ISLAMIA 24 OKTOBER 2013 EB

3
E en Holandsche Kwa jongen ”, kurang lebih ar- tinya “Begajul Belanda “, ada- lah artikel dalam Bahasa Belanda yang ditulis oleh Syafruddin Prawiranegara di Majalah USI (Unitas Studiosorum Indoneesien- sis / Perhimpunan Mahasiswa Indone- sia). Artikel tersebut merupakan protes atas pernyataan Profesor Eggens, yang menyebutkan bahwa Bahasa Indonesia (yang saat itu disebut Bahasa Melayu) merupakan bahasa primitif yang tidak mungkin menjadi bahasa ilmu. Menurut Syafruddin pendapat itu tidak layak keluar dari mulut seorang guru besar, apalagi Prof. Eggens baru saja datang dari Belanda dan belum mem- pelajari Bahasa Indonesia secara men- dalam. Oleh Senat Fakultas (Dewan Guru Besar) melalui ketuanya, Prof Zeylemaker, Syafruddin disuruh memin- ta maaf. Tapi, Syafruddin hanya bersedia meminta maaf jika Prof. Eggens meminta maaf terlebih dahulu kepada Bangsa Indonesia umumnya, dan kepada maha- siswa-mahasiswa Indonesia, khususnya (Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah SWT, cet. II (Jakarta : Pustaka Jaya, 2011:83). Keberpihakan terhadap Bahasa Melayu juga diperlihatkan oleh Haji Agus Salim. Cendekiawan yang mengua- sai 7 bahasa, dan sangat fasih berbahasa Belanda ini, lebih memilih untuk meng- gunakan Bahasa Melayu, saat berpidato di sidang Voolkstraad, meskipun oleh pimpinan sidang diminta untuk meng- gunakan Bahasa Belanda. (http:/m/repu- blika.com/berita/khazanah/12/04/24/m2 yi6c-haji-agus-salim-sang-pembela- kebenaran). Bahasa Melayu pada saat itu memang merupakan bahasa yang dibenci oleh penguasa kolonial Belanda sebab identik dengan bahasa umat Islam. Bahasa Melayu Islam. Bahasa Melayu Islam Agama Hindu yang berkembang di Kepulauan Nusantara merupakan Hin- du bersifat estetik dan ritualistik. Unsur- unsur saintifik yang menekankan unsur rasional, intelektual, analisa sistematis dan logis ditolak. Sehingga penyajian Hindu di Indonesia lebih merupakan renungan para penyair bukan perenun- gan para pemikir dan filsuf (Al Attas, Islam dan Sekularisme (cet II), (Bandung : Institut Pemikiran Islam dan Pem- bangunan Insan /PIMPIN, 2011:214). Oleh karena itu, seiring dengan per- pindahan massal keagamaan masya- rakat di kepulauan Nusantara kepada Islam, maka bahasa masyarakat setem- pat mengalami Islamisasi dengan cepat. Hal ini dikarenakan sifat intrinsik Islam yang sangat membutuhkan penalaran logis dan rasional dalam pemahaman- nya, sehingga Islam itu sendiri sering dikategorikan sebagai scientific religion. Keharusan Islamisasi Bahasa untuk keperluan pemahaman Al Qur’an ini dapat dilihat dari pernyataan Syed Na- quib Al Attas bahwa. “Bahasa pertama yang mengalami Islamisasi adalah bahasa Arab itu sendiri. Dimana bahasa Arab setelah turunnya Al Qur’an menjadi bahasa arab “baru” dan tersempurnakan, yang memuat konsep-konsep dasar Islam, yang tidak berubah dan dipengaruhi perubahan sosial” (Al attas, Ibid: 56). Istilah Islamisasi Bahasa Melayu lebih tepat digunakan daripada Arabi- sasi, sebab motif penyerapan bahasa Arab ke dalam bahasa lokal variabel utamanya adalah upaya untuk men- dalami Al Qur’an. Itu seperti dike- mukakan oleh A.H. Johns: “Kitab suci Al Qur’an memiliki peranan sentral da- lam kehidupan umat Islam, dan semua komunitas umat Islam membutuhkan salinan kitab suci itu. Oleh sebab itu, menyalin Al Qur’an, mengajarkan aturan melafalkannya, serta mener- jemahkan makna ke dalam bahasa setempat merupakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan.” (Lihat, A.H. Johns, Penerjemahan Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu, Sebuah Renungan, dalam Henri Chambert-Loir et. al, Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : KPG, 2009). Terjemahan pertama Al Qur’an de- ngan tafsirnya ke dalam Bahasa Melayu adalah Tafsir Al Baydawi yang masyhur, yang menandai kebangkitan rasionalisme dan intelektualisme yang sebelumnya tidak berlaku di Kepulauan Melayu- Indonesia (Al Attas, Ibid: 217). Karya yang bersifat rasional dan filosofis pun bermunculan, seperti Tarjuman al Mus- tafid karya ‘Abd al-Rauf al-Singkili (1615 – 1693) yang merupakan saduran terbuka dari Tafsir Jalalayn. Kitab al-‘Aqaid al- Nasafiya karya Njm al-Din Al-Nasafi diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu Aceh di tahun 1590 dan masih banyak karya penerjemahan lain yang akhirnya memperkaya Bahasa Melayu Islam. Denis Lombard, memperkirakan ada 3.000 peristilahan Melayu yang berasal dari bahasa Arab dan Arab-Parsi (Lombard, 2008 : 163) . (Lihat, Vladimir Braginsky, Jalinan dan Khazanah Kutipan, Terje- mahan Dari Bahasa Parsi Dalam Kesu- sasteraan Melayu, dalam Henri Cham- bert-Loir et. al, Sadur, Sejarah Terjema- han di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, dan Denys Lombard, Nusa Jawa : Silang Budaya, Buku I, Batas-Batas Pemba- ratan (cet. IV), (Jakarta : Gramedia, 2008). Kata-kata serapan dari bahasa Arab yang digunakan dalam bahasa Melayu berkisar 15 – 20 persen (Johns, Ibid, 2009:49). Bahasa Melayu mengalami suatu perubahan besar, dimana, ia menjadi bahasa pengantar utama untuk menyampaikan Islam ke seluruh Ke- pulauan Melayu (Al Attas, Ibid, 216). Huruf sebagai wujud perlambangan bilangan, nada atau ujaran juga meng- alami perubahan seiring Islamisasi Ba- hasa ini. Huruf Pallawa dan Pranagari tidak lagi mampu menampung peristi- lahan yang masuk ke dalam Bahasa Melayu, dan akhirnya memunculkan Huruf Arab Jawi sebagai medium da- lam penulisan Bahasa Melayu. Proses ini berlangsung mulai abad ke 11, sesuai bukti arkeologis yang ditemukan di Pahnrang, pesisir tengah Vietnam, yang berasal dari tahun 1.050 M. Selain itu batu nissan Raja-Raja Pasai (1237 M) dan prasasti Batu Trengganu (1303) menunjukkan pemakaian huruf Arab dalam penulisan Bahasa Melayu. Pada pada tahun 1600, huruf Arab Jawi me- rupakan satu-satunya huruf yang digu- nakan untuk menulis dalam bahasa Me- layu (Johns, Ibid, 51). Satu-satunya wi- layah yang belum menggunakan bahasa Melayu dan huruf Arab Jawi adalah sebagian wilayah Jawa, yakni Mataram. Jawa, Sebuah Anomali Mataram, di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo, mela- kukan Islamisasi besar-besaran melalui pendidikan Islam massal kepada ma- syarakat. Di setiap kampung diadakan tempat untuk belajar membaca Al Qur’an, tata cara beribadah dan ajaran dasar Islam seperti rukun iman dan rukun Islam. Saat itu, apabila ada anak berusia 7 tahun belum bisa membaca al Qur’an, ia akan malu bergaul dengan teman-temannya. Selain itu, juga dila- kukan penerjemahan kitab-kitab besar berbahasa Arab dalam kajian yang bersistem bandongan (halaqah). Kitab- kitab itu meliputi kitab Fiqih, Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam dan Tasawuf. Juga Nahwu, Sharaf dan Falaq. Sistem ka- lender juga disesuaikan dengan sistem Islam. (Lihat, Mahmud Yunus, Prof, Dr. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1996) Sayangnya, rintisan yang dilakukan oleh Sultan Agung ini tidak dilanjutkan oleh pewarisnya, yakni Amangkurat I yang lebih memilih dekat dengan VOC dan berhadapan dengan kaum santri di bawah pimpinan Trunojoyo. Ketergan- tungan militer pada VOC menyebabkan penerusnya, yakni Amangkurat II tidak mempunyai pilihan kecuali memberikan sebagian pesisir kepada VOC. Hal ini membuat komunikasi dengan pusat- pusat Studi Islam di Asia Selatan dan Timur Tengah menjadi sulit (Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogykarta : LKiS, 2008:16-17). Stagnasi proses Islamisasi di bumi Mataram ini kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan eksperimen “Nativisasi Kebu- dayaan”, yakni mengembalikan Jawa kepada peradaban pra-Islam. Pada tahun 1830 Pemerintah kolonial Belanda men- dirikan Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) di Surakar - ta, yang merupakan tempat berkumpul para ahli-ahli Jawa berkebangsaan Belanda. Para javanolog Belanda ini lebih jauh menggali kesusastraan, bahasa dan sejarah Jawa kuno yang telah lama menghilang di kalangan orang Jawa. Pa- ra Javanolog Belanda mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta. Javanolog Belanda lah yang “mene- mukan”, “mengembalikan” dan “mem- berikan makna terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Beland. (Lihat, Takashi, Shiraisi, Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, (Jakarta: Grafiti Press, 1997:7). Lembaga ini akhirnya berhasil menciptakan se- buah kultur menjadikan Islam sebagai unsur asing dalam budaya Jawa. De-Islamisasi bahasa Translation bukan sekedar proses mengartikan secara leksikal dan gra- matikal adalah proses mengungkapkan makna suatu ajaran, buku atau puisi ke dalam bahasa lain (Johns, 2009 : 49). Ke- samaan huruf tentu lebih memudahkan proses asimilasi, adapsi dan adopsi kon- sep-konsep Islam ke dalam bahasa lokal. Dan Pemerintah Kolonial memahami betul akan hal ini. Oleh karena itu, untuk menjalankan apa yang disebut sebagai oleh mantan Zending consul Van Rand- wijk sebagai”Strategi Memangkas Islammaka pengajaran bahasa Melayu harus dihentikan, dengan jalan memunculkan dialek daerah pra Islam (Lihat, Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian... 1995 :144). Karel Frederick Holle misalnya, di tahun 1865 menerbitkan buku cerita rak- yat Sunda yang dibagikan kepada pen- duduk, dengan tulisan Sunda yang meru- pakan varian artifisial tulisan Jawa. Padahal, Holle sendiri mengakui bahwa masyarakat Sunda lebih mengenal huruf Arab daripada huruf Sunda. Tetapi bahasa dan huruf Arab harus dibatasi karena akan memperkuat pengaruh orang yang fanatik terhadap agama (Steenbrink, Ibid, 107). Selain itu juga dilakukan politik bahasa dengan men- jadikan huruf Latin sebagai huruf resmi di administrasi pemerintahan, perdagan- gan dan lembaga pendidikan. Dengan demikian bahasa Melayu dan huruf Arab Jawi makin terkucil dari masyarakat. Proses Latinisasi huruf ini, pada dasarnya adalah proses westernisasi dan de-Islamisasi yang sejalan dengan politik asosiasi oleh Belanda. Dampak dari Romanisasi huruf ini menurut Al Attas adalah kebingungan dan kesala- han dalam memahami Islam. Sebab Romanisasi bahasa yang semula berhu- ruf Arab menjadi latin, secara berang- sur-angsur terjadi pemisahan hubungan leksikal dan konseptual antara umat Islam dengan Sumber Islam. (Al-Attas, Ibid, 156-157). Proses latinisasi ini akan menceraikan hubungan pedagogi antara kitab Suci Al Qur’an dengan bahasa setempat. Terjadilah proses de- islamisasi, dimana terjadi penyerapan konsep-konsep asing ke dalam fikiran umat Islam, yang kemudian menetap dan mempengaruhi pemikiran serta penalaran mereka (Al-Attas, Ibid, 57). Puncak tragedi ini, di Indonesia ada- lah ketika ditahun 1970, pemerintah Orde Baru yang ketika itu masih didominasi pemikir sekuler, melarang pengajaran huruf arab Jawi di sekolah-sekolah umum. Akhirnya, huruf ini hanya tersisa di pesantren-pesantren salafiyah. Dam- paknya bisa kita lihat saat ini, dimana umat Islam mengalami semacam gegar intelektual. Kosa-kata asing yang berasal dari dunia Barat tidak lagi bisa diben- dung. Istilah-istilah baru yang menim- bulkan kontroversi di tengah masyarakat muslim datang silih berganti. Idiom- idiom pluralisme, multikulturalisme di- paksa masuk menggantikan konsep ke- majemukan masyarakat yang sudah ma- pan dan tidak mengundang kontroversi. Tidak berhenti sampai di situ, bah- kan kalau kita lihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga, yang diterbitkan Departemen Pendidik- an dan Kebudayaan dan Balai Pustaka, penulisan beberapa istilah baku agama Islam sudah meninggalkan kedisplinan dalam transliterasinya. Sebagai contoh, Al Qur’an ditulis Kuran (hal. 616), iba- dah sholat ditulis Salat (hal. 983). Hal ini merupakan kesalahan fatal, sebab sebagai agama wahyu, Islam sangat disiplin menjaga kemurnian baik istilah kunci agamanya, baik dalam pelafalan maupun pemaknaannya. Sayangnya saat ini, di internal umat Islam sendiri abai menjada bahasanya, agar tetap seiring dan senafas dengan Is- lam. Wacana Islam politik, relasi agama dan negara, tampil sangat dominan de- ngan segala variannya. Sementara wa- cana relasi agama dan bahasa semakin menghilang dari rak-rak kepustakaan kaum muslimin. Padahal agama dan bahasanya keduanya merupakan variabel utama pembentuk kebudayaan dan per- adaban. Wallahu a’lam bish shawab. KAMIS, 24 OKTOBER 2013 JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA Halaman ini terselenggara atas kerja sama Republika dengan INSISTS Dewan Redaksi: Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, Adnin Armas, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin, Nuim Hidayat, Henri Shalahuddin, Budi Han- drianto, Tiar Anwar Bachtiar. 23 Oleh Arif Wibowo Direktur Pusat Studi Peradaban Islam Solo S alah satu bukti adanya suatu pi- kiran seseorang adalah dari tutur katanya. Tutur kata mengguna- kan bahasa yang setiap katanya mengandung makna atau makna-makna. Setiap makna mengandung konsep dan konsep-konsep itu terajut dalam sebuah jaringan yang membentuk worldview. Ketika bangsa Melayu tidak memiliki istilah, ‘aql, qalb, nafs, fahm, ‘ilm, yaqin, jahl, sabab, musabbab, ‘aqibah, ruh, sadr dan sebagainya mereka pinjam dari ba- hasa Islam (Arab). Dari bahasa Islam itu digunakanlah istilah akal, kalbu, nafas, faham, ilmu, yakin, jahil, sebab, musabab, akibat, roh, sadar dan sebagainya. Generasi bangsa Melayu abad ke dua puluh tidak lagi sadar mereka telah meng- gunakan kendaraan bahasa Islam ketika mengungkapkan pikiran mereka. Sila-sila dalam Panca Sila menggunakan istilah adil, keadilan, beradab, rakyat, hikmat, permusyawaratan, perwakilan. Lembaga tertinggi Negara Indonesia menggunakan istilah Dewan Perwakilan Rakyat dan Ma- jelis Permusyaratan Rakyat, seluruhnya menggunakan bahasa Arab. Pertanyaan yang logis: apakah bangsa ini tidak punya istilah sendiri sehingga harus menggu- nakan bahasa Islam? Apakah bahasa In- donesia adil, beradab, hikmat, musya- warat, Majelis dsb.? Masuknya istilah-istilah suatu bangsa kedalam bahasa bangsa yang lain adalah sesuatu yang biasa dalam ranah peradab- an. Namun jika istilah-istilah yang masuk itu sangat asasi dan sentral dalam world- view bangsa itu maka yang satu telah menguasai yang lain. Berarti masuknya istilah-istilah Islam yang sangat asasi dan sentral ke dalam bahasa Melayu bisa diar- tikan penguasaan Islam terhadap bahasa dan bangsa Melayu. Kata-kata “ada” yang berarti menjadi, meng-ada atau sesuatu yang ada, sebe- lum Islam datang hanya menunjukkan sesuatu yang material, atau fisik yang meruang dan mewaktu. Setelah Islam datang kata-kata “ada” berubah secara radikal karena mendapatkan makna baru dari kata-kata “wujud” dari Islam. Kata- kata bahasa Arab wujud, yang menun- jukkan makna suatu konsep yang abstrak yang sekaligus juga suatu realitas Being atau sesuatu yang ada ( being), tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Bahasa Melalyu “ada” akhirnya menjadi kaya arti yaitu mengejawantah secara zahir tapi juga yang tersembunyi secara batin. Karena kata-kata baru itu bukan se- kedar kata, tapi mengandung makna dan bahkan konsep, maka Islam telah meru- bah cara pandang bangsa Melayu dalam berbagai hal melalui bahasa. Itulah yang kemudian diamati oleh Prof. Naquib al- Attas dan ia jadikan teori Islamisasi world- view bangsa Melayu. Apa yang ia maksud “teori Islamisasi” worldview itu adalah transformasi dari worldview Hindu-Bud- dha kepada worldview Islam. Namun al- Attas menggaris bawahi bahwa hanya sekedar pengertian dasar kata-kata saja tidaklah penting, yang penting adalah pengertian lain yang berhubungan den- gannya. “Sebab kata-kata itu tidak berdiri sendiri tapi memiliki konteks tertentu dan bidang semantiknya sendiri” Apakah Islam kemudian bisa disebut agama pendatang? Benar Islam dan juga agama-agama lain di dunia Melayu, seperti Hindu, Buddha, Katholik, Protes- tan, Kong Hu Chu adalah pendatang. Bah- kan agama Kristen di Eropah, Amerika, Australia adalah agama pendatang. Namun, Islam datang ke dunia Melayu melalui proses transformasi yang alami. Tidak ada peperangan, tidak ada paksaan dan tidak ada intimidasi. Pembawa kon- sep-konsep worldview Islam juga bukan raja-raja perkasa atau para sultan adi- daya. Pembawanya adalah para da’i, para saudagar dan para sufi yang saleh, santun yang ikhlas semata dan tidak memiliki kekuatan menekan atau memaksa. Selain karena cara damainya, worldview Islam diterima karena membawa pandangan baru yang sifatnya yang lebih rasional, ilmiyah dan universal. Di zaman modern ini istilah-istilah baru dari Barat masuk ke dalam bahasa umat Islam melalui disiplin ilmu, budaya, hiburan, media massa dan sebagainya. Istilah-istilah seperti sains, infotainment, kultur, feminisme, demokrasi, ideologi, politik, karakter, moral dan sebagainya telah menjadi bahasa umat Islam. Ini dapat pula disebut dengan Wester- nisasi melalui bahasa. Sebab makna-mak- na yang masuk kedalam pikiran umat Islam itu berasal dari worldview Barat. Hanya saja istilah Barat itu tidak seperti istilah Islam yang dapat mengganti dan membaratkan worldview Islam. Tentu ini karena kekuatan konsep Islam dalam pikiran bangsa Melayu. Selain itu istilah-istilah dari world- view Barat itu seringkali rancu. Bahkan akhir-akhir ini ditemukan bahwa makna dalam masyarakat Barat saat ini mengalami krisis yang akut. Mak- na dari berbagai istilah-istilah di sana itu tidak lagi tetap dan pasti. Setiap masya- rakat dapat memahami dengan sistim ni- lai masing-masing. Peter L Berger dan Thomas Luckman pengusung faham plu- ralisme itu lalu menulis buku berjudul Modernity, Pluralism and The Crisis of Meaning. Dalam buku ini ia menggam- barkan bahwa di dalam masyarakat mo- dern yang plural sistim nilai dan khazanah maknanya tidak lagi menjadi milik umum. Individu-individu dalam masyarakat tum- buh dengan tata nilai masing-masing dan tidak dapat digunakan untuk mensikapi makna kehidupan secara umum. Arti pernikahan bagi pasangan suami- istri, misalnya, sudah berbeda dari, atau malah bisa bertentangan dengan makna yang dipegang oleh masyarakat umum. Yang lebih serius lagi adalah ketika ma- syarakat tidak lagi memiliki standar nilai kehidupan, sehingga tidak dapat membe- dakan antara “adalah” dan “seharusnya”, katanya. Inilah yang disebut Peter Berger krisis makna (crisis of meaning). Itulah sebab Muslim yang menggunakan makna-makna dan konsep-konsep dari Barat mengalami kebingungan intelektual dan kegelisahan spiritual. Dr Hamid Fahmy Zarkasyi Direktur INSISTS MISYKAT Makna Bahasa Islamisasi dan De-Islamisasi Bahasa Indonesia

description

Journal Islamia di kolom Republika, kerja sama dengan insist. terbit setiap hari kamis setiap bulannya.

Transcript of ISLAMIA 24 OKTOBER 2013 EB

“Een Holandsche

K w a j o n g e n ” ,kurang lebih ar -tinya “BegajulBelanda “, ada -lah artikel da lam

Bahasa Belanda yang ditulis olehSyafruddin Prawiranegara di MajalahUSI (Unitas Studiosorum Indone esien -sis / Perhimpunan Mahasiswa Indo ne -sia). Artikel tersebut merupakan protesatas pernyataan Profesor Eggens, yangmenyebutkan bahwa Bahasa Indonesia(yang saat itu disebut Bahasa Melayu)merupakan bahasa primitif yang tidakmungkin menjadi bahasa ilmu.

Menurut Syafruddin pendapat itutidak layak keluar dari mulut seorangguru besar, apalagi Prof. Eggens baru sajadatang dari Belanda dan belum mem-pelajari Bahasa Indonesia secara men-dalam. Oleh Senat Fakultas (De wan GuruBesar) melalui ketuanya, ProfZeylemaker, Syafruddin disuruh memin -ta maaf. Tapi, Syafruddin hanya bersediameminta maaf jika Prof. Eg gens memintamaaf terlebih dahulu ke pada BangsaIndonesia umumnya, dan kepada maha-siswa-mahasiswa Indone sia, khususnya(Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara,Lebih Takut Kepada Allah SWT, cet. II(Jakarta : Pustaka Jaya, 2011:83).

Keberpihakan terhadap BahasaMelayu juga diperlihatkan oleh HajiAgus Salim. Cendekiawan yang mengua-sai 7 bahasa, dan sangat fasih ber ba hasaBelanda ini, lebih memilih un tuk meng-gunakan Bahasa Melayu, saat berpidatodi sidang Voolkstraad, mes kipun olehpimpinan sidang diminta untuk meng-gunakan Bahasa Belanda. (http:/m/ repu -blika.com/berita/khazanah/12/04/24/m2yi6c-haji-agus-salim-sang-pembela-kebenaran). Bahasa Me la yu pada saatitu memang merupakan bahasa yangdibenci oleh penguasa kolonial Belandasebab identik dengan bahasa umat Islam.Bahasa Melayu Islam.

Bahasa Melayu IslamAgama Hindu yang berkembang di

Ke pulauan Nusantara merupakan Hin -du bersifat estetik dan ritualistik. Un sur-unsur saintifik yang menekankan unsurrasional, intelektual, analisa sistematisdan logis ditolak. Sehingga pe nyajianHindu di Indonesia lebih merupakanrenungan para penyair bukan perenun-gan para pemikir dan filsuf (Al Attas,Islam dan Sekularisme (cet II), (Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pem -bangun an Insan /PIMPIN, 2011:214).

Oleh karena itu, seiring dengan per-pindahan massal keagamaan masya -rakat di kepulauan Nusantara kepadaIs lam, maka bahasa masyarakat setem-pat mengalami Islamisasi dengan cepat.Hal ini dikarenakan sifat intrinsik Islamyang sangat membutuhkan penalaranlogis dan rasional dalam pemahaman-nya, sehingga Islam itu sendiri seringdikategorikan sebagai scientific religion.

Keharusan Islamisasi Bahasa untukkeperluan pemahaman Al Qur’an inidapat dilihat dari pernyataan Syed Na -quib Al Attas bahwa. “Bahasa per tamayang mengalami Islamisasi adalah bahasaArab itu sendiri. Dimana bahasa Arabsetelah turunnya Al Qur’an men jadibahasa arab “baru” dan tersempur nakan,yang memuat konsep-konsep da sar Islam,yang tidak berubah dan dipengaruhiperubahan sosial” (Al attas, Ibid: 56).

Istilah Islamisasi Bahasa Melayulebih tepat digunakan daripada Ara bi -

sasi, sebab motif penyerapan bahasaArab ke dalam bahasa lokal variabelutamanya adalah upaya untuk men-dalami Al Qur’an. Itu seperti dike-mukakan oleh A.H. Johns: “Kitab suciAl Qur’an memiliki peranan sentral da -lam kehidupan umat Islam, dan se muakomunitas umat Islam membutuhkansalinan kitab suci itu. Oleh se bab itu,menyalin Al Qur’an, mengajarkanaturan melafalkannya, serta mener-jemahkan makna ke dalam bahasasetempat merupakan kegiatan-kegiatanyang diperlukan.” (Lihat, A.H. Johns,Penerjemahan Bahasa Arab ke dalamBahasa Melayu, Sebuah Re nungan,dalam Henri Chambert-Loir et. al,Sadur, Sejarah Terjemahan di Indonesiadan Malaysia, (Jakarta : KPG, 2009).

Terjemahan pertama Al Qur’an de -ngan tafsirnya ke dalam Bahasa Me layuadalah Tafsir Al Baydawi yang masyhur,yang menandai kebangkitan rasionalismedan intelektualisme yang sebelumnyatidak berlaku di Kepulauan Melayu-Indonesia (Al Attas, Ibid: 217). Karyayang bersifat rasional dan filo sofis punbermunculan, seperti Tarju man al Mus -ta fid karya ‘Abd al-Rauf al-Singkili (1615– 1693) yang merupakan saduran ter bukadari Tafsir Jalalayn. Kitab al-‘Aqaid al-Nasafiya karya Njm al-Din Al-Nasafiditerjemahkan ke dalam Bahasa Me layuAceh di tahun 1590 dan masih ba nyakkarya penerjemahan lain yang akhirnyamemperkaya Bahasa Melayu Islam. DenisLombard, memperkirakan ada 3.000peristilahan Melayu yang ber asal daribahasa Arab dan Arab-Parsi (Lom bard,2008 : 163) . (Lihat, Vladimir Bra ginsky,Jalin an dan Khazanah Ku tip an, Terje -mahan Dari Bahasa Parsi Da lam Kesu -sasteraan Melayu, dalam Hen ri Cham -bert-Loir et. al, Sadur, Seja rah Ter je ma -han di Indonesia dan Malay sia, (Ja karta: Kepustakaan Populer Gra media, 2009,dan Denys Lombard, Nusa Jawa : Si langBudaya, Buku I, Batas-Batas Pem ba -ratan (cet. IV), (Jakarta : Gramedia, 2008).

Kata-kata serapan dari bahasa Arabyang digunakan dalam bahasa Melayuber kisar 15 – 20 persen (Johns, Ibid,2009:49). Bahasa Melayu mengalamisua tu perubahan besar, dimana, iamenjadi bahasa pengantar utama untukmenyampaikan Islam ke seluruh Ke -pulauan Melayu (Al Attas, Ibid, 216).

Huruf sebagai wujud perlambanganbi langan, nada atau ujaran juga meng -ala mi perubahan seiring Islamisasi Ba -hasa ini. Huruf Pallawa dan Pra nagaritidak lagi mampu menampung peristi-lahan yang masuk ke dalam BahasaMelayu, dan akhirnya memunculkanHu ruf Arab Jawi sebagai medium da -lam penulisan Bahasa Melayu. Prosesini berlangsung mulai abad ke 11, sesuaibukti arkeologis yang ditemukan diPahnrang, pesisir tengah Vietnam, yangberasal dari tahun 1.050 M. Selain itubatu nissan Raja-Raja Pasai (1237 M)dan prasasti Batu Trengganu (1303)menunjukkan pemakaian huruf Arabdalam penulisan Bahasa Melayu. Padapada tahun 1600, huruf Arab Jawi me -rupakan satu-satunya huruf yang digu-nakan untuk menulis dalam bahasa Me -layu (Johns, Ibid, 51). Satu-satunya wi -layah yang belum menggunakan bahasaMelayu dan huruf Arab Jawi adalahsebagian wilayah Jawa, yakni Mataram.

Jawa, Sebuah AnomaliMataram, di bawah kepemimpinan

Sultan Agung Hanyokrokusumo, mela -

kukan Islamisasi besar-besaran melaluipendidikan Islam massal kepada ma -sya rakat. Di setiap kampung diadakantempat untuk belajar membaca AlQur’an, tata cara beribadah dan ajarandasar Islam seperti rukun iman danrukun Islam. Saat itu, apabila ada anakberusia 7 tahun belum bisa membaca alQur’an, ia akan malu bergaul denganteman-temannya. Selain itu, juga dila -kukan penerjemahan kitab-kitab besarberbahasa Arab dalam kajian yangbersistem bandongan (halaqah). Kitab-kitab itu meliputi kitab Fiqih, Tafsir,Hadits, Ilmu Kalam dan Tasawuf. JugaNahwu, Sharaf dan Falaq. Sistem ka -lender juga disesuaikan dengan sistemIslam. (Lihat, Mahmud Yunus, Prof, Dr.Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,(Jakarta : Hidakarya Agung, 1996)

Sayangnya, rintisan yang dilakukanoleh Sultan Agung ini tidak dilanjutkanoleh pewarisnya, yakni Amangkurat Iyang lebih memilih dekat dengan VOCdan berhadapan dengan kaum santri dibawah pimpinan Trunojoyo. Ketergan -tungan militer pada VOC menyebabkanpenerusnya, yakni Amangkurat II tidakmempunyai pilihan kecuali memberikansebagian pesisir kepada VOC. Hal inimembuat komunikasi dengan pusat-pusat Studi Islam di Asia Selatan danTimur Tengah menjadi sulit (Mark R.Woodward, Islam Jawa, KesalehanNormatif Versus Kebatinan, (Yogykarta: LKiS, 2008:16-17).

Stagnasi proses Islamisasi di bumiMataram ini kemudian dimanfaatkanoleh pemerintah kolonial Belanda un tukmelakukan eksperimen “Na tivisasi Kebu -dayaan”, yakni mengembalikan Jawakepada peradaban pra-Islam. Pa da tahun1830 Pemerintah kolonial Be landa men -dirikan Instituut voor het JavaanscheTaal (Lembaga Bahasa Jawa) di Sura kar -ta, yang merupakan tempat berkumpulpara ahli-ahli Jawa berkebangsaanBelan da. Para javanolog Belanda ini lebihjauh menggali kesu sastraan, bahasa dansejarah Jawa kuno yang telah lamamenghilang di kalang an orang Jawa. Pa -ra Javanolog Belan da mengembalikantradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) danmenghu bung kannya dengan Surakarta.Javanolog Belanda lah yang “mene-mukan”, “me ngembalikan” dan “mem -beri kan mak na terhadap Jawa masa lalu.Jika orang Jawa ingin kembali ke masalalunya, mereka harus melalui screeningpemikiran Javanolog Beland. (Lihat,Takashi, Shiraisi, Zaman Bergerak:Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926,(Jakarta: Grafiti Press, 1997:7). Lembagaini akhirnya berhasil menciptakan se -buah kultur menjadikan Islam sebagaiunsur asing dalam budaya Jawa.

De-Islamisasi bahasaTranslation bukan sekedar proses

mengartikan secara leksikal dan gra-matikal adalah proses mengungkapkanmakna suatu ajaran, buku atau puisi kedalam bahasa lain (Johns, 2009 : 49). Ke -samaan huruf tentu lebih memudahkanproses asimilasi, adapsi dan adopsi kon -sep-konsep Islam ke dalam bahasa lokal.Dan Pemerintah Kolonial memahamibetul akan hal ini. Oleh ka rena itu, untukmenjalankan apa yang disebut sebagaioleh mantan Zen ding consul Van Rand -wijk seba gai”Strategi Me mang kas Islam”maka pengajaran bahasa Melayu harusdi hentikan, de ngan jalan memunculkandia lek daerah pra Islam (Lihat, KarelSteen brink, Kawan dalam Pertikaian...

1995 :144).Karel Frederick Holle misalnya, di

tahun 1865 menerbitkan buku cerita rak -yat Sunda yang dibagikan kepada pen-duduk, dengan tulisan Sunda yang meru-pakan varian artifisial tulisan Ja wa.Padahal, Holle sendiri mengakui bah wamasyarakat Sunda lebih menge nal hurufArab daripada huruf Sun da. Tetapibahasa dan huruf Arab harus dibatasikarena akan memperkuat pengaruhorang yang fanatik terhadap agama(Steenbrink, Ibid, 107). Selain itu jugadilakukan politik bahasa de ngan men-jadikan huruf Latin sebagai huruf resmidi administrasi pemerin tah an, perdagan-gan dan lembaga pendidikan. Dengandemikian bahasa Me layu dan huruf ArabJawi makin terkucil dari masyarakat.

Proses Latinisasi huruf ini, padadasarnya adalah proses westernisasi dande-Islamisasi yang sejalan denganpolitik asosiasi oleh Belanda. Dampakdari Romanisasi huruf ini menurut AlAttas adalah kebingungan dan kesala-han dalam memahami Islam. SebabRomanisasi bahasa yang semula berhu-ruf Arab menjadi latin, secara berang-sur-angsur terjadi pemisahan hubunganleksikal dan konseptual antara umatIslam dengan Sumber Islam. (Al-Attas,Ibid, 156-157). Proses latinisasi ini akanmenceraikan hubungan pedagogi antarakitab Suci Al Qur’an dengan bahasasetempat. Terjadilah proses de-islamisasi, dimana terjadi penyerapankonsep-konsep asing ke dalam fikiranumat Islam, yang kemudian menetapdan mempengaruhi pemikiran sertapenalaran mereka (Al-Attas, Ibid, 57).

Puncak tragedi ini, di Indonesia ada -lah ketika ditahun 1970, pemerintah OrdeBaru yang ketika itu masih didominasipemikir sekuler, melarang pengajaranhuruf arab Jawi di sekolah-sekolahumum. Akhirnya, huruf ini hanya tersisadi pesantren-pesantren salafiyah. Dam -pak nya bisa kita lihat saat ini, dimanaumat Islam mengalami semacam gegarintelektual. Kosa-kata asing yang berasaldari dunia Barat tidak lagi bisa diben-dung. Istilah-istilah baru yang menim-bulkan kontroversi di tengah masyarakatmus lim datang silih berganti. Idiom-idiom pluralisme, multikulturalisme di -paksa masuk menggantikan konsep ke -majemukan masyarakat yang sudah ma -pan dan tidak mengundang kontroversi.

Tidak berhenti sampai di situ, bah -kan kalau kita lihat dalam Kamus BesarBahasa Indonesia (KBBI) edisi ketiga,yang diterbitkan Departemen Pendidik -an dan Kebudayaan dan Balai Pustaka,penulisan beberapa istilah baku agamaIslam sudah meninggalkan kedisplinandalam transliterasinya. Sebagai contoh,Al Qur’an ditulis Kuran (hal. 616), iba -dah sholat ditulis Salat (hal. 983). Halini merupakan kesalahan fatal, sebabsebagai agama wahyu, Islam sa ngatdisiplin menjaga kemurnian baik istilahkunci agamanya, baik dalam pelafalanmaupun pemaknaannya.

Sayangnya saat ini, di internal umatIslam sendiri abai menjada bahasanya,agar tetap seiring dan senafas dengan Is -lam. Wacana Islam politik, relasi aga madan negara, tampil sangat dominan de -ngan segala variannya. Sementara wa -cana relasi agama dan bahasa se ma kinmenghilang dari rak-rak kepusta kaankaum muslimin. Padahal agama danbahasanya keduanya merupakan variabelutama pembentuk kebudayaan dan per -adaban. Wallahu a’lam bish shawab. ■

KAMIS, 24 OKTOBER 2013JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

Halaman ini terselenggara atas kerjasama Republika dengan INSISTS

Dewan Redaksi: Hamid Fahmy Zarkasyi, Adian Husaini, AdninArmas, Syamsuddin Arif, Nirwan Syafrin,Nuim Hidayat, Henri Shalahuddin, Budi Han-drianto, Tiar Anwar Bachtiar. 23

Oleh Arif WibowoDirektur Pusat Studi Peradaban

Islam Solo

S alah satu bukti adanya suatu pi -kiran seseorang adalah dari tuturkatanya. Tutur kata mengguna -kan bahasa yang setiap kata nya

mengandung makna atau mak na-makna.Setiap makna mengandung konsep dankonsep-konsep itu terajut dalam sebuahjaringan yang membentuk worldview.

Ketika bangsa Melayu tidak memilikiis tilah, ‘aql, qalb, nafs, fahm, ‘ilm, yaqin,jahl, sabab, musabbab, ‘aqibah, ruh, sadrdan sebagainya mereka pinjam dari ba -hasa Islam (Arab). Dari bahasa Islam itudigunakanlah istilah akal, kalbu, nafas,faham, ilmu, yakin, jahil, sebab, musabab,akibat, roh, sadar dan sebagainya.

Generasi bangsa Melayu abad ke duapuluh tidak lagi sadar mereka telah meng -gunakan kendaraan bahasa Islam ketikamengungkapkan pikiran mereka. Sila-siladalam Panca Sila menggunakan istilahadil, keadilan, beradab, rakyat, hikmat,per musyawaratan, perwakilan. Lembagatertinggi Negara Indonesia menggunakanistilah Dewan Perwakilan Rakyat dan Ma -jelis Permusyaratan Rakyat, seluruhnyamenggunakan bahasa Arab. Pertanyaanyang logis: apakah bangsa ini tidak punyaistilah sendiri sehingga harus menggu-nakan bahasa Islam? Apakah bahasa In -donesia adil, beradab, hikmat, musya -warat, Majelis dsb.?

Masuknya istilah-istilah suatu bangsakedalam bahasa bangsa yang lain adalahsesuatu yang biasa dalam ranah peradab -an. Namun jika istilah-istilah yang masukitu sangat asasi dan sentral dalam world-

view bangsa itu maka yang satu telahmenguasai yang lain. Berarti masuknyaistilah-istilah Islam yang sangat asasi dansentral ke dalam bahasa Melayu bisa diar-tikan penguasaan Islam terhadap bahasadan bangsa Melayu.

Kata-kata “ada” yang berarti menjadi,meng-ada atau sesuatu yang ada, sebe -lum Islam datang hanya menunjukkansesuatu yang material, atau fisik yangmeruang dan mewaktu. Setelah Islamdatang kata-kata “ada” berubah secararadikal karena mendapatkan makna barudari kata-kata “wujud” dari Islam. Kata-kata bahasa Arab wujud, yang menun-jukkan makna suatu konsep yang abstrakyang sekaligus juga suatu realitas Beingatau sesuatu yang ada (being), tidak pernahditerjemahkan ke dalam bahasa Melayu.Bahasa Melalyu “ada” akhirnya menjadikaya arti yaitu mengejawantah secara zahirtapi juga yang tersembunyi secara batin.

Karena kata-kata baru itu bukan se -kedar kata, tapi mengandung makna danbah kan konsep, maka Islam telah meru -bah cara pandang bangsa Melayu dalamberbagai hal melalui bahasa. Itulah yangkemudian diamati oleh Prof. Naquib al-Attas dan ia jadikan teori Islamisasi world-view bangsa Melayu. Apa yang ia maksud“teori Islamisasi” worldview itu adalahtran sformasi dari worldview Hindu-Bud -dha kepada worldview Islam. Namun al-Attas menggaris bawahi bahwa hanyasekedar pengertian dasar kata-kata sajatidaklah penting, yang penting adalahpengertian lain yang berhubungan den-

gannya. “Sebab kata-kata itu tidak berdirisendiri tapi memiliki konteks tertentu danbidang semantiknya sendiri”

Apakah Islam kemudian bisa disebutagama pendatang? Benar Islam dan jugaagama-agama lain di dunia Melayu,seperti Hindu, Buddha, Katholik, Protes -tan, Kong Hu Chu adalah pendatang. Bah -kan agama Kristen di Eropah, Amerika,Australia adalah agama pendatang.

Namun, Islam datang ke dunia Melayume lalui proses transformasi yang alami.Ti dak ada peperangan, tidak ada paksaandan tidak ada intimidasi. Pembawa kon -sep-konsep worldview Islam juga bukanraja-raja perkasa atau para sultan adi -daya. Pembawanya adalah para da’i, parasaudagar dan para sufi yang saleh, santunyang ikhlas semata dan tidak memilikikekuatan menekan atau memaksa. Selainkarena cara damainya, worldview Islamditerima karena membawa pandanganbaru yang sifatnya yang lebih rasional,ilmiyah dan universal.

Di zaman modern ini istilah-istilahbaru dari Barat masuk ke dalam bahasaumat Islam melalui disiplin ilmu, budaya,hi buran, media massa dan sebagainya.Is tilah-istilah seperti sains, infotainment,kultur, feminisme, demokrasi, ideologi,po litik, karakter, moral dan sebagainyatelah menjadi bahasa umat Islam.

Ini dapat pula disebut dengan Wester -nisasi melalui bahasa. Sebab makna-mak -na yang masuk kedalam pikiran umat Islamitu berasal dari worldview Barat. Hanya sajaistilah Barat itu tidak seperti istilah Islam

yang dapat mengganti dan membaratkanworldview Islam. Tentu ini karena kekuatankonsep Islam dalam pikiran bangsaMelayu. Selain itu istilah-istilah dari world-view Barat itu seringkali rancu.

Bahkan akhir-akhir ini ditemukanbahwa makna dalam masyarakat Baratsaat ini mengalami krisis yang akut. Mak -na dari berbagai istilah-istilah di sana itutidak lagi tetap dan pasti. Setiap masya -rakat dapat memahami dengan sistim ni -lai masing-masing. Peter L Berger danTho mas Luckman pengusung faham plu-ralisme itu lalu menulis buku berjudulModernity, Pluralism and The Crisis ofMeaning. Dalam buku ini ia menggam-barkan bahwa di dalam masyarakat mo -dern yang plural sistim nilai dan khazanahmaknanya tidak lagi menjadi milik umum.Individu-individu dalam masyara kat tum -buh dengan tata nilai masing-masing dantidak dapat digunakan untuk mensikapimakna kehidupan secara umum.

Arti pernikahan bagi pasangan suami-istri, misalnya, sudah berbeda dari, ataumalah bisa bertentangan dengan maknayang dipegang oleh masyarakat umum.Yang lebih serius lagi adalah ketika ma -syarakat tidak lagi memiliki standar nilaikehidupan, sehingga tidak dapat membe-dakan antara “adalah” dan “seharusnya”,katanya. Inilah yang disebut Peter Bergerkrisis makna (crisis of meaning). Itulahsebab Muslim yang menggunakanmakna-makna dan konsep-konsep dariBarat mengalami kebingungan intelektualdan kegelisahan spiritual. ■

Dr Hamid FahmyZarkasyi

Direktur INSISTS

MISYKAT Makna Bahasa

Islamisasi dan De-IslamisasiBahasa Indonesia

K ita paham, bahwa salah satufung si bahasa adalah alat untukmenyampaikan suatu maknabenda atau peristiwa. Bila dua

orang atau lebih berkomunikasi, menggu-nakan sebuah bahasa, mereka salingpaham, maka ‘telah cukuplah fungsi ba -hasa itu’. Bahasa bukan untuk bergaya-ga ya atau menghegemoni suatu komuni-tas/bangsa ke bangsa lain. Raja Ali Haji(1808-1873), ulama besar dan ahli bahasaMelayu menyatakan bahwa tujuan belajarbahasa sebenarnya adalah untuk makrifatkepada Allah, Sang Pencipta alat inderadan alam semesta ini. Bukan seperti yangdiungkap oleh Gorrys Keraf, bahasa hanyaberfungsi sebagai alat untuk mengekspre-sikan diri, alat untuk berkomunikasi, alatuntuk integrasi atau adaptasi sosial danalat untuk melakukan kontrol sosial.

Prof. Hashim Musa, ahli bahasa dariUniversiti Malaya, ketika memberikan pen-gantar buku Bustaanul Kaatibin, karya cen-dekiawan besar bahasa Melayu Raja AliHaji, mengatakan: “Dalam Islam, pengajianbahasa khususnya bahasa Arab danbahasa penganut Islam yang lain, meru-pakan ilmu alat untuk mencapai makrifatyaitu mengenali Allah dan seluruh kewu-judan, memperteguh keimanan dan ketak-waan, dan menyemai adab kesopanan yangmulia, yang mengandungi antara lain ilmu-imu nahwu (sintaksis), sharaf (morfologi),qawaid (bahasa), mantiq (logika), balaghah(retorik), istidlal (pendalilan), kalam (peng-hujahan) dan sebagainya.”

Dalam bukunya – yang bermakna —”Ta man para Penulis” itu, Raja Ali Haji

mengatakan: ”Adapun kelebihan ilmu dankalam amat besar sehingganya mengata-kan setengah hukama, segala pekerjaanpedang bisa diperbuat dengan kalam.Adapun pekerjaan-pekerjaan kalam tidakbisa diperbuat dengan pedang, maka iniibarat yang terlebih sangat nyatanya. Danbeberapa ribu dan laksa pedang yangsudah terhunus, dengan seguris kalam jaditersarung, terkadang jadi tertangkap danterikat dengan pedang sekali.”

Menurut Prof. Syed Mohammad Naquibal Attas yang kemudian diikuti oleh Prof.Braginsky (1989,1993), pekerjaan kalam –istilah yang merujuk pada kegiatan penuli-san—adalah tonggak kebudayaan Melayu,yang mengakar umbi selepas kedatanganIslam ke rantau ini. Menurut beliau, di ba -wah pengaruh Islam, orang Melayu mulasadar tentang kewujudan sastera sebagaisatu entiti yang utuh, yang menjadi sebaha -gian integral hidup mereka (lihat Prof. Ung -ku Maemunah Mohd Tohir, Kritikan SasteraMelayu, Antara Cerita dan Ilmu, 2007).

Ulama terkemuka Melayu lainnya,Syekh Ahmad al Fathani (1856-1908 dariPattani) juga pernah mengirim surat ke -pada Sultan Zainal Abidin, Sultan Treng -ganu, agar sultan-sultan berperan aktif dal -am menyebarkan ilmu di masyarakat. Iamenulis: ”Aku berharap semoga bangsaMelayu dapat maju dengan pimpinannyadan dapat mencapai kemuncak peradabankesejahteraan. Aku berharap semogabaginda berkenan menyebarkan ilmu, mak-rifat dan petunjuk. Lalu baginda men jadikegembiraan dan rakyat mendapat kejaya-an. Agar mereka dapat membukukan

bahasa Melayu. Karena aku bimbang iaakan hilang atau dirusak oleh perubahanyang berlaku dari masa ke masa. Begitupula hendaklah mereka mengarang se jarahMelayu yang meliputi segala perihal orangMelayu. Kalau tidak, mereka nanti akanhilang dalam lipatan sejarah. Wahai paracerdik pandai. Hidupkanlah sejarah bang-samu. Dengan itu kamu akan disebut dalamsejarah dan namamu akan harum sepan-jang masa. (lihat plakat Khazanah Fatha -niyah oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah).

Imperialisme bahasaDalam sejarah kita, Sumpah Pemuda

28 Oktober 1928, sebenarnya mengajarkankepada kita semangat agar bahasaIndonesia-Melayu ini menjadi ciri bangsaIndonesia. Agar bangsa Indonesia dikemu-dian hari menjadi bangsa besar denganbahasa Indonesia; bukan dengan bahasaBelanda yang saat itu banyak dipakai kaumterpelajar Indonesia, karena digunakan disekolah-sekolah di Hindia Belanda.

Para ulama kita juga merintis penggu-naan bahasa Melayu ini dalam karya-karyamereka. Bahasa Arab Jawi atau Arab Me -layu mereka tulis dalam karya-karya agungmereka mengenai bahasa, sejarah, bio -grafi, politik, kisah-kisah dan lain-lain.Buku-buku karya ulama dan tokoh-tokohIslam terkemuka seperti Nuruddin arRaniri, Raja Ali Haji, Hamka, MohammadNatsir, Syafruddin Prawiranegara, AHassan Ahmad Dahlan, Hasyim Asyariditulis dalam bahasa Melayu atau bahasaArab Melayu (Arab Jawi).

Kini nasib bahasa Indonesia patut di per -

tanyakan. Banyak pejabat dan tokoh publikmengumbar istilah bahasa Inggris, meskipunada istilah yang lebih tapat digunakan dalambahasa Indonesia. Tak jarang istilah asingdigunakan tidak pada tempatnya. Yang palingburuk, bila bahasa sendiri tidak dihormati,menurut pakar pendidikan Islam, Prof WanMohd Nor Wan Daud “Bang sa itu menjaditidak menghormati karya orang-orang yangcerdas dari bangsa sendiri.” Seolah-olah,karya berbahasa lain selalu dianggap lebihbagus dari karya tokoh-tokoh bangsa sendiri,yang ditulis dalam bahasa Indonesia.

Tentu, tidak dipungkiri bahasa asingperlu dikenal. Mahasiswa-mahasiswa diperguruan tinggi perlu belajar bahasaInggris untuk lebih mendalami sains,teknologi, komputer dan lain-lain. Sebab,memang tidak dipungkiri sains danteknologi sekarang ini, banyak ditulisdalam bahasa Inggris. Permasalahannya,bila bahasa asing ditempatkan lebih ter-hormat ketimbang bahasa sendiri. BagiMuslim, masalahnya akan lebih serius, jikaistilah-istilah asing itu merusak konsepyang terkandung dalam istilah-istilahpenting dalam Islam.

Padahal penggantian kata kadangmembawa makna yang jauh. Kata murid,yang digulirkan secara cermat oleh cen-dekiawan/ulama Islam diganti dengan katasiswa. Murid berasal dari kata araada-yuriidu-iraadatan-muriidan. Maknanya,orang mempunyai kehendak; punyakemauan (menuntut ilmu). Juga, orangyang mempunyai cita-cita. Sedangkan kata‘siswa’? Apa artinya? Wallahu AliimunHakiim. ■

Bahasa Indonesia, Nasibmu KiniOleh Nuim Hidayat

Peneliti Insists

Oleh Dr Adian HusainiKetua Program Doktor

Pendidikan Islam – Universitas Ibn Khaldun Bogor

24 REPUBLIKA KAMIS, 24 OKTOBER 2013JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

Bahasa Melayudan Penyatuan Nusantara

Pakar Sejarah Melayu,Prof. Syed MuhammadNaquib al-Attas adalahil muwan yang sejakawal 1970-an, sudah me -ng ungkap bahwa faktor

’Islam dan Bahasa Melayu’ adalahfaktor yang paling signifikan dalamproses penyatuan Nusantara. Gagasanitu diungkap al-Attas melalui buku’klasik’nya, Islam and Secularism, Islamdalam Sejarah Kebudayaan Melayu,dan sejumlah karya lainnya. Yang ter -akhir adalah karya besarnya yang ber -judul Historical Fact and Fic tion(HFF),(Kuala Lumpur: Universiti TeknologiMalaysia, 2011).

Melalui buku ini, al-Attas berhasilmemberikan gambaran tentang keber-hasilan para pendakwah Islam dalammengangkat dan mengislamkan bahasaMelayu, sehingga berhasil menjadibahasa persatuan di wilayah Nusan -tara. Bahasa Melayu yang semula hanyadigunakan oleh sebagian kecil masya -rakat Sumatra, kemudian diangkat, di-Islamisasi, dan digunakan sebagaibahasa pengantar dalam dunia ilmiah,ekonomi, budaya, dan politik di wilayahNusantara ini.

Karena itulah, simpul al-Attas, ba -ha sa Melayu dan agama Islam,merupa -kan dua faktor penting yang berjasa da -lam upaya penciptaan semangat ke -bangsaan dan persatuan di wilayah Nu -santara. (The spread of the new andvibrant Malay language and literatureas a vehicle of Islam and knowledge pre -sently used by more than two hundredmillion people in the Malay Archipelagois one of the most important factors inthe creation of nationhood, the otherfactor being the religion of Islam itself.Historians of the Archipelago havenever considered language as an impor-tant source material for the study ofhistory.”HFF, hal. xvi).

Jadi, menurut al-Attas, disampingfakctor agama Islam, penyebaran bahasaMelayu merupakan salah satu faktor ter-penting dalam pembentukan semangatkebangsaan. Dalam buku HFF, al-Attasmenguraikan salah satu kesimpulanpenting, yakni bahwasanya penyebaranIslam di Nusantara ini utamanya bukandilakukan oleh pedagang, tarekat sufi,

atau kaum Syiah, secara sambilan atauasal-asalan. Dengan bukti-bukti yangkuat dari karya para penulis Muslimklasik, sumber-cumber Cina dan Eropa,al-Attas sampai pada ke simpulan bahwaIslamisasi di Nu santara ini dilakukandengan cara yang sistematis, terencana,konsisten, dan di lakukan oleh para pen-dakwah Islam yang utamanya adalahpara ulama dari Arab.

Islamisasi di wilayah seluas ini bu -kanlah pekerjaan sambilan dan asal-asal an, tetapi terencana dengan ma -tang: “the spread of Islam by these Arabmissionaries in the Malay world was nota haphazard matter, a disorganized spo-radic affair … It was a gradual process,but it was planned and organized andexecuted in accordance with timelinesand situation.”(HFF,hal. 32).Gambaranini sangat berbeda dengan paparanumum di sejumlah buku pelajaran yang

menggambarkan seolah-olah actorutama penyebaran Islam di Nusantaraadalah kaum pedagang, yang tidakmemiliki rencana yang sistematis untukmeng-Islam-kan wilayah Nusantara.

Sejumlah contoh kuatnya pengaruhIslamisasi dalam bahasa Melayu misal-nya bisa dilihat dari masuknya nama-nama hari yang dimulai hari kesatusampai hari ketujuh Ahad, Senin (Is -nain), Salasa (Tsulasa), Rabu (Rabi’),Kamis (Khamis), Jumat, Sabtu (Sabi’).Masuknya kata Minggu, mengantikanAhad, diduga berasal dari kata Do -mingo – dibaca Dominggo–yang meru -pa kan hari pertama dalam tradisi Kris -ten Spanyol/Portugis.Kata Domingo -mulai digunakan pasca penaklukan

Ma laka oleh Portugis.Adalah kaumKris ten dan misionaris yang kemudianmensosialisasikan penggunaan kataMinggu mengantikan kata Ahad, se -hingga menimbulkan kerancuan dalamurutan hari dalam bahasa Melayu-Arab.(HFF, hal. 136).

Bukti lain dari kuatnya pengaruhArab, khususnya dari wilayah Hadra -maut—bukan Persia—dalan penyu sun - an bahasa Melayu adalah penggunaanlima simbol lima fonem Melayu yangtidak ditemukan dalam fonem Arab,yaitu Cha, Nga, Pa, Ga, dan Nya. Misal,untuk mendapatkan bunyi “Nya”, yangmerupakan bunyi antara huruf “Nun”dan “Ya”.Untuk mendapatkan bunyi“Nya”, dua titik huruf “Ya” ditambah -kan ke huruf “Nun”, sehingga didap-atkan huruf baru dengan titik tiga dibawah. Dengan tambahan lima huruf,maka alfabet Melayu-Arab menjadi 33

huruf. (HFF, hal. 137-138).Keberhasilan Islamisasi bahasa

Melayu kemudian menjadikan bahasaMelayu menjadi identik dengan Is -lam.Bahasa Melayu menjadi bahasayang kondusif untuk penyebaran Islamdi wilayah Nusantara.Para ulama diberbagai wilayah Nusantara menuliskarya-karya mereka dalam bahasa danhuruf Arab Melayu.Kitab-kitab itupulaun dijadikan pegangan di berbagailembaga pendidikan Islam yang terse-bar di wilayah Nusantara.Akhirnya,bahasa Melayu menjadi bahasa ilmiahdan bahasa persatuan.Ini ditambah lagidengan dominasi para pedagang Mus -lim di kepulauan Nusantara, yang jugamengunakan bahasa Melayu sebagai

bahasa Pengantar.Inilah salah satu bukti kejeniusan

para pendakwah Islam di Nusantara,yang tidak memaksakan bahasa Arabsebagai bahasa pengantar dalam ke -hidupan sehari-hari masyarakat diKepulauan Nusantara.Ini juga menun-jukkan, bahwa Islamisasi KepulauanNusantara tidak terjadi secara asal-asalan, tetapi dirancang dengan matangdan sungguh-sungguh.Upaya IslamisasiNusantara ini kemudian mendapatkanganjalan serius oleh para orientalis pen-jajah Belanda.Dua langkah dilakukanpenjajah, yaitu mengecilkan peranIslam dalam sejarah dan melahirkankader-kader cendekiawan sekuler.

Snouck Hurgronje, misalnya. Mela -lui bukunya, Snouck Hurgronje en Is -lam (Diindonesiakan oleh GirimuktiPu saka, dengan judul Snouck Hurgron -je dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Ko -ningsveld memaparkan sosok dan kip -rah Snouck Hurgronje dalam upayamem bantu penjajah Belanda untuk’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejakorientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yangmenjadi murid para Syaikh al-AzharKairo, Snouck sampai merasa perluuntuk menyatakan diri sebagai seorangmuslim (1885) dan mengganti namamenjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu diabisa diterima menjadi murid para ula -ma Mekkah. Menurut Van Koningsveld,pemerintah kolonial mengerti benar se -pak terjang Snouck dalam ’penyama-rannya’ sebagai Muslim. Snouck diang-gap oleh kaum Muslim di Nusantara inisebagai ’ulama’, bahkan ada yang me -nye butnya sebagai ”Mufti Hindia Be -landa’. Padahal, Snouck sendiri menulistentang Islam: ”Sesungguhnya agamaini meskipun cocok untuk membiasa-kan ketertiban kepada orang-orangbiadab, tetapi tidak dapat berdamaidengan peradaban modern, kecualidengan suatu perubahan radikal,namun tidak sesuatu pun memberi kitahak untuk mengharapkannya.”

Snouck Hurgronje juga mendukungupaya kristenisasi terhadap pribumi.Sebuah suratnya yang tertanggal: Lei -den 28 Januari 1889 – beberapa bulansebelum Snouck sendiri datang ke In -donesia – isinya menunjukkan bahwaSnouck menyetujui pemikiran Holle,tokoh Partai Politik Kristen, bahwaIslam adalah bahaya yang sangat besarbagi pemerintah kolonial. Dia menyetu-jui satu usul Holle, yaitu usaha Kris te -nisasi daerah yang masih animis, wa -laupun hal ini harus dilakukan secaratidak langsung dengan sokongan nyatadari pemerintah. (Karel Steenbrink,Beberapa Aspek Tentang Islam di Indo -nesia Abad Ke – 19. (Jakarta:PT. BulanBintang, 1984), hal. 241 – 242).

Sejarah menunjukkan, penggunaanbahasa Melayu sebagai bahasa Persa -tuan sempat ditolak oleh kalangan Kris -ten. JD Wolterbeek dalam buku nya,Babad Zending di Pulau Jawa, me nga -takan: “Bahasa Melayu yang erat hu -bung a nnya dengan Islam merupakansuatu bahaya besar untuk orang KristenJawa yang mencintai Tuhannya dan jugabang sanya.” Senada dengan ini, to kohYe suit Frans van Lith (m. 1926) menya -ta kan: “Melayu tak pernah bisa men jadibahasa dasar untuk budaya Jawa di se -ko lah, tetapi hanya berfungsi se bagaiparasit. Bahasa Jawa harus menjadi ba -hasa pertama di Tanah Jawa dan dengansendirinya ia akan menjadi bahasa per -tama di Nusantara. (Seperti dikutip olehKarel A. Steen brink, dalam bukunya,Orang-Orang Katolik di Indo nesia.Lihatjuga buku Van Lith, Pem buka Pen -didikan Guru di Jawa, Sejarah 150 thSerikat Jesus di Indonesia (2009). ■

Bahasa Melayu yang erat hubungannyadengan Islam merupakan suatu bahayabesar untuk orang Kristen Jawa yang

mencintai Tuhannya dan jugabangsanya.

Keterkaitan antara ba -hasa Melayu de nganIslam tidak diragu kanlagi, baik oleh pa rapeneliti Indo ne siamaupun Barat. Fran -

cis Xavier yang dikenal bersikap negatifterhadap Islam pun mengakui bahwaperanan Islam terhadap perkembangandan peradaban Melayu sangat besar.“The Malay language, which is spo kenin Malaka, is very general here... Theywrite in Malay, and the letters are Arabic,which the Moorish cacizes taught, andteach at present. Before they becomeMoors they couldn’t write.” (Lihat, Ta -tiana A. Denisova. 2011. Sumber Histo -riografi di Alam Melayu: Koleksi PribadiJohn Bastin. Kuala Lumpur: Perpus -takaan Negara Malaysia).

Islam mengajarkan tradisi ilmu yangawalnya belum dikenal oleh masyarakatMelayu. Tidak tepat jika dikatakan bah -wa tradisi sastra dalam bahasa Melayumengalami dekadensi sejak kedatanganagama Islam. Pendapat keliru ini dike-mukakan oleh R.O. Winstedt dalam AHistory of Classical Malay Literature(1991), bahwa semua sifat ektetika sas -tra Melayu yang paling bernilai timbulkarena pengaruh Hindu dan Jawa,tetapi tenggelam dalam gurun purita -nisme Islam. Reid (1988: 215-225), ju gamenyebutkan bahwa menurut datacacah jiwa Hindia Belanda tahun 1930,praktek menulis merosot antara abadke-16 sampai abad ke-20. Hal ini, me -nurut tafsiran Reid, disebabkan karenasejak kedatangan Islam penu lisan sajakkasih sayang dan surat cinta dilarang,budaya tulis hanya terbatas padabidang agama saja.

Bahasa Melayu berkembang sebagaibahasa lingua franca di kepulauan Nu -santara, seiring dengan pesatnya perda-gangan dan penyebaran agama Islam dikawasan tersebut. Bahasa ini tidak ha -nya menjadi bahasa perdagangan, me -lainkan juga bahasa politik, sastra, danilmu pengetahuan. Rakyat Melayumemiliki kebanggaan terhadap bahasayang mereka gunakan. Pada tahun 1615,Sultan Iskandar Muda pernah me nulissurat kepada King James I di Inggris,yang dengan sopannya menolak mem -beri izin kepada para pedagang Inggrisuntuk mendirikan pos di sepanjang pan -tai barat Sumatera. Surat yang ditulisdengan bahasa Arab-Jawi tersebut 75%isinya menggambarkan kebesaran dankekuatan kesultanan Aceh. (Lihat, JamesT. Collins. 2005. Ba hasa Melayu BahasaDunia: Sejarah Sing kat. Jakarta: Ya -yasan Obor In donesia. Hal. 44).

Salah satu sumbangan terpentingyang diberikan oleh umat Islam kepadabahasa Melayu adalah huruf Arab-Jawiatau huruf pegon. Meskipun sebelum-nya masyarakat Melayu telah mengenalhuruf Pallawa sebagai media baca-tulisbahasa Melayu, tradisi tulis di kalanganmasyarakat baru berkembang pesatsetelah kedatangan agama Islam danhuruf Arab-Jawi. Maraknya budayailmu ini dapat terlihat dari jumlahnaskah Melayu yang tersebar di berba-gai negara, termasuk di perpustakaanUniversitas Leiden dan PerpustakaanNasional Republik Indonesia (PNRI).Sejak awal, Islam telah menaruh per-hatian besar terhadap masalah keba-hasaan karena menyadari bahwa ba -hasa merupakan media penting untukmelakukan islamisasi. Fenomena isla -misasi bahasa Melayu ini mirip sepertiyang terjadi dengan bahasa Urdu diIndia dan bahasa Bangla di Bangladesh.

Kolonialisme dan Deislamisasi Kebanggaan umat Islam terhadap

bahasa Melayu berikut peradaban yangdibangunnya perlahan surut sejak ke -datangan kolonialisme. Menurut Col -lins, kekuatan imperialis berusaha men-ciptakan bahasa melayu ‘baku’ yangsesuai dengan negara bangsa yang me -reka bangun; mereka memoles bahasaMelayu dan menerbitkan sejumlahbuku teks untuk digunakan dalamsistem persekolahan nasional. Selamabertahun-tahun, penelitian yang dibi-ayai oleh negara dan juga karya wisata,tata bahasa Melayu, kamus, dan sistemejaan dibakukan; penggunaan bahasaMelayu dibatasi dan disampaikan keseluruh penduduk penjajahan. Perha -tian imperialis sampai ke perencanaandan pengembangan bahasa dimulai dariawal abad ke-19 dan terus berlanjuthingga tengah pertama abad ke-20.(James T. Collins. 2005. Bahasa MelayuBahasa Dunia: Sejarah Singkat. Ja -karta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm 75).

Penjajahan bangsa Belanda atasbangsa Indonesia selama lebih dari tigaabad tidak hanya berhasil menaklukkanmental anak-anak bumiputera tetapijuga meminjamkan banyak kosakatadan mempengaruhi pola pikir, terutamakalangan atas. Huruf Arab-Jawi yangpernah dipakai secara luas tersisih olehhuruf latin sejak kedatangan imperialis -me Barat, dan hampir-hampir meng -hilang pasca kemerdekaan. (The use ofjawi reflects the relationship betweenthe script and malay-muslim ethnicidentity. Brett J. Mccabe. 2011. “FromA Script to A Symbol: The Paths of Jawi

Script and Malay Identity”. Thesis. De -partment Of Anthropology NorthernIllinois University. Lihat juga Hamka“Pengaruh Huruf atas Bahasa danBang sa,” Hikmah (16 Februari 1952).Hlm 18-20. Dalam Kevin Fogg. 2012.“The Fate of Muslim Nationalism inIndependent Indonesia.” Hlm 126).Penyebaran huruf Latin didukung olehberkembangnya industri percetakan.Biaya percetakan dengan huruf Latinyang jauh lebih murah dibandingkanpercetakan dengan huruf Arab-Jawi.(Denys Lombard. 2008. Nusa JawaSilang Budaya: Jaringan Asia. Jakarta:Gramedia. Hlm 152.)

Di pihak lain, para misionarisBelanda berusaha untuk membendungarus penggunaan bahasa Melayu. TokohJesuit Van Lith mendorong orang Jawauntuk menghapus bahasa Melayu darisekolah. Van Lith berpedoman bahwa“sebuah bangsa yang tidak memilikikar ya sastranya sendiri akan tetap ting -gal sebagai bangsa kelas dua”. Per -kataan Van Lith tersebut secara tidaklangsung mendiskreditkan bahasaMelayu sebagai bahasa yang tidak me -miliki tradisi sastra. Sebagai gantinya,ia menganjurkan penggunaan bahasaBelanda, seperti halnya G.J.Nieuwenhuijs. (Hasto Rosariyanto.2009. Van Lith: Pembuka PendidikanGuru di Jawa Sejarah 150 th SerikatJesus di Indonesia. Yogyakarta: PenerbitUniversitas Sanata Dharma. Hlm 173.)

Bahasa sebagai suatu sistem tandayang memiliki dua aspek, yaitu signifi-ant (ungkapan) dan signifie (makna).Ada hubungan timbal balik antaraungkapan dengan makna, dimana mak -na mengandung konsep yang mena -yang kan kerangka alam pikiran. Setiapsistem bahasa pada dasarnya adalahalat untuk berpikir. Persoalan yang di -hadapi bahasa bukan semata-mata per-masalahan bahasa an sich, tetapi jugamenyangkut masalah worldview apayang dibawa dalam bahasa tersebut.

Perpindahan dari tulisan Arab keLatin mempunyai dampak budaya danagama. Waktu menerima tulisan Arab,orang Melayu sengaja memasuki sebuahkomunitas -yang identik dengan agamaIslam dan Timur Tengah-, begitupunwaktu mereka meninggalkan tulisanArab dan menerima tulisan latin. Tu -lisan latin sebaliknya, terkait denganEropa dan Kristen. Pilihan itu antaralain berarti memilih simbol modernitasBarat daripada simbol keikutsertaandalam umat Islam. (Henri Chambert-Loir. 2009. “Aksara, Huruf, Lambang:Jenis-Jenis Tulisan dalam Sejarah”

dalam Henri Chambert-Loir (peny.).Sadur: Sejarah Penerjemahan di Indo -nesia dan Malaysia. Jakarta: Kepus -takaan Populer Gramedia).

Kevin Fogg menulis dalam diser-tasinya, “In the independence period,the national language (Bahasa Indo -nesia, literally “Indonesian language”)slowly moved away from its religiouspast and became a secular national lan-guage along the lines of European lan-guages.” Ia juga berasumsi bahwa pen-garuh bahasa Arab terhadap bahasaIndonesia mengalami penurunan pascakemerdekaan yang terjadi akibat stan-darisasi bahasa Indonesia. (Kevin Wil -liam Fogg. 2012. “The Fate of MuslimNationalism in Independent Indonesia”.Dissertation. United States: Yale Uni -versity. Hlm 241).

Kolonialisme merupakan suatubagian dari sejarah masa lalu, namundemikian pengaruhnya masih terasahingga kini. European language as partof the essential socio-cultural determi-nants of Western power have achieved agreat triumph in the third world. (HassanAbdel Raziq El-Nagar. 1996. “Speakingwith One Voice: The Politics of Languagein The Modern Muslim World” dalamSharifah Shifa Al Attas (ed.) 1996. Islamand The Challenge of Modernity… KualaLumpur: ISTAC. Hlm 444).

Russel Jones mencatat bahwa darisepuluh bahasa donor terbesar terhadapbahasa Melayu-indonesia, bahasa San -sekerta menduduki tempat pertama di -susul oleh bahasa Arab, Persia, dan Hin -di secara berturut-turut. Sementara itu,bahasa Inggris hanya berada di urutankesembilan. Namun, sekarang dominasibahasa Inggris sangat terasa dalamsegala aspek kehidupan. Segala bidangilmu berkiblat ke Barat, tak terkecualiilmu agama, yang secara tidak langsungsemakin mengukuhkan penjajahanbahasa Inggris terhadap bahasa Indo -nesia. (Russel Jones. 2008. Loan-Wordsin Indonesian and Malay. Jakarta:KITLV dan Yayasan Obor Indonesia).

Bahasa sebagai salah satu unsur ke -budayaan akan terus mengalami di -namika seiring dengan perkembanganmasyarakat penuturnya. Namun, di -namika itu tidak bisa dibiarkan berlaribegitu saja tanpa suatu mekanisme kon -trol. Perhatian umat Islam terhadapbahasa harus dikembalikan. Umat Islamharus belajar untuk memiliki kem baliizzah Islam dan bahasa Melayu mereka,sebagaimana Sultan Iskandar Muda yangpernah dengan bangga mengirimkansurat pada Raja Inggris menggunakanbahasa Melayu berhuruf Arab-Jawi. ■

25REPUBLIKA KAMIS, 24 OKTOBER 2013JURNAL PEMIKIRAN ISLAM REPUBLIKA

Oleh Kabul AstutiSantri Pesantren Lir-Ilir Solo,

Mahasiswa S2 Pemikiran IslamUniversitas Muhammadiyah

Surakarta

Melayu dan IslamPrakolonialisme