Perempuan Dalam Konflik ISIS.docx

2
Perempuan Dalam Konflik ISIS Para Islamis radikal yang bernama ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) dik telah menculik ratusan perempuan dari sekte agama minoritas Yazidi etnis Kurdi di I untuk di!adikan budak se"# Sebagai suku non$%rab dan non$&uslim' etnis Yazidi se men!adi salah satu komunitas arga yang paling rapuh di Irak# Para perempuan Yazidi dan di!adikan budak se" bagi para militan ISIS sebagai hasil dari rampasan perang# diantaranya bahkan merupakan gadis$gadis diba ah umur yang berusia * hingga + tah ,eberapa dari mereka yang bisa melarikan diri akhirnya menceritakan mereka diamana mereka diculik dari keluarga mereka dan ditahan# Para perempuan yang oleh ISIS tidak hanya di!adikan budak se" melainkan !uga di!ual dan disiksa# %dapun sendiri menganggap apa yang dilakukannya terhadap perempuan Yazidi tersebut merupak yang dibenarkan dalam islam karena perempuan$perempuan tersebut merupakan perempuan perempuan kafir yang didapatkan sebagai hasil dari rampasan perang# -entu sa!a hal tersebut bagaimana pun menurut penulis merupakan perbuatan ke! tidak dapat dibenarkan oleh hukum manapun termasuk hukum islam# %pa yang telah dila oleh ISIS bukan hanya melanggar.%& dariperempuan$perempuan tersebut tapi!uga merupakan suatu ke!ahatan perang yang seharusnya mendapatkansangsi tegas dari dunia internasional# Dalam tulisan ini penulis mencoba melihat kasus tersebut dalam pandangan femi /eminisme adalah teori yang lahir lahir berdasarkan pemahaman bah a dunia dikuasai dominasi maskulinitas' dimana laki$laki men!adi suatu sub!ek yangmemegang kendali d secara penuh dengan memarginalkan posisi perempuan# Dalam pandangan feminisme dalam ilayah konflik perempuan memang berada di pos yang rentan# Pemerkosaan' perbudakan' dan pen!ualan terhadap perempuan di ilayah k 1 0udith &# ,ennett' 121' Feminism and History' 3ol# 4o# 5' diakses pada tanggal 61 %pril *6 7'p :I,' dalam http;<< $bcf#usc#edu<

Transcript of Perempuan Dalam Konflik ISIS.docx

Perempuan Dalam Konflik ISIS

Para Islamis radikal yang bernama ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) dikabarkan telah menculik ratusan perempuan dari sekte agama minoritas Yazidi etnis Kurdi di Irak Utara untuk dijadikan budak sex. Sebagai suku non-Arab dan non-Muslim, etnis Yazidi sejak lama menjadi salah satu komunitas warga yang paling rapuh di Irak. Para perempuan Yazidi diculik dan dijadikan budak sex bagi para militan ISIS sebagai hasil dari rampasan perang. beberapa diantaranya bahkan merupakan gadis-gadis dibawah umur yang berusia 12 hingga 14 tahun.Beberapa dari mereka yang bisa melarikan diri akhirnya menceritakan pengalaman mereka diamana mereka diculik dari keluarga mereka dan ditahan. Para perempuan yang diculik oleh ISIS tidak hanya dijadikan budak sex melainkan juga dijual dan disiksa. Adapun ISIS sendiri menganggap apa yang dilakukannya terhadap perempuan Yazidi tersebut merupakan hal yang dibenarkan dalam islam karena perempuan-perempuan tersebut merupakan perempuan-perempuan kafir yang didapatkan sebagai hasil dari rampasan perang. Tentu saja hal tersebut bagaimana pun menurut penulis merupakan perbuatan keji yang tidak dapat dibenarkan oleh hukum manapun termasuk hukum islam. Apa yang telah dilakukan oleh ISIS bukan hanya melanggar HAM dari perempuan-perempuan tersebut tapi juga merupakan suatu kejahatan perang yang seharusnya mendapatkan sangsi tegas dari dunia internasional.Dalam tulisan ini penulis mencoba melihat kasus tersebut dalam pandangan feminisme. Feminisme adalah teori yang lahir lahir berdasarkan pemahaman bahwa dunia dikuasai olehsuatu dominasi maskulinitas, dimana laki-laki menjadi suatu subjek yangmemegang kendali dunia secara penuh dengan memarginalkan posisi perempuan.[footnoteRef:1] [1: JudithM.Bennett,1989, Feminism and History, Vol. 1 No. 3, diakses pada tanggal 09 April 2015,pukul 17.36 WIB, dalamhttp://www-bcf.usc.edu/ ]

Dalam pandangan feminisme dalam wilayah konflik perempuan memang berada di posisi yang rentan. Pemerkosaan, perbudakan, dan penjualan terhadap perempuan di wilayah konflik bukanlah hal yang pertama kali dilakukan oleh ISIS tetapi jauh sebelumnya fenomena tersebut sudah merupakan hal yang pasti terjadi di wilayah yang berkonflik. Namun, dalam pandangan kaum feminis pemerkosaan dan perbudakan sex di wilayah konflik seperti yang dilakukan oleh ISIS tidak hanya sebatas faktor sebagai media pemuas nafsu. Feminis percaya bahwa tindak kekerasan yang diterima perempuan dalam wilayah konflik merupakan alat dalam strategi perang dan salah satunya sebagai alat pemusnah etnis atau genocida. Pemerkosaan dijadikan media perusak keturunan asli suku atau etnis tertentu.Hal ini sama seperti yang telah dilakukan oleh ISIS, dilaporkan bahwa ISIS telah menahan 5000-7000 perempuan yang sebagian besarnya merupakan suku Yazidi yang dimana kini nasib mereka tidak jelas apakan ditahan sebagai budak sex, dijual atau diserahkan ke militan sebagai selir. [footnoteRef:2] [2: http://internasional.kompas.com/read/2014/10/22/16451281/Wanita.Yazidi.Saya.Diperkosa.30.Kali.Hanya.dalam.Beberapa.Jam. . Diakses tanggal 09 April pukul 19.00 WIB.]

Dalam penyanderaan sebagai budak sex para perempuan tersebut juga diperlakukan secara tidak manusiawi. Seorang perempuan yang berhasil melarikan diri mengatakan bahwa para tentara ISIS bahkan tidak mengasihani perempuan-perempuan yang disekap bersama anak mereka dan membiarkan anak-anak mereka melihat apa yang mereka lakukan terhadap perempuan-perempuan tersebut. Para perempuan tersebut diperkosa hingga puluhan kali dalam sehari oleh laki-laki yang berbeda, perempuan tersebut juga dipukuli dan diancam jika menolak. Para tentara bahkan mentertawakan apa yang dia lakukan terhadap perempuan-perempuan tersebut dan menganggap seolah-olah mereka sangat hebat.[footnoteRef:3] [3: http://internasional.kompas.com/read/2014/09/09/09344831/Gadis.Yazidi.Kisahkan.Penderitaannya.Jadi.Budak.Seks.ISIS. Diakses tanggal 09 April pukul 19.00 WIB.]

Hal tersebut membuktikan bahwa terdapat subordinas antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh kepemilikan power yang tidak imbang. Dimana perempuan memiliki power yang lebih sedikit melalui bentukan sosial, ekonomi, politik, budaya dan keamanan sehingga mereka kurang berdaya dalam melakukan pilihan.