Porto Medikolegal
-
Upload
annisa-lenggogeni -
Category
Documents
-
view
9 -
download
2
description
Transcript of Porto Medikolegal
BAB I
PENDAHULUAN
VisumetRepertum(VeR) merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak
penyidik (polisi) kepada dokter menyangkut perlukaan pada tubuh manusia.
VisumetRepertum(VeR) merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya
memenuhi standar penulisan rekammedis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang
disyaratkan dalam system peradilan.
Data di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa jumlah kasus perlukaan dan
keracunan yang memerlukan VeR pada unit gawatdarurat mencapai 50-70%. Dibandingkan
dengan kasus pembunuhan dan perkosaan, kasus penganiayaan yang mengakibatkan luka
merupakan jenis yang paling sering terjadi, dan oleh karenanya penyidik perlu meminta VeR
kepada dokter sebagai alat bukti di depan pengadilan.
Dalam praktek sehari-hari, selain melakukan pemeriksaan diagnostik, memberikan
pengobatan, dan perawatan kepada pasien, dokter juga mempunyai tugas melakukan
pemeriksaan medic untuk tujuan membantu penegakan hokum baik untuk korban hidup
maupun korban mati.Demikian pula halnya dengan seorang pasien yang datang ke instalasi
gawatdarurat, tujuan utama yang bersangkutan umumnya adalah untuk mendapatkan
pertolongan medis agar penyakitnya sembuh. Namun dalam hal pasien tersebut mengalami
cedera, pihak yang berwajib dapat meminta surat keterangan medis atau VeR dari dokter yang
memeriksa. Jadi pada satusaat yang sama dokter dapat bertindak sebagai seorang klinisi yang
bertugas mengobati penyakit sekaligus sebagai seorang petugas forensik yang bertugas
membuat VeR. Sedangkan pasien bertindak sebagai seorang yang diobati sekaligus korban
yang diperiksa dan hasilnya dijadikan alat bukti.
Di hadapan dokter, seorang korban hidup dapat berstatus sebagai korban untuk
dibuatkan visumetrepertum, sekaligus berstatus sebagai pasien untuk diobati/dirawat. Sebagai
seorang pasien, orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang timbul akibat hubungan
pasien-dokter (kontrak terapeutik).Berbagai hak yang dimiliki pasien, seperti hak atas
informasi, hak menolak / memilih alternative cara pemeriksaan atau terapi, hak atas rahasia
kedokteran dan lain-lain harus dipatuhi oleh dokter. Namun sebagai korban, pada orang
tersebut berlaku ketentuan-ketentuan seperti yang diatur dalam hokum acara pidana. Orang
tersebut tidak dapat begitu saja menolak pemeriksaan forensik yang akan dilakukan terhadap
dirinya.
SebuahVeR yang baik harus mampu membuat terang perkara tindak pidana yang
terjadi dengan melibatkan bukti-bukti forensik yang cukup.Tetapi hasil penelitian di Jakarta
1
menunjukkan bahwa hanya 15,4% dari VeR perlukaan rumah sakit umum DKI Jakarta
berkualitas baik, sementara di Pekanbaru menunjukkan bahwa 97,06% berkualitas jelek dan
tidak satu pun yang memenuhi criteria VeR yang baik. Dari kedua penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa bagian pemberitaan dan bagian kesimpulan merupakan bagian yang
paling kurang diperhatikan oleh dokter. Kualitas bagian pemberitaan berturut-turut untuk
Jakarta dan Pekanbaru adalah 36,9% dan 29,9%, yang berarti berkualitas buruk. Nilai kualitas
bagian pemberitaan merupakan nilai yang terendah dari ketiga bagian VeR. Unsur yang tidak
dicantumkan oleh hamper semua dokter adalah anamnesis, tanda vital, dan pengobatan
perawatan. Hal tersebut mungkin disebabkan masih adanya anggapan bahwa anamnesis, tanda
vital dan pengobatan tidak penting dituliskan dalam VeR, atau juga dapat disebabkan karena
dokter pembuat VeR tidak mengetahui bahwa unsure tersebut perlu dicantumkan dalam
pembuatan VeR. Pada penelitian yang sama didapatkan bahwa kualitas untuk bagian
kesimpulan 65,94% (kualitas sedang) di Jakarta dan 37,5% (berkualitas buruk) di Pekanbaru.
Padabagian kesimpulan, walaupun sebanyak 68,9% dokter dapat menyimpulkan jenislukadan
kekerasan, namun terdapat 62% dokter yang tidak dapat menyimpulkan kualifikasi luka
secara benar. Sementara dari hasil penelitian di Pekanbaru, tidak satu pun dokter pemeriksa
VeR yang mencantumkan kualifikasi luka menurut rumusan pasal 351, 352, dan 90 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Rumusan ketiga pasal tersebut secara implicit
membedakan derajat perlukaan yang dialami korban menjadi luka ringan, luka sedang, dan
luka berat.Dari segi medikolegal, orientasi dan paradigma yang digunakan dalam merinci luka
dan kecederaan adalah untuk dapat membantu merekonstruksi peristiwa penyebab terjadinya
luka dan memperkirakan derajat keparahan luka (severity of injury).Dengan demikian pada
pemeriksaan suatu luka, bisa saja ada beberapa hal yang dianggap penting dari segi
medikolegal, tidak dianggap perlu untuk tujuan pengobatan, seperti misalnya lokasi luka, tepi
luka, dan sebagainya. Secara hukum, keadaan luka tersebut menimbulkan konsekuensi
pemidanaan yang berbeda bagi pelakunya .Dengan demikian kekeliruan penyimpulan
kualifikasi luka secara benar dapat menimbulkan ketidakadilan bagi korban maupun pelaku
tindak pidana.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
Keterangan Umum
Nama : Sdr. A
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Tani
Alamat : Desa Sangkuang Kec Tanjung Agung Palik Kab. Bengkulu Utara
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Status Marital : Belum Menikah
Tanggal Masuk RS : 03 Januari 2015, pukul 01.00 WIB
A. Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan Utama :
Luka robek pada pinggang kanan akibat tusukan benda tajam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Luka robek pada pinggang kanan akibat tusukan benda tajam. Dari keterangan pasien
tidak dapat menghindari benda tajam yang ditujukan kepadanya.
B. Pemeriksaan Fisik (pukul 00.15 WIB)
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Sadar
Tanda Vital :
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Respirasi : 22 x/menit
Nadi : 98 x/menit
Suhu : 36,7°C
Status Generalis
Kulit : Teraba hangat, sianosis tidak ada
Kepala : Status Lokalis
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil isokhor +/+
Telinga : Tidak ada kelainan
Hidung : Tidak ada kelainan
Gigi : Tidak ada kelainan
3
Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah.
Leher : Tidak ada pembesaran KGB, JVP 5-2 cmH2O
Dada :
- Paru :
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus normal kiri=kanan
Perkusi : Sonor kiri dan kanan
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
- Jantung :
Inspeksi : Iktus tidak tampak
Palpasi : Iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : Batas jantung atas : RIC II, kanan : LSD, kiri 1 jari
medial LMCS RIC V
Auskultasi : Bunyi jantung murni, irama jantung teratur, bising
(-)
Abdomen :
Inspeksi : Supel, distensi (-), tampak jejas di lumbal kanan
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba
Nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Alat Kelamin : Tidak diperiksa.
Ekstremitas : Akral hangat, sianosis tidak ada, refilling kapiler baik.
Status Lokalisata
Regio plank dekstra
Vulnus laceratum et regio plank dekstra dengan ukuran 10 x 2 x 4 cm
D. Diagnosis Kerja
Vulnus laseratum et region plank dekstra
F. Terapi
- Inj. ATS 1500 IU
- Hecting luka robek
- Cefadroxyl 2x500 mg
- Asam mefenamat 3 x 500 mg
4
G. Penulisan Visum et Repertum
PRO JUSTITIA
ARGA MAKMUR, 03 JANUARI 2015
VISUM ET REPERTUM
No. /VS / I / 2015 / RM
Sehubungan dengan surat saudara HAIDIR, Pangkat AIPTU NRP 70020200 Jabatan
Kepala Kepolisian Resor Bengkulu Utara, tanggal tiga januari dua ribu lima belas,
Nomor Polisi : VER/03/I/2015/Reskrim, maka yang bertanda tangan di bawah ini, dr.
Feby oktaviani, dokter umum pada Rumah Sakit Umum Daerah Arga Makmur
menerangkan bahwa pada tanggal tiga januari tahun dua ribu lima belas, telah
memeriksa seorang Laki-laki di Instalasi Gawat Darurat bernama ALVIN SETIO
PRAYOGA Als ALVIN Bin UJANG SARDINI berumur tujuh belas tahun,
beralamat di Desa Sengkuang Kecamatan Tanjung Ampalik Kabupaten Bengkulu
Utara, yang menurut saudara orang tersebut diduga Korban penganiayaan.
--------------------------------------------------------------------------
Adapun hasil pemeriksaan kami sebagai berikut :-------------------------------------------
Keadaan Umum-------------------: Sadar, tekanan darah seratus dua puluh per delapan puluh.
Kepala------------------------------- : Tidak ada tanda – tanda kealinan. ---------------------------
Leher--------------------------------- : Tidak ada tanda-tanda kelainan.------------------------------
Dada--------------------------------- : Tidak ada tanda-tanda kelainan.------------------------------
Perut--------------------------------- :Tidak ada tanda – tanda kelainan.-----------------------------
Punggung---------------------------- : Punggung sebelah kanan dijumpsi luka robek dengan
ukuran sepuluh kali dua kali empat sentimeter akibat
kekerasan tajam.------------------------------------------------
Anggota gerak atas----------------- : Tidak ada tanda-tanda kelainan ------------------------------
Anggota gerak bawah-------------- : Tidak ada tanda-tanda kelainan.------------------------------
Lain-lain----------------------------- : Tidak ada tanda-tanda kelainan.------------------------------
Kesimpulan-------------------------- : Pasien datang ke Intalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Umum Daerah Argamakmur pada pukul 01.00 WIB
dibawa oleh keluarga dengan keadaan sadar tekanan darah
seratus dua puluh per delapan puluh. Pada pemeriksaan
visum et repertum bagian luar dijumpai luka robek pada
5
punggung kanan sepuluh kali dua kali empat sentimeter
akibat kekerasan tajam .------------------------------
Demikianlah Visum et Repertum ini kami dengan sebenarnya, mengingat sumpah
pada waktu menerima jabatan.--------------------------------------------------------
Arga Makmur, 03 Januari 2015
An. Dirut RSUD Arga Makmur
Dokter yang Memeriksa,
dr. Feby Oktaviani
H. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanam : Bonam
6
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Visum et Repertum
Visum et repertum (VeR) adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter yang
berisi fakta dan pendapat berdasarkan keahlian/keilmuan, atas permintaan tertulis (resmi)
penyidik yang berwenang (atau hakim khusus psikiatrik) mengenai hasil pemeriksaan medik
terhadap manusia, baik hidup atau mati, ataupun bagian atau di duga bagian dari tubuh
manusia, yang dibuat atas sumpah/dikuatkan dengan sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Rumusan yang jelas tentang pengertian visum et repertum telahdikemukakan pada
seminar forensik di Medan pada tahun 1981, yaitu laporan tertulis untuk peradilan yang
dibuat dokter berdasarkan sumpah atau janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan
dokter, yang memuat pemberitaan tentang segala hal atau fakta yang dilihat dan ditemukan
pada benda bukti berupa tubuh manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan
yang sebaik-baiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan
tersebut.
3.2 Aspek Medikolegal Visum et Repertum
Sebenarnya nama visum et repertum tidak ditemukan di dalam KUHAP (Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana) maupun RIB (Reglemen Indonesia yang diperbarui),
melainkan hanya ditemukan dalam Staatsblad No. 350 Tahun 1937.
Pasal 1 Staatsblad No. 350 Tahun 1937 :
“Visa reperta dari dokter-dokter, yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada
waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di negeri Belanda atau di Indonesia, atau atas
sumpah khusus, sebagai dmaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara-
perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada
benda yang diperkirakan.“
Ketentuan tentang bantuan dokter untuk kepentingan peradilan di dalam KUHAP
tercantum di dalam pasal 120, 133, dan 180.
Pasal 120 KUHAP :
“(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau
orang yang memiliki keahlian khusus.“
Pasal ini memberikan kewenangan yang bersifat umum bagi penyidik untuk meminta
keterangan ahli sebagaimana yang dimaksud pasal 1 butir 28 KUHAP. Sedangkan pasal 133
adalah ketentuan khusus yang memberi kewenangan kepada penyidik dalam hal menangani
7
korban yang diduga akibat tindak pidana “kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa yang
khusus“.
Pasal 133 KUHAP :
“(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik
luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak
pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.”
“(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara
tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.“
Pengertian keterangan ahli oleh KUHAP diatur di dalam pasal 1 butir 28 yang
berbunyi :
Pasal 1 butir 28 KUHAP :
“Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.”
Ketentuan tentang pengertian keterangan ahli seperti pada pasal 1 butir 28 ini adalah
ketentuan yang bersifat umum, sedangkan keterangan ahli yang dibuat oleh dokter adalah
keterangan yang diatur khusus. Kekhususan keterangan ahli ini dikemukakan di dalam
Kemenkes RI tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP yaitu :
“Mengenai keterangan ahli dalam pasal ini pengertiannya adalah khusus, yaitu
keterangan ahli untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat atau pemeriksaan bedah
mayat. Sedangkan untuk pengertian ahli lainnya tentunya dikembalikan pada pengertian
umum sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 28.“
Keterangan ahli yang dimaksud adalah keterangan dari para ahli yang mendukung
pemeriksaan yang dilakukan dokter, seperti misalnya ahli laboratorium toksikologi, ahli
serologi, ahli DNA-profiling, ahli balistik, ahli daktilografi, dan lainnya.
Keterangan ahli menurut KUHAP dikemukakan pada pasal 186 KUHAP, yaitu :
“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.“
Penjelasan pasal 186 :
“Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemerikaan oleh penyidik
atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan
mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.“
Pasal ini menyebutkan bahwa keterangan ahli dapat diberikan pada waktu :
8
1. Di dalam persidangan, yaitu keterangan ahli ini disampaikan secara lisan langsung di
depan hakim (sidang pengadilan).
2. Sebelum persidangan, yaitu pada waktu “pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut
umum“. Ini berarti bahwa keterangan ahli tersebut dituangkan dalam bentuk laporan
pemeriksaan penyidik atau laporan pemeriksaan penuntut umum yang biasa dikenal
dengan Berita Acara Pemeriksaan.
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam
pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara
pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu
tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya
dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan
atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam
bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu
kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat
diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat
menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa
manusia.
Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di sidang
pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti
yang tercantum dalam KUHAP, yang memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau
penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau
penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal itu sesuai dengan pasal 180
KUHAP.
Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik adalah sanksi pidana, yang
disusun pada :
Pasal 216 KUHP :
“Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan
menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau
memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam
dengan pidana penjarapaling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak
sembilan ribu rupiah.”
9
3.3 Peran dan Fungsi Visum et Repertum
Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana tertulis dalam
pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara
pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia, dimana visum et repertum menguraikan segala
sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang
karenanya dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti.
Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil
pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian
visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum
sehingga dengan membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah
terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada
perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.
Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer), visum et repertum berguna untuk
mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa), keterangan itu berguna untuk
menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim sebagai alat bukti formal
untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu
dibuat suatu Standar Prosedur Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang
tata laksana pengadaan visum et repertum.
3.4 Dasar Pengadaan Visum et Repertum
Berdasarkan adanya dugaan Polisi Penyidik terhadap kasus yang sedang ditangani
adalah akibat suatu tindak pidana, meliputi :
a. VeR Hidup
1. Kecelakaan lalu lintas
2. Penganiayaan
3. Keracunan
4. Kecelakaan industri
5. Kejahatan seksual
6. Percobaan bunuh diri
b. VeR Jenazah
1. Jenazah : - Dengan luka-luka
- Ditemukan di tempat yang tidak lazim
2. Sudden death (sebab kematian tidak diketahui)
3. Meninggal dalam 24 jam perawatan
4. Meninggal waktu tiba di institusi kesehatan
10
Telah dijelaskan bahwa dasar pembuatan visum et repertum adalah pasal 133 KUHAP
dengan catatan bahwa yang diperiksa adalah berupa manusia sebagai koran atau diduga
sebagai korban suatu tindak pidana, baik masih hidup ataupun sudah mati.
Ada dua hal yang perlu dicatat dari pasal 133 KUHAP, yaitu ketentuan bahwa
pemeriksaan medis yang didasarkan pada pasal ini hanyalah pemeriksaan terhadap “korban“
dan ketentuan bahwa minimal harus ada “dugaan“ ke arah pidana. Dengan ke arah pidana
tersebut seharusnya dituliskan di dalam surat permintaan visum et repertum yang dikirimkan
kepada dokter, agar pemeriksaan dokter dapat terarah dan tepat guna.
Di dalam hal penyidik belum dapat memperkirakan peristiwa pidana apa yang sudah
terjadi, maka dapat saja dugaan pidana tersebut tidak tertulis di dalam surat permintaan visum
et repertum. Peristiwa pidana mungkim belum dapat diperkirakan oleh karena belum
diketahuinya sebab kematian, atau tidak diketahuinya faktor lain yang berperan dalam “cara
kematiaannya“. Bukanlah tidak mungkin bahwa mayat yang dikirimkan dengan dugaan cara
kematian bunuh diri atau mati wajar (alami) mendadak, ternyata pada pemeriksaan autopsi
ditemukan tanda yang mengarah ke tindak pidana pembunuhan.
3.5 Penjabat Peminta Visum et Repertum
Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu
sebagaimana bunyi pasal 7 (1) butir h dan pasal 11 KUHAP.Penyidik yang dimaksud adalah
penyidik sesuai dengan pasal 6 (1) butir a KUHAP, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara
RI.Penyidik tersebut adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang
berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Menurut pasal 7 (2) KUHAP, karena VeR
adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka
penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum, karena mereka
hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya
masing-masing.
3.6 Prosedur Pengadaan Visum et Repertum
Prosedur pengadaan visum et repertum berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban
mati, prosedur permintaan visum et repertum korban hidup tidak diatur secara rinci di dalam
KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan
boleh dilakukan oleh dokter. Hal tersebut berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang
dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada dokter dengan mengandalkan tanggung jawab
profesi kedokteran.KUHAP juga tidak memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin
keabsahan korban sebagai barang bukti.Hal-hal yang merupakan barang bukti pada tubuh
11
korban hidup adalah perlukaannya beserta akibatnya dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan perkara pidananya.Sedangkan orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subjek
hukum dengan segala hak dan kewajibannya. Dengan demikian, karena barang bukti tersebut
tidak dapat dipisahkan dari orangnya maka tidak dapat disegel maupun disita, melainkan
menyalin barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum.
KUHAP tidak mengatur prosedur rinci apakah korban harus diantar oleh petugas
kepolisian atau tidak. Padahal petugas pengantar tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk
memastikan kesesuaian antara identitas orang yang akan diperiksa dengan identitas korban
yang dimintakan visumnya, seperti yang tertulis di dalam surat permintaan visum et repertum.
Situasi tersebut membawa dokter turut bertanggung jawab atas pemastian kesesuaian antara
identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dengan identitas korban
yang diperiksa.
Dalam praktik sehari-hari, korban perlukaan akan langsung datang ke dokter, baru
kemudian dilaporkan ke penyidik. Hal tersebut membawa kemungkinan bahwa surat
permintaan visum et repertum korban luka akan datang terlambat dibandingkan dengan
pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan tersebut masih cukup beralasan dan dapat
diterima maka keterlambatan itu tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum et
repertum. Sebagai contoh, adanya kesulitan komunikasi dan sarana perhubungan, overmacht
(berat lawan) dan noodtoestand (darurat).
Adanya keharusan membuat visum et repertum perlukaan tidak berarti bahwa korban
tersebut, dalam hal ini adalah pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Korban
hidup adalah pasien juga sehingga mempunyai hak sebagai pasien.Apabila pemeriksaan
tersebut sebenarnya perlu menurut dokter pemeriksa sedangkan pasien menolaknya, maka
hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien disertai
alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam catatan
medis. Hal penting yang harus diingat adalah bahwa surat permintaan visum et repertum harus
mengacu kepada perlukaan akibat tindak pidana tertentu yang terjadi pada waktu dan tempat
tertentu. Surat permintaan visum et repertum pada korban hidup bukanlah surat yang meminta
pemeriksaan, melainkan surat yang meminta keterangan ahli tentang hasil pemeriksaan medis.
3.7 Jenis dan Bentuk Visum et Repertum
Dengan konsep di atas, dikenal beberapa jenis visum et repertum, yaitu :
a. Visum et Repertum perlukaan (termasuk keracunan)
b. Visum et Repertum kejahatan susila
c. Visum et Repertum jenazah
12
d. Visum et Repertum psikiatrik
Jenis a, b, dan c adalah visum et repertum mengenai tubuh / raga manusia yang dalam
hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis d adalah mengenai jiwa /
mental tersangka atau terdakwa tindak pidana. Meskipun jenisnya bermacam-macam, namun
nama resminya tetap sama, yaitu “Visum et Repertum“ tanpa embel-embel lainnya.
Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan-ketentuan umum sebagai
berikut :
a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa.
b. Bernomor dan bertanggal.
c. Mencantumkan kata "Pro justitia" di bagian atas (kiri atau tengah).
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan
pemeriksaan.
f. Tidak menggunakan istilah asing. Bila tak dapat dihindari maka berikan pula
penjelasannya dalam bahasa Indonesia.
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas.
f. Berstempel instansi pemeriksa tersebut.
g. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan.
h. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum (instansi). Apabila ada lebih dari
satu instansi peminta (misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM) dan keduanya
berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum et repertum masing-
masing "asli".
i. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan
disimpan sebaiknya hingga 30 tahun.
Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap. Di bagian atas tengah dapat
dituliskan judul surat tersebut, yaitu : Visum et Repertum. Bagian dari visum et repertum
antara lain :
1. Pro Justitia
Kata pro justitia yang diletakkan di bagian kiri atas menjelaskan bahwa visum
et repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. visum et repertum telah dinyatakan
sebagai surat resmi dan tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat
bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.
2. Pendahuluan
Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis di dalam visum et repertum, melainkan
langsung dituliskan kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangakn penyidik
13
pemintanya berikut nomor dan tanggal surat permintaannya, tempat dan waktu
pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.
Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban, tanggal dan pukul
diterimanya permohonan visum et repertum, identitas dokter yang melakukan
pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa,
alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat dilakukan pemeriksaan.
Uraian identitas korban sesuai dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat
permintaan visum et repertum. Bila terdapat ketidak sesuaian identitas korban antara
surat permintaan dengan catatan medik atau pasien yang diperiksa, dokter meminta
penjelasan pada penyidik.
3. Pemberitaan
Bagian ini berjudul “Hasil Pemeriksaan“ dan berisi hasil pemeriksaan medik
tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka korban yang berkaitan dengan
perkaranya, tindakan medik yang dilakukan serta keadaannya selesai
pengobatan/perawatan. Bila korban meninggal dan dilakukan autopsi, maka diuraikan
keadaan seluruh alat dalam yang berkaitan dengan perkara dan matinya orang tersebut.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka
pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan
yang diberikan.
Yang diuraikan dalam bagian ini merupakan pengganti “barang bukti“ yang
dituliskan secara sistematik, jelas, dan dapat dimengerti oleh orang yang tidak berlatar
belakang pendidikan kedokteran. Barang bukti tersebut berupa perlukaan, keadaan
kesehatan, sebagai kematian yang berkaitan dengan perkaranya. Temuan hasil
pemeriksaan medik bersifat rahasia dan tidak berhubungan dengan perkaranya
dituangkan ke dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia
kedokteran.
Untuk itu teknik penggambaran atau pendeskripsian temuan harus dibuat
panjang lebar, dengan memberikan uraian letak anatomis tersebut, serta bila perlu
menggunakan ukuran. Pencatatan tentang perlukaan atau cedera dilakukan dengan
sistematis mulai dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya
juga tertentu, yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak
antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik
anatomis permanen yang terdekat), jenis luka/cedera, karakteristiknya serta
ukurannya. Rincian ini terutama pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri
dari :
14
a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan
dan apa yang diriwayatkan, yang menyangkut tentang ‘penyakit’ yang
diderita korban sebagai hasil dari kekerasan/tindak pidana/diduga
kekerasan.
b. Hasil pemeriksaan, yang memuat seluruh hasil pemeriksaan baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan
korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan atau
cederanya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya
(status lokalis). Anamnesis yang ketat atau pemeriksaan fisik umum yang
lengkap tetap diperlukan untuk menghindari terlewatkannya suatu kelainan
atau perlukaan.
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan
sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya
diambil. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya
tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk
menghindari kesalah pahaman tentang tepat tidaknya penangan dokter dan
tepat tidaknya kesimpulan yang diambil. Perlu diingat bahwa kadan-
kadang dtemukan juga kelainan yang tidak berhubungan dengan
perlukaannya, tetapi mungkin justru merupakan indikasi perawatan atau
tindakannya.
d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan
(termasuk indera) merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan,
sehingga harus diuraikan denga jelas.
4. Kesimpulan
Bagian ini berjudul “Kesimpulan“ dan Memuat hasil interpretasi yang dapat
dipertanggung jawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter
pembuat visum et repertum, mengenai jenis perlukaan/cedera yang ditemukan dan
jenis kekerasan atau zat penyebabnya, serta derajat perlukaan (pada orang hidup) atau
sebab kematiannya (pada orang mati) yang dikaitkan dengan maksud dan tujuan
dimintakannya visum et repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2
unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka.Hasil pemeriksaan
anamnesis yang tidak didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak
digunakan dalam menarik kesimpulan.Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya
boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan visum et repertum adalah
15
pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak
tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu
pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan
hukum yang berlaku. Kesimpulan visum et repertum harus dapat menjembatani antara
temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum. Kesimpulan
bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil
temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
Kualifikasi luka diformulasikan dengan kata-kata yang sesuai dengan bunyi
ketentuan perundang- undangannya, misalnya :
Tidak menimbulkan sakit dan atau halangan dalam melakukan pekerjaannya.
Mengakibatkan sakit yang membutuhkan perawatan jalan selama ___ hari.
Mengakibatkan sakit dan halangan dalam mela- kukan pekerjaannya selama ___
hari (atau untuk sementara waktu).
Mengakibatkan ancaman bahaya maut baginya.
Mengakibatkan kehilangan indera penglihatan sebelah kanan.
dan sebagainya.
Sehingga kesimpulan tersebut misalnya berbunyi :
"Pada korban anak perempuan ini ditemukan memar pada lengan bawah kanan
akibat kekerasan tumpul yang tidak mengakibatkan sakit atau halangan dalam
melakukan pekerjaannya."
”Pada korban perempuan ini ditemukan luka terbuka di lengan bawah kiri akibat
kekerasan tajam yang mengakibatkan sakit yang membutuhkan perawatan jalan
selama lima hari."
”Pada korban perempuan ini ditemukan memar jaringan otak akibat kekerasan
tumpul pada kepala yang mengakibatkan sakit dan halangan dalam melakukan
pekerjaannya selama empat hari."
”Pada korban perempuan ini ditemukan luka terbuka pada dada kanan akibat
kekerasan tajam, yang mengakibatkan robeknya paru kanan dan perdarahan dalam
rongga dada, sehingga telah mengakibatkan ancaman bahaya maut baginya."
5. Penutup
Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku “Demikianlah visum et
repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan
mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP)“.
16
Visum et repertum diakhiri dengan tanda tangan dokter pemeriksa atau pembuat visum
et repertum dan nama jelasnya. visum et repertum juga bisa ditanda tangani ganda, yaitu oleh
dua orang dokter pemeriksa, atau dokter pemeriksa dan dokter ahli kedokteran forensik
sebagai konsulen medikolegalnya, atau bahkan oleh lebih dari dua orang dokter. Cara ini
digunakan untuk meningkatkan nilai dari visum et repertum tersebut. Jangan dilupakan
pembubuhan stempel instansi dokter pemeriksa tersebut dan nomor induk pegawai atau
nomor registrasi prajurit atau nomor surat penugasan.
Contoh visum et repertum perlukaan dapat kita lihat seperti dibawah ini :
_____________________________________________________________________
Pekanbaru, 24 Agustus 2010
PRO JUSTITIA
VISUM ET REPERTUM
No. /TUM/VER/VIII/2010
Yang bertandatangan di bawah ini, dr. XX, Sp. F, dokter spesialis forensik pada RSUD Arifin
Achmad, atas permintaan dari kepolisian sector Teluk Belanga dengan suratnya nomor
B/37/VeR/VIII/Reskrim tertanggal 24 Agustus 2010 maka dengan ini menerangkan bahwa
pada tanggal dua puluh empat Agustus tahun dua ribu sepuluh pukul Sembilan lewat lima
menit Waktu Indonesia Bagian Barat.bertempat di RSUD XX, telah melakukan pemeriksaan
korban dengan nomor registrasi 123456 yang menurut surat tersebut adalah :
Nama : xxxx
Umur : xx tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Warga negara : Indonesia
Pekerjaan : xxxx
Agama : xxxx
Alamat : xxxx
HASIL PEMERIKSAAN:
1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit sedang. Korban
mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah kejadian pemukulan pada
kepala.------------------------------------------
2. Pada korban ditemukan :
-------------------------------------------------------------------------------------------
17
a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan belakang, empat senti
meter diatas batas dasar tulang, terdapat luka terbuka, tepi tidak rata, dinding luka kotor, sudut
luka tumpul, berukuran tiga senti meter kali satu senti meter, disekitarnya dikelilingi benjolan
berukuran empat sentimeter kali empat senti
meter.------------------------------------------------------------------------------------
b. Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka terbuka tepi tidak rata, dasar
jaringan bawah kulit,dinding kotor, sudut tumpul, berukuran dua senti meter kali setengah
sentimeter dasar
otot.-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
------------
c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada pertengahan serta nyeri pada
penekanan.---------------------------------------------------------------------------------------------------
------------
d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan adanya cedera kepala
ringan.------
3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak menunjukkan adanya
patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan atas kiri menunjukkan adanya patah tulang
lengan atas pada
pertengahan.-------------------------------------------------------------------------------------------------
------------
4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan
pengobatan.------------------------------
5. Korban dipulangkan dengan anjuran kontrol seminggu
lagi.--------------------------------------------------
KESIMPULAN :
Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini ditemukan cedera
kepala ringan, luka terbuka pada belakang kepala kiri dan dagu serta patah tulang tertutup
pada lengan atas kiri akibat kekerasan tumpul.Cedera tersebut telah mengakibatkan
penyakit/halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian untuk sementara waktu.
Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan menggunakan
keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
Dokter Pemeriksa
18
___________________________________________________________________________
________
Kasus di atas dikualifikasikan sebagai luka derajat dua (sedang) karena luka tersebut
memerlukan perawatan, terdapat patah tulang dan mengenai organ vital yaitu kepala. Di
dalam kesimpulan sebaiknya tidak dituliskan derajat dua sebagai kualifikasi luka, melainkan
menuliskan sesuai dengan kalimat dalam KUHP sehingga akan memudahkan aparat penegak
hukum dalam membuat dakwaan. Berbeda halnya dengan kasus korban mati, pada kasus
korban hidup dokter diharapkan memahami kecederaan berdasarkan patofisiologi dan
biomekanika trauma. Gabungan pengukuran
kecederaan secara anatomis dan fisiologis merupakan pengukuran yang paling ideal dalam
menetapkan kualifikasi luka.
3.8 Perlukaan Akibat Kekerasan Tumpul
Berdasarkan sifat serta penyebabnya, kekerasan dapat dibedakan atas kekerasan yangbersifat mekanik,
fisika dan kimia.Kekerasan akibat benda tumpul berdasarkan sifatnya termasuk kedalam kekerasan yang
bersifat mekanik.Luka yang terjadi akibat kekerasan benda tumpul dapat berupa luka memar (kontusio,
hematom), luka lecet (ekskoriasi, abrasi), dan luka terbuka atau luka robek (vulnus laseratum).
a.Luka Memar
Luka memar adalah suatu keadaan dimana terjadi pengumpulan darah dalam jaringan bawah kulit
(kutis) karena pecahnya pembuluh darah kapiler dan vena akibat kekerasan benda tumpul sewaktu seseorang
masih hidup. Apabila kekerasan benda tumpul terjadi pada jaringan ikat longgar, seperti pada daerah leher,
daerah mata atau pada orang yang sudah lanjut usia, maka luka memar yang terjadi kadang seringkali tidak
sebanding dengan kekerasan yang terjadi, dalam arti seringkali lebih luas; adanya jaringan ikat longgar tersebut
memungkinkan berpindahnya memar ke daerah yang lebih rendah, berdasarkan gravitasi. Umur luka memar
secara kasar dapat diperkirakan melalui perubahan warnanya. Padasaat timbul, memar berwarna merah
kemudian berubah menjadi ungu atau hitam, setelah empat sampai lima hari akan berwarna hijau yang
kemudian akan berubah menjadi kuning dalam waktu tujuh sampai sepuluh hari, dan akhirnya menghilang
dalam empat belas sampai lima belas hari. Perubahan warna tersebut berlangsung mulai dari tepi dan
waktunya dapat bervariasi tergantung derajat dan berbagai faktor yang mempengaruhinya.
b.Luka Lecet
Luka lecet adalah luka yang superfisial, luka ini terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan
dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing. Luka lecet memiliki ciri-ciri bentuk luka tidak
teratur, tepi luka tidak rata, kadang-kadang ditemui sedikit perdarahan, permukaan tertutup oleh krusta, warna
19
kecoklatan merah, pada pemeriksaan mikroskopik terlihat adanya beberapa bagian yang masih ditutupi oleh
epitel dan reaksi jaringan (inflamasi). Sesuai mekanisme terjadinya, luka lecetdibedakan dalam 3 jenis:
Luka lecet gores (scratch)
Luka ini terjadi akibat oleh benda runcing yang menggeser lapisan permukaan kulit.Dari
gambaran kedalaman luka pada kedua ujungnya dapat ditentukan arah kekerasan datang.
Luka lecet serut (graze) / geser (friction abrasion)
Luka lecet serut merupakan variasi dari luka lecet gores yang daerah persentuhannya dengan
permukaan kulit lebih lebar. Arah kekerasan ditentukan dengan melihat letak tumpukan
epitel.Sedangkan luka lecet geser merupakan luka lecet yang disebabkan karena tekanan
linear pada kulit disertai gerakan bergeser, misalnya pada kasus gantung atau jerat serta pada
korban pecut.
Luka lecet tekan (impression, impact abrasion)
Luka lecet yang disebabkan oleh penekanan benda tumpul secara tegak lurus terhadap
permukaan kulit. Karena kulit adalah jaringan yang lentur, maka bentuk luka lecet tekan
belum tentu sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut, namun terkadang dapat
sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut. Kulit pada luka lecet tekan tampak
berupa daerah kulit yang kaku dengan warna yang lebih gelap dari sekitarnya.
c.Luka Terbuka atau Luka Robek
Luka terbuka adalah luka yang disebabkan karena adanya persentuhan dengan benda tumpul dengan
kekuatan yang mampu merobek seluruh lapisan kulit dan jaringan dibawahnya. Ciri-ciri dari luka terbuka
adalah bentuk luka tidak beraturan, tepi atau dinding luka tidak rata, tebing luka tidak rata, bila ditautkan tidak
merapat karena terdapat jembatan-jembatan jaringan yang menghubungkan kedua tepi luka, akar
rambut tampak hancur atau tercabut, disekitar luka robek sering tampak adanya luka lecet atau luka memar.
3.9 Penentuan Derajat Luka
Salah satu yang harus diungkapkan dalam kesimpulansebuah visum et repertum
perlukaan adalah derajat luka atau kualifikasi luka. Dari aspek hukum, visum et repertum
dikatakan baik apabila substansi yang terdapat dalam visum et repertum tersebut dapat
memenuhi delik rumusan dalam KUHP. Penentuan derajat luka sangat tergantung pada latar
belakang individual dokter seperti pengalaman, keterampilan, keikut sertaan dalam
pendidikan kedokteran berkelanjutan dan sebagainya.
Suatu perlukaan dapat menimbulkan dampak pada korban dari segi fisik, psikis, sosial,
dan pekerjaan, yang dapat timbul segera, dalam jangka pendek, ataupun jangka
20
panjang.Dampak perlukaan tersebut memegang peranan penting bagi hakim dalam
menentukan beratnya sanksi pidana yang harus dijatuhkan sesuai dengan rasa keadilan.
Hukum pidana Indonesia mengenal delik penganiayaan yang terdiri dari tiga tingkatan
dengan hukuman yang berbeda yaitu penganiayaan ringan (pidana maksimum 3 bulan
penjara), penganiayaan (pidana maksimum 2 tahun 8 bulan), dan penganiayaan yang
menimbulkan luka berat (pidana maksimum 5 tahun). Ketiga tingkatan penganiayaan tersebut
diatur dalam pasal 352 (1) KUHP untuk penganiayaan ringan, pasal 351 (1) KUHP untuk
penganiayaan, dan pasal 352 (2) KUHP untuk penganiayaan yang menimbulkan luka
berat.setiap kecederaan harus dikaitkan dengan ketiga pasal tersebut. Untuk hal tersebut,
seorang dokter yang memeriksa cedera harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa
awam, termasuk pasal mana kecederaan korban yang bersangkutan.
Rumusan hukum tentang penganiayaan ringan sebagaimana diatur dalam pasal 352 (1)
KUHP menyatakan bahwa “penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan
ringan”.Jadi bila luka pada seorang korban diharapkan dapat sembuh sempurna dan tidak
menimbulkan penyakit atau komplikasinya, maka luka tersebut dimasukkan ke dalam kategori
tersebut.Selanjutnya rumusan hukum tentang penganiayaan (sedang) sebagaimana diatur
dalam pasal 351 (1) KUHP tidak menyatakan apapun tentang penyakit.Sehingga bila kita
memeriksa seorang korban dan didapati “penyakit” akibat kekerasan tersebut, maka korban
dimasukkan ke dalam kategori tersebut.
Akhirnya, rumusan hukum tentang penganiayaan yang menimbulkan luka berat diatur
dalam pasal 351 (2) KUHP yang menyatakan bahwa Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka
berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”. Luka berat
itu sendiri telah diatur dalam pasal 90 KUHP secara limitatif.Sehingga bila kita memeriksa
seorang korban dan didapati salah satu luka sebagaimana dicantumkan dalam pasal 90 KUHP,
maka korban tersebut dimasukkan dalam kategori tersebut.
Luka berat menurut pasal 90 KUHP adalah :
• Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali,
atau yang menimbulkan bahaya maut
• Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian
• Kehilangan salah satu panca indera
• Mendapat cacat berat
• Menderita sakit lumpuh
• Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih
21
• Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
Perbedaan dalam membuat keputusan penentuan luka tidak banyak menemukan
masalah dalam penentuan luka derajat tiga, namun secara konseptual masih berbeda pendapat
untuk penetapan luka derajat satu dan dua. Variasi keputusan klinis dalam menentukan
kualifikasi luka tidak akan menguntungkan bagi pengambilan keputusan oleh para penegak
hukum dalam proses peradilan karena tidak memberikan kepastian pendapat mana yang akan
dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Rumusan delik penganiayaan menyebutkan antara lain bahwa luka derajat dua akan
terpenuhi bila pekerjaan atau jabatan korban menjadi terganggu. Walaupun masih terdapat
kontroversi dalam penentuan kualifikasi luka dengan mempertimbangkan jenis pekerjaan
korban, namun pada umumnya para dokter cenderung sepakat untuk tidak
mempertimbangkan hal tersebut di masa mendatang.Mereka lebih cenderung menggunakan
rumusan ada atau tidak adanya penyakit dalam menentukan kualifikasi luka karena hal
tersebut masih dalam lingkup kompetensi seorang dokter di bidang medis.
Hal-hal yang mempengaruhi penentuan kualifikasi luka adalah regio anatomis yang
terkena trauma.Sebagai contoh, apabila regio leher terkena trauma, walaupunpun kecil akibat
yang nampak, namun terdapat kecenderungan untuk memberikan kualifikasi luka yang lebih
berat.Hal itu disebabkan karena pada daerah leher terdapat organ-organ yang vital bagi
kehidupan, seperti arteri karotis, vena jugularis, serta saluran pernafasan.Kekerasan pada
daerah wajah dan daerah kepala lainnya juga dipertimbangkan sebagai faktor yang ikut
meningkatkan kualifikasi luka. Walaupun beberapa responden memperhatikan nilai
laboratorium termasuk peningkatan leukosit pada salah satu kasus, namun pada umumnya
faktor-faktor fisiologis yang terjadi akibat trauma seperti reaksi inflamasi sistemik (systemic
inflamatory response syndrome), respons neurologik, fisiologik, dan metabolik belum
mendapatkan perhatian khusus dalam menentukan kualifikasi luka.
Penganiayaan ringan tidak mengakibatkan luka atau hanya mengakibatkan luka ringan
yang tidak termasuk kategori “penyakit dan halangan” sebagaimana disyaratkan dalam pasal
352 KUHP.Contoh luka ringan atatu luka derajat satu adalah luka lecet yang superfisial dan
berukuran kecil atau memar yang berukuran kecil.Lokasi lecet atau memar tersebut perlu
diperhatikan oleh karena lecet atau memar pada beberapa lokasi tertentu mungkin
menunjukkan cedera bagian dalam tubuh yang lebih hebat dari yang terlihat pada kulit.Luka
lecet atau memar yang luas dan derajatnya cukup para dapat saja diartikan sebagai bukan
sekedar luka ringan.Luka atau keadaan cedera yang terletak di antara luka ringan dan luka
berat dapat dianggap sebagai luka sedang.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Budi S., dkk. 2005. Visum et Repertum dan Perundang-undangan serta Pembahasan
Hukum Kesehatan Dalam Profesi Kedokteran. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas : Padang.
2. Herkutanto. 2005. Peningkatan kualitas pembuatan visum et repertum (VeR)
kecederaan di rumah sakit melalui pelatihan dokter unit gawat darurat (UGD). JPMK :
Jakarta.
3. Atmadja DS. 2004. Aspek medikolegal pemeriksaan korban perlukaan dan keracunan
di rumahsakit – Prosiding Ilmiah Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban
Hidup pada Kasus Perlukaandan Keracunan di Rumah Sakit. RS Mitra Keluarga Kelapa
Gading : Jakarta.
4. Herkutanto. 2004. Kualitas Visum et Repertum Perlukaan di Jakarta dan Faktor yang
Mempengaruhinya. Majalah Kedokteran Indonesia : Jakarta.
5. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2005. Pedoman Teknik Pemeriksaandan Interpretasi Luka dengan Orientasi
Medikolegal Atas Kecederaan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
6. Afandi D, dkk. 2008. The Quality of Visum et Repertum of The Living Victims In
Arifin Achmad General Hopital During January 2004-September 2007. Jurnal Ilmu
Kedokteran : Jakarta.
7. Amir A. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik - Edisi 2. Ramadhan : Jakarta.
8. Afandi D. 2009. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Jurnal Ilmu Kedokteran :
Jakarta.
9. Sampurna B, dkk. 2003. Peranan Ilmu Forensik dalam Penegakan Hukum. Pustaka
Dwipar : Jakarta.
10. Dahlan S. 1999. Pembuatan Visum et Repertum. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro : Semarang.
11. Herkutanto, dkk. 2005. Aplikasi Trauma Related Injury Severity Score (TRISS) untuk
Penetapan Derajat Luka dalam Konteks Medikolegal. JI Bedah Indonesia : Jakarta.
12. Budiyanto A, dkk. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.
23