Preskes Bedah Anak megakolon kongeital
-
Upload
elisabeth-dea-resitarani -
Category
Documents
-
view
163 -
download
0
Embed Size (px)
description
Transcript of Preskes Bedah Anak megakolon kongeital

Presentasi Kasus Bedah Anak
ANAK LAKI-LAKI USIA 4 TAHUN DENGAN
POST SIGMOIDECTOMY ET CAUSA MEGACOLON KONGENITAL
Disusun Oleh:
Annisa Wardhani
G99141044
Residen
dr. Endey Prasetyo
Pembimbing:
Dr. Suwardi, Sp.B, Sp.BA
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA

2014
BAB I
STATUS PASIEN
A. ANAMNESIS
I. Identitas Pasien
Nama : Waris Restu Santoso
Umur : 4 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Alamat : Kwoso RT/RW 01/02, Gergunung Klaten, Klaten,
Jateng
Tanggal Masuk : 17 Mei 2014
Tanggal Periksa : 19 Mei 2014
No. RM : 01198587
II. Keluhan Utama
BAB sulit sejak lahir.
III. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami kesulitan buang air besar sejak lahir. Saat lahir,
perut pasien mengalami distensi karena susah BAB. Pasien mengalami
pengeluaran mekoneum yang terlambat, mekoneum baru keluar
setelah hari ke 3. Namun pasien tidak mengalami muntah-muntah.
Pasien baru dapat BAB jika anus pasien dirangsang dengan
memasukkan benda tumpul. Selain dirangsang dengan memasukkan
benda tumpul, pasien juga dapat BAB jika dirangsang dengan
microlax. Pasien diperiksa oleh bidan di sekitar rumahnya dan
terdiagnosis Hirscprung Disease pada usia 21 hari.
Pasien dibawa ke RS Soeradji Tirtonegoro, Klaten kemudian pasien
mendapatkan jamkesda dan dirujuk ke RSUD Dr. Moewardi. Di RSUD
Dr. Moewardi pasien terdiagnosis Megacolon Kongenital, dan dilakukan
tindakan pembedahan pembuatan stoma tgl 12 Juni 2013. Pada

tanggal 17 Mei 2014 pasien masuk rumah sakit Dr. Moewardi lagi
karena mengalami kesulitan untuk BAB pasca operasi pembuatan
stoma. Gejala kesulitan BAB pasien pasca pembuatan stoma mulai
dirasakan 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Pasien merasakan
sakit jika mengejan untuk BAB.
IV. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluhan yang sama : disangkal
Riwayat Alergi : disangkal
V. Riwayat Kelahiran
Pasien lahir dari ibu usia 37 tahun G3P3A0 secara normal. Saat lahir
menangis spontan, ketuban jernih, tidak berbau.
Usia kehamilan : 41 minggu
Berat badan lahir : 3100 gram
Usia ibu saat melahirkan : 37 tahun
VII. Riwayat Kehamilan dan Prenasi
Riwayat ANC : rutin di bidan setempat
Riwayat sakit saat hamil : disangkal
Riwayat konsumsi jamu saat hamil : disangkal
VIII. Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi pasien lengkap.
B. PEMERIKSAAN FISIK
a.Keadaan umum : compos mentis, pasien tampak baik, gizi kesan
baik
BB : 12 kg
TB : 97 cm
b. Vital sign:
S : 36,4 C per aksilar

N : 70 kali per menit, regular, simetris, isi dan tegangan
cukup
RR : 20 x/menit
TD : 90/60 mmHg
b. Kepala : mesocephal
c. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), konjungtiva
anemis (-/-)
d. Telinga : sekret (-/-), darah (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), nyeri
tragus (-/-).
e. Hidung : bentuk simetris, napas cuping hidung (-), sekret (-),
keluar darah (-).
f. Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), jejas (-).
g. Tenggorokan : Tonsil T1 – T1, hiperemis (-).
g. Leher : pembesaran tiroid (-), pembesaran limfonodi (-).
h. Thorak : bentuk normochest, ketertinggalan gerak (-), retraksi
(-).
i. Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat.
Perkusi :batas jantung kesan tidak melebar.
Auskultasi :bunyi jantung I-II intensitas normal, regular,
bising (-).
j. Pulmo
Inspeksi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri.
Palpasi : fremitus raba kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor/sonor.
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) normal, suara
tambahan (-/-).
k. Abdomen
Inspeksi : perut distensi (-), stoma (+), produksi (+)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-)

l. Genitourinaria : anus (+) normal
m. Muskuloskletal : nyeri pada anggota gerak(-) , kelemahan
pada anggota gerak(-), ROM terbatas pada
anggota gerak(-)
n. Ekstremitas
Akral dingin Oedema
- -
- -
II. Status Lokalis
Pada pembuatan stoma, didapatkan 2 lubang. Luka sudah kering.
C. ASSESSMENT I
Post Sigmoidectomy e. c megacolon kongenital.
D. PLANNING I
- Cek Darah
- Lopografi proksimal
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah (21 April 2014) di RSUD Dr. Moewardi
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hemoglobin 11,6 g/dL 10,8-12,8
Hematokrit 35 % 35 – 43
Leukosit 7,6 Ribu/µl 4,5-17,0
Trombosit 330 Ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 4,61 Juta/µl 3,9 – 5,3
Natrium 131 mmol/L 132 – 145
Kalium 3,1 mmol/L 3,1 – 5,1
Klorida 103 mmol/L 98 – 106
Gula darah
sewaktu
102 mg/dL 60-100
2. Foto Colon In Loop (24 April 2014) di RSUD Dr. Moewardi
- -
- -

Klinis : Post TCS a/i megacolon.
Plain Foto :
Tampak terpasang 2 buah marker, marker berbentuk segi empat
terproyeksi di illiac wing kiri dan marker berbentuk persegi panjang
terproyeksi di anal dimple.
Bayangan gas usus normal bercampur fecal material prominent.
Bayangan Hepar dan Lien tidak tampak membesar.
Contour ginjal kanan kiri tidak tampak jelas.
Tak tampak bayangan radioopaque sepanjang traktus urinarius.
Psoas shadow kanan kiri tak tampak jelas.
Corpus, pedicle dan spatium intervertebralis tampak baik.
Kontras study :
Kontras barium yang telah diencerkan +/- 50 mL dimasukkan melalui
kateter ke dalam anus.
Tampak kontras berjalan dengan lancar mulai dari rectum sigmoid.
Tampak dilatasi di bagian proksimal sigmoid.
Kesan :
Masih tampak gambaran megacolon.

3. Foto Colon In Loop (29 April 2014) di RSUD Dr. Moewardi
Klinis : Post TCS a/i megacolon kongenital.
Colon in Loop :
Plain Foto :
Bayangan gas dalam usus normal.
Masih tampak sisa kontras di rectosigmoid bekas pemeriksaan colon in
loop pada tanggal 24 Maret.
Tampak terpasang dua buah marker , marker berbentuk segitiga terletak
di illiac wing kiri dan marker berbentuk persegi panjang terletak di anal
dimple.
Tulang-tulang tampak baik.
Kontras study :
Kontras barium diencerkan 1.6 sebanyak +/- 100 mL dimasukkan melalui
kateter dalam lubang stoma.
Tampak kontras berjalan dengan lancar mulai dari colon descenden,
fleksura lienalis, colon transversum, fleksura hepatik, dan sebagian
mengisi colon descenden.
Tampak kaliber rektum dilatasi.

Kesan :
Pemeriksaan Lopografi Proksimal masih tampak gambaran megacolon.
D. ASSESMENT II
Post sigmoidectomy e.c megacolon kongenital.
E. PLANNING II
- Tindakan bedah definitif dengan prosedur duhamel.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Megakolon kongenital adalah pembesaran abnormal atau dilatasi
kolon karena tidak adanya sel-sel ganglion myenterik pada usus besar
segmen distal (aganglionosis). Sel-sel ganglion bertanggung jawab atas
kontraksi ritmik yang diperlukan untuk mencerna makanan yang
masuk. Hilangnya fungsi motorik dari segmen ini menyebabkan dilatasi
hypertropik massive kolon proximal yang normal sehingga terjadi
kesulitan defekasi dan feses terakumulasi menyebabkan Megakolon.
Kondisi ini dapat segera terlihat segera setelah lahir ditandai dengan
gagalnya penundaan pasase awal dari mekonium sehingga terjadi
distensi abdominal, yang disertai dengan muntah dalam waktu 48 jam
sampai 72 jam. Pada banyak kasus, segmen aganglionic terdapat pada
rectum dan kolon sigmoid. Ancaman terhadap hidup yang utama pada
kelainan ini adalah terjadinya enterocolitis, dengan gangguan cairan
dan elektrolit serta perforasi pada kolon yang membesar dan tegang
atau pada apendiks dengan peritonitis.1,6,7
Gambar 2.1 Perbedaan normal kolon dan enlarged kolon pada
megakolon kongenital

Beberapa literatur menamakan penyakit ini sebagai ultrashort-
segment Hirschsprung, Kongenital aganglionosis, aganglionic
Megakolon, dilatasi kolon Kongenital, aganglionic Megakolon dan
pelvirectal achalasia.
B. Etiologi
Sekitar 10% kasus penyakit Hirschsprung timbul secara herediter
melalui mutasi sporadik di dalam gen, angka ini dapat lebih tinggi pada
pasien dengan segmen penyakit yang lebih panjang. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa seseorang dengan riwayat keluarga terpapar
penyakit Hirschsprung beresiko lebih tinggi.
Penyakit Hirschsprung ditemukan pada kelainan-kelainan
Kongenital sebagai berikut:
1. Sindroma Down
2. Sindroma Neurocristopathy
3. Sindroma Waardenburg-Shah
4. Sindroma buta-tuli Yemenite
5. Piebaldism
6. Sindroma Goldberg-Shprintzen
7. Neoplasia endokrin multiple tipe II
8. Sindroma hypoventilasi Kongenital terpusat
9. Cartilage-hair hypoplasia
10. Sindroma hypoventilasi entral primer (Ondine’s curse)
11. Penyakit Chagas, pada penyakit ini tripanosoma
menginvasi langsung dinding usus dan menghancurkan pleksus.
Penyakit Hirschsprung juga bisa timbul karena ibu
polyhidramnion saat hamil ; adanya obstruksi usus organik karena
neoplasma dan penyempitan usus karena inflammasi; toxic Megakolon
komplikasi dari colitis ulceratif atau penyakit Crohn ; dan gangguan
psychosomatic fungsional. Kondisi-kondisi ini tidak berhubungan
dengan berkurangnya ganglia dinding usus.1

C. Patofisiologi
Penyakit Hirschsprung timbul karena adanya aganglioner
Kongenital pada saluran pencernaan bagian bawah. Aganglioner
diawali dari anus, yang merupakan bagian yang selalu terlibat, dan
berlanjut ke arah proximal dengan jarak yang bervariasi. Plexus
myenterik (Auerbach) dan submucosal (Meissner) yang tidak terbentuk
mengakibatkan berkurangnya fungsi dan kemampuan usus untuk
melakukan gerakan peristaltik. Hingga saat ini, mekanisme pasti
tentang perkembangan penyakit Hirschsprung masih belum diketahui.7
Embriologi sel-sel ganglion enteric berasal dari neural crest, yang
apabila berkembang normal, akan ditemukan neuroblast di usus pada
minggu ke 7 kehamilan dan mencapai usus besar pada minggu ke 12
kehamilan. Salah satu etiologi penyakit Hirschsprung ini adalah adanya
gangguan migrasi dari neuroblast yang menuju ke distal usus. Adapun
etiologi lain mengatakan bahwa migrasi tersebut berjalan normal,
namun ada kegagalan dari neuroblast untuk bertahan, berproliferasi
atau berdifferensiasi di bagian distal aganglionik segmen. Distribusi
abnormal menyebabkan usus dan komponen-komponennya
membutuhkan pertumbuhan dan perkembangan secara neuronal,
seperti fibronectin, laminin, neural cell adhesion molecule (NCAM), dan
faktor-faktor neurotropik.1
Tiga plexus neuronal yang menginervasi usus: plexus
submucosal (Meissner), plexus intermuscular (Auerbach) dan plexus
mucosal yang lebih kecil. Ketiga plexus ini akhirnya tergabung dan
berpengaruh pada segala aspek dari fungsi bowel, termasuk absorpsi,
sekresi, motilitas dan aliran darah.
Gerakan usus yang normal, secara primer dikendalikan oleh
neuron intrinsic. Fungsi bowel tetap adequate, meskipun innervasi
ekstrinsik hilang. Ganglia ini mengendalikan kontraksi dan relaksasi
otot polos, dengan dominasi relaksasi. Pengendalian ekstrinsik
utamanya melalui serat-serat kolinergik dan adrenergik. Serat
kolinergik menimbulkan kontraksi, dan serat adrenergik utamanya
menimbulkan inhibisi.

Pada pasien penyakit Hirschsprung, sel-sel ganglion tidak
terbentuk, sehingga terjadi peningkatan innervasi usus ekstrinsik.
Kedua innervasi, baik kolinergik maupun adrenergik berjalan 2-3 kali
normal. Sistem adrenergik (excitator) diduga lebih mendominasi dari
pada sistem kolinergik (inhibitor) sehingga terjadi peningkatan kerja
otot polos. Dengan hilangnya nerves inhibitory enteric intrinsic, kerja
otot polos yang meningkat tidak tertanggulangi dan menyebabkan
ketidakseimbangan kontraktilitas otot polos, peristaltik yang tidak
terkoordinasi dan obstruksi fungsional.6
D. Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
1. Megakolon kongenital ultra short-segmen
Bila segmen aganglionik meliputi rektum distal-anus
2. Megakolon kongenital segmen pendek (short-segment)
Bila segmen aganglionik meliputi rektum
3. Megakolon kongenital tipikal
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
4. Megakolon kongenital segmen panjang (long-segment)
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%), dapat
mencapai colon descenden atau flexura hepatica.
5. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)
F. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan
berdasarkan usia gejala klinis mulai terlihat :
Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran
mekonium yang terlambat, distensi abdomen, dan muntah berwarna
hijau. Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam
pertama) merupakan tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan
distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium
dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan

ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung
ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi
saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1
minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau
busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus
Hirschsprung datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan
dapat pula terjadi meski telah dilakukan kolostomi. 1,3,5
Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah
konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat
gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan
pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot,
konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya
buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan
biasanya sulit untuk defekasi. Kasus yang lebih ringan mungkin baru
akan terdiagnosis di kemudian hari.3
G. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik dan penunjang.
Anamnesis
Pada neonatus :
1. mekonium keluar terlambat, > 24 jam
2. tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3. perut cembung dan tegang
4. muntah
5. feses encer
Pada anak :
1. Konstipasi kronis
2. Failure to thrive (gagal tumbuh)
3. Berat badan tidak bertambah
4. Nafsu makan tidak ada (anoreksia)

Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi,
bising usus melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur
terasa ujung jari terjepit lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari
ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang
banyak dan kemudian kembung pada perut menghilang untuk
sementara.
Pemeriksaan penunjang
1.Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting
pada penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat
dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Pemeriksaan
yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas :
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal
yang panjangnya bervariasi;
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah
penyempitan ke arah daerah dilatasi;
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.1
H. Diagnosis Banding
1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada
neonatus, tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar,
defekasi selanjutnya normal.
2. Akalasia recti
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya
mirip dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis
tampak adanya ganglion Meissner dan Aurbach.1

I. Penatalaksanaan
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah serta
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk
memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada saat operasi
definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada
stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya
overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus
serta mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah
yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa nasogastrik,
pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon
dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.1
2. Tindakan Bedah.
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk
dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada
kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal.
Tindakan dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus
dan mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai
penyebab utama terjadinya kematian pada penderita penyakit
Hirschsprung. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan
angka kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif
dan mengecilkan kaliber usus pada penderita Hirschsprung
yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan
anastomose.3,5
b. Tindakan Bedah Definitif
1. Prosedur Swenson
Prosedur ini adalah prosedur pertama untuk operasi penyakit
Hirschsprung dengan metode “pull-through”. Tehnik ini
diperkenalkan pertama kali oleh Swenson dan Bill pada tahun 1948.
Segmen yang aganglionik direseksi dan puntung rektum
ditinggalkan 2-4 cm dari garis mukokutan kemudian dilakukan
anastomosis langsung diluar rongga peritoneal. Pada prosedur ini
enterokolitis masih dapat terjadi sebagai akibat spasme puntung

rektum yang ditinggalkan. Untuk mengatasi hal ini Swenson
melakukan sfingterektomi parsial posterior.
2. Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956
untuk mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur
Swenson. Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon
proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui bagian
posterior rektum yang aganglionik, menyatukan dinding
posterior rektum yang aganglionik dengan dinding
anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga
membentuk rongga baru dengan anastomose end to side.3
3. Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan
Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada
malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave
tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif
Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah
membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian
menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk
kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut.3
4. Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior
resection, dimana dilakukan anastomose end to end
antara usus aganglionik dengan rektum pada level otot
levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan
jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal
ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting
melakukan businasi secara rutin guna mencegah
stenosis.3
5. Prosedur Open Hartmann
Sigmoidectomy merupakan prosedur reseksi kolon
sigmoid, terkadang termasuk mereseksi seluruh rektum

dan dinamakan proctosigmoidectomy. Prosedur
sigmoidectomy yang diikuti oleh colostomy terminal dan
rectal stump dinamakan prosedur Open Hartmann. Pada
awalnya prosedur ini digunakan sebagai tindakan operatif
pada kasus adenocarcinoma kolon, walaupun begitu
indikasi prosedur ini makin bermanacam-macam.2
J. Komplikasi
Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah
penyakit Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran
anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter.
Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit
pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum
penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan
dan pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik
serta perawatan pasaca bedah.
K. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi,
90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan
pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien
yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga
harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat
komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20% .1

DAFTAR PUSTAKA
1. Kartono D. 1993. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur
Swenson dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI
2. Fonkalsrud. 1997. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI,
Ellis H, editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York:
Prentice-Hall intl.inc.;p.2097-105.
3. Swenson O, Raffensperger JG. 1990. Hirschsprung’s disease. In:
Raffensperger JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed.
Connecticut:Appleton & Lange: 555-77.
4. Farid Nur Mantu. 1993. Catatan Kuliah Ilmu Bedah Anak. Jakarta: EGC
5. Sjamsuhidajat dan Wim de jong. 2004. Tindakan Bedah: organ dan
sistem organ, usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan
bawaan, In: Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 908-10.
6. Snell, Richard S. 2006. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran.
Jakarta: EGC
7. Gonzales, Angel MM. 2013. Open Hartmann Procedure,
http://emedicine.medscape.com/article/1535055-overview.