Pneumonia

download Pneumonia

of 13

description

Penatalaksanaan CAP dan HAP

Transcript of Pneumonia

A. DefinisiPneumonia merupakan inflamasi yang mengenai parenkim paru. Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract (LRT)) akut, biasanya disebabkan oleh infeksi. Sebenarnya pneumonia bukan penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel (Jeremy, 2007)

B. EpidemiologiMenurut WHO tahun 2008, insidens pneumonia anak-balita di negara berkembang adalah 151,8 juta kasus pneumonia setiap tahun, 10% diantaranya merupakan pneumonia berat dan perlu perawatan di rumah sakit. Di negara maju terdapat 4 juta kasus setiap tahun sehingga total insidens pneumonia di seluruh dunia ada 156 juta kasus pneumonia anak balita setiap tahun. Terdapat 15 negara dengan insidens pneumonia anak balita paling tinggi, mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari setengahnya terdapat di 6 negara, mencakup 44% populasi anak-balita di dunia. Di Indonesia sendiri, insidensi penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian mencapai 20-50% (Kepmenkes RI, 2010).

C. KlasifikasiKlasfikasi pneumonia secara garis besar dibagi berdasarkan klinis dan epidemiologis1. Pneumonia komuniti (Community Acquired Pneumonia atau CAP) merupakan pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari (Jeremy, 2007).2. Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia atau HAP) merupakan pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit3. Pneumonia aspirasi/ anaerob merupakan infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan (Jeremy, 2007).4. Pneumonia oportunistik yang terjadi pada pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan mikobakteri, selain organisme bakteria lain (Jeremy, 2007).

D. EtiologiPneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Adapun mikroorganisme dan masalah patologis yang menyebabkan pneumonia antara lain:

Menurut Kepmenkes RI tahun 2010, menyatakan bahwa pneumonia komuniti (CAP) biasanya disebabkan bakteri gram positif, sedangkan pneumonia di rumah sakit (HAP) banyak disebabkan oleh bakteri gram negatif. Akhir-akhir ini laporan dari beberapa kota di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, Makassar) menunjukkan bahwa bakteri yang ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita pneumonia komuniti adalah bakteri gram negatif. Adapun bakteri tang diperoleh dari pemeriksaan sputum sebagai berikut: Klebsiella pneumoniae 45,18% Streptococcus pneumoniae 14,04% Streptococcus vurudans 9,21% Staphylococcus aureus 9% Psedomonas aeruginosa 8,56% Streptococcus hemolyticus 7,89% Enterobacter 5,26% Pseudomonas spp 0,9%

Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komuniti. Pneumonia nosokomial dapat disebabkan oleh kuman bukan multi drug resistance (MDR) misalnya S. pneumoniae, H. influenzae, Methicillin sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) dan kuman MDR misalnya Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter spp dan Gram positif seperti Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA). Angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial di Indonesia tidak diketahui disebabkan antara lain data nasional tidak ada dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi (Kepmenkes RI, 2010).

E. PatofisiologiPneumonia terjadi bila satu atau lebih mekanisme diatas mengalami gangguan sehingga kuman patogen dapat mencapai saluran nafas bagian bawah. Inokulasi patogen penyebab pada saluran nafas menimbulkan respon inflamasi akut pada penjamu yang berbeda sesuai dengan patogen penyebabnya.1. Pneumonia viralVirus akan menginvasi saluran nafas kecil dan alveoli, umumnya bersifat patchy dan mengenai banyak lobus. Pada infeksi virus ditandai lesi awal berupa kerusakan silia epitel dengan akumulasi debris ke dalam lumen. Respon inflamasi awal adalah infiltrasi sel-sel mononuklear ke dalam submukosa dan perivaskular. Sejumlah kecil sel-sel PMN akan didapatkan dalam saluran nafas kecil. Bila proses ini meluas, dengan adanya sejumlah debris dan mukus serta sel-sel inflamasi yang meningkat dalam saluran nafas kecil maka akan menyebabkan obstruksi baik parsial maupun total. Respon inflamasi ini akan diperberat dengan adanya edema submukosa yang mungkin bisa meluas ke dinding alveoli. Respon inflamasi di dalam alveoli ini juga seperti yang terjadi pada ruang intersitial yang terdiri dari sel-sel mononuklear. Proses infeksi yang berat akan mengakibatkan terjadinya denudasi (pengelupasan) epitel dan akan terbentuk eksudat hemoragik. Infiltrasi ke intersitial sangat jarang menimbulkan fibrosis. Pneumonia viral pada anak merupakan predisposisi terjadinya pneumonia bakterial oleh karena rusaknya barier mukosa (Jeremy, 2007).2. Pneumonia bakterialKetika bakteri dapat mencapai alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan. Saat terjadi kontak antara bakteri dengan dinding alveoli maka akan ditangkap oleh lapisan cairan epitelial yang mengandung opsonin dan tergantung pada respon imunologis penjamu akan terbentuk antibodi imunoglobulin G spesifik. Dari proses ini akan terjadi fagositosis oleh makrofag alveolar (sel alveolar tipe II), sebagian kecil kuman akan dilisis melalui perantaraan komplemen. Mekanisme seperti ini terutama penting pada infeksi oleh karena bakteri yang tidak berkapsul seperti Streptococcus pneumoniae. Ketika mekanisme ini tidak dapat merusak bakteri dalam alveolar, leukosit PMN dengan aktifitas fagositosisnya akan direkrut dengan perantaraan sitokin sehingga akan terjadi respon inflamasi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya kongesti vaskular dan edema yang luas, dan hal ini merupakan karakteristik pneumonia oleh karena pneumokokus. Kuman akan dilapisi oleh cairan edematus yang berasal dari alveolus ke alveolus melalui pori-pori Kohn (the pores of Kohn). Area edematus ini akan membesar secara sentrifugal dan akan membentuk area sentral yang terdiri dari eritrosit, eksudat purulen (fibrin, sel-sel lekosit PMN) dan bakteri. Tahap selanjutnya adalah hepatisasi kelabu yang ditandai dengan fagositosis aktif oleh lekosit PMN. Pelepasan komponen dinding bakteri dan pneumolisin melalui degradasi enzimatik akan meningkatkan respon inflamasi dan efek sitotoksik terhadap semua sel-sel paru. Proses ini akan mengakibatkan kaburnya struktur seluler paru (Jeremy, 2007).

F. Manifestasi KlinisGejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab, usia pasien, status imunologis pasien dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa berat yaitu sesak, sianosis, dapat juga gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi (non spesifik), gejala pulmonal, pleural dan ekstrapulmonal. Gejala non spesifik meliputi demam, menggigil, sefalgia dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare atau sakit perut (Jeremy, 2007).

G. DiagnosisTujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi komplikasi, menilai keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk membantu memilih antibiotika (Jeremy, 2007).1. Gambaran klinisa. AnamnesisGambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 400C, batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak napas dan nyeri dada.b. Pemeriksaan fisikTemuan pemeriksaan fisis dada tergantung dari luas lesi di paru. Pada inspeksi dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pasa palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi (Anonim b, 2003).2. Pemeriksaan penunjanga. Gambaran radiologisFoto toraks (PA/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk menegakkan diagnosis. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan " air broncogram", penyebab bronkogenik dan interstisial serta gambaran kaviti. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Steptococcus pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai beberapa lobus (Anonim b, 2003).b. Pemeriksaan labolatoriumPada pemeriksaan labolatorium terdapat peningkatan jumlah leukosit, biasanya lebih dari 10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan hikarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik (Anonim b, 2003).Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung dan bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal (Anonim a, 2003).

H. Penatalaksanaan terapiTujuan dari terapi pneumonia adalah : Meningkatkan kualitas hidup pasien Mengurangi gejala Memperlambat perkembangan penyakit Memperpanjang harapan hidupSasaran terapi pneumonia mencegah penularan penyakit dan mencegah terjadinya komplikasiStrategi terapiTerapi pendukung pada pneumonia meliputi : Pemberian oksigen yang dilembabkan pada pasien yang menunjukkan tanda sesak, hipoksemia. Bronkhodilator pada pasien dengan tanda bronkhospasme Fisioterapi dada untuk membantu pengeluaran sputum Nutrisi yang memadai Hidrasi yang cukup, bilaperlu secara parenteral Pemberian antipiretik pada pasien dengan demam

1. Pneumonia komuniti (Community Acquired Pneumonia atau CAP)Penatalaksanaan pneumionia komuniti dibagi menjadi:a. Penderita rawat jalan1) Pengobatan suportif / simptomatik Istirahat di tempat tidur Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran2) Pemberian antiblotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jamb. Penderita rawat inap di ruang rawat biasa1) Pengobatan suportif / simptomatik Pemberian terapi oksigen Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik2) Pengobatan antibiotik harus diberikan (sesuai bagan) kurang dari 8 jamc. Penderita rawat inap di Ruang Rawat Intensif1) Pengobatan suportif / simptomatik Pemberian terapi oksigen Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi kalori dan elektrolit Pemberian obat simptomatik antara lain antipiretik, mukolitik2) Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.) kurang dari 8 jam3) Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik (Anonim b, 2003).

(Lutfiyya, Eric and Linda, 2006).

Adapun antibiotik yang dapat digunakan untuk penderita CAP, antara lain:(Lutfiyya, Eric and Linda, 2006).

2. Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired Pneumonia atau HAP)Semua terapi diawali dengan pemberian antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektivitas yang maksimal. Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman MDR. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk.

Tabel 1. Terapi Antibiotik awal secara empiris untuk HAP atau VAP pada pasien tanpa faktor risiko patogen MDR, onset dini dan semua derajat penyakit (Mengacu ATS.IDSA 2004)

Tabel 2. Terapi Antibiotik awal secara empiris untuk HAP atau VAP untuk semua derajat penyakit pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (Mengacu ATS.IDSA 2004)

Tabel 3. Terapi Antibiotik intravena awal secara empiris untuk HAP atau VAP pada pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR (Mengacu ATS.IDSA 2004)

Gambar 2. Skema Terapi Empirik untuk HAP dan VAP

Lama terapi Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat, penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosadan Enterobacteriaceae maka lama terapi 14 21 hari. Respons terapiRespons terhadap terapi dapat didefinisikan secara klinis maupun mikrobiologi. Respons klinis terlihat setelah 48 72 jam pertama pengobatan sehingga dianjurkan tidak merubah jenis antibiotik dalam kurun waktu tersebut kecuali terjadi perburukan yang nyata. Setelah ada hasil kultur darah atau bahan saluran napas bawah maka pemberian antibiotik empirik mungkin memerlukan modifikasi. Apabila hasil pengobatan telah memuaskan maka penggantian antibiotik tidak akan mengubah mortaliti tetapi bermanfaat bagi strategi de-eskalasi. Bila hasil pengobatan tidak memuaskan maka modifikasi mutlak diperlukan sesuai hasil kultur dan kepekaan kuman. Respons klinis berhubungan dengan faktor pasien (seperti usia dan komorbid), faktor kuman (seperti pola resisten, virulensi dan keadaan lain). Hasil kultur kuantitatif yang didapat dari bahan saluran napas bawah sebelum dan sesudah terapi dapat dipakai untuk menilai resolusi secara mikrobiologis. Hasil mikrobiologis dapat berupa : eradikasi bakterial, superinfeksi, infeksi berulang atau infeksi persisten. Parameter klinis adalah jumlah leukosit, oksigenasi dan suhu tubuh. Perbaikan klinis yang diukur dengan parameter ini biasanya terlihat dalam 1 minggu pengobatan antibiotik. Pada pasien yang memberikan perbaikan klinis, foto toraks tidak selalu menunjukkan perbaikan, akan tetapi apabila foto toraks memburuk maka kondisi klinis pasien perlu diwaspadai.

I. Peran Apoteker Apoteker mempunyai tanggungjawab untuk berpartisipasi dalam program pengawasan infeksi pada sistem kesehatan. Tanggungjawab ini muncul dari pengetahuan yang dimiliki Apoteker tentang infeksi dan antibiotika serta perannya dalam mempengaruhi penulisan resep antibiotika. Tanggung jawab ini dijabarkan lebih lanjut meliputi :1. Mengurangi penyebaran infeksi dengan Berpartisipasi dalam Komite Pengendali Infeksi dirumah sakit, Memberikan saran tentang pemilihan antiseptik, desinfektan, Menyusun prosedur, kebijakan untuk mencegah, terkontaminasinya produk obat yang diracik di instalasi farmasi/apotek, Menyusun rekomendasi tentang penggantian, pemilihan alat-alat kesehatan injeksi, infus alat kesehatan yang digunakan untuk tujuan baik invasive maupun non-invasif, serta alat kesehatan balut yang digunakan di ruang perawatan, ruang tindakan, ICU (Anonim, 2005).2. Promosi penggunaan antibiotika secara rasional dengan bekerja sama dalam struktur Komite Farmasi dan Terapi menentukan jumlah dan tipe antibiotika yang beredar cukup untuk mengatasi infeksi sesuai dengan populasi pasien yang dilayani. Prioritas diberikan untuk menyusun kebijakan tentang penggunaan antibiotika yang akan berdampak pada outcome terapi yang optimal di samping meminimalkan penyebaran strain mikroorganisme yang resisten, Menghimbau kerjasama multidisiplin dalam sistem kesehatan untuk memastikan bahwa penggunaan antibiotika untuk tujuan profilaksis, terapi empirik, maupun terapi definitif menghasilkan outcome yang optimal, Mendidik tenaga professional,pasien maupun masyarakat tentang infeksi dan antibiotika, Menyiapkan bulletin, newsletter, presentasi tentang seputar antibiotika dan penggunaannya yang rasional bagi petugas kesehatan, Memberikan edukasi, konseling kepada pasien tentang penggunaan antibiotika dan Berpartisipasi dalam program pendidikan kesehatan masyarakat yang bertujuan membatasi penyebaran penyakit infeksi (Anonim, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Anonim a, 2003, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Anonim b, 2003, Pneumonia Komuniti: Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

Anonim, 2005, Pharmaceutical Care untuk Infeksi Saluran Pernafasan, Direktorat Bina Farmasi dan Klinik, Direktoral Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.

Jeremy, P.T. (2007). At Glance Sistem Respirasi. Edisi Kedua. Jakarta: Erlangga Medical Series. Hal. 76-77.

Kementerian Kesehatan RI, 2010, Buletin Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita, Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi, Volume 3, Depertemen Kesehatan RI.

Lutfiyya, M.N., Eric, H., and Linda, F,C., 2006, Diagnosis and Treatment of Community-Acquired Pneumonia, Journal, American Academy of Family Physicians.

Mutiarkn, 2015, Pneumonia Referat, http://documents.tips/documents/pneumonia-referat-5614162729414.html.

1