Prinsip Keperawatan Gawat Darurat
-
Author
agusrina-jamala-loebis -
Category
Documents
-
view
508 -
download
30
Embed Size (px)
description
Transcript of Prinsip Keperawatan Gawat Darurat
Prinsip Keperawatan Gawat Darurat Prinsip pada penanganan penderita gawat darurat harus cepat dan tepat serta harus dilakukan segera oleh setiap orang yang pertama menemukan/mengetahui (orang awam, perawat, para medis, dokter), baik didalam maupun diluar rumah sakit karena kejadian ini dapat terjadi setiap saat dan menimpa siapa saja. http://nezs.edublogs.org/2010/12/02/gawat-darurat/ Fungsi Perawat 1. Fungsi Independen Merupakan fungsi mandiri & tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri dalam melakukan tindakan untuk memenuhi KDM. 2. Fungsi Dependen Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau instruksi dari perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan. Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat primer ke perawat pelaksana. 3. Fungsi Interdependen Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan diantara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemebrian pelayanan. Keadaan ini tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun lainnya. http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/09/peran-dan-fungsi-perawat/
Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUHPerdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berkut: (a). Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal 1365 BW dan Pasal 1366 BW. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang mengakibatkan kerugian pada pasien maka ia wajib memikul
tanggungjawabnya secara mandiri. (b). Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau let's the master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal 1367 BW. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan bentuk pertanggungjawaban di atas. Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama bertanggung gugat kepada kerugian yang menimpa pasien. (c). Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming berdasarkan Pasal 1354 BW. (d). Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus melakukan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain yang berkompeten untuk itu. http://sinta.unja.ac.id/unja/index.php?option=com_content&task=view&id=227&Itemid=1
Sesuai permenkes RI no.1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, dijelaskan perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan keperawatan, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 5 Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai kejujuran profesional dalam menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan individu keluarga dan masyarakat. Pasal 6 Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pasal 7 Perawat tidak akan menggunakan pengetahuan dan keterampilan keperawatan untuk tujuan yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan. Pasal 8 Perawat dalam menunaikan tugas dan kewajibannya senantiasa berusaha dengan penuh kesadaran agar tidak terpengaruh oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik dan agama yang dianut serta kedudukan sosial. Pasal 9
Perawat senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan pasien/klien dalam melaksanakan tugas keperawatan serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalih tugaskan tanggung jawab yang ada hubungannya dengan keperawatan. http://nurad1k.blogspot.com/2010/02/kedudukan-profesi-keperawatan-dalam.html
Kamis, 23 Desember 2010PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PERAWAT DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN
Arrie Budhiartie,S.H.,M.Hum (Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Jambi) A. Pengantar Perawat merupakan aspek penting dalam pembangunan kesehatan Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang diatur dalam PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Bahkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tenaga perawat merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar yang dalam kesehariannya selalu berhubungan langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Namun di dalam menjalankan tugasnya tak jarang perawat bersinggungan dengan masalah hukum. Bahkan profesi perawat sangat rentan dengan kasus hukum seperti gugatan malpraktik sebagai akibat kesalahan yang dilakukannya dalam pelayanan
kesehatan. Terlebih lagi bahwa perawat bukan lagi sekedar tenaga kesehatan yang pasif. Bahkan di New York sejak tahun 1985 melalui suatu kepeutusan Pengadilan Tinggi diakui bahwa perawat bukan lagi menjadi petugas kesehatan yang pasif, tetapi penyedia jasa perawatan kesehatan yang desisif dan asertif. Dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya perubahan status yuridis dari perpanjangan tangan menjadi kemitraan atau kemandirian, seorang perawat juga telah dianggap bertanggung jawab hukum untuk malpraktik keperawatan yang dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yakni dalam bentuk malpraktik medik (yang dilakukan oleh dokter) dan malpraktik keperawatan. Menurut hasil lokakarya Keperawatan Nasional Tahun 1983, Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik, yang sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus hidup manusia. Sementara pengertian perawat dalam Permenkes No. HK.02.02/MENKES/148/2010 adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. B. Fungsi, Peran, dan Kewenangan Perawat. Dalam praktik keperawatan, fungsi perawat terdiri dari tiga yakni fungsi independent, fungsi interdependen, dan fungsi dependen[2]. 1. Fungsi Independen adalah those activities that are considered to be within nursings scope of diagnosos and treatment. Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak membutuhkan perintah dokter.Dalam hukum administrasi negara, fungsi independen ini merupakan kewenangan yang bersifat atribusi dalam asrti kewenangan perawat untuk melakukan suatu tindakan keperawatan berdasarkan kewenangan yang diperoleh dari undang-undang atau perundang-undangan. Dalam hal ini diatur dalam Permenkes No.
HK.02.02/MENKES/148/2010
tentang
Izin
dan
Penyelenggaraan
Praktik
Perawat Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10. Contoh tindakan perawat dala fungsi independen adalah: a. pengkajian seluruh kejarah kesehatan pasien/keluarganya dan menguji secara fisik untuk menentukan status kesehatan b. mengidentifikasi tindakan keperawatan mungkin dilakukan untuk memelihara atau memperbaiki kesehatan c. membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari d. mendorong pasien untuk berperilaku secara wajar. 2. Fungsi Interdependen adalah carried out in conjunction with other health team members. Tindakan perawat yang berdasarkan pada kerja sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Kewenangan yang dimiliki dalam menjalankan fungsi ini disebut sebagai kewenangan delegasi karena diperoleh karena adanya suatu pendelegasian tugas dari dokter kepada perawat. 3. Fungsi Dependen adalah the activities performed based on the physicians order. Di sini perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan pelayanan medik, memberikan pelayanan pengobatan, dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter yang seharusnya dilakukan oleh dokter seperti pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntukan dan sebagainya. Kewenangan di dalam fungsi ini adalah bentuk kewenangan yang diperoleh karena mandat. Dalam arti perawat melakukan suatu tugas karena adanya pemberian mandat dari dokter. Menurut dr.Sofwan Dahlan, SpPF(K)[3], seorang pakar hukum kesehatan dari Unika Soegiyopranoto Semarang menyebutkan bahwa tindakan perawat yang bekerja di RS dapat dibagi menjadi: 1. Caring activities semua tindakan keperawatan yang memang menjadi tanggungjawab perawat & oleh karenanya perawat yang bersangkutan bertanggung jawab secara hukum terhadap tindakan tersebut; meliputi keputusan (decision) yang dibuatnya serta pelaksanaan (execution) dari keputusan tersebut
2. Technical activities adalah semua tindakan keperawatan dimana perawat hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap pelaksanaan ( execution) dari suatu keputusan (decision) yang dibuat oleh dokter. Termasuk technical activities antara lain: - Aktivitas yang dilakukan atas perintah tertulis dokter. - Aktivitas yang dilakukan atas perintah lisan dokter. - Aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan (protap) yang telah dibuat. - Aktivitas yang dilakukan dengan syarat ada dokter di RS yang dapat hadir segera. - Aktivitas-aktivitas tertentu di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan. - Aktivitas tertentu yang tidak memerlukan persyaratan khusus. 3. Delegated medical activities adalah adalah suatu tindakan yang menjadi bagian dari kewenangan medik, tetapi telah didelegasikan kepada perawat.
Dilihat dari peran perawat, maka secara garis besar perawat mempunyai peran sebagai berikut: 1. Peran perawatan (caring role/independent) 2. peran koordinatif (coordinative role/interdependent) 3. Peran Terapeutik (therapeutik role/dependent) Peran perawatan dan peran koordinatif adalah tanggung jawab yang mandiri, sementara tanggung jawab terapeutik adalah mendampingi atau membantu dokter dalam pelaksanaan tugas kedokteran, yaitu diagnosis, terapi, maupun tindakan-tindakan medis. Tugas pokok perawat apabila bekerja di RS adalah memberikan pelayanan berbagai perawatan paripurna. Oleh karena itu tanggung jawab perawat harus dilihat dari peran perawat di atas. Dalam peran perawatan dan koordinatif, perawat mempunyai tanggung jawab yang mandiri. Sementara peran terapeutik disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu beberapa kegiatan diagnostik dan tindakan medik dapat dilimpahkan untuk dilaksanakan oleh perawat. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa tanggung
jawab utama tetap pada dokter yang memberikan tuigas. Sedangkan perawat mempunyai tanggung jawab pelaksana. Pelimpahan hanya dapat dilaksanakan setelah perawat tersebut mendapat pendidikan dan kompetensi yang cukup untuk menerima pelimpahan. Pelimpahan jangka panjang atau terus menerus dapat diberikan kepada perawat kesehatan dengan kemahiran khusus, yang diatur dengan peraturan tersendiri (standing order). Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya pengaturan tentang pelimpahan tugas yang sesuai dengan keahlian perawat, misalnya perawat khusus gawat darurat, perawat pasien gangguan jiwa, perawat bedah, dan seterusnya. Dalam peran terapeutik maka berlaku verlengle arm van de arts/prolonge arm/extended role doctrine (doktrin perpanjangan tangan dokter). Tanpa delegasi atau pelimpahan, perawat tidak diperbolehkan mengambil inisiatif sendiri, yang berarti: 1. Dokter secara moral maupun yuridis bertanggungjawab atas tindakantindakan perawat yang dilakukan berdasarkan perintah dokter 2. Dokter harus mengamati tindakan-tindakan yang dilakukan perawat dan harus menjamin bahwa apa yang dilakukan perawat adalah benar 3. Dokter harus mampu memberikan petunjuk apabila perawat melakukan kesalahan, dan 4. Perawat dapat menolak melaksanakan perintah bila dirasa bahwa dirinya tidak kompeten untuk melakukan tindakan tersebut. Wewenang Permenkes kegiatan: 1. pelaksanaan asuhan keperawatan 2. pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan dan pemberdayaan masyarakat 3. pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer dalam No. melaksanakan praktik keperawatan tentang diatur Izin dalam dan HK.02.02/MENKES/148/I/2010
Penyelenggaraan Praktik Perawat. Praktik keperawatan dilaksankan melalui
Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi keperawatan meliputi penerapan, perencanaan dan pelaksanaan tindakan keperawatan. Sementara tindakan keperawatan meliputi prosedur keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan. Dalam Permenkes No. 148 Tahun 2010 tersebut terdapat kejelasan wewenang dalam memberikan obat kepada pasien. Bahwa dalam perawat menjalankan asuhan keperawatan dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas.
C. Pertanggungjawaban Perawat Pertanggungjawaban perawat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat dilihat berdasarkan tiga (3) bentuk pembidangan hukum yakni pertanggungjawaban secara hukum keperdataan, hukum pidana dan hukum administrasi. 1. Pertanggungjawaban Hukum Perdata Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUHPerdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berkut: a. Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal 1365 BW dan Pasal 1366 BW Setiap tindakan yang menimbulkan kerugian atas diri orang lain berarti orang yang melakukannya harus membayar kompensasi sebagai pertanggungjawaban kerugian dan seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya karena kerugian yang dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga karena kelalaian atau kurang berhati-hati Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang
mengakibatkan Dilihat yakni: dari
kerugian ketentuan
pada Pasal
pasien 1365
maka
ia
wajib di
memikul maka
tanggungjawabnya secara mandiri. KUHPerdata atas pertanggungjawaban perawat tersebut lahir apabila memenuhi empat unsur 1) Perbuatan itu melanggar hukum 2) Ada kesalahan 3) Pasien harus mengalami suatu kerugian 4) Ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian Mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum, undangundang tidak memberikan perumusannya. Namun sesuai dengan yurisprudensi Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919[4] ditetapakn adanya empat kriteria perbuatan melanggar hukum yaitu: 1) perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku 2) perbuatan itu melanggar hak orang lain 3) perbuatan itu melanggar kaedah tata susia 4) perbuatan itu bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Dengan demikian bila dilihat dari konsep hukum keperawatan maka pelanggaran terhadap penghormatan hak-hak pasien yang menjadi salah satu kewajiban hukum perawat dapat dimasukkan ke dalam perbuatan melanggar hukum. Pelanggaran tersebut misalnya tidak memberikan menjaga kerahasiaan medik pasien. Dan apabila pasien atau kelaurganya menganggap perawat telah dirugikan oleh perbuatan perawat yang melanggar hukum tersbut maka pasien/keluarganya dapat mengajukan gugatan tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU No. 36 Tahun 2009. b. Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau let's the master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal 1367 BW yang menyebutkan bahwa
Seseorang
harus
memberikan
pertanggungjaaban
tidak
hanya
atas
kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada dibawah pengawasannya Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan bentuk pertanggungjawaban di atas. Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama bertanggung gugat kepada kerugian yang menimpa pasien. c. Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming berdasarkan Pasal 1354 BW Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. la memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas d. Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus melakukan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain yang berkompeten untuk itu. Perlindungan hukum dalam tindakan zaarwarneming perawat tersebut tertuang dalam Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun 2010. Perawat justru akan dimintai pertanggungjawaban hukum apabila tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan dalam Pasal 10 tersebut. Gugatan berdasarkan wanprestasi seorang peraawat akan dimintai pertanggungjawaban apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu: a. Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam konteks ini apabila seorang perawat tidak mengerjakan semua tugas dan kewenangan sesuai dengan fungsinya, peran maupun tindakan keperawatan b. Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila kewajiban sesuai fungsi tersebut dilakukan terlambat yang mengakibatkan kerugian pada pasien. Contoh kasus seorang perawat yang tidak membuang kantong
urine pasien dengan kateter secara rutin setiap hari. Melainkan 2 hari sekali dengan ditunggu sampai penuh. Tindakan tersebut megakibatkan pasien mengalami infeksi saluran urine dari kuman yang berasal dari urine yang tidak dibuang. c. Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang seharusnya; suatu tugas yang dikerjakan asal-asalan. Sebagai contoh seorang perawat yang mengecilkan aliran air infus pasien di malam hari hanya karena tidak mau terganggu istirahatnya. d. Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini apabila seorang perawat melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari dokter, seperti menyuntik pasien tanpa perintah, melakukan infus padahal dirinya belum terlatih. Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi, maka pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat yang bersangkutan sesuai personal liability. 2. Pertanggungjawaban Hukum Pidana Sementara dari aspek pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut: a. suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini apabila perawat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No. 148/2010. a. Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien. b. Adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa). Kesalahan disini bergantung pada niat (sengaja) atau hanya karena lalai. Apabila tindakan tersebut dilakukan karena niat dan ada unsur kesengajaan, maka perawat yang bersangkutan dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana. Sebagai contoh seorang perawat yang dengan sadar
dan sengaja memberikan suntikan mematikan kepada pasien yang sudah terminal. (disebut dengan tindakan euthanasia aktif) c. Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan pemaaf seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada alasan pembenar. Sebagai contoh perawat yang menjalankan peran terapeutik atau yang melaksanakan delegated medical activities dengan beranggapan perintah itu adalah sebuah tindakan yang benar. Tindakan tersebut tidak menjadi benar namun alasan perawat melakukan hal tersebut dapat dimaafkan. Bentuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana secara prinsip adalah personal liability dan bila dilakukan dalam dalam lingkup technical activities maupun dalam menjalankan peran koordinatif dimana perawat memahami bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan hukum , maka dokter yang memberi perintah dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Apabila pelayanan kesehatan tersebut dilakukan perawat di sebuah RS dimana perawat berstatus sebagai karyawan, maka berdasarkan Pasal 46 UU Rumah Sakit, maka RS dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dengan ancaman sanksi berupa denda. 3. Pertanggungjawaban Hukum Administrasi. Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi terhadap penyelenggaraan praktik perawat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Permenkes No. 148/2010 telah memberikan ketentuan administrasi yang wajib ditaati perawat yakni: a. Surat Izin Praktik Perawat bagi perawat yang melakukan praktik mandiri. b. Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan kewenangan yang telah diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dengan pengecualian Pasal 10 c. Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan terhadap gugatan malpraktik. Ketiadaan SIPP dalam menjalankan penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah administrative
malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum. Namun penulis melihat ada 2 (dua) ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja di sebuah RS. Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS dilarang mempekerjakan karyawan/tenaga profesi yang tidak mempunyai surat izin praktik. Sementara dalam Permenkes No, 148/2010 SIPP bagi perawat yang bekerja di RS (disebutkan dengan istilah fasilitas yankes di luar praktik mandiri) tidak diperlukan. Kerancuan norma ini akan membingungkan penyelenggara yan bersangkutan dala menjalankan profesinya. Namun apabila dilihat dari pembentukan perundang-undangan maka kekuatan mengikat undang-undang akan lebih kuat dibandingkan senuah peraturan menteri yang di dalam UU NO, 10 Tahun 2004 tidak termasuk sebagai bagian dari perundang-undangan. Bentuk Sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum adminitarsi ini adalah: a. teguran lisa; b. teguran tertulis; c. pencabutan izin Dalam praktek pelaksanaannya, banyak perawat yang melakukan praktik pelayanan kesehatan yang meliputi pengobatan dan penegakan diagnosa tanpa SIPP dan pengawasan dokter. Khusus untuk Kota Jambi, pelanggaran ini masih banyak terjadi namun tidak pernah dilakukan pengawasan dan penerapan sanksi represif sebagai upaya pemerintah memberikan perlindungan pada masyarakt. Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UNJA. Sri Praptianingsih; Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit; PT Raja Grafindo Persada; Jakarta; 2006; hlm.3133 [3] Jurnal Hukum Kesehatan, Unika Soegiyopranoto Semarang [4] Cecep Triwibowo; Hukum Keperawatan, Panduan Hukum dan Etika Bagi Perawat; Pustaka Book Publisher; Yogyakarta; 2010; Hlm. 49[1] [2]
http://www.jambilawclub.com/2010/12/pertanggungjawaban-hukum-perawat-dalam.html
Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat DaruratHerkutanto
Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Pendahuluan Dalam pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di luar rumah sakit tidak tertutup kemungkinan timbul konflik. Konflik tersebut dapat terjadi antara tenaga kesehatan dengan pasien dan antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi maupun antar profesi). Hal yang lebih khusus adalah dalam penanganan gawat darurat fase pra-rumah sakit terlibat pula unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan. Untuk mencegah dan mengatasi konflik biasanya digunakan etika dan norma hukum yang mempunyai tolok ukur masing-masing. Oleh karena itu dalam praktik harus diterapkan dalam dimensi yang berbeda. Artinya pada saat kita berbicara masalah hukum, tolok ukur norma hukumlah yang diberlakukan. Pada kenyataannya kita sering terjebak dalam menilai suatu perilaku dengan membaurkan tolok ukur etika dan hukum.1,2 Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dari segi yuridis khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan keadaan biasa. Menurut segi pendanaan, nampaknya hal itu menjadi masalah, karena dispensasi di bidang ini sulit dilakukan. Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat Dipandang dari segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus dan akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat darurat. Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama yaitu: 3 - Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat - Perubahan klinis yang mendadak - Mobilitas petugas yang tinggi Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko tinggi bagi pasien berupa
kecacatan bahkan kematian. Dokter yang bertugas di gawat 37 Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007 Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat darurat menempati urutan kedua setelah dokter ahli onkologi dalam menghadapi kematian.3 Situasi emosional dari pihak pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan tenaga kesehatan yang di bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihak pasien dengan pihak pemberi pelayanan kesehatan. Hubungan Dokter - Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat Hubungan dokter-pasien dalam keadaan gawat darurat sering merupakan hubungan yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadan gawat darurat) maka hubungan dokter pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak, yaitu pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang akan dimintai bantuannya (didapati azas voluntarisme). Demikian pula dalam kunjungan berikutnya, kewajiban yang timbul pada dokter berdasarkan pada hubungan yang telah terjadi sebelumnya (pre-existing relationship). Dalam keadaan darurat hal di atas dapat tidak ada dan azas voluntarisme dari keduabelah pihak juga tidak terpenuhi. Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam pelayanan gawat darurat yang tidak didasari atas azas voluntarisme. Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan darurat, maka ia harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain yang melanjutkan pertolongan itu atau korban tidak memerlukan pertolongan lagi. Dalam hal pertolongan tidak dilakukan dengan tuntas maka pihak penolong dapat digugat karena dianggap mencampuri/ menghalangi kesempatan korban untuk memperoleh pertolongan lain (loss of chance).5 Pengaturan Staf dalam Instalasi Gawat Darurat Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah memadai adalah syarat yang harus dipenuhi oleh IGD. Selain dokter jaga yang siap di IGD, rumah sakit juga harus menyiapkan spesialis lain (bedah, penyakit dalam, anak, dll) untuk memberikan dukungan tindakan medis spesialistis bagi pasien yang memerlukannya. Dokter spesialis yang bertugas harus siap dan bersedia menerima rujukan dari IGD. Jika dokter spesialis gagal memenuhi kewajibannya maka tanggungjawab terletak pada dokter itu dan juga rumah sakit karena tidak mampu mendisiplinkan dokternya. Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Pelayanan Gawat Darurat Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pelayanan gawat darurat adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit. Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 51 UU No.29/ 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan. 10 Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenarnya merupakan hak setiap orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat termasuk fakir miskin, orang terlantar dan kurang mampu.6 Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta). Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai persyaratan pemberian pelayanan.9 Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit. Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat selama 24 jam per hari.9 Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum ketentuan yang dapat dipakai sebagai landasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan. Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan Gawat Darurat Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan yang berkaitan dengan lingkup kewenangan dalam penanganan keadaan gawat darurat. Pengertian tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992
tentang Kesehatan sebagai berikut:6 tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan yang dilakukan mengandung risiko yang tidak kecil. Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga 38 Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007 kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. 6 Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis yang mengandung risiko. Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik diatur dalam pasal 50 UU No.23/ 1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan.6 Pengaturan di atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka yang bersangkutan harus menerapkan standar profesi sesuai dengan situasi (gawat darurat) saat itu.6,10 Pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit umumnya tindakan pertolongan pertama dilakukan oleh masyarakat awam baik yang tidak terlatih maupu yang terlatih di bidang medis. Dalam hal itu ketentuan perihal kewenangan untuk melakukan tindakan medis dalam undang-undang kesehatan seperti di atas tidak akan diterapkan, karena masyarakat melakukan hal itu dengan sukarela dan dengan itikad yang
baik. Selain itu mereka tidak dapat disebut sebagai tenaga kesehatan karena pekerjaan utamanya bukan di bidang kesehatan. Jika tindakan fase pra-rumah sakit dilaksanakan oleh tenaga terampil yang telah mendapat pendidikan khusus di bidang kedokteran gawat darurat dan yang memang tugasnya di bidang ini (misalnya petugas 118), maka tanggungjawab hukumnya tidak berbeda dengan tenaga kesehatan di rumah sakit. Penentuan ada tidaknya kelalaian dilakukan dengan membandingkan keterampilan tindakannya dengan tenaga yang serupa.2 Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat Karena secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawat darurat. Menurut The American Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah:3 An emergency is any condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the responsibility of bringing the patient to the hospital-requires immediate medical attention. This condition continues until a determination has been made by a health care professional that the patients life or well-being is not threatened. Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat walaupun sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adalah: 3 A true emergency is any condition clinically determined to require immediate medical care. Such conditions range from those requiring extensive immediate care and admission to the hospital to those that are diagnostic problems and may or may not require admission after work-up and observation. Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi pasien diselenggarakanlah triage.4 Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat melalui standing order yang disusun rumah sakit. Selain itu perlu pula dibedakan antara penanganan kasus gawat darurat fase pra-rumah sakit dengan fase di rumah
sakit.4 Pihak yang terkait pada kedua fase tersebut dapat berbeda, di mana pada fase pra-rumah sakit selain tenaga kesehatan akan terlibat pula orang awam, sedangkan pada fase rumah sakit umumnya yang terlibat adalah tenaga kesehatan, khususnya tenaga medis dan perawat. Kewenangan dan tanggungjawab tenaga kesehatan dan orang awam tersebut telah dibicarakan di atas. Kecepatan dan ketepatan tindakan pada fase pra-rumah sakit sangat menentukan survivabilitas pasien. Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat Di USA dikenal penerapan doktrin Good Samaritan dalam peraturan perundang-undangan pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam keadaan gawat darurat.3,5 Dengan demikian seorang pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya. Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang harus dipenuhi adalah: 3,5 1. Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan dibuktikan dengan tidak ada harapan atau keinginan pihak penolong untuk memperoleh kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak penolong menarik biaya pada akhir pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak berlaku. 2. Itikad baik pihak penolong. Itikad baik tersebut dapat dinilai dari tindakan yang dilakukan penolong. Hal yang bertentangan dengan itikad baik misalnya melakukan trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah keterampilan penolong. Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena diduga terdapat 39 Maj Kedokt Indon, Volum: 57, Nomor: 2, Pebruari 2007 Aspek Medikolegal Pelayanan Gawat Darurat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat (proximate cause).5 Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa tersebut terjadi.2 Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang berkualifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama pula. Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan pasal
53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.6,7 Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam berkas rekam medis.8 Kematian pada Instalasi Gawat Darurat Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke IGD (Death on Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Di negara Anglo-Saxon digunakan sistem koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidak terduga (sudden unexpected death) apapun penyebabnya harus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau Medical Examiner.3 Pejabat tersebut menentukan tindakan lebih lanjut apakah jenazah harus diautopsi untuk pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangan kematian (death certificate) diterbitkan oleh Coroner atau Medical Examiner.3 Pihak rumah sakit harus menjaga keutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal dari tubuh jenazah (pakaian dan benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut. Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga fungsi semacam coroner diserahkan pada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI yang akan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak. Dokter yang bertugas di IGD tidak boleh menerbitkan surat keterangan kematian dan menyerahkan permasalahannya pada POLRI. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan DKI Nomor 3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk Pelaksanaan Pencatatan dan Pelaporan kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di wilayah DKI Jakarta yang telah disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua peristiwa kematian rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksa dianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian dan selanjutnya jenazah harus dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan visum et 40 repertum. Kasus yang tidak boleh diberikan diberikan surat keterangan kematian adalah: - meninggal pada saat dibawa ke IGD
- meninggal akibat berbagai kekerasan - meninggal akibat keracunan - meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan Kematian yang boleh dibuatkan surat keterangan kematiannya adalah yang cara kematiannya alamiah karena penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan. Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat Dalam pelayanan kesehatan prestasi yang diberikan tenaga kesehatan sewajarnyalah diberikan kontra-prestasi, paling tidak segala biaya yang diperlukan untuk menolong seseorang. Hal itu diatur dalam hukum perdata. Kondisi tersebut umumnya berlaku pada fase pelayanan gawat darurat di rumah sakit. Pembiayaan pada fase ini diatasi pasien tetapi dapat juga diatasi perusahaan asuransi kerugian, baik pemerintah maupun swasta. Di sini nampak bahwa jasa pelayanan kesehatan tersebut merupakan private goods sehingga masyarakat (pihak swasta) dapat diharapkan ikut membiayainya. Kondisi tersebut berbeda dengan pelayanan gawat darurat fase pra-rumah sakit yang juga berupa jasa, namun lebih merupakan public goods. Jasa itu dapat disejajarkan dengan prasarana umum (misalnya jalan raya) yang harus diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah. Pihak swasta sulit diharapkan untuk membiayai sesuatu yang bersifat prasarana umum. Dengan demikian pelayanan gawat darurat pada fase pra-rumah sakit sewajarnyalah dibiayai dari pajak yang dibayarkan oleh rakyat. Realisasi pembiayaan melalui pengaturan secara hukum yang mewajibkan anggaran untuk pelayanan yang bersifat public goods tersebut. Bentuk peraturan perundang-undangan tersebut dapat berupa peraturan pemerintah yang merupakan jabaran dari UU No.23/ 1992 dan atau peraturan daerah tingkat I (Perda Tk.I). Daftar Pustaka 1. Purbacaraka P, Soekanto S. Perihal kaedah hukum. Bandung: Alumni; 1979. 2. Soekanto S, Herkutanto. Pengantar hukum kesehatan. Jakarta: CV Remadja Karya; 1987. 3. Mancini MR, Gale AT. Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication; 1981. 4. Pusponegoro AD. Perbedaan pengelolaan kasus gawat darurat prarumah sakit dan di rumah sakit. Bandung: PKGDI; 1992. 5. Holder AR. Emergency room liability. JAMA 1972;220:5. 6. Undang-undang No 23/1992 tentang Kesehatan 7. Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis 8. Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/1989 tentang Rekam
Medis 9. Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit 10. Undang-undang No. 29/ tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran SS