Peranan Hukum Agus Sangka
-
Upload
erickhyuga -
Category
Documents
-
view
36 -
download
5
Transcript of Peranan Hukum Agus Sangka
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan pembangunan yang telah dicapai di atas, di dorong oleh
kebijakan pembangunan di berbagai bidang, termasuk kebijakan pembangunan
bidang ekonomi yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dan
Rencana Pembangunan Lima Tahun, serta berbagai kebijakan ekonomi
lainnya.Peluang-peluang usaha yang tercipta selama tiga dasawarsa yang lalu
dalam kenyataannya belum membuat seluruh masyarakat mampu dan dapat
berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai sektor ekonomi. Perkembangan
usaha swasta selama periode tersebut, di satu sisi diwarnai oleh berbagai bentuk
kebijakan pemerintah yang kurang tepat sehingga pasar menjadi terdistorsi. Di
sisi lain, perkembangan usaha swasta dalam kenyataannya sebagian besar
merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat.
Fenomena di atas telah berkembang dan didukung oleh adanya hubungan
yang terkait antara pengambil keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara
langsung maupun tidak langsung, sehingga lebih memperburuk keadaan.
Penyelenggaraan ekonomi nasional kurang mengacu kepada amanat Pasal 33
UUD 1945, serta cenderung menunjukkan corak yang sangat
monopolistik.Memperhatikan situasi dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita
untuk mencermati dan menata kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia
usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar, sehingga tercipta
iklim persaingan usaha yang sehat, serta terhindarnya pemusatan kekuatan
ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk
praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat,
yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Oleh karena itu, diperlukan suatu instrumen hukum yang disusun dalam
bentuk Undang-Undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
1
Usaha Tidak Sehat yang dimaksudkan untuk menegakkan aturan hukum dan
memberikan perlindungan yang sama bagi setiap pelaku usaha di dalam upaya
untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat.
Instrumen hukum ini diharapkan memberikan jaminan kepastian hukum
untuk lebih mendorong percepatan pembangunan ekonomi dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan umum, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif
melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat, dan menjamin kepastian
kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang, mencegah praktek-praktek
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha,
serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha dalam rangka
meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta sebagai implementasi dari semangat dan jiwa UUD
1945.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam tulisan ini adalah: “Bagaimana peranan hukum anti
monopoli dan persaingan usaha dalam menciptakan demokrasi ekonomi di
Indonesia ?”
2
BAB IIPEMBAHASAN
Berkaitan dengan adanya macam-macam perjanjian dan kegiatan yang
dilarang oleh undang-undang, maka akan menimbulkan suatu pertanyaan apakah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat sudah efektif atau belum, mengingat undang-
undang ini baru diberlakukan secara efektif pada tahun 2000.
Namun perlu diingat bahwa secara konstitusional tidak semua usaha yang
bersifat monopoli dilarang. Sebelum amandemen UUD 1945, Pasal 33 ayat (2)
dan ayat (3) UUD 1945 serta penjelasannya memberikan kewenangan, hak dan
peran yang lebih besar terhadap pengelolaan cabang-cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Singkatnya, hanya sektor BUMN/BUMD
dan Koperasi saja yang diprioritaskan mengelolanya. Sedangkan pihak
perseorangan dan/atau badan hukum Swasta hanya dimungkinkan dengan
pembatasan-pembatasan tertentu. Namun setelah amandemen keempat UUD
1945, ternyata ada penambahan 2 (dua) ayat pada Pasal 33 UUD 1945, yaitu:
(1) Perekonoimian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatruan ekonomi nasional;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pasal ini diatur dalam undang-undang.
Penambahan ayat (4) dan ayat (5) di atas, telah meminimalkan makna hak
absolut negara atas pengelolaan cabang-cabang produksi yang menguasai hajat
hidup orang banyak. Kongkretnya, pihak Swasta pun sesuai prinsip demokrasi
ekonomi hakikatnya diperbolehkan mengelola cabang-cabang produksi yang
menguasai hajat hidup orang banyak sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
3
Menghadapi persaingan usaha yang sedemikian ketatnya pada era pasar
bebas, maka para pelaku usaha perlu melakukan langkah-langkah strategis, tidak
saja mencermati ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 tetapi lebih mendasar lagi
adalah membangun format kultur bisnis dan mengembangkan kultur hukum serta
menciptakan bentuk persaingan usaha yang sehat. Oleh karena itu, keberadaan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 secara normatif boleh dikatakan sudah
cukup optimal untuk mencegah, menindak dan mengeliminasi bentuk-bentuk
perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan dalam
kegiatan usaha berskala, lokal, nasional, regional, maupun global.Menurut
Christianto Wibisono negara-negara maju menerapkan ekonomi pasar terkendali
dan terarah. Memang kekuatan pasar, individu dan bisnis diberi hak dan
kesempatan seluas-luasnya untuk menjadi besar. Akan tetapi bila dalam
pelaksanaannya menghambat dan menutup jalannya perusahaan lain dan
mendikte masyarakat dengan monopolistik, saat itulah sistem politik-ekonomi
barat melarang penyalahgunaan kebesaran dan prestasi yang telah didapat
perusahaan itu.1 Di Indonesia hukum persaingan usaha merupakan bagian dari
hukum ekonomi. Dasar kebijakan politik perekonomian nasional dan hukum
ekonomi kita dengan sendirinya harus mengacu pada UUD 1945. Pasal 33 UUD
1945 secara jelas menyatakan bahwa perekonomian nasional harus dibangun atas
dasar falsafat demokrasi ekonomi dalam wujud ekonomi kerakyatan. Pasal 33 (1)
UUD 1945 menyatakan bahwa “perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan”. Sedangkan penjelasan Pasal 33 UUD 1945
menyatakan antara lain bahwa “dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi
ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau
penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang
diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
1Ibid., halaman 23.
4
Penggunaan hukum atau perundang-undangan sebagai instrumen
kebijakan merupakan perkembangan mutakhir dalam sejarah hukum. Untuk bisa
sampai pada tingkat perkembangan yang demikian, diperlukan persyaratan
tertentu, seperti timbulnya pengorganisasian sosial yang makin tertib dan
sempurna. Pengorganisasian ini tentunya dimungkinkan oleh adanya kekuasaan
di pusat yang makin efektif, dalam hal ini tidak lain adalah negara. Perundang-
undangan mempunyai kelebihan dari norma-norma sosial yang lain, karena
perundang-undangan dikaitkan pada kekuasaan yang tertinggi di suatu negara
yang karenanya pula memiliki kekuasaan memaksa yang besar sekali. Mudah
bagi perundang-undangan untuk menentukan ukuran-ukurannya sendiri tanpa
perlu menghiraukan tuntutan-tuntutan dari bawah.2
Pengaturan kehidupan ekonomi nasional melalui perundang-undangan
dimaksudkan untuk mewujudkan demokrasi ekonomi yang menjadi dasar politik
ekonomi nasional, yang memiliki ciri-ciri positif sebagai berikut:
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan;
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara;
c. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-
pokok kemakmuran rakyat dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat;
d. Sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan
lembaga perwakilan rakyat, dan pengawasan terhadap kebijaksanaannya ada
pada lembaga perwakilan rakyat pula;
e. Perekonomian daerah dikembangkan secara serasi dan seimbang antardaerah
dalam satu kesatuan perekonomian nasional dengan mendayagunakan potensi
dan peran serta daerah secara optimal dalam rangka perwujudan Wawasan
Nusantara dan Ketahanan Nasional;
2Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, halaman 85 dan 90.
5
f. Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang
dikehendaki serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan;
g. Hak milik perseorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat;
h. Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan
sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.3
Demikian pula dirumuskan ciri-ciri demokrasi ekonomi yang harus
dihindarkan dalam kehidupan ekonomi nasional, yaitu:
a. Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia
dan bangsa lain yang dalam sejarahnya di Indonesia telah menimbulkan dan
mempertahankan kelemahan struktural ekonomi nasional dan posisi
Indonesia dalam perekonomian dunia;
b. Sistem etatisme dalam arti bahwa negara beserta aparatur ekonomi negara
bersifat dominan, mendesak, dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-
unit ekonomi di luar sektor negara;
c. Persaingan tidak sehat serta pemusatan kekuatan ekonomi pada satu
kelompok dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan
masyarakat dan bertentangan dengan cita-cita keadilan.4
Beberapa tahun terakhir ini kondisi perekonomian Indonesia nampak
maju sangat pesat; banyak usaha swasta yang berkembang sangat pesat menjadi
penguasa dari sektor hulu sampai dengan hilir, tidak mempunyai pesaing yang
berarti. Nampaknya mudah saja jika pemerintah mengeluarkan peraturan-
3Perumusan ciri-ciri positif demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pertama kali dapat dijumpai dalam Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, yang selanjutnya diperkembangkan dan diperbaharui melalui GBHN sebagaimana telah ditetapkan secara berturut-turut dalam Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978, Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983, Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988, Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993, dan Ketetapan MPR Nomor II/MPR 1998.
4Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 dn GBHN 1973-1998.
6
peraturan yang memberikan kemudahan dan fasilitas kepada satu golongan atau
orang perorangan. Prinsip pemerataan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia seakan dilupakan dan yang lebih penting adalah kepentingan untuk satu
golongan ataupun orang perorangan saja (Ayudha D. Prayoga et al. (ed), 2000:
46-47).
Dalam analisis ekonomi tradisional pada umumnya terdapat 5 (lima)
dasar struktur pasar, pertama yaitu struktur pasar yang bersifat persaingan
sempurna (perfect competition), kedua yaitu struktur pasar yang bersifat
monopoli (monopoly), ketiga yaitu struktur pasar yang bersifat oligopoli
(oligopoly), keempat yaitu struktur pasar yang bersifat monopolistic
(monopolistic), dan kelima yaitu struktur pasar yang bersifat monopsoni
(monopsony). Model analisis ini sebenarnya sekedar untuk memprediksi perilaku
pelanggan atau konsumen dalam pembelian dan perilaku penjual atas harga dan
produksinya. Oleh karena itu, pasar sempurna, monopoli, oligopoli, persaingan
monopolistik, dan monopsoni sering disebut dalam satu tarikan nafas.
Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai monopoli, maka
keempat struktur lainnya diuraikan dalam bagian ini.
1. Persaingan sempurna (perfect competition)
Pasar sempurna menggambarkan suatu pasar yang kepentingan-
kepentingan konsumen (consumer interests)-nya menjadi kontrol pengertian lain,
produsen atau pemasok barang jumlahnya sangat banyak, sehingga sifatnya
otomatis dan barangnya homogen5.
Agnew mengungkapkan bahwa dalam tipe struktur industri, masyarakat
ekonomi modern (modern mainstream economic) umumnya mensyaratkan suatu
persaingan sempurna dengan kondisi-kondisi sebagai berikut:
a. Terdapat sejumlah besar perusahaan-perusahaan kecil yang menjual kepada
sejumlah besar pelanggan (customer).5Ernest Gelhorn dan William E. Kovacic, Anty Trust Law and Economics, in a Nutshell st Paul
Minn West Publishing Co, 1994, p. 52.
7
b. Tidak ada produsen atau pelanggan yang cukup besar untuk mempengaruhi
harga pasar dari komoditas. Dengan kata lain, jika suatau produsen individual
(individual producer) menahan output-nya dari pasar, maka tidak akan
mendorong kenaikan harga. Juga pelanggan individual (individual customer)
tidak akan dapat menurunkan harga dengan menolak untuk membeli dengan
harga tinggi;
c. Semua perusahaan berharap untuk mendapatkan keuntungan makimal;
d. Semua perusahaan secara tepat memproduksi produk yang sama, yang
diketahui sama oleh semua pelanggan;
e. Entry pada industri tersebut tidak dibatasi, sehingga sejumlah entrepreneur
yang memutuskan bahwa dia dapat memperoleh keuntungan dalam industri
tersebut dapat merancangnya tanpa hambatan, yang secara tepat berada dalam
kondisi yang sama sebagai perusahaan yang established, dan;
f. Setiap orang (pelanggan, pesaing dan potensial entrants) secara lengkap
mendapatkan informasi atas kesempatan-kesempatan yang ada.
Kondisi-kondisi yang digambarkan oleh Agnew tersebut tidak berbeda
dengan penegasan Ernest Gellgorn dan William E Kovacic yang secara rinci
disebutkan:
a. Terdapat banyak pembeli (buyers) dan penjual (sellers);
b. Kualitas produk-produk pasar yang dibeli oleh pembeli atau yang dijual oleh
penjual relatif kecil terhadap kuantitas total yang diperdagangkan, sehingga
pembatasan kuantitas produk tidak mempengaruhi harga pasar;
c. Produknya homogen; pembeli tidak memiliki alasan untuk lebih menyukai
penjual tertentu atau sebaliknya;
d. Semua penjual dan pembeli memiliki informasi yang lengkap mengenai harga
pasar (market price) dan asal barang-barang yang dijual;
e. Terdapat kebebasan yang sempurna (complete freedom) atau entry untuk
masuk dan keluar pasar.6
6Agnew, John, Competition Law, Allen & Unwin, London, 1994, p. 53.
8
Kondisi dalam persaingan yang sempurna ini akan mampu mendorong
terciptanya kondisi persaingan usaha yang kompetitif, efektif dan efisien. Oleh
karena itu, kondisi pasar yang demikian kompetitif,akan berdampak timbulnya
bentuik persainganusaha dan kondisi pasar yang sehat, wajar dan edeal. Sebab,
dengan banyaknya penjual, tak satupun produsen yang dapat menuntut
keuntungan lebih bagi produk-produknya dari biaya (termasuk untuk
pengambilan investasi secara wajar) pembuatan dan penjualannya. Jika harga
ditetapkan lebih tinggi, pembeli secara mudah akan berpindah kepada penjual
saingan-saingannya. Lebih dari itu, kemudahan memasuki dan keluar (entry and
exit) dari pasar adalah hal yang amat penting yang dapat menciptakan atraktifnya
investasi.
2. Monopoli (monopoly)
McCarty dan Bagby7 melihat monopoli sebagai gambaran suatu pasar
yang didominasi oleh satu penjual besar (large seller). Secara tipikal, tidak ada
pengganti dekat bagi produk penjual. Ini berarti, barrier to entry-nya tinggi, yakni
struktur yang membuat perusahaan-perusahaan lain sulit untuk masuk pasar dan
membuat produk-produk yang sama.8
Gambaran McCarty dan Bagby tersebut tidak ubahnya dengan yang
diketengahkan oleh Gellhorn dan Kovacic yang melihat monopoli sebagai the
other side of the theoretical coin of perfect competition. Demikian pula Browning
dan Browning, mengungkapkan if we classified arket structures by the number of
7McCarty , F. William dan John W. Bagby, 1990. The Legal Environment of Business, Irwin, Boston, 1990, p. 504.
8Definisi ini tak ubahnya dengan yang dikemukakan oleh Edgar K. Browning dan Jacquelene M. Browning, bahwa A Monopoly may be defined as the sole producer of some product that has no close ubstitute, (1983: 303). McCarty dan Bagby membedakan antar legal barriers to entry dan natural barriers to entry. Legal barriers to entry meliputi paten, hak cipta (copyright), francise, dan lisensi yang membatasi penggunaan oleh penjual besar teknologi. Adapun natural barriers to entry meliputi kebutuhan untuk membeli sejumlah besar asset untuk membuat produk tersebut.
9
cometting firms perfect competition would stand at one end of end of the pectrum
and monopoly at the other.9
Menurut Gellhorn dan Kovacic, pasar monopoli meliputi 3 (tiga) faktor
fungsional dan struktural, diantaranya:
a. Seorang penjual menguasai pasar secara keseluruhan;
b. Penjual produk tersebut khusus (unique), artinya tidak ada pengganti dekat
(close substitute for the seller’s product) sebagai pilihan konsumen untuk
dapat berpindah pada penjual lain.
c. Kondisi masuk bagi perusahaan-perusahaan lain ke dalam industri dan
kondisi keluarnya amat sulit.10
Dalam kaitannya dengan monopoli, Butler mengungkapkan bahwa
definisi yang lengkap mengenai monopoli harus meliputi monopolis price dan of
decisions, identifikasi produk monopolis, dan sumber barriers to entry yang
menjadikan monopolis survive.11
Pendefinisian yang melibatkan sumber barrier to entry tersebut lebih
bersentuhan dengan kepentingan pengambilan kebijakan (policy making) dari
pada masalah teoritis. Penjual yang memiliki kekuasaan monopoli (monopoly
power) cenderung membatasi produk (output)-nya agar harga dan keuntungannya
maksimal. Hal ini semata-mata disebabkan pasar monopli memungkinkan penjual
mengontrol dan memilih harga (price searcher) atas produk yang dihasilkannya.
Monopolis akan menghadapi suatu pilihan pada produksi dan harga; menjual
pada harga yang tinggi (dengan lebih kecil unit yang dijual).
Dalam pembuatan pilihan ini, monopolis akan memaksimalisasi
keuntungan dengan output yang kurang dari tingkat output yang kompetitif, yaitu
9Edgar K. Browning dan Jacquelene M. Browning, Microeconomic Theory and Aplication, Boston, Toronto, Little, Brown and Company, 1983, p. 303.
10Ernest Gelhorn dan William E. Kovacic, Op.cit., p. 58.
11Butler, Henry N. Legal Environment of Business Government Regulation and Public Policy Analysis, Consinnati, South Western Publishing Co, tanpa tahun, p. 529.
10
jika marginal revenue-nya (penghasilan tambahan dari setiap unit tambahan
output) sama dengan marginal cost-nya (biaya tambahan dari setiap unit
tambahan output). Jadi berlawanan dengan hasil yang kompetitif, monopolis akan
memaksimalkan keuntungan melalui pembatasan output dan menentukan harga di
atas marginal cost.
Kekuasaan monopoli dengan berbagai dampaknya tersebut dapat
diperoleh melalui berbagai cara. Pertama, melalui merger agar dapat
memperbesar pangsa pasar. Kedua, melalui skala ekonomi, terutama dalam
monopoli alami, yaitu bagi perusahaan yang mempunyai biaya jangka panjang
per unit menurun pada suatu rangkaian output yang hendak dihasilkan. Ketiga,
melalui inovasi yang lebih cepat atau memanajemen produksi yang lebih efisien.
Keempat, melalui pengawasan pasar secara resmi karena memperoleh hak paten,
franchise, kontrak dengan pemerintah dan lain-lain. Kelima, melalui tindakan
yang merugikan pesaing secara tidak jujur.12
Dari kacamata GBHN, ternyata monopoli memiliki beberapa tipologi
yang tidak semuanya ditentang. Artinya, ada monopoli yang diperbolehkan
berdasarkan GBHN. Tipologi monopoli di antaranya adalah:
1) Monopoli yang diberikan kepada penemu barang baru, seperti oktroi dan
paten. Maksudnya ada yang memberikan insentif bagi pemikiran yang kreatif
dan inovatif;
2) Monopoli yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN, lazimnya karena
barang yang diproduksi dianggap menguasai hajat hidup orang banyak;
3) Monopoli yang diberikan kepada perusahaan swasta dengan kredit
pemerintah;
4) Monopoli dan kedudukan monopolistic yang diperoleh secara natural karena
monopolis memang dalam persaingan yang dilakukan secara sehat;
12Hartowo, Anatomi Konglomerat, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1992, halaman 8.
11
5) Dalam hal demikian memang tidak apa-apa, namun entrance (masuknya siapa
saja dalam investasi yang sama) harus terbuka lebar-lebar;
6) Monopoli atau kedudukan monopolistik yang diperoleh secara natural karena
investasinya terlalu besar, sehingga hanya satu saja yang berani dan biasa
merealisasikan investasinya. Meski demikian, pemerintah tetap harus
bersikap persuasif dan kondusif di dalam pemecahan monopoli;
7) Monopoli atau kedudukan monopolistik yang terjadi karena pembentukan
kartel ofensif;
8) Monpoli atau kedudukan monopolistik yang terjadi karena pembentukan
kartel defensif;
9) Monopoli yang diberikan kepada suatu organisasi dengan maksud untuk
membentuk dana bagi yayasan, yang dananya lalu dipakai untuk tujuan
tertentu, seperti kegiatan sosial dan sebagainya.
Adapun monopoli yang dianggap bertentangan dengan kepentingan
umum seperti dimaksud GBHN, apabila:
1) Monopoli diberikan kepada satu atau beberapa perusahaan swasta tertentu
saja tanpa melalui undang-undang;
2) Monopoli atau kedudukan monopolistic diperoleh dari kerjasama antara dua
atau lebih organisasi sejenis, baik dalam bentuk pengaturan persaingan
diantara mereka sendiri maupun bentuk peleburan/fusi.13
3. Oligopoli (oligopoly)
Antara kompetisi sempurna dan monopoli terdapat 2 (dua) tipe struktur
pasar, yaitu oligopoli dan persaingan monopolistik, yang menggambarkan the
major remaining market forms.14 Signifikasi yang lebih kuat terhadap anti-
persaingan dibandingkan model persaingan monopolistik adalah teori oligopoli.
13Kwik Kian Gie, Analisis Ekonomi Politik Indonesia, Sekolah Tinggi Ekonomi/BIII dan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, halaman 243-244.
14Ibid.
12
Karakteristik oligopoli berbeda dengan bentuk lain dari struktur pasar, yang amat
sulit dianalisis sebab ada mutual interdependence dari perusahaan-perusahaan
dalam suatu industri.
Postulat dasarnya adalah pasar terisi oleh hanya beberapa penjual (few
sellers), semua penjual independen. Sebagai konsekuensinya, penjual oligopoli
memfokuskan pada koordinasi dan antisipasi. Kompetisi muncul secara tidak
langsung – by disguihed price cuts melalui improvisasi kualitas, penawaran
kredit, pelayanan pengiriman (delivery service), pengurangan harga secara
selektif dan rahasia dan kompetisi non-harga, seperti deferensiasi produk, iklan,
dan promosi penjualan/sales promotion.15 Dalam struktur oligopoli, pangsa pasar
untuk industri tertentu dikuasai oleh beberapa perusahaan besar. Dalam struktur
pasar demikian, perusahaan dominan dijadikan pimpinan harga. Perusahaan lain
mengikuti dalam upaya menghindari risiko persaingan. Oleh karena itu, perilaku
kepemimpinan harga termasuk struktur pasar oligopoli yang kolusif. Bentuk
kolusi sering ditemukan dalam praktik, baik berbentuk persekongkolan diam-
diam maupun secara eksplisit.
Di negara yang mempunyai UU Antimonopoli atau sejenisnya, kolusi
secara eksplisit diawasi, bahkan dilarang karena merugikan konsumen.16 Di
samping itu, barriers to entry pasar oligopoli amat tinggi bagi produsen baru. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Browning, bahwa perusahaan-
perusahaan dalam industri oligopolistik sering berusaha mengkoordinasi putusan
mengenai harga dan produk. Kadang-kadang koordinasi atau kolusi ini
diorganisasi dalam bentuk kartel, dan kadang-kadang bentuk kepemimpinan
harga (price leadership). Jadi, pada asalnya industri oligopolistik kondusif
terhadap munculnya formasi-formasi kartel.17
15Ernest Gelhorn dan William E. Kovacevic, Op.cir., p. 74-75.
16Soewito, Harian Surat Merdeka, Jakarta, 24 Juni 1995, halaman 11.
17Browning, Edgar K. Browning dan Jacquelene M. Browning, Microeconomic Theory and Applications, Boston, Toronto, Little, Brown and Company, 1983, p. 374.
13
Dibandingkan dengan persaingan sempurna dan pasar monopoli, McCarty
dan Bagby mengemukakan, price tend to be higher and output lower in
oligopolistic markets than under perfect competition, but they are less restricted
in oligopolistic markets than in monopolistic markets.18
4. Persaingan Monopolistik (monopolistic competition)
Istilah persaingan monopolistik menggambarkan adanya elemen
kompetisi/persaingan maupun monopoli. Persaingan monopoli melibatkan pasar
dengan beberapa penjual menawarkan produk-produk yang deferensiatif atau
yang dapat digantikan. Ini berarti konsumen tidak melihat produk suatu
perusahaan identik dengan perusahaan lainnya. Jika suatu perusahaan membuat
suatu produk yang berbeda, tetapi masih ada kesamaan dengan produk
perusahaan lainnya,maka derajat kekuasaan monopoli yang dimilikinya kecil.
Kwik Kian Gie menjelaskan bahwa dinamakan persaingan monopilistik
karena untuk setiap produk yang sudah dideferensiasi, sudah dibuat lain sedikit,
dan biasanya juga diberi merek, kemudian akan mucul sekelompok konsumen
yang setia kepada produk dari produsen tertentu dengan merek tertentu. Kalau
produsen bersangkutan menaikkan harga, asalkan tidak terlampau banyak,
kelompok pelanggan yang setia ini tidak lari membeli produk dengan merek lain
karena mereka percaya bahwa produk dengan merek pilihannya adalah yang
terbaik. Jadi ada unsur monopolinya, yaitu harga dinaikkan, tetapi tetap saja tidak
mau lari ke barang lain.19
Kalau harga produksi dinaikkan terlampau tinggi, besar kemungkinan
konsumen akan beralih menjadi pemakai ulang merek lain (repeat user) yang
berarti bahwa masih terdapat unsur persaingan dalam pasar. Hal ini dipertajam
oleh pendapat Gellhorn dan Kovacic.20 Menurut pendapatnya bahwa, jika terdapat
18Edgar K. Browning dan Jacquelene M. Browning, Op.cit., p. 505.
19Kwik Kian Gie, Op.cit.
20Ernest Gelhorn dan William E. Kovacevic, Op.cit., p. 73.
14
elemen persaingan (kompetisi) dan monopoli, penjual dapat menetapkan harga
produksinya di atas tingkat kompetitif sebab diferensiasi memberi kekuasaan
monopoli. Produk-produk lain yang sama tidak sepenuhnya dapat menggantikan
sebab perbedaan fisik atau kondisi-kondisi khusus, seperti merek perusahaan
(trademarks), bentuk atau iklan yang berbeda. Di lain pihak, para penjual tidak
dalam posisi yang sama sebagai monopolis sebab adanya pengganti dekat untuk
produk mereka.
Untuk menganalisis persaingan yang monopolistik, Chamberlain
mengetengahkan karakteristiknya di bawah ini:
1) Terdapat sejumlah perusahaan yang membuat produk (yang dapat dibedakan);
2) Produk tersebut memiliki pengganti dekat (has close substitutes);
3) Jumlah perusahaan dalam kelompok produk (product group) cukup besar,
sehingga masing-masing perusahaan berharap aksi-aksinya diabaikan oleh
pesaing-pesaingnya;
4) Biaya dan kondisi permintaan sama untuk semua perusahaan dalam kelompok
produk.21
5. Monopsoni (monopsony)
Keberadaan monopsoni ini ditandai dengan adanya pembeli tunggal
(single buyer) yang memiliki kekuasaan monopoli untuk membeli atas harga yang
ditentukan (over price charged). Sebenarnya konsep struktur pasar demikian,
secara teoritis dikembangkan sehingga terdapat pula terminologi oligopsoni
(oligopsony), yakni terdapat beberapa pembeli yang memiliki kekuasaan atas
harga.
Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat terjadi karena
adanya kebijakan pemerintah. Misalnya, pemerintah memberikan izin kepada satu
atau dua perusahaan untuk memproduksi produk tertentu seperti pada produk
21Edgar K. Browning dan Jacquelene M. Browning, Op.cit., p. 363.
15
terigu, semen atau baja. Lalu, pemerintah memberikan proteksi yang tinggi
kepada perusahaan yang memproduksi produk tersebut. Bentuk dari proteksi
tersebut dapat berupa larangan impor terhadap produk yang diproduksi oleh
perusahaan tersebut dan kalaupun impor diperbolehkan maka dikenakan tarif bea
masuk yang tinggi sehingga produk tersebut tidak akan dapat bersaing dengan
produk domestik. Dengan begitu, perusahaan domestik dapat mencapai
kedudukan monopolistik.
Kebijakan seperti ini pernah dijalankan oleh pemerintah indonesia.
Contohnya dalam pengadaan tepung terigu oleh PT Boga Sari dan Baja oleh PT
Krakatau Steel. Pemerintah memiliki alasan kuat untuk membuat kebijaksanaan
ekonomi yang menimbulkan monopoli tersebut. Alasan utama yang sering
dijadikan argumen pemerintah adalah mahal dan besarnya resiko investasi untuk
membangun pabrik yang memprouksi barang-barang tarsebut. Karena itu, banyak
perusahaan yang kurang berminat untuk melakukan investasi. Supaya ada
perusahaan yang tertarik melakukan investasi yang besar resikonya itu maka
pemerintah memberikan incentives dan jaminan yang kemudian melahirkan
keadaan monopolistik.
Mestinya, pemberian incentives, jaminan, dan perlindungan terhadap
perusahaan-perusahaan itu hanya bersifat sementara dalam arti hanya berlaku
untuk jangka waktu tertentu. Kalau jangka waktu pemberian incentives, jaminan,
dan perlindungan itu dijalankan maka keadaan monopolistik yang mengganggu
bekerjanya pasar yang sehat dan kompetitif dapat dihindari. Akan tetapi, untuk
kasus Indonesia kebijaksanaan yang melahirkan monopolistik oleh beberapa
perusahaan itu berlangsung terus. Bahkan kemudian kebijakan yang dapat
melahirkan monopolistik itu terintroduksi ke sektor lain misalnya otomotif dan
cengkeh. Inilah yang kemudian melahirkan pasar yang tidak efisien dan
kompetitif. Dengan begitu monopolistik oleh perusahaan tertentu atas komoditi
tertentu itu dapat membebani perekonomian nasional dan merugikan masyarakat
konsumen.
16
Nuriamansyah Hasibuan mengidentifikasi sumber-sumber yang
menyebabkan konsentrasi industri sehingga melahirkan praktek monopoli, yaitu:
Pertama, kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi ini pada satu sisi
berguna untuk mengatasi rintangan-rintangan lokal dan peningkatan efisiensi.
Namun di sisi lain dapat melahirkan konsentrasi tinggi. Sebab tidak semua
pengusaha dapat menguasai kinerja efisiensi itu. Dengan demikian, muncul
akumulasi modal dan kekayaan di tangan beberapa orang atau kelompok. Dalam
hal ini konsentrasi industri menyebabkan dicapainya kedudukan monopoli
melalui persaingan dan efisiensi.
Kedua, perlindungan yang berlebihan. Konsentrasi industri yang
melahirkan monopoli juga muncul karena perlindungan yang berlebihan yang
diberikan oleh pemerintah dalam bentuk pasar barang jadi yang diproduksi dalam
negeri dilindungi dengan tarif nominal atau efektif yang tinggi, sedangkan untuk
bahan baku yang belum diproduksi atau masih kurang di dalam negeri tarifnya
relatif rendah, dan perlindungan pasar dengan menetapkan harga jual oleh
pemerintah, ini tidak semata-mata tidak melindungi konsumen, tetapi juga
melindungi perusahaan-perusahaan yang tidak efisien agar terus dapat hidup,
serta menetapkan captive market yang berarti memberikan kedudukan monopoli
bagi suatu perusahaan, baik secara nasional, regional maupun lokal.
Ketiga, menciptakan entry barrier (intangan masuk). Pemerintah
memberikan izin kepada perusahaan tertentu memproduksi jenis barang tertentu.
Kemudian bila ada pihak lain yang ingin masuk ke jenis industri tersebut
pemerintah akan menolak untuk memberikan izin dengan alasan “kapasitas sudah
penuh”.
Keempat, keringanan pajak dan subsidi. Keringan pajak dan subsidi yang
diberikan kepada perusahaan memungkinkan perusahaan tersebut memperoleh
kesempatan untuk melakukan akumulasi modal dari perolehan laba yang tinggi.
Subsidi diberikan kepada pengusaha lemah, juga kepada pengusaha yang kuat,
karena adanya prioritas program pemerintah yang mesti dicapai.
17
Kelima, konsentrasi terjadi melalui merger di antara perusahaan-
perusahaan sejenis. Merger yang berarti perusahaan yang lemah dipaksa
(terpaksa) bergabung dengan perusahaan sejenis yang lebih kuat dengan
sendirinya mengurangi persaingan.
Kondisi monopolistik tersebut sebagian besar terjadi karena peran negara
yang memberikan kondisi monopilistik kepada suatu usaha, baik usaha negara,
usaha swasta, maupun koperasi.
Sekarang menjadi tugas pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang
sehat, dengan cara menumbuhkembangkan daya kreasi dan inovasi pengusaha
dalam berusaha, yang pada gilirannya memiliki kemampuan daya saing yang kuat
dan tanggunh, baik secara nasional, regional, maupun internasional. Pemerintah
hendaknya mengurangi campur tangan yang terlalu besar dalam kehidupan
ekonomi nasional, cukup meletakkan landasan dan asas-asas hukum ekonomi
yang jelas, tegas, serta dalam penegakkannya seyogianya diterapkan secara
konsekuen dan konsisten. Sepanjang penegakan asas-asas hukum ekonomi
konsekuen dan konsisten, struktur ekonomi nasional berdasarkan demokrasi
ekonomi akan terwujud.
Sunaryati Hartono mengatakan, antara sistem hukum dan sistem
ekonomi suatu negara terdapat hubungan yang sangat erat dan pengaruh timbal
balik. Kalau pada satu pihak pembaruan dasar-dasar pemikiran di bidang ekonomi
ikut mengubah dan menentukan dasar-dasar sistem hukum yang bersangkutan,
maka penegakan asas-asas hukum yang sesuai juga akan memperlancar
terbentuknya struktur ekonomi yang dikehendaki. Sebaliknya, penegakan asas-
asas hukum yang tidak sesuai justru akan menghambat terciptanya struktur
ekonomi yang dicita-citakan (C.G.F.Sunaryati Hartono, 1982: 6).
18
BAB III
P E N U T U P
Kehadiran UU No. 5 Tahun 1999 sebenarnya dimaksudkan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan yang sama kepada setiap
pelaku usaha dalam berusaha, dengan cara mencegah timbulnya praktik-praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat lainnya dengan harapan dapat
menciptakan iklim usaha yang kondusif, di mana setiap pelaku usaha dapat bersaing
secara wajar dan sehat. Selain itu kehadiran UU No. 5 Tahun 1999 sebagai tool of
social control and a tool of social engineering. Sebagai “alat kontrol sosial”, UU No.
5 Tahun 1999 berusaha menjaga kepentingan umum dan mencegah praktik monopoli
19
dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Selanjutnya sebagai “alat rekayasa sosial”, UU
No. 5 Tahun 1999 berusaha untuk meningkatkan efisiensi ekonomi nasional,
mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang
sehat dan berusaha menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.
Apabila cita-cita ideal tersebut dapat dioperasionalisasikan dalam kehidupan
nyata, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 akan membawa nilai positif bagi
perkembangan iklim usaha di Indonesia, yang selama ini dapat dikatakan jauh dari
kondisi ideal. Sekurang-kurangnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 secara
tidak langsung akan memaksa pelaku usaha untuk lebih efisien dalam mengelola
usahanya, karena Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 juga menjamin dan memberi
peluang yang besar kepada pelaku usaha yang ingin berusaha (sebagai akibat
dilarangnya praktik monopoli dalam bentuk penciptaan barrier to entry). Hal ini
berarti bahwa hanya pelaku usaha yang efisienlah yang dapat bertahan di pasar.
DAFTAR PUSTAKA
Ginting, Elyta Ras, 2001, Hukum Anti Monopoli Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Gelhorn, Ernest dan William E. Kovacic, 1994, Anty Trust Law and Economics, in a Nutshell St Paul Minn West Publishing Co.
Hartarto, Mekanisme GATT dan Implikasinya Terhadap Perekonomian Indonesia, Dalam Media Inovasi, No. 9 TH VI, September 1994/1415, ISSN 02157160.
Hikmahanto Juwana, 2002, Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Jakarta: Lentera Hati.
20
Maulana, Insan Budi Maulana, 2000, Catatan Singkat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Nusantara, Abdul Hakim G. dan Benny K. Harman, 1999, Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Anti Monopoli, Jakarta: Elex Media Komputindo.
Pramono, Nindyo, 2001, Hukum Pasar Modal di Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Purba, A. Zeni Umar, 1994, Pokok-pokok Pikiran Mengenai Pengaturan Persaingan Sehat di Dunia Usaha, Makalah Pada Diskusi Panel Terbatas Rapat Kerja Departemen Perdagangan, Jakarta, 9 September 1994.
Sitompul, Asril, 2000, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Siswanto, Ari, 2002, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: Ghalia Indonesia.
PERANAN HUKUM DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI EKONOMI DI INDONESIA DITINJAU DARI
PERSAINGAN USAHA
Tugas Mata Kuliah Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi
Dosen: Prof. Dr. Kamarullah, AH., M.Hum
21
O l e h :
AGUSTINUS SANGKAKALA, SHNPM. A21208024
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUMUNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan kasih-Nya maka penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
22
Tugas makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Peranan
Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi yang diasuh oleh Prof. Dr. Kamarullah, SH.,
M.Hum., pada Program Magister Ilmu Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.
Penulis menyadari bahwa tugas makalah ini masih terdapat kekurangan.
Untuk itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang konstruktif
demi kesempurnaan tugas makalah ini.
Akhir kata, semoga tugas makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum.
Pontianak, September 2011
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
23
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Permasalahan ........................................................................ 3
BAB II PERANAN HUKUM ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN
USAHA DALAM MENCIPTAKAN DEMOKRASI EKONOMI
DI INDONESIA
A. Pengaturan Tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia ......................... 4
B. Peranan Hukum Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat Dalam Menciptakan Demokrasi Ekonomi di
Indonesia ................................................................................ 7
BAB III P E N U T U P .............................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA
24