Pneumotoraks

36
iii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara atau gas dalam rongga pleura, yaitu, di ruang potensial antara pleura viseral dan parietal paru-paru. Hasilnya adalah kolaps dari paru-paru pada sisi yang terkena. Udara bisa masuk ruang intrapleural melalui komunikasi dari dinding dada (yaitu, trauma) atau melalui parenkim paru-paru di pleura viceralis. Hasil dari terapi pada 480 penderita dengan fraktur multiple costa dan dihubungkan pada trauma dada yang telah dianalisa. Berdasarkan dari trauma; 55 (25,5%) pasien pneumotoraks yang berkembang menjadi 71 (32,8%)-hemathorax, 90(41,7%)-hemopneumotoraks. Terapi konservatif dari pneumo dan hemotoraks dalam beberapa kasus kebanyakan (biasanya dilakukan tusukan pada rongga pleura, jarang dilakukan drainage). Pada 47 penderita yang berkaitan dengan trauma yang dengan forced position (posisi setengah duduk), Bertujuan untuk kateterisasi pada cavum pleura dengan menggunakan stiletto trocar melengkung dibawah sudut 60 derajat. Pada

description

pneumo thorak

Transcript of Pneumotoraks

iii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara atau gas dalam

rongga pleura, yaitu, di ruang potensial antara pleura viseral dan parietal paru-

paru. Hasilnya adalah kolaps dari paru-paru pada sisi yang terkena. Udara bisa

masuk ruang intrapleural melalui komunikasi dari dinding dada (yaitu, trauma)

atau melalui parenkim paru-paru di pleura viceralis.

Hasil dari terapi pada 480 penderita dengan fraktur multiple costa dan

dihubungkan pada trauma dada yang telah dianalisa. Berdasarkan dari trauma;

55 (25,5%) pasien pneumotoraks yang berkembang menjadi 71 (32,8%)-

hemathorax, 90(41,7%)-hemopneumotoraks. Terapi konservatif dari pneumo dan

hemotoraks dalam beberapa kasus kebanyakan (biasanya dilakukan tusukan

pada rongga pleura, jarang dilakukan drainage). Pada 47 penderita yang

berkaitan dengan trauma yang dengan forced position (posisi setengah duduk),

Bertujuan untuk kateterisasi pada cavum pleura dengan menggunakan stiletto

trocar melengkung dibawah sudut 60 derajat. Pada terapi clotting hematothoraks

digunakan streptokinase yang tercatat berefek positif pada 6 dari 7 pasien.

Indikasi untuk torakotomi dibatasi pada pasien dengan trauma dada yang

berhubungan dengan shock dan kehilangan darah akut (Rebecca B, 2011).

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa etiologi pneumotoraks?

2. Bagaimana cara menegakkan diagnlosa pneumotoraks?

3. Bagaimana penatalaksanaan pneumotoraks?

4. Apa saja saja komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks?

iv

1. 3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui etiologi pneumotoraks

2. Untuk dapat menegakkan diagnosa pneumotoraks

3. Untuk mengetahui penetalaksanaan pneumotoraks

4. Untuk mengetahui komplikasi yang dapat terjadi pada

pneumotoraks

v

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Pneumotoraks adalah penumpukan udara yang bebas dalam dada

diluar paru yang menyebabkan paru kolaps.

Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada

kavum pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga

paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Udara dalam

kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :

1. Robeknya pleura viseralis sehingga saat inspirasi udara yang

berasal dari alveolus akan memasuki kavum pleura. Pneumotoraks

jenis ini disebut sebagai closed pneumotoraks. Apabila kebocoran

pleura viseralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk

saat inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat

ekspirasi. Akibatnya, udara semakin lama semakin banyak

sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan

menyebabkan terjadinya tension pneumotoraks.

2. Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat

hubungan antara kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang

yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter trakea, maka udara

cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus

respiratorius yang seharusnya. Pada saat inspirasi, tekanan dalam

rongga dada menurun sehingga udara dari luar masuk ke kavum

pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru

ipsilateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat,

vi

akibatnya udara dari kavum pleura keluar melalui lubang tersebut.

Kondisi ini disebut sebagai open pneumotoraks (Berck, 2010).

2.2 Epidemiologi

Pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi pneumotoraks

spontan dan traumatik. Pneumotoraks spontan merupakan pneumotoraks

yang terjadi tiba-tiba tanpa atau dengan adanya penyakit paru yang

mendasari. Pneumotoraks jenis ini dibagi lagi menjadi pneumotoraks

primer (tanpa adanya riwayat penyakit paru yang mendasari) maupun

sekunder (terdapat riwayat penyakit paru sebelumnya).

Insidensinya sama antara pneumotoraks primer dan sekunder,

namun pria lebih banyak terkena dibanding wanita dengan perbandingan

6:1. Pada pria, resiko pneumotoraks spontan akan meningkat pada

perokok berat dibanding non perokok. Pneumotoraks spontan sering

terjadi pada usia muda, dengan insidensi puncak pada dekade ketiga

kehidupan (20-40 tahun).

Sementara itu, pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh

trauma langsung maupun tidak langsung pada dinding dada, dan

diklasifikasikan menjadi iatrogenik maupun non-iatrogenik. Pneumotoraks

iatrogenik merupakan tipe pneumotoraks yang sangat sering terjadi

(Berck, 2010).

Umur : Biasanya terjadi pada orang yang ber usia 20-40 tahun

Seks : Lebih sering pada pria

Pneumotoraks spontan primer

Biasanya terjadi pada anak laki-laki yang tinggi, kurus dan usia

10-30 tahun

vii

Incidens pada usia tertentu: 7,4-18 kasus per 100.000 orang per

tahun pada laki-laki 1,2-6 kasus per 100.000 orang per tahun pada

perempuan

Pneumotoraks spontan sekunder

Umur : Puncak kejadian di usia 60-65 tahun insidensi 6,3 kasus

per 100.000 orang per tahun pada laki-laki 2,0 kasus per 100.000

orang per tahun pada perempuan 26 per 100.000 pasien dengan

penyakit paru obstruktif kronik per tahun (McCool FD, 2008)

Kejadian pneumotoraks spontan primer adalah 18 per 100.000 orang per

tahun dan 6 per 100.000 perempuan per tahunnya.

Hal ini terjadi paling sering di usia 20-an, dan pneumotoraks spontan

primer jarang terjadi di atas usia 40.

Pneumotoraks spontan sekunder biasanya terjadi antara usia 60 dan 65.

Antara Tahun 1991 dan 1995 tingkat MRS di UK Hospitalbaik untuk

pneumotoraks spontan primer dan sekunder adalah 16,7 per 100.000

orang per tahun dan 5,8 per 100.000 perempuan per tahun.

Rekurensiakan terjadi pada sekitar 30% dari 45% primer dan sekunder

pneumotoraks. Hal ini sering terjadi dalam 6 bulan, dan biasanya dalam

waktu 3 tahun. (Korom S, 2011)

2.3 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Mekanisme Kejadian

2.3.1 Pneumotoraks spontan

2.3.1.1 Pneumotoraks Spontan Primer

Pneumotoraks ini merupakan pneumotoraks yang terjadi pada paru-

paru yang sehat dan tidak ada pengaruh dari penyakit yang mendasari. Angka

kejadian pneumotoraks spontan primer (PSP) sekitar 18-28 per 100.000 pria

pertahun dan 1,2-6 per 100.000 wanita pertahun (Mackenzie and Gray, 2007).

viii

Umumnya, kejadian ini terjadi pada orang bertubuh tinggi, kurus, dan berusia

antara 18-40 tahun. Mekanisme yang diduga mendasari terjadinya PSP adalah

ruptur bleb subpleura pada apeks paru-paru (Heffner and Huggins, 2004). Udara

yang terdapat di ruang intrapleura tidak didahului oleh trauma, tanpa disertai

kelainan klinis dan radiologis. Namun banyak pasien yang dinyatakan mengalai

PSP mempunyai penyakit paru-paru subklinis. Riwayat keluarga dengan kejadian

serupa dan kebiasaan merokok meningkatkan resiko terjadinya pneumotoraks ini

(Heffner and Huggins, 2004).

Faktor yang saat ini diduga berperan dalam patomekanisme PSP

adalah terdapat sebagian parenkim paru-paru yang meningkat porositasnya.

Peningkatan porositas menyebabkan kebocoran udara viseral dengan atau tanpa

perubahan emfisematous paru-paru. Hubungan tinggi badan dengan

peningkatan resiko terjadinya PSP adalah karena gradien tekanan pleura

meningkat dari dasar ke apeks paru. Akibatnya, alveoli pada apeks paru-paru

orang bertubuh tinggi rentan terhadap meningkatnya tekanan yang dapat

mendahului proses pembentukan kista subpleura (Mackenzie and Gray, 2007).

PSP umumnya dapat ditoleransi dengan baik oleh penderitanya

karena tidak adanya penyakit paru-paru yang mendasari (Heffner and Huggins,

2004). Pada sebagian besar kasus PSP, gejala akan berkurang atau hilang

secara spontan dalam 24-48 jam. Kecepatan absorpsi spontan udara dari rongga

pleura sekitar 1,25-1,8% dari volume hemitoraks per hari, dan suplementasi

oksigen sebesar 10 lpm akan meningkatkan kecepatan absorpsi sampai dengan

empat kali lipat (Mackenzie and Gray, 2007). Beberapa macam terapi yang dapat

dilakukan pada pasien PSP antara lain observasi, drainase interkostal dengan

atau tanpa pleurodesis, dan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS)

(Heffner and Huggins, 2004).

ix

Panduan terapi untuk PSP dikeluarkan oleh British Thoracic Society

(BTS) dan American College of Chest Physician (ACCP). Terdapat perbedaan

untuk besar-kecilnya pneumotoraks dan jenis terapi untuk PSP kecil simtomatik

dan PSP simtomatik yang stabil di antara keduanya(Mackenzie and Gray, 2007).

Berikut adalah ringkasan gabungan panduan terapi menurut BTS dan ACCP

(Mackenzie and Gray, 2007).

a. Clinically stable small pneumotoraks

Kedua panduan menyatakan terapi untuk pasien stabil dengan

pneumotoraks kecil (<2 cm, BTS; <3 cm, ACCP) dan gejala

minimal adalah dengan melakukan observasi dan di-KRS-kan.

Panduan ACCP menyarankan dilakukannya observasi sekitar 3-6

jam, foto rontgen paru-paru, diKRSkan dengan instruksi lengkap,

dan pasien diminta untuk kontrol dalam dua hari berikutnya.

b. Large pneumotoraks and symptomatic small pneumotoraks

Pasien yang tergolong dalam PSP ini membutuhkan intervensi.

BTS merekomendasikan aspirasi sederhana sebagai terapi lini

pertama pada PSP luas dengan kondisi stabil dan pneumotoraks

kecil simtomatis. CXR dilakukan setelah aspirasi untuk

menentukan apakah terdapat perbaikan. Apabila tidak ada

perbaikan atau pasien masih simtomatis dan jumlah aspirasi awal

kurang dari 2,5 liter aspirasi ulangan dapat dilakukan. Apabila

aspirasi pertama sudah lebih dari 2,5 liter atau aspirasi ulangan

tidak berhasil maka pemasangan drain interkostal harus dilakukan.

c. Clinically unstable patients with a large pneumotoraks

Pada pasien yang termasuk dalam kategori ini sebaiknya dilakukan

pemasangan drain interkostal dan di-MRS-kan. Paru-paru harus

x

dapat mengembang sepenuhnya 24 jam sebelum drain dilepas.

CXR dilakukan setiap 24 jam.

d. Surgical intervention

Terapi pembedahan harus mulai dipikirkan apabila terdapat

kebocoran udara persisten atau paru-paru gagal melakukan re-

ekspansi setelah 3-5 hari.Indikasi dilakukannya operasi meliputi

terjadinya pneumotoraks ipsilateral yang kedua, pneumotoraks

kontralateral yang pertama, dan adanya reiko pekerjaan seperti

penyelam atau pilot. Pasien dengan profesi tersebut sebaiknya

menjalani tindakan operasi bilateral. Pilihan terapi pembedahan

yang dapat dilakukan seperti VATS, pleural abrasion, surgical talc

pleurodesis, pleurectomy, dan open thoracostomy (Mackenzie and

Gray, 2007)

Pada pemasangan drain interkostal, ukuran kateter pleura tidak

mempengaruhi efektivitas drain pada terapi PSP. Selain itu, tidak ada korelasi

antara ukuran drain dan tingkat komplikasi, rekurensi, dan lamanya pasien

dirawat. Namun kateter dengan diameter kecil tidak dapat digunakan apabila

terdapat cairan pleura (karena dapat menyumbat) dan adanya kebocoran udara

(menyebabkan reekspansi yang tidak adekuat). Suction hanya dapat

dipertimbangkan 48 jam setelah pemasangan drain untuk mengurangi resiko

terjadinya edema re-ekspansi paru-paru dan harus dikonsulkan kepada dokter

ahli paru-paru. BTS merekomendasikan sistem suction dengan volume besar

dan tekanan rendah (-10 to -20 cm H2O). Drain sebaiknya tidak diklem kecuali

diminta oleh ahli paru atau spesialis bedah TKV. Pengekleman drain dapat

berbahaya dan tidak ada bukti yang menunjukkan peningkatan angka

keberhasilan atau penurunan resiko rekurensi. Indikasi klem drain adalah apabila

xi

terdapat kebocoran udara terus menerus karena berpotensi menyebabkan

tension pneumotoraks.

2.3.1.2 Pneumotoraks Spontan Sekunder

PSS merupakan pneumotoraks yang terjadi pada pasien dengan

penyakit paru yang mendasari. Umumnya PSS terjadi sebagai komplikasi COPD,

fibrosis kistik, tuberkulosis, pneumocystits pneumonia, dan menstruasi. PSS juga

dapat terjadi ada penyakit intersisiel paru seperti sarcoidosis,

lymphangioleiomyomatosis, langerhans cell histiocytosis and tuberous sclerosis.

Secara umum udara pada PSS memasuki rongga pleura melalui alveoli yang

melebar atau rusak. Perburukan klinis dan sequelae biasanya terjadi akibat

adanya kondisi komorbid.

Causa terbanyak PSS adalah COPD, khususnya COPD sedang-berat.

Apabila pneumotoraks terjadi pasien COPD gejala sesak napas yang progresif

muncul dan biasanya bersamaan dengan nyeri pleuritik. PSS merupakan

penanda signifikan untuk mortalitas pasien COPD. Setiap kejadian pneumotoraks

meningkatkan resiko kematian sampai dengan empat kali lipat. Sekitar 40-50%

pasien akan mengalami PSS yang kedua apabila pleurodesis tidak dilakukan

(Heffner and Huggins, 2004).

Untuk penangan PSS, ACCP merekomendasikan pemasangan chest

tube untuk setiap pasien PSS, dan pleurodesis pada episode pertama PSS guna

mencegaj rekurensi. Sedangkan rekomendasi BTS merekomendasikan aspirasi

dengan syringe dan kateter untuk pasien pneumotoraks kecil dengan penyakit

paru yang mendasari ringan. Sebagian besar pasien membutuhkan drainase

melalui chest tube. Pelepasan chest tube dilakukan setelah terjadi re-ekspansi

paru dan resolusi kebocoran udara. Pleurodesis merupakan terapi pilihan terakhir

xii

dan dilakukan pada pasien dengan kebocoran udara yang tidak teratasi dan

mengalami pneumotoraks rekuren (Mackenzie and Gray, 2007).

2.3.2 Pneumotoraks Traumatik

2.3.2.1 Pneumotoraks Traumatik Iatrogenik

Pneumotoraks iatrogenikmerupakan pneumotoraks yang terjadi akibat

pembukaan rongga paru secara paksa saat tidakan dianosis atau terapi invasif

dilakukan . Tindakan seperti thoracocentesis, biopsi pleura, pemasangan kateter

vena sentral, biopsi paru perkutan, bronkoskopi dengan biopsi transbronkial,

aspiasi transtoracic, dan ventilasi tekanan positif dapat menjadi etiologinya.

Akibatnya, pasien perlu lebih lama dirawat di rumah sakit (Yilmaz, et al, 2002).

Penyebab utama terjadinya pneumotoraks iatrogeni adalah aspirasi

jarm halus transthoracic. Dua faktor yang memegang perang penting adalah

ukuran dan kedalaman lesi. Apa bila lesi kecil dan dalam maka resiko

pneumotoraks meningkat. Penyebab kedua terbanyak adalah pemasangan

kateter vena sentral. Penyebab lainnya antara lain akupunkktur transthoracic,

resusitasi jantung-paru, dan penyalahgunaan obat melalui vena leher (Sharma,

2009).

2.3.2.2 Pneumotoraks Traumatik Non Iatrogenik

Pneumotoraks jenis ini terjadi akibat trauma tumpul atau tajam yang

merusak pleura viseralis atau parietalis. Pada trauma tajam, luka menyebabkan

udara dapat masuk ke rongga pleura langsung ke dinding toraks atau memenuju

pleura viseralis melalui cabang-cabang trakeobronkial. Luka tusuk atau luka

tembak secara langsung melukai paru-paru perifer menyebabkan terjadinya

hemothoraks dan pneumotoraks di lebih dari 80% lesi di dada akibat benda ajam

(Sharma, 2009).

xiii

Pada trauma tumpul pneumotoraks terjadi apabila pleura viseralis

terobek oleh fraktur atau dislokasi costa. Kompresi dada tiba-tiba menyebabkan

peningkatan tekanan alveolar secara tajam dan kemudian terjadi ruptur alveoli.

Saat alveoli ruptur udara masuk ke rongga intersisiel dan terjadi diseksi menuju

pleura viseralis atau mediastinum. Pneumotoraks terjadi saat terjadi ruptur pada

pleura viseralis atau mediastinum dan udara masuk ke rongga pleura.

Manifestasi klinisnya dapat berupa Fallen lung sign/peptic lung sign di mana hilus

paru terletak lebih rendah dari normal atau terdapat pneumotoraks persisten

dengan chest tube terpasang dan berfungsi dengan baik (Sharma, 2009).

Pneumotoraks traumatik noniatrogenik juga dapat terjadi akibat

barotrauma. Pada suhu konstan, volume massa udara berbanding terbalik

dengan tekanannya, sehingga apabila ditempatkan pada ketinggian 3050 m,

volume udara yang tersaturasi pada tubuh meningkat 1,5 kali lipat daripada saat

di ketinggian permukaan laut. Pada peningkatan tekanan tersebut, udara yang

terjebak dalam bleb dapat mengalami ruptur dan menyebabkan pneumotoraks.

Hal ini biasanya terjadi pada kru pesawat terbang. Sedangkan pada penyelam,

udara yang terkompresi dialirkan ke paru-paru harus melalui regulator dan

sewaktu naik ke permukaan barotrauma dapat terjadi seiring dengan penurunan

tekanan secara cepat sehingga udara yang terdapat di paru-paru dapat

menyebabkan pneumotoraks (Sharma, 2009)

2.4 Klasifikasi Pneumotoraks Berdasarkan Jenis Fistulanya

2.4.1 Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada

dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan

di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun

berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya.

xiv

Pada kondisi tersebut paru belum mengalami reekspansi, sehingga masih

ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali

negatif.Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga

pleura tetap negatif. Misal terdapat robekan pada pleura viseralis dan paru

atau jalan nafas atau esofagus, sehingga masuk vakum pleura karena

tekanan vakum pleura negatif (Alsagaff, 2009).

2.4.2 Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)

Pneumotoraks terbuka yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan

antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia

luar karena terdapat luka terbuka pada dada. Dalam keadaan ini tekanan

intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka

tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan

perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan.Pada saat

inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan

menjadi positif.Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan

normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi

dinding dada yang terluka (sucking wound) (Alsagaff, 2009).

2.4.3 Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)

Pneumotoraks ventil adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura

yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di

pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk

melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus

menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam

rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga

pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer.Udara yang

terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering

menimbulkan gagal napas (Alsagaff, 2009).

xv

2.5 Patofisiologi Pneumotoraks

Pneumotoraks diklasifikasikan atas pneumotoraks spontan, traumatik,

iatrogenik. Pneumotoraks spontan dibagi lagi menjadi pneumotoraks spontan

primer dan sekunder. Pneumotoraks traumatik disebabkan oleh trauma pada

organ paru dan pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari intervensi

diagnostic ataupun terapeutik.

Pneumotoraks spontan primer terjadi tanpa kelainan atau penyakit

paru yang mendasarinya, namun pada sebuah penelitian dilaporkan bahwa bula

subpleural ditemukan pada 76-100% pasien pneumotoraks spontan primer

dengan tindakan video-assisted thoracoscopic surgery dan torakotomi. Kasus

pneumotoraks spontan primer sering dihubungkan dengan faktor resiko merokok

yang mendasari pembentukan bula subpleural, namun pada sebuah penelitian

dengan komputasi tomografi (CT-scan) menunjukkan bahwa 89% kasus dengan

bula subpleural adalah perokok berbanding dengan 81% kasus adalah bukan

perokok.

Mekanisme pembentukkan bula masih merupakan spekulasi namun

sebuah teori menjelaskan bahwa terjadi degradasi serat elastin paru yang

diinduksi oleh rokok yang kemudian diikuti oleh serbukan neutrofil dan makrofag.

Proses ini menyebabkan ketidakseimbangan protease-antiprotease dan sistem

oksidan-antioksidan serta menginduksi terjadinya obstruksi saluran nafas akibat

proses inflamasi. Hal ini akan meningkatkan tekanan alveolar sehingga terjadi

kebocoran udara ke jaringan interstitial paru menuju hilus dan menyebabkan

pneumomediastinum. tekanan di mediastinum akan meningkat dan pleura

parietalis pars mediastinum ruptur sehingga terjadi pneumotoraks.

Rongga pleura memiliki tekanan negatif, sehingga bila rongga ini terisi

oleh udara akibat rupturnya bula subpleural, paru-paru akan kolaps sampai

tercapainya keseimbangan tekanan tercapai atau bagian yang ruptur tersebut

xvi

ditutup. Paru-paru akan bertambah kecil dengan bertambah luasnya

pneumotoraks. Konsekuensi dari proses ini adalah timbulnya sesak akibat

berkurangnya kapasitas vital paru dan turunnya PO2.

Sebuah penelitian lain menunjukkan bahwa faktor genetik berperan

dalam patogenesis terjadinya pneumotoraks spontan primer. Beberapa kasus

pneumotoraks spontan primer ditemukan pada kelainan genetik tertentu, seperti:

sindrom marfan, homosisteinuria, serta sindrom Birt-Hogg-Dube.

Pneumotorakas spontan sekunder terjadi akibat kelainan/penyakit paru

yang sudah ada sebelumnya. Mekanisme terjadinya adalah akibat peningkatan

tekanan alveolar yang melebihi tekanan interstitial paru. Udara dari alveolus akan

berpindah ke interstitial menuju hilus dan menyebabkan pneumomediastinum.

Selanjutnya udara akan berpindah melalui pleura parietalis pars mediastinal ke

rongga pleura dan menimbulkan pneumotoraks. Beberapa penyebab terjadinya

pneumotoraks spontan sekunder adalah:

Penyakit saluran napas

o PPOK

o Kistik fibrosis

o Asma bronchial

Penyakit infeksi paru

o Pneumocystic carinii pneumonia

o Necrotizing pneumonia (infeksi oleh kuman anaerobik, bakteri gram

negatif atau staphylokokus)

Penyakit paru interstitial

o Sarkoidosis

o Fibrosis paru idiopatik

o Granulomatosis sel langerhans

xvii

o Limfangioleimiomatous

o Sklerosis tuberus

Penyakit jaringan penyambung

o Artritis rheumatoid

o Spondilitis ankilosing

o Polimiositis dan dermatomiosis

o Sleroderma

o Sindrom Marfan

o Sindrom Ethers-Danlos

Kanker

o Sarkoma

o Kanker paru

Endometriosis toraksis

Pneumotoraks traumatik dapat disebabkan oleh trauma penetrasi

maupun non-penetrasi.Trauma tumpul atau kontusio pada dinding dada juga

dapat menimbulkan pneumotoraks. Bila terjadi pneumotoraks, paru akan

mengempes karena tidak ada lagi tarikan ke luar dnding dada. Pengembangan

dinding dada pada saat inspirasi tidak diikuti dengan pengembangan paru yang

baik atau bahkan paru tidak mengembang sama sekali. Tekanan pleura yang

normalnya negatif akan meningkat hingga menyebabkan gangguan ventilasi

pada bagian yang mengalami pneumotoraks.

Pneumotoraks iatrogenik merupakan komplikasi dari prosedur medis

atau bedah.Salah satu yang paling sering adalah akibat aspirasi transtorakik

(transthoracic needle aspiration), torakosentesis, biopsy transbronkial, ventilasi

mekanik tekanan positif (positive pressure mechanical ventilation).Angka

xviii

kejadian kasus pneumotoraks meningkat apabila dilakukan oleh klinisi yang tidak

berpengalaman.

Pneumotoraks ventil (tension pneumotoraks) terjadi akibat cedera

pada parenkim paru atau bronkus yang berperan sebagai katup searah.Katup ini

mengakibatkan udara bergerak searah ke rongga pleura dan menghalangi

adanya aliran balik dari udara tersebut.Pneumotoraks ventil biasa terjadi pada

perawatan intensif yang dapat menyebabkan terperangkapnya udara ventilator

(ventilasi mekanik tekanan positif) di rongga pleura tanpa adanya aliran udara

balik.

Udara yang terperangkap akan meningkatkan tekanan positif di rongga

pleura sehingga menekan mediastinum dan mendorong jantung serta paru ke

arah kontralateral. Hal ini menyebabkan turunnya curah jantung dan timbulnya

hipoksia. Curah jantung turun karena venous return ke jantung berkurang,

sedangkan hipoksia terjadi akibat gangguan pertukaran udara pada paru yang

kolaps dan paru yang tertekan di sisi kontralateral. Hipoksia dan turunnya curah

jantung akan menggangu kestabilan hemodinamik yang akan berakibat fatal jika

tidak ditangani secara tepat.

2.6 Diagnosis Pneumotoraks

2.6.1 Keluhan

a) Nyeri dada hebat yang tiba-tiba pada sisi paru terkena khususnya

padasaat bernafas dalam atau batuk.

b) Sesak, dapat samapai berat, kadang bisa hilang dalam 24 jam,

apabila sebagian paru yang kolaps sudah mengembang kembali

c) Mudah lelah pada saat beraktifitas maupun beristirahat.

d) Warna kulit yang kebiruan disebabkan karena kurangnya oksigen

(cyanosis)

xix

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

a) Inspeksi: dapat terjadi pencembungan dan pada waktu pergerakan

nafas, tertinggal pada sisi yang sakit

b) Palpasi: Pada sisi yang sakit ruang sela iga dapat normal atau

melebar, iktus jantung terdorong kesisi thoraks yang sehat. Fremitus

suara melemah atau menghilang.

c) Perkusi: Suara ketok hipersonor samapi tympani dan tidak bergetar,

batas jantung terdorong ke thoraks yang sehat, apabila tekanannya

tinggi

d) Auskultasi: suara nafas melemah sampai menghilang, nafas dapat

amforik apabila ada fistel yang cukup besar

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

a) Radiologis:

1. Tampak bayangan hiperlusen baik bersifat lokal maupun general

2. Pada gambaran hiperlusen ini tidak tampak jaringan paru, jadi

avaskuler.

3. Bila pneumotoraks hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya

kolaps dari paru- paru sekitarnya, sehingga massa jaringan paru

yang terdesak ini lebih padat dengan densitas seperti bayangan

tumor.

4. Biasanya arah kolaps ke medial

5. Bila hebat sekali dapat menyebabkan terjadinya perdorongan

pada jantung misalnya pada pneumotoraks ventil atau apa yang

kita kenal sebagai tension pneumothorax

6. Juga mediastinum dan trakea dapat terdorong kesisi yang

berlawanan.

b) BGA: untuk memeriksa kadar oksigen dalam darah pasien

xx

2.7. Penatalaksanaan Pneumotoraks

2.7.1 Penatalaksanaan Awal pada Pneumotoraks

Penatalaksanaan awal pada semua pasien trauma adalah dilakukan

stabiisasi leher hingga dipastikan pasien tidak mengalami cedera cervical dengan

cara memasang cervical collar atau dengan kantong berisi pasir. Evaluasi tingkat

kesadaran dengan menyapa pasien dan dilaknjutkan dengan pemeriksaan ABC

(airway, breathing, circulation) (Boon, 2008).

Pada pemeriksaan jalan nafas yaitu membuka jalan nafas dengan jaw

thrust (bila dicurigai terdapat cedera cervical/pada pasien tidak sadar) atau head

tilt chin lift dilanjutkan dengan membersihkan rongga mulut dengan swab

mengunakan jari telunjuk, mempertahankan jalan nafas agar tetap terbuka. Pada

pasien tidak sadar dilakukan pemasangan orofaringeal tube untuk mencegah

lidah jatuh dan menutup jalan nafas (Boon, 2008).

Pemeriksaan pernafasan yaitu melihat, mendengar, dan merasakan

dilakukan secara bersamaan. Pada pasien dengan pneumotoraks

perkembangan dinding dada asimetris, deviasi trakea ke paru yang sehat, JVP

meningkat, suara nafas menurun bahkan menghilang dan pada perkusi

didapatkan hipersonor. Bila didapatkan tanda-tanda tersebut, langsung dilakukan

tindakan needle thoracostomy (Boon, 2008).

Pemeriksaan nadi carotis dan radialis didapatkan takhikardi, akral dan

memeriksa capillary refill test. Dilakukan pemasangan intravenous line, bila

terjadi perdarahan masif dilakukan pemasangan double line dengan cairan

kristaloid (Boon, 2008).

2.7.2 Penatalaksanaan Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

Kebanyakan simple pneumothoraces akan membutuhkan pemasangan

intecostal chest drain sebagai terapi definitif. Pneumothoraces kecil, khususnya

xxi

yang hanya terlihan dengan CT dapat diobservasi. Keputusan untuk data

diobservasi berdasarkan status klinis pasien prosedur yang direncanakan

berikutnya. Pemasangan chest tube cocok pada kasus yang terdapat multiple

injury, pasien yang menjalani anestesia yang berkepanjangan, atau pasien yang

akan ditransfer dengan jarak yang jauh dimana deteksi peningkatan atau tension

pneumothorax mungkin sulit atau tertunda (Brohi, 2004).

2.7.3 Penatalaksanaan Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)

Oksigen 100% harus diberikan melalui facemask. Intubasi harus

dipertimbangkan bila oksigenasi atau ventilasi tidak adekuat. Intubasi tidak boleh

menunda pemasangan chest tube dan penutupan luka. Manajemen definitif pada

open pneumotoraks adalah menutup luka dan segera memasang intercostal

chest drain (Brohi, 2004).

Bila chest drain tidak tersedia dan pasien jauh dari fasilitas yang bisa

melakukan terapi definitif perban dapat diletakkan di atas luka dan diplester pada

tiga sisinya. Secara teori, hal tersebut bertindak sebagai katup-flap untuk

memungkinkan udara keluar dari pneumotoraks selama ekspirasi, namun tidak

masuk selama inspirasi. Hal ini mungkin sulit bila dilakukan pada luka yang luas

dan efeknya sangat bervariasi. Sesegera mungkin chest drain harus dipasang

dan luka ditutup (Brohi, 2004).

2.7.4 Penatalaksanaan Tension Pneumothorax

2.7.4.1 Needle Thoracostomy

Manajemen klasik tension pneumothorax adalah dekompresi dada

emergensi dengan needle toracostomy. Jarum ukuran 14-16 G ditusukkan pada

Intercostal Space (ICS) II Mid Clavicular Line (MCL). Jarum dipertahankan

hingga udara dapat dikeluarkan melalui spuit yang terhubung dengan jarum.

xxii

Jarum ditarik dan kanul dibiarkan terbuka di udara. Udara yang keluar dengan

cepat dari dada menunjukkan adanya tension pneumothorax. Manuver ini

mengubah tension pnemothorax menjadi simple pneumothorax (Brohi, 2004).

2.7.4.2 Pemasangan Chest Tube

Pemasangan chest tube merupakan terapi definitif pada tension

pnemothorax. Chest tube harus tersedia dengan cepat di ruang resusitasi dan

pemasangannnya biasanya cepat. Pemasangan terkontrol chest tube lebih baik

untuk blind needle thoracostomy. Hal ini menyebabkan status respiratori dan

hemodinamik pasien akan menoleransi beberapa menit tambahan untuk

melakukan surgical thoracostomy. Setelah pleura dimasuki (diseksi tumpul),

tekanan akan didekompresi dan pemasangan chest tube dapat dilakukan tanpa

terburu-buru. Hal ini terutama berlaku bagi pasien yang terventilasi manual

dengan tekanan positif (Brohi, 2004).

2.8 Komplikasi Pneumotoraks

Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumotoraks antara lain adalah

pneumomediastinum dan emfisema subkutis. Pneumomediastinum dapat terjadi

melalui tiga tahap yang umum disebut dengan efek Macklin. Urutan kejadiannya

adalah terjadinya ruptur alveolar kemudian terjadi diseksi sepanjang seubung

bronkovaskuler menuju daerah hilus dan akhirnya udara mencapai mediastinum.

Pneumomediastinum jarang menyebabkan komplikasi klinis yang signifikan.

Tetapi pada beberapa kasus, tension pneumomediastinum dapat menyebabkan

peningkatan tekanan mediastinum sehingga terjadi penekanan langsung

terhadap jantung atau menurunkan aliran darah balik sehingga terjadi penurunan

curah jantung. Pneumomediastinum dapat berkembang menjadi emfiesema

subkutis. Apabila udara pada subkutan dan mediastinum sangat banyak dapat

terjadi kompresi jalan napas dan jantung (Carolan, 2010).

xxiii

Gambar 2.1 Pneumomediastinum Gambaran pneumomediastinum pada foto

thoraks tampak sebagai daerah radiolusens di sekitar batas jantung

kiri.

Mediastinum berhubungan dengan daerah submandibula,

retrofaringeal, dan selubung pembuluh darah leher, dan toraks lateral (Carolan,

2010). Emfisema subkutis terjadi akibat udara memasuki daerah-daerah tersebut

dan bermanifestasi sebagai pembengkakan tidak nyeri. Pada palpasi akan

terasa seperti kertas. Gambaran radiologis untuk emfisema subkutis adalah

radiolusen di tepian struktur anatomi terkait.Komplikasi ini dapat memperparah

keadaan pasien dengan pneumotoraks akibat kompresi jalan napas. Pertolongan

pertama yang dapat dilakukan apabila terjadi distres adalah insisi kulit dengan

pisau pada daerah kulit yang mengalami pembengkakan (Paramasivam, 2008).

BAB III

xxiv

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Pneumotoraks merupakan suatu kondisi dimana terdapat udara pada kavum

pleura akibat robeknya pleura viseralis atau robeknya dinding dada dan

pleura parietalis

2. Pneumotoraks diklasifikasikan berdasarkan mekanisme kejadian yakni

spontan dan primer, jenis fistel menjadi simple dan tension pneumotoraks,

dan lokalisasinya

3. Diagnosa pneumotoraks ditegakkan melalui anamnesa dan pemeriksaan

fisik, serta ditunjang oleh pemeriksaan radiologis

4. Penatalaksanaan awal pneumotoraks dilakukan berdasarkan pemeriksaan

Airway, Breathing, dan Circulation sedangkan penatalaksanaan lanjutan

seperti pemasangan chest tube, thoracotomy, dan pleurodesis, dilakukan

berdasarkan jenis pneumotoraks dan perkembangan keadaan klinis pasien

5. Komplikasi yang dapat berkembang dari kejadian pneumotoraks antara lain

emfisema subkutis dan pneumomediastinum dapat berlanjut menjadi depresi

saluran napas gangguan kontraksi jantung dan berujung pada kematian

DAFTAR PUSTAKA

xxv

Alsagaff H, Mukty HA. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya:

Airlangga University Press

Arief N, Syahruddin E. 2008. Pneumotoraks.

http://www.pulmo-ui.com/tesis/PratamaAD.pdf. Diakses tanggal 23

September 2011 jam 21.00

Bascom R. 2006. Pneumothorax.

http://www.emedicine.com/med/fulltopic/topic1855.htm. Diakses tanggal

22 September 2011 jam 21.00

Bascom, R. 2011. Peumothorax. http://emedicine.medscape.com/article/424547.

Diakses tanggal 23 September 2011 jam 21.00

Berck, M. 2010. Pneumothorax.

http://nefrologyners.wordpress.com/2010/11/03/pneumothorax-2/. Diakses

tanggal 25 September 2011 jam 15.20

Boowan JG. 2006 Pneumotoraks, Tension and Traumatic.

http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC470.HTM. Diakses tanggal 23

September 2011 jam 20.00

Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Open.

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTopen.html. Diakses tanggal

26 September 2011 jam 19.30

Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Simple.

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTpneumo.html. Diakses

tanggal 26 September 2011 jam 19.00

Brohi K. 2004. Chest Trauma: Pneumothorax-Tension.

http://www.trauma.org/archive/thoracic/CHESTtension.html. Diakses

tanggal 26 September 2011 jam 19.00

xxvi

Carolan, PL. 2010. Pneumomediastinum. Medscape Reference. Emedicine.

http://www.medscape.com/article/1003409. Diakses tanggal 29 September

2011 Jam 03.00

Chang AK. 2007. Pneumothorax, Iatrogenic, Spontaneous and

Pneumomediastinum. http://www.emedicine.com/emerg/TOPIC469.HTM.

Diakses tanggal 29 September 2011 jam 03.00

Heffner, JE and Huggins, JT. 2004. Management of Secondary Spontaneous

Pneumthorax: Thers’s Confusion in the Air. Chest Journal; 125; 190-1192.

Korom S, Conyurt H, Missbach A, et al. 2011. Pneumothorax.

http://www.patient.co.uk/doctor/Pneumothorax.htm. Diakses tanggal 25

September 2011. jam 15.15

Mackenzie, SJ, and Gray, A. 2007. Primary Spontaneous Pneumothorax: why all

the confusion over first-line treatment?. Journal of Royal College of

Physicians of Edinburgh; 37:335-338

McCool FD, Rochester DF, et al. 2008. Pneumothorax.

http://www.harrisonspractice.com/practice/ub/view/Harrisons

%20Practice/141278/all/Pneumothorax. Diakses tanggal 25 September

2011 jam 15.00

Paramasivam, E. 2008. Air Leaks, Pneumothorax, and Chest Drains:

Subcutaneous Emphysema, Pneumomediastinum, and

Pneumopericardium. Cont edu Anaesth Crit Care & Pain. 8(6): 204-209.

Oxford University Press

Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous Pneumothorax. N Eng J Med 2000; 342:

868-74

Yılmaz, A, Bayramgürler, B, Yazıcıoğlu, O, Ünver, M, Ertuğrul, M, Güngör, N,

Baran, R. 2002. Iatrogenic Pneumothorax: Incidence and Evaluation of

the Therapy. Turkish Respiratory Journal, August 2002, Vol.3, No.2

xxvii