dari saudara-saudaranya yang meninggal

dunia ketika di usia muda. Ayah Kierkegaard meninggal dunia

pada 9 Agustus 1838 pada usia 82 tahun. Sebelum ayahnya

meninggal dunia, ayahnya meminta Søren agar menjadi pendeta.

Saat itu Søren sangat merasa terbebani dengan permintaan dari

ayahnya. Regine Olsen sangat memiliki pengaruh yang cukup

besar dalam hidup Søren, Regine merupakan orang yang dicintai

oleh Søren. Søren berjumpa dengan Regine pada 8 Mei 1837 dan

segera tertarik kepadanya, begitupun sebaliknya dengan Regine.

Hingga akhirnya pada tanggal 8 September 1840, Søren resmi

menikahi Regine. Namun pada akhirnya Søren merasakan kecewa

dan melankolis dengan pernikahannya. Kurang dari satu tahun

pernikahannya ia pun menyelesaikan pernikahannya dengan

Regine. Dalam catatannya, Søren mengatakan bahwa sifat

melankolis yang dimilikinya membuatnya tidak cocok untuk

menikah. Walaupun sampai dia meninggal alasan mengapa dia

menyelesaikan pernikahannya tidaklah jelas. (Dagun, 1990:48-49).

Ajaran yang diberikan oleh Søren adalah mengenai

eksistensialisme. Yang artinya adalah sebuah kebebasan yang

bertanggung jawab, hal ini berpusat pada manusia individu.

Kebebasan ini sering ditemukan oleh manusia. Karena setiap

manusia menginginkan adanya sebuah kebebasan tanpa

memikirkan yang mana yang benar dan yang tidak benar.

Sesungguhnya bukan mereka tidak memikirkan hal tersebut,

melainkan mereka mengetahui batas kebebasannya masing-

14

Page 15: Filsum Print

masing. Karena kebebasan bersifat relatif. Søren juga dikenal

akan filsuf yang mengajarkan akan kecemasan dan keputusasaan

eksistensial. (Dagun, 1990:49).

Eksistensialisme mempersoalkan akan adanya keberdaan

manusia, dan keberadaan itu yang datang dari kebebasan.

Kebebasan yang dimaksudkan adalah sebuah kebebasan yang

bertanggung jawab, dimana setiap manusia mengetahui dimana

kebebasan mereka. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan

sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah

maksud dari eksitensialisme.

Søren menggambarkan tentang eksistensialisme manusia

dalam perkembangan religius. Dari apa yang disebutkan Søren

tahap estetis, tahap etis, hingga tahapan religius. Tahapan estetis

adalah tahapan pertama ketika manusia berada dalam pandangan

kesenangan terhadap indrawi, dimana manusia mencari

kesenangan mereka masing-masing. Tahapan selanjutnya

merupakan pada saat manusia terjun ke dalam keberadaan itu

dengan mulai mempertimbangkan hal yang benar dan salah. Lalu

tahapan yang terkahir adalah tentang keimanan. Disini Soren

menempatkan Abraham sebagai tolak ukur akan keimanan.

Dalam hal ini kita tidak dapat membedakan mana yang salah dan

benar, karena dalam keimanan ini adalah hubungan langsung

manusia dengan Allah. Soren pun tidak dapat

mengkategorikannya, karena menurutnya ini dinilai begitu tidak

umum.

Ajaran-ajaran Soren  baru terkenal setelah berpuluh-puluh

tahun setelah kematiannya. Karyanya tersebar di daerah Eropa,

khususnya di daerah Denmark. Namu saat itu Gereja-Gerejad di

sekitar Denmark menolak akan adanya karya-karya Soren. Karena

ada pengaruh akan karya yang dibuat oleh Soren  yang berjudul

“Fear and Trembling”. Namun pada abad ke 20-an banyak filsuf

yang ternyata menggunakan konsep Soren, mengenai

15

Page 16: Filsum Print

pemahaman kecemasan, dan keputusasaan serta pentingnya

individu manusia.

Soren sangat bertentangan akan ajaran dari Hegelian.

Sehingga dia sering menjadi kritikus akan ajaran Hegel. Pemikiran

yang ia kemukakkan adalah sebagai kritik atas Hegel, yang

menekankan pada aspek subjektivisme. Hal ini akan membuat

individu melupakan tanggung jawab pribadinya secara etis,

bahkan akan menghilangkan eksistensi.

b. Jean Paul Sartre

Tekanan Kiekegaard pada

pentingnya arti eksistensi individu itu

telah melahirkan semacam kesadaran

umum pada tanggung jawab setiappribadi

dalam kehidupan ini. Pandangan tentang

pentingnya arti manusia sebagai pribadi

inilah karyanya yang kelak menjadi intisari filsafat yang kelak dikembangkan oleh

Sartre dalam nama eksistensialisme yang dengan cepat mendapat sambutan

hampir diseluruh dunia.

Seklipun pada dasarnya buah pikirannya merupakan pengembangan

pemikiran kiekegaard, ia mengembangkannya sampai pada tahap yang teramat

jauh. Bagi Sartre eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat

janggal, karena biasanya sesuatu harus ada essensinya lebih dulusebelum

keberadaannya.

Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada didunia ini terutama

cara beradanya manusia. Dengan kata lain, filsafat ini menempatkan cara wujud

manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara itu khusus hanya ada pada

manusia, karena hanya manusialah yang bereksistensi. Binatang, tumbuhan,

bebatuan memang ada tetapi mereka tidak dapat disebut bereksistensi. Filsafat

eksistensialisme mendamparkan manusia kedunianya dan menghadapkan manusia

kepada dirinya sendiri. (Tafsir:225)

Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului

essensinya. Hal ini berbeda dengan tumbuhan, hewan dan bebatuan yang

essensinya mendahului eksistensinya. Didalam filsafat idealisme, wujud nyata

16

Page 17: Filsum Print

(existency) dianggap mengikuti hakekat (essen)-nya, jadi, hakekat manusia

memliki cirri khas tertentu, dan cirri itu yang membuat manusia berbeda dari

makhluk lain. Manusia harus menciptakan eksistensinya sendiri. Oleh karena itu

dikatakan eksistensi manusia mendahului essensinya. (Struhl dan Struhl,

972:33,35). Dan formula ini merupakan prinsip utama dan pertama didalam

filsafat eksistensialisme. Berikut ini dijelaskan apa yang dimaksud dengan

eksistensi manusia mendahului essensinya (existence precedes essence) itu. Jika

seseorng ingin membuat suatu barang misalnya sebuah buku. Ia mestinya talah

mempunyai konsep (image, atau dll) tentang buku yang akan dibuatnya itu.

Selanjutnya dibuatlah buku tersebut sesuai dengan konsep yang telah ada

padanya. Dalam konteks pembicaraan ini kita tidak dapat membayangkan

seseorang dapat membuat buku tanpa didahului oleh suatu konsep tentang buku.

Dapatlah dikatakan bahwa konsep buku merupakan essensi buku dan wujud buku

adalaheksistensinya. Jelaslah bahwa kehadiran buku itu ditentukan oleh

pembuatnya, yaitu manusia. Maka, untuk buku berlaku essensi mendahului

eksistensinya. Ini tentulah formula yang biasa, yang tidak biasa adalah apabila

eksistensi manusia mendahului essensinya. Sebagaimana yang telah diajarkan

oleh eksistensialisme itu, untuk manusia. (Tafsir:225)

Bagi Sartre adalah tidak adanya Tuhan. Jika Tuhan ada maka Tuhan akan

membatasi kebebasan manusia. Bagi Sartre, karena manusia itu bebas maka

Tuhan tidak boleh ada. Bagi Sartre Tuhan adalah esensi, manusia adalah

eksistensi, maka eksistensi mendahului esensi. Manusia ada dan “terlibat” dalam

dunia baru kemudian mendefinisikan dirinya. (Wibowo.2011:23)

Sartre pada masa kecilnya mendapatkan gambaran mengenai Tuhan dari

keluarganya. Tuhan dalam gambaran diri Sartre adalah polisi yang mahatahu dan

mahabesar. Tuhan digambarkan sebagai “yang menakutkan” dan selalu

mengawasi tindak tanduknya. Ketika dirinya melakukan kesalahan tatapan mata

Tuhan (le regard) menjadi ancaman bagi dirinya. Segala suara seperti langkah

kaki, suara pintu yang berdecit, suara gerakan seakan menjadi “tatapan” mata

Tuhan yang selalu mengawasi. Tatapan Tuhan menjadi ancaman. Hingga pada

suatu ketika dirinya berusia 12 tahun, Sartre mengatakan dengan terperanjat

bahwa Tuhan tidak eksis, kemudian dirinya mengganggap perkara yang

dihadapinya sudah selesai. (Wibowo.2011:2

17

Page 18: Filsum Print

Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu

berarti ia menyadari bahwa ia menghadapi masa depan, dan ia sadar bahwa ia

berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia, inilah

yang dianggap sebagi ajaran yang utama dan pertama dari filsafat

eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, itu

bukan berarti ai bertanggung jawab untuk dirinya sendiri tetapi juga pada seluruh

manusia.

Tampaklah oleh kita bahwa pendapat Sartre tentang eksistensi manusia

bukan hendak menjelaskan keadaan beradanya manusia ditengah manusia dan

bukan manusia, lebih dari itu ia hendak menjelaskan tanggung jawab yang

hendaknya dipukul manusia. Munculnya pemikiran ini tidaklah mengherankan

apabila kita membayangkan keadaan dunia pada saat itu, khususnya eropa barat

tempat tinggal Sartre. Di Eropa Barat hidup dinikmati dan dinikmatkan dengan

cara yang sehebat-hebatnya (Drijakara:86). Keadaan ini merupakan pengaruh

berbagai sistem pemikiran yang hidup ketika itu

Sartre adalah filosof ateis: Itu dinyatakannya secara terang-terangan.

Konsekuensi pandangan ateis itu ialah tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya

manusia bukanlah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia

ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Dari pemikiran ini ia menemukan bahwa

eksistensi manusia, mendahului esensinya. Seandainya pemikiran ini diajukan

untuk menekankan tanggung jawab manusia, itu tidaklah sulit jika ia percaya

kepada Tuhan.

Eksistensi manusia menunjukkan kesadaran manusia, terutama pada

dirinya sendiri bahwa ia barhadapan dengan dunia. Dari konsep ini muncullah ciri

lain hakikat keberadaan manusia. Orang eksistensialisme berpendapat bahwa

salah satu watak keberadaan manusia ialah takut. (Bierman dan Gauld, 1973:602).

Takut itu datang dari kesadaran manusia tentang wujudnya di duni ini. Sartre

menyatakan, bila manusia menyadari dirinya berhadapan dengan sesuatu,

menyadari ia telah memilih untuk berada, pada waktu itu juga ia telah

bertanggung jawab untuk memutuskan bagi dirinya dan bagi keseluruhan manusia,

dan pada saat itu pula manusia merasa tidak dapat melepaskan diri dari tanggung

jawab menyeluruh (StruhI dan StruhI:38

Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, ia harus bebas menentukan,

memutuskan. Dalam menentukan, memutuskan, ia bertindak sendirian tanpa

18

Page 19: Filsum Print

orang lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya

dan untuk seluruh manusia. Oleh karena itu, menurut Sartre, demikian juga

Heidegger (Beerling,223-24), manusia tidak solider, tetapi soliter. Ia memikul

berat dunia seoarang diri. Kenyataan manusia, sebagaimana dinyatakan oleh

Sartre ”adalah nasibnya diserahkan kepada dirinya sendiri dengan tiada bantuan

sedikitpun” (Beerling:232).

Manusia harus memutuskan. Dalam memutuskan saya tidak mempunyai

bukti atau alasan bahwa putusan itu benar. Hanya sayalah yang menjamin putusan

saya itu benar, tanpa bantuan orang lain, dan saya harus

mempertanggungjawabkannya. Ini menimbulkan rasa takut. Takut itu bukanlah

suatu suasana batin yang biasa, melainkan suatu suasana batin yang pokok. Rasa

ini harus dibedakan dari getar. Getar itu jelas objeknya, sedangkan takut tidak

menentu objeknya, tidak jelas takut pada apa. Kita tidak pernah mengetahui

dengan tepat terhadap apa kita takut. Takut itu datangnya tiba-tiba, secara tiba-

tiba kadang-kadang ia menghilang. Seolah-olah manusia takut kepada yang tidak

ada, seperti orang yang takut pada gelap. Takut itu sebenarnya adalah takut

kepada wujud. Wujud itulah yang mengasingkan kita dan membuat kita menjadi

terpecil (lihat Beerling: 223 -24).

Akan tetapi, mestikah demikian? Tidak mungkinkah disamping rasa takut

manusia memiliki rasa beranidan gembira karena ia boleh bartanggung jawab?.

Sartre mengatakan bahwa dalam memutuskan manusia berdiri sendiri. Ini karena

dia ateis. Apabila teis , manusia akan tahu bahwa dalam memutuskan ia tidak

berdiri sendiri, ajaran tuhan selalu bersamanya dalam memutuskan. Rasa takut

muncul arena adanya kesadaran pada manusia bahwa ia manusia. Rasa seperti itu

tidak ada pada hewan, tumbuhan dan bebatuan.

Bagi Sartre, karena manusia pengada yang sadar (letre-pour-soi)

persoalannya menjadi rumit. Perta ia sadar. Dari sinilah muncul tanggung jawab.

Karena tanggung jawab, manusia harus menentukan. Dari sinilah muncul

kesendirian (kesepian), lalu rasa takut muncul. Kemudian Sartre menambahkan

lagi”: dari kesadaran itu muncul penyangkalan (neantser) manusia itu selalu

menyangkal. Dengan kesadaran itu manusia menyadari bahwa ia tidak berdiri

sendiri. Dalam kenyataannnya manusia itu termuat dalam suatu perbuatan.

Tentang berbuat itu manusia sadar ia berbuat. Tentang perbuatan itu manusia

19

Page 20: Filsum Print

menyadari bahwa ia selalu dalam peralihan. Disinilah letak kerumitan manusia

itu, demikian Sartr

Manusia itu setelah menyadari dirinya, ia membantahnya, menyangkalnya.

Ia membantah itu dengan mengalih, menuju yang lain. Setelah yang lain itu

tercapai, pada waktu itulah ia menyanglkalnya. Apa yang telah dicapai pasti

mengingkari. Manusia harus berbuat sementara hasil berbuatnya tidak akan

memuaskan dirinya. Seakan-akan berbuat itu semacam hukuman yang tak

terelakkan lagi.Jadi, manusia itu selalu berubah. Hakekat penyangkalan itu dapat

dirumuskan dalam kalimt ini:“yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada”.

Jadi manusia itu laksana orang yang mengejar bayangannya. Menurut Sartre

itulah hakekat manusia. Disini tergambarlah suatu filsafat pustus asauntuk apa

mengejar sesuatu padahal sudah diketahui jika sesuatu itu dicapai, ia akan

mengingkarinya. Jadi, semua usaha diketahui akan berakhir sia-sia. Tetapi

manusia harus berbuat. Ia harus meluncur terus samapi ia terengah-engah

kepayahan. Untuk membtbaskan diri dari hukuman ituhnya ada dua kemungkinan:

menjadi yang tak berkesadaran (en-soi, hewan tumbuhan , batu) atau bunuh diri.

Menjadi en-soi tidak mungkin, yang mungkin adalah bunuh diri.

Akan tetapi, benarkah hakikat beradanya manusia seperti yang dikatakan

oleh Sartre itu? Dengan mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal, Sartre

lupa bahwa juga dapat membangun. Memang betul berbuat berarti mengalih,

menuju kepada yang lain. Memang ada perbuatan yang tidak membangun. Akan

tetapi, itu tidak berarti bahwa manusia harus bertanggung jawab? Ini haruslah

berarti bahwa manusia harus membangun; ia harus membangun dirinya dan dunia.

Terasa ada kontradiksi di sini.

Bila Sartre mengatakan bahwa segala perbuataan manusia tanpa tujuan,

karena tidak ada yang tetap (selalu disangkal), jadi manusia tanpa harapan, maka

hal ini tidak harus diartikan dinamikan hidup, tanda manusia ingin membangun

dirinya dan dunia. Masalahnya sebatulnya: apakah manusia dapat merasa puas?

Jawabannya terletak pada orangnya. Bila orangnya dijajah oleh nafsunya, maka ia

tidak akan pernah merasa puas. Yang inilah filsafat Sartre itu. Adapun orang yang

selalu ingin yang lebih baik, tidak mesti ia selalu merasa tidak puas. Filsafat ini

harus dipahami dari pandangan ateisme.

20

Page 21: Filsum Print

Manusia harus berbuat, dan harus pula mengingkari hasilnya. Ini hukuman.

Keadaan ini menimbulkan rasa muak (In nausee). Kata ini dapat berarti muak,

mual, Jemu, rasa hendak muntah.

Mengapa mual? Karena tidak ada harapan. Manusia itu dihukum. Ia harus

menghadapi kenyataan itu. Manusia harus mengadakan perubahan, jadi akan

muncul ketidaktetapan, kekacauan. Karena tidak ada yang tetap, maka tidak ada

yang diharapkan. Jelas, hal ini menimbulkan kejemuan, kemualan, ketertindasan,

putus asa. Demikian memang reallitas hidup ini menurut Sartre

(Drijarkara:75)

Pikiran ini satu mata rantai dalam rangkaian pemikiran Sartre tentang

hakikat wujud manusia. Sangat erat dengan formula “yang ada tidak dimaui dan

yang dimaui ilah yang belum ada”. Manusia selalu membelum, menjadi.

Filsafat ini tidak sesuai dengan kenyataan. Ada juga, bahkan banyak, orang

yang dalam hidupnya mempunyai harapan. Banyak orang yang tidak merasakan

hidupnya kosong. Sartre kurang cermat dalam menggambarkan hakikat keberadaa

manusia.

Sebagian besar buku Sartre berisi uraian yang tajam damn sinis tentang

hubungan antarmanusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang

lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia, dalam instansi yang

terakhir ialah revalitas dan konflik. Saya menekati orang lain, menurut Sartre

tidak dapat diartikan selain bahwa saya hendak merebutnya, saya hendak

menjadikannya objek (Beerling:230-31). Orang lain itu pun demikian terhadap

saya. Selanjutnya Sartre menyimpulkan bahwa ada bersama itu berupa konflik

atau permusuhan terus-menerus. Oleh karena itu, sifat malu, gentar, sombong

adalah perasaan-perasaan asal, yang berupa reaksi saya tatkala bertemu dengan

orang lain (Beerling:231). Jadi, di dalam hubungan antarmanusia itu, menurut

Sartre, hanya ada dua kemungkinan: menjadi subjek atau maenjadi objek,

memakan atau dimakan (Drijarkara:89). Kelihatannya Sartre sedikit “lembut”

tatkala ia mengatakan bahwa relasi antarmanusia terjadi juga karena ikatan cinta

kasih. Dalam cinta kasih pihak lain kepadaku, demikian Sartre, eksistensiku

diakui, badanku diinginkan, aku dihargai (Peursen:226). Di sini sifat saling

merendahkan, saling memakan, seperti menghilang dari filsafat Sartre. Sekalipun

demikian, demikian Sartre, dalam hubungan cinta kasih ini pun konflik tetap ada

(Peursen:226).

21

Page 22: Filsum Print

Di sini kita menyaksikan untuk kesekian kalinya dilema dalam filsafat

Sartre: di satu pihak seseorang memerlukan orang lain agar ia dapat menjalani

eksistensinya, tetapi di pihak lain ada bersama itu merupakan permusuhan. Tepat

kata Hobbes: manusia ditakdirkan saling memusuhi. Sekarang semakin

lengkaplah keterhukuman manusia, keterdamparannya, dan kesengsaraannya.

Semakin jelas mengapa hidup itu dikatakan memuakkan, putus asa.

Berikut kita berikan sedikit komentar terhadap pikiran Sartre yang penuh

dilema itu. Sartre memulai filsafatnya dengan menjelaskan hakikat eksistensi

manusia: eksistensi manusia mendahului asensinya. Mulainya manusia

bereksistensi ialah sejak ia mengenal drinya dan dunia yang dihadapinya. Itu

berarti bahwa ia telah berkesadaran. Dari kesadaran itu muncullah tangging

jawab. Karena bertanggung jawab, maka manusia harus memilih, menentukan,

memutuskan. Itu dilakukannya sendirian. Timbullah rasa kesendirian, sepi, lalu

takut. Takut itu tidak jelas objeknya, tidak jelas takut pada apa. Ini tentu menjadi

penderitaan.

Karena kesadarannya itu manusia harus berbuat, berarti ia selalu berubah,

selalu mengalih, karena yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ialah yang belum

ada. Tentu saja manusia selalu mendobrak, berpindah, meluncur terus. Manusia

laksana mengejar bayangannya sendiri: semakin cepet ia berlari, secepat itu pula

bayangannya pergi. Manusia menjadi mual, muak, seperti mau muntah. Manusia

dipaksa bekerja, tetapi tanpa harapan. Sial betul nasib manusia. Determinisme

ditolak, tetapi manusia dihukum berarti determinisme juga.

Kehidupan bersama diperlukan, tetapi ada bersama itu merupakan neraka

bagi manusia. Dilema lagi. Memang filsafat Sartre penuh—kalau bukan

seluruhnya oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh

pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya

dapat diselesaikan dalam teisme. Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara

menulis sebagai berikut (Drijakara:89):

“Bagaimanapun juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre

bentrokan dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat

pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji”

2. Sumbangan Filsafat Eksistensialisme Terhadap Ilmu Pengetahuan Masa

Kini

22

Page 23: Filsum Print

Eksistensialisme telah memberikan sumbangan yang sangat besar bagi ilmu,

terutama dalam membuka jalan terhadap kebutuan yang ditimbulkan oleh faham

materialisme yang mengatakan bahwa : “manusia itu pada hakekatnya adalah

barang material belaka, yang walaupun bentuknya lebih unggul, tetapi manusia

itu adalah resultante dari proses-proses kimiawi”. Bagi eksistensialis, manusia itu

tidak hanya sekedar material atau kesadaran, tetapi lebih daripada itu.

a. Pengaruh yang sangat menonjol eksistensialisme terhadap pendidikan modern

dewasa ini adalah kesadaran terhadap adanya perbedaan eksitensial pada

setiap individu siswa, dan timbulnya penghargaan terhadap kebebasan siswa

dalam menentukan pilihannya.

b. Filsafat eksistensialisme bersifat individualistis sebagai paham yang

mendorong manusia untuk berbuat dan berbuat terus memperbarui dirinya

dengan bertitik tolak dari individu masing-masing apapun keadaannya.

c. Filsafat eksistensialisme memberikan modal kekuatan dan keberanian dengan

tidak perlu mencemaskan kelemahannya sebagai manusia.

d. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan yang menyajikan program

menurut kelompok seperti program pendidikan formal di sekolah dewasa ini,

karena bagi eksistensialis program kelompok semacam itu berarti telah

mengikari eksistensi siswa sebagai individu.

e. Eksistensialisme tidak menyukai pendidikan profesi, misalnya pendidikan

kejuruan atau pendidikan spesialis di pendidikan tinggi. Eksistensialis

menganggap pendidikan profesi mempunyai sasaran utama pada pencarian

obyektivitas, logika dan intelektualitas, dan kurang mengenai sasaran emosi,

estetika dan moral yang merupakan kepentingan pokok eksistensialisme.

f. Eksistensialisme mengingatkan bahwa ilmu hendaknya tidak menjadi sasaran

atau tujuan pendidikan, tetapi ilmu itu harus ditempatkan secara proposional,

hanya sebagai alat dalam pengembangan eksistensi manusia

D. FENOMENOLOGI

1. Pengertian

Secara etomologis, asal kata fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari

bahasa Yunani phaenomeno  dan logos. Phaenomenon berarti tampak dan phaenen

berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan

(Muzairi, 2009:141). Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan

23

Page 24: Filsum Print

sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak, atau ilmu tentang

gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran.

2. Riwayat hidup tokoh

Pada awalnya banyak ahli filsafat

mendefinisikan fenomenologi hanya suatu gaya

berfikir bukan sebagai mazhab filsafat, adapula yang

mendefinisikan fenomenologi adalah suatu metode

dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan

juga sebagai suatu pendirian atau aliran filafat. Akan

tetapi dalam mazgab filsafat fenomenologi memiliki

asumsi-asumsi sebagai dasarnya.

Lalu kemudian Edmund Husserl (1859–1939) membawa fenomenologi

berubah menjadi sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang

mengusung tema Epoche-Eiditic Vision danLebenswelt sebagai sarana untuk

mengungkap fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian

dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi.

Edmund Gustav Aibercht Husserladalah seorang filosof yang lahir di Prestejov

(dahulu Prossnitz) di Czechoslovakia (Jerman) pada tanggal 8 April 1859 dari

keluarga yahudi (Hamersma, 1983:114). Di universitas ia belajar ilmu alam, ilmu

falak, matematika, dan filsafat; mula-mula di Leipzig kemudian juga di Berlin dan

Wina. Awalanya ia seorang filosof ilmu pasti.

Setelah Edmund Husserl berada di Wina ia tertarik pada filsafat dari Brentano.

Dia mengajar di Universitas Halle dari tahun 1886-1901, kemudian di Gottingen

sampai tahun 1916 dan akhirnya di Freiburg. Ia juga sebagai dosen tamu di Berlin,

London, Paris, Amsterdam, dan Prahara. Husserl terkenal dengan metode yang

diciptakan olehnya yakni metode “Fenomenologi” yang oleh murid-muridnya

diperkembangkan lebih lanjut. Husserl meninggal tahun 1938 di Freiburg. Untuk

menyelamatkan warisan intelektualnya dari kaum Nazi, semua buku dan catatannya

dibawa ke Universitas Leuven di Belgia (Hamersma, 1983: 114).

3. Ajaran dan karya kefilsafatannya

24

Page 25: Filsum Print

Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis

deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan

pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral, estetis,

konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat hendaknya tertuju

kepada penyelidikan susunan kesadaran itu sendiri, sehingga akan nampaklah objek

kesadaran (fenomenon) tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse

(kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi sebaiknya menekankan watak

intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari

ilmu-ilmu empiris.( contohnya orang bersin-bersin/meler.. pada dunia kedokteran

bahwa orang tersebut terkena flu.. tapi dalam fenomenologi hal tersebut belum

dikatan penyakit flu karena dalam fenomenologi harus di selidiki dahulu,, apakah

orang tersebut terkena virus flu atau yang lainnya... dan ternyata orang tersebut flu

karena dia menghirup merica)....

Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi

fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa

Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan

tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap

keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan

putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran

adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu,

Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda

(epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau

eksistensial objek kesadaran.

Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :

1) Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam

teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik

dari adat, agama maupun ilmu pengetahuan.

2) Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua

sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.

3) Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi

gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.

4) Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-

fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

25

Page 26: Filsum Print

Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada

hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.

Fenomenologi menekankan upaya menggapai fenomena lepas dari segala

presuposisi (peranggapan). Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum

pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri. Dengan

begitu, fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi

pengalaman konkret manusia. Selain itu, filsafat fenomenologi berusaha untuk

mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang

menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya (contohnya penyebab

flu tadi apakah penyebabnya karena virus atau karena merica). Usaha inilah yang

dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu.

Berikut karya filsafat dari Edmund Husserl

a. Logische Untersucgsuchugen I dan II(Penyelidikan-penyelidikan logis), tahun

1900-1901. Bertujuan agar dapat mempelajari struktur kesadaran, karena itu harus

dibedakan antara tindakan dari kesadaran dan fenomena di mana diarahkan

(obyek memakai diri sendiri). Dengan membahas ini sekali lagi menunjukkan

sikapnya yang menolak psikologi. Tidaklah mungkin memasukkan logika ke

dalam psikologi, karena psikologi dapat mendeskripsikan proses faktual kegiatan

akal, sedangkan logika hanya bisa mempertimbangkan sah atau tidaknya kegiatan

akal tersebut. Edmund Hsserl menganalisa srtuktur intensi dari tindakan-tindakan

mental dan bagaimana struktur ini terarah pada obyek yang real dan ideal

(http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-

tentang-fenomenologi-edmund.html)

b. Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen

Philosophie, 1913 (Gagasan-gagasan untuk suatu fenomenolgi murni dan suatu

filsafat fenomenologis). Untuk pertama kalinya terkuak kecenderungan idealistik

ini. Seorang fenomenolog harus secara sangat cermat “menempatkan di antara

tanda kurung”, artinya kenyataan di antara dunia luar. Yang utama ialah

fenomenanya, dan fenomena ini hanya tampil dalam kesadaran. Usaha untuk

melakukan pendekatan terhadap dunia luar ini, memerlukan metode yang khas,

karena keinsyafan serta-merta mengenai dunia luar ini masuk merembes di mana-

mana dan menyebabkan analisa yang keliru

(http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-

tentang-fenomenologi-edmund.html)

26

Page 27: Filsum Print

c. Meditations Cartesiennes, 1931 (Renungan-renungan Kartesian). Dalam buku ini

dibahas beberapa permenungan Kartesian, di mana semakin lama semakin

penting. “Aku bertolak dari kesadaranku untuk menemukan kesadaran

transedental (prinsip dasar dari pemahaman murni yang melampaui atau

mengatasi batas-batas pengalaman) di dalamnya, tetapi bagaimana caranya

menemukan pihak lain dalam kesadaran? Apakah dengan demikian mau tidak

mau aku akan terperosok di dalam solipisme (percaya akan diri sendiri), sehingga

yang ada hanyalah kesadaranku sendiri? Bagaimana aku dapat mengetahui adanya

dunia intersubjektif

(http://makalahmahasiswamuslimterbaru.blogspot.com/2012/01/makalah-

tentang-fenomenologi-edmund.html)

Subjek filsfat adalah seseroang yang berfikir/ memikirkan hakekat sesuatu dengan

sungguh-sungguh dan mendalam.

Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and

Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan”

(lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu

pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik,

yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis

seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam'

dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah

mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan

pengalaman manusia ke formula-formula impersonal (Muslih, 2005 : 35).

Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia

sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan

komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang

membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan

jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.

Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada

ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial.

Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti

dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman

(verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan

kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya

adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari

27

Page 28: Filsum Print

pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus

masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk

dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat

berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.

Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah

lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang

merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna

dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya

sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’

yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana

banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.

4. Sumbangan fenomenologi terhadap ilmu masa kini

Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya menjadi titik

tolak metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah: epoché dan eidetic

vision. Epoché merujuk kepada makna “menunda semua penilaian”, atau ia sama

dengan makna “pengurungan” (bracketing) (ex. seorang yang meludahi Nabi

Muhammad ketika beliau pulang solat dari mesjid. kita menganggap bahwa orang

tersebut jahat, tapi kita lihat ke sisi yang lain, bahwa orang tersebut taat kepada

ajarannya bahwa ajarannya menganngap bahwa Nabi adalah seorang musuh). Ini

berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi pemahaman yang

diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep dan konstruk-

konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai sebuah

pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan

kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan

tindakan epoché, memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara objektif esensi

sebuah fenomena, namun juga mengarahkan isu tentang subjektifitas persepsi dan

refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas untuk  memperoleh pemahaman intuitif

tentang suatu fenomena yang bisa dibela sebagai pengetahuan yang “objektif”.

Banyak sekali sumbangsi fenomenologi terhadap kemajuan ilmu saat ini, salah

satunya yaitu terhadap gejala sosial atau ilmu sosial. Dalam peta tradisi teori ilmu

sosial terdapat beberapa pendekatan yang menjadi landasan pemahaman terhadap

gejala sosial yang terdapat dalam masyarakat. Salah satu dari pendekatan yang

terdapat dalam ilmu sosial itu dalah fenomenologi. Fenomenologi secara umum

28

Page 29: Filsum Print

dikenal sebagai pendekatan yang dipergunakan untuk membantu memahami berbagai

gejala atau fenomena sosial dalam masyarakat.

Peranan fenomenologi menjadi lebih penting ketika di tempat secara praxis

sebagai jiwa dari metode penelitian sosial dalam pengamatan terhadap pola perilaku

seseorang sebagai aktor sosial dalam masyarakat. Namun demikian implikasi secara

teknis dan praxis dalam melakukan pengamatan aktor bukanlah esensi utama dari

kajian fenomenologi sebagai perspektif. Fenomenologi Schutz sebenarnya lebih

merupakan tawaran akan cara pandang baru terhadap fokus kajian penelitian dan

penggalian terhadap makna yang terbangun dari realitas kehidupan sehari-hari yang

terdapat di dalam penelitian secara khusus dan dalam kerangka luas pengembangan

ilmu sosial.

Dengan demikian, fenomenologi secara kritis dapat diinterpretasikan secara luas

sebagai sebuah gerakan filsafat secara umum memberikan pengaruh emansipatoris

(ranah pemikiran pembebasan (emansipatoris) ) secara implikatif kepada metode

penelitian sosial. Pengaruh tersebut di antaranya menempatkan responden sebagai

subyek yang menjadi aktor sosial dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya

pemahaman secara mendalam tentang pengaruh perkembangan fenomenologi itu

sendiri terhadap perkembangan ilmu sosial belum banyak dikaji oleh kalangan

ilmuwan sosial. Pengkajian yang dimaksud adalah pengkajian secara historis sebagai

salah satu pendekatan dalam ilmu sosial.

Salah satu ilmuwan sosial yang berkompeten dalam memberikan perhatian pada

perkembangan fenomenologi adalah Alfred Schutz. Ia mengkaitkan pendekatan

fenomenologi dengan ilmu sosial. Selain Schutz, sebenarnya ilmuwan sosial yang

memberikan perhatian terhadap perkembangan fenomenologi cukup banyak, tetapi

Schutz adalah salah seorang perintis pendekatan fenomenologi sebagai alat analisa

dalam menangkap segala gejala yang terjadi di dunia ini. Selain itu Schutz menyusun

pendekatan fenomenologi secara lebih sistematis, komprehensif, dan praktis sebagai

sebuah pendekatan yang berguna untuk menangkap berbagai gejala (fenomena) dalam

dunia sosial.

Dengan kata lain, buah pemikiran Schutz merupakan sebuah jembatan konseptual

antara pemikiran fenomenologi pendahulunya yang bernuansakan filsafat sosial dan

psikologi dengan ilmu sosial yang berkaitan langsung dengan manusia pada tingkat

kolektif, yaitu masyarakat. Posisi pemikiran Alfred Schutz yang berada di tengah-

tengah pemikiran fenomenologi murni dengan ilmu sosial menyebabkan buah

29

Page 30: Filsum Print

pemikirannya mengandung konsep dari kedua belah pihak. Pihak pertama,

fenomenologi murni yang mengandung konsep pemikiran filsafat sosial yang

bernuansakan pemikiran metafisik dan transendental pada satu sisi. Di sisi lain,

pemikiran ilmu sosial yang berkaitan erat dengan berbagai macam bentuk interaksi

dalam masyarakat yang tersebar sebagai gejala-gejala dalam dunia sosial. Gejala-

gejala dalam dunia sosial tersebut tidak lain merupakan obyek kajian formal (focus of

interest) dari fenomenologi sosiologi.

Dalam khasanah metodologi ilmu sosial, fenomenologi merupakan salah satu

bentuk inovasi karena mampu meninggalkan syarat dalam sebuah penelitian yang

termanifestasi dengan menggunakan sebuah hipotesa dalam kerangka penyusunan.

Pendekatan model ini sedikit banyak terpengaruh oleh aliran positivistik. Pemikiran

kritis yang selanjutnya muncul adalah bagaimana perkembangan fenomenologi

sebagai sebuah pendekatan dalam ilmu sosial mensejajarkan posisinya. Dengan kata

lain, pemikiran kritis dari tinjauan historis hermeneutis yang akan ditinjau dari tulisan

singkat ini sedikit banyak juga akan membicarakan perjalanan fenomenologi sebagai

sebuah pendekatan untuk secara akademis memperjuangkan kepentingan

emansipatorisnya.

Implikasi dari wujud perjuangan emansipatoris tersebut termanifestasi dalam

inovasi pemikiran Edmund Husserl tentang fenomenologi. Pemikirannya meletakkan

tradisi berpikir fenomenologi yang bersifat transendental. Pemikiran transendental ini

dibangun berdasarkan konstruksi berpikir yang terpengaruh logika positivistik seperti

aritmatika dan geometri. Alasan penggunaan logika berpikir fisik positivistik bagi

Husserl hanya dijadikan jalan menuju ke pemikiran metafisik transendental. Tradisi

pemikiran ini akhirnya diteruskan oleh Martin Heidegger dan Max Scheler yang juga

akan dipaparkan pada bagian selanjutnya sebagai bahan yang memperkaya perspektif

pemikiran fisafat fenomenologi. Pemikiran-pemikiran fenomenologi Schutz terutama

banyak dilandasi oleh pemikiran Husserl. Dasar pemikiran Husserl dari fenomenologi

yang menggunakan unsur metafisik fundamental merupakan kekuatan legitimasi

sebagai landasan berpikir dari penerus metodologi ini (Tevenaz, 1962:38).

5. POSTMODERNISME

1. Pengertian

Istilah postmodernist, pertama kali dilontarkan oleh Arnold Toynbee pada

tahun 1939 lewat bukunya yang terkenal berjudul Study of History. Toynbee yakin

30

Page 31: Filsum Print

benar bahwa sebuah era sejarah baru telah dimulai. Sampai saat ini belum ada

kesepakatan dalam pendefinisiannya, tetapi istilah tersebut berhasil menarik

perhatian banyak orang di Barat. Pada tahun 1960, untuk pertama kalinya istilah

itu berhasil diekspor ke benua Eropa sehingga banyak pemikir Eropa mulai tertarik

pada pemikiran tersebut (Septian, http://septian.wordpress.com/2007/10/06/apa-

itu-meta-narrative/).

Secara etimologis post modern terdiri dari dua kata yaitu “post” dan

modern. Kata post yang berarti “later or after” dan modern. Selain itu, menurut

kubu postmodernisme lainnya “post” berarti melampaui kematian modernism

(Muzairi, 2009:148).

Sedangkan secara terminologis postmodern merupakan kritik atas

masyarakat modern dan kegagalanya memenuhi janji-janjinya. Postmodern

cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas, yaitu

akumulasi pengalaman peradaban Barat. Postmodernisme merupakan aliran

pemikiran yang menjadi paradigma baru sebagai antithesis dari modernisme yang

dianggap gagal dan tidal lagi relevan dengan perkembangan zaman. (Maya Syifa

dalam Aceng dkk, 2011: 104).

Dari bebrapa pengertian di atas dapat pula diartikan bahwa posmodernisme

merupakan suatu paham yang mengkritisi dan melampaui nilai-nilai dan

pandangan yang diusung oleh zaman sebelumnya terkhusus pada modernisme

yang dinilai gagal dan sebagai bentuk reaksi pemberontakan dan kritik atas janji

modernisme.

2. Latar Belakang Lahirnya Postmodernisme

Pada tahun 1970-an Jean Francois Lyotard lewat karyanya The Postmodern

Condition: A Report and Knowlage menolak ide dasar filsafat modern. Menurut

Lyotard, aliran modernism dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative

(cerita-cerita besar) dari kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal.

Lyotard menolak keras bentuk metanarasi, dan tidak percaya adanya kebenaran

tunggal yang universal, sebab menurutnya kebenaran adalah kebenaran (Aceng

dkk, 2011: 94).

“The Grand Narrative” yang dianggap sebagai dongeng hayalan hasil

karya masa Modernitas. Ketidakjelasan definisi sebagai mana yang telah

disinggung menjadi penyebab munculnya kekacauan dalam memahami konsep

31

Page 32: Filsum Print

tersebut. Tentu, kesalahan berkonsep akan berdampak besar dalam menentukan

kebenaran berpikir dan menjadi ambigu. Sedang kekacauan akibat konsep berpikir

akibat ketidakjelasan akan membingungkan pelaku dalam pengaplikasian konsep

tersebut.

Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai reaksi terhadap fakta tidak

pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern

yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas –dan

mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh awal— memiliki

cita-cita yang tersimpul dalam lima kata, yaitu: reason, nature, happiness,

progress dan liberty. Semangat ini harus diakui telah menghasilkan kemajuan yang

pesat dalam berbagai bidang kehidupan dalam waktu yang relatif singkat.

Nampaknya, mimpi untuk memiliki dunia yang lebih baik dengan modal

pengetahuan berhasil terwujud. Namun, tidak lama, sampai kemudian ditemukan

juga begitu banyak dampak negatif dari ilmu pengetahuan bagi dunia. Teknologi

mutakhir ternyata sangat membahayakan dalam peperangan dan efek samping

kimiawi justru merusak lingkungan hidup. Dengan demikian, mimpi orang-orang

modernis ini tidaklah berjalan sesuai harapan (Surya,

http://suyadian.wordpress.com/2010/17/06/mengenal-postmodern/).

Rasionalitas modern gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ilmu

pengetahuan terbukti tidak dapat menyelesaikan semua masalah manusia.

Teknologi juga tidak memberikan waktu senggang bagi manusia untuk beristirahat

dan menikmati hidup. Di masa lampau, ketika hanya ada alat-alat tradisional yang

kurang efektif, semua orang mengharapkan teknologi canggih akan memperingan

tugas manusia sehingga seseorang dapat menikmati waktu senggang. Saat ini,

teknologi telah berhasil menciptakan alat-alat yang memudahkan kerja manusia.

Seharusnya, semua orang lebih senggang dibanding dulu, tetapi kenyataannya,

justru semua orang lebih sibuk dibanding dulu. Teknolog instan yang ada saat ini

justru menuntut pribadi-pribadi untuk lebih bekerja keras untuk mendapatkan hasil

yang maksimal dari efektifitas yang diciptakan. Ironis.

Berangkat dari perbedaan mimpi dan kenyataan modernism inilah

postmodern muncul dan berkembang. Akhirnya, pemikiran postmodern ini mulai

mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu

pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas

32

Page 33: Filsum Print

modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk, dan

apa yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai.

.

3. Tokoh Dan Ajaran Filsafat Postmodernisme

a. Jean Francois Lyotard (1924-1998)

Jean Francois Lyotard lahir pada tahun 1924 di Versailles di sebuah kota

kecil di Paris bagian selatan. Setelah berakhir

Perang Dunia ke II, ia belajar filsafat di

Sorbonne dan mendapat gelar agre’gation de

philosophie tahun 1950. Dari tahun 1950-1960

ia dikenal sebagai seorang aktivis yang

beraliran Marxis, akan tetapi sejak tahun 1980-

an ia dikenal sebagai pemikir posmodernisme non-Marxis yang terkemuka.

Pada awal tahun 1970 Lyotard mulai mengajar di Universitas Paris VIII,

Vincennes sampai 1987 ketika ia memasuki masa pensiun sebagai Professor atau

Emeritus. Lyotard berulang-kali menegaskan tentang pemikiran Postmodern di

dalam eseiesei yang terkumpul dalam bahasa Inggris sebagai The Postmodern

Explained to Children, Toward the Postmodern, dan Postmodern Fables. Pada

Tahun 1998, selagi bersiap-siap menghadapi suatu konferensi conference on

Postmodernism and Media Theory, ia meninggal dengan tak diduga-duga karena

leukemia yang telah mengendap dengan cepat. Ia dikuburkan di Le Père

Lachaise Cemetery di Paris (Fahmi,

http://sosok.kompasiana.com/2013/02/02/jean-francois-lyotard-530713.html).

Jean Francois Lyotard merupakan pemikir postmodern yang penting karena

ia memberikan pendasaran filosofis pada gerakan postmodern. Penolakannnya

terhadap konsep Narasi Besar serta pemikirannya yang mengemukakan konsep

perbedaan dan language game sebagai alternatif terhadap kesatuan (unity).

Adapun ajaran Jean Francois Lyotard :

1) Penolakan Grand- Naratives

Meta-narrative berasal dari dua kata: meta- dan narrative. Meta- disini

berarti transcending, encompassing, overarching. Dan narrative secara

sederhana berarti cerita atau kisah. Kalau digabung, meta-narrative berarti

sebuah kisah yang melingkupi semuanya (the overarching story). Atau, dalam

pengkalimatan yang lebih baik, meta-narrative adalah sebuah ide yang

33

Page 34: Filsum Print

menjelaskan secara ringkas suatu pengalaman, sejarah, atau kisah tertentu..

Karena itulah, meta-narrative dapat disebut pula master narrative atau grand

narrative (Septian, http://septian.wordpress.com/2007/10/06/apa-itu-meta-

narrative/ ).

Bagi Lyotard penolakan posmodern terhadap narasi agung sebagai salah

satu ciri utama dari postmodern, dan menjadi dasar baginya untuk melepaskan

diri dari Grand- Narative (Narasi Agung, Narasi besar, Meta Narasi).

Grand- Naratives (Meta-narasi) adalah teori-teori atau konstruksi dunia

yang mencakup segala hal dan menetapkan kriteria kebenaran dan objektifias

ilmu pengetahuan. Dengan konsekuensi bahwa narasi-narasi lain diluar narasi

besar dianggap sebagai narasi nonilmiyah. Sebagaimana di jelaskan sebelumnya

bahwa sains modern berkembang sebagai pemenuhan keinginan untuk keluar

dari penjalasan pra ilmiah seperti kepercayaan dan mitos-mitos yang dipakai

masyarakat primitif.

Grand Narrative “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi

kaum proletar dan sebagainya. Menurut Lyotard, narasi-narasi besar ini telah

mengalami nasib yang sama dengan narasi-narasi besar sebelumnya seperti

religi, negara-kebangsaan, kepercayaan tentang keunggulan Barat dan

sebagainya, yaitu mereka pun kini menjadi sulit untuk dipercaya. (Fahmi,

http://sosok.kompasiana.com/2013/02/02/jean-francois-lyotard-530713.html)

Namun dalam pandangan kaum postmodernis termasuk Lyotard bahwa

sains ternyata tidak mampu menghilangkan mitos-mitos dari wilayah ilmu

pengetahuan. Sejak tahun 1700-an (abad pencerahan) dua narasi besar telah

muncul untuk melegitimasi ilmu pengetahuan, yaitu : kepercayaan bahwa ilmu

pengetahuan dapat membawa umat manusia pada kemajuan (progress). Namun

era modern telah membuktikan banyak hal yang tidak rasional dan bertentangan

dengan narasi besar itu seperti Perang Dunia ke- II, pembunuhan sekitar 6

(enam) juta yahudi oleh Nazi Jerman, hal ini menurut Lyotard merupakan bukti

dari kegagalan proyek modernitas (Ummy,

http://www.tokohposmodernisme.com/html/).

Dalam bukunya “The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.”

Lyotar diminta untuk menjelaskan dampak yang ditimbulkan oleh

perkembangan teknologi informasi terhadap ilmu pengetahuan pada akhir abad

ke-20 tersebut. Ia mengatakan bahwa telah terjadi perkembangan dan perubahan

34

Page 35: Filsum Print

yang luar biasa pada pengetahuan, sains dan pendidikan pada masyarakat

informasi.

Perkembangan dan perubahan tersebut telah menggiring masyarakat

tersebut pada suatu kondisi yang dia sebut sebagai postmodern. Selama empat

puluh tahun terakhir ilmu dan teknologi yang terdepan menjadi semakin terkait

erat dengan bahasa, teori-teori linguistik, masalah komunikasi dan sibernetik,

komputer dan bahasanya, persoalan penerjemahan, penyimpanan informasi, dan

bank data. Transformasi teknologi berpengaruh besar pada pengetahuan.

Miniaturisasi dan komersialisasi mesin telah merubah cara memperoleh,

klasifikasi, penciptaan, dan ekspoitasi pengetahuan. Dan Lyotard percaya bahwa

sifat pengetahuan tidak mungkin tidak berubah di tengah konteks transformasi

besar ini. Status pengetahuan akan berubah ketika masyarakat mulai memasuki

apa yang disebut zaman postmodern. Pada tahap lebih lanjut, pengetahuan tidak

lagi menjadi tujuan dalam dirinya sendiri namun pengetahuan hanya ada dan

hanya akan diciptakan untuk dijual (Akhyar, http://en.wikipedia.org/wiki/Jean-

François_Lyotard).

2) Language games

Lyotard membatasi ilmu pengetahuan sebagai permainan bahasa dan

mengungkapkan konsep Language games yang mengacu pada keanekaragaman

penggunaaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, dimana masing-masing

bahasa menggunakan aturannya sendiri-sendiri.

Lyotard mengembangkan konsep perbedaan difference. Sesuai dengan

konsep pluralitas budaya, pluralitas permainan bahasa, ada banyak genres de

discours (wacana maka postmodern menghargai adanya perbedaan, membuka

suara bagi yang lain (the other), penghargaan pada pendekatan lokal, regional,

etnik, baik pada masalah sejarah, seni, politik, dan masyarakat. Penelitian yang

bersifat lokal, etnik, menghasilkan deskripsi atau narasi khas dengan rezim frase

dan genre diskursus masing-masing.

3) Antifundasionalisme

Antifundasionalisme dalam teori sosial budaya dan filsafat menegaskan

bahwa metanarasi (metode, humanisme, sosialisme, universalisme) yang

dijadikan fundasi dalam modernitas barat dan hak-hak istimemewanya adalah

cacat. Karena itu kita harus mencoba menghasilkan model pengetahuan yang

lebih sensitif terhadap berbagai bentu perbedaan. Hal ini dimungkinkan ketika

35

Page 36: Filsum Print

para intektual menggantikan peran mereka sebagai legislator kepercayaan

kepercayaan menjadi seorang interpreter. Karena itu Postmodernis lebih

menerima metode interpretasi (hermeneutika) dari pada pendekatan

logika/metode linear yang dominan pada era moder

Berikut ini kara-karya dari Jean Francois Lyotard: The Postmodern

Condotion: A Report On Knowledge, The Differend: Phrase in Dispute, The

Inhuman: Reflections on Time, The Postmodern Explained to Children:

Correpondence 1982-1985(http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism).

Secara ringkas Pemahaman pemikiran postmodernis menurut Jean Francois

Lyotard menjadi penting untuk memahami berbagai perkembangan ilmu

pengetahuan dan budaya yang tak lagi memadai untuk dianalisis hanya

berdasarkan paradigma ilmiah modern yang lebih menekankan kesatuan,

homogenitas, pobjektivitas, dan universalitas. Sementara ilmu pengetahuan

dalam pandangan postmodernis lebih menekankan pluralitas, perbedaan,

heterogenitas, budaya local/etnis, dan pengalaman hidup sehari-hari.

b. Jacques Derrida (1930-2004

Derrida yang mempunyai nama

lengkap Jacques Derrida ini adalah seorang

keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar, salah

satu wilayah Aljazair yang agak terpencil,

pada 15 Juli 1930. Setelah meraih gelar

kesarjanaannya yang pertama, Derrida

resmi mengajar di Husserl Archive. Pada

1960, dia diminta untuk mengajar filsafat di Universitas Sorbonne. Tahun 1967,

Derrida mulai dikenal sebagai tokoh penting dalam pemikiran Prancis melalui

dua karyanya, yakni: Pertama, La Voix et le Phenomene, diterjemahkan ke

dalam bahasa Inggris menjadi Speech and Phenomena (1973) oleh David

Allison. Karya ini ditujukan untuk menganalisis gagasan Husserl tentang tanda.

Kedua, De la Gramatologie, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa

Inggris menjadi Of Gramatology (1976) oleh Gayatri Spivak. Masih pada tahun

yang sama, dia juga menerbit an L’ecriture et la Difference yang kemudian

diterjemahkan menjadi Writing And Difference

(http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi).

36

Page 37: Filsum Print

Derrida seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi sebagai pendiri ilmu

dekonstruktivisme. Istilah dekonstruksi sama sekali tidak menghancurkan

metafisika lama. Ia justru berniat untuk menggali dan menghimpun konsep-

konsep, metaphor-metafor atau makna laten (tersembunyi) di dalam

keseluruhan narasi metafisika sehingga menjadi makna-makna penting dan

sentral di dalam narasi tersebut.

1) Dekonstruksi

Dalam modernisme rasio dipandang sebagai kekuatan tunggal dan

menentukan, baik dalam mengatur arah dan gerak sejarah, mengontrol

kekuatan social ekonomi dan bahasa, maupun dalam berbagai aktivitas

manusia lainnya. Sejarah atau peradaban tidak selalu ditentukan oleh rasio

tetapi juga ada kuasa diluar control rasio. Hal tersebut terbukti dengan

mengangkat ke permukaan peranan manusia-manusia marginal, manusia

pinggiran atau manusia “irrasional” dalam lingkungan manusia yang

“rasional”.

Dekonstruksi merupakan sebuah gebrakan untuk menentang teori

strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan

kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga teks (hasil sastra) dapat

dibaca dan dimengerti secara universal. Dekonstruksi, dalam hal ini,

menganggap bahwa tidaklah benar demikian. Makna tidaklah terdapat dalam

teks, tetapi pemaknaan muncul dari masing-masing pribadi yang membaca

teks. Secara tidak langsung, hal ini seakan menyatakan bahwa seorang penulis

tidak dapat menuntut haknya atas pemaknaan teks yang ditulisnya, semua

orang boleh membaca teks tersebut dan memaknainya sesuai dengan

penafsiran masing-masing (http://id.wikipedia.org/wiki/Dekonstruksi).

2) Difference

Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa

struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua”

ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to-

self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.

Differance adalah kata Perancis yang jika diucapkan pelafalannya persis

sama dengan kata difference. Kata-kata ini berasal dari kata differer-differance-

difference yang bisa berarti “berbeda” sekaligus “menangguhkan/menunda.

Kata-kata ini berasal dari kata, tidak hanya dengan mendengar ujaran (karena

37

Page 38: Filsum Print

pelafalannya sama), tetapi harus melihat tulisannya. Di sinilah letak

keistimewaan kata ini, hal inilah yang diyakini Derrida membuktikan bahwa

tulisan lebih unggul ketimbang ujaran

(http://profil.merdeka.com/mancanegara/j/jacques-derrida/).

Proses differance ini menolak adanya petanda absolut atau “makna

absolute,” makna transendental, dan makna universal, yang diklaim ada oleh

pemikiran modern pada umumnya.

Menurut Derrida, penolakan ini harus dilakukan karena adanya penjarakan

(spacing), di mana apa yang dianggap sebagai petanda absolut sebenarnya

hanyalah selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada celah atau

kesenjangan antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah ini

membuat pencarian makna absolut mustahil dilakukan. Setelah “kebenaran”

ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak “kebenaran” lain di depannya, dan

begitu seterusnya.

Jadi, apa yang dicari manusia modern selama ini, yaitu kepastian tunggal

yang “ada di depan,” tidaklah ada dan tidak ada satu pun yang bisa dijadikan

pegangan. Karena, satu-satunya yang bisa dikatakan pasti, ternyata adalah

ketidakpastian, atau permainan. Semuanya harus ditunda atau ditangguhkan

(deferred) sembari kita terus bermain bebas dengan perbedaan (to differ). Inilah

yang ditawarkan Derrida, dan posmodernitas adalah permainan dengan

ketidakpastian.

Selain itu, Derrida mengkritik adanya oposisi biner (Binary Opposition)

yang selalu memberikan dikotomisasi dalam segala hal. Adanya dikotomi

baik/buruk, makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen,

maskulin/feminin, benar/salah, lisan/tulisan, dan sebagainya. Dikotomisasi

seperti ini pada akhirnya akan memunculkan hirarki, yang menjadikan satu

diatas dari yang lain. Misalnya, maskulin lebih baik dari feminim, lisan lebih

baik dari tulisan, dan sebagainya. Oleh karena itu menurut Derrida, yang harus

dilakukan adalah pembalikan (inverse). Maksudnya, segala sesuatu dalam

dekonstruksi harus dianggap satu. Tidak ada lagi oposis biner yang memisah-

misahkan.

38

Page 39: Filsum Print

4. Fenomena faktual Posmodernisme

Melihat dan menelaah situasi dunia saat ini, masalah postmoderrnisme juga

kerap muncul. Modernisme dengan konsep universalismenya menghendaaki

semua negara menerapkan sistem demokrasi ala Amerika yang konon katanya

paling demokratis dan menjunjung tinggi HAM.

Untuk dapat menjunjung tinggi HAM seperti Amerika Serikat, maka sistem

demokrasi harus dianut terlebih dahulu. Jadi, Negara manapun yang ingin

menghargai Hak Azasi warganya harus menerapkan sistem demokrasi ala

Amerika Serikat. Sebab Amerika Serikat dianggap sebagai Negara terdepan

pengimplementasi demokrasi. Hal tersebut kemudian lebih ditekankan lagi dalam

peraturan lembaga internasional (United Nation). Semua Negara yang menjadi

anggota United nation diwajibkan untuk menjunjung tinggi HAM.

Tidak ada masalah jika Negara anggota United Nation diwajibkan

menjunjung tinggi HAM. Yang menjadi masalah adalah ketika demokrasi

dianggap satu-satunya jalan untuk menjunjung tinggi HAM. Secara tidak

langsung, mereka telah menafikan sistem lain seperti Kerajaan Khilafah dan

sistem politik lokal. Oleh karena demokrasi merupakan satu-satunya jalan, maka

Negara yang ingin menjunjung tinggi HAM harus pula menganut sistem

demokrasi. Barang siapa (negara) yang tidak mau menjunjung tinggi HAM

(menganut demokrasi), maka akan dikenai sanksi oleh lembaga tertinggi dunia

tersebut. Sanksi dapat beraneka ragam, mulai dari embargo sampai penjajahan

yang berkedok penyelamatan umat manusia.

Para postmodernis melihat proyek pendemokrasian tersebut sebagai akibat

dari modernisme. Sebab dalam modernism terdapat satu ciri penting, yaitu

universalisme dalam segala bidang. Selain universalisme, ada juga karakter

penting dari modernism yaitu Oposisi Biner (jika A benar, maka B pasti salah).

Modernism beranggapan bahwa demokrasi Amerika Serikat sudah benar, maka

sesuai dengan prinsip oposisi biner, semua sistem diluar itu adalah salah.

Postmodernisme lahir untuk mengkritik semua ambisi dan proyek

mahabesar modernism tersebut. Universalisme yang ditawarkan oleh modernism

tidak mungkin bisa tercapai, sebab dunia ini dipenuhi oleh perbedaan dan

keanekaragaman baik dalam hal ekonomi, sosial, politik  dan terlebih lagi budaya.

Merupakan sebuah kemustahilan jika kita ingin membuat semua Negara yang

penuh dengan warna dan perbedaan tersebut hidup dengan satu cara yang sama.

39

Page 40: Filsum Print

Selain hal tersebut diatas, satu karakter penting modernism yang dikritik

oleh postmodernisme adalah Oposisi biner. Tidak ada yang salah dan benar dalam

dunia ini. Akan tetapi semuanya memiliki kebenaran masing-masing. Contoh

yang paling sering diangkat oleh para postmodernis adalah masalah budaya dan

agama. Semua budaya yang terdapat dimuka bumi ini memiliki cerita dan makna

masing-masing. Demikian juga halnya dengan agama, semua punya kebenaran

tersendiri. Tidak ada agama yang salah dan agama yang benar, namun semua

agama memiliki dan membawa kebenarannya.

Demikian jugalah pula dengan sistem politik yang akan dianut oleh setiap

Negara. Demokrasi yang dianut oleh Amerika serikat mempunyai kebenaran,

tetapi sistem kerajaan yang dianut oleh Inggris juga mempunyai kebenarannya

sendiri. Begitu juga dengan sistem politik di Negara atau daerah lain (politik

local/identitas misalnya) mempunyai kebenaran tersendiri lagi.

Untuk mengatasi semua perbedaan dan banyaknya kebenaran yang ada

tersebut. Maka postmodernisme menawarkan satu prinsip baru, yaitu Paralogi.

Bahwa semua bias hidup dalam keberagaman, yang dibingkai dalam prinsip

Multikulturalisme. Atau jika kita melihat Negara Indonesia misalnya, ada istilah

Bhineka Tungggal Ika

(http://librarianship-umir.blogspot.com/2010/08/pendekatan-

postmodernisme.html# uds-search-results).

5. Sumbangsih Filsafat Postmodernisme

a. Postmodern Dalam Bidang Agama

Sumbangsih postmodernisme bagi agama, yakni paradigma berpikir dan

cara beragama yang baru, manusia mempunyai hubungan dengan realitas

tertinggi yakni Allah. Sebab, modernisme melupakan sisi manusia yang lain

yakni kesadaran akan kekuatan yang diluar dirinya.

Identitas manusia, ditentukan oleh dimensi hubungannya dengan Tuhan

dan hubungannya dengan sesama. Dalam hal ini agama dan sains bekerja sama

dalam membangun dan membuat manusia sejahtera.

Manusia seharusnya menghargai nilai-nilai kemanusiaan, mengembangkan

ilmu pengetahuan dan teknologi berdasakan kemanusiaan sehingga nyata damai

dan sejahtera bagi kehidupan manusia, manusia membutuhkan kepastian dari

agama dipegang orang sebab pertanyaan yang selalu diperhadapkan kepada

40

Page 41: Filsum Print

manusia dari manakah hakikat asalanya dan kemana akan pergi. Kepastian yang

dinyatakan melalui pernyataan-pernyataan kitab suci dan simbol-simbol

memperkuat keyakinan orang akan apa yang dipegangnya untuk menyatakan

kesejahteraan dan kedamaian bukan peperangan karena kebenaran, penekanan

saat ini adalah bagaimana hidup berdampingan untuk menyatakan kerajaan

Allah yakni kehidupan tanpa penindasan dan kekerasan. Lihatlah kepada Yesus

manusia yang sempurna tanpa dosa, di mana Ia menjaga hubungan yang akrab

dengan sesama dan Allah dan telah mengorbankan diri-Nya sebagai rasa

solidaritas-Nya atas keadaan manusia melalui salib, hubungan manusia dan

sesama pulih, serta hubungan manusia dengan Allah.

b. Postmodern Dalam Bidang Ilmu pengetahuan

Sumbangsih filsafat postmodernisme terhadap ilmu pengetahuan dan

teknologi di jelaskan oleh Toffler yang manggambarkan peradaban pasca-

modern itu sebagai datangnya industri-industri baru yang didasarkan pada

komputer, elektronik, informasi, bioteknologi. Ini memungkinkan pabrikasi yang

fleksibel, pasar lokal, meluasnya pekerjaan paruh-waktu, dan de-masivisasi

media, dan mengambarkan fusi baru antara produser dan konsumer dan

terbentuknya apa yang disebut sebagai prosumer. Ini menggambarkan

pergeseran pekerjaan ke rumah dan perubahan-perubahan dalam bidang politik

dan sistem pemerintahan.

c. Postmodern Dalam Bidang Seni

Arsitektur modern tidak menghargai gaya masa lalu. Pakar seni seperti

Clement Greenberg menyatakan bahwa seni modern juga menolak gaya-gaya

seni sebelumnya. Kaum modern menemukan identitas dirinya dengan

membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya. Dengan cara ini, para seniman

modern mengatakan bahwa hasil karya seni mereka bersifat "murni" (orisinal).

Kecenderungan modern dalam bidang seni sama dengan bidang arsitektur, yaitu:

"univalence".

Sebaliknya seni postmodern berangkat dengan kesadaran adanya

hubungan erat antara miliknya dan milik orang lain. Karena itulah, seni

postmodern menganut keanekaragaman gaya atau "multivalence". Kalau modern

menyukai "murni." maka postmodern menyukai "tidak murni."

41

Page 42: Filsum Print

Pada dasarnya seni postmodern tidak eksklusif dan sempit tetapi

berbauran (sintetis). Karya seni tersebut dengan bebas memasukkan berbagai

macam kondisi, pengalaman, dan pengetahuan jauh melampaui obyek yang ada.

Karya ini tidak melukiskan pengalaman tunggal dan utuh. Justru yang hendak

dicapai adalah keadaan seperti sebuah ensiklopedia, yaitu: masuknya jutaan

elemen, penafsiran, dan respons.

Banyak seniman postmodern menggabungkan keanekaragaman dengan

teknik pencampuradukan. Seperti kita ketahui, teknik yang mereka sukai adalah

"collage". Kenyataanya, Jacques Derrida (dijuluki "Aristoteles tukang campur")

menegaskan collage sebagai bentuk utama dari wacana postmodern. Perlahan

namun pasti, "collage" menarik para pecinta seni ke dalam makna yang

dihasilkan "collage" tersebut. Karena "collage" bersifat heterogen, maka makna

yang dihasilkannya tidak mungkin tunggal dan stabil. "Collage" menarik para

pecinta seni untuk selalu memperoleh makna baru melalui aneka ragam

campuran di dalamnya.

d. Postmodern Dalam Bidang Teater

Teater adalah wujud penolakan postmodern terhadap modern yang paling

jelas. Kaum modern melihat jelas sebuah karya seni sebagai karya yang tidak

terikat waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi waktu. Etos postmodern menyukai

tragedi, dan tragedi selalu ada dalam setiap karya seni. Kaum postmodern

melihat hidup ini seperti sebuah kumpulan cerita sandiwara yang terpotong-

potong. Maka teater adalah sarana terbaik untuk menggambarkan tragedi dan

pertunjukan.

Teater postmodern menampilkan usulan-usulan para ahli di atas. Mereka

membuat berbagai elemen dalam teater, seperti suara, cahaya, musik, bahasa,

latar-belakang, dan gerakan saling berbenturan. Dengan demikian, teater

postmodern sedang menggunakan teori tertentu yang disebut dengan estetika

ketiadaan (berbeda dengan estetika kehadiran). Teori estetika ketiadaan menolak

adanya konsep kebenaran yang mendasari dan mewarnai setiap penampilan.

Yang ada dalam setia penampilan adalah kekosongan ("empty presence").

Seperti etos postmodern, makna sebuah penampilan hanya bersifat sementara,

tergantung dari situasi dan konteksnya.

42

Page 43: Filsum Print

e. Postmodern Dalam Bidang Tulisan-Tulisan Fiksi

Seperti gaya postmodern umumnya, tulisan fiksi postmodern

menggunakan teknik pencampuradukan. Beberapa penulis mengambil elemen-

elemen tradisional dan mencampurkannya secara berantakan untuk

menyampaikan suatu ironi mengenai topik-topik yang biasa dibahas. Bahkan

beberapa penulis lainnnya mencampurkan kejadian nyata dan khayalan.

Pencampuradukan ini terjadi bahkan kepada tokoh-tokoh fiksi tersebut.

Beberapa penulis postmodern memusatkan perhatian kepada tokoh-tokoh

khayalan dengan segala perilakunya. Pada saat yang sama, tokoh-tokoh khayalan

itu adalah tokoh-tokoh yang nyata dalam sejarah manusia.

Beberapa penulis postmodern mencampuradukkan yang nyata dan yang

khayal dengan menyisipkan diri mereka ke dalam cerita itu. Bahkan mereka pun

turut membicarakan berbagai masalah dan proses yang diceritakannya. Melalui

ini, sang penulis mencampurkan yang nyata dan yang fiksi. Teknik ini

menekankan hubungan yang erat antara penulis dan tulisan fiksinya. Teknik

pencampuradukan ini digunakan untuk menunjukkan sikap anti- modernisme.

Tujuan para penulis modern adalah memperoleh makna tunggal. Sebaliknya,

kaum postmodern ingin mengetahui bagaimana kenyataan-kenyataan yang amat

berbeda, dapat berjalan dan saling bercampur.

f. Postmodernisme Dalam Bidang Pendidikan

Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan

proses transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah

(pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’

dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat.

Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang

pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama

sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui

pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah.

Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas, heterogenitas serta

deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus disebarkan melalui kerja-kerja

yang tidak harus dibebankan pada sekolah. Apalagi, realitas membuktikan

betapa sekolah justru seringkali memainkan peran dogmatis dan dominannya

43

Page 44: Filsum Print

dalam melakukan transfer of value (transformasi nilai) serta transfer of

knowledge (transformasi pengetahuan).

Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada pembentukan

kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat pengajaran

seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut. Padahal

dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami

degradasi, krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi

iptek dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah

mendatangkan persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.

Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil memberikan

berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan.

g. Postmodernisme Sebuah Fenomena Dalam Budaya Pop

Keterbukaan kepada etos postmodern melalui budaya pop adalah ciri khas

postmodern. Ciri khas lainnya adalah tidak mau menempatkan "seni klasik

tinggi" di atas budaya "pop." Postmodern unik karena ia menjangkau bukan

kelas elite tetapi kelas masyarakat biasa, masyarakat yang terbiasa dengan

budaya pop dan media massa.

Hasil karya postmodern juga bermakna ganda. Mereka berbicara dengan

sebuah bahasa dan menggunakan elemen-elemen yang dapat diterima oleh

orang-orang awam ataupun seniman dan arsitek handal. Dengan cara demikian,

postmodernisme berhasil menyatukan dua alam yang berbeda, yaitu profesional

dan populer.

h. Pembuatan Film Sebagai Dasar Pijakan Budaya Postmodern

Perkembangan teknologi membantu penyebaran postmodern ke dalam sisi-

sisi penting dan budaya pop. Salah satu sisi terpenting adalah industri film.

Teknologi pembuatan film sangat cocok dengan etos postmodern, yakni:

film menggambarkan yang tidak ada menjadi seolah-olah ada. Sekilas lalu, film

adalah sebuah cerita utuh yang ditampilkan oleh para aktor dan aktris.

Kenyataannya, film adalah rekayasa teknologi dengan bantuan ahli-ahli spesialis

dari berbagai bidang yang tidak jarang kelihatan dalam film. Adanya kesatuan

dalam sebuah film sebenarnya adalah ilusi.

44

Page 45: Filsum Print

Film berbeda dengan teater. Film tidak pernah berisi penampilan

sekelompok aktor/aktris sekaligus secara utuh dan berkesinambungan. Apa yang

penonton lihat "berkesinambungan" adalah semacam sisa dari berbagai adegan

dalam proses pembuatan film itu sendiri, yang tidak saling berhubungan baik

secara waktu maupun tempat.

Alur cerita sebuah film hanyalah tipuan. Apa yang nampak "berhubungan"

atau "berkesinambungan" sebenarnya hanyalah kumpulan adegan yang diambil

pada waktu dan tempat yang berbeda-beda. Alur sebuah film yang kita lihat,

ternyata tidak seperti demikian alurnya pada waktu film berada dalam proses

pembuatan tersebut. Yang menyatukan adegan-adegan yang terpecah-pecah itu

adalah seorang editor. Dialah yang menyambungkan adegan-adegan yang tidak

ada hubungannya satu sama lain.

Kemampuan seorang sutradara menggabungkan berbagai potongan menjadi

sebuah film yang utuh, memungkinkannya untuk melenyapkan perbedaan antara

kebenaran dan dongeng, kenyataan dan khayalan. Sutradara- sutradara

postmodern menggunakan kesempatan ini untuk mewujudnyatakan etos

postmodern.

i. Televisi Dan Penyebaran Budaya Postmodern

Televisi merupakan sarana yang lebih efisien untuk menyebarkan etos

postmodern ke seluruh lapisan masyarakat. Karena inilah televisi telah menjadi

kriteria untuk membedakan yang nyata dan tidak. Televisi mampu menayangkan

fakta secara langsung dan mampu menyebutkan produksi-produksi film.

Kemampuan ganda demikian membuat televisi memiliki kekuatan yang unik. Ia

mampu mencampurkan "kebenaran" (apa yang orang banyak anggap sebagai

kejadian nyata) dengan "fiksi" (apa yang orang banyak anggap sebagai khayalan

yang tidak pernah terjadi dalam kenyataan).

Televisi mencampuradukkan masa lalu dan masa kini, yang jauh dan yang

dekat, segala sesuatunya di- bawa menjadi kini dan di sini, di hadapan pemirsa

televisi. Dengan cara ini, televisi memperlihatkan dua ciri khas postmodern:

menghapus batas antara masa lalu dan masa kini, dan menempatkan pemirsa

dalam ketegangan terus-menerus.

45

Page 46: Filsum Print

6. Keunggulan Dan Kekurangan Filsafat Postmodernisme

a. Kelebihan Posmodernisme adalah:

Pertama, Pengingkaran atas semua jenis ideology. Konsep berfilsafat dalam

era postmodernisme adalah hasil penggabungan dari berbagai jenis fondasi pemikiran.

Mereka tidak mau terkungkung dan terjebak dalam satu bentuk fondasi pemikiran

filsafat tertentu.

Kedua, menggantikan peran cerita-cerita besar menuju cerita-cerita kecil,

dimana aliran modernism dianggap bergantung dan terpaku pada grand narrative dari

kemapanan filsafat yang hanya mengandalkan akal, dialektika roh, emansipasi subjek

yang rasional, dan sebagainya.

Ketiga, aliran ini tidak meniru sesuatu yang ada (pemikiran) tetapi

menggunakan sesuatu yang sudah ada dengan gaya baru.

b. Kelemahan Postmodernisme adalah :

Pertama, postmodernisme tidak memiliki asas-asa yang jelas (universal dan

permanen). Bagaimana mungkin akal sehat manusia dapat menerima sesuatu yang

tidak jelas asas dan landasannya? Jika jawaban mereka positif, jelas sekali hal itu

bertentangan dengan pernyataan mereka sendiri, sebagaimana postmodernisme selalu

menekankan untuk mengingkari bahkan menentang hal-hal yang bersifat universal

dan permanen.

Kedua, adalah segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak

dengan menolak modernisme itu secara total, melainkan dengan memperbaharui

premis-premis modern di sana-sini saja. Ini dimaksudkan lebih merupakan "kritik

imanen" terhadap modernisme dalam rangka mengatasi berbagai konsekuensi

negatifnya. Misalnya, mereka tidak menolak sains pada dirinya sendiri, melainkan

hanya sains sebagai ideologi dan scientism saja di mana kebenaran ilmiahlah yang

dianggap kebenaran yang paling sahih dan meyakinkan.

Ketiga, pemikiran-pemikiran yang terkait erat pada dunia sastra dan banyak

berurusan dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang paling populer dan digemari

oleh kelompok ini adalah "dekontruksi".

46

Page 47: Filsum Print

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa:

Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan

filsafat bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis,

epistemologis, metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu

mempertanyakan bagaimana konsekuensi praktisnya. Filosuf yang terkenal sebagai

tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey. Mereka

berdualah yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang,

karena di Amerika Serikat pragmatisme mendapat tempat tersendiri dengan

melekatnya nama William James sebagai tokohnya, disamping John Dewey. Diakui

atau tidak, paham pragmatisme menjadi sangat berpengaruh dalam pola pikir

bangsa Amerika Serikat. Pengaruh pragmatisme menjalar di segala aspek

kehidupan, tidak terkecuali di dunia pendidikan.

Inti pemikiran aliran eksistensialisme adalah keberadaan manusia diantara

keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan

dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru

mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang

berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.

Søren Aabye Kierkegaard dan Jean Paul Sartre dianggap filosof yang dapat

mewakili aliran ini. Søren menggambarkan tentang eksistensialisme manusia dalam

perkembangan religius. Sartre sendiri mengatakan manusia itu memiliki

kemerdekaan untuk membentuk dirinya, dengan kemauan dan tindakannya sendiri.

Posmodernisme merupakan suatu paham yang mengkritisi dan melampaui

nilai-nilai dan pandangan yang diusung oleh zaman sebelumnya terkhusus pada

modernisme yang dinilai gagal dan sebagai bentuk reaksi pemberontakan dan

kritik atas janji modernisme. Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis

pada sekitar tahun 1970-an, ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya

tentang kondisi legitimasi era posmodern, dimana narasi-narasi besar dunia

modem. Aliran posmodernisme berkembang pesat pada 1970an dengan beberapa

tokoh yang gigih menolak aliran modernism, tokoh-tokoh tersebut antara lain Jeans

Francois Lyotard, Friedrich Wilhelm Nietzsche sche, Jacques Derrida, Michel

Foucalt dan lain sebagainya.

47

Page 48: Filsum Print

Fenomenologi adalah suatu metode dalam mengamati, memahami,

mengartikan, dan juga sebagai suatu pendirian atau aliran filafat. Akan tetapi dalam

mazgab filsafat fenomenologi memiliki asumsi-asumsi sebagai dasarnya.

Edmund Husserl (1859–1939) membawa fenomenologi berubah menjadi

sebuah disiplin ilmu filsafat dan metodologi berfikir yang mengusung

tema Epoche-Eiditic Vision danLebenswelt sebagai sarana untuk mengungkap

fenomena dan menangkap hakikat yang berada dibaliknya. Ia kemudian dikenal

sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi.

Dalam pemahaman Edmund Husserl, fenomenologi adalah suatu analisis

deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan

pengalaman-pengalaman yang didapat secara langsung seperti religius, moral,

estetis, konseptual, serta indrawi. Ia juga menyarakan fokus utama filsafat

hendaknya tertuju kepada penyelidikan susunan kesadaran itu sendiri, sehingga

akan nampaklah objek kesadaran (fenomenon) tentang Labenswelt (dunia

kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Fenomenologi

sebaiknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan

praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.

Dalam khasanah metodologi ilmu sosial, fenomenologi merupakan salah

satu bentuk inovasi karena mampu meninggalkan syarat dalam sebuah penelitian

yang termanifestasi dengan menggunakan sebuah hipotesa dalam kerangka

penyusunan.

Postmodernisme bersifat relative. Kebenaran adalah relative, kenyataan

(realita) adalah relative, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan

satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai  implikasi bagaimana kita

memandang diri dan mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada dengan devisi dari

Friedrich Wiliam Nietzsche (1844-1900) yang dikenal sebagai nabi dari

postmodernisme. Dia mengatakan bahwa ”Ada banyak macam mata. Bahkan

sphink juga mamiliki mata, dan oleh sebab itu ada banyak macam kebenaran, dan

oleh sebab itu tidak ada kebenaran.

Sumbangsih postmodernisme bagi agama, yakni paradigma berpikir dan

cara beragama yang baru, dialog dan cara beragama yang baru melalui

kemanusiaan titik pijak yang baru. Manusia mempunyai hubungan dengan realitas

tertinggi yakni Allah. Sedangkan sumbangsih filsafat postmodernisme terhadap

ilmu pengetahuan dan teknologi di jelaskan oleh Toffler yang manggambarkan

48

Page 49: Filsum Print

peradaban pasca-modern itu sebagai datangnya industri-industri baru yang

didasarkan pada komputer, elektronik, informasi, bioteknologi. Ini memungkinkan

pabrikasi yang fleksibel, pasar lokal, meluasnya pekerjaan paruh-waktu, dan de-

masivisasi media, dan mengambarkan fusi baru antara produser dan konsumer dan

terbentuknya apa yang disebut sebagai prosumer. Ini menggambarkan pergeseran

pekerjaan ke rumah dan perubahan-perubahan dalam bidang politik dan sistem

pemerintahan.

49

Page 50: Filsum Print

DAFTAR PUSTAKA

Aceng, dkk. 2011. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarata: Prenada Meda Grup.

Cahyani, Rina. 2011. Derrida; Biografi Dan Pemikiran.

Http://profil.merdeka.com/mancanegara/j/jacques-derrida/. Diakses tanggal 27

Februari 2013 pukul 15:51 WIB

Hadiwijoyo, Harun, 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Percetakan Kanisius, Yogyakarta.

Hadiwijono, H.1995. Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta: Kanisius.

Hamersma, Herry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.Jakarta: Gramedia

Kattsoft, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. (terjemah). Yogyakarta: Tiara Wacana

Yogya.

Magnis Suseno, Franz., 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisius.

Magnis Suseno, Franz., 2006. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius.

Muzairi. 2009. Filsafat Umum. Yogyakarta: Teras.

Rodliyah, Ummi. 2011. Postmodernisme Dalam Pandangan Jean Francois Lyotard.

http://www.tokohposmodernisme.com/html/.(diakses tanggal 27 Februari 2013

pukul 15:51 WIB)

Septin. 2007. Metanarative. http://septian.wordpress.com/2007/10/06/apa-itu-meta-

narrative/

Solihin. 2007. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung:

Pusta Setia

Sudarsono, Drs. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Surya.2010. Mengenal Postmodern.http://suyadian.wordpress.com/2010/17/06/mengenal-

postmodern/).

Syadali, Ahmad dkk. 1997. Filsafat Umum. Cet 1. Bandung: Cv .Pustaka Setia

Tafsir, A.2001. Filsafat Umum. Bandung: Rosda.

Thevenaz, Pierre.1962. What is Phenomenology? Chicago: Quadrangle Books

Yanur, Fadli. 2008. Hakekat Pragmatisme. Tersedia pada

(http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html. diakses pada

tanggal 14-02-2013

Yanur, Fadli. 2008. Pandangan Pragmatisme dan Penerapannya di Bidang Pendidikan.

Tersedia pada (http://fadliyanur.blogspot.com/2008/05/aliran-pragmatisme.html)

50

Page 51: Filsum Print

51