preskes bedah anak
-
Upload
hanayuki-vizurei -
Category
Documents
-
view
192 -
download
41
Transcript of preskes bedah anak
LAPORAN KASUS BEDAH ANAK
ANAK LAKI – LAKI 3 BULAN DENGAN MEGACOLON CONGENITAL
POST TRANSANAL ENDORECTAL PULL-THROUGH (TAERPT)
Oleh:
Hanif Mustikasari
G99122056
Residen Pembimbing
Dr. Roosanie dr. Suwardi., Sp.B., Sp. BA
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2013
PRESENTASI KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. RM
Umur : 3 bulan
Jenis kelamn : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Masaran, Sragen
Tanggal Masuk : 15 November 2013
Tanggal Periksa : 25 November 2013
RM : 01228748
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama
Sulit buang air besar (BAB) dan perut kembung.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Alloanamnesis diperoleh dari orang tua pasien :
Pasien datang dengan keluhan sulit buang air besar (BAB) sejak 11 hari
sebelum masuk rumah sakit. Ibu pasien mengatakan keluhan tersebut sudah
sering dialami sejak kecil. BAB hanya keluar sedikit-sedikit, kadang BAB
disertai darah. Sejak 11 hari sebelum masuk rumah sakit, ibu pasien
mengatakan nafsu makan pasien menurun, mual (-), muntah (+) terutama
setelah makan atau minum, perut kembung, dan pasien dapat BAB dengan
diberi microlac. Oleh karena keluhan tersebut, pasien dibawa ke RSUD
Sragen. Namun, karena keterbatasan sarana pasien dirujuk ke RSDM dengan
diagnosis suspek megacolon.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi obat : disangkal
Riwayat mondok : disangkal
1
D. Riwayat Kelahiran
- Riwayat kelahiran : normal, langsung menangis, BBL 2700 gram
- Riwayat kehamilan : aterm, periksa rutin di bidan
- Riwayat mekoneum : > 24 jam
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan Umum
- Keadaan umum : tangis lemah, tampak distensi dinding perut
- Berat badan : 5500 gram
B. Tanda Vital
- Hearth Rate : 130 x/menit
- Frekuensi Pernafasan : 28x/ menit
- Suhu : 370C (per axilla)
C. Kulit
Tidak ada kelainan.
D. Kepala
Tidak ada kelainan.
E. Wajah
Tidak ada kelainan.
F. Mata
Tidak ada kelainan.
G. Hidung
Tidak ada kelainan.
H. Mulut
Tidak ada kelainan.
I. Telinga
Tidak ada kelainan.
J. Leher
Tidak ada kelainan.
K. Toraks
Tidak ada kelainan.
2
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : bising usus (+) menurun
Perkusi : hipertimpani
Palpasi : perut distended (+), nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
M. Ekstremitas
Tidak ada kelainan.
N. RT
TMSA (+), mukosa licin
IV. ASSESSMENT I
Suspek megacolon congenital
V. PLAN I
- Infus RL 8 tpm mikro
- Injeksi Ceftriaxon 200 mg/12 jam
- Injeksi Ranitidin 2,5 mg/12 jam
- Pasang rectal tube wash out dengan NaCl 0,9% hangat
- Pertahankan OGT puasa
- Cek DR3
- BNO dan colon in loop
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium darah tanggal 16 November 2013
Hemoglobin : 9,7 g/dl
Hematokrit : 29 %
Eritrosit : 3,67 .106 µL
Leukosit : 10,8.103 µL
Trombosit : 667.103 µL (↑)
PT : 13,2 detik
APTT : 36,1 detik
3
INR : 1.030
Na darah : 135 mmol/L
K darah : 4,1 mmol/L
Cl darah : 108 mmol/L (↑)
HBsAg : Non reaktif
Albumin : 3,8 g/dL
Foto Rontgen BNO dan Colon in loop (19 November 2013)
4
Hasil :
Plain foto
- Distribusi gas dalam usus normal
- Tulang – tulang tampak baik
- Tampak terpasang marker di anal dimple
Kontras
- Kontras barium yang sudah diencerkan dimasukkan ke lubang
colostomy distal sebanyak 300 cc
- Tampak kontras berjalan pada colon descendens, sigmoid sampai
rectum
- Tampak penyempitan d rectosigmoid sampai rectum
- Tak tampak kontras membasahi marker kapas di anus
- Mucosa colon sigmoid dan rectum tampak baik
- Rectosigmoid indeks < 1
- Tak tampak filling defect/additional defect
Kesan :
- Menyokong hirsprung’s disease
- Tidak ada tanda-tanda colitis
VII. ASSESSMENT II
Megacolon congenital
VIII. PLAN II
- MRS bangsal
- Spooling, wash out NaCl 0,9% hangat
- Pro Transanal Endorectal Pull-Through (TAERPT)
IX. LAPORAN OPERASI
Laporan Operasi Transanal Endorectal Pull-Through (22 November 2013)
Diagnosis pre operasi : Megacolon congenital
5
Diagnosis post operasi : Megacolon congenital
Jalannya Operasi :
1. Pasien supinasi dengan general anestesi, toilet medan operasi, tutup dengan
duk steril berlubang
2. Jahit di empat penjuru, identifikasi batas mukokutan, insisi sirkuler ± 1 cm
dari mukokutan
3. Incisi sampai batas musculus sphingter ani, kemudian sisa-sisa tinja
dipisahkan dari rectosigmoid, rectosigmoid ditipiskan ± 10 cm lalu
dianastomosis
4. Jahit usus/kolon dengan mukokutan sampai dengan kutis
5. Kontrol perdarahan
6. Pasang rectal tube
7. Operasi selesai
6
TINJAUAN PUSTAKA
MEGACOLON CONGENITAL
A. Definisi
Megacolon congenital (Hirschsprung's disease) adalah dilatasi kolon
yang abnormal yang disebabkan tidak adanya sel ganglion mienterik pada
segmen distal usus besar secara kongenital. Kehilangan fungsi motorik pada
segmen ini akan menyebabkan dilatasi hipertrofik massif pada kolon proksimal
yang normal. Segmen yang aganglioner biasanya tetap menyempit, tetapi bisa
berdilatasi secara pasif.1
Gambar 1. Perbedaan normal kolon dan dilatasi kolon pada megakolon
kongenital
B. Etiologi
Secara genetis, megacolon congenital bersifat heterogen, dan
diketahui terdapat beberapa defek yang berlainan serta menimbulkan akibat
yang sama. Sekitar 50% kasus terjadi akibat mutasi di gen RET dan ligan
RET, karena merupakan jalur sinyal yang diperlukan untuk membentuk
pleksus saraf mienterikus. Banyak kasus sisanya terjadi akibat mutasi
endotelin 3 dan reseptor endotelin.2
Teori lain mengenai etiologi yang mendasari megacolon congenital ini
adalah defek pada migrasi dari neuroblast menuju usus bagian distal yang
7
menyebabkan terbentuknya segmen aganglionik. Namun, ada yang
menyatakan bahwa neuroblast dapat bermigrasi dengan normal, tetapi gagal
untuk bertahan, berproliferasi, atau berkembang di segmen tersebut.3
C. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan
usia gejala klinis mulai terlihat :
1. Neonatus
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran
mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda
klinis yang signifikan. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat
berkurang jika mekonium dapat dikeluarkan segera. Gejala lain yang
mungkin terjadi pada neonatus lainnya seperti konstipasi yang diikuti diare
berlebih yang sering teridentifikasi sebagai enterokolitis, abdomen yang
meregang, dan kegagalan perkembangan.4
2. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan
colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-
liquid, dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak
teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.5
D. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis (alloanamnesis) didapatkan riwayat keterlambatan
evakuasi mekoneum. Selain itu, didapatkan keluhan lain seperti distensi
abdomen (kembung) dan muntah hijau sebagai akibat dari obstruksi usus
letak rendah. Megacolon congenital dengan komplikasi enterokolitis
menampilkan distensi abdomen disertai diare dengan feses cair becampur
mucus dan berbau busuk, dengan atau tanpa darah, dan umumnya berwarna
8
kecoklatan. Pada anak yang sudah besar terdapat keluhan konstipasi kronik
sejak lahir dan menunjukkan kesan gizi kurang. Biasanya pasien
mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit yang sama.6
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan abdomen yang membuncit,
kembung, dan tampak pergerakan usus. Pada pemeriksaan rectal toucher
ketika jari ditarik keluar diikuti keluarnya feses yang menyemprot.6
3. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mendeteksi megacolon congenital secara dini dapat dilakukan
pemeriksaan foto polos abdomen dan khususnya pemeriksaan enema
barium. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus
letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus dan usus
besar. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosis
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas:
a. tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang pan-
jangnya bervariasi;
b. terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke
arah daerah dilatasi;
c. terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas
tersebut, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran
khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah
proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung na-
mun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di
daerah rektum dan sigmoid.7
Biopsi rektal merupakan gold standar untuk diagnosis megacolon
congenital. Adanya ganglion dalam specimen biopsi menyingkirkan diagno-
sis megacolon congenital, begitu juga sebaliknya.4
9
E. Diagnosis Banding
Diagnosis banding kelainan ini antara lain mekonium ileus akibat penyakit
fibrokistik, atresia ileum, atresia rekti, malrotasi, duplikasi intestinal dan
sindrom pseudo obstruksi intestinal.4
F.Penatalaksanaan
Pada prinsipnya, tatalaksana megacolon congenital hanya dapat dicapai
dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan tetapi hanya
untuk sementara dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen dengan
pemasangan pipa anus atau pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum.8
Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk pencegahan infeksi terutama untuk
enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus dapat diberikan untuk
menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan cairan,
elektrolit dan asam basa tubuh.11
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap
pertama dengan pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan
operasi definitif. Tahap pertama dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk
mencegah komplikasi dan kematian. Pada tahapan ini dilakukan kolostomi,
sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan memperbaiki kondisi
pasien.Tahapan kedua adalah dengan melakukan operasi definitif dengan
membuang segmen yang aganglionik dan kemudian melakukan anastomosis
antara usus yang ganglionik dengan dengan bagian bawah rectum yang dapat
dilakukan melalui beberapa prosedur operasi yaitu:4,8
4. Prosedur Swenson
a. Swenson I
Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung rektum ditinggalkan 2-
4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan anastomosis langsung
di luar rongga peritoneal. Pada prosedur ini enterokolitis masih dapat
terjadi sebagai akibat spasme puntung rektum yang ditinggalkan. Untuk
mengatasi hal ini Swenson melakukan sfingterektomi parsial posterior.9
10
b. Swenson II
Setelah dilakukan pemotongan segmen kolon yang aganglionik,
puntung rektum ditinggalkan 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di
bagian posterior kemudian langsung dilakukan sfingterektomi parsial
langsung. Ternyata prosedur ini sama sekali tidak mengurangi spasme
sfingter ani dan tidak mengurangi komplikasi enterokolitis pasca
bedah.10
5. Prosedur Duhamel
Duhamel melakukan diseksi retrorektal untuk menghindari kerusakan
tersebut dengan cara melakukan penarikan kolon proksimal yang ganglionik
melalui bagian posterior rektum. Penderita ditidurkan dalam posisi litotomi,
dipasang kateter sehingga vesika urinaria kosong dengan maksud agar
visualisasi rongga abdomen lebih jelas. Irisan kulit abdomen dilakukan
secara paramedian atau transversal. Arteria hemorrhoidalis superior
dipotong diikuti pemotongan mesorektum dan rektum. Kolon proksimal
dimobilisir sehingga panjang kolon akan mencapai anus. Perhatian khusus
ditujukan pada viabilitas pembuluh darah dan kolon proksimal dengan cara
menghindari regangan yang berlebihan. Setelah segmen kolon yang
aganglionik direseksi, puntung rektum dipotong sekitar 2-3 cm diatas dasar
refleksi peritonium dan ditutup dengan jahitan dua lapis. Rongga retrorektal
dibuka sehingga seluruh permukaan dinding belakang rektum dibebaskan.4,8
Pada dinding belakang rektum 0,5 cm dari linea dentata dibuat sayatan
endoanal setengah lingkaran dan dari lobang sayatan ini segmen kolon
proksimal yang berganglion ditarik ke distal keluar melewati lubang anus
dan dibiarkan bebas menggelantung kemudian dilakukan anastomosis “end
to side” setinggi sfingter ani internus. Anastomosis dilakukan dengan
pemasangan 2 buah klem Kocher dimana dalam jangka waktu 6-8 hari
anastomosis telah terjadi. Stenosis dapat terjadi akibat pemotongan septum
yang tidak sempurna.8
11
6. Prosedur Endorectal Pull Through (Soave)
Prinsip teknik ini adalah diseksi ekstramukosa rektosigmoid yang
mula-mula dipergunakan untuk operasi atresia ani letak tinggi. Persiapan
preoperasi yang harus dilakukan adalah irigasi rektum, dilatasi anorektal
manual serta pemberian antibiotik.4 Tahun 1960 Soave melakukan
pendekatan abdominoperineal, dengan membuang lapisan mukosa
rektosigmoid. Posisi pasien terlentang dengan fleksi pelvis 30 derajat, irisan
kulit abdomen pararektal kiri melewati lubang kolostomi dan dipasang
kateter. Dinding abdomen dibuka perlapis sampai mencapai peritonium
kemudian dilakukan preparasi kolon kiri. Kolon distal dimobilisasi dan
direseksi 4 cm diatas refleksi peritoneum. Dibuat jahitan traksi pada kolon
distal yang telah direseksi kemudian mukosa dipisahkan dari muskularis
kearah distal. Lapisan otot secara tumpul didorong kedistal hingga 1-2 cm
diatas linea dentata. Lewat anus dibuat insisi melingkar 1 cm diatas linea
dentata. Kolon yang berganglion kemudian ditarik ke distal melewati
cerobong endorektal. Sisa kolon yang diprolapskan lewat anus dipotong
setelah 21 hari.8
7. Prosedur Boley
Prosedur Boley sangat mirip dengan prosedur Soave akan tetapi
anastomosis dilakukan secara langsung tanpa memprolapskan kolon terlebih
dulu.8
8. Prosedur Rehbein
Setelah dilakukan reseksi segmen yang aganglionik kemudian
dilakukan anastomosis “end to end” antara kolon yang berganglion dengan
sisa rektum, yang dikerjakan intraabdominal ekstraperitoneal. Teknik ini
sering menimbulkan obstipasi akibat sisa rektum yang aganglionik masih
panjang.8,11
9. Prosedur Miomektomi Anorectal
Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung segmen ultra pendek,
pengangkatan satu strip otot pada linea mediana dinding posterior rektum
dapat dilakukan dan prosedur ini disebut miomektomi anorektal, dimana
12
dengan lebar 1 cm satu strip dinding rektum ekstramukosa diangkat, mulai
dari proksimal linea dentata sampai daerah yang berganglion.7,8
10. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through (TAERPT)
Teknik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah
dilakukan dilatasi anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidon-
iodine, mukosa rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea
dentata. Dengan diseksi tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas
hingga 6 sampai 7 cm kearah proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari
muskularis ditarik ke distal sampai melewati anus sehingga terbentuk
cerobong otot rektum tanpa mukosa.4,8
Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemondokan dan operasi
lebih singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding
dapat diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada.
Akan tetapi masih didapatkan komplikasi enterokolitis, konsipasi dan
striktur anastomosis.8
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Holschneider A, Ure BM. Pediatric Surgery: Hirschsprung's Disease. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2005.
2. Kumar V, James M C. Buku Ajar Patologi: Penyakit Hirschsprung/Megakolon Kongenital. Jakarta: EGC. 2007.
3. Lee SL, Shekerdimian S, DuBois. Hirschsprung's Disease. http://www.emedicine.medscape.com . 2009.
4. Kartono, Darmawan. Penyakit Hirschsprung. Jakarta: Sagung Seto. 2004.
5. Fonkalsrud. Hirschsprung’s disease In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hallintl.inc.;1997.p.2097-105.
6. Andrassy RJ, Isaacs H, Weitzman JJ. Rectal Suction Biopsy for the Diagnosis of Hirschsprung's Disease. http://www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender.fcgi?artid=13450. 2000.
7. Hasmija MH, Nunik A. Total Megacolon Congenital Aganglionesis Colon/ Penyakit Hirschsprung. Berkala Kesehatan Klinik. 13: 118-122. 2007.
8. Sjamsuhidajat dan Wim de jong. Tindakan Bedah: organ dan sistemorgan, usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan In:Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2004: 908-10.
9. Swenson O. Hirschsprung’s disease : A Review. J Pediatr 2002;109:914-918.
10. Swenson O, Raffensperger JG. Hirschsprung’s disease . In: Raffensperger JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut: Appleton & Lange; 1990: 555-77.
11. Snell, Richard S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Jakarta: EGC 2006.
14