Porto Medikolegal

36
BAB I PENDAHULUAN VisumetRepertum(VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia. VisumetRepertum(VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya memenuhi standar penulisan rekammedis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam system peradilan. Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan dan keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawatdarurat mencapai 50-70%. Dibandingkan dengan kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus penganiayaan yang mengakibatkan luka merupakan jenis yang paling sering terjadi, dan oleh karenanya penyidik perlu meminta VeR kepada dokter sebagai alat bukti di depan pengadilan. Dalam praktek sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik, memberikan pengobatan, dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas melakukan pemeriksaan medic untuk tujuan membantu penegakan hokum baik untuk korban hidup maupun korban mati.Demikian pula halnya dengan seorang pasien yang datang ke instalasi gawatdarurat, tujuan utama yang bersangkutan umumnya adalah untuk mendapatkan pertolongan medis agar penyakitnya sembuh. Namun dalam hal pasien tersebut mengalami cedera, pihak yang berwajib dapat meminta surat keterangan medis atau VeR dari dokter yang memeriksa. Jadi pada satusaat yang sama dokter dapat bertindak sebagai seorang klinisi yang bertugas mengobati penyakit sekaligus sebagai seorang petugas forensik yang bertugas membuat VeR. Sedangkan 1

description

portofolio internsip

Transcript of Porto Medikolegal

Page 1: Porto Medikolegal

BAB I

PENDAHULUAN

VisumetRepertum(VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak

penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia.

VisumetRepertum(VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya

memenuhi standar penulisan rekammedis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang

disyaratkan dalam system peradilan.

Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan dan

keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawatdarurat mencapai 50-70%. Dibandingkan

dengan kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus penganiayaan yang mengakibatkan luka

merupakan jenis yang paling sering terjadi, dan oleh karenanya penyidik perlu meminta VeR

kepada dokter sebagai alat bukti di depan pengadilan.

Dalam praktek sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik, memberikan

pengobatan, dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas melakukan

pemeriksaan medic untuk tujuan membantu penegakan hokum baik untuk korban hidup

maupun korban mati.Demikian pula halnya dengan seorang pasien yang datang ke instalasi

gawatdarurat, tujuan utama yang bersangkutan umumnya adalah untuk mendapatkan

pertolongan medis agar penyakitnya sembuh. Namun dalam hal pasien tersebut mengalami

cedera, pihak yang berwajib dapat meminta surat keterangan medis atau VeR dari dokter yang

memeriksa. Jadi pada satusaat yang sama dokter dapat bertindak sebagai seorang klinisi yang

bertugas mengobati penyakit sekaligus sebagai seorang petugas forensik yang bertugas

membuat VeR. Sedangkan pasien bertindak sebagai seorang yang diobati sekaligus korban

yang diperiksa dan hasilnya dijadikan alat bukti.

Di hadapan dokter, seorang korban hidup dapat berstatus sebagai korban untuk

dibuatkan visumetrepertum, sekaligus berstatus sebagai pasien untuk diobati/dirawat. Sebagai

seorang pasien, orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang timbul akibat hubungan

pasien-dokter (kontrak terapeutik).Berbagai hak yang dimiliki pasien, seperti hak atas

informasi, hak menolak / memilih alternative cara pemeriksaan atau terapi, hak atas rahasia

kedokteran dan lain-lain harus dipatuhi oleh dokter. Namun sebagai korban, pada orang

tersebut berlaku ketentuan-ketentuan seperti yang diatur dalam hokum acara pidana. Orang

tersebut tidak dapat begitu saja menolak pemeriksaan forensik yang akan dilakukan terhadap

dirinya.

SebuahVeR yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang

terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup.Tetapi hasil penelitian di Jakarta

1

Page 2: Porto Medikolegal

menunjukkan bahwa hanya 15,4% dari VeR perlukaan rumah sakit umum DKI Jakarta

berkualitas baik, sementara di Pekanbaru menunjukkan bahwa 97,06% berkualitas jelek dan

tidak satu pun yang memenuhi criteria VeR yang baik. Dari kedua penelitian tersebut juga

menunjukkan bahwa bagian pemberitaan dan bagian kesimpulan merupakan bagian yang

paling kurang diperhatikan oleh dokter. Kualitas bagian pemberitaan berturut-turut untuk

Jakarta dan Pekanbaru adalah 36,9% dan 29,9%, yang berarti berkualitas buruk. Nilai kualitas

bagian pemberitaan merupakan nilai yang terendah dari ketiga bagian VeR. Unsur yang tidak

dicantumkan oleh hamper semua dokter adalah anamnesis, tanda vital, dan pengobatan

perawatan. Hal tersebut mungkin disebabkan masih adanya anggapan bahwa anamnesis, tanda

vital dan pengobatan tidak penting dituliskan dalam VeR, atau juga dapat disebabkan karena

dokter pembuat VeR tidak mengetahui bahwa unsure tersebut perlu dicantumkan dalam

pembuatan VeR. Pada penelitian yang sama didapatkan bahwa kualitas untuk bagian

kesimpulan 65,94% (kualitas sedang) di Jakarta dan 37,5% (berkualitas buruk) di Pekanbaru.

Padabagian kesimpulan, walaupun sebanyak 68,9% dokter dapat menyimpulkan jenislukadan

kekerasan, namun terdapat 62% dokter yang tidak dapat menyimpulkan kualifikasi luka

secara benar. Sementara dari hasil penelitian di Pekanbaru, tidak satu pun dokter pemeriksa

VeR yang mencantumkan kualifikasi luka menurut rumusan pasal 351, 352, dan 90 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Rumusan ketiga pasal tersebut secara implicit

membedakan derajat perlukaan yang dialami korban menjadi luka ringan, luka sedang, dan

luka berat.Dari segi medikolegal, orientasi dan paradigma yang digunakan dalam merinci luka

dan kecederaan adalah untuk dapat membantu merekonstruksi peristiwa penyebab terjadinya

luka dan memperkirakan derajat keparahan luka (severity of injury).Dengan demikian pada

pemeriksaan suatu luka, bisa saja ada beberapa hal yang dianggap penting dari segi

medikolegal, tidak dianggap perlu untuk tujuan pengobatan, seperti misalnya lokasi luka, tepi

luka, dan sebagainya. Secara hukum, keadaan luka tersebut menimbulkan konsekuensi

pemidanaan yang berbeda bagi pelakunya .Dengan demikian kekeliruan penyimpulan

kualifikasi luka secara benar dapat menimbulkan ketidakadilan bagi korban maupun pelaku

tindak pidana.

2

Page 3: Porto Medikolegal

BAB II

LAPORAN KASUS

Keterangan Umum

Nama : Sdr. A

Umur : 17 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Tani

Alamat : Desa Sangkuang Kec Tanjung Agung Palik Kab. Bengkulu Utara

Agama : Islam

Bangsa : Indonesia

Status Marital : Belum Menikah

Tanggal Masuk RS : 03 Januari 2015, pukul 01.00 WIB

A. Anamnesis (Autoanamnesis)

Keluhan Utama :

Luka robek pada pinggang kanan akibat tusukan benda tajam

Riwayat Penyakit Sekarang :

Luka robek pada pinggang kanan akibat tusukan benda tajam. Dari keterangan pasien

tidak dapat menghindari benda tajam yang ditujukan kepadanya.

B. Pemeriksaan Fisik (pukul 00.15 WIB)

Keadaan Umum : Sedang

Kesadaran : Sadar

Tanda Vital :

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Respirasi : 22 x/menit

Nadi : 98 x/menit

Suhu : 36,7°C

Status Generalis

Kulit : Teraba hangat, sianosis tidak ada

Kepala : Status Lokalis

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokhor +/+

Telinga : Tidak ada kelainan

Hidung : Tidak ada kelainan

Gigi : Tidak ada kelainan

3

Page 4: Porto Medikolegal

Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah.

Leher : Tidak ada pembesaran KGB, JVP 5-2 cmH2O

Dada :

- Paru :

Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan

Palpasi : Fremitus normal kiri=kanan

Perkusi : Sonor kiri dan kanan

Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

- Jantung :

Inspeksi : Iktus tidak tampak

Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V

Perkusi : Batas jantung atas : RIC II, kanan : LSD, kiri 1 jari

medial LMCS RIC V

Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama jantung teratur, bising

(-)

Abdomen :

Inspeksi : Supel, distensi (-), tampak jejas di lumbal kanan

Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba

Nyeri tekan tidak ada

Perkusi : Timpani

Auskultasi : Bising usus (+) normal.

Alat Kelamin : Tidak diperiksa.

Ekstremitas : Akral hangat, sianosis tidak ada, refilling kapiler baik.

Status Lokalisata

Regio plank dekstra

Vulnus laceratum et regio plank dekstra dengan ukuran 10 x 2 x 4 cm

D. Diagnosis Kerja

Vulnus laseratum et region plank dekstra

F. Terapi

- Inj. ATS 1500 IU

- Hecting luka robek

- Cefadroxyl 2x500 mg

- Asam mefenamat 3 x 500 mg

4

Page 5: Porto Medikolegal

G. Penulisan Visum et Repertum

PRO JUSTITIA

ARGA MAKMUR, 03 JANUARI 2015

VISUM ET REPERTUM

No. /VS / I / 2015 / RM

Sehubungan dengan surat saudara HAIDIR, Pangkat AIPTU NRP 70020200 Jabatan

Kepala Kepolisian Resor Bengkulu Utara, tanggal tiga januari dua ribu lima belas,

Nomor Polisi : VER/03/I/2015/Reskrim, maka yang bertanda tangan di bawah ini, dr.

Feby oktaviani, dokter umum pada Rumah Sakit Umum Daerah Arga Makmur

menerangkan bahwa pada tanggal tiga januari tahun dua ribu lima belas, telah

memeriksa seorang Laki-laki di Instalasi Gawat Darurat bernama ALVIN SETIO

PRAYOGA Als ALVIN Bin UJANG SARDINI berumur tujuh belas tahun,

beralamat di Desa Sengkuang Kecamatan Tanjung Ampalik Kabupaten Bengkulu

Utara, yang menurut saudara orang tersebut diduga Korban penganiayaan.

--------------------------------------------------------------------------

Adapun hasil pemeriksaan kami sebagai berikut :-------------------------------------------

Keadaan Umum-------------------: Sadar, tekanan darah seratus dua puluh per delapan puluh.

Kepala------------------------------- : Tidak ada tanda – tanda kealinan. ---------------------------

Leher--------------------------------- : Tidak ada tanda-tanda kelainan.------------------------------

Dada--------------------------------- : Tidak ada tanda-tanda kelainan.------------------------------

Perut--------------------------------- :Tidak ada tanda – tanda kelainan.-----------------------------

Punggung---------------------------- : Punggung sebelah kanan dijumpsi luka robek dengan

ukuran sepuluh kali dua kali empat sentimeter akibat

kekerasan tajam.------------------------------------------------

Anggota gerak atas----------------- : Tidak ada tanda-tanda kelainan ------------------------------

Anggota gerak bawah-------------- : Tidak ada tanda-tanda kelainan.------------------------------

Lain-lain----------------------------- : Tidak ada tanda-tanda kelainan.------------------------------

Kesimpulan-------------------------- : Pasien datang ke Intalasi Gawat Darurat Rumah Sakit

Umum Daerah Argamakmur pada pukul 01.00 WIB

dibawa oleh keluarga dengan keadaan sadar tekanan darah

seratus dua puluh per delapan puluh. Pada pemeriksaan

visum et repertum bagian luar dijumpai luka robek pada

5

Page 6: Porto Medikolegal

punggung kanan sepuluh kali dua kali empat sentimeter

akibat kekerasan tajam .------------------------------

Demikianlah Visum et Repertum ini kami dengan sebenarnya, mengingat sumpah

pada waktu menerima jabatan.--------------------------------------------------------

Arga Makmur, 03 Januari 2015

An. Dirut RSUD Arga Makmur

Dokter yang Memeriksa,

dr. Feby Oktaviani

H. Prognosis

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad functionam : Bonam

Quo ad sanam : Bonam

6

Page 7: Porto Medikolegal

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi Visum et Repertum

Visum et repertum (VeR) adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter yang

berisi fakta dan pendapat berdasarkan keahlian/keilmuan, atas permintaan tertulis (resmi)

penyidik yang berwenang (atau hakim khusus psikiatrik) mengenai hasil pemeriksaan medik

terhadap manusia, baik hidup atau mati, ataupun bagian atau di duga bagian dari tubuh

manusia, yang dibuat atas sumpah/dikuatkan dengan sumpah, untuk kepentingan peradilan.

Rumusan yang jelas tentang pengertian visum et repertum telahdikemukakan pada

seminar forensik di Medan pada tahun 1981, yaitu laporan tertulis untuk peradilan yang

dibuat dokter berdasarkan sumpah atau janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan

dokter, yang memuat pemberitaan tentang segala hal atau fakta yang dilihat dan ditemukan

pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan

yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan

tersebut.

3.2 Aspek Medikolegal Visum et Repertum

Sebenarnya nama visum et repertum tidak ditemukan di dalam KUHAP (Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana) maupun RIB (Reglemen Indonesia yang diperbarui),

melainkan hanya ditemukan dalam Staatsblad No. 350 Tahun 1937.

Pasal 1 Staatsblad No. 350 Tahun 1937 :

“Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada

waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas

sumpah khusus, sebagai dmaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara-

perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada

benda yang diperkirakan.“

Ketentuan tentang bantuan dokter untuk kepentingan peradilan di dalam KUHAP

tercantum di dalam pasal 120, 133, dan 180.

Pasal 120 KUHAP :

“(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau

orang yang memiliki keahlian khusus.“

Pasal ini memberikan kewenangan yang bersifat umum bagi penyidik untuk meminta

keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud pasal 1 butir 28 KUHAP. Sedangkan pasal 133

adalah ketentuan khusus yang memberi kewenangan kepada penyidik dalam hal menangani

7

Page 8: Porto Medikolegal

korban yang diduga akibat tindak pidana “kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa yang

khusus“.

Pasal 133 KUHAP :

“(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik

luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak

pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran

kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”

“(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara

tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau

pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.“

Pengertian keterangan ahli oleh KUHAP diatur di dalam pasal 1 butir 28 yang

berbunyi :

Pasal 1 butir 28 KUHAP :

“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian

khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan.”

Ketentuan tentang pengertian keterangan ahli seperti pada pasal 1 butir 28 ini adalah

ketentuan yang bersifat umum, sedangkan keterangan ahli yang dibuat oleh dokter adalah

keterangan yang diatur khusus. Kekhususan keterangan ahli ini dikemukakan di dalam

Kemenkes RI tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yaitu :

“Mengenai keterangan ahli dalam pasal ini pengertiannya adalah khusus, yaitu

keterangan ahli untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah

mayat. Sedangkan untuk pengertian ahli lainnya tentunya dikembalikan pada pengertian

umum sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 28.“

Keterangan ahli yang dimaksud adalah keterangan dari para ahli yang mendukung

pemeriksaan yang dilakukan dokter, seperti misalnya ahli laboratorium toksikologi, ahli

serologi, ahli DNA-profiling, ahli balistik, ahli daktilografi, dan lainnya.

Keterangan ahli menurut KUHAP dikemukakan pada pasal 186 KUHAP, yaitu :

“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.“

Penjelasan pasal 186 :

“Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemerikaan oleh penyidik

atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan

mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.“

Pasal ini menyebutkan bahwa keterangan ahli dapat diberikan pada waktu :

8

Page 9: Porto Medikolegal

1. Di dalam persidangan, yaitu keterangan ahli ini disampaikan secara lisan langsung di

depan hakim (sidang pengadilan).

2. Sebelum persidangan, yaitu pada waktu “pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut

umum“. Ini berarti bahwa keterangan ahli tersebut dituangkan dalam bentuk laporan

pemeriksaan penyidik atau laporan pemeriksaan penuntut umum yang biasa dikenal

dengan Berita Acara Pemeriksaan.

Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam

pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara

pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu

tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya

dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan

atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam

bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu

kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat

diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat

menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa

manusia.

Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang

pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti

yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau

penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau

penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal itu sesuai dengan pasal 180

KUHAP.

Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana, yang

disusun pada :

Pasal 216 KUHP :

“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan

menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh

pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau

memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah,

menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam

dengan pidana penjarapaling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak

sembilan ribu rupiah.”

9

Page 10: Porto Medikolegal

3.3 Peran dan Fungsi Visum et Repertum

Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam

pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara

pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana visum et repertum menguraikan segala

sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang

karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.

Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil

pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian

visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum

sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah

terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada

perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.

Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer), visum et repertum berguna untuk

mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa), keterangan itu berguna untuk

menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal

untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu

dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang

tata laksana pengadaan visum et repertum.

3.4 Dasar Pengadaan Visum et Repertum

Berdasarkan adanya dugaan Polisi Penyidik terhadap kasus yang sedang ditangani

adalah akibat suatu tindak pidana, meliputi :

a. VeR Hidup

1. Kecelakaan lalu lintas

2. Penganiayaan

3. Keracunan

4. Kecelakaan industri

5. Kejahatan seksual

6. Percobaan bunuh diri

b. VeR Jenazah

1. Jenazah : - Dengan luka-luka

- Ditemukan di tempat yang tidak lazim

2. Sudden death (sebab kematian tidak diketahui)

3. Meninggal dalam 24 jam perawatan

4. Meninggal waktu tiba di institusi kesehatan

10

Page 11: Porto Medikolegal

Telah dijelaskan bahwa dasar pembuatan visum et repertum adalah pasal 133 KUHAP

dengan catatan bahwa yang diperiksa adalah berupa manusia sebagai koran atau diduga

sebagai korban suatu tindak pidana, baik masih hidup ataupun sudah mati.

Ada dua hal yang perlu dicatat dari pasal 133 KUHAP, yaitu ketentuan bahwa

pemeriksaan medis yang didasarkan pada pasal ini hanyalah pemeriksaan terhadap “korban“

dan ketentuan bahwa minimal harus ada “dugaan“ ke arah pidana. Dengan ke arah pidana

tersebut seharusnya dituliskan di dalam surat permintaan visum et repertum yang dikirimkan

kepada dokter, agar pemeriksaan dokter dapat terarah dan tepat guna.

Di dalam hal penyidik belum dapat memperkirakan peristiwa pidana apa yang sudah

terjadi, maka dapat saja dugaan pidana tersebut tidak tertulis di dalam surat permintaan visum

et repertum. Peristiwa pidana mungkim belum dapat diperkirakan oleh karena belum

diketahuinya sebab kematian, atau tidak diketahuinya faktor lain yang berperan dalam “cara

kematiaannya“. Bukanlah tidak mungkin bahwa mayat yang dikirimkan dengan dugaan cara

kematian bunuh diri atau mati wajar (alami) mendadak, ternyata pada pemeriksaan autopsi

ditemukan tanda yang mengarah ke tindak pidana pembunuhan.

3.5 Penjabat Peminta Visum et Repertum

Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu

sebagaimana bunyi pasal 7 (1) butir h dan pasal 11 KUHAP.Penyidik yang dimaksud adalah

penyidik sesuai dengan pasal 6 (1) butir a KUHAP, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara

RI.Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang

berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Menurut pasal 7 (2) KUHAP, karena VeR

adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka

penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka

hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya

masing-masing.

3.6 Prosedur Pengadaan Visum et Repertum

Prosedur pengadaan visum et repertum berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban

mati, prosedur permintaan visum et repertum korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam

KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan

boleh dilakukan oleh dokter. Hal tersebut berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang

dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung jawab

profesi kedokteran.KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin

keabsahan korban sebagai barang bukti.Hal-hal yang merupakan barang bukti pada tubuh

11

Page 12: Porto Medikolegal

korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan

dengan perkara pidananya.Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subjek

hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, karena barang bukti tersebut

tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel maupun disita, melainkan

menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum.

KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas

kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk

memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan diperiksa dengan identitas korban

yang dimintakan visumnya, seperti yang tertulis di dalam surat permintaan visum et repertum.

Situasi tersebut membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara

identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan identitas korban

yang diperiksa.

Dalam praktik sehari-hari, korban perlukaan akan langsung datang ke dokter, baru

kemudian dilaporkan ke penyidik. Hal tersebut membawa kemungkinan bahwa surat

permintaan visum et repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan

pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan tersebut masih cukup beralasan dan dapat

diterima maka keterlambatan itu tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et

repertum. Sebagai contoh, adanya kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht

(berat lawan) dan noodtoestand (darurat).

Adanya keharusan membuat visum et repertum perlukaan tidak berarti bahwa korban

tersebut, dalam hal ini adalah pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Korban

hidup adalah pasien juga sehingga mempunyai hak sebagai pasien.Apabila pemeriksaan

tersebut sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, maka

hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai

alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan

medis. Hal penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan visum et repertum harus

mengacu kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat

tertentu. Surat permintaan visum et repertum pada korban hidup bukanlah surat yang meminta

pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan medis.

3.7 Jenis dan Bentuk Visum et Repertum

Dengan konsep di atas, dikenal beberapa jenis visum et repertum, yaitu :

a. Visum et Repertum perlukaan (termasuk keracunan)

b. Visum et Repertum kejahatan susila

c. Visum et Repertum jenazah

12

Page 13: Porto Medikolegal

d. Visum et Repertum psikiatrik

Jenis a, b, dan c adalah visum et repertum mengenai tubuh / raga manusia yang dalam

hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis d adalah mengenai jiwa /

mental tersangka atau terdakwa tindak pidana. Meskipun jenisnya bermacam-macam, namun

nama resminya tetap sama, yaitu “Visum et Repertum“ tanpa embel-embel lainnya.

Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan-ketentuan umum sebagai

berikut :

a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa.

b. Bernomor dan bertanggal.

c. Mencantumkan kata "Pro justitia" di bagian atas (kiri atau tengah).

d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan

pemeriksaan.

f. Tidak menggunakan istilah asing. Bila tak dapat dihindari maka berikan pula

penjelasannya dalam bahasa Indonesia.

g. Ditandatangani dan diberi nama jelas.

f. Berstempel instansi pemeriksa tersebut.

g. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan.

h. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum (instansi). Apabila ada lebih dari

satu instansi peminta (misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM) dan keduanya

berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing-

masing "asli".

i. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan

disimpan sebaiknya hingga 30 tahun.

Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap. Di bagian atas tengah dapat

dituliskan judul surat tersebut, yaitu : Visum et Repertum. Bagian dari visum et repertum

antara lain :

1. Pro Justitia

Kata pro justitia yang diletakkan di bagian kiri atas menjelaskan bahwa visum

et repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. visum et repertum telah dinyatakan

sebagai surat resmi dan tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat

bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.

2. Pendahuluan

Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis di dalam visum et repertum, melainkan

langsung dituliskan kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangakn penyidik

13

Page 14: Porto Medikolegal

pemintanya berikut nomor dan tanggal surat permintaannya, tempat dan waktu

pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.

Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, tanggal dan pukul

diterimanya permohonan visum et repertum, identitas dokter yang melakukan

pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa,

alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan.

Uraian identitas korban sesuai dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat

permintaan visum et repertum. Bila terdapat ketidak sesuaian identitas korban antara

surat permintaan dengan catatan medik atau pasien yang diperiksa, dokter meminta

penjelasan pada penyidik.

3. Pemberitaan

Bagian ini berjudul “Hasil Pemeriksaan“ dan berisi hasil pemeriksaan medik

tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka korban yang berkaitan dengan

perkaranya, tindakan medik yang dilakukan serta keadaannya selesai

pengobatan/perawatan. Bila korban meninggal dan dilakukan autopsi, maka diuraikan

keadaan seluruh alat dalam yang berkaitan dengan perkara dan matinya orang tersebut.

Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka

pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan

yang diberikan.

Yang diuraikan dalam bagian ini merupakan pengganti “barang bukti“ yang

dituliskan secara sistematik, jelas, dan dapat dimengerti oleh orang yang tidak berlatar

belakang pendidikan kedokteran. Barang bukti tersebut berupa perlukaan, keadaan

kesehatan, sebagai kematian yang berkaitan dengan perkaranya. Temuan hasil

pemeriksaan medik bersifat rahasia dan tidak berhubungan dengan perkaranya

dituangkan ke dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia

kedokteran.

Untuk itu teknik penggambaran atau pendeskripsian temuan harus dibuat

panjang lebar, dengan memberikan uraian letak anatomis tersebut, serta bila perlu

menggunakan ukuran. Pencatatan tentang perlukaan atau cedera dilakukan dengan

sistematis mulai dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya

juga tertentu, yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak

antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik

anatomis permanen yang terdekat), jenis luka/cedera, karakteristiknya serta

ukurannya. Rincian ini terutama pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri

dari :

14

Page 15: Porto Medikolegal

a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan

dan apa yang diriwayatkan, yang menyangkut tentang ‘penyakit’ yang

diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga

kekerasan.

b. Hasil pemeriksaan, yang memuat seluruh hasil pemeriksaan baik

pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan

korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan atau

cederanya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya

(status lokalis). Anamnesis yang ketat atau pemeriksaan fisik umum yang

lengkap tetap diperlukan untuk menghindari terlewatkannya suatu kelainan

atau perlukaan.

c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan

sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya

diambil. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya

tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk

menghindari kesalah pahaman tentang tepat tidaknya penangan dokter dan

tepat tidaknya kesimpulan yang diambil. Perlu diingat bahwa kadan-

kadang dtemukan juga kelainan yang tidak berhubungan dengan

perlukaannya, tetapi mungkin justru merupakan indikasi perawatan atau

tindakannya.

d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan

(termasuk indera) merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan,

sehingga harus diuraikan denga jelas.

4. Kesimpulan

Bagian ini berjudul “Kesimpulan“ dan Memuat hasil interpretasi yang dapat

dipertanggung jawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter

pembuat visum et repertum, mengenai jenis perlukaan/cedera yang ditemukan dan

jenis kekerasan atau zat penyebabnya, serta derajat perlukaan (pada orang hidup) atau

sebab kematiannya (pada orang mati) yang dikaitkan dengan maksud dan tujuan

dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2

unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka.Hasil pemeriksaan

anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak

digunakan dalam menarik kesimpulan.Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya

boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan visum et repertum adalah

15

Page 16: Porto Medikolegal

pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak

tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu

pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan

hukum yang berlaku. Kesimpulan visum et repertum harus dapat menjembatani antara

temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan

bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil

temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Kualifikasi luka diformulasikan dengan kata-kata yang sesuai dengan bunyi

ketentuan perundang- undangannya, misalnya :

Tidak menimbulkan sakit dan atau halangan dalam melakukan pekerjaannya.

Mengakibatkan sakit yang membutuhkan perawatan jalan selama ___ hari.

Mengakibatkan sakit dan halangan dalam mela- kukan pekerjaannya selama ___

hari (atau untuk sementara waktu).

Mengakibatkan ancaman bahaya maut baginya.

Mengakibatkan kehilangan indera penglihatan sebelah kanan.

dan sebagainya.

Sehingga kesimpulan tersebut misalnya berbunyi :

"Pada korban anak perempuan ini ditemukan memar pada lengan bawah kanan

akibat kekerasan tumpul yang tidak mengakibatkan sakit atau halangan dalam

melakukan pekerjaannya."

”Pada korban perempuan ini ditemukan luka terbuka di lengan bawah kiri akibat

kekerasan tajam yang mengakibatkan sakit yang membutuhkan perawatan jalan

selama lima hari."

”Pada korban perempuan ini ditemukan memar jaringan otak akibat kekerasan

tumpul pada kepala yang mengakibatkan sakit dan halangan dalam melakukan

pekerjaannya selama empat hari."

”Pada korban perempuan ini ditemukan luka terbuka pada dada kanan akibat

kekerasan tajam, yang mengakibatkan robeknya paru kanan dan perdarahan dalam

rongga dada, sehingga telah mengakibatkan ancaman bahaya maut baginya."

5. Penutup

Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku “Demikianlah visum et

repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan

mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP)“.

16

Page 17: Porto Medikolegal

Visum et repertum diakhiri dengan tanda tangan dokter pemeriksa atau pembuat visum

et repertum dan nama jelasnya. visum et repertum juga bisa ditanda tangani ganda, yaitu oleh

dua orang dokter pemeriksa, atau dokter pemeriksa dan dokter ahli kedokteran forensik

sebagai konsulen medikolegalnya, atau bahkan oleh lebih dari dua orang dokter. Cara ini

digunakan untuk meningkatkan nilai dari visum et repertum tersebut. Jangan dilupakan

pembubuhan stempel instansi dokter pemeriksa tersebut dan nomor induk pegawai atau

nomor registrasi prajurit atau nomor surat penugasan.

Contoh visum et repertum perlukaan dapat kita lihat seperti dibawah ini :

_____________________________________________________________________

Pekanbaru, 24 Agustus 2010

PRO JUSTITIA

VISUM ET REPERTUM

No. /TUM/VER/VIII/2010

Yang bertandatangan di bawah ini, dr. XX, Sp. F, dokter spesialis forensik pada RSUD Arifin

Achmad, atas permintaan dari kepolisian sector Teluk Belanga dengan suratnya nomor

B/37/VeR/VIII/Reskrim tertanggal 24 Agustus 2010 maka dengan ini menerangkan bahwa

pada tanggal dua puluh empat Agustus tahun dua ribu sepuluh pukul Sembilan lewat lima

menit Waktu Indonesia Bagian Barat.bertempat di RSUD XX, telah melakukan pemeriksaan

korban dengan nomor registrasi 123456 yang menurut surat tersebut adalah :

Nama : xxxx

Umur : xx tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Warga negara : Indonesia

Pekerjaan : xxxx

Agama : xxxx

Alamat : xxxx

HASIL PEMERIKSAAN:

1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang. Korban

mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah kejadian pemukulan pada

kepala.------------------------------------------

2. Pada korban ditemukan :

-------------------------------------------------------------------------------------------

17

Page 18: Porto Medikolegal

a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang, empat senti

meter diatas batas dasar tulang, terdapat luka terbuka, tepi tidak rata, dinding luka kotor, sudut

luka tumpul, berukuran tiga senti meter kali satu senti meter, disekitarnya dikelilingi benjolan

berukuran empat sentimeter kali empat senti

meter.------------------------------------------------------------------------------------

b. Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka terbuka tepi tidak rata, dasar

jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul, berukuran dua senti meter kali setengah

sentimeter dasar

otot.-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

------------

c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada pertengahan serta nyeri pada

penekanan.---------------------------------------------------------------------------------------------------

------------

d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya cedera kepala

ringan.------

3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak menunjukkan adanya

patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri menunjukkan adanya patah tulang

lengan atas pada

pertengahan.-------------------------------------------------------------------------------------------------

------------

4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan

pengobatan.------------------------------

5. Korban dipulangkan dengan anjuran kontrol seminggu

lagi.--------------------------------------------------

KESIMPULAN :

Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan cedera

kepala ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan dagu serta patah tulang tertutup

pada lengan atas kiri akibat kekerasan tumpul.Cedera tersebut telah mengakibatkan

penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian untuk sementara waktu.

Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan

keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

Dokter Pemeriksa

18

Page 19: Porto Medikolegal

___________________________________________________________________________

________

Kasus di atas dikualifikasikan sebagai luka derajat dua (sedang) karena luka tersebut

memerlukan perawatan, terdapat patah tulang dan mengenai organ vital yaitu kepala. Di

dalam kesimpulan sebaiknya tidak dituliskan derajat dua sebagai kualifikasi luka, melainkan

menuliskan sesuai dengan kalimat dalam KUHP sehingga akan memudahkan aparat penegak

hukum dalam membuat dakwaan. Berbeda halnya dengan kasus korban mati, pada kasus

korban hidup dokter diharapkan memahami kecederaan berdasarkan patofisiologi dan

biomekanika trauma. Gabungan pengukuran

kecederaan secara anatomis dan fisiologis merupakan pengukuran yang paling ideal dalam

menetapkan kualifikasi luka.

3.8 Perlukaan Akibat Kekerasan Tumpul

Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan yangbersifat mekanik,

fisika dan kimia.Kekerasan akibat benda tumpul berdasarkan sifatnya termasuk kedalam kekerasan yang

bersifat mekanik.Luka yang terjadi akibat kekerasan benda tumpul dapat berupa luka memar (kontusio,

hematom), luka lecet (ekskoriasi, abrasi), dan luka terbuka atau luka robek (vulnus laseratum).

a.Luka Memar

Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan bawah kulit

(kutis) karena pecahnya pembuluh darah kapiler dan vena akibat kekerasan benda tumpul sewaktu seseorang

masih hidup. Apabila kekerasan benda tumpul terjadi pada jaringan ikat longgar, seperti pada daerah leher,

daerah mata atau pada orang yang sudah lanjut usia, maka luka memar yang terjadi kadang seringkali tidak

sebanding dengan kekerasan yang terjadi, dalam arti seringkali lebih luas; adanya jaringan ikat longgar tersebut

memungkinkan berpindahnya memar ke daerah yang lebih rendah, berdasarkan gravitasi. Umur luka memar

secara kasar dapat diperkirakan melalui perubahan warnanya. Padasaat timbul, memar berwarna merah

kemudian berubah menjadi ungu atau hitam, setelah empat sampai lima hari akan berwarna hijau yang

kemudian akan berubah menjadi kuning dalam waktu tujuh sampai sepuluh hari, dan akhirnya menghilang

dalam empat belas sampai lima belas hari. Perubahan warna tersebut berlangsung mulai dari tepi dan

waktunya dapat bervariasi tergantung derajat dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.

b.Luka Lecet

Luka lecet adalah luka yang superfisial, luka ini terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan

dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing. Luka lecet memiliki ciri-ciri bentuk luka tidak

teratur, tepi luka tidak rata, kadang-kadang ditemui sedikit perdarahan, permukaan tertutup oleh krusta, warna

19

Page 20: Porto Medikolegal

kecoklatan merah, pada pemeriksaan mikroskopik terlihat adanya beberapa bagian yang masih ditutupi oleh

epitel dan reaksi jaringan (inflamasi). Sesuai mekanisme terjadinya, luka lecetdibedakan dalam 3 jenis:

Luka lecet gores (scratch)

Luka ini terjadi akibat oleh benda runcing yang menggeser lapisan permukaan kulit.Dari

gambaran kedalaman luka pada kedua ujungnya dapat ditentukan arah kekerasan datang.

Luka lecet serut (graze) / geser (friction abrasion)

Luka lecet serut merupakan variasi dari luka lecet gores yang daerah persentuhannya dengan

permukaan kulit lebih lebar. Arah kekerasan ditentukan dengan melihat letak tumpukan

epitel.Sedangkan luka lecet geser merupakan luka lecet yang disebabkan karena tekanan

linear pada kulit disertai gerakan bergeser, misalnya pada kasus gantung atau jerat serta pada

korban pecut.

Luka lecet tekan (impression, impact abrasion)

Luka lecet yang disebabkan oleh penekanan benda tumpul secara tegak lurus terhadap

permukaan kulit. Karena kulit adalah jaringan yang lentur, maka bentuk luka lecet tekan

belum tentu sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut, namun terkadang dapat

sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut. Kulit pada luka lecet tekan tampak

berupa daerah kulit yang kaku dengan warna yang lebih gelap dari sekitarnya.

c.Luka Terbuka atau Luka Robek 

Luka terbuka adalah luka yang disebabkan karena adanya persentuhan dengan benda tumpul dengan

kekuatan yang mampu merobek seluruh lapisan kulit dan jaringan dibawahnya. Ciri-ciri dari luka terbuka

adalah bentuk luka tidak beraturan, tepi atau dinding luka tidak rata, tebing luka tidak rata, bila ditautkan tidak

merapat karena terdapat jembatan-jembatan jaringan yang menghubungkan kedua tepi luka, akar

rambut tampak hancur atau tercabut, disekitar luka robek sering tampak adanya luka lecet atau luka memar.

3.9 Penentuan Derajat Luka

Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulansebuah visum et repertum

perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum, visum et repertum

dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam visum et repertum tersebut dapat

memenuhi delik rumusan dalam KUHP. Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar

belakang individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikut sertaan dalam

pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya.

Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik, psikis, sosial,

dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun jangka

20

Page 21: Porto Medikolegal

panjang.Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting bagi hakim dalam

menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan.

Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan

dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan

penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang

menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut

diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk

penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka

berat.setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut,

seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa

awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan.

Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1)

KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan

untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan

ringan”.Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak

menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori

tersebut.Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur

dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit.Sehingga bila kita

memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban

dimasukkan ke dalam kategori tersebut.

Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur

dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka

berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Luka berat

itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif.Sehingga bila kita memeriksa

seorang korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP,

maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut.

Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah :

• Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,

atau yang menimbulkan bahaya maut

• Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan

pencarian

• Kehilangan salah satu panca indera

• Mendapat cacat berat

• Menderita sakit lumpuh

• Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih

21

Page 22: Porto Medikolegal

• Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan

Perbedaan dalam membuat keputusan penentuan luka tidak banyak menemukan

masalah dalam penentuan luka derajat tiga, namun secara konseptual masih berbeda pendapat

untuk penetapan luka derajat satu dan dua. Variasi keputusan klinis dalam menentukan

kualifikasi luka tidak akan menguntungkan bagi pengambilan keputusan oleh para penegak

hukum dalam proses peradilan karena tidak memberikan kepastian pendapat mana yang akan

dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Rumusan delik penganiayaan menyebutkan antara lain bahwa luka derajat dua akan

terpenuhi bila pekerjaan atau jabatan korban menjadi terganggu. Walaupun masih terdapat

kontroversi dalam penentuan kualifikasi luka dengan mempertimbangkan jenis pekerjaan

korban, namun pada umumnya para dokter cenderung sepakat untuk tidak

mempertimbangkan hal tersebut di masa mendatang.Mereka lebih cenderung menggunakan

rumusan ada atau tidak adanya penyakit dalam menentukan kualifikasi luka karena hal

tersebut masih dalam lingkup kompetensi seorang dokter di bidang medis.

Hal-hal yang mempengaruhi penentuan kualifikasi luka adalah regio anatomis yang

terkena trauma.Sebagai contoh, apabila regio leher terkena trauma, walaupunpun kecil akibat

yang nampak, namun terdapat kecenderungan untuk memberikan kualifikasi luka yang lebih

berat.Hal itu disebabkan karena pada daerah leher terdapat organ-organ yang vital bagi

kehidupan, seperti arteri karotis, vena jugularis, serta saluran pernafasan.Kekerasan pada

daerah wajah dan daerah kepala lainnya juga dipertimbangkan sebagai faktor yang ikut

meningkatkan kualifikasi luka. Walaupun beberapa responden memperhatikan nilai

laboratorium termasuk peningkatan leukosit pada salah satu kasus, namun pada umumnya

faktor-faktor fisiologis yang terjadi akibat trauma seperti reaksi inflamasi sistemik (systemic

inflamatory response syndrome), respons neurologik, fisiologik, dan metabolik belum

mendapatkan perhatian khusus dalam menentukan kualifikasi luka.

Penganiayaan ringan tidak mengakibatkan luka atau hanya mengakibatkan luka ringan

yang tidak termasuk kategori “penyakit dan halangan” sebagaimana disyaratkan dalam pasal

352 KUHP.Contoh luka ringan atatu luka derajat satu adalah luka lecet yang superfisial dan

berukuran kecil atau memar yang berukuran kecil.Lokasi lecet atau memar tersebut perlu

diperhatikan oleh karena lecet atau memar pada beberapa lokasi tertentu mungkin

menunjukkan cedera bagian dalam tubuh yang lebih hebat dari yang terlihat pada kulit.Luka

lecet atau memar yang luas dan derajatnya cukup para dapat saja diartikan sebagai bukan

sekedar luka ringan.Luka atau keadaan cedera yang terletak di antara luka ringan dan luka

berat dapat dianggap sebagai luka sedang.

22

Page 23: Porto Medikolegal

DAFTAR PUSTAKA

1. Budi S., dkk. 2005. Visum et Repertum dan Perundang-undangan serta Pembahasan

Hukum Kesehatan Dalam Profesi Kedokteran. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas

Kedokteran Universitas Andalas : Padang.

2. Herkutanto. 2005. Peningkatan kualitas pembuatan visum et repertum (VeR)

kecederaan di rumah sakit melalui pelatihan dokter unit gawat darurat (UGD). JPMK :

Jakarta.

3. Atmadja DS. 2004. Aspek medikolegal pemeriksaan korban perlukaan dan keracunan

di rumahsakit – Prosiding Ilmiah Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban

Hidup pada Kasus Perlukaandan Keracunan di Rumah Sakit. RS Mitra Keluarga Kelapa

Gading : Jakarta.

4. Herkutanto. 2004. Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di Jakarta dan Faktor yang

Mempengaruhinya. Majalah Kedokteran Indonesia : Jakarta.

5. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. 2005. Pedoman Teknik Pemeriksaandan Interpretasi Luka dengan Orientasi

Medikolegal Atas Kecederaan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

6. Afandi D, dkk. 2008. The Quality of Visum et Repertum of The Living Victims In

Arifin Achmad General Hopital During January 2004-September 2007. Jurnal Ilmu

Kedokteran : Jakarta.

7. Amir A. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik - Edisi 2. Ramadhan : Jakarta.

8. Afandi D. 2009. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Jurnal Ilmu Kedokteran :

Jakarta.

9. Sampurna B, dkk. 2003. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum. Pustaka

Dwipar : Jakarta.

10. Dahlan S. 1999. Pembuatan Visum et Repertum. Badan Penerbit Universitas

Diponegoro : Semarang.

11. Herkutanto, dkk. 2005. Aplikasi Trauma Related Injury Severity Score (TRISS) untuk

Penetapan Derajat Luka dalam Konteks Medikolegal. JI Bedah Indonesia : Jakarta.

12. Budiyanto A, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

23