PMS dan PMDD

14
Premenstrual Syndrome (PMS) Definisi Premenstrual Syndrome (PMS) atau Sindroma Pra Menstruasi adalah sekumpulan gejala fisik maupun psikologis yang muncul sekitar 7-10 hari sebelum menstruasi. Gejala-gejala sebelum mentruasi ini biasanya berkurang atau bahkan menghilang saat fase menstruasi dimulai. Namun, ada juga yang tetap berlanjut hingga hari-hari pertama menstruasi (Seedhom et al, 2013). PMS merupakan diagnosis yang diberikan ketika gejala yang timbul cukup parah dan mampu mempengaruhi kegiatan sehari-hari dan dapat secara negatif mempengaruhi perilaku, sedangkan Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD) merupakan diagnosis untuk PMS derajat parah dengan fokus spesifik terhadap gejala afektif (Kathleen et al, 2010) Epidemiologi Estimasi prevalensi dari PMS sangat beragam. Berdasarkan laporan epidemiologi yang menggunakan kriteria diagnosis PMS oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) , prevalensi PMS pada wanita di Amerika Serikat berkisar antara 19-30%. Wanita dengan rentang usia akhir 20 tahunan hingga awal 30 tahunan yang paling banyak mencari pertolongan kesehatan atas gejala yang mereka alami. 1

description

Pre menstrual syndrome

Transcript of PMS dan PMDD

PMS-overview

Premenstrual Syndrome (PMS)

DefinisiPremenstrual Syndrome (PMS) atau Sindroma Pra Menstruasi adalah sekumpulan gejala fisik maupun psikologis yang muncul sekitar 7-10 hari sebelum menstruasi. Gejala-gejala sebelum mentruasi ini biasanya berkurang atau bahkan menghilang saat fase menstruasi dimulai. Namun, ada juga yang tetap berlanjut hingga hari-hari pertama menstruasi (Seedhom et al, 2013).PMS merupakan diagnosis yang diberikan ketika gejala yang timbul cukup parah dan mampu mempengaruhi kegiatan sehari-hari dan dapat secara negatif mempengaruhi perilaku, sedangkan Premenstrual Dysphoric Disorder (PMDD) merupakan diagnosis untuk PMS derajat parah dengan fokus spesifik terhadap gejala afektif (Kathleen et al, 2010)EpidemiologiEstimasi prevalensi dari PMS sangat beragam. Berdasarkan laporan epidemiologi yang menggunakan kriteria diagnosis PMS oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), prevalensi PMS pada wanita di Amerika Serikat berkisar antara 19-30%. Wanita dengan rentang usia akhir 20 tahunan hingga awal 30 tahunan yang paling banyak mencari pertolongan kesehatan atas gejala yang mereka alami. Menurut Dickerson et al (2005), sebanyak 85% remaja putri yang masih mendapatkan siklus menstruasi, mengalami satu atau lebih gejala sindrom pramenstruasi. Sedangkan penelitian Ruhana (2005), menunjukkan bahwa sebesar 87,2% mahasiswi TPB IPB mengalami PMS. Penelitian Dalton didapatkan adanya tanda-tanda sociological yang berhubungan dengan PMS. Tanda-tanda sociological yang berat mengakibatkan gangguan tersebut hanya terjadi pada 40-50% dari seluruh populasi wanita, sehingga tidak semua wanita menderita gangguan ini Prevalensi PMDD yaitu 3-8%, dengan rentang usia yang relatif sama dengan PMS.

EtiologiPMS dan PMDD hingga saat ini belum diketahui penyebab pastinya. Namun terdapat beberapa teori berikut (Kathleen et al, 2010):1. Respon abnormal terhadap siklus hormonal normalSaat ini teorinya adalah gejala pra menstruasi disebabkan oleh perubahan siklus normal dari steroid di ovarium. Perubahan siklik dari steroid ini kemungkinan bukan merupakan satu-satunya penjelasan dari gejala yang timbul. Level estrogen dan progesteron pada wanita dengan gejala pra mesntruasi hampir sama dengan wanita yang tidak mengalami, menunjukkan bahwa gangguan perilaku yang dialami wanita dapat dikarenakan respon abnormal dari neurotransmiter sentral untuk fungsi ovarium yang normal. 2. Penurunan level neurotransmiterPada wanita dengan gejala pra menstruasi, level serotonin sentral ternyata cenderung lebih rendah dan gejala diperburuk dengan deplesi dari triptofan yang merupakan prekursor serotonin. Hal ini dibuktikan dengan banyak pasien PMDD yang membaik dengan terapi selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs). Gamma-aminobutyric acid (GABA) andbeta-endorfin juga kemungkinan memiliki peran pada gejala pra menstruasi. Wanita dengan gejala pra menstruasi mengalami penurunan sensitivitas reseptor GABA dan level metabolit progesteron (alopregnanolon) yang tidak normal. 3. Defisiensi vitamin dan mineralBeberapa studi menunjukkan bahwa wanita dengan PMDD memiliki kadar magnesium yang rendah dan kadar kalsium yang rendah pada fase pra menstruasi namun belum ada kejelasan mengenai penyebab ini.

PatofisiologiPMS memiliki banyak gejala yang berkaitan dengan siklus menstruasi, sehingga peneliti sejak lama telah menduga hormon seks steroid turut andil dalam patofisiologi. Hal ini juga diperkuat dengan gejala yang hilang selama siklus anovulatori yang ditunjukkan pada pasien ovariektomi atau yang sedang dalam masa pemberian terapi untuk menghambat ovulasi, dan penunjukan gejala kembali pada pasien dengan pemberian hormon eksogen. Hipotesis menyebutkan bahwa gejala-gejala yang ditunjukkan dipicu dengan puncak estradiol pada masa pra ovulatori , peningkatan progesteron pada masa post ovulatori, atau bahkan keduanya. Meskipun demikian, teori ini tetap tidak dapat menjelaskan mengapa gejala dimulai saat ovulasi pada sebagian wanita dan pada fase luteal pada sebagian wanita lainnya. Perlu diketahui bahwa waktu saat gejala muncul pada satu siklus pada keadaan saat progesteron mendominasi atau lebih banyak daripada estrogen.Karena gejala dominan dari PMS menyangkut mood dan perilaku, diduga kuat mekanisme dasarnya melibatkan otak. Ditambah lagi, hormon seks steroid dapat dengan mudah melewati sawar darah otak dan reseptor hormon seks steroid terdapat di banyak tempat di otak yang meregulasi emosi dan perilaku, termasuk amigdala dan hipotalamus. Serotonin merupakan salah satu neurotransmiter otak yang berperan dalam regulasi mood dan perilaku serta memiliki peran dalam modulasi perilaku yang dipicu steroid seks. Hal ini dibuktikan dengan beberapa bukti, misalnya gejala pra menstruasi yang dapat mereda dengan pemberian SSRIs. Sedangkan,belum ada penjelasan yang lebih lanjut untuk gejala somatik misalnya ketegangan payudara, bengkak dan nyeri sendi (Yonkers et al, 2008). Faktor RisikoMenurut Seedhom et al (2013) da Yonkers et al (2008), selain berhubungan dengan wanita usia reproduktif, PMS juga sangat berhubungan dengan hal-hal berikut :1. Peningkatan BMI2. Gaya hidup sedentari (Sedentary Life Style)3. Paparan asap rokok4. Riwayat PMS dalam keluarga5. Konsumsi kafein yang berlebihan6. Terlalu sering mengonsumsi makanan cepat saji7. StressSedangkan untuk PMDD, menurut Kaur et al (2004) ada beberapa faktor resiko, yaitu sebagai berikut :1. UsiaPMDD lebih sering terjadi pada wanita usia akhir 20 tahun hingga pertengahan usia 30 tahun2. Gangguan jiwa Sekitar 70% wanita dengan PMDD memiliki riwayat gangguan jiwa misalnya depresi berat, anxiety disorder, personality disorder, dan penyalahgunaan obat-obatan. 3. Genetik 4. Paritas rendahWanita yang lebih jarang melahirkan lebih tinggi resikonya terjadi PMDD. Hal ini diduga karena lebih banyaknya paparan terhadap fluktuaasi estrogen dan progesteron dari siklus menstruasi.5. Faktor psikososialSemakin tinggi stressor semakin tinggi resiko terjadinya PMDD.

DiagnosisTerdapat beberapa gejala afektif dan somatik yang ditunjukkan oleh wanita dengan PMS menurut ACOG, sebagai berikut :1. Gejala Afektif Depresi Marah-marah Mudah tersinggung Cemas Bingung Penarikan diri dari dunia luar (menyendiri)

2. Gejala Somatik Sakit kepala Payudara tegang/bengkak/nyeri Pembengkakan ekstremitas karena adanya retensi air Pembengkakan abdomen karena adanya retensi airUntuk dapat menegakkan diagnosis PMS, gejala-gejala di atas harus memenuhi kriteria berikut :1. Diagnosis dapat ditegakkan jika paling tidak ada 1 gejala afektif dan somatik dalam 3 kali siklus menstruasi selama 5 hari sebelum onset mens. 2. Gejala harus mereda 4 hari setelah onset mens dan tidak timbul lagi hingga 12 hari setelah siklus. 3. Gejala harus tampak setidaknya 2 siklus setelah adanya pelaporan gejala. 4. Gejala dapat mempengaruhi aktivitas sosial atau pekerjaan.

Gambar 1. Kriteria Diagnostik PMS (Choi, 2009)Sedangkan untuk PMDD digunakan kriteria diagnostik Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM-IV), sebagai berikut :I. Pada sebagian besar siklus menstruasi tahun lalu setidaknya 5 gejala berikut (termasuk setidaknya 1 gejala kategori A) timbul sebagian besar 1 minggu sebelum menstruasi, mulai reda beberapa hari setelah mulainya fase folikular dan hilang seminggu setelah menstruasi.

A. Gejala primer1. Depresi yang nyata, perasaan putus asa atau pikiran yang mencela diri sendiri 2. Kecemasan dan ketegangan yang nyata3. Labil ( misalnya tiba-tiba merasa sedih atau menangis) yang nyata4. Kemarahan yang persisten dan nyata, mudah tersinggung atau peningkatan konflik interpersonalB. Gejala lain1. Penurunan minat dalam kegiatan sehari-hari seperti bergaul dengan teman dan melakukan hobi2. Rasa subjektif dari kesulitan dalam berkonsentrasi 3.Lesu, mudah lelah, atau penurunan energi yang nyata4. Perubahan nafsu makan yang nyata, makan berlebihan, atau mengidam makanan tertentu5. Hipersomnia atau insomnia 6. Merasa di luar kendali 7. Gejala fisik lainnyaII. Gejala nyata mengganggu pekerjaan, sekolah, kegiatan sehari-hari, atau hubungan dengan orang lain.III. Gejala bukan merupakan eksaserbasi dari penyakit lain.IV. Kriteria I, II, dan III sudah dikonfirmasi oleh penilaian prospektif setiap hari selama setidaknya dua siklus menstruasi gejala berturut-turut.

Gambar 2. Kriteria Diagnostik PMDD (Choi, 2009)Hingga saat ini belum ditemukan marker biologis atau tes laboratorium yang dapat digunakan untuk melakukan verifikasi terhadap PMS dan PMDD (Kathleen et al, 2010)

PenatalaksanaanBerikut merupakan contoh terapi yang dapat digunakan untuk PMS (Choi, 2009 ; Biggs dan Demuth, 2011): Terapi medikamentosa1. SSRIsBanyak penelitian telah menunjukkan bahwa SSRI efektif untuk pengelolaan PMS dan PMDD. SSRI mengurangi baik gejala afektif maupun gejala somatik , dan meningkatkan kualitas hidup, serta disetujui untuk pengobatan PMDD di Amerika Serikat .Meskipun pemberian segera SSRI (dalam waktu 24- 48 jam) memungkinkan pengobatan intermiten pada fase luteal dari siklus menstruasi , namun mungkin kurang efektif dibandingkan pengobatan secara, terutama untuk gejala somatik .Efek samping yang paling umum adalah mual, insomnia, kelelahan dan penurunan libido .

2. Agen psikotropika lainnyaGolongan serotonergik 5HT1-A agonis yaitu buspirone kurang efektivitasnya dalam kasus PMS dan PMDD. Namun, alprazolam mungkin berguna untuk wanita yang gejalanya terutama dari insomnia atau kecemasan luar biasa . Dalam peresepan anxiolytic, harus dilakukan secara hati-hati pada wanita dengan riwayat penyalahgunaan obat. Obat lain seperti lithium , antidepresan non - serotonergik , atau benzodiazepin tidak menunjukkan efek berarti.3. Terapi hormonAgonis GnRH sangat efektif , namun penggunaannya terbatas karena efek samping penurunan estrogen . Meskipun efek hipoestrogenik dapat dicegah dengan add-back therapy dengan pengganti estrogen-progestogen atau Tibolone , add-back therapy dapat menyebabkan kambuhnya gejala . Oleh karena itu , modalitas ini dapat dipertimbangkan ketika terapi lain telah gagal . Kontrasepsi oral baru (etinil estradiol 20 ug dan drospirenone 3 mg) dengan interval hormon bebas yang pendek (4 hari) menunjukkan peningkatan gejala somatik dan afektifpada wanita dengan PMDD. Efek yang menguntungkan ini mungkin timbul dari drospirenone, yang memiliki anti-aldosteron dan efek anti-androgen terkait erat dengan progesteron endogen. PembedahanOoforektomi bilateral untuk menghilangkan aktivitas ovarium merupakan cara yang efektif untuk menangani PMS, namun ini bersifat invasif. Terapi non-farmakologisModifikasi gaya hidup dibutuhkan oleh seluruh wanita dengan PMS dan harus dimulai sesegera mungkin. Yang termasuk dalam modifikasi gaya hidup adalah perubahan diet, terapi perilaku kognitif, serta obat komplementer dan alternatif. 1. DietPengurangan konsumsi garam, kafein, modifikasi diet gula serta diet rendah lemak tinggi serat dapat bermanfaat bagi wanita dengan gejala PMS. Penambahan konsumsi karbohidrat kompleks juga dapat bermanfaat dengan mekanisme peningkatan transpor triptofan ke otak, yang meningkatkan sintesis serotonin. Beberapa studi juga menunjukkan efek menguntungkan dari konsumsi vitamin B6 (pyridoxine)2. OlahragaOlahraga teratur dapat secara keseluruhan memperbaiki gejala PMS. Efek ini mungkin berhubungan dengan pengeluaran endorfin, yang dapat mengkompensasi penurunan endorfin pada fase luteal3. Terapi perilaku kognitifYang termasuk dalam terapi ini adalah relaksasi dan peningkatan kualitas tidur dengan sleep hygiene. Hal ini terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup wanita dengan PMS dan mengurangi gejala.Hingga saat ini, ACOG dan American Academy of Family Physicians (AAFP) merekomendasikan perubahan gaya hidup sebagai opsi terapi lini pertama untuk PMS, meskipun sebenarnya terapi yang paling sering digunakan adalah kontrasepsi oral dan/atau Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs). Berikut ini merupakan terapi lini pertama rekomendasi dari ACOG (Kathleen et al, 2010) : Perubahan gaya hidup misalnya latihan aerobik, modifikasi diet dan edukasi (misalnya, mengurangi konsumsi garam dan kafein atau meningkatkan konsumsi suplemen magnesium) serta istirahat cukup Untuk pembengkakan ekstremitas bisa digunakan spironolakton Untuk nyeri payudara bisa diberikan danazol, evening primrose oil, spironolakton, vitamin E, buah chaste berry Untuk kelelahan dan insomnsia bisa diberikan edukasi tentang kebiasaan tidur dan untuk mengurangi konsumsi kafein Untuk nyeri kepala bisa diberikan obat pengurang rasa sakit misalnya golongan NSAID atau asetaminofen.Apabila terapi diatas tidak menimbulkan perbaikan maka dapat dicoba dengan pemberian terapi hormonal misalnya kontrasepsi oral dan golongan GnRH agonis.

Sumber Pustaka

Biggs, W.S. & Demuth, R.H., 2011. Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder. American Family Physician, 84(8), pp.918924. Available at: http://www.aafp.org/afp/2011/1015/p918.html.

Choi, D.S., 2009. Premenstrual syndrome. Journal of Womens Medicine, 2(4), pp.141146. Available at: http://www.ksog.org/upload/ejournals/40324642.pdf.

Devi, M., 2009. Hubungan kebiasaan makan dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada remaja putri. TEKNOLOGI DAN KEJURUAN, 32(2), pp.197208. Available at: http://journal.um.ac.id/index.php/teknologi-kejuruan/article/viewFile/3101/461.

Kathleen, M., Lustyk, B. & Gerrish, W., 2010. Premenstrual Syndrome and Premenstrual Dysphoric Disorder: Issues of Quality of Life, Stress and Exercise. In Springer Science+Business Media LLC, pp. 19521971. Available at: https://www.spu.edu/depts/spfc/happenings/documents/chap115.pdf.

Kaur, G., 2004. Premenstrual dysphoric disorder: A review for the treating practitioner. CLEVELAND CLINIC JOURNAL OF MEDICINE, 71(4), pp.303321. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15117171.

Seedhom, A.E., Mohammed, E.S. & Mahfouz, E.M., 2013. Life Style Factors Associated with Premenstrual Syndrome among El-Minia University Students , Egypt. ISRN Public Health, 2013. Available at: http://dx.doi.org/10.1155/2013/617123.

5