PORTO CHF

69
Portofolio CHF Oleh dr. Imam Syahuri Gultom Pembimbing dr. Islamiyah

description

internsip

Transcript of PORTO CHF

Page 1: PORTO CHF

Portofolio

CHF

Oleh

dr. Imam Syahuri Gultom

Pembimbing

dr. Islamiyah

RSUD KABUPATEN BALANGANKALIMANTAN SELATAN

JUNI 2015

Page 2: PORTO CHF

PORTOFOLIO KASUS MEDIK

Borang portofolio

Topik : Chronic Heart Disease

Tanggal (kasus) : 9 Mei 2015

Nama peserta : dr. Imam Syahuri Gultom

Nama Pendamping : dr. Islamiyah

Nama Wahana : RSUD Balangan- Balangan

Objek Presentasi : Tinjauan Pustaka

Subjek : Dewasa

Deskripsi : Sejak 4 hari SMRS pasien sesak setelah melakukan aktivitas

ringan, pasien memiliki riwayat penyakit jantung, kaki

bengkak dan tidur selalu menggunakan bantal berlapis

Tujuan : Mendiagnosa CHF serta tatalaksananya

Bahan bahasan : Kasus

Cara membahas : Diskusi

1

Page 3: PORTO CHF

LAPORAN KASUS

I. Identitas

Nama : Ny. Masni

Usia : 58 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Sei Batung

Pekerjaan : -

Tanggal masuk : 9 Mei 2015

No RM : 053005

II. Anamnesis

1. Keluhan Utama : Sesak

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa sesak

nafas, dan kaki bengkak. Sesak bertambah jika melakukan aktivitas ringan

seperti pergi ke WC. Pasien juga sering terbangun malam hari karena sesak

dan tidur sering bersandar. Pasien sudah + 6 tahun didiagnosa penyakit

jantung dan sering kontrol. Pasien tidak bisa berjalan jauh lagi.

3. Riwayat Pengobatan

Pasien sering kontrol ke rumah sakit untuk pengobatan penyakit

jantungnya, namun akhir-akhir ini pasien tidak rutin kontrol dan obat

habis.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Serupa (+), Hipertensi (+), DM (-), Asma (-)

2

Page 4: PORTO CHF

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Hipertensi (+)

6. Riwayat Psikososial

Pasein bekerja sehari-sehari sebagai pedagang. Pasien mengaku

tidak pernah mengontrol gizi makanan sehari-harinya.

III. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

2. Tanda Vital : Nadi : 88 kali/menit

Suhu : 36,3 oC

Respirasi : 30 kali/menit

Tekanan darah : 160/80 mmHg

4. Kulit : Kulit berwarna coklat, tidak terdapat adanya

sianosis dan hemangioma, tumgor cepat kembali,

kelembaban cukup, tidak pucat/anemis.

5. Kepala/leher :

Rambut : rambut berwarna hitam, tipis, distribusi jarang,

karakteristik lurus, tidak ada alopesia

Kepala : Bentuk bulat lonjong, simetris, wajah simetris.

Mata : Mata tidak cekung, palpebra edema, alis dan bulu

mata tidak mudah dicabut, konjungtiva tidak

pucat, sklera ikterik, pupil berdiameter 3 mm/3

mm, isokor, reflek cahaya +/+.

3

Page 5: PORTO CHF

Telinga : Bentuk simetris, tidak ada sekret dan serumen.

Hidung : Bentuk simetris, tidak terdapat epistaksis, kotoran

hidung dan sekret.

Mulut : Bentuk simetris, mukosa bibir basah, gusi tidak

mudah berdarah, pembengkakan tidak ada, anemis

tidak ada.

Lidah : Bentuk simetris, tidak anemis, tremor (-), kotor (-),

warna lidah merah muda.

Pharing : Hiperemis (-), edema (-), abses (-)

Tonsil : Warna merah muda, pembesaran (-)

Vena jugularis : Pulsasi tampak, tekanan meningkat, pembesaran

kelenjar leher (-), kaku kuduk (-), massa (-).

5. Leher Kuduk kaku tidak ada, tidak tortikolis.

6. Toraks :

Inspeksi : Bentuk simetris, gerak napas simetris, retraksi (-).

a. Pulmo

Inspeksi : Bentuk simetris, inspirasi dan ekspirasi pendek,

frekuensi 30 kali/menit.

Palpasi : Fremitus vokal simetris

Perkusi : Redup

Auskultasi : suara napas bronkovesikuler, Rh (+/+) Wh (+/+)

b. Jantung

Inspeksi : Pulsasi dan iktus terlihat.

4

Page 6: PORTO CHF

Palpasi : Thrill tidak ditemukan. Iktus ICS V LAA kiri

Perkusi : Batas kanan : ICS II - VI LPS kanan

Batas kiri : ICS II - V LAA kiri

Batas atas : ICS II LPS kanan

Auskultasi : S1 dan S2 sulit didefenisikan, tidak ada takikardia

7. Abdomen

Inspeksi : Bentuk simetris, dinding perut lebih tinggi dari

dinding dada.

Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) epigastrium, defend

muscular (-), hati tidak teraba, lien tidak teraba,

massa (-)

Perkusi : timpani (+)

Auskultasi : Bising usus normal

8. Ekstremitas

Atas : Akral hangat, gerak aktif, edema (-/-), parese (-/-),

sianosis (-/-)

Bawah : Akral hangat, gerak aktif, edema (+/+),

parese (-/-), sianosis (-/-)

Tonus otot : Normal

Refleks : Fisiologis : biceps (+/+), triceps (+/+), patella

(+/+), achilles (+/+)

Patologis : banimsky (-), chaddok (-),

oppenheim (-)

5

Page 7: PORTO CHF

Rangsang meningeal : kaku kuduk (-), Brudzinsky

(-), kernig (-).

IV. Laboratorium

Jenis pemeriksaan Satuan Nilai Normal 3 Mei 2015

Hemoglobin

Leukosit

Eritrosit

Hematokrit

Trombosit

GDS

Ureum

Creatinin

gr/dl

ribu /u l

juta /u l

vol%

ribu /u l

mg/dl

mg/dl

mg/dl

9.5 – 14.0

4.0 – 10.5

3.50 – 5.20

29 – 43

150 – 450

<200

15-39

0,6-1,5

13,8

15,9

4,64

37,4

302

122

35

0,97

V. Rontgen Thorax

Rontgen : Edema paru, cardiomegali

VI. Diagnosa

CHF dengan edema paru

HT gr II

VII. Rencana Tatalaksana

Pemeriksaan laboratorium

- EKG

Rencana terapi :

- Oksigen 2-3 lpm

- IVFD RL 10 tpm + drip NB 1 ampul/hari

- Injeksi ranitidin 1 ampul/8 jam

6

Page 8: PORTO CHF

- Injeksi Ondancentron 1 ampul/ 8jam

- Injeksi antrain 1 ampul/8 jam

- Injeksi ceftriaxone 2x1 gr

- Injeksi furosemid ½ ampul/24 jam

- PO. Aspilet 1 x 80 mg

- PO. Captopril 2 x 12,5 mg

- Nebulizer ventolin 1 ampul + Nacl 5 cc/ 8jam

Follow up

Tanggal 11 Mei 2004

S : Sesak (+), batuk (-), demam (-)

O : HR : 70 x/menit

RR : 28 x/menit

TD : 140/90 oC

Kesadaran : compos mentis

Kulit : kelembaban cukup, turgor cepat kembali

Kepala : mukosa bibir basah, telinga/hidung dalam batas normal

Leher : kaku kuduk (-), Peningkatan JVP (+/+)

Thorak : gerak napas simetris, retraksi (-), cor: S1S2 tunggal, pulmo:

sn.vesikuler, Wh (+/+), ronkhi (+/+)

Abdomen : datar, supel, kembung (-), nyeri tekan (-), BU (+) normal

Ekstremitas : dalam batas normal, edema (</<)

A : Edema Paru ec CHF Fc III + HT gr. I

7

Page 9: PORTO CHF

P : - Oksigen 2-3 lpm

- IVFD RL 10 tpm + drip NB 1 ampul/hari

- Injeksi ranitidin 2 x 50 mg

- Injeksi Ondancentron 3 x 4 mg

- Injeksi antrain 3 x 1

- Injeksi ceftriaxone 2x1 gr

- Injeksi dexametason 2 x 1

- Injeksi furosemid 2 x 1

- PO. Salbutamol 3 x 1

- PO. Captopril 2 x 12,5 mg

- Nebulizer ventolin 1 ampul + Nacl 5 cc/ 8jam

Tanggal 12 Mei 2004

S : Sesak (<), batuk (-), demam (-)

O : HR : 70 x/menit

RR : 24 x/menit

TD : 110/80 oC

Kesadaran : compos mentis

Kulit : kelembaban cukup, turgor cepat kembali

Kepala : mukosa bibir basah, telinga/hidung dalam batas normal

Leher : kaku kuduk (-), Peningkatan JVP (+/+)

Thorak : gerak napas simetris, retraksi (-), cor: S1S2 tunggal, pulmo:

sn.vesikuler, Wh (+/+), ronkhi (+/+)

8

Page 10: PORTO CHF

Abdomen : datar, supel, kembung (-), nyeri tekan (-), BU (+) normal

Ekstremitas : dalam batas normal, edema (</<)

A : Edema Paru ec CHF Fc III + HT gr. I

P : - IVFD RL 10 tpm + drip NB 1 ampul/hari

- Injeksi ranitidin 2 x 50 mg

- Injeksi Ondancentron 3 x 4 mg

- Injeksi antrain 3 x 1

- Injeksi ceftriaxone 2x1 gr

- Injeksi dexametason 2 x 1

- Injeksi furosemid 2 x 1

- PO. Salbutamol 3 x 1

- PO. Captopril 2 x 12,5 mg

- Nebulizer ventolin 1 ampul + Nacl 5 cc/ 8jam drip aminofilin KP

Tanggal 13 Mei 2004

S : Sesak (-), batuk (-), demam (-)

O : HR : 70 x/menit

RR : 20 x/menit

TD : 110/80 oC

Kesadaran : compos mentis

Kulit : kelembaban cukup, turgor cepat kembali

Kepala : mukosa bibir basah, telinga/hidung dalam batas normal

Leher : kaku kuduk (-), Peningkatan JVP (+/+)

9

Page 11: PORTO CHF

Thorak : gerak napas simetris, retraksi (-), cor: S1S2 tunggal, pulmo:

sn.vesikuler, Wh (-/-), ronkhi (-/-)

Abdomen : datar, supel, kembung (-), nyeri tekan (-), BU (+) normal

Ekstremitas : dalam batas normal, edema (</<)

A : Edema Paru ec CHF Fc III + HT gr. I

P : - IVFD RL 10 tpm + drip NB 1 ampul/hari + drip aminofilin KP

- Injeksi ranitidin 2 x 50 mg

- Injeksi Ondancentron 3 x 4 mg

- Injeksi ceftriaxone 2x1 gr

- Injeksi dexametason 2 x 1

- Injeksi furosemid 2 x 1

- PO. Salbutamol 3 x 1

- PO. Captopril 2 x 12,5 mg

BLPL

10

Page 12: PORTO CHF

XI. Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

A. Defenisi

Gagal jantung terjadi apabila jantung tidak mampu memompakan darah yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang

normal, meskipun aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan

normal.1

B. Etiologi

Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama untuk terjadinya gagal

jantung. Perubahan gaya hidup dengan konsumsi makanan yang mengandung lemak,

dan beberapa faktor yang mempengaruhi, sehingga angka kejadiannya semakin

meningkat.2

Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada

beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa

mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan

dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik, meningkatkan risiko terjadinya

infark miokard dan memudahkan untuk terjadinya aritmia. Adanya krisis hipertensi

dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut.2

Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan oleh

penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun

penyakit perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional:

dilatasi (kongestif), hipertropik, restriktif, dan obliterasi. Kardiomiopati peripartum

menyebabkan gagal jantung akut.2

11

Page 13: PORTO CHF

Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab utama

terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regurgitasi

mitral dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan beban awal) sedangkan

stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan beban akhir).3

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan

dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri. Atrial

fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan.3

Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal

jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang

berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung

alkohol). Obat kemoterapi seperti doksorubisin dan obat antivirus seperti zidofudin

juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot

jantung.3

C. Patofisiologi

Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai

setelah adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat berupa kerusakan

otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit jantung yang

berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk menghasilkan

daya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat berkontraksi secara

normal. Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat memiliki onset yang tiba-tiba,

seperti misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau memiliki onset yang

gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan hemodinamik yang tinggi

(pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal ginjal), atau bisa pula herediter,

12

Page 14: PORTO CHF

seperti misalnya pada kasus dengan kardiomiopati genetik. Pasien dengan gagal

jantung pada akhirnya memiliki satu kesamaan, yaitu penurunan kemampuan pompa

jantung, terlepas dari berbagai penyebab gagal jantung. Pada kebanyakan orang

gagal jantung bisa asimtomatik atau sedikit bergejala setelah terjadi penurunan

fungsi jantung, atau menjadi bergejala setelah disfungsi dialami dalam waktu yang

lama.4

Transisi pasien dari gagal jantung asimtomatik ke gagal jantung yang

simtomatik, aktivasi berkelanjutan dari sistem sitokin dan neurohormonal akan

mengakibatkan perubahan terminal pada miokardium, hal ini dikenal dengan

remodelling ventrikel kiri.4

Mekanisme Neurohormonal5

Pengaturan mekanisme neurohormonal dapat bersifat adaptif ataupun

maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat memelihara tekanan

perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Sistem ini menjadi maladaptif

apabila menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas ambang normal,

menimbulkan peningkatan kebutuhan oksigen, serta memicu timbulnya cedera sel

miokard. Adapun pengaturan neurohormonal sebagai berikut:

1. Sistem Saraf Adrenergik

Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini akan

dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian dihantarkan

ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi sistem saraf simpatis.

Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan kadar norepinefrin (NE). Hal ini

13

Page 15: PORTO CHF

akan meningkatkan frekuensi denyut jantung, meningkatkan kontraksi jantung serta

vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.

Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan tekanan

darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat

menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka pendek

aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi lambat laun akan terjadi

maladaptasi.

Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi

norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan

dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal dari aktivasi sistem adrenergik yang

berlangsung lama.5

Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine, Na+=Natrium,

NE=norepinephrine.

Gambar 1. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik pada gagal jantung.6

14

Page 16: PORTO CHF

2. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-angiotensin

aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal, berkurangnya natrium

terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi

simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular.

Renin memecah empat asam amino dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -

converting enzyme akan melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi

angiotensin II. Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe

1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat tergambar

pada Gambar 3. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan vasokonstriksi,

pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan

menyebabkan vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan

bradikinin.

15

Page 17: PORTO CHF

Gambar 2. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron. 7

Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam mempertahankan

sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika terjadi ekspresi lama dan

berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan fibrosis

pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain itu, juga akan mengakibatkan peningkatan

pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal zona glomerulosa untuk

memproduksi aldosterone.

Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi dengan

meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung relatif lama akan

menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan fibrosis vaskuler dan

miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance vaskuler dan meningkatnya

16

Page 18: PORTO CHF

kekakuan ventrikel. Mekanisme aksi aldosteron pada sistem kardiovaskuler

nampaknya melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir inflamasi pada jaringan.

3. Stres Oksidatif

Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen

species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari ketegangan

miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron, agonis alfa

adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis factor,

interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit, proliferasi fibroblast

dan sintesis collagen. ROS juga akan mempengaruhi sirkulasi perifer dengan cara

menurunkan bioavailabilitas NO.

4. Remodeling Ventrikel Kiri

Remodeling berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan

meningkatkan rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan

tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta, mengakibatkan

peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel menigkatkan tekanan pada

sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi

konsentrik. Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume ventrikel,

sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik, yang kemudian secara seri pada

sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi

ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi eksentrik.

Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan saluran

ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform yang terjadi akan

mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi struktur membran

17

Page 19: PORTO CHF

sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa kalsium ATPase. Selain itu,

adanya kebutuhan energi juga menyebabkan gangguan pada proses kontraksi-eksitasi

pada gagal jantung.

Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada gagal

jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel pada gagal

jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka pada sel,

peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang berlebih. Apoptosis

dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian menjadi fibrosis. Hal-hal ini

memperburuk gagal jantung.

Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap hemodinamik berlebih. 8

18

Page 20: PORTO CHF

D. Klasifikasi Gagal Jantung4

Klasifikasi NYHA didasarkan pada limitasi fungsional, sementara stadium

gagal jantung menurut ACC/AHA didasarkan pada progresi gagal jantung, terlepas

dari status fungsionalnya.

Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)

Tahapan Gagal Jantung berdasarkan struktural dan kerusakan otot jantung.

Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan aktivitas fisik.

Stage A

Memiliki risiko tinggi mengembangkan gagal jantung. Tidak ditemukan kelainan struktural atau fungsional, tidak terdapat tanda/gejala.

Kelas I

Aktivitas fisik tidak terganggu, aktivitas yang umum dilakukan tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas.

Stage B

Secara struktural terdapat kelainan jantung yang dihubungkan dengan gagal jantung, tapi tanpa tanda/gejala gagal jantung.

Kelas II

Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas fisik yang umum dilakukan mengakibatkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.

Stage C

Gagal jantung bergejala dengan kelainan struktural jantung.

Kelas III

Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas ringan menimbulkan rasa lelah, palpitasi, atau sesak nafas.

Stage D

Secara struktural jantung telah mengalami kelainan berat, gejala gagal jantung terasa saat istirahat walau telah mendapatkan pengobatan.

Kelas IV

Tidak dapat beraktivitas tanpa menimbulkan keluhan. Saat istirahat bergejala. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan bertambah berat.

E. Diagnosis

1. Anamnesa

Gejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas,

dan lelah. Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh rendahnya

19

Page 21: PORTO CHF

kardiak output pada gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan komorbiditas

non-kardiak lainnya seperti anemia dapat pula memberikan kontribusi. Gagal jantung

pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien beraktivitas berat, seiring dengan

semakin beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang semakin ringan dan

akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak ini kemungkinan besar

multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah kongesti paru, yang

diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau intraalveolar

alveolus. 5

Orthopnu Dan Paroxysmal Nocturnal Dyspnea

Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur

mendatar dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung

dibandingkan sesak saat aktivitas. Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan

dengan duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh

redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi

sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan kapiler paru.

Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan

seringkali terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea merupakan

gejala yang relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula dialami pada

pasien paru dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan

mekanik kelainan paru yang memberat pada posisi tidur.5

Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan

batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari

tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND

20

Page 22: PORTO CHF

antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada

arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas, disertai edema pada

intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan

orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat tidur dengan kaki

menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang

menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut.

Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma (asma cardiale)

berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing

sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan

penyebab pulmoner wheezing lainnya.9

Edema Pulmoner Akut

Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai

akibat meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat

menurunnya fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi

edema paru dapat berupa batuk atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal

jantung yang berat dapat bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang

disertai darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema pulmoner akut dapat

mematikan.9

Respirasi Cheyne Stokes

Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum

pada gagal jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output

yang rendah. Respirasi cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas

pusat respirasi terhadap kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri

21

Page 23: PORTO CHF

jatuh dan PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada gas darah arteri ini menstimulasi

pusat nafas yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang

diikuti kembali dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati

oleh pasien atau keluarga pasien sebagai sesak nafas berat atau periode henti nafas

sesaat.9

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung4

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan

secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau

satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jika

kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti

hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik. Kriteria mayor dan

minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada table.

Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal JantungKriteria Mayor:Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopneaDistensi vena leherRales paruKardiomegali pada hasil rontgenEdema paru akutS3 gallopPeningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kananHepatojugular refluxPenurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan gagal jantungKriteria Minor:Edema pergelangan kaki bilateralBatuk pada malam hariDyspnea on ordinary exertionHepatomegaliEfusi pleuraTakikardi ≥ 120x/menit

22

Page 24: PORTO CHF

2. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum Dan Tanda Vital

Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada umumnya

berkurang pada gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat menurun.

Tekanan nadi bisa berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan

diastolik arteri bisa meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik.9

Pemeriksaan Vena Jugularis Dan Leher

Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium

kanan, dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pada tahap awal gagal

jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat istirahat, tapi dapat secara abnormal

meningkat saat diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk

hepatojugular positif).4

Pemeriksaan Paru

Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan

dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki

dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing

ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi

spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan bahwa ronkhi

seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik, bahkan ketika

pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien

sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah

meningkat. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler

pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada

23

Page 25: PORTO CHF

pleura bermuara pada vena sistemik dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi

pada kegagalan kedua ventrikel (biventricular failure). Walau effusi pleura biasanya

ditemukan bilateral, angka kejadian pada rongga pleura kanan lebih sering daripada

yang kiri.4

Pemeriksaan Jantung

Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan

informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat

kardiomegali, titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah

intercostal space (ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis.

Hipertrofi ventrikel kiri yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba

lebih lama (kuat angkat). Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk

mengevaluasi beratnya disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi jantung

ketiga dapat didengar dan teraba pada apex.5

Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami

hipertrofi dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada

parasternal kiri (right ventricular heave). Bunyi jantung ketiga (gallop) umum

ditemukan pada pasien dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan

tachypnea, dan seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat. Bunyi

jantung keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada pada

pasien dengan disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya

ditemukan pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut.4

24

Page 26: PORTO CHF

Pemeriksaan Abdomen Dan Ekstremitas

Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien

dengan gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak

dan dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup tricuspid.4

Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium

lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal

jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti

(bendungan) hepar dan hipoksia hepatoselular.4

Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau

demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah

mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris,

beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar

pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas. Pada

pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum. Edema yang

berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi yang

bertambah.4

Kakeksia Kardiak

Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan

berat badan dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya dimengerti,

kemungkinan besar faktor penyebabnya adalah multifaktorial, termasuk didalamnya

adalah meningkatnya basal metabolik rate, anorexia, nausea, dan muntah-muntah

yang diakibatkan oleh hepatomegali dan rasa penuh di abdomen, meningkatnya

konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang bersirkulasi, dan terganggunya absorpsi pada

25

Page 27: PORTO CHF

saluran cerna akibat kongesti vena intestinal. Jika terdapat kakeksia maka prognosis

gagal jantung akan semakin memburuk.4

Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara

lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine,

SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan

gagal jantung karena beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2)

untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3)

untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic

peptide (beratnya gangguan hemodinamik).4

Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang,

namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat

ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik

kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia.

Derajat hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini

dikarenakan kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi

sistem renin angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi garam

bersamaan dengan terapi diuretik yang intensif dapat mengakibatkan hiponatremia.

Gangguan elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan

hiperurisemia.4

Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan

meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme jaringan,

hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga telah

26

Page 28: PORTO CHF

menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25% penderita gagal

jantung. 4

Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada semua

pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan hemodinamik

dan untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan

BNP disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan pada dinding

jantung dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu paruh

yang pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis berguna. Untuk BNP, N-Terminal

Pro-BNP dan BNP memiliki nilai klinis yang bermakna. Kadar ANP dan BNP

meningkat pada pasien dengan disfungsi sistolik, sementara disfungsi diastolik

peningkatan kadarnya lebih rendah. Pada disfungsi sistolik, kadar BNP ditunjukan

berbanding lurus dengan wall stress, ejeksi fraksi, dan klasifikasi fungsional.

Pemeriksaan BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung berdasarkan kelas

fungsionalnya.5

Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan

gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration rate

(GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan

klasifikasi kelas fungsional.4

Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai akibat

hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan alanine

aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT) dapat

memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia.4

27

Page 29: PORTO CHF

Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk

mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan volume

urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan gangguan

fungsi ginjal dan yang mendapat diuretic.4

Pemeriksaan Foto Toraks4

Cardiothoracic ratio (CTR) yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung

lebih besar dari setengah ukuran diameter dada, telah menjadi parameter penting

pada follow-up pasien dengan gagal jantung. Pasien dengan gagal jantung akut dapat

ditemukan memiliki gambaran hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial,

sementara pasien dengan gagal jantung kronik tidak memilikinya. Edema intersitial

dan perivaskular terjadi pada dasar paru karena tekanan hidrostatik di daerah tersebut

lebih tinggi. Temuan tersebut umumnya tidak ditemukan pada pasien gagal jantung

kronis, hal ini dikarenakan pada gagal jantung kronis telah terjadi adaptasi sehingga

meningkatkan kemampuan sistem limfatik untuk membuang kelebihan cairan

interstitial dan/atau paru. Hal ini konsisten dengan temuan tidak adanya ronkhi pada

kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau tekanan arteri pulmonal sudah

meningkat.

28

Page 30: PORTO CHF

Tabel 3. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis

Kelainan Penyebab Implikasi KlinisKardiomegali Dilatasi ventrikel kiri,

ventrikel kanan, atria, efusi perikard

Ekhokardiografi, doppler

Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati hipertropi

Ekhokardiografi, doppler

Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri

Gagal jantung kiri

Edema interstisial Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri

Gagal jantung kiri

Efusi pleura Gagal jantung dengan peningkatan pengisian tekanan jika ditemukan bilateral, infeksi paru, keganasan

Pikirkan diagnosis non kardiak

Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik

Mitral stenosis atau gagal jantung kronis

Elektrokardiogram

Pemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap pasien

yang dicurigai gagal jantung.13 Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi

ventrikel kiri dengan strain, right bundle branch block (RBBB), left bundle branch

block (LBBB), AV blok, atau perubahan pada gelombang T dapat ditemukan.

Gangguan irama jantung seperti takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi

atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole ventrikular (VES) dapat sering terjadi dan tidak

selalu menggambarkan prognosis yang buruk, sementara takikardi ventrikular

sustained dan nonsustained dapat dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. 4

Echocardiography

Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left-

ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan

perubahan pada fungsi diastolik. Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai

29

Page 31: PORTO CHF

fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung. Tabel 5

mendeskripsikan temuan ekokardiografi yang sering ditemukan pada gagal jantung.4

3. Tatalaksana Gagal Jantung

Tujuan pengobatan dari gagal jantung kronis: 10

a) Menurunkan mortalitas

b) Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup

c) Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresivitas kerusakan miokard,

remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi

cairan, dan perawatan di rumah sakit.

Gambar 4. Alrogitma yang dapat dijadikan acuan pada penatalaksanaan gagal jantung akut. 10

30

Page 32: PORTO CHF

Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar bertujuan

dengan menurunkan preload, meningkatkan kontraktilitas juga menurunkan

afterload. 5

Angiotensin Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)10

Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran

terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien dengan

gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%.

Pasien yang harus mendapatkan ACEI :

LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.

Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi

Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :

Riwayat adanya angioedema

Stenosis bilateral arteri renalis

Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L

Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)

Stenosis aorta berat

Cara pemberian ACEI :

Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemi

Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi meningkatkan

secara cepat sangat mungkin pada pasien yang dimonitoring ketat.

31

Page 33: PORTO CHF

Tabel 5. Obat –obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target Dosis

Angiotensin Receptor Blocker (ARB)10

Pada pasien dengan tanpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE,

ARB direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang

tetap simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB,

kecuali telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki

fungsi ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk

perburukan gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).

ARB direkomendasikan sebagai alternatif pada pasein yang intoleran

terhadap ACEI.

Pasien yang harus mendapatkan ARB :

Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%

32

Page 34: PORTO CHF

Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas

fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.

Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun

sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.

Memulai pemberian ARB:

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.

Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau

hiperkalemia

β-bloker / Penghambat Sekat-β10

Alasan penggunaan beta bloker (BB) pada pasien gagal jantung adalah

adanya gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk

kondisi gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus

diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%.

Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.

Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:

Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga

memperbaiki perfusi miokard.

Meningkatkan LVEF

Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal

Pasien yang harus mendapat BB:

LVEF < 40%

33

Page 35: PORTO CHF

Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien

dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.

Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika

diindikasikan).

Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis).

Inisiasi terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada

pasien yang baru saja masuk rawat karena GJA, selama pasien telah membaik

dengan terapi lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan

dapat diobservasi di rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi

BB.

Kontraindikasi :

Asthma (COPD bukan kontranindikasi).

AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan

pacemaker), sinus bradikardi (<50 bpm).

Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :

Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg,

metoprolol CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan

supervisi jika diberikan dalam setting rawat jalan.

Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai sebelum

pasien dipulangkan dengan hati-hati.

Titrasi dosis :

Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan dosis BB

(peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan pada beberapa

34

Page 36: PORTO CHF

pasien degan gagal jantung yang berat). Jangan tingkatkan dosis bila terdapat

perburukan gagal jantung, hipotensi sistemik, atau bradikardia yang berlebih

(<50x/menit).

Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan 2x

lipat tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg o.d.,

carvedilol 25-50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau vebivolol 10

mg o.d.-atau dosis yang bisa ditoleransi maksimal.

Diuretik10

Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai

tanda dan gejala kongesti. Dosis diuretik harus disesuaikan dengan kebutuhan tiap

pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang cermat. Secara umum loop diuretik

dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat. Thiazid dapat pula digunakan dengan

loop diuretik untuk edema yang resisten, namun harus diperhatikan secara cermat

kemungkinan dehidrasi, hipovolemia, hiponatremia, atau hipokalemia. Selama terapi

diuretik, sangat penting level kalium, natrium, dan kreatinine dipantau secara berkala

(Dickstain dkk, 2008).

Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :

Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan risiko

hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan bersamaan.

Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron digunakan

bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya tidak dibutuhkan.

Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium termasuk

antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan ACEI/ARB. Penggunaan

35

Page 37: PORTO CHF

diuretik antagonis non-aldosteron harus dihindari. Kombinasi dari antagonis

aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh diberikan pada supervisi yang

cermat.

Penggunaan diuretik pada gagal jantung :

Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.

Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid karena

efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan natriuresis.

Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat perbaikan

klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan dosis pemberian

dapat dilihat pada tabel 7.

Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal telah

tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan untuk

mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah mungkin.

Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat badan

harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus selalu disokong

pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk mencapai hal ini diperlukan

edukasi pasien.

36

Page 38: PORTO CHF

Tabel 6. Diuretik yang umum diberikan pada gagal jantung dan dosis hariannya 10

Antagonis Aldosteron10

Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :

LVEF < 35%

Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)

Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB

Memulai pemberian spironolakton :

Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum

Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan meningkatkan

dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau hiperkalemia.

Hydralizin & Isosorbide Dinitrat 10

Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-

ISDN dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI dan

ARB. Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan

37

Page 39: PORTO CHF

gejala yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau

Aldosteron Antagonis.

Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji

klinis adalah :

Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.

Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron

tidak dapat ditoleransi.

Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan afrika-

amerika.

Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal

ginjal berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan). Cara pemberian hidralizin dan

ISDN pada gagal jantung :

Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.

Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan dinaikan

bila terdapat hipotensi simtomatik.

Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang digunakan

pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40 mg tiga kali

sehari, atau jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal tertoleransi.

Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :

Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu,

pertimbangkan untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan

hipotensi (kecuali ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang

asimtomatik tidak membutuhkan intervensi.

38

Page 40: PORTO CHF

Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau demam –

pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear antibodies

(ANA), jangan teruskan H-ISDN.

Glikosida Jantung (Digoxin) 10

Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat

digunakan untuk mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF dan

LVEF < 40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk mengontrol

tekanan darah.

Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%,

terapi dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan

kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan

gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka

mortalitas.

Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan

meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas

dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium

intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi

kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.

Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :

Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan

fungsi ventrikel kiri.

Menstimulasi baroreseptor jantung

39

Page 41: PORTO CHF

Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga

menghasilkan penekanan sekresi renin dari ginjal.

Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan

peningkatan vagal tone.

Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat>

80x/menit, dan saat aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan

digoksin.

Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF <

40%) yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB,

beta bloker dan antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap

simtomatis, digoksin dapat dipertimbangkan.

Antikoagulan (Antagonis Vit-K) 10

Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada

pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal

tanpa adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus

disesuaikan dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.

Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus

intrakardiak yang terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya

tromboembolisme sistemikKelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C

Temuan yang perlu diingat :

Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak,

termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat

mengurangi risiko stroke dengan 60-70%.

40

Page 42: PORTO CHF

Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi

antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih

tinggi, seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.

Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada

mereka yang memiliki katup prostetik.

Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas

warfarin dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa

risiko perawatan kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang

mendapat terapi aspirin, dibandingkan warfarin.

DISKUSI

41

Page 43: PORTO CHF

Pada kasus ini, perempuan berusia 58 tahun mendapatkan perawatan di

Ruang Melati RSUD Balangan. Pasien dirawat mulai tanggal 9-13 Mei 2015 dengan

keluhan utama sesak. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan

penunjang, pasien didiagnosa sebagai CHF.

Diagnosis CHF berdasarkan pasien merasa sesak nafas dan bengkak. Sesak

bertambah jika melakukan aktivitas ringan. Pasien juga sering terbangun malam hari

karena sesak dan tidur sering bersandar. Pemeriksaan fisik, RR = 30 kali/menit, JVP

(+/+), Perkusi paru redup di basal, terdapat wheezing di basal, pada jantung iktus

kordis terlihat dan teraba di LAA Sinistra. Gambaran perkusi jantung didapatkan

kardiomegali, bunyi jantung S1 S2 sulit didefenisikan, regular, bising (-).Pada

pemeriksaan rontgen thorax didapatkan kardiomegali disertai edem paru.

Berdasarkan tinjauan pustaka, gejala cardinal gagal jantung seperti sesak

nafas, intoleransi saat aktivitas, dan lelah didapatkan pada kasus ini.5 Pasien juga

mengalami PND sehingga ketika pasien tidur selalu bersandar. Pada pemeriksaan

fisik didapatkan wheezing, hal ini dicurigai gejala asma cardiale akibat transudasi

cairan kedalam rongga alveolar dan bronkiolus disebabkan tekanan hidrostatis

kapiler paru secara akut dan menimbulkan bronkospasme. 5

Berdasarkan kriteria Framingham untuk gagal jantung4, pasien telah

memenuhi kriteria minimal dua mayor yaitu terdapat gejala pada kasus PND,

kardiomegali dari hasil rontgen, edema paru akut, dan peningkatan JVP > 16

cmH2O. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural atau berdasarkan

gejala (ACC/AHA) kasus ini berada pada Stage C (gagal jantung bergejala dengan

kelainan struktural jantung). Berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA) berada pada

42

Page 44: PORTO CHF

Kelas III (aktivitas fisik sangat terbatasi, saat istirahat tidak ada keluhan, tapi

aktivitas ringan menimbulkan rasa lelah, palpitasi, atau sesak nafas).

Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara

lain adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine,

SGOT/PT, dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan

gagal jantung karena beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2)

untuk mendeteksi gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3)

untuk menilai fungsi ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic

peptide (beratnya gangguan hemodinamik).4

Pada kasus hanya dilakukan pemeriksaan darah rutin, GDS, ureum creatinin,

dan SGOT/SGPT dan hanya didapatkan leukositosis. Anemia dapat memperburuk

gagal jantung karena akan menyebabkan meningkatnya kardiak output sebagai

kompensasi memenuhi metabolisme jaringan, hal ini akan meningkatkan volume

overload miokard. Penelitian juga telah menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12

gr/dl) dialami pada 25% penderita gagal jantung. Pada pemeriksaan hati dan ginjal,

fungsi kedua organ tersebut masih dalam batas normal. Penurunan GFR pada gagal

jantung menurut NYHA merupakan predictor mortalitas yang lebih kuat.

Pemeriksaan urinalisis, elektrolit dan BNP tidak dilakukan pada kasus ini. 4

Selama perawatan, hari pertama pasien mendapat terapi O2 2-3, injeksi

Furosemid 2x1, Ranitidin 2x1, Ondancentron 3x1, Ceftriaxon 2x1, Antrain 3x1,

Dexametason 2x1. Per oral; aspilet 1x1, captopril 2 x 12,5 mg, salbutamol 3x1. Pada

hari keempat pasien pulang karena mulai membaik dan tetap control kebagian poli

jantung.

43

Page 45: PORTO CHF

Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar bertujuan

dengan menurunkan preload, meningkatkan kontraktilitas juga menurunkan

afterload. Pada kasus, ACEI menjadi terapi utama untuk menurunkan afterload hal

ini sudah sesuai dengan pustaka bahwa ACEI harus digunakan pada semua pasien

dengan gagal jantung yang simptomatik dan LVEF < 40%. Pemberian dosis awal

harus diawali dengan dosis minimal sebelum mencapai target dosis. ARB

hanyanakan direkomendasikan sebagai terapi alternative pada pasien yang intoleran

terhadap ACEI.10 Pada kasus, pasien mendapat diuretic kuat hal ini sesuai dengan

rekomendasi pemberian diuretic pada pasien gagal jantung yang disertai gejala dan

tanda kongesti.10 Pada kasus terapi pencegahas tromboemboli menggunakan aspilet.

Pasien diberi nebulasi karena ditemukannya bronkospasme berupa wheezing.

Pemberian ceftriaxone pada kasus jika dicurigai terdapat tanda-tanda infeksi.

PENUTUP

44

Page 46: PORTO CHF

Telah dilaporkan sebuah kasus CHF pada seorang pasien perempuan 58

tahun. Setelah dilakukan perawatan didapatkan perbaikan gejala pada penderita,

penderita diperbolehkan pulang setelah dirawat selama 4 hari.

45

Page 47: PORTO CHF

DAFTAR PUSTAKA

1. Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.

2. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000; 320:104-7.

3. Harbanu HM, Santoso A. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan September 2007. P.85-93.

4. Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw hill; 2008. p. 1443.

5. Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease. Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.

6. Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.

7. Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689

8. Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N Engl J Med. 1999; 341:1276

9. Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.

10. Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Society Cardiology. European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.

46