Print Dwnk

36
BAB I PENDAHULUAN A. Tujuan 1. Mengetahui mekanisme patologi dari Myastenia Gravis. 2. Mengetahui mekanisme pengobatan Myastenia Gravis secara imunofarmakologi. B. Latar Belakang Mistenia gravis merupakan penyakit autoimun, biasanya mengenai orang berumur 20-40 tahun, dengan progresivitas kelemahan yang fluktuasi, mengenai terutama otot okular, otot bulbus, dan otot tungkai proksimal (J. C. E. Underwood, 2000). Pada penyakit ini terdapat antibodi terhadap reseptor asetilkolin pada sinaps neuromuskular. Dapat disertai patologi timus, seperti hiperplasia, atrofi, atau tumor-timoma (Lionel Ginsberg, 2005). Mistenia gravis juga dikatakan penyakit autoimun dimana persambungan otot dan saraf (neuromuscular junction) berfungsi tidak normal, menyebabkan kelemahan otot menahun, kelemahan progresif dan sporadis, kelemahan abnormal pada otot skeletal, dan bertambah buruk setelah latihan dan pengulangan gerakan. Jumlah 1

Transcript of Print Dwnk

Page 1: Print Dwnk

BAB I

PENDAHULUAN

A. Tujuan

1. Mengetahui mekanisme patologi dari Myastenia Gravis.

2. Mengetahui mekanisme pengobatan Myastenia Gravis secara

imunofarmakologi.

B. Latar Belakang

Mistenia gravis merupakan penyakit autoimun, biasanya mengenai orang

berumur 20-40 tahun, dengan progresivitas kelemahan yang fluktuasi,

mengenai terutama otot okular, otot bulbus, dan otot tungkai proksimal (J. C.

E. Underwood, 2000). Pada penyakit ini terdapat antibodi terhadap reseptor

asetilkolin pada sinaps neuromuskular. Dapat disertai patologi timus, seperti

hiperplasia, atrofi, atau tumor-timoma (Lionel Ginsberg, 2005).

Mistenia gravis juga dikatakan penyakit autoimun dimana persambungan

otot dan saraf (neuromuscular junction) berfungsi tidak normal, menyebabkan

kelemahan otot menahun, kelemahan progresif dan sporadis, kelemahan

abnormal pada otot skeletal, dan bertambah buruk setelah latihan dan

pengulangan gerakan. Jumlah reseptor asetilkolin yang ditemukan pada kondisi

ini sedikit. Gangguan ini menyerang otot yang dikendalikan saraf kranial

(wajah, bibir, lidah, leher dan tenggorokan), dan dapat menyerang otot lain.

Penyakit ini juga berbahaya karena juga melibatkan sistem pernapasan.

Miastenia gravis merupakan juga kelainan antibody yang terjadi akibat

sel reseptor dari lapisan otot sehingga menjadi autoimmune. Autoimmune ini

menyerang pada beberapa lapisan otot sehingga terjadinya gejala dan tanda

umum dari Miastenia gravis .Semua otot yang ada ditubuh kita diaktifkan oleh

rangsangan syaraf yang berjalan sepanjang batang syaraf dari otak dan urat

syaraf tulang belakang . Bila rangsangan saraf mencapai persimpangan

neuromuscular , titik dari sambungan serabut saraf berakhir pada serabut otot ,

1

Page 2: Print Dwnk

zat yang dihasilkan disebut Acetylcholine (AcH) , dimana reseptor pada

membrane otot yang diserang serta menghasilkan kontraksi otot .

C. Rumusan Masalah

1. Pengertian Myastenia Gravis?

2. Tanda dan gejala Myastenia Gravis?

3. Mekanisme terjadinya Myastenia Gravis?

4. Mekanisme pengobatan pada Myastenia Gravis?

2

Page 3: Print Dwnk

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Imunologi

Manusia dan binatang multiseluler, mempunyai daya faal untuk

mengenal bahan atau zat kimia yang dianggap “diri sendiri” (self) dan

membedakannya dari yang “asing” (non self). Kemampuan ini menjadi dasar

dari kekebalan, karena badan akan berusaha untuk mengeluarkan atau

memusnahkan bahan asing yang masuk ke dalam jaringan tubuh.

Sistem imun terdiri atas pelaksana, yaitu lekosit yang terdiri dari limfosit-

T/B (sel-T4/T8), NK cells, memory cells, dan granulosit (sel neutrofil,

eosinofil, dan basofil). Selain pelaksana, sistem imun juga didukung bahan-

bahan yang disekresi, yaitu cytokine: monokin dan limfokin (interferon,

interleukin, dan Tumor Necrosis Factor).

Dalam darah perifer terdapat tiga kelompok sel darah putih, yaitu

limfosit, granulosit, dan fagosit. Limfosit T mengalami maturasi dalam timus,

dan dibedakan menjadi sel T helper yang mengenali antigen, sel T supresor

yang mengatur, dan sel T sitotoksik yang langsung memusnahkan zat asing.

Selain itu, Natural Killer-Cells yang termasuk kelompok  limfosit granuler

besar dapat melarutkan zat asing tanpa antibodi atau pengenalan antigen.

Sedangkan LAK (Lymphokin Activated Killercells) adalah NKcells yang

diaktivasi invitro. Limfosit B mengalami maturasi pada bursa fabrisius sel B

mengalami maturasi menjadi sel plasma, atau sel B memori di bawah pengaruh

makrofag. Antibodi yang disintesa dan dilepaskan dibagi menjadi 5 tipe

antibodi atau immunoglobulin, yaitu tipe IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM, yang

masing-masing mempunyai sifat spesifik tersendiri. Granulosit adalah lekosit

dengan granula dan polinuklear. Dikenal 3 kelompok granulosit, yaitu sel

neutrofil, basofil, dan eosinofil, yang juga disebut makrofag.

Cytokine adalah protein yang dibentuk tubuh dengan fungsi utama

berkomunikasi antara berbagai bagian dari sistem imun. Terutama dibentuk

oleh monocyte dan makrofag, tetapi juga limfosit, granulosit, hepatosit,

3

Page 4: Print Dwnk

kreatinosit, fibroblast, dan sel-sel epitel yang dapat membentuknya. Contoh

lainnya adalah interferon, limfokin, dan monokin (Tjay dan Rahardja, 2006).

Tangkisan aspesifik bersifat umum dan tidak diarahkan pada suatu zat

asing tertentu atau perlu aktivasi terlebih dahulu seperti pada tangkisan

spesifik. Pemeran utama pada sistem tangkis ini adalah makrofag, dibantu oleh

neutrofil dan monocyte. Fungsi sel-sel ini adalah membasminya dengan jalan

fagositosis serta melontarkan sejumlah proses-tangkis, seperti reaksi

peradangan, pelepasan mediator, dan demam.

Tangkisan khas dilakukan oleh limfosit T dan B yang bekerja sama

secara erat, dengan limfo-T4 merupakan poros dari imunitas spesifik. Antigen

akan diproses oleh makrofag, kemudian akan dipresentasikan oleh Antigen

Presenting Cell (APC) kepada sel B dan sel T (Tjay dan Rahardja, 2006).

Tabel 2.1 Mekanisme Kerja Imunologi

Nonspesifik Spesifik

ResistensiTidak berubah oleh

infeksi

Membaik oleh infeksi berulang

(=memori)

Spesifitas

Umumnya efektif

terhadap semua mikroba

Spesifik untuk mikroba yang sudah

mensensitisasi sebelumnya

Sel yang

penting

Fagosit

Sel NK (Natural Killer)

Sel mast

Eosinofil

Sel T : T sitotoksik (Tc), T helper

(Th), T supresor (Ts), dan T dth

Sel B

Molekul yang

penting

Lisozim

Komplemen

APP (Acute Phase

Protein)

Interferon

CRP (C-Reactive

Antibodi

Sitokin

Mediator

Molekul adhesi

4

Page 5: Print Dwnk

Protein)

Kolektin

Molekul adhesi

(Baratawidjaja, 2006).

B. Pengertian Miastenia Gravis

Miastenia gravis (MG) dengan nama-nama lain seperti asthenic bulbar

palsy, myasthenia gravis pseudoparalytica atau Goldflam's disease1 merupakan

kelainan neuromuscular junction (NMJ) yang paling banyak, ditandai dengan

kelemahan dan kelelahan otot skletal. Sebagian besar adalah penyakit

autoimun yang dimediasi oleh antibodi. Kerusakan yang mendasarinya adalah

berkurangnya jumlah reseptor asetilkolin (AchRs) yang tersedia pada NMJ

secara menyeluruh dan merusak membran postsinaptik

Miastenia gravis merupakan bagian dari penyakit neuromuskular.

Miastenia gravis adalah gangguang yang memengaruhi transmisi

neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang

(volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-

satunya penyakit neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya terjadi

kelelahan otot-otot volunter dan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu

10-20 kali lebih lama dari normal). (Price dan Wilson, 1995). Karakteristik

yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi

kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial.

Serangan dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada

wanita antara 15-35 tahun dan pada pria sampai 40 tahun. 

Miastenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi

neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi reseptor

asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, miastenia gravis

merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor

asetilkolin terdapat didalam serum pada hampir semua pasien. Antibodi ini

merupakan antibodi IgG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan.

(Chandrasoma dan Taylor, 2005).

BAB III

5

Page 6: Print Dwnk

PEMBAHASAN

A. Anatomi, Fisiologis, Dan Biokimia Neuromuscular Junction

a. Anatomi Neuromuscular Junction

Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang

anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.

Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang

tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat suatu

sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan

neuromuskular (Newton, 2008).

Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang

disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di

sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post

sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian

pembentuk neuromuscular junction (Howard, 2008).

Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction

6

Page 7: Print Dwnk

b. Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran

post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu

lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa

yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi (Newton, 2008).

Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi

asetilkolin (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal

namun dengan cepat diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil,

yang dalam keadaan normal terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir

motorik (motor end plate) (Howard, 2008)

Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125

kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila

potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-

ion kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga

mempunyai pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel

akan bersatu ke membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam

celah sinaps. Asetilkolin yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan

berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik

(Howard, 2008)

Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction

dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:

1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan

enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

Asetil-KoA + Kolin à Asetilkolin + KoA

2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang

disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.

3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap

berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi

7

Page 8: Print Dwnk

vesikel dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal

(sekitar 10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu

vesikel sinaps) akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan

potensial endplate miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami

depolarisasi akibat transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka

saluran Ca2+ yang sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan

aliran masuk Ca2+ dari ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ ini memerankan

peranan yang esensial dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi

kurang lebih 125 vesikel) ke dalam rongga sinaps.

4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps

ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian

yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin

(AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.

Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini

akan mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor

yang memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan

menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end

plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di

dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut

saraf sehingga timbul kontraksi otot.

5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh

enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

Asetilkolin + H2O à Asetat + Kolin

Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina

basalis rongga sinaps

6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif

di mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin

(Murray, 1999).

8

Page 9: Print Dwnk

Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan

saluran yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini

terdiri dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu

protein beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium

dapat bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi

depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan

menyebabkan suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot

yang disebut excitatory postsynaptic potential (potensial lempeng akhir).

Apabila pembukaan gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu

potensial aksi pada membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi

otot (Newton, 2008).

Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction

B. Patofisiologi

Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan

neuromuskular, maka membran akson terminal presinaps mengalami

depolarisasi sehingga asetilkolin akan dilepaskan dalam celah sinaps.

Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan bergabung dengan reseptor

asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan

perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba

menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng

akhir (EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi

9

Page 10: Print Dwnk

dalam membran otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan

disalurkan sepanjang sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi

yang mengakibatkan kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati

hubungan neuromuscular terjadi, astilkolin akan dihancurkan oleh enzim

asetilkolinesterase (Nicolle, 2002).

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini

mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang

menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus

eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain.

Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada

serum penderita MG secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah

yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan MG.

10

Page 11: Print Dwnk

Gambar 1 . Paut saraf otot normal. Diagram ini menggambarkan paut saraf

otot, menunjukkan ujung saraf presinaptik dan postsynaptic muscle endplate.

Gambar 2 . Mekanisme kerja antibodi anti-asetilkolin reseptor, ada tiga

kemungkinan

(A) antibodi reseptor asetilkolin memblokade cholinergic binding site dari

reseptor asetilkolin (AChR), mencegah asetilkolon berikatan dengan reseptor.

(B) antibodi reseptor asetilkolin melakukan cross-link dengan AChR terdekat,

meningkatkan laju internalisasi ke dalam otot.

(C) antibodi reseptor asetilkolin yang mengikat komplemen menyebabkan

destruksi muscle endplate dan menekan jumlah AChR.

Sumber9 : Nicolle Michael W. Myasthenia Gravis.The neurologist.vol 8,no 1

2002

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas

dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada

membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi.

Karena kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps

menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah

motor endplate dapat dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah

asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan membran postsinaps

motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut maka kontraksi

otot tidak dapat berlangsung lama.

Neuromuscular junction terdiri dari membran presinaptik (membran

saraf), membran postsinaptik (membran otot) dan celah sinaps (ruang yang

berada diantara 2 membran). Pada neuromuscular junction, terminal

presinaptik berisi vesikel-vesikel yang didalamnya terdapat asetilkolin (ACh).

Saat terjadi potensial aksi, maka membran akson terminal presinaps ini akan

mengalami depolarisasi sehingga isi dari vesikel, yaitu ACh, akan di lepaskan

ke dalam celah sinaps. Molekul-molekul Ach ini akan mengalami proses difusi

melalui sinaps dan bergabung dengan AChRs di postsinaps membran. Struktur

dari ACh telah diuraikan secara penuh; terdiri atas 5 subunit (2α, 1β, 1δ, dan 1γ

11

Page 12: Print Dwnk

atau ε). Ketika ACh digabungkan dengan subunit α dari reseptor ACh, channel

dalam AChR terbuka, menyebabkan masuknya dari kation, terutama Natrium,

yang menimbulkan terjadinya depolarisasi pada region end-plate dari serabut

otot. Bila terjadi depolarisasi yang cukup besar, maka akan menginisiasi

potensial aksi yang merambat di sepanjang serabut otot, yang merupakan

trigger terjadinya kontraksi otot. Proses ini akan diterminasi secara cepat

dengan hidrolisis dari ACh oleh acetylcholinesterase (AChE), yang berada

dalam lipatan sinaps, dan dengan difusi ACh agar menjauh dari reseptor.

Pada mistenia gravis, defek yang terjadi adalah penurunan jumlah

ketersediaan dari AChRs pada membran postsinaps atau karena lipatan

postsinaps yang datar. Perubahan ini menyebabkan penurunan efisiensi

transmisi neuromuscular. Oleh karena itu, walaupun ACh dikeluarkan dalam

jumlah normal, akan menghasilkan potensial end-plate yang kecil sehingga

gagal dalam trigger potensial aksi. Kegagalan transmisi pada sejumlah besar

neuromuscular junction akan menyebabkan terjadinya kelemahan kontraksi

otot.

Kelainan neuromuscular pada MG disebabkan oleh respon autoimun

yang diperantarai oleh anti body anti-AchRyang spesifik.antibody anti-AchR

mengurangi jumlah AchR yang tersedia pada persambungan neuromuscular

oleh tiga mekanisme yang berbeda :

1. reseptor asetilkolin dapat diturunkan derajatnya pada kecepatan yang

dipercepat oleh mekanisme yang melibatkan cross linking dan endositosis

reseptor yang cepat.

2. tempat aktif AChR yakni tempat yang secara normal mengikat Ach,dapat

diblok oleh antibody

3. membrane otot pasca sinaps dapat dirusak oleh antibody dalam kerjasama

dengan system komplemen.

Jumlah ACh yang dikeluarkan per impuls normalnya menurun pada

aktivitas yang berulang (disebut sebagai presynaptic rundown). Pada pasien

myastenic, penurunan efisiensi transmisi neuromuskuler dikombinasikan

dengan normal rundown menyebabkan aktivasi serabut otot yang makin lama

makin berkurang dan meningkatkan kelemahan, atau disebut myasthenic

12

Page 13: Print Dwnk

fatique. Mekanisme ini juga yang berperan pada respon terhadap stimulasi

saraf yang repetitive pada tes electrodiagnostic. Abnormalitas muskuler pada

MG disebabkan oleh autoimmune response mediated spesifik anti-AChR

antibody.

Respon imun terhadap muscle specific kinase (MuSK) dapat juga

menyebabkan terjadinya miastenia gravis. MuSK bekerja untuk mengganggu

pada diferensiasi postsinaps dan sekelompok AChR. Biasanya terjadi pada

pasien dengan Seronegative Myasthenia Gravis (SNMG), yang mana pasien-

pasien ini tanpa antibodi anti-AChR.

Bagaimana respon autoimun diinisiasi dan dipertahankan pada MG

masih belum dapat dimengerti secara pasti. Akan tetapi, thymus nampaknya

memiliki peranan dalam proses ini. Pada 75% pasien dengan MG terdapat

thymus yang abnormal; 65% thymus “hyperplastic”, dengan adanya germinal

centers yang terdeteksi secara histologis, meskipun thymus yang “hyperplastis”

belum tentu membesar. Sebagai tambahan, 10% dari pasien memiliki thymic

tumors (thymomas). Muscle like cells dalam thymus (myoid cells), yang

memuat AChRs pada permukaannya, dapat menjadi sumber dari autoantigen

dan mentrigger reaksi autoimun di dalam kelenjar thymus.

Kelainan kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara

radiologis kelainan belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara

histologik kelenjar timus pada kebanyakan pasien menunjukkan adanya

kelainan. Wanita muda cenderung menderita hiperplasia timus, sedangkan pria

yang lebih tua dengan neoplasma timus. Elektromiografi menunjukkan

penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila otot dipergunakan terus-

menerus.

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B”,

dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor

asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin

menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait

dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma,

biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik (Small

George, 2003).

13

Page 14: Print Dwnk

Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam

berbagai subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan

area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding

site dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor

asetilkolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui

beberapa cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi

anti-reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada

neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada

membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat

digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis

(Howard, 2008)

C. Klasifikasi Miastenia Gravis

Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), MG dapat

diklasifikasikan sebagai berikut

Klas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup

mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

Klas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya

kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

Klas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga

terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan

Klas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.

Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih

ringan dibandingkan klas IIa.

Klas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan

otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat

sedang

KlasIII

a

Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau

keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal

yang ringan

Klas

IIIb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya

secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh,

14

Page 15: Print Dwnk

otot-otot aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

Klas

IV

Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam

derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan

dalam berbagai derajat.

Klas

Iva

Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau

otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam

derajat ringan

Klas

IVb

Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya

secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot

anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.

Penderita menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi

Klas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik

MG juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah

ini3 :

1. MG dengan ptosis atau diplopia ringan.

2. MG dengan ptosis, diplopia, dan kelemahan otot-otot untuk untuk

mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota tubuhpun dapat ikut

menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

3. MG yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan otot-otot

okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat meninggal dunia.

D. Tanda dan Gejala

Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu : Kelemahan local

yang ringan sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira

33% hanya terdapat gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot

lainnya. Kelemahan ekstremitas tanpa disertai gejala kelainan okular jarang

ditemukan. Kesulitan mengunyah dan menelan. Pada 90% penderita, gejala

awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan diplopia.

Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral. Setelah beberapa minggu

sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia (paralysis ocular).

Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang sore atau

15

Page 16: Print Dwnk

malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun.

Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari

sehingga boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari

kesulitan penglihatan. Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau

bilateral, salah satu otot okular paretik, paresis N III interna (reaksi

pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator

palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator palpebra jelas lumpuh pada

miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa

bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua

belah sisi akan melengkapi ptosis miastenia gravis

Ciri-ciri utama adalah weakness dan fatigability dari otot. Kelemahan

bertambah selama penggunaan yang berulang (fatigue), dan dapat membaik

bila beristirahat atau tidur. Atau bisa dikatakan juga bahwa MG dikarakterisasi

oleh kelemahan yang asimetris dan fatigue dari otot skeletal, yang memburuk

pada aktifitas fisik dan membaik pada saat beristirahat.

Perjalanan MG sering bervariasi. Exacerbasi dan remisi dapat timbul,

terutama selama beberapa tahun awal setelah onset dari penyakit. Remisi

jarang menjadi lengkap atau permanen. Infeksi atau kelainan sistemik yang

tidak berelasi sering mengarah kepada bertambahnya kelemahan myasthenic.

Kelemahan sering timbul pertama kali pada otot- otot ekstraokuler dan

tetap terbatas di otot ekstraokuler pada 15% kasus (Ocular myasthenia), tapi

dapat progresif (generalized myasthenia). Otot-otot facial dan pharyngeal dapat

terkena, menyebabkan terjadinya ekspresi wajah yang kosong, dysarthria, sulit

mengunyah dan menelan, control muskuler yang buruk dari kepala, dan

rhinorrhea. Kelemahan respirasi yang mengarah kepada pelemahan dari batuk,

dan peningkatan resiko aspirasi. Dapat menjadi sulit bahkan tidak mungkin

untuk pasien berdiri, atau berjalan, dan dapat terjadi disability total.

Distribusi kelemahan otot sering memiliki pola yang khas. Secara lebih

jelasnya, muskulus craniales, terutama kelopak mata dan otot ekstraokuler,

sering timbul pada perjalanan awal dari MG, dan diplopia serta ptosis

merupakan keluhan inisial yang umum. Kelemahan facial menimbulkan

ekspresi wajah yang kosong saat pasien mencoba untuk tersenyum. Kelemahan

16

Page 17: Print Dwnk

dalam mengunyah paling dapat diketahui setelah usaha yang lama, seperti

mengunyah daging. Dapat terjadi disarthria karena kelemahan otot lidah.

Kesulitan dalam menelan dapat timbul sebagai hasil dari kelemahan palatum,

lidah, atau faring, meningkatkan resiko terjadinya refurgitasi atau aspirasi

minuman ataupun makanan. Kelemahan bulbar terutama menonjol pada MuSK

antibody-positive MG. Pada 85% pasien, kelemahan menjadi bersifat general,

mempengaruhi otot-otot ekstremitas. Bila kelemahan tetap terbatas pada otot

ekstraokuler selama 3 tahun, sering tidak terjadi kelemahan yang bersifat

general (Ocular MG). Kelemahan otot dapat proksimal dan asimetris. Bila

kelemahan menjadi amat berat sampai melibatkan otot pernapasan, pasien

dikatakan masuk dalam tahap “crisis”.

E. Pengobatan dan Mekanisme

Tujuan pengobatan MG adalah untuk mencapai tiga tujuan penting: (1)

transmisi optimal neuromuscular, (2) Mengurangi atau menetralkan

konsekuensi dari reaksi autoimun, (3) Memodifikasi the natural history.

Miastenia gravis dapat diterapi dengan beberapa obat berikut, yaitu:

a. antikolinesterase, misal piridostigmin yang dapat memperbaiki gejala, dan

neostigmin untuk menghancurkan kolinesterase;

b. kortikosteroid, misal prednisolon diperlukan untuk penyakit yang sedang

hingga berat yang tidak responsif terhadap terapi lain;

c. imunosupresi, misal azatioprin, digunakan dalam kombinasi dengan

kortikosteroid untuk kekadaan berat;

17

Page 18: Print Dwnk

d. timektomi jika terdapat timoma, dan pada pasien muda dilakukan pada awal

penyakit untuk mengurangi kebutuhan terapi medikamentosa, dan pada

sebagian kecil pasien untuk mencapai remisi total;

e. pertukaran plasma (plasmaferesis) atau imunoglobulin intravena untuk

persiapan timektomi dan pada penyakit sangat berat (Lionel Ginsberg,

2005).

a. Mekanisme Kortikosteroid, Azatioprin dan Siklosporin A.

Imunosupresi adalah usaha untuk menekan respon imun, jadi berfungsi

sebagai control negative atau regulasi reaktivitas imunologik. Dalam klinik

kegunaanya adalah untuk mencegah reaksi penolakan pada transplantasi organ

tubuh dan menekan serta menghambat pembentukan antibody pada penyakit

autoimun. Imunosupresi dapat dilakukan dengan obat imunosperesan, globulin

antilimfosit, radiasi dan tindakan operasi

Imunosupresi yang digunakan untuk miastenia gravis adalah

kortikosteroid, azatioprin dan siklosporin A.

1. Kortikosteroid

Mekanisme kortikosteroid sebagai imunosupresan adalah melalui

aktivitas anti peradangan, menghambat asam arakidonat menurunkan populasi

leukosit, menimbulkan limfopenia terutama sel Th dan dalam dosis tinggi

menekan pengeluaran sitikin dari sel T. Kortikosteroid memiliki efek yang

kompleks terhadap sistem imun dan efek terapi yang pasti terhadap MG masih

belum diketahui. Kortikosteroid diperkirakan memiliki efek pada aktivasi sel T

helper dan pada fase proliferasi dari sel B. Sel T serta antigen-presenting cell

yang teraktivasi diperkirakan memiliki peran yang menguntungkan dalam

memposisikan kortikosteroid di tempat kelainan imun pada MG. Pasien yang

berespon terhadap kortikosteroid akan mengalami penurunan dari titer

antibodinya.

2. Azathioprine dan siklosporin A  

Azatioprin adalah inhibitor mitosis, bekerja pada fase S, menghambat

sintesis asam inosinat prekrusor purin asam adenilat dan giuanilat. Baik sel T

maupun sel B akan menghambat proliferasinya oleh azatioprin. Azatioprin

menghambat sintesis purin sel dan mengakibatkan hambatan penggadaan sel.

18

Page 19: Print Dwnk

Azitioprin berperan menekan fungsi system imun seluler yang menurunkan

jumlah monosit dan fungsi sel K . pada dosis 1-5 mg/KgBB tidak berpengaruh

pada sistem imun humoral. Dengan menurunkan fungsi sistem selular ini maka

penerimaan transplan dipermudah dan timbul anergi. Kerugiannya adalah

meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan kecenderungan timbul

keganasan. Siklosporin menghambat aktifasi sel T dengan menghambat

transkripsi gen yang menyandi IL-2 dan IL-2R. Siklosporin A adalah suatu

heksa-dekapeptida berasal dari jamur yang mempunyai khasiat menghambat

proliferasi dan transformasi sel Th, menghambat sitotoksisitas sel Th,

menghambat produksi limfokin sel Th, dan meningkatkan aktivitas sel Ts. Pada

transplantasi organ, obat ini meningkatkan masa hidup transplan. Kerugiannya

adalah meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan kejadian penyakit

limfoproliferatif.

19

Page 20: Print Dwnk

Potensi generasi kelima imunosupresif strategi meliputi:

Agen imunosupresif dapat mengganggu penyajian antigen-sel (APC)

sinyal dengan menghambat penyerapan dan penyajian antigen, aktivasi dan

diferensiasi (a); co-stimulasi blok sinyal atau tersiksa molekul penghambat (b);

memusuhi sinyal antigen atau mediator aktivasi proksimal (c); sitokin interupsi

mengikat reseptor pada permukaan sel (d), atau menghambat sitokin-sinyal

transduksi (e). APC, antigen-presenting sel; CTLA4, antigen limfosit T

sitotoksik 4; JAK3, Janus kinase 3; L, ligan; mTOR, target mamalia dari

rapamycin; NFAT, faktor nuklir sel T aktif; NF-B, nuklir faktor-B; PKB,

protein kinase B; R, reseptor; STAT5, sinyal transduser dan aktivator

transkripsi 5; TCR, T-sel reseptor; TLR4, Pulsa seperti reseptor 4; ZAP70,

rantai terkait protein 70.

20

Page 21: Print Dwnk

21

Page 22: Print Dwnk

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Miastenia gravis pada anak jarang. Gangguan MG berlokasi pada

neuromuscular junction. Penyebab gangguan transmisi neuromuskuler

merupakan suatu kelainan imunologik yang menyebabkan berkurangnya AChR

pada membran postsinaptik dan juga bias disebut sebagai “penyakit terkait sel

B”, dimana antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan

reseptor asetilkolin. Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai

semakin menonjol. Timus merupakan organ sentral terhadap imunitas yang

terkait dengan sel T.

B. Saran

Untuk kedepannya, diharapkan perkembangan IPTEK semakin

meningkat terutama pada imunologi sehingga banyak penelitian-penelitian

yang berhubungan immunologi. Dari penelitian tersebut diharapkan ilmu-limu

pengetahuan tentang imunologi betambah banyak dan dari penelitian tersebut

diharapkan pula ditemukan suatu obat yang dapat mengobati suatu penyakit

yang berhubungan dengan system imunitas manusia terutama penyakit-

penyakit autoimun.

22

Page 23: Print Dwnk

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja. Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi ke Tujuh. Jakarta: Balai

Penerbitan FKUI.

Chandrasoma, Parakrama, Clive R.Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi.

Edisi2 Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi. Edisi Kedelapan. Jakarta:

Erlangga.

Howard, J. F. 2008. Myasthenia Gravis, a Summary. Available at :

http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_gravis/detail_myasthenia

_gravis.htm. Diakses 30 Juni 2010

Murray, R.K, Granner, D.K, Mayes, P.A. 1999. Biokimia Harper: Dasar

Biokimia Beberapa Kelainan Neuropsikiatri. Edisi 24. EGC. Jakarta.

Newton, E. 2008. Myasthenia Gravis. Available at :

http://en.wikipedia.org/wiki/Myasthenia_gravis. Diakses 30 Juni 2010

Nicolle Michael W. 2002. Myasthenia Gravis. The neurologist.vol 8,no 1

Small George A , Aloi Mara. 2003 .Myastenia Gravis, In: Principles and

Practise of Emergency Neurology. Cambridge University Press

Price, Sylvia A., dan Wilson, Lorraine M. 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis

Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Tjay, T. H., Rahardja, K. 2002 . Obat-obat Penting Khasiat dan

Penggunannya (edisi 5). Jakarta : PT. Elex Media Computindo

23

Page 24: Print Dwnk

24