Politik Islam

21

Click here to load reader

Transcript of Politik Islam

Page 1: Politik Islam

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah agama berjudul

“Islam dan Perkembangan Politik Umat”.

Makalah ini dibuat setelah melihat keadaan politik di Indonesia yang

kurang sesuai dengan hokum Islam dan semakin menurunnya tingkat toleransi

antar umat beragama.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu

pembuatan makalah ini. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,

karenanya kami menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan

makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat.

Malang, 10 Oktober 2011

Penulis

Page 2: Politik Islam

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Abdul Qadir Zallum menyatakan bahwa politik atau siyasah mempunyai

makna mengatur urusan rakyat, baik dalam maupun luar negeri. Politik

dilaksanakan oleh pemerintah dan rakyat. Negara adalah institusi yang

mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan rakyat mengoreksi

pemerintah dalam melakukan tugasnya.

Definisi di atas mengungkapkan bahwa politik merupakan pemikiran-

pemikiran yang berhubungan dengan mengurus kepentingan masyarakat.

Pemikiran tersebut dapat berupa pedoman, keyakinan, hukum. Atau aktivitas-

aktivitas yang terjadi maupun berupa informasi-informasi.

Sekurang-kurangnya ada 5 kerangka konseptual yang dapat digunakan

untuk memahami politik. Pertama, politik dipahami sebagai usaha warga

Negara dalam membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua,

politik sebagai segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan

pemerintah. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk

mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik

sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaaan

kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari

dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.

Melihat pengertian politik sebagaimana yang diuraikan di atas, maka salah

satu persoalan yang banyak menimbulkan perselisihan pendapat di kalangan

banyak orang ialah persoalan politik dalam Islam atau hubungan antara

agama dan negara dalam Islam.

1.2 Tujuan

1.2.1 Untuk mengetahui mekanisme politik yang sesuai dengan Islam.

1.2.2 Untuk mengetahui pentingnya toleransi antar umat beragama sebagai

perwujudan dari politik Islam.

Page 3: Politik Islam

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Konsep Politik Dalam Islam

Dalam bahasa Arab politik biasa diterjemahkan dengan kata siyasah yang

diartikan mengemudi, mengendalikan, dan mengatur. Jadi kata politik

diartikan mengurus dan mengatur kepentingan seseorang. Politik merupakan

sesuatu yang berhubungan dengan mengurus kepentingan masyarakat. Hal

tersebut dapat berupa pedoman, keyakinan, hukum, atau aktivitas-aktivitas

yang terjadi maupun berupa informasi-informasi.

Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan

seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah

hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. (Salim Ali al-Bahnasawi,

Wawasan Sistem Politik Islam [Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]).

Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan

Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung

perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama

Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai

kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam

berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah

keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana

politik.

2.2 Islam dan Politik

Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang

hidup bersama beliau di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur

dengan variabel-variabel politik di era modern tidak disangsikan lagi dapat

dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu

yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah

sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan

fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.

Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu

sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan

materi dan rohani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam

Page 4: Politik Islam

kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum

kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari

segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya

menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan

tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat

jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan

bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi

keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun

demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka

sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini.

Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama'. Maksud

mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan rohani

antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki

hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai

urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah:

masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah

masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: "agama adalah satu hal,

dan politik adalah hal lain".

Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami

mendedahkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau

mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-

fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja telah mencampakkannya. Oleh

karena itu, cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah

ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan

tegas. Hal itu kami lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak dapat

mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak

dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-

metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di antara

pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:

1. Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion),

namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system).

Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat

Page 5: Politik Islam

Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang

berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran

Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling

bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama

lain".

2. Prof. C. A. Nallino berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu

bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas

teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".

3. Dr. Schacht berkata : " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga

mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam

ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang

lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".

4. Prof. R. Strothmann berkata : "Islam adalah suatu fenomena agama dan

politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang

politikus yang bijaksana, atau "negarawan".

2.3 Perubahan Politik Islam

Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut

perspektif Islam, kita mengenal setidaknya dua periode yang secara signifikan

memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an.

Yang pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan

hubungan antara umat Islam dengan pemerintah, sedangkan yang kedua

adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah beruabah haluan

dalam menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional.

Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan

umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung,

Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan

situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan

citra pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada

gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang

menyuarakan aspirasinya.

Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar

seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik

Page 6: Politik Islam

haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan

pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB,

pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin

kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam

yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan

pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia

tidak akan berhasil tanpa menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat

Islam harus dianggap sebagai mitra.

Layaknya bola salju, era akomodasi ini bergulir deras dan cenderung

besar, efeknya terasa, kini bukan tabu lagi umat Islam berbicara tentang

aspirasi Islam. Di kalangan pemerintah juga tampak adanya upaya untuk

"menyinggung" perasaan umat Islam. Demikian terus dalam beberapa tahun

terakhir, proses "islamisasi" seakan berjalan lancar tanpa halangan.

Ada dua teori guna meramalkan masa depan bola salju tadi. Pertama,

bahwa kelak bola salju itu makin besar. Artinya, kesadaran keberislaman

makin menyebar dan marak menyelimuti semua kalangan. Kedua, adalah

antitesis yang pertama. Bola salju tadi memang membesar, tetapi hanya sesaat

kemudian pecah berkeping-keping akibat terlalu kencangnya meluncur atau

lemahnya ikatan unsur-unsur pembentuk bole tersebut. Sebagai kemungkinan

alternatif ini bisa terjadi. Yakni, bila umat Islam terlalu kencang

meluncurkannya, sementara ikatan di tubuh umat dan situasi belum cukup

kuat, atau mungkin juga latar belakang ada orang lain yang sengaja memukul

hancur. Bila ini terjadi, kita tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya,

dan butuh beberapa waktu lagi untuk mendapatkan keadaan serupa, dan di era

reformasi sampai saat ini umat Islam dalam berpolitik sudah terpecah-pecah,

itu suatu kenyataan riil yang kita lihat.

Dalam konteks Islam, perkembangan munculnya partai-partai Islam yang

berada di atas angka 50-an meskipun kemudian melalui proses verifikasi,

hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu telah melahirkan

penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan mengenai

munculnya kembali kekuatan politik Islam. Orang pun kemudian mengingat-

ingatnya dengan istilah "repolitisasi Islam", sesuatu yang bisa menimbulkan

Page 7: Politik Islam

konotasi tertentu, mengingat pengalaman Islam dalam sejarah politik

Indonesia. Padahal, kita sebenarnya boleh menanyakan apakah benar Islam

sejatinya pernah berhenti berpolitik? Walaupun dengan itu, pertanyaan

tersebut bukan untuk mengisyaratkan bahwa Islam itu adalah agama politik.

Meskipun demikian satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas

penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak langsung,

yang demikian itu mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan

politik apa pun, lebih-lebih partai politik, akan sangat memperhitungkan

realitas demografis seperti itu. Artinya, massa Islam bakal diperebutkan oleh

kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan.

Bak "gadis" yang akan selalu diperebutkan, bagaimana seharusnya Islam

bersikap di tengah polarisasi politik yang tajam ini? Jelas, ini bukan

pertanyaan yang mudah dijawab. Seandainya tersedia jawaban pun ia bukan

suatu yang dapat diperebutkan. Artinya, akan tersedia banyak jawaban. Dan

semua itu akan sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh preferensi politik yang

bersangkutan.

Dalam situasi seperti ini, ada baiknya kita kembali kepada makna

beragama. Ada apa sebenarnya fungsi Islam dalam kehidupan. Seperti telah

sering dikemukakan, agama dapat dilihat sebagai instrumen ilahiyah untuk

"memahami" dunia. Dibandingkan dengana agama-agama lain, Islam paling

mudah menerima premis ini. Salah satu alasannya terletak pada sifat Islam

yang omnipresence. Ini merupakan suatu pandangan bahwa "di mana-mana"

kehadiran Islam hendaknya dijadikan panduan moral yang benar bagi

tindakan tingkah laku manusia.

Ada memang yang mengartikan pandangan seperti ini dalam konteks

bahwa Islam merupakan suatu totalitas. "Apa saja" ada dalam Islam. Seperti

firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah

sedikit pun dalam Al-Qur'an." Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari

kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Terutama karena itu, ada yang

berpendapat bahwa Islam itu sebenarnya mencakup negara--sesuatu yang

kemudian dirumuskan dalam jargon "innal Islam dinun wa dawlah".

Page 8: Politik Islam

2.4 Toleransi Beragama

Sebelum pembahasan lebih lanjut tentang toleransi, ada baiknya dijelaskan

secara ringkas mengenai terminology “toleransi”. Ini perlu karena terdapat

beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh kalangan pengamat sosial,

khususnya berhubung dengan persoalan toleransi beragama atau dialog antar

agama. Perkataan atau term toleransi berasal dari bahasa Inggris tolerance

atau tolerantia dalam bahasa Latin. Dalam bahasa Arab istilah ini merujuk

kepada kata tasamah atau tasahal yaitu; to overlook, excuse, to tolerate, to be

indulgent, tolerant, forbearing, lenient, merciful. Perkataan tasamah;

bermakna hilm dan tasahul; diartikan indulgence, tolerance, toleration,

forbearance, leniency, lenitt, clemency, mercy dan kindness. (Rohi Baalbaki,

1004: 314). Tasamuh di dalam Islam tidak semata-mata tolerance karena

tasamuh memberi arti memberi dan mengambil, tidak saja mengharapkan

satu pihak memberi dan yang lain itu menjadi negative. Orang Islam

dinamakan mutasamihin, pemaaf, penerima, menawarkan, pemurah sebagai

tuan rumah kepada tamu, tetapi kemudiannya juga kita tidak sepatutnya

menerima saja (terlalu banyak) sehingga menekan perasaan kita sendiri yang

ditimbulkan oleh perkara-perkara yang kita tahu berlawanan dengan agama

kita (Muhammad Abdul Rauf, 1984: 100). Kamus Umum Bahasa Indonesia

menjelaskan toleransi dengan kelapangan dada (dalam arti suka kepada

siapapun, membiarkan orang berpendapat atau berpendirian lain, tak mau

mengganggu kebebasan berfikir dan berkeyakinan lain). (W. J. S.

Poerwodorminta, 1996: 4010). Sedangkan Kamus Dewan menyebut

perkataan “toleran” yang berarti “sedia menghormati atau menerima

pendapat (pendirian dan sebagainya) orang lain yang berbeda dari pendapat

(pendirian dan sebagainya) sendiri”. Selain itu toleransi juga merujuk kepada

sifat (sikap) toleran (Noresah Baharom, 994: 1406). Toleransi dalam konteks

ini dapat dirumuskan sebagai satu sikap keterbukaan untuk mendengar

pandangan yang berbeda, berfungsi secara dua arah yakni mengemukakan

pandangan dan menerima pandangan dan tidak merusak pegangan agama

masing-masing dalam ruang lingkup yang telah disepakati bersama. Hakikat

toleransi terhadap agama-agama lain merupakan satu prasyarat yang utama

Page 9: Politik Islam

bagi setiap individu yang ingin kehidupan yang aman dan tenteram. Degan

begitu akan terwujud interaksi dan kesefahaman yang baik dikalangan

masyarakat beragama. Namun persoalannya bagaimanakah pendekatan yang

harus dilalui dalam membentuk satu masyarakat yang harmonis meskipun

mereka berbeda dari sudut agama.

Bagi bangsa Indonesia yang memiliki keanekaragaman (pluralitas) agama,

pluralisme merupakan sebuah keniscayaan. Ia mampu menjadi wahana dan

sarana membangun ke arah kehidupan yan maju, damai dan sejahtera. Namun

jika tidak dikelola secara arif dan bijaksana maka pluralitas akan menjadi

salah satu faktor pemicu konflik, disharmoni dan disintegrasi bangsa (Tarmizi

Taher, 1997: 33). Konsep Bhineka Tunggal Eka sejatinya lahir sebagai

refleksi atas kemajemukan bangsa, sekaligus sebagai jawaban agar

kemajemukan itu tidak memicu disintegrasi, tapi justru menjadi tiang-tiang

penyangga hadirnya sebuah bangsa yang kokoh (Depag RI, 1997: 65). Akan

tetapi, dikondisikan oleh konstelasi politik dalam satu dekade terakhir ini kita

menghadapi beberapa tindakan kekerasan yang mengatas-namakan agama.

Sebut saja peledakan Gedung Atrium Senen (1-12-1998), Plaza Hayam

Wuruk (15-4-1999), Gereja GKPI Medan (28-5-2000), Bom Bali II (1-10-

2006); merupakan estimasi yang menandai rapuhnya ”keakraban” hidup umat

beragama. Tindak kekerasan atau dorongan apapun dengan menggunakan

simbol agama, secara implisit maupun eksplisit terus merebak dan menguat,

dan hampir ditemukan dalam semua agama dan paham-paham keagamaan.

Misalkan dalam agama Yahudi, Shlomo Goren seorang pemimpin Rabi untuk

kelompok Yahudi Eropa Barat di Israel yang memfatwakan pembunuhan

terhadap Yasser Arafat sebagai tugas suci keagamaan (Lihat lebih jauh dalam

Abd A’la, 2002: 16). Sulit dipercaya bahwa agama-agama yang mengajarkan

kebaikan, belas kasih dan cinta akan sesama; turut menebar keberingasan

dalam motivasi duniawi dan politik, prasangka komunal dan sebagainya.

Dengan dalih “demi mencapai ridha Tuhan dan demi menyebarkan kabar

gembira dari Yang Maha Kuasa” agama sering dijadikan salah satu elemen

utama penghancuran umat manusia. Suatu kenyataan yang sangat

bertentangan dengan ajaran semua agama.

Page 10: Politik Islam

Guna mengembangkan tatanan hidup yang humanis diperlukan paradigma

dialogis-kultural dalam memaknai keragaman entitas. Harkat kemanusiaan

dan pluralitas yang ada dimasyarakat menghajatkan misi teologis ditunaikan

dalam bingkai keterbukaan, memahami, kebersamaan dan dengan cara

bersama-sama, menghargai dan memberi “ruang teologis bebas kekuasaan”,

dalam “Langit Ilahi”, bukan dalam atmosfir manusia. Kerjasama dalam

kebaikan Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 8 No.13

April 2010 36 dan dalam menegakkan kebenaran bukan hanya merupakan

kewajiban agama, tetapi kebutuhan vital. Sebagai suatu upaya untuk

merelativisir ketegangan antar teologi dan truth claim yang seringkali

menumbuhkan sikap fanatis dan dogmatis, diperlukan self criticism, bahkan

relegious criticism ; oto-kritik menuju sikap internal-relativism. Tuntutan

akan kebenaran final (Final Truth) yang melekat pada institusi-institusi

agama dan sistem teologi yang sudah mapan (ortodoks) perlu dipertanyakan

ulang jika manusia beragama ingin menghindarkan diri dari tindakan

memutlakkan yang “relatif”. Hanya dengan gabungan serasi antara kesetiaan

(comittmen, loyality) dan pemikiran kritis (critical reflection) kematangan

beragama bisa dicapai. Upaya humanis-transformatif menjalin hubungan

sinergis antar kaum beriman dengan sendirinya menempatkan dialog antar

agama menjadi sangat penting. Sebagaimana diungkapkan Hans Kung “No

peace among the nations without peace among the religions; No peace

among religions without dialogue between the religions; No dialogue

between religions without investigating the foundation of the religions”

(Tiada perdamaian bagi bangsa-bangsa tanpa perdamaian diantara agama-

agama; Tiada perdamaian diantara agama-agama tanpa dialog antar agama;

Tiada dialog antar agama tanpa mempelajari fondasi agama-agama). Agar

pelaksanaannya mampu membawa implikasi positif diperlukan dua komitmen

penting; pertama, adanya sikap toleransi; suatu sifat atau sikap menenggang

pendirian, pendapat, kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya yang berbeda

dengan pendiriannya sendiri, dan kedua pluralisme, yang bisa dilacak dalam

Frithjof Schuon, seorang tokoh filsafat perennial dan genius terbesar

metafisika tradisional. Bagi Schuon, hidup ini ada tingkatannya. Dari segi

Page 11: Politik Islam

metafisik, hanya pada Tuhanlah, yang berada pada tingkat tertinggi, terdapat

titik temu berbagai agama, sedang pada tingkat dibawahnya semua agama itu

saling bereda. Pluralisme yang tidak dapat hanya dipahami hanya dengan

mengatakan bahwa masyarakat kita beranekaragam. Pluralisme juga tidak

boleh dipahami hanya sekadar sebagai negative good, hanya ditilik dari

kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme. Pluralisme, khususnya

pluralisme agama harus dipahami sebagai suatu keharusan bagi keselamatan

umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan

yang dihasilkannya.Agama dituntut mampu menampilkan citranya yang

inklusif, tidak ekstrem, lapang, tetap mempertimbangkan nilai-nilai spiritual

lokal, dan humanis. Agama haruslah tampil (atau ditampilkan) dengan

“wajah” terbuka terhadap “realitas” yang ada di luar dirinya. Ia juga dituntut

untuk mampu Ittihad, Jurnal Kopertais Wilayah XI Kalimantan, Volume 8

No.13 April 2010 37 membawa penganutnya bersikap adil terhadap

agamanya sendiri, menghargai dan apresiatif terhadap keimanan orang lain

(Wilfred Cantwell Smith,1981: 71) Dengannya pemenuhan kebutuhan hidup,

kepentingan dan kecenderungan hidup masyarakat harus dibimbing secara

dialogis, humanis dan inklusif dalam nilai-nilai etik-moralitas yang sejatinya

merupakan “milik” setiap agama. Secara kongkret, agama masa depan yang

menjadi harapan adalah (a) agama yang memperjuangkan prinsip-prinsip

antropik-spiritualisme. Suatu kesadaran spiritual yang ditopang oleh ilmu

pengetahuan alam agar bisa memberikan peta kosmologi yang benar sehingga

seseorang tahu di mana dan ke arah mana kereta ruang dan waktu yang

sedang ditumpanginya bergerak; (b) agama masa depan ingin tidak

dipisahkan dari agama-agama tradisional; bahwa juga (c) akan muncul

keberagamaan eklektik dan sikap beragama yang lebih humanistik-universal

(Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, 1995: 116-118). Oleh

karena itu, dialog antar agama dan peradaban dimungkinkan akan mewujud di

era global ini. Dalam kaitan ini, alur pikir pluralisme sangat mendukung tugas

kemanusiaan, saling menguntungkan dan bukannya “benturan” klaim

kebenaran, sektarianisme, tradisi dan peradaan (M. Amin Abdullah, 1997: 99-

114). Apabila tidak ditemukan kesamaan, hendaknya masing-masing

Page 12: Politik Islam

mengakui eksistensi pihak lain dan tidak saling mempermasalahkan,

membuka diri bagi “yang lain” dan mengijinkan “sesuatu” di luar dirinya

untuk hadir sebagai tetangga sekaligus keterlibatan aktif terhadap kenyataan

kemajemukan serta menafikan sikap-sikap yang cenderung eksklusif,

emosional dan kaku.

Dewasa ini di Indonesia telah tampak bahwa toleransi beragama tidak di

jaga dan dikelola dengan baik sehingga menimbulkan suatu dampak yang

sangat besar yaitu saling terjadi permusuhan antar umat beragama dan

melahirkan para teroris yang membuat kenyamanan warga Negara Indonesia

menjadi tergaganggu. Para teroris ini biasanya tidak bertindak dengan hati

nuraninya sendiri melainkan karena hasil dari cuci otak para pakar teroris.

Kegiatan teroris di Indonesia ini membuat warga Negara Indonesia menjadi

takut dalam aktivitas beragama. Misalnya dalam perayaan hari natal polisi

selalu mengamankan tempat yang akan di jadikan tempat sembah Yang hal

tersebut sangat Nampak bahwa toleransi umat beragama di Indonesia sangat

kurang.

Page 13: Politik Islam

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hukum Islam penting diterapkan dalam menjalankan politik suatu Negara

agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam mengaplikasikan politik di

kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, toleransi antar umat beragama

penting dilakukan agar tidak terjadi perselisihan antar umat beragama,

mengingat Indonesia tidak hanya dihuni oleh penduduk yang beragama Islam,

melainkan juga dihuni oleh umat beragama lain.

Page 14: Politik Islam

Daftar Pustaka

1. Sukidi, “Dari Pluraisme Agama Menuju Konvergensi Agama-agama”,

dalam Kompas, 17 Oktober 1998.

2. Moerdiono, Makna Kerukunan Hidup Umat Beragama Menurut Tinjauan

Paham Negara Kesatuan Republik Indonesia: Beberapa Pokok Pikiran,

Jakarta, Sarasehan Sehari Majlis Ulama Indonesia, 5 Nopember 1966.

3. Tim Dosen PAI UB, Buku Daras: Pendidikan Agama Islam, Malang,

2011.