Makalah Agama Islam Sistem Politik

24
BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang  Saat ini, jika ada orang bicara politik, pasti selalu saja dikait-kaitkan dengan  jabatan, kekuasaan, dan uang Na!pakn" a, !akna politik !enurut kaca!ata !as"arakat de#asa ini tidak bergeser dari ketiga $al tersebut Pe!a$a!an !as"arakat !enjadi seperti ini !erupakan sebua$ akibat dari perilaku para pelaku politik itu sendiri Sepak terjang para pe!ain politik dari !ulai !asa ka!pan"e sa!pai ketika suda$ !enduduki jabatan atau kekuasaan, "ang setiap saat dapat selalu ditonton ole$ !as"arakat luas, sarat dengan aspek kekuasaan, jabatan dan uang Sedikit sekali % untuk tidak !e ng atakan tidak ada& pe ri la ku -p er il ak u !e re ka "an g le bi $ !enonjolkan aspek !oral dan keadilan Hal itu bisa dili$at dari perilaku-pelaku politik !enjelang !asa pe!ili$an Ha! pir se! ua n" a, selain !e na# arkan jan ji- jan jin" a "a ng be lu! ten tu dit epa ti, !ereka juga tidak lupa !enggunakan senjata politik uang '!one" politik( )enurut logika, siapa pun "ang berin*estasi, pasti !enginginkan keuntungan De!ikian pula  jika seseorang dala! usa$an"a !endapatka n jabatan itu ia tela$ !engeluarkan dana "ang tidak kecil, !aka ketika ia suda$ ber$asil !e!perole$ jabatan itu, $a!pir bisa di pa st ikan ia akan be rupa "a se ku at tenaga !e ng e!ba li kan da na "ang tela$ diin*estasikan, !eski $arus dengan cara-cara "ang tidak benar sekalipun +esan negati ter$adap institusi politik saat ini !e!ang cukup beralasan Dari sekian ban"ak partai politik, jarang sekali dikete!ukan partai "ang betul-betul bisa dikatakan !enepati janji-janji "ang diu!bar pada !asa ka!pan"e ata-rata politisi "ang suda$ a!an duduk di de#an !enjadi lupa ter$adap konstituenn"a, lupa akan  janji-janjin"a, lupa pulang ke daera$ pe!ili$n"a, dan lupa !e!balas jasa ter$adap orang-orang "ang dulu tela$ !encoblosn"a Pe !a knaa n po li ti k !e nu rut de i ni si "an g sebena rn" a adala$ se bu a$  pengaturan dan pe!eli$araan urusan u!!at Hal ini cocok sekali dengan arti kata .politik/ "ang dala! Ba$asa Arab disebut .as si"asa$/ +ata si"asa$ berasal dari kata saasa-"asu usu-si"asatan "ang berarti !engurus atau !engatur kepentingan orang 0

description

agama

Transcript of Makalah Agama Islam Sistem Politik

KATA PENGANTAR

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini, jika ada orang bicara politik, pasti selalu saja dikait-kaitkan dengan jabatan, kekuasaan, dan uang. Nampaknya, makna politik menurut kacamata masyarakat dewasa ini tidak bergeser dari ketiga hal tersebut. Pemahaman masyarakat menjadi seperti ini merupakan sebuah akibat dari perilaku para pelaku politik itu sendiri. Sepak terjang para pemain politik dari mulai masa kampanye sampai ketika sudah menduduki jabatan atau kekuasaan, yang setiap saat dapat selalu ditonton oleh masyarakat luas, sarat dengan aspek kekuasaan, jabatan dan uang. Sedikit sekali untuk tidak mengatakan tidak ada perilaku-perilaku mereka yang lebih menonjolkan aspek moral dan keadilan.Hal itu bisa dilihat dari perilaku-pelaku politik menjelang masa pemilihan. Hampir semuanya, selain menawarkan janji-janjinya yang belum tentu ditepati, mereka juga tidak lupa menggunakan senjata politik uang (money politik). Menurut logika, siapa pun yang berinvestasi, pasti menginginkan keuntungan. Demikian pula jika seseorang dalam usahanya mendapatkan jabatan itu ia telah mengeluarkan dana yang tidak kecil, maka ketika ia sudah berhasil memperoleh jabatan itu, hampir bisa dipastikan ia akan berupaya sekuat tenaga mengembalikan dana yang telah diinvestasikan, meski harus dengan cara-cara yang tidak benar sekalipun.Kesan negatif terhadap institusi politik saat ini memang cukup beralasan. Dari sekian banyak partai politik, jarang sekali diketemukan partai yang betul-betul bisa dikatakan menepati janji-janji yang diumbar pada masa kampanye. Rata-rata politisi yang sudah aman duduk di dewan menjadi lupa terhadap konstituennya, lupa akan janji-janjinya, lupa pulang ke daerah pemilihnya, dan lupa membalas jasa terhadap orang-orang yang dulu telah mencoblosnya.Pemaknaan politik menurut definisi yang sebenarnya adalah sebuah pengaturan dan pemeliharaan urusan ummat. Hal ini cocok sekali dengan arti kata politik yang dalam Bahasa Arab disebut as siyasah. Kata siyasah berasal dari kata saasa-yasuusu-siyasatan yang berarti mengurus atau mengatur kepentingan orang.

Untuk mengurus atau mengatur urusan umat tersebut, praktis dibutuhkan satu institusi yang memiliki kewenangan luas dan meliputi seluruh sisi kehidupan, baik itu masalah ekonomi, pemerintahan, politik dalam dan luar negeri, masalah hukum dan perundang-undangan, pertahanan dan sosial budaya, pendidikan dan lain-lain. Dan satu-satunya institusi yang berwenang secara luas dan berkedaulatan penuh adalah negara atau daulah atau khilafah.

Dari definisi di atas, berbicara politik tidak bisa dilepaskan dengan negara dan pemerintahan. Berbicara masalah hukum dan perundang-undangan, tidak bisa lepas dari kekuasaan politik dan pemerintahan. Alhasil, politik dan Islam adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Bicara Islam secara kaaffah, maka harus menyinggung masalah politik. Dan bicara politik, maka pasti tidak bisa lepas dari pandangan politik Islam. Fakta sejarah kehidupan umat Islam sejak dari dulu, menunjukkan bahwa Islam dan kaum muslimin tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik.

Peristiwa Hijarah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah selain dipahami sebagai peristiwa keagamaan, juga merupakan peristiwa politik dalam rangka membangun masyarakat dan pemerintah kota Madinah yang damai, tentram, tenang, adil dan makmur. Peran Baginda Nabi Muhammad SAW waktu itu, selain sebagai seorang Nabi, beliau juga sebagai seorang kepala negara.

Islam adalah meliputi akidah dan syariat, ad Diin wad Daulah. Hal itu sangat berbeda dengan agama-agama lain, seperti Kristen, Yahudi, Budha, Hindu. Karena agama-agama tersebut hanya memuat tuntunan-tuntunan moral saja, tetapi tidak mengajarkan sistem politik, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem pemerintahan dan sistem sosial. Sehingga wajar jika kemudian pelibatan agama tersebut dalam kehidupan politik dan pemerintahan akan menyebabkan pemerkosaan dan penodaan terhadap agama. Karena pada dasamya yang membuat aturan tersebut bukanlah Tuhan, tetapi akal dan nafsu manusia.Tetapi sangat berbeda dengan Islam yang bersifat syamil dan kamil, yaitu bersifat menyeluruh, tidak memiliki cacat sedikit pun, mengatur seluruh sisi kehidupan manusia dari kehidupan individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Dari urusan yang paling kecil seperti makan, tidur dan lain-lain sampai yang paling besar, seperti politik, hukum, ekonomi dan lain-lain. Allah SWT. berfirman: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al Maidah: 3). Dalam ayat lain Allah juga menegaskan: Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri. (QS. An Nahl: 89).

Lafadz syaiin (segala sesuatu) mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Tidak ada satu pun yang lepas dari aturan Allah SWT. Oleh karenaya, prinsip-prinsip paham Sekulerisme yang memisahkan antara urusan agama Islam dengan dunia jelas sekali bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Agama Islam bisa tegak dan eksis sebagai agama sekaligus sebagai sistem ideologi jika ditegakkan dan dijaga oleh eksistensi sebuah negara atau kekuasaan. Beberapa syariat atau aturan Islam tidak akan dapat dilaksanakan kecuali jika adanya kekuasaan negara atau sistem. Misalnya sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem politik luar negeri dan dalam negeri, atau sistem hukum. Contoh yang paling aktual adalah gagalnya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) untuk disahkan, karena lemahnya kekuatan Islam yang mendukung RUU tersebut di beberapa lembaga negara.

Ibnu Taimiyyah mengatakan, Harus diketahui bahwa wilayah (perwalian atau pemerintahan) urusan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak ada artinya penegakan agama dan dunia tanpa perwalian/pemerintahan ini. Kemaslahatan Bani Adam tidak akan berjalan secara sempuma kecuali dengan membentuk komunitas, karena sebagian di antara mereka pasti membutuhkan sebagian yang lain. Dalam komunitas itu dibutuhkan seorang pemimpin. Hingga beliau SAW bersabda, Jika ada tiga orang yang bepergian dalam perjalanan, hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin. (Lihat Kitab As-Siyasah Asy-Syariyyah).

Imam AI-Ghozali juga menegaskan, Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempuma kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama merupakan dasar dan sultan atau imam merupakan penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki dasar pasti akan binasa dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan mudah sirna. Kekuaaaan dan penerapannya tidak akan menjadi sempurna kecuali adanya sultan atau imam. (Lihat Ihya Ulumiddin, 1:71).

Sikap yang mengeneralisir semua agama sama, baik Kristen, Islam, Hindu dan Budha adalah suatu tindakan yang sangat bodoh. Doktrin pemisahan agama terhadap kehidupan, terutama politik dan pemerintahan, akan sangat tepat jika hal jtu diterapkan untuk agama selain Islam. Karena memang agama-agama lain, seperti Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu tidaklah mempunyai konsep aturan hidup, baik konsep pemerintahan, politik, ekonomi dan moneter, sosial-budaya, keluarga, politik luar negeri atau konsep hukum.

1.2 . TujuanSetelah mempelajari makalah SISTEM POLITIK ISLAM mahasiswa dapat :

Menjelaskan pengertian sistem politik islam Dapat mengetahui prinsip-prinsip dasar sistem politik islam Menjelaskan prinsip-prinsip luar negeri dalam Islam

Dapat mengeahui konstribusi umat islam dalam sistem politik islam

1.3 Rumusan MasalahMemberikan wawasan tentang konsep politik Islam dan kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.BAB II

ISI2.1 Pengertian Sistem Politik IslamPolitik di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam \buku-buku para ulama salafush shalih dikenal istilah siyasah syariyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata ssa - yassu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara).Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusia tersebut dinamai politikus (siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amri mengurusi (yassu) rakyatnya saat mengurusi urusan rakyat, mengaturnya, dan menjaganya. Begitu pula dalam perkataan orang Arab dikatakan : Bagaimana mungkin rakyatnya terpelihara (massah) bila pemeliharanya ngengat (ssah), artinya bagaimana mungkin kondisi rakyat akan baik bila pemimpinnya rusak seperti ngengat yang menghancurkan kayu. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (riayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : "Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi (tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah" (HR. Bukhari dan Muslim). Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak hadits terkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi Muhammad SAW bersabda :"Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka." (HR. Al Hakim) Rasulullah ditanya oleh sahabat tentang jihad apa yang paling utama. Beliau menjawab "Kalimat haq yang disampaikan pada penguasa" (HR. Ahmad).Berarti secara ringkas Politik Islam memberikan pengurusan atas urusan seluruh umat Muslim. Namun, realitas politik demikian menjadi pudar saat terjadi kebiasaan umum masyarakat dewasa ini baik perkataan maupun perbuatannya menyimpang dari kebenaran Islam yang dilakukan oleh mereka yang beraqidahkan sekularisme, baik dari kalangan non muslim atau dari kalangan umat Islam. Jadilah politik disifati dengan kedustaan, tipu daya, dan penyesatan yang dilakukan oleh para politisi maupun penguasa.

Penyelewengan para politisi dari kebenaran Islam, kezhaliman mereka kepada masyarakat, sikap dan tindakan sembrono mereka dalam mengurusi masyarakat memalingkan makna lurus politik tadi. Bahkan, dengan pandangan seperti itu jadilah penguasa memusuhi rakyatnya bukan sebagai pemerintahan yang shalih dan berbuat baik.

Hal ini memicu propaganda kaum sekularis bahwa politik itu harus dijauhkan dari agama (Islam). Sebab, orang yang paham akan agama itu takut kepada Allah SWT sehingga tidak cocok berkecimpung dalam politik yang merupakan dusta, kezhaliman, pengkhianatan, dan tipu daya. Cara pandang demikian, sayangnya, sadar atau tidak mempengaruhi sebagian kaum muslimin yang juga sebenarnya ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Padahal propaganda tadi merupakan kebenaran yang digunakan untuk kebathilan (Samih Athief Az Zain, As Siyasah wa As Siyasah Ad Dauliyyah, hal. 31-33). Jadi secara ringkas Islam tidak bisa dipisahkan dari politik.2.2 Prinsip-Prinsip Dasar Sistem Politik Islam

Istilah politik pertama muncul dalam literatur Yunani klasik lewat karya Plato yang terkenal, Politea. Dalam perkembangannya, politik dalam literatur Barat mengalami banyak penafsiran. Menurut Abdul Muin Salim (2002) ada dua kecenderungan dalam pendefinisian politik. Pertama, pandangan yang mengaitkan politik dengan negara; kedua, pandangan yang mengaitkannya dengan kekuasaan, otoritas atau dengan konflik.Oleh sebab itu, politik memiliki definisi yang variatif. Laswell (1936) mendefinisikan politik sebagai who gets what, when and how (siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimnana). Easton (1979) menyebutnya sebagai "the authoritative allocation of value (kekuasaan untuk mengalokasikan sumber-sumber yang terbatas) Sementara Jouvenal menyebut politik sebagai "man moving man" (siapa memerintah siapa).Semua pendefinisian tersebut cenderung meletakkan politik sebagai mekanisme atau seni untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan, menurut Talcot Parsons (1957) adalah "The capacity to mobilize the resources of society for attainment of goals for which a general public commitmentmay be made" (kemampuan untuk memobilisasi sumber daya yang ada dalam masyarakat untuk mencapai tujuan-tujuan umum yang telah disepakati bersama). Sementara, kalangan Neo-Marxist seperti Poulantzas (1973) mengatakan bahwa kekuasaan adalah kemampuan sebuah kelas sosial untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan kepentingan mereka. Definisi-definisi ini menggambarkan bahwa seluruh tafsir tentang politik dan kekuasaan dalam perspektif Barat dibangun di atas fondasi materialisme.

Oleh karena persoalan politik merupakan persoalan yang amat penting dalam pengaturan kehidupan manusia, perdebatan tentang relasi agama dan politik juga muncul dalam Islam. Setidaknya ada tiga aliran utama dalam wacana intelektual muslim dalam melihat Islam dan politik. Pertama, aliran yang menganggap Islam dan politik tidak bisa dipisahkan sama sekali, karena Islam tidak mengenal pemisahan antara kekuasaan negara dan agama. Aliran ini terkenal dengan konsep al-Islamu al-din waal-daulah (Islam adalah agama dan negara). Sebagai konsekuensi logis dari paham ini, mereka berpandangan bahwa menjadi kewajiban orang seluruh muslim untuk menegakkan negara berdasarkan sistem politik Islam. Mereka mengusung beragam konsep sistem politik, dari sistem negara Madinah hingga sistem khilafah (Rizwan, 2001).

Kedua, kalangan yang berpandangan bahwa doktrin-doktrin tentang negara Islam tidak disebutkan secara detail dan tuntas dalam Islam, Islam hanya memperkenalkan beberapa konsep tentang nilai dan etika bernegara (Hasbi Amiruddin, 2000). Akibatnya, kalangan ini berpendapat bahwa sebuah negara menjadikan Islam atau bukan Islam sebagai dasar negara, bukanlah hal yang penting. Yang utama adalah terpenuhinya nilai-nilai dan etika yang dianjurkan dalam Islam. Kelompok ini termasuk kelompok yang menganjurkan gerakan Islam kultural dan menolak Islam politik.

Ketiga, kelompok yang secara keras mengatakan bahwa tidak ada hubungan sama sekali antara Islam dan negara. Islam sama sekali tidak mengatur persoalan ketatanegaaraan. Islam sebagai agama harus dijauhkan dari politik. Pandangan ini berada di gerbong sekularisme yang memang menganut doktrin pemisahan antara agama dan negara.

Konsekuensi dari varian pandangan tersebut sangat mempengaruhi konsepsi kekuasaan politik dalam wacana Islam politik sendiri. Dalam kepustakaan Islam, kata politik sering diidentikkan dengan perkataan al-Siyasah. Kata ini terdiri huruf Sin, Wau dan Sin dengan makna pokok "kerusakan sesuatu" dan "tabiat atau sifat dasar". Dari makna pertama terbentuk kata kerja sasayusu-sausan yang berarti " menjadi rusak atau banyak kutu", dan dari makna kedua terbentuk kata sasuyasusu-siyasatan yang berarti "memegang kepemimpinan masyarakat, menuntun atau melatih hewan, dan mengatur dan memelihara urusan". Makna "memimpin masyarakat" ditemukan dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Majah dari Abi Hurairah tentang kepemimpinan atas Bani Isra`il.

Kepemimpinan para nabi atas Bani Isra`il bertujuan untuk mengusahakan agar Bani Isra`il kembali hidup sesuai dengan ajaran agama Tauhid. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa konsep yang terkandung dalam istilah siyasah adalah politik yang bermakna politik rehabilitatif (pemulihan) dari kesesatan kepada ajaran-ajaran dan praktik keagamaan yang benar (Muin, 2002). Dengan pemikian, dalam konteks ini, politik atau siyasah dalam literatur profetik merupakan sebuah proses penataan dan rehabilitasi kehidupan manusia yang sudah menyimpang dari ajaran-ajaran tauhid. Politik sama sekali tidak dimaksudkan sebagai sebuah proses perebutan kekuasaan untuk tujuan-tujuan duniawi. Oleh sebab itulah, tugas seorang pemimpin dalam Islam adalah himayat al-din wasiyasatu al-dunya (melindungi agama dan memelihara ketertiban sosial politik).

Sumber-Sumber Hukum Sistem Politik Islam

1. AlquranAlquran bukanlah tulisan hukum, namun di dalam Alquran terkandung setidaknya 500 perintah Allah SWT yang sifatnya berkaitan dengan hukum. Abdur Rahman i Doi (Shariah: The Islamic Law, 1989) membuat klasifikasi atas aturan-aturan yang terkait dengan hukum ke dalam empat bagian besar yaitu: a) The concise injunctions, atau perintah-perintah Allah yang tertulis di dalam Alquran namun tidak ditemui penjelasantentang tatacara pelaksanaan atas perintah tersebut. Sebagai contoh adalah perintah Allah untuk mendirikan shalat, berpuasa atau mengeluarkan zakat; b) The concise and detailed injunctions, atau perintah-perintah Allah yang secara jelas tertulis dalam Alquran, dan penjelasan atas ayat-ayat tersebut bisa didapati dari hadits atau sumber hukum Islam lainnya. Sebagai contoh adalah aturan mengenai hubungan muslim dengan non-muslim; c) The detailed Injuctions, yaitu dimana Alquran telah memberikan penjelasan yang detail berkaitan dengan satu perintah Allah SWT, dan tidak diperlukan adanya lagi suatu penjelasan tambahan. Sebagai contoh adalahhukuma hadd (huddud); dan d) Fundamental principles of Guidance, prinsip-prinsip ini tidak memiliki penjelasan yang terperinci dan pasti (clear cut), sehingga untuk menetukan hukum atas hal-hal tersebut perlu diambil melalui suatu proses yang dinamakan ijtihad.

2. Hadits dan SunnahSunah adalah segala perbuatan dan perkataan Rasulullah, termasuk segala sesuatu yang disetujui oleh Beliau. Hadits sendiri berarti segala hikayat atau pembicaraan yang digunakan dalam meriwayatkan segala sesuatu tindak tanduk Rasulullah, sehingga sunnah dapat berarti sebuah contoh perbuatan atau hukum yang diambil dari adanya suatu hadits. Berkaitan dengan Shariah, hanya sunnah yang berkaitan dengan hukum sajalah yang dikategorikan sebagai suatu sumber hukum Islam, sehingga sunnah yang tidak langsung berkaitan seperti bagaimana teknik pertanian, strategi peperangan, dan lain sebagainya tidak dianggap sebagai sebuah sumber hukum Islam atau hukum pidana Islam.

Sunnah sendiri digunakan dalam berbagai keperluan diantaranya adalah untuk menkonfirmasi hukum-hukum yang sudah disebutkan dalam Alquran, untuk memberikan penjelasan tambahan bagi ayat Alquran yang menjelaskan sesuatu secara umum, untuk mengklarifikasi ayat-ayat Alquran yang mungkin dapat menerbitkan keraguan bagi ummat, dan memperkenalkan hukum baru yang tidak disebutkan dalam alquran. Kompilasi atas hadits dilakukan oleh para ulama dan cendekiawan muslim yang secara umum dikumpulkan oleh empat periwayat hadits terkemuka yaitu kompilasi hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari (870M), Muslim (875M), Abu Dawud (888M), dan At-Tirmidhi (892M). Mungkin masih ada hadits yang diriwayatkan oleh selain empat ulama terkemuka ini, namun secara umum umat muslim mengenal empat kompilasi hadits yang dikumpulkan atau diriwayatkan ulama di atas. Hadits sendiri diklasifikasikan berdasarkan kualitas dari periwayatnya (bisa dipercaya) dan kekuatan dari isnad atau bagaimana hubungan antara para periwayat itu sendiri, sehingga dapat digolongkan dalam tiga jenis: Muwatir, Mashhur, dan Ahad. Masing-masing memiliki arti sendiri-sendiri yang menandakan kualitas dari hadits-hadits tersebut.3. Madhabs (pl. Madhabib) Sumber-sumber bagi Hukum Islam adalah pendapat-pendapat dan tulisan-tulisan dari para ulama, cendekiawan muslim, atau para hakim yang dibuat setelah Rasulullah SAW wafat. Ilmu-ilmu yang dikompilasikan oleh para ulama ini merupakan sumber-sumber hukum Islam yang sangat bernilai bagi umat muslim sebagai hingga saat ini. Berdasarkan aliran dalam Islam yang ada saat ini, secara umum terdapat dua aliran besar yaitu Sunni dan Shiah. Empat aliran besar (madhabs) yang tergolong dalam aliran Sunni adalah Madhad Hanafi, Maliki, Hambali, dan Shafii. Sedangkan satu aliran yang terdapat dalam aliran Shiah adalah Madhab Shiah itu sendiri.

Madhad Hanafi dikembangkan oleh seorang ulama dan cendekiawan muslim yaitu Imam Abu Hanifa (80-150 H, atau 702-772M), dan muridnya yang terkenal Abu Yusuf dan Muhammad. Mereka menekankan pada penggunaan alasan-alasan dan shura atau diskusi kelompok daripada semata-mata mengikuti aturan atau tradisi yang telah ada secara turun temurun. Madhab ini paling banyak berkembang dan dikuti di India dan Timur Tengah, serta pernah menjadi mdhab resmi yang digunakan di Turki (dinasti ottoman).

Madhab Maliki mengikuti ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh ulama dan cendekiawan muslim Imam Malik (lahir 95H atau 717M) yang menitikberatkan pada praktek-prakte yang diterapkan penduduk di Madinah sebagai suatu bentuk contoh kehidupan Islam yang paling otentik. Saat ini, ajaran-ajaran Imam Malik atau madhab Maliki paling banyak ditemui hampir di seluruh bagian wialayah muslim di benua Afrika.

Madhab Hambali dikembangkan oleh ulama dan cendekiawan muslim yang bernama Imam Ahmad ibnu Hambali (lahir 164H atau 799M) yang menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan ketuhanan serta mengadopsi pandangan yang tegas terhadap hukum. Saat ini madhab Hambali secara dominan diterapkan di saudi Arabia.

Madhab Shafii didirikan oleh seorang ulama dan cendekiawan bernama Imam As-Shafii (lahir 150H atau 772M) adalah merupakan murid dari Imam Malik dan pernah belajar dari beberapa tokoh cendekian muslim yang paling terkemuka pada saat itu. Imam As-Shafii terkenal karena ke-moderat-annya dan penilaiannya yang berimbang, dan walaupun Beliau menghormati tradisi, Imam As-Shafii mengevalusinya secara lebih kritis dibandingkan dengan Imam Malik. Para pengikut madhab Shafii secara dominan diikuti oleh umat muslim yang berada di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Madhab Shiah yang dianut oleh sekitar 10% umat muslim saat ini, menurut sebagian cendekiawan lebih diakibatkan sebagai akibat dari pergesekan politik dalam dunia muslim terhadap pendapat bahwa pemimpin umat muslim harus selalu merupakan keturunan dari keluarga Ali, yaitu keponakan dari Rasulullah sekaligus suami dari puteri nabi Fatimah. Madhab yang masih memiliki sub-madhab (katakanlah seperti itu) seperti Ithnaashaaris dan Ismailis saat ini ditemui secara dominan di negara Iran, serta memiliki pengikut yang juga mayoritas di Iraq, India, dan negara-negara kawasan teluk.2.3 Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri dalam Islam

Eksistensi suatu negara akan tampak dalam kiprahnya di percaturan politik internasional. Islam memiliki konsep yang khas dalam masalah politik internasional. Kerangka politik internasional ini inheren dalam sistem Islam yang utuh pada sistem negara Islam (Khilafah Islam). Sebab, politik internasional atau politik luar negeri adalah bagian dari politik Islam, dan politik Islam adalah bagian dari sistem Negara Islam (Khilafah Islam). Artinya, dalam kerangka inilah kita berbicara tentang politik luar negeri Islam, bukan dalam konteks politik luar negeri negara-negara Muslim yang saat ini ada, karena mereka tidak menerapkan Islam secara utuh dalam sistem kenegaraannya.

Setidaknya ada enam hal yang bisa kita bandingkan untuk bisa mendapatkan kekhasan politik luar negeri Khilafah, yakni menyangkut: asas, metodologi, cara pengembanan, dan pelaksana politik luar negeri; pandangan terhadap negara lain; serta hubungan dengan lembaga internasional.

Asas Politik Luar NegeriUmumnya, sistem negara bangsa berlandaskan sekularisme. Berdasarkan sejarah, sekularisme mendapati bentuk konkretnya pada masa renaissance di Eropa. Kebangkitan sekularisme berdampingan dengan hadirnya teori Machiavelli. Teori ini menyebutkan bahwa tidaklah realistis mengandaikan penguasa-penguasa tertinggi (princes) harus baik. Adakalanya mereka harus tidak baik. Kebutuhan-kebutuhan akan kehidupan politik sering mengharuskan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum moral. Penguasa tertinggi dari teori ini berkuasa karena mereka lihai dalam memanipulasi kekuasaan (Apter, 1996: 76). Artinya, politik luar negeri negara-negara Barat, sesuai dengan asas negaranya, dibangun atas landasan sekularisme.

Islam tidak mengenal pemisahan antara rohaniwan dan negarawan sebagaimana yang dikenal dalam sekularisme. Seorang negarawan mesti mengimplementasikan nilai-nilai keislaman dalam aktivitasnya sebagaimana seorang ulama juga harus mengawasi kehidupan bernegara. Karenanya, tidak ada pemisahan antara Islam dan negara. Bahkan Islam merupakan agama yang salah satu ajarannya adalah negara. (Kurnia, 2002: 14).

Akidah Islam telah menjadi asas bagi seluruh bentuk hubungan yang dijalankan oleh kaum Muslim, termasuk politik dalam dan luar negeri.

Tujuan Politik Luar Negeri Akidah Islam menjadi dasar bagi ideologi negara Khilafah Islam, yang mengharuskannya untuk menyebarluaskan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia. Dengan kata lain, penyebaraluasan dakwah Islam merupakan prinsip politik luar negeri negara Khilafah Islam dalam membangun hubungannya dengan negara-negara lain, baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya dan sebagainya. Pada semua bidang itu, dakwah Islam harus dijadikan asas bagi setiap tindakan dan kebijakan.

Yang menjadi dalil bahwa dakwah Islam (penyebarluasan Islam) sebagai prinsip hubungan luar negeri adalah kenyataan bahwa Rasulullah saw. diutus untuk seluruh umat manusia. Allah Swt. berfirman:

] [

Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan. (QS Saba [34]: 28).] [

Katakanlah, Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian semua. (QS. al-Araf [7]: 158). Semua ini menunjukkan bahwa prinsip politik luar negeri Islam adalah mengemban dakwah Islam sehingga Islam tersebar luas ke seluruh dunia.

Negara-negara Barat berkiprah dalam politik internasional tentunya dalam peranannya untuk menyebarluaskan ide-ide sekularisme, demokratisasi, HAM, dll. Amerika Serikat mulai menyebarkan Kapitalisme sejak tampil di panggung dunia sebagai negara penjajah. Metode yang digunakannya untuk menyebarkan Kapitalisme adalah dengan melakukan penjajahan (imperalisme), baik penjajahan gaya lama maupun gaya baru. (Zallum, 1996: 4).

Dalam Kapitalisme, motif ekonomi sangat menonjol, seperti kerakusan serta ketamakan Amerika dan Barat yang kapitalistis terhadap sumberdaya alam di negeri-negeri Islam dan posisi geografisnya yang amat strategis dan istimewa; juga adanya potensi negeri-negeri Islam itu sebagai pasar raksasa bagi produk-produk Barat dan sumber bahan mentah utama bagi industri mereka. (Zallum, 1996: 11-12).

Metode Politik Luar NegeriNegara Khilafah Islam menerapkan politik luar negeri berdasarkan metode (tharqah) tertentu yang tidak berubah, yakni dakwah dan jihad. Metode ini tidak berubah sejak Rasulullah saw. mendirikan negara di Madinah sampai keruntuhan Khilafah Islam tahun 1924.

Jihad ditujukan untuk menyingkirkan para penguasa zalim dan institusi pemerintahan yang menghalangi dakwah Islam. Dengan begitu, dakwah Islam dapat sampai ke rakyat secara terbuka sehingga mereka dapat melihat dan merasakan keadilan Islam secara langsung, merasa tenteram dan nyaman hidup di bawah kekuasaan Islam. Rakyat diajak memeluk Islam dengan cara sebaik-baiknya, tanpa paksaan dan tekanan. Dengan penerapan hukum Islam inilah, berjuta-juta manusia di dunia, tertarik dan memeluk agama Islam.

Salah satu tuduhan keji yang dilontarkan oleh Barat kepada Islam adalah bahwa Islam disebarluaskan dengan darah dan peperangan. Mereka menggambarkan para pejuang Islam yang memegang pedang di tangan kanan dan al-Quran di tangan kiri. Memang metode penyebaran Islam adalah dengan jihad (perang). Namun, perang adalah langkah terakhir, bukan langkah pertama yang dilakukan Khilafah Islam. Negara Khilafah tidak pernah memulai peperangan menghadapi musuh-musuhnya, kecuali setelah disampaikan kepada mereka tiga pilihan: memeluk Islam; membayar jizyah, yang berarti tunduk pada Khilafah Islam; jihad memerangi merekajika dua pilihan sebelumnya ditolak. Demikian sebagaimana sabda Rasulllah saw. yang diriwayatkan Muislim dari Buraydah r.a.

Kekejian justru tampak dalam politik luar negeri negara-negara Barat. Dengan slogan-slogannya yang menipu, mereka memalsukan niat busuk mereka dengan kata-kata indah. Penjajahan ekonomi dinamai konsep perdagangan bebas dan pasar bebas, padahal prinsip ini dimaksudkan untuk menjamin terbukanya pasar dunia bagi perdagangan dan pendapatan negara-negara Barat. Penjajahan politik disebut dengan demokratisasi. Selain itu, mereka juga menciptakan wilayah-wilayah konflik seperti di Timur Tengah, Balkan, Amerika Latin, dan Asia. Semuanya dalam konteks mengobarkan perang berkepanjangan di sana serta mempertahankannya sebagai kawasan yang bergolak dan rawan konflik sekaligus menyibukkan negara-negara sekitarnya.

Pelaksana Hubungan Luar Negeri Islam memandang, hubungan dengan negara-negara luar dibatasi dalam ruang lingkup negara. Bagi individu-individu atau partai-partai sama sekali dilarang melakukan hubungan dengan negara manapun. Meskipun demikian, mereka berhak berdiskusi, mengkritik negara dan menyampaikan pendapat kepada negara dalam hubungannya dengan negara luar. Rasulullah saw., misalnya, secara langsung pernah membuat ikatan perjanjian, perdamaian, pernyataan perang, dan melakukan korespondensi (surat-menyurat) ke luar negeri. Demikian pula yang dilakukan para khalifah sesudahnya.

Dalam perspektif Barat, hubungan internasional tidak hanya meliputi interaksi yang berlangsung antarnegara, tetapi juga mencakup segala macam hubungan antarbangsa, kelompok-kelompok bangsa dan individu dalam masyarakat dunia dan kekuatan-kekuatan, tekanan-tekanan, dan proses-proses yang menentukan cara hidup, cara bertindak, dan cara berfikir manusia. (Wiriaatmadja, 1988: 36). Studi hubungan internasional mengacu pada segala bentuk interaksi antara aktor-aktor, baik yang bersifat negara (state) maupun non-negara (non-state).

Pandangan Terhadap Negara Lain

Islam telah membagi dunia ini atas dua katagori, yaitu Darul Islam dan darul kufur (dr al-harb). Darul Islam adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dan system keamanan Islam. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dan sistem keamanan bukan Islam, meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim (Lihat: Mitsq al-Ummah). Dasar pembagian ini adalah hadis Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Sulaiman bin Buraidah r.a:

Serulah mereka ke jalan Islam. Apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka (yang merupakan darul kufr) ke Darul Muhajirin (Darul Islam yang berpusat di Madinah). Beritahulah pada mereka, bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang di dapatkan oleh kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban Muhajirin. Hadis ini adalah sebuah nash yang mensyaratkan keharusan berpindah ke Darul Muhajirin agar mereka memperoleh hak dan kewajiban yang sama dengan hak dan kewajiban warga Darul Muhajirin. Darul Muhajirin adalah Darul Islam, sedangkan selainnya adalah Darul Harb. Karena itulah, orang-orang yang telah masuk Islam diminta berhijrah ke Darul Islam, agar diterapkan atas mereka hukum-hukum Darul Islam; dan apabila mereka tidak berpindah maka hukum-hukum Darul Islam tidak bisa diterapkan atas mereka, dengan kata lain yang diterapkan adalah hukum-hukum darul kufur.

Di samping itu, istilah darul kufr dan Darul Islam kedua-duanya adalah istilah syariat. Kata dr tersebut masing-masing disandarkan pada Islam dan harb atau kufr, bukan pada muslimn dan kuffr. Darul Islam mengandung arti bahwa yang memerintah dalam sebuah negara adalah Islam. Jika agama yang memerintah dalam sebuah negara, berarti kekuasaan dan keamanan adalah dalam naungan agama. Semua ini menunjukkan bukti bahwa dunia secara keseluruhan hanya terdiri dari darul Islam dan darul kufur.

Atas dasar itulah, politik luar negeri hanya bisa diartikan sebagai hubungan Negara Islam dengan negara-negara yang dianggap darul kufur, baik mayoritas penduduknya adalah Muslim atau non-Muslim.

Sementara itu, pandangan negara Barat terhadap negara lain bergantung pada kepentingan nasional (national interest) yang dapat diraih dalam hubungannya terhadap negara tersebut. Hubungan dengan Lembaga InternasionalOrganisasi, yang merupakan salah satu aktor dalam hubungan internasional ini, merupakan wadah atau sarana untuk melaksanakan kerjasama internasional. (Rudi, 1993: 1). Untuk memahami keberadaan organisasi internasional, Quincy Wright mendefinisikan organisasi internasional sebagai suatu seni untuk menciptakan dan mengurus masyarakat luas yang terdiri dari negara-negara merdeka untuk memudahkan kerjasama dalam mencapai tujuan dan keputusan bersama serta merupakan wadah atau tempat kerjasama hubungan internasional. (Kartasasmita, 1987:3).

Konsep dan praktik dasar yang menjadi inti organisasi internasional modern termasuk diplomasi, perdagangan, kesejahteraan, aturan-aturan mengenai penggunaan kekerasan, penyelesaian perdamaian, pengembangan hukum internasional, kerjasama ekonomi internasional, kerjasama sosial internasional, komunikasi dunia, keamanan bersama, administrasi internasional, dan gerakan-gerakan dalam pemerintahan dunia. Pandangan-pandangan dan praktik-praktik ini telah ada beberapa ratus tahun sebelumnya. Namun, pada dasarnya, mereka membentuk dasar bagi keberlangsungan suatu organisasi internasional dan bagi kebangkitan setiap organisasi pada masa yang akan dating. (Bennet, 1984: 4).

Dalam hubungannya dengan lembaga internasional, Khilafah tidak boleh ikut dalam lembaga internasional maupun regional yang tidak berasaskan Islam atau menerapkan hukum selain Islam. Selain itu, lembaga-lembaga ini merupakan alat politik negara besar, khususnya Amerika Serikat. Amerika Serikat telah memanfaatkan lembaga-lembaga ini untuk meraih kepentingan-kepentingan khusus mereka. Lembaga-lembaga ini merupakan media untuk menciptakan dominasi kaum kafir atas kaum Muslim dan negara Muslim. Oleh karena itu, secara syar, hal ini tidak diperbolehkan.2.4 Kontribusi Umat Islam dalam Perpolitikan Nasional

Dalam proses sejarah terbentuknya hukum nasional Indonesia, hukum Islam merupakan salah satu elemen pendukung selain hukum adat dan hukum Barat. Hukum Islam telah turut serta memberikan kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen. Meskipun perlu disadari pula bahwa mayoritas kuantitas penduduk muslim di suatu negara tidak selalu dapat diasumsikan berarti juga mayoritas dalam politik dan kesadaran melaksanakan hukum (Islam).

Kecenderungan masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa mayoritas muslim ingin semakin menegaskan diri dalam arti kekuasaan politik serta aspirasi pembentukan dan penerapan hukum yang didasarkan dan bersumber pada norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam. Indikator yang mencerminkan kecenderungan tersebut dapat dilihat dari lahirnya peraturan perundang-undangan yang dalam ketentuan-ketentuannya menyerap jiwa dan prinsip-prinsip hukum Islam serta melindungi kepentingan umat Islam. Kecenderungan yang paling signifikan nampak dalam berbagai aspirasi umat Islam yang mengusulkan pencantuman isi Piagam Jakarta dalam UUD 1945 serta penerapan hukum pidana Islam. Hal inilah yang kemudian menimbulkan polemik dalam struktur, substansi, dan budaya hukum di Indonesia yang pada akhirnya menimbulkan permasalahan. Dapatkah hukum Islam dan hukum nasional hidup berdampingan? Untuk menjawab permasalahan ini maka tulisan ini dibuat dalam kerangka pemikiran yang bersifat intersubyektif dimana tujuan utamanya adalah mencoba menjawab permasalahan tersebut.Hukum Islam, Piagam Madinah, dan UUD 1945

Menurut teori hukum Islam (Ushul Fiqh), hukum Islam terbentuk atas 4 (empat) landasan yaitu Al Quran dan Sunnah (landasan materiil), Ijma (landasan formal), dan Qiyas (aktivitas penyimpulan analogi yang efisien).

Dalam lingkungan masyarakat Islam sendiri berlaku 3 (tiga) kategori hukum, yaitu:Hukum Syariat (terdapat dalam Al Quran dan Hadits) yang berkaitan dengan perbuatan subyek hukum, berupa melakukan suatu perbuatan memilih atau menentukan sesuatu sebagai syarat, sebab, atau penghalang;

Fiqh (Ilmu atau hasil pemahaman para ulama mujtahid) tentang hukum-hukum syara yang bersifat perbuatan yang dipahami dari dalil-dalilnya yang rinci;

Siyasah Syariah (kewenangan Pemerintah/peraturan perundang-undangan) untuk melakukan kebijakan yang dikehendaki kemaslahatan melalui aturan yang tidak bertentangan dengan agama, meskipun tidak ada dalil tertentu.

Adapun mengenai Piagam Madinah, seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak lama setelah Nabi Muhammad Saw hijrah ke Madinah, beliau membuat suatu piagam politik yang merupakan salah satu strategi umat Islam untuk membina kesatuan hidup di antara berbagai golongan warga Madinah.

Dalam piagam tersebut dirumuskan aturan-aturan mengenai kebebasan beragama, hubungan antar kelompok, kewajiban mempertahankan hidup, dan sebagainya. Betapa tinggi nilai substansi Piagam Madinah tersebut hingga Almarhum Prof. Nurcholis Madjid menyatakan: bunyi naskah konstitusi (Piagam Madinah) itu sangat menarik. Piagam tersebut memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah untuk pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia.Dalam kaitan antara Piagam Madinah dengan kehidupan politik di Indonesia, tepatnya pada awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia, maka umat Islam di Indonesia pada masa itu juga membentuk kesatuan hidup bersama dengan pemeluk agama lain berdasarkan UUD 1945. Alamsyah Ratu Perwira Negara (Mantan Menteri Agama RI) berpendapat bahwa penerimaan umat Islam terhadap Pancasila menurut rumusannya yang kompromistis sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang terdapat dalam Alinea IV UUD 1945, merupakan hadiah umat Islam bagi persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Kedua konstitusi tersebut (Piagam Madinah dan UUD 1945) memiliki banyak kesamaan dalam hal pokok-pokok pemikiran, antara lain bahwa konstitusi merupakan bagian yang sangat penting dalam hidup bermasayarakat dan bernegara, dan juga berdasarkan perbandingan tersebut maka diperoleh kesimpulan bahwa yang paling penting dan harus selalu dipelihara dalam suatu konstitusi suatu masyarakat dan negara adalah sifat Islami, bukan label Islam.

Korelasi Hukum Islam Dengan Hukum Nasional

Tata hukum Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 telah memberikan landasan dan arahan politik hukum terhadap pembangunan bidang agama (hukum agama) dengan jelas. Menurut Prof. Mochtar Kusumatmadja, sila KeTuhanan Yang Maha Esa pada hakekatnya berisi amanat bahwa tidak boleh ada produk hukum nasional yang bertentangan dengan agama atau bersifat menolak atau bermusuhan dengan agama. Pasal 29 UUD 1945 menegaskan tentang jaminan yang sebaik-baiknya dari Pemerintah dan para penyelenggara negara kepada setiap penduduk agar mereka dapat memeluk dan beribadah menurut agamanya masing-masing. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui dan menjunjung tinggi eksistensi agama termasuk hukum-hukumnya, melindungi dan melayani keperluan pelaksanaan hukum-hukum tersebut.

Pola Legislasi

Berkaitan dengan kontribusi hukum Islam dalam hukum nasional di Indonesia maka terdapat 3 (tiga) pola legislasi hukum Islam dalam peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:

Hukum Islam berlaku untuk setiap warganegara dengan beberapa pengecualian. Pola ini dikenal sebagai pola unifikasi dengan diferensiasi (contoh: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)

Hukum Islam diundangkan dan hanya berlaku bagi umat Islam (contoh: Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh), dan

Hukum Islam yang masuk dalam peraturan perundang-undangan nasional dan berlaku untuk setiap warganegara (contoh: Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1990 Tentang Kesehatan).

Prospek Hukum Islam Di Indonesia

Berdasarkan keseluruhan dari uraian di atas, maka tidak ada alasan bagi bangsa Indonesia untuk tetap mendiskriminasikan hukum Islam dalam tata hukum nasional dengan alasan eksklusivitas, sebab secara historis hukum Islam dengan segenap pola legislasinya telah teruji, baik eksistensinya maupun efektivitasnya, dalam turut serta menjamin kehidupan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Hukum Islam bukanlah sesuatu yang harus dijadikan momok bagi masyarakat yang adil dan sejahtera karena hal ini telah terbukti sejak periode Piagam Madinah dimana kaidah-kaidah (hukum) Islam dapat menjamin kelangsungan penyelenggaraan negara secara adil dan sejahtera. Untuk mengimplementasikan semua itu tidak harus misalnya dengan menerapkan aturan-aturan pidana Islam di Indonesia ataupun bahkan dengan mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Islam, namun yang terpenting bahwa hukum Islam harus dapat menjiwai dan menjadi pondasi utama bagi struktur hukum nasional. Oleh karena itu, hukum Islam tidak hanya dapat hidup berdampingan dengan hukum nasional, namun hukum Islam juga dapat berperan sebagai pondasi utama dan melengkapi kekurangan-kekurangan hukum nasional.BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam menghadapi era globalisasi, hukum nasional Indonesia harus mampu menjawab tantangan fenomena global yang futuristik demi menjamin kelangsungan penyelenggaraan kehidupan bernegara secara adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dengan didampingi oleh kaidah-kaidah (hukum) Islam, ditambah dengan nilai-nilai intrinsik dari hukum adat dan modernisasi positif dalam hukum Barat, maka hendaknya hukum nasional bukan lagi merupakan kodifikasi dari aturan-aturan yang ada, melainkan sebagai alat modifikasi bagi terwujudnya kehidupan bernegara di Indonesia secara lebih baik.3.2 Saran

Sistem politik Islam harus mampu diaplikasikan oleh setiap umat Islam demi menunjang tercapainya negara Indonesia yang berlandaskan atas asas-asas syariat Islam. Dengan adanya syariat Islam dalam sistem politik ini, negara Indonesia bisa menciptakan masyarakat yang madani, damai, sejahtera, sehingga tujuan negara yang berlandaskan Pancasila dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia bisa tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

2