Islamia-idealisme politik islam

3
“T idak ada se- orang hamba pun yang di- amanahi un- tuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah Swt. mengharamkan surga bagi- nya,” demikian sabda Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al- ‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu). Politik adalah salah satu bagian penting dalam kehidupan manusia, se- kalipun bukan satu-satunya yang paling utama. Masih banyak bidang lain dalam kehidupan manusia yang juga tidak kalah penting dibandingkan dengan politik. Akan tetapi karena dalam prak- tiknya selalu penuh dengan intrik dan melibatkan orang banyak secara kolosal, politik menjadi terlihat lebih menarik dan hingar bingar sehingga seolah-olah politik merupakan segala-galanya dalam kehidupan manusia. Hal seperti itu wajar terjadi meng- ingat politik dalam kenyataan yang kita saksikan berkait erat dengan kekuasaan. Para ahli bahkan menyebutnya sebagai suatu fenomena a constrained use of so- cial power (penggunaan kekuasaan so- sial secara paksa) (Goodin and Hens Die- ter Klingemann. A New Handbook of Political Sicence. hal. 7). Sementara kekuasaan itu sendiri ada di mana-mana, bahkan dalam diri setiap orang. Ketika kekuasaan itu diperte- mukan dengan kekuasaan lain, maka terjadilah saling desak kekuasaan hingga terjadi negosiasi dan kesepakatan siapa yang boleh menggunakan kekuasaannya—secara paksa—dan siapa yang harus menerima dikuasai orang lain. Oleh sebab itu, tidak heran apabila politik selalu akan ramai diperbin- cangkan. Itu pula yang menyebabkan para pakar banyak yang menyebut bahwa inti dari kegiatan politik adalah soal kekuasaan. Kalau ditanyakan tujuan apa yang ingin dicapai dengan berpolitik di dalam Islam, jawaban normatif yang disepakati hampir semua ulama segera dapat kita tulis. Tujuan tersebut adalah: pertama, ingin menegakkan Islam (himâyah al- dîn) dan kedua, mewujudkan kesejahter- aan umat (ri’âsah syu’ûn al-ummah). (Rasyid Ridha. Al-Khilâfah aw Al-Imâ- mah Al-‘Uzhmâ. hal. 35; Shalah Al- Shawi. Al-Wajîz fi Fiqh Al-Khilâfah. hal. 5.) Tujuan politik dalam Islam sama sekali tidak memberi ruang bagi prag- matisme pribadi dan kelompok. Politik digunakan bukan untuk menumpuk keuntungan pribadi; juga bukan untuk menegakkan kepentingan kelompok (‘ashabiyyah). Hanya dua yang boleh mendapatkan manfaat dari kegiatan politik, yaitu “agama” dan “rakyat”. Oleh sebab tujuan politik yang begitu mulia, Imam Ghazali menyebutnya para pemegang kekuasaan ini sebagai orang yang mendapat nikmat yang besar. Tidak ada nikmat yang diberikan oleh Allah Swt. melebihi kenikmatan memegang kekuasaan. Dengan kekuasaan politik yang dipegang, seseorang dapat menjadi orang yang diutamakan oleh Allah Swt. untuk masuk surga. Di mata Allah, para penguasa memiliki derajat yang mulia dan lebih dicintai. Dikatakan oleh Ra- sulullah Swt., “Adilnya seorang raja da- lam sehari lebih dicintai oleh Allah Swt. daripada ibadah tujuh puluh tahun.” (Abu Hamid Al-Ghazali. Al-Tibr Al- Masbûk fî Nashîhah Al-Mulûk. hal. 18) Tentu saja nikmat yang besar bagi para pemegang kekuasaan itu sepanjang ia dapat berlaku adil. Pemimpin yang zhalim, justru ia akan berubah menjadi musuh Allah Swt., bukan lagi kekasih- Nya. Musuh-musuh Allah Swt. adalah mereka yang tidak mau mensyukuri nik- mat yang diberikan-Nya. Penguasa yang tidak mensyukuri nikmatnya adalah pen- guasa yang zhalim dan korup. Bagi me- reka Allah menyediakan siksa yang amat berat. “Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, ke- cuali Allah Swt. mengharamkan surga baginya,” demikian sabda Rasulullah Swt. (HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu). Ini menunjukkan bahwa wilayah politik adalah wilayah yang kedudukan- nya bisa sangat mulia. Politik di dalam Islam menempati posisi yang penting, asal politik dipergunakan sesuai track- nya, yaitu untuk menjaga tegaknya agama dan menyejahterakan rakyat. Betapa tidak mulia. Para politisi ini akan bekerja bukan untuk kepentingannya, melainkan untuk kepentingan orang lain; dan terutama untuk kepentingan agama Allah Swt. Betapa mulianya orang yang memegang pekerjaan ini. Oleh sebab itu, politisi yang tidak be- kerja sesuai dengan akadnya sebagai politisi, dia dinamakan “pengkhianat”. Dia mengkhianati amanah Allah Swt. dan amanah rakyat sekaligus. Dosanya pun tidak kepalang tanggung, sama seperti pahalanya. Pentingnya posisi politik bahkan dile- takkan hanya satu garis di bawah kera- sulan. Ketaatan kepada pemagang posisi politik tertinggi (ulil-amri) harus diberi- kan setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (QS Al-Nisâ’ [4]: 59). Sekali- pun ketaatan ini bersyarat, yaitu sepan- jang tidak bertentangan dengan ketaatan pada Allah dan rasul-Nya, namun perny- ataan secara khusus tentang posisi ulil- amri ini menyatakan bahwa politik adalah sesuatu yang amat penting dan memiliki kedudukan yang tinggi. Oleh sebab itu pula, memisahkan Islam— sebagai agama—dengan politik adalah perbuatan sia-sia. Selain amat mustahil, juga tidak sesuai dengan karakter ajaran Islam yang syâmil-mutakâmil. Selain memuji sebagai pekerjaan yang sangat penting, Islam juga mengingatkan bahwa memegang posisi politik adalah memegang posisi yang penuh fitnah. Dalam sebuah hadis yang tercantum dalam Sunan Al-Nasâ’i bab Ittibâ’ Al- Shaid dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw. pernah mengatakan, “Siapa yang tinggal di hutan dia akan kering (dari informasi; kurang pergaulan); siapa yang mengikuti binatang buruan, dia akan lalai; dan siapa yang mengikuti (dekat-dekat) penguasa, dia akan terkena fitnah.” Al-Suyûthi menyebut bahwa yang dimaksud “ter- kena fitnah” dalam hadis tersebut adalah “hilangnya agama” atau “dikhawatirkan sudah tidak lagi memperhatikan aga- manya, karena ingin mendapatkan kerid- hoan penguasa.” (Al-Suyuthi. Syarh Sunan Al-Nasâ’i. Jil. 6 hal. 50.) Berdekat-dekatan dengan penguasa saja dapat menimbulkan fitnah yang besar, yaitu hilangnya agama, apalagi menjadi penguasa. Menjadi penguasa se- cara psikologis memang membuat orang cenderung merasa dirinya paling sega- lanya sehingga tidak sedikit yang lupa daratan. Ini terlihat saat yang bersang- kutan kehilangan posisi dan kedudukan- nya. Tidak sedikit yang mengidap pe- nyakit kejiwaan yang sering disebut post power-syndrom. Oleh sebab itu, tanpa bekal keimanan, keilmuan, dan mental baja, banyak orang yang terjerumus dalam kubangan dunia politik. Mereka terjerumus dalam lumpur dosa akibat mengkhianati amanah yang dipikulnya. Kesempatan untuk berkhianat pada amanah sangat terbuka lebar bagi me- reka yang memegang kekuasaan. Tidak salah pula dalam konteks ini apabila politik dikatakan sebagai suatu medan yang high risk high value. Dari sini dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa Islam tidak menem- patkan politik sebagai sesuatu yang tidak perlu didekatkan dengan agama. Justru dalam pandangan Islam, politik harus didasarkan pada agama. Agama harus menjadi landasan pertama dan utama dalam politik. Sekali politik dijauhkan dari agama, maka pada saat itulah politik akan menjadi lading pere- butan kekuasaan yang sangat barbarian. Satu sama lain akan saling membunuh untuk mendapatkan kekuasaan. Se- andainya pun ada mekanisme-meka- nisme lahiriah seperti yang diciptakan dalam demokrasi modern, tanpa lan- dasan agama mekanisme-mekanisme apapun tetap akan dikapitalisasi untuk kepentingan-kepentingan pribadi dan tetap akan menjadi lahan untuk saling menghancurkan satu sama lain, bukan untuk menegakkan niat dan cita-cita politik sesungguhnya. Hal lain yang menarik dari pandan- gan Islam tentang politik ini adalah bahwa penekanan utama masalah po- litik ada pada penguasa dan kekuasaan- nya itu. Sementara mengenai urusan teknis dalam politik seperti sistem pe- milihan, pembuatan struktur kekuasaan dan birokrasi pemerintahan serta per- soalan-persoalan teknis lainnya tidak diatur secara rigid. Para yuris Muslim diberi keleluasaan untuk berijtihad didasarkan pada prinsip-prinsip umum ajaran dan hukum Islam. Ini menunjukkan bahwa wilayah politik praktis memiliki keluasan ruang kreatif bagi umat Islam sehingga dimungkinkan dapat terus berinovasi mengikuti perubahan dan perkemban- gan zaman. Sekalipun Islam memberikan kelelu- asaan dalam berijtihad menentukan hal- hal teknis dalam berpolitik praktis, namun tentu hal-hal prinsip dalam Islam tidak boleh berlaku dalam politik Islam. Misalnya bahwa politik Islam harus di- landaskan pada prinsip tauhid yang me- letakkan supremasi pengaturan kehidu- pan kepada Allah Swt., termasuk kehi- dupan politik. Hak prepogatif tidak di- berikan pada “kebebasan manusia” se- bagaimana filsafat politik yang berlaku saat ini, melainkan kepada ketundukan manusia pada Allah Swt. Oleh sebab itu, penghormatan terhadap hak-hak indi- vidu sebagaimana dikenal dalam keten- tuan hak asasi manusia yang menjadi prinsip umum sistem politik demokrasi harus diletakkan setelah pengakuan ter- lebih dahulu atas hak-hak Allah Swt. atas hambanya. Prinsip ini berimplikasi pada kesadaran untuk mendahulukan wahyu dalam mengatur persoalan po- litik daripada keinginan dan akal ma- nusia. Bila suatu hal diperintahkan atau dilarang secara qoth’i oleh wahyu, maka itulah yang didahulukan sekalipun bertentangan dengan keinginan dan kesenangan manusia. Politik yang bertauhid juga sudah pasti tidak akan bersetuju dengan seku- larisme dalam berpolitik. Sekularisme menghendaki politik steril sama sekali dari intervensi agama. Politik harus murni sebagai hasil negosiasi antar- manusia dan menghasilkan kebijakan- kebijakan politik yang disepakati para pendukungnya. Kalaupun agama menjadi bagian dari urusan manusia, maka “agama”- lah yang diurus oleh politik dan bukan sebaliknya. Agama yang dimaksud bukan agama sebagai ajaran, melainkan agama sebagai kepentingan manusia sehingga harus diatur oleh politik. Dalam hal ini agama menjadi objek, bukan subjek dalam politik. Sekularisme dalam politik adalah bentuk lain dari syirik modern yang dipraktikkan dalam berpolitik. Politik Islam pasti akan menghindari sejauh-jauhnya perilaku semacam ini. Sebagaimana tujuan utama yang telah dijelaskan di atas, politik Islam pun harus menjadi kekuatan yang dapat menegakkan dan melindungi syariat- syariat Allah Swt. dalam berbagai aspek. Tidak boleh ada usaha-usaha manusia yang dibiarkan menolak, merusak, dan menghancurkan syari’at Allah Swt. ini. Kekuatan politik Islam adalah kekuatan politik yang harus menjalankan fungsi amar ma’rûf dan nahyi munkar. Tentu saja fungsi itu dasarnya adalah ketentuan ma’rûf dan munkar yang berlaku dalam ajaran Islam. Walhasil, politik Islam adalah anasir pelindung utama tegaknya ajaran-ajaran Islam; sambil pada saat yang sama politik Islam adalah alat untuk mewujudkan kese- jahteraan rakyat. Wallâhu A’lamu bi Al- Shawwâb. KAMIS, 20 MARET 2014 JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA Halaman ini terselenggara atas kerja sama Republika dengan INSISTS Dewan Redaksi: Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, Adnin Armas, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin, Nuim Hidayat, Henri Shalahuddin, Budi Han- drianto, Tiar Anwar Bachtiar. 23 Tiar Anwar Bachtiar Peserta Program Kaderisasi Ulama Baznas-DDII; Ketua Umum PP Pemuda Persis P ada periode awal berdirinya Ne- gara Indonesia, terjadi perdebatan antara para tokoh umat Islam tentang status Negara. Sebagian tokoh pro bentuk Negara Islam, sebagian yang lain memilih substansi Islamnya daripada bentuk negaranya. Dari wacana itu mun- cul metafora “pilih minyak babi cap onta atau minyak onta cap babi”. Artinya “Pilih Negara yang substansinya sekuler tapi berlabel Islam, atau pilih Negara yang substansinya Islam tapi berlabel sekuler”. Dengan dihapusnya 7 kata dalam Pia- gam Jakarta dan realitas yang lain de fac- to jatuh pada pilihan yang kedua. Umat Islam pun rela, karena sila Ketuhanan Yang Maha Esa masih dapat mewadahi substansi Islam. Masalahnya apakah se- mua masih ingat Gentleman Agreement itu. “Negara ini bukan Negara Islam, tapi substansinya Islam”. Ternyata tidak. Di zaman Orde Lama umat Islam ditu- duh seakan masih menginginkan pilihan pertama. Umat Islam pun dilukis seakan berwajah subsversif. Umat Islam justru dipaksa kompromis dengan komunisme. Tidak jelas dimana substansi Islam dite- rapkan. Pelajaran Agama di sekolah-se- kolah pun tidak ada. Di zaman Orde Baru upaya memasukkan substansi Islam mu- lai nampak. Tapi tetap saja umat Islam di- batasi dikawal dan dicurigai. Untuk itu umat Islam dipisahkan dari politik. Motto yang ditawarkan Nurcholish Madjid “Islam Yes Partai Islam No” seperti menguatkan kebijakan itu. Ketika reformasi bergulir tahun 1998, umat Islam seperti terlepas dari belenggu de-politisasi. Para tokoh umat Islam pun mendirikan partai-partai baru. Euforia berpolitik umat Islam itu seperti memen- tahkan asumsi Nurcholish Madjid. Dalam sebuah symposium di Tokyo tahun 2008 saya nyatakan ini adalah titik balik dari de-politisasi Orde Baru. Realitasnya umat mau berpartai politik Islam (Partai Islam Yes) dan juga ber-Islam (Islam Yes). Tapi pernyataan saya dibantah oleh A. Rabasa, pengkaji Indonesia dari Amerika. Tidak ada perubahan dalam politik Islam di Indonesia, katanya. Umat Islam tetap tidak suka politik Islam. Buktinya perole- han parpol Islam tidak pernah menyamai suara Masyumi pada Pemilu tahun 1955. Ini bukti bahwa umat Islam tidak mau berpolitik lagi. Melihat perolehan partai politik Islam pada tiga Pemilu pasca Reformasi yang semakin menurun, nampaknya Rabasa benar. Tapi pertanyaan muncul lagi apa- kah benar umat Islam memperjuangkan substansi Islam tanpa melalui partai po- litik. Jika jawabnya benar, maka asumsi Cak Nur menjadi Salah. Jargon itu men- jadi “Partai Islam No, Islam No”. Natanya, kini umat Islam tetap berpolitik tapi pindah memilih partai politik sekuler. Apa yang salah pada partai politik Islam. Mengapa umat Islam sekarang ti- dak mampu menandingi prestasi Masyu- mi. Agar lebih obyektif, kita bertanya pa- da Abul Ala al-Maududi dan Sayyid Qutb. Dua orang pemikir politik Islam zaman modern. Bagi al-Mawdudi umat Islam perlu melakukan transformasi gerakan intelek- tual. Gerakan itu perlu memasukkan nilai-nilai kedalam anggota masyarakat, dengan mendidik dan menghasilkan ilmuwan Muslim yang bervisi Islam dalam berbagai bidang ilmu. Berarti parpol Islam tidak punya lembaga ini. Parpol Islam seharusnya mengikuti langkah-langkah Rasulullah, tulis al- Maududi. Setelah 10 tahun pemikiran Islam menjadi dewasa dan berubah dari idealisme menjadi organisasi yang kokoh. Organisasi yang kokoh didukung oleh administrasi yang sehat, ekonomi, keuan- gan dan penegakan hukum yang kuat, intelektual yang kommit terhadap Islam. Berbeda dari al-Maududi, Sayyid Qutb lebih menekankan agar partai politik Islam dapat menterjemahkan Islam dalam bentuk etika masyakat dan etika sosio-politik. Disini peran intelektual sangat penting. Karena itu intelektual dibalik partai politik Islam harus kuat imannya, konsisten, memiliki kemam- puan manajemen, memiliki kekuasaan, dan tetap menjalankan syariah. Dari sini kita bisa introspeksi : sudahkan saran kedua tokoh politik Islam itu dimiliki oleh semua parpol Islam? Meskipun demikian perlu disadari bahwa partai politik Islam itu harus ber- saing dengan partai-partai dan masya- rakat non-Islam. Dalam kompetisi itu menurut Dale F. Eickelman and James Piscatori dalam karyanya Muslim Politics perlu menggunakan simbol-simbol aga- ma. Di sini symbol-simbol itu dalam pan- dangan al-Maududi dan Sayyid Qutb ada- lah pemahaman dan pengamalan Islam secara konsekuens. Jadi pilihannya bukan “minyak babi cap onta atau minyak onta cap babi” tapi “minyak zaitun cap onta atau minyak onta cap zaitun”. Universal tapi tetap berasas Islam atau Islam yang universal tanpa lupa moral. Dr Hamid Fahmy Zarkasyi Direktur INSISTS Idealisme Politik Islam MISYKAT Parpol Islam Prayogi/Republika

Transcript of Islamia-idealisme politik islam

Page 1: Islamia-idealisme politik islam

“Tidak ada se -

orang hambapun yang di -amanahi un -tuk memimpinrakyat oleh

Allah, lalu ia mati dan pada saat mati iaberkhianat pada rakyatnya, kecualiAllah Swt. mengharamkan surga bagi -nya,” demikian sabda Rasulullah Swt.(HR Muslim; bab Fadhîlah Al-Imâm Al-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu).

Politik adalah salah satu bagianpenting dalam kehidupan manusia, se -ka lipun bukan satu-satunya yang palingutama. Masih banyak bidang lain dalamkehidupan manusia yang juga tidakkalah penting dibandingkan denganpolitik. Akan tetapi karena dalam prak-tiknya selalu penuh dengan intrik danmelibatkan orang banyak secara kolosal,politik menjadi terlihat lebih menarikdan hingar bingar sehingga seolah-olahpolitik merupakan segala-galanya dalamkehidupan manusia.

Hal seperti itu wajar terjadi meng -ingat politik dalam kenyataan yang kitasaksikan berkait erat dengan kekuasaan.Para ahli bahkan menyebutnya sebagaisuatu fenomena a constrained use of so -cial power (penggunaan kekuasaan so -sial secara paksa) (Goodin and Hens Die -ter Klingemann. A New Handbook ofPolitical Sicence. hal. 7).

Sementara ke kua saan itu sendiri adadi mana-mana, bahkan dalam diri setiaporang. Ketika kekuasaan itu diperte-mukan dengan kekuasaan lain, makaterjadilah saling desak kekuasaanhingga terjadi negosiasi dan kesepakatansiapa yang boleh menggunakankekuasaannya—secara paksa—dan siapayang harus menerima dikuasai oranglain. Oleh sebab itu, tidak heran apabilapolitik selalu akan ramai diperbin-cangkan. Itu pula yang menyebabkanpara pakar banyak yang menyebutbahwa inti dari kegiatan politik adalahsoal kekuasaan.

Kalau ditanyakan tujuan apa yangingin dicapai dengan berpolitik di dalamIslam, jawaban normatif yang disepakatihampir semua ulama segera dapat kitatulis. Tujuan tersebut adalah: pertama,ingin menegakkan Islam (himâyah al-dîn) dan kedua, mewujudkan kesejahter-aan umat (ri’âsah syu’ûn al-ummah).(Rasyid Ridha. Al-Khilâfah aw Al-Imâ -mah Al-‘Uzhmâ. hal. 35; Shalah Al-Shawi. Al-Wajîz fi Fiqh Al-Khilâfah. hal.5.) Tujuan politik dalam Islam samasekali tidak memberi ruang bagi prag-matisme pribadi dan kelompok. Politikdigunakan bukan untuk menumpukkeuntungan pribadi; juga bukan untukmenegakkan kepentingan kelompok(‘ashabiyyah). Hanya dua yang bolehmendapatkan manfaat dari kegiatanpolitik, yaitu “agama” dan “rakyat”.

Oleh sebab tujuan politik yang begitumulia, Imam Ghazali menyebutnya parapemegang kekuasaan ini sebagai orangyang mendapat nikmat yang besar. Tidakada nikmat yang diberikan oleh AllahSwt. melebihi kenikmatan memegang

kekuasaan. Dengan kekuasaan politikyang dipegang, seseorang dapat menjadiorang yang diutamakan oleh Allah Swt.untuk masuk surga. Di mata Allah, parapenguasa memiliki derajat yang muliadan lebih dicintai. Dikatakan oleh Ra -sulullah Swt., “Adilnya seorang raja da -lam sehari lebih dicintai oleh Allah Swt.daripada ibadah tujuh puluh tahun.”(Abu Hamid Al-Ghazali. Al-Tibr Al-Masbûk fî Nashîhah Al-Mulûk. hal. 18)

Tentu saja nikmat yang besar bagipara pemegang kekuasaan itu sepanjangia dapat berlaku adil. Pemimpin yangzhalim, justru ia akan berubah menjadimusuh Allah Swt., bukan lagi kekasih-Nya. Musuh-musuh Allah Swt. adalahmereka yang tidak mau mensyukuri nik -mat yang diberikan-Nya. Penguasa yangtidak mensyukuri nikmatnya adalah pen-guasa yang zhalim dan korup. Bagi me -reka Allah menyediakan siksa yang amatberat. “Tidak ada seorang hamba punyang diamanahi untuk me mimpin rakyatoleh Allah, lalu ia mati dan pada saatmati ia berkhianat pada rakyatnya, ke -cuali Allah Swt. mengharamkan surgaba ginya,” demikian sabda RasulullahSwt. (HR Muslim; bab Fadhî lah Al-ImâmAl-‘Âdil wa ‘Uqûbatuhu).

Ini menunjukkan bahwa wilayahpolitik adalah wilayah yang kedudukan-nya bisa sangat mulia. Politik di dalamIslam menempati posisi yang penting,asal politik dipergunakan sesuai track-nya, yaitu untuk menjaga tegaknyaagama dan menyejahterakan rakyat.Betapa tidak mulia. Para politisi ini akanbekerja bukan untuk kepentingannya,melainkan untuk kepentingan oranglain; dan terutama untuk kepentinganaga ma Allah Swt. Betapa mulianyaorang yang memegang pekerjaan ini.Oleh sebab itu, politisi yang tidak be -kerja sesuai dengan akadnya sebagaipolitisi, dia dinamakan “pengkhianat”.Dia mengkhianati amanah Allah Swt.dan amanah rakyat sekaligus. Dosanyapun tidak kepalang tanggung, samaseperti pahalanya.

Pentingnya posisi politik bahkan dile-takkan hanya satu garis di bawah kera-sulan. Ketaatan kepada pemagang posisipolitik tertinggi (ulil-amri) harus diberi -kan setelah ketaatan kepada Allah danRasul-Nya (QS Al-Nisâ’ [4]: 59). Sekali -pun ketaatan ini bersyarat, yaitu sepan-jang tidak bertentangan dengan ketaatanpada Allah dan rasul-Nya, na mun perny-ataan secara khusus ten tang posisi ulil-amri ini menyatakan bahwa politikadalah sesuatu yang amat penting danmemiliki kedudukan yang tinggi. Olehsebab itu pula, memisahkan Is lam—sebagai agama—dengan politik ada lahperbuatan sia-sia. Selain amat mus tahil,juga tidak sesuai dengan karak ter ajaranIslam yang syâmil-mutakâmil.

Selain memuji sebagai pekerjaan yangsangat penting, Islam juga mengingatkanbahwa memegang posisi politik adalahmemegang posisi yang penuh fitnah.Dalam sebuah hadis yang tercantumdalam Sunan Al-Nasâ’i bab Ittibâ’ Al-Shaid dari Ibnu Abbas, Rasulullah Saw.

pernah mengatakan, “Siapa yang tinggaldi hutan dia akan kering (dari in formasi;kurang pergaulan); siapa yang mengikutibinatang buruan, dia akan lalai; dan siapayang mengikuti (dekat-dekat) penguasa,dia akan terkena fit nah.” Al-Suyûthimenyebut bahwa yang di maksud “ter -kena fitnah” dalam hadis tersebut adalah“hilangnya aga ma” atau “di khawatirkansudah tidak lagi mem per hatikan aga-manya, karena ingin men dapatkan kerid-hoan penguasa.” (Al-Suyuthi. SyarhSunan Al-Nasâ’i. Jil. 6 hal. 50.)

Berdekat-dekatan dengan penguasasaja dapat menimbulkan fitnah yangbesar, yaitu hilangnya agama, apalagimenjadi penguasa. Menjadi penguasa se -cara psikologis memang membuat orangcenderung merasa dirinya paling sega -lanya sehingga tidak sedikit yang lupadaratan. Ini terlihat saat yang ber sang -kutan kehilangan posisi dan kedudukan-nya. Tidak sedikit yang mengidap pe -nyakit kejiwaan yang sering disebut postpower-syndrom. Oleh sebab itu, tanpabekal keimanan, keilmuan, dan mentalbaja, banyak orang yang terjerumusdalam kubangan dunia politik. Merekaterjerumus dalam lumpur dosa akibatmengkhianati amanah yang dipikulnya.Kesempatan untuk berkhianat padaamanah sangat terbuka lebar bagi me -reka yang memegang kekuasaan. Tidaksalah pula dalam konteks ini apabilapolitik dikatakan sebagai suatu medanyang high risk high value.

Dari sini dapat kita simpulkan secarasederhana bahwa Islam tidak menem-patkan politik sebagai sesuatu yangtidak perlu didekatkan dengan agama.Justru dalam pandangan Islam, politikharus didasarkan pada agama. Agamaharus menjadi landasan pertama danutama dalam politik. Sekali politikdijauhkan dari agama, maka pada saatitu lah politik akan menjadi lading pere -butan kekuasaan yang sangat barba rian.Satu sama lain akan saling membunuhuntuk mendapatkan kekua saan. Se -andai nya pun ada meka nisme-meka -nisme lahiriah seperti yang diciptakandalam demokrasi modern, tanpa lan-dasan agama mekanisme-mekanismeapapun tetap akan dikapitalisasi untukkepentingan-kepentingan pribadi dantetap akan menjadi lahan untuk salingmenghancurkan satu sama lain, bukanuntuk menegakkan niat dan cita-citapolitik sesungguhnya.

Hal lain yang menarik dari pandan-gan Islam tentang politik ini adalahbahwa penekanan utama masalah po -litik ada pada penguasa dan kekuasaan -nya itu. Sementara mengenai urusanteknis dalam politik seperti sistem pe -milihan, pembuatan struktur kekua saandan birokrasi pemerintahan serta per-soalan-persoalan teknis lainnya tidakdiatur secara rigid.

Para yuris Muslim diberi keleluasaanuntuk berijtihad di dasarkan padaprinsip-prinsip umum ajaran dan hukumIslam. Ini menunjuk kan bahwa wilayahpolitik praktis me miliki keluasan ruangkreatif bagi umat Islam sehingga

dimungkinkan dapat terus berinovasimengikuti per ubahan dan perkemban-gan zaman.

Sekalipun Islam memberikan kelelu-asaan dalam berijtihad menentukan hal-hal teknis dalam berpolitik praktis,namun tentu hal-hal prinsip dalam Islamtidak boleh berlaku dalam politik Islam.Misalnya bahwa politik Islam harus di -landaskan pada prinsip tauhid yang me -letakkan supremasi pengaturan kehidu-pan kepada Allah Swt., termasuk kehi -dupan politik. Hak prepogatif tidak di -berikan pada “kebebasan manusia” se -bagaimana filsafat politik yang berlakusaat ini, melainkan kepada ketundukanmanusia pada Allah Swt. Oleh sebab itu,penghormatan terhadap hak-hak indi-vidu sebagaimana dikenal dalam keten-tuan hak asasi manusia yang menjadiprinsip umum sistem politik demokrasiharus diletakkan setelah pengakuan ter-lebih dahulu atas hak-hak Allah Swt.atas hambanya. Prinsip ini berimplikasipada kesadaran untuk mendahulukanwahyu dalam mengatur persoalan po -litik daripada keinginan dan akal ma -nusia. Bila suatu hal diperintahkan ataudilarang secara qoth’i oleh wahyu, makaitulah yang didahulukan sekalipunbertentangan dengan keinginan dankesenangan manusia.

Politik yang bertauhid juga sudahpasti tidak akan bersetuju dengan seku-larisme dalam berpolitik. Sekularismemenghendaki politik steril sama sekalidari intervensi agama. Politik harusmur ni sebagai hasil negosiasi antar-manusia dan menghasilkan kebijakan-kebijakan politik yang disepakati parapendukungnya.

Kalaupun agama men jadi bagiandari urusan manusia, maka “agama”-lah yang diurus oleh politik dan bukansebaliknya. Agama yang di mak sudbukan agama sebagai ajaran, me lainkanagama sebagai kepentingan manusiasehingga harus diatur oleh politik.Dalam hal ini agama menjadi objek,bukan subjek dalam politik. Se kularismedalam politik adalah bentuk lain darisyirik modern yang dipraktikkan dalamberpolitik. Politik Islam pasti akanmenghindari sejauh-jauhnya perilakusemacam ini.

Sebagaimana tujuan utama yangtelah dijelaskan di atas, politik Islam punharus menjadi kekuatan yang dapatmenegakkan dan melindungi syariat-syariat Allah Swt. dalam berbagai aspek.Tidak boleh ada usaha-usaha manusiayang dibiarkan menolak, merusak, danmenghancurkan syari’at Allah Swt. ini.Kekuatan politik Islam adalah kekuatanpolitik yang harus menjalankan fungsiamar ma’rûf dan nahyi munkar.

Tentu saja fungsi itu dasarnya adalahketentuan ma’rûf dan munkar yangberlaku dalam ajaran Islam. Walhasil,politik Islam adalah anasir pelindungutama tegaknya ajaran-ajaran Islam;sambil pada saat yang sama politik Islamadalah alat untuk mewujudkan kese-jahteraan rakyat. Wallâhu A’lamu bi Al-Shawwâb. ■

KAMIS, 20 MARET 2014JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

Halaman ini terselenggara atas kerjasama Republika dengan INSISTS

Dewan Redaksi: Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, AdninArmas, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin,Nuim Hidayat, Henri Shalahuddin, Budi Han-drianto, Tiar Anwar Bachtiar. 23

Tiar Anwar BachtiarPeserta Program Kaderisasi Ulama

Baznas-DDII; Ketua Umum

PP Pemuda Persis

P ada periode awal berdirinya Ne -gara Indonesia, terjadi perdebatanantara para tokoh umat Islam

tentang status Negara. Sebagian tokohpro bentuk Negara Islam, sebagian yanglain memilih substansi Islamnya daripadaben tuk negaranya. Dari wacana itu mun -cul metafora “pilih minyak babi cap ontaatau minyak onta cap babi”. Artinya “PilihNegara yang substansinya sekuler tapiberlabel Islam, atau pilih Negara yangsubstansinya Islam tapi berlabel sekuler”.

Dengan dihapusnya 7 kata dalam Pia -gam Jakarta dan realitas yang lain de fac -to jatuh pada pilihan yang kedua. UmatIs lam pun rela, karena sila KetuhananYang Maha Esa masih dapat mewadahisub stansi Islam. Masalahnya apakah se -mua masih ingat Gentleman Agreementitu. “Negara ini bukan Negara Islam, tapisubstansinya Islam”. Ternyata tidak.

Di zaman Orde Lama umat Islam ditu -duh seakan masih menginginkan pilihanpertama. Umat Islam pun dilukis seakanberwajah subsversif. Umat Islam justrudipaksa kompromis dengan komunisme.Tidak jelas dimana substansi Islam dite -rapkan. Pelajaran Agama di sekolah-se -kolah pun tidak ada. Di zaman Orde Baruupa ya memasukkan substansi Islam mu -lai nampak. Tapi tetap saja umat Islam di -b atasi dikawal dan dicurigai. Untuk ituumat Islam dipisahkan dari politik. Mottoyang ditawarkan Nurcholish Madjid “IslamYes Partai Islam No” seperti menguatkankebijakan itu.

Ketika reformasi bergulir tahun 1998,umat Islam seperti terlepas dari belenggude-politisasi. Para tokoh umat Islam punmendirikan partai-partai baru. Euforiaberpolitik umat Islam itu seperti memen-tahkan asumsi Nurcholish Madjid. Dalamsebuah symposium di Tokyo tahun 2008saya nyatakan ini adalah titik balik daride-politisasi Orde Baru. Realitasnya umatmau berpartai politik Islam (Partai Islam

Yes) dan juga ber-Islam (Islam Yes).Tapi pernyataan saya dibantah oleh A.

Rabasa, pengkaji Indonesia dari Amerika.Tidak ada perubahan dalam politik Islamdi Indonesia, katanya. Umat Islam tetaptidak suka politik Islam. Buktinya perole-han parpol Islam tidak pernah menyamaisuara Masyumi pada Pemilu tahun 1955.Ini bukti bahwa umat Islam tidak mauberpolitik lagi.

Melihat perolehan partai politik Islampada tiga Pemilu pasca Reformasi yangsemakin menurun, nampaknya Rabasabenar. Tapi pertanyaan muncul lagi apa -kah benar umat Islam memperjuangkansubstansi Islam tanpa melalui partai po -litik. Jika jawabnya benar, maka asumsiCak Nur menjadi Salah. Jargon itu men -jadi “Partai Islam No, Islam No”. Natanya,kini umat Islam tetap berpolitik tapipindah memilih partai politik sekuler.

Apa yang salah pada partai politikIslam. Mengapa umat Islam sekarang ti -dak mampu menandingi prestasi Mas yu -mi. Agar lebih obyektif, kita bertanya pa -da Abul Ala al-Maududi dan Sayyid Qutb.Dua orang pemikir politik Islam zamanmodern.

Bagi al-Mawdudi umat Islam perlumelakukan transformasi gerakan intelek-tual. Gerakan itu perlu memasukkannilai-nilai kedalam anggota masyarakat,dengan mendidik dan menghasilkanilmuwan Muslim yang bervisi Islam dalamberbagai bidang ilmu. Berarti parpolIslam tidak punya lembaga ini.

Parpol Islam seharusnya mengikutilangkah-langkah Rasulullah, tulis al-Maududi. Setelah 10 tahun pemikiranIslam menjadi dewasa dan berubah dariidealisme menjadi organisasi yang kokoh.Organisasi yang kokoh didukung olehadministrasi yang sehat, ekonomi, keuan-gan dan penegakan hukum yang kuat,intelektual yang kommit terhadap Islam.

Berbeda dari al-Maududi, Sayyid Qutb

lebih menekankan agar partai politikIslam dapat menterjemahkan Islamdalam bentuk etika masyakat dan etikasosio-politik. Disini peran intelektualsangat penting. Karena itu intelektualdibalik partai politik Islam harus kuatimannya, konsisten, memiliki kemam-puan manajemen, memiliki kekuasaan,dan tetap menjalankan syariah. Dari sinikita bisa introspeksi : sudahkan sarankedua tokoh politik Islam itu dimiliki olehsemua parpol Islam?

Meskipun demikian perlu disadaribahwa partai politik Islam itu harus ber-

saing dengan partai-partai dan masya -rakat non-Islam. Dalam kompetisi itumenurut Dale F. Eickelman and JamesPiscatori dalam karyanya Muslim Politicsperlu menggunakan simbol-simbol aga -ma. Di sini symbol-simbol itu dalam pan-dangan al-Maududi dan Sayyid Qutb ada -lah pemahaman dan pengamalan Islamsecara konsekuens. Jadi pilihannya bukan“minyak babi cap onta atau minyak ontacap babi” tapi “minyak zaitun cap ontaatau minyak onta cap zaitun”. Universaltapi tetap berasas Islam atau Islam yanguniversal tanpa lupa moral. ■

Dr Hamid FahmyZarkasyi

Direktur INSISTS

Idealisme Politik Islam

MISYKAT Parpol IslamPrayogi/Republika

Page 2: Islamia-idealisme politik islam

D r Abdul Halim Uwais, di da -lam bukunya “Sebab- SebabRuntuhnya 33 Negara” , me -ma parkan sejarah ne gara-

ne gara Islam yang pernah berjaya ber -tahun-tahun, bahkan berabad-abad,akhirnya ambruk karena kerusakanmelanda negara tersebut. Para elite poli-tiknya tenggelam di dalam kemewahan.Mereka menghambur-amburkan harta,menzalimi rakyat jelata, larut dalamperpecahan dan perang saudara demisebuah kekuasaan. Akhirnya, krisismultidimensi melanda seluruh sendinegara, yang berujung pada hilangnyabenteng terakhir umat Islam yaituKhilafah Utsmaniyah.

”Jika (Kami) menghendaki untukmeng hancurkan suatu bangsa, makaKami jadikan orang-orang bourjuis di -antara mereka sebagai pemimpin , me -reka akan berbuat jahat, sehingga tiba -lah saat kehancurannya, dan Kami han-curkan bangsa tersebut dengan sehan-cur-hancurnya ” (QS. Al Isra’ : 16)

Kata ”Fasq” dalam ayat itu bermak-na: keluar. Artinya, para pemimpinbang sa itu telah keluar dari ajaran-ajaran Islam dan tidak berkhlak mulialagi. Berka ta Ibnu Atsir, seorang pakarSejarah Islam: “Bagi Allah sangatlahmudah untuk memenangkan Islam dankaum muslimin, akan tetapi karena parapemimpin Islam tidak ada lagi yangmempunyai nyali untuk berjihad danmemperjuangkan agama ini, sebaliknyamasing-masing dari mereka hanya sibukdengan kesenangan dan kemewahandunia, dan selalu berbuat zalim terha -dap rakyatnya, (maka kekalahanniscaya akan menimpa mereka ) dankeadaan seperti ini, lebih saya takutidari pada serbuah musuh “

Sangatlah tepat apa yang diny-atakan Ahmad Syauki bahwa: “Sung -guh, suatu bangsa akan selalu eksis se -lama mereka mempunyai akhlak. Jikaakhlak sudah hilang, maka bangsatersebut akan tumbang …”

Indonesia – sebuah bangsa yang be -sar – yang terpuruk menjadi bangsa le -mah dengan krisis multidimensinya per -lu melakukan renungan dan introspeksi:“Dan Allah telah membuat suatu pe rum -pamaan (dengan) sebuah negeri yangdahulunya aman lagi tenteram, rez kinyadatang kepadanya melimpah ruah darisegenap tempat, tetapi (penduduk)nyamengingkari nikmat-nikmat Allah; ka -rena itu Allah merasakan ke pada me rekapakaian kelaparan dan ke takutan, dise-babkan apa yang selalu me reka per buat. Dan sesungguhnya te lah datang ke padamereka seorang rasul dari merekasendiri, tetapi mereka mendustakannya;karena itu mereka dimusnahkan azabdan mereka adalah orang-orang yangzalim”. ( QS An Nahl : 112-113 ).

Pada ayat itu Allah memberi kan pe -rum pamaan tentang sebuah ne gara yangaman, sentosa, subur tanahnya, berlim -pah kekayaan alamnya. Tapi, ka renamereka kafir terhadap nikmat-nik matAllah, maka Allah menimpakan ke padamereka krisis multidimensi, termasukkelaparan dan ketakutan. Me reka men -dustakan para rasul dan ber buat zalim.

Ironisnya, saat negara mengalamiguncangan hebat, justru ada sebagiandari kaum intelektual mengajak masya -rakat untuk meninggalkan agama danmemisahkannya dari percaturan politikkenegaraan. ”Maka mengapa merekatidak memohon (kepada Allah) dengantunduk merendahkan diri ketika datangsiksaan Kami kepada mereka, bahkanhati mereka telah menjadi keras, dansyaitanpun menampakkan kepada me -reka kebagusan apa yang selalu merekakerjakan. Maka tatkala mereka melu-pakan peringatan yang telah diberikankepada mereka, Kami-pun membuka -kan semua pintu-pintu kesenanganuntuk mereka; sehingga apabila merekabergembira dengan apa yang telahdiberikan kepada mereka, Kami siksamereka dengan sekonyong-konyong,maka ketika itu mereka terdiam berpu-

tus asa.” (QS Al An’am : 43-44)

Pilih PemimpinSeandainya suatu bangsa bertaqwa

dan beriman, pasti Allah akan mengu-curkan berkah dari langit dan bumi.”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilahKami akan melimpahkan kepada mere -ka berkah dari langit dan bumi, tetapimereka mendustakan (ayat-ayat Kami)itu, maka Kami siksa mereka disebab -kan perbuatannya. ” ( QS Al A’raf : 96 )

Abu Bakar As-Siddiq r.a. pernahmengi rim pesan kepada tentaranya diPerang Yarmuk: ”Hendaknya kalian ber -satu padu, dan ketika menghadapi musuhhendaknya kalian telah mene gak kanajaran-ajaran Allah, karena Allah akanmenolong siapa yang mau menegakkanagama-Nya, sebaliknya Allah akanmeninggalkan siapa yang mengingkari-Nya. Sesungguhnya kalian tidak-lahkalah karena jumlah yang se dikit, tetapikalian kalah, ketika kalian be rbuat dosa,maka hindarilah dosa-dosa tersebut “

Agar bangsa ini diberkahi Allah,maka akhlak dalam bernegara perluditegakkan. Al-Quran memberikansejumlah panduan: “Berkata Yusuf:“Jadikanlah aku bendaharawan negara(Mesir); sesungguhnya aku adalah orangyang pandai menjaga, lagi berpenge-tahuan ( QS Yusuf : 55).

Ayat ini memberikan pesan bahwaseorang muslim tidaklah sepantasnyauntuk meminta kekuasaan, ke cuali jikamemenuhi —paling tidak —dua kriteria,yaitu “amanah” dan “ca pable” (pengua -saan dan kecakapan terhadap sesuatupekerjaan). Karena itu, Rasulullah sawmenasehati Abu Dzar r.a. agar tidakmencalonkan diri menjadi gubernur,karena jabatan tersebut merupakanamanah dan akan menjadi penyesalanpada hari kiamat jika tidak mampumelaksanakannya.

Kriteria pemimpin itu dijelaskanjuga dalam al-Quran: “Salah seorang

dari kedua wanita itu berkata: “Ya ba -pakku ambillah ia sebagai orang yangbe kerja (pada kita), karena sesungguh-nya orang yang paling baik yang kamuambil untuk bekerja (pada kita) ialahorang yang kuat lagi dapat dipercaya(QS Al Qashas : 26)

Ayat ini mengisyaratkan bahwa pe -mimpin pada hakikatnya adalah se -orang pekerja dan pegawai yang dibayaroleh rakyat untuk melaksanakan tugasdan apa-apa yang diamanatkan kepa -danya. Dan sebaik-baik pegawai adalahyang mempunyai sifat kuat pada bidan-gnya dan mampu menjalankan amanah.Ini dikuatkan dengan Firman Allahtentang pengangkatan Thalut sebagaiRaja Bani Israel: “..Nabi (mereka) ber -ka ta: “Sesungguhnya Allah telah me -milih rajamu dan menganugerahinya il -mu yang luas dan tubuh yang perkasa..”(QS Al Baqarah : 247)

Memilih pemimpin negara perlu ha -ti-hati berdasarkan kriteria yang idealsesuai panduan Islam. Tentu saja, faktoriman dan taqwa menjadi keteladananutama. Jangan memilih pe mim pin se -cara sembarangan, hanya karena faktor-faktor kekerabatan atau fanatismekelompok, sehingga kualitas diabaikan.

Dalam Kitab as-Siyasah Syar’iyyah,Syaikhul Islam Ibn Taimiyah mengutiphadits Rasulullah SAW yang mem-peringatkan kaum Muslimin tentangma salah kepemimpinan: “Siapa yangmengangkat seseorang untuk mengelolaurusan (memimpin) kaum Muslimin, la -lu ia mengangkatnya, sementara padasaat yang sama dia mengetahui adaorang yang lebih layak dan sesuai (ash -lah) daripada orang yang dipilihnya,maka dia telah berkhianat kepada Allahdan Rasul-Nya.”(HR Al-Hakim).

Jadi, jika ingin bangsa kita menda-pat kucuran berkah dari langit danbumi, sepatutnya tidak memilihpemimpin yang tidak punya komitmenmenegakkan keimanan dan ketaqwaan.Wallahu a’lam bish-shawab. ■

Akhlak Bangsa

24 REPUBLIKA KAMIS, 20 MARET 2014JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

“Rugi untungnya perjuangan, harusdinilai dengan rugi untungnya Islam”-

Prawoto Mangkusasmito

Partai Masjumi (1945-1960) adalah satu-sa tu -nya partai Islam yang di -lahirkan dari KongresUmat Islam Indonesiayang diselenggarakan di

Jog jakarta pada 7-8 November 1945.Kongres yang dihadiri oleh ratusanulama dari berbagai latarbelakang orga -nisasi massa Islam ini bisa disebut seba -gai gerakan aliansi (harakah tan siqi yah),dimana para tokoh Islam dari Muham -madiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Irsyad,Per satuan Islam (Persis), dan lain-lainberkumpul dalam satu wadah perjuang -an politik Islam demi tegaknya cita-citaIslam di negeri ini.

Tokoh-tokoh seperti KH HasjimAsj’ari (NU), Haji Agus Salim danMohammad Roem (Ge rakan Penjadar),Mohammad Natsir (Persis), Ki BagusHadikusumo (Mu ham madiyah), Soe -kiman (PSII dan pernah menjadi KetuaPerhimpunan Indonesia), dan lain-lainadalah sebagian dari tokoh-tokoh umatdan founding fathers bangsa ini yangterlibat dalam mendirikan partaiberlambang bintang dan bulan ini.

Dua diantara inisiator berdirinyaPartai Masjumi; Mohammad Natsir danKH Abdul Wahid Hasjim adalah duaorang dari latarbelakang yang berbedanamun memiliki kesamaan visi dalamper juangan. Natsir dikenal sebagai ak -tivis Persis, tokoh pergerakan yang men-guasai literatur-literatur Barat secarabaik, berpendidikan modern, dan mem-punyai visi keislaman yang kuat. Se dang -kan KH Abdul Wahid Hasjim ada lah putra seorang alim, pendiri Nah dhatulUlama, Hadratus Syaikh KH HasjimAsj’ari.

Wahid banyak menguasai literatur-literatur klasik Arab dan ditempa dalamlingkungan tradisi pesantren yang kental.Dua entitas yang berbeda inilah yangkemudian melebur dalam satu visi per-juangan. Sehingga para aktivis PartaiMasjumi dikenal tak hanya jago dalammemaparkan dalil-dalil agama, namunjuga menguasai ilmu-ilmu modern terkaitorganisasi dan pemerintahan.

Struktur pertama saat partai inididirikan mencerminkan sinergi yangcukup apik. Mereka yang berpendidikanmodern seperti Dr. Seoekiman, ditem-patkan sebagai ketua umum yang bertu-gas sebagai pelaksana harian (lajnahtanfidziyah). Sementara yang berlatar-belakang ulama seperti KH HasjimAsj’ari ditempatkan sebagai KetuaMajelis Syura yang bertugas mengontrolkebijakan partai agar tak melencengdari visi dan misi perjuangan. Meskibanyak dari aktivis Masjumi yangberpendidikan Barat, namun tak adadari mereka yang mempunyai pemikiransekular dalam aktivitas politik dan cita-cita kenegaraannya.

Sejak didirikan, Partai Masjumimem bawa identitas yang jelas, sebagaipartai yang berasaskan Islam dan bertu-juan ”Terlaksananya ajaran dan hukumIs lam, di dalam kehidupan orang se orang, masyarakat dan negara Republik In -donesia, menuju keridhaan Ilahi.” (Ang -garan Dasar Partai Masjumi, Pasal III).

Masjumi berkeyakinan, Islam se -

bagai asas adalah ruh perjuangan, pedo -man dan sistem hidup (way of life) yangditurunkan oleh Allah untuk mengaturkehidupan manusia dalam lingkup yangluas.Kehidupan berpolitik, kehidupansosial, ekonomi, budaya, dan lain seba -gai nya, tak boleh lepas dari aturan-atur an Allah.

Dalam Tafsir Asas Partai Masjumidijelaskan, pijakan partai ini dalamgerak perjuangannya berlandaskan pa -da firman Allah SWT dalam surah AliIm ran: 112 “Ditimpakan atas merekakehinaan dimana saja mereka berada.Kecuali orang-orang yang tetap men jagahubungannya dengan Allah dan hubun-gannya dengan sesama manu sia...”.

Dua pedoman kunci; Menjaga hu -bungan de ngan Allah (hablum minallah)diwujud kan dengan upaya menjadikanajar an-ajaran Islam sebagai pijakandalam bernegara, dimana sya riat Islambisa di tegakkan bagi para pe meluknyadan menjaga hubungan de ngan manusia(hablum minannas) diwujudkan denganmembangun kebersa maan dengan umatlain demi tercipta nya keadilan, kese-jahteraan, dan ke mak muran secara me -ra ta dalam nilai-nilai yang universal,tanpa saling mengganggu dan meng-gadaikan keyakinan masing-masing.

Visi Partai Masjumi dalam mense jah -terakan rakyat dan membangun pe -merintahan, di bingkai dalam cara pan -dang (worldview) Islam. Kejelasan iden -ti tas ini ditegaskan secara gamblangsebagai wujud dari rasa percaya diri dangentlement dalam menawarkan ga gas -an-gagasan, disamping untuk se cara ter -buka beradu konsep bagi tegaknya se -buah negara, yang dalam bahasa Mas ju -mi disebut sebagai “baldatun thay yi ba -

tun wa Rabbun ghafur”, negeri yang di -lim pahi dengan berbagai kebaik an danampunan dari Allah SWT. “Islam itu ka -lau besar tidak melanda, kalaupun tinggimalah melindungi,” demikian Mo ham -mad Natsir memberikan jamin an jikaumat Islam berada di tampuk kekuasaan.

Partai Masjumi membangun sebuahtoleransi dalam batasan-batasan yangjelas, dimana masing-masing umat ber -agama bisa saling menghargai tanpasaling mengorbankan akidahnya. Tole -ransi yang dibatasi dengan identitasmasing-masing, toleransi, yang tidak ber -arti harus meyakini kebenaran aga malain sebagaimana ajaran pluralisme aga -ma pada saat ini.

Toleransi dalam batas-batas kemanu-siaan yang tidak merusak dan menggang-gu keyakinan masing-masing, itulah yangmenjadi pegangan Masjumi. Denganberpedoman pada su rah Al-Baqarah:225soal tidak bo leh nya saling memaksadalam me nyiar kan aga ma, Partai Mas -jumi me ne gas kan,“Iman hanjalah dapatdi per oleh de ngan rahmat Kurnia Ilahi,tidak diha silkan dengan paksaan; dalamper gaul an hidup dan dalam peraturanne gara diakui kemerdekaan orang lainatau ke sopanan umum dan tertib kea-manan negeri.”

Sikapa tasamuh (toleran) juga dis-ampaikan oleh Ketua Partai Masjumi,Prawoto Mangkusasmito dalam SidangMajelis Konstituante tahun 1959, dima -na perdebatan soal dasar negara ber -langsung sangat sengit dan memakanwaktu cukup lama.

Prawoto menegas kan, “Kepada pen-ganut agama-agama lain di luar Islam,kami njatakan bahwa kami tidakmenaruh keberatan sedikitpun djika

saudara-saudara di dalam rumusan itu(UUD) menginginkan pula djaminanuntuk menunaikan sjariat agama golon-gan saudara.” (Lihat: Alam Fikiran danDjedjak Perdjuangan Pra wotoMangkusasmito (1972: 90-91).

Sebagai partai yang membawa iden-titas Islam, Prawoto mewanti-wanti pa -ra aktivis Masjumi, banyak partai ha -nya lah alat, bukan tujuan. Begitu punkur si dan kabinet, bukanlah tujuan. Iaber pesan, jangan karena silau pada alatyang dipakai, kemudian lupa akan tu -juan.

Ia menegaskan, “Tujuan perjuanganumat Islam ialah keselamatan dan keba-hagiaan dunia wal akhirah. Tidak jarangberkisarnya alat menjadi tujuan. Alatyang cuma berguna selain digunakanmenurut fitrahnya, sebaliknya menjadiazab jika keliru mema kainya, berubahmenjadi tujuan yang dipujanya dandipertahankan mati-matian, ka dang kaladengan jalan dimana batas ha lal danharam kurang diperhatikan...” (Ibid).

Partai Masjumi dengan segala kele -bihan dan kekurangannya adalah tela -dan yang pantas dijadikan cermin bagipartai-partai Islam saat ini. Para tokohPartai Masjumi, disamping tegas dankonsisten dalam perjuangan, juga seder-hana dalam kehidupan sehari-seh a ri.Se jarah mencatat, meski banyak darimereka mendapat posisi sebagai pejabatnegara, namun mereka tetap hidup da -lam kesederhanaan dan kebersahajaan.Sebagai partai yang membawa identitasIslam, sebagaimana kata ketua umumterakhir Partai Masjumi, PrawotoMang kusasmito: “Rugi untungnya per-juangan harus dinilai dengan rugi un -tungnya Islam!” ■

ArtawijayaPenulis Buku-buku

Sejarah

Dr Ahmad ZainAn-Najah

Ketua Majlis Fatwa Dewan Dakwah

Islamiyah Indonesia

Keteladanan Partai Masjumigerbangtelekomunikasi.com

Page 3: Islamia-idealisme politik islam

Hujjatul Islam Imamal-Ghazali dalam ki -tab Ihya’ Ulumuddinjuz II mengatakan:“Se sungguhnya, ke -rusakan rakyat di se -

babkan oleh kerusakan para penguasa-nya, dan kerusakan penguasa disebab-kan oleh kerusakan ulama, dan kerusa-kan ulama disebabkan oleh cinta hartadan kedudukan; dan barang siapa di -kuasai oleh ambisi duniawi ia tidakakan mampu mengurus rakyat kecil,apalagi penguasanya. Allah-lah tempatmeminta segala persoalan” (Ihya’Ulumuddin II hal. 381).

Bagi Imam al-Ghazali, krisis yangmenimpa suatu negara dan masyarakatberakar dari kerusakan yang menimpapara ulamanya. Karena itu, reformasiyang dilakukan Sang Imam dimulaidengan memperbaiki para ulama. Selainitu dalam pandangannya, pemimpinnegara tidak boleh dipisah dari ulama.Ulama tidak boleh ditinggalkan, seba-gaimana agama tidak boleh ditinggal-kan oleh negara. Ulama pun harus mem-berikan kontribusinya dengan nasihatdan peringatan terutama nasihat-nasi -hat akidah dan adab kepada pemimpin.

Usaha-usaha perbaikan politik yangdi lakukan Imam al-Ghazali dengan me -nerapkan amar ma’ruf nahi munkarkepada ulama sekaligus kepada pengua-sa. Tahapan usaha yang dilakukan ada -lah, peringatan, kemudian nasehat.Imam al-Ghazali sangat berkomitmenterhadap faktor perbaikan dan pemba-haruan. Baginya, seorang ulama atauilmuwan semestinya melakukan refor-masi konstruktif untuk kebaikan politikdi negara. Mereka tidak boleh diam, ka -rena ini merupakan bentuk dari amarma’ruf nahi munkar.

Al-Ghazali pun telah menunjukkandirinya sebagai ulama yang memilikipemikiran cemerlang, yang diseganidan diterima oleh para pejabat negaraserta para ulama lain pada zamannya.Kepada pemimpin negara, ia memberinasihat bagaimana cara menjalankansebuah sistem kenegaraan yang mem-pertimbangkan adab untuk kemaslaha-tan bersama dengan pemimpin yangmempunyai integritas tinggi ditopangdengan kekuatan syariah.

Pikiran-pikiran utama Imam al-Ghazali tentang politik dituangkan da -lam buku al-Tibr al-Masbuk fi Nasihati

al-Muluk. Buku ini adalah kumpulannasihat yang ditujukan kepada SultanMuhammad ibn Malik Syak dari dinastiSaljuk. Kandungan utama kumpulansurat-surat nasihat itu dapat dikelom-pokkan ke dalam dua poin besar. Per -tama, Imam al-Ghazali memprioritas-kan pada kekuatan akidah tauhid.Kedua, berisi naihat-nasihat moral,keadilan keutamaan ilmu, dan ulama.

Dalam awal naskah nasihatnya,Imam al-Ghazali memulai dengan kai -dah-kaidah Iman. Dalam bab ini, di -samping menginginkan sultan tetaployal pada keimanan yang benar, al-Gha zali mengingatkan sultan bahwapenguasa tertinggi di dunia ini adalahal-Khalik (Allah Swt). Dalam hal ini,tampaknya juga secara implisit al-Gha -zali memberi peringatan bahwa kekua-saan sultan hanyalah titipan Allah Swt.

Allah memberi amanah kepada Sul -tan untuk menstabilkan negeri sesuaidengan syariat-Nya. Dalam sub-sub babKitabnya, al-Ghazali menulis tentangKe-Esaan-Nya; tiada satu pun yangmenyamai-Nya. Al-Ghazali mengingat-kan tentang akhirat dan tugas NabiMuhammad Saw.

Peduli politik Meskipun menulis banyak hal pada

masalah tashawuf dan berkonsentrasidi pesantrennya sendiri yang jauh dariIbu Kota Baghdad, Imam al-Ghazali te -tap sangat peduli dengan jalannya ke -kuasaan. Ia selalu menasehati para pen-guasa, agar selalu menegakkan kalimahTauhid. Nasihat Tauhid ini dimaksud-kan untuk melindungi pejabat-pejabatnegara agar tidak terpengaruh denganpemikiran Syi’ah Batiniyah yang ber-kembang pada zaman itu. KelompokBatiniyah ini terkenal sebagai kelompoksesat sempalan yang radikal.

Nasihat-nasihat imam al-Ghazali itusangat berpengaruh terhadap kestabilanpolitik Sultan Seljuk, terutama untukmeredam gerakan Syi’ah Batiniyah. Pe -nguasa Nizam al-Muluk akhirnya me -nyatakan bahwa Batiniyah adalah ke -lom pok sesat. Menurut Sultan, tujuanutama gerakan mereka sebenarnya ada -lah untuk menyingkirkan Muslim Sunni(baca Abu Hamid al-Ghazali, Fada’ihal-Batiniyah, hal 11).

Selanjutnya di pembahasan berikut-nya dalam kitab tersebut, Imam al-Gha -zali memulai dengan penjelasan tentang

adab dan etika seorang pemimpin. Yangper tama-tama harus dipahami, menurutImam al-Ghazali adalah mengetahuihakikat kepemimpinan (al-wilayah) danbahaya-bahayanya – jika tidak amanah.

Al-Wilayah (kekuasaan) adalah ke -nikmatan yang diberikan oleh Allah Swtjika digunakan untuk kemaslahatanumat manusia. Maka, apabila seseorangdiberi kenikmatan tersebut dalam hi -dupnya, akan tetapi tidak mengetahuiha kikat nikmat tersebut dan justru se -balikanya ia berbuat dzalim dengan ku -kuasaannya serta mengikuti hawa naf-sunya. Pemimpin yang demikian, kataImam al-Ghazali, telah menempatkanposisinya sebagai musuh Allah Swt.

Jika seseorang telah menempatkanposisinya sebagai musuh Allah Swt se -bagaiman tersebut di atas, maka inilahtitik bahaya seorang pemimpin. Ra -sulul lah Saw pernah mengingatkan,bah wa seorang pemimpin harus mem -per hatikan tiga perkara. Pertama, apa -bila rakyat meminta/membutuhkan be -las kasih, maka sang khalifah wajib ber -bagi kasih kepada mereka. Kedua, apa -bila menghukumi mereka maka berbu-atlah adil. Ketiga, laksanakan apa yangtelah kamu katakan (tidak menyalahijanji) (Al-Tibr al-Masbuk fii Nasihat al-Muluk, hal. 4).

Peran UlamaKarena itu, Imam al-Ghazali meng -

ingatkan, bahwa seorang Sultan atauKha lifah tidak boleh meninggalkan ula -ma. Namun, seorang Sultan juga haruscer mat, tidak sembarang ulama yangharus diminta nasihat. Ulama Suu’ (ula -ma jahat) justru menjerumuskan negarapada kerusakan. Cirinya, mereka selalumemuji-muji raja secara tidak wajar,tujuan dakwahnya selalu mengarahpada duniawi. Sebaliknya seorang ula -ma sejati (yang disebut al-Ghazali se -bagai “ulama al-akhirah”), sama sekalitidak mengharapkan balasan uang daritangan seorang raja. Ia memberi nasihatikhlas karena meinginginkan perbaikandalam diri raja, negara dan masyarakat.

Dari usaha-usaha nasihatnya ke -pada khalifah terlihat bahwa memang,negara yang ideal adalah negara yangorang-orangnya memiliki basis Islamyang kuat, sehingga negara diurus de -ngan parameter syari’ah. Usaha al-Gha -zali menuai hasil yang bagus, kadaannegara stabil, syari’ah diamalkan, danpemikiran-pemikiran menyimpangtidak dihirau oleh warga negara, danbanyak kerajaan-kerajaan kecil yangbergabung, mendukung Nizam Muluk.

Setelah seorang pemimpin memilikiworldview Islam yang kokoh, mengeta-hui hakikat kekuasaan, maka hal yangjuga penting adalah, menghindari sifattakabbur. Karena, menurut al-Ghazali,biasanya setiap pejabat pasti dicobadengan rasa takabbur. Takabbur se -orang pemimping adalah penyakit hatiyang sangat berbahaya, karena akanmendorong pada perbuatan saling ber-musuhan yang tentu menarik pada per-tumpahan darah (Al-Tibr al-Masbuk fiiNasihat al-Muluk, hal. 8).

Seorang raja haruslah rela berdeka-tan dengan rakyat kecil, melepas bajukesombongan. Begitu pentingnya me -menuhi kebutuhan rakyat kecil, al-

Ghazali bahkan berfatwa bahwa men-datangi rakyat untuk memberi sesuapkebutuhannya adalah lebih baik dari-pada menyibukkan diri beribadah sun -nah. Mereka, rakyat kecil, adalah le -mah, maka harus deperlakukan denganlembut dan penuh kasih. Ia juga meng -ingatkan Sultan agar jangan sekali-kalimenerima suap dari rakyatnya denganmeninggalkan syariat.

Mengenai pemimpin ideal, Imam al-Ghazali berpendapat, bahwa pemimpinharus memiliki syarat, diantaranya:mampu berbuat adil di antara masya-rakat (tidak nepotis), melindungi rakyatdari kerusakan dan kriminalitas, dantidak dzalim (tirani).

Selain itu, seorang pemimpin harusmemiliki integritas, penguasaan dalambidang ilmu negara dan agama, agardalam dalam menentu kan kebijakan iabisa berijtihad dengan benar, sehatpanca inderanya (mata, pendengaran,lisan tidak terganggu yang dapat meng-halangi ia menjalankan tugas), keempat,anggota badannya nor mal tidak cacatyang dapat mengganggu tugas, pembe-rani memiliki keahlian sia sat perang,dan kemampuan intelektual untuk me -ng atur kemaslahatan rakyat.

Ada dua hal penting yang ditekan-kan oleh Imam al-Ghazali dalamnasihat-nasihatnya, yaitu penguatanakidah dan adab. Dua hal ini tampak-nya bagi al-Ghazali merupakan faktorutama menjadi hamba Allah Swt yangsejati. Dengan istilah lain basicfaithyang ingin dikokohkan kepada parapejabat negara adalah merupakan pan-dangan dasar tentang iman.

Karena asas bagi setiap perilakumanusia, termasuk aktifitas-aktifitasilmiyah dan teknologi. Setiap aktifitasmanusia akhirnya dapat dilacak padapandangan hidupnya, dan denganbegitu aktifitasnya itu dapat direduksikedalam pandangan hidup. Maka se -orang khalifah yang memiliki pandang -an hidup Islam yang kokoh, maka semuakebijakannya tak terlepas dari pola fikirIslam.

Sedangkan adab menjadi pentingka rena manusia yang beradab (Insanadabi) adalah orang yang menyadari se -penuhnya tanggung jawab dirinya ke -pada Tuhan Yang Maha Benar, yang me -ma hami dan menunaikan keadilah ter -ha dap dirinya sendiri dan orang lain da -lam masyarakatnya; yang terus ber upa -ya meningkatkan setiap aspek da lamdirinya menuju kesempurnaan ma nusia.Pemikiran tersebut lahir dikarenakantantangan besar yang dihadapai imamal-Ghazali pada masa itu. Tan ta nganperang pemikiran dan degradasi moral.Maka perbaikannya pun dengan me - nawarkan konsep adab dan menjawabtantangan pemikiran Syi’ah Batiniyah.

Kesimpulannya, Imam al-Ghazali —dalam teori kenegaraannya — menguta -makan perpaduan moral dengan ke kua -saan. Negara dan pemerintahan di pim -pin oleh manusia biasa, akan tetapi ha -rus memiliki moral yang baik. Demi me -wujudkan kesejahteraan masyarakat se -cara universal, kebahagian dunia danak hirat. Maka ia memandang, agamadan negara tidak bisa dipisahkan; aga -ma adalah pondasi, sedangkan pemerin -tahan adalah penjaga. Wallahu a’lam. ■

25REPUBLIKA KAMIS, 20 MARET 2014JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

NASIHATPOLITIKImam al-Ghazali

Kholili HasibPeneliti Institut

Peradaban Surabaya

Rahmad/antara