PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG BERBEDA TERHADAP …repository.ub.ac.id/8504/1/Taufik...
Transcript of PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG BERBEDA TERHADAP …repository.ub.ac.id/8504/1/Taufik...
-
PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG
BERBEDA TERHADAP TEKSTUR, KADAR PROTEIN,
KADAR LEMAK DAN ORGANOLEPTIK PADA
BAKSO DAGING KELINCI
SKRIPSI
Oleh :
Taufik Faturohman
NIM. 125050101111071
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG
BERBEDA TERHADAP TEKSTUR, KADAR PROTEIN,
KADAR LEMAK DAN ORGANOLEPTIK PADA
BAKSO DAGING KELINCI
SKRIPSI
Oleh :
Taufik Faturohman
125050101111071
Skripsi ini merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana
pada Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya
PROGRAM STUDI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
-
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Taufik Faturohman dilahirkan
di Bandung 16 November 1993. Penulis adalah anak ketiga
dari tiga bersaudara pasangan dari Bapak H. Cece Juhana dan
Ibu Hj. Ai Atikah Rostikah. Pendidikan formal penulis dimulai
pada tahun 1999 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cibiru 1,
Bandung lulus pada tahun 2005, penulis melanjutkan
pendidikan di Pondok Pesanten Husnul Khotimah, Kuningan
dan SMPIT Qordova kemudian lulus pada tahun 2009, pada
tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Atas (SMA) Al Ma’soem dan lulus pada tahun
2012, sampai penulis diterima di Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya Malang secara reguler melalui
SNMPTN jalur undangan.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi
Takmir Masjid Al-Arraf Fakultas Peternakan, serta aktif dalam
kegiatan kepanitiaan, seminar, maupun workshop. Penulis
selama menjadi Mahasiswa, aktif juga dalam kegiatan Unit
Kegiatan Mahasiswa di Universitas Brawijaya diantaranya
aktif di Unit Aktivitas Kerohanian Islam (UAKI-UB). Serta
pernah menjadi Ketua Bidang Pembinaan Karakter Berbasis
Religius (PKBR) di Kementerian Pengembangan Sumber
Daya Mahasiswa (PSDM) Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya pada tahun 2015.
Pada bulan agustus 2015 melakukan Praktek Kerja Lapang
(PKL) di CV. Agrowisata Bhakti Alam di Dusun Ngembal
Pasuruan.
-
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha
Kuasa, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini
dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Strata satu (S-1) Sarjana Peternakan
pada Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Oleh karena
itu dalam kesempatan ini penulis juga sangat berterima kasih
kepada yang terhormat:
1. Bapak H. Cece Juhana dan Ibu Hj. Atikah Rostikah,
selaku orang tua atas doa dan dukungannya baik
secara moril maupun materiil.
2. Dr. Agus Susilo, MP., selaku Pembimbing Utama dan
Dr. Ir. Mustakim, MP., selaku Pembimbing
Pendamping atas saran dan bimbingannya.
3. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
4. Dr. Ir. Sri Minarti, MP., selaku Ketua Jurusan
Peternakan Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya.
5. Dr. Agus Susilo, MP., selaku Ketua Program Studi
Peternakan yang telah banyak membina kelancaran
proses studi.
6. Dr. Ir. Mustakim, MP., selaku Koordinator Minat
Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan
Universitas Brawijaya.
-
7. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
Masyhuri Azhar, SPt, Bumiaji, Batu sebagai peternak
kelinci.
8. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada
teman-teman di Fakultas Peternakan Universitas
Brawijaya yang menunjang dalam proses penelitian
ini.
9. Seluruh civitas akademika yang menunjang dari awal
proses penelitian juga urusan administrasi hingga
akhir proses penelitian.
Malang, November 2017
Penulis
-
THE EFFECT OF USING DIFFERENT FLOUR
TOWARDS TEXTURE, PROTEIN LEVEL, FAT LEVEL
AND ORGANOLEPTIC ON MEATBALL RABBIT
MEAT
Taufik Faturohman¹⁾ , Agus Susilo²⁾ dan Mustakim²⁾
¹⁾ Student from Faculty of Animal Husbandary, Brawijaya
University
²⁾ Lecturer from Faculty of Animal Husbandary, Brawijaya
University
Email: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of the research is to find out the use of
different flour towards Texture, Protein Level, Fat Level and
Organoleptic on meatball’s rabbit meat. The materials used
was meatball from rabbit meat which was bought in Bumiaji
Batu City, tapioca flour, mocaf flour, sweet potato flour,
ganyong flour, potato flour and spices which consist of garlic,
onion, pepper, salt, and ice cube. The research methodology
was conducted by Completely Randomized Design (CRD)
which consist of 5 treatments and 3 repetitions. Data collected
was analyzed using Analysis of Varience (ANOVA) and
followed by Tukey’s Test if it showed significant or highly
significant. The result of the research revealed that the use of
different flours on meatball’s rabbit meat gave significant
effect (P0,05) towards protein
mailto:[email protected]
-
level and organoleptic (texture). Organoleptic evaluation had
revealed that the use of tapioca flour, mocaf flour, ganyong
flour, potato flour during the process of making meatball can
be accepted by the panelist. Meatball with tapioca flour, mocaf
flour, ganyong flour, potato flour can be relevantly used in
meatball’s rabbit meat under proportion of 20% flour from the
total meat weight.
Keywords: Meatball, texture, fat level
-
PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG
BERBEDA TERHADAP TEKSTUR, KADAR PROTEIN,
KADAR LEMAK DAN ORGANOLEPTIK PADA
BAKSO DAGING KELINCI
Taufik Faturohman¹⁾ , Agus Susilo²⁾ dan Mustakim²⁾
¹⁾ Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
²⁾ Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya
Email: [email protected]
RINGKASAN
Pada pembuatan bakso diperlukan bahan pengisi, yaitu
bahan bukan daging yang memiliki sifat dapat memperbaiki
sifat emulsi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui penggunaan tepung yang berbeda terhadap tekstur,
kadar protein, kadar lemak, dan organoleptik pada bakso
daging kelinci. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan mengenai pengaruh penggunaan tepung
yang berbeda terhadap tekstur, kadar protein, kadar lemak, dan
organoleptik pada bakso daging kelinci.
Materi penelitian yang digunakan adalah bakso yang
dibuat dari daging kelinci yang dibeli di Bumiaji kota Batu,
tepung tapioka, tepung mocaf, tepung ubi jalar, tepung pati
ganyong, tepung pati kentang dan bumbu-bumbu yang terdiri
dari bawang putih, bawang merah goreng, lada, garam dan es
batu. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian
adalah percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang
diberikan berada pada jenis tepung yang terdiri dari 5 jenis
mailto:[email protected]
-
tepung yang berbeda yakni tepung tapioka, tepung mocaf,
tepung ubi jalar, tepung pati ganyong dan tepung pati kentang.
P0 (Tepung Tapioka); P1 (Tepung Mocaf); P2 (Tepung Ubi
Jalar); P3 (Tepung Pati Ganyong); P4 (Tepung Pati Kentang).
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam
(ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Tukey apabila
menunjukan perbedaan yang nyata atau sangat nyata.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
tepung yang berbeda pada bakso daging kelinci memberikan
pengaruh yang berbeda nyata (P0,05) terhadap kadar protein dan organoleptic
(tekstur). Nilai rata-rata tekstur tertinggi yaitu pada perlakuan
penggunaan tepung ubi jalar (P2) sebesar 20,83 N, sedangkan
nilai rata-rata terendah pada perlakuan penggunaan tepung
tapioka (P0) sebesar 11,4 N. Kadar protein tertinggi pada
bakso daging kelinci yaitu pada perlakuan penggunaan tepung
mocaf (P1) dengan rata-rata 14,01%, sedangkan nilai rata-rata
terendah pada perlakuan penggunaan tepung pati kentang (P4)
sebesar 13,20%. Kadar lemak tertinggi pada perlakuan
penggunaan tepung ubi jalar (P2) dengan rata-rata 3,16%.
Sedangkan kadar lemak terendah pada perlakuan penggunaan
tepung tapioka dengan rata-rata 1,40%. Uji organoleptik
menunjukkan pada kriteria rasa, tekstur, dan warna P3
memiliki nilai tertinggi sedangkan P2 memiliki nilai terendah.
Penggunaan tepung yang berbeda pada bakso daging
kelinci tidak berpengaruh terhadap persentase kadar protein,
namun memberikan pengaruh terhadap kadar lemak dan
tekstur bakso daging kelinci. Penilaian organoleptik
menunjukkan penggunaan tepung tapioka, tepung mocaf,
tepung pati ganyong, dan tepung pati kentang pada pembuatan
-
bakso dapat diterima oleh panelis. Bakso dengan filler tepung
tapioka, tepung mocaf, tepung pati ganyong, dan tepung pati
kentang dapat diaplikasikan pembuatan bakso daging kelinci
dengan proporsi tepung 20% dari berat daging yang
digunakan. Selain itu perlu dilakukan pengujian lebih lanjut
untuk mengetahui masa simpan bakso.
-
DAFTAR ISI
Isi Halaman
RIWAYAT HIDUP .......................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................... iii
ABSTRACT ....................................................................... v
RINGKASAN ................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................. xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................ xvii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian .............................................. 4
1.4. Kegunaan Penelitian ......................................... 4
1.5. Kerangka Pikir .................................................. 4
1.6. Hipotesis ........................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bakso ................................................................ 9
2.2. Bahan Baku Bakso ............................................ 12
2.2.1. Daging Kelinci ....................................... 13
2.2.2. Tepung .................................................... 14
2.2.2.1. Tepung Tapioka ........................ 15
2.2.2.2. Tepung Mocaf ........................... 19
2.2.2.3. Tepung Ubi Jalar ....................... 20
2.2.2.4. Tepung Pati Gayong ................. 21
2.2.2.5. Tepung Pati Kentang ................. 22
2.2.3. Bawang Putih ......................................... 24
-
2.2.4. Garam ..................................................... 24
2.2.5. Lada ........................................................ 25
2.2.6. Es Batu ................................................... 25
2.3. Uji Kualitas Bakso ............................................ 26
2.3.1. Tekstur .................................................... 26
2.3.2. Kadar Protein ......................................... 26
2.3.3. Kadar Lemak .......................................... 27
2.3.4. Organoleptik ........................................... 27
BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ........................... 29
3.2. Materi Penelitian ............................................... 29
3.3. Metode Penelitian ............................................. 29
3.3.1. Pembuatan Bakso ................................... 31
3.4. Variabel Pengamatan ........................................ 33
3.5. Analisis Data ..................................................... 33
3.6. Batasan Istilah ................................................... 33
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Penelitian ................................................ 35
4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap Tekstur Bakso
Daging Kelinci ................................................ 36
4.3 Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Protein
Bakso Daging Kelinci ...................................... 37
4.4. Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak
Bakso Daging Kelinci ...................................... 39
4.5 Uji Organoleptik ............................................... 40
4.5.1. Rasa ........................................................ 41
4.5.2. Tekstur ................................................... 43
4.5.3. Warna ..................................................... 45
-
4.6 Perlakuan Terbaik ............................................. 46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ....................................................... 49
5.2. Saran ................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 51
LAMPIRAN ...................................................................... 57
-
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) bakso daging 11
2. Perbandingan komposisi kimia daging dari berbagai
hewan ternak....................................................... ` 14
3. Kandungan nutrisi pada tepung tapioka .................. 15
4. Kandungan gizi tepung mocaf ................................. 19
5. Kandungan gizi tepung ubi jalar ............................. 21
6. Kandungan gizi tepung pati kentang ....................... 23
7. Tabel perlakuan ....................................................... 30
8. Takaran bahan pembuat bakso yang digunakan
dalam penelitian .................................................... 30
9. Rata-rata nilai tekstur, kadar protein, dan kadar
lemak ..................................................................... 35
10. Rata-rata nilai organoleptic rasa, tekstur, dan warna 41
-
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Struktur Amilosa ...................................................... 16
2. Struktur Amilopektin ............................................... 17
3. Diagram Alir Pembuatan Bakso Daging Kelinci ..... 32
4. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Tekstur .......... 36
5. Garfik Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Protein 38
6. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak . 39
7. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Organoleptik
Rasa .......................................................................... 42
8. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Organoleptik ..
Tekstur ..................................................................... 43
9. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Organoleptik ..
Warna ....................................................................... 45
-
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Prosedur pembuatan bakso ....................................... 57
2. Prosedur pengujian keempukan bakso
menggunakan Tensile Strenght Instrument .............. 58
3. Prosedur pengujian kadar protein ............................. 59
4. Prosedur pengujian kadar lemak .............................. 60
5. Prosedur pengujian organoleptik .............................. 61
6. Output ANOVA dan uji tukey tekstur ..................... 62
7. Output ANOVA dan uji tukey kadar protein ........... 65
8. Output ANOVA dan uji tukey kadar lemak ............. 68
9. Output ANOVA dan uji tukey organoleptik rasa ..... 71
10.Output ANOVA dan uji tukey organoleptik tekstur 74
11.Output ANOVA dan uji tukey organoleptik warna. 77
12.Lembar kuisioner Indeks Efektifitas Perlakuan
Terbaik .................................................................... 80
13.Data Uji Indeks Efektifitas Bakso Daging Kelinci .. 81
14.Perhitungan untuk menentukan perlakuan terbaik ... 84
-
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang
saat ini sudah banyak dikenal masyarakat dan banyak digemari
masyarakat. Selain rasanya yang enak, konsumen menyukai
produk bakso karena teksturnya yang kenyal dan lembut.
Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama
daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan-bahan
lainnya, dibentuk bulatan-bulatan, dan selanjutnya direbus.
Berbeda dengan sosis, bakso dibuat tanpa mengalami proses
kiuring, pembungkusan maupun pengasapan (Anonim, 2003).
Bahan-bahan baku bakso terdiri dari bahan baku utama dan
bahan baku tambahan. Bahan utamanya adalah daging,
sedangkan bahan tambahannya adalah bahan pengisi (tepung),
garam, penyedap, dan es atau air es. Komponen daging yang
terpenting dalam pembuatan bakso adalah protein (Puspita,
2008). Protein daging berperan dalam pengikatan hancuran
daging selama pemasakan dan pengemulsi lemak sehingga
produk menjadi empuk, kompak dan kenyal.
Dengan meningkatnya konsumsi daging sapi di
Indonesia maka penyediaan harus disesuaikan, maka melalui
kebijakan pemerintah kemudian ada kegiatan impor daging
dari luar negeri. Pemerintah dalam pembangunan di subsektor
peternakan telah bertekad akan mengembangkan aneka ternak.
Disamping tingkat kebutuhan masyarakat terhadap protein
hewani yang semakin tinggi, hal lain juga dapat dilihat dengan
adanya ketidakseimbangan antara permintaan daging yang
meningkat yaitu sekitar 6 – 8 % setiap tahunnnya dan
persediaan daging yang ada serta pertambahan populasi ternak
-
yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan (Putri, 2009).
Sehingga pengembangan dan penganekaragaman ternak
sumber protein hewani harus ditingkatkan. Selain dari daging
ayam, sapi, domba atau kambing, ternak lain yang berpotensi
sebagai penghasil daging adalah kelinci.
Kelinci merupakan salah satu aneka ternak, yang mulai
digemari masyarakat karena mampu memenuhi kebutuhan gizi
masyarakat. Kelinci dapat dimanfaatkan sebagai penghasil
daging serta kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
kandang seperti ternak lainnya. Daging kelinci memiliki kadar
protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging yang
rendah, serta kandungan energi yang rendah. Kandungan gizi
daging kelinci tidak kalah dengan daging sapi maupun unggas,
dimana daging kelinci mengandung 20,80 % protein dan kadar
lemak yang rendah yaitu 10,20 % (Yanis, Syarifah, dan Yossi,
2016). Manfaat dan keunggulan lainnya yaitu daging kelinci
memiliki serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga
dapat dikelompokkan dalam golongan daging putih, seperti
halnya daging ayam yang memiliki kadar lemak rendah dan
glikogen tinggi. Daging putih memiliki serat yang halus dan
besar dibandingkan dengan daging merah. Daging merah
memiliki serat yang kasar dan kecil, oleh karena itu daging
putih lebih lembut daripada daging merah.
Saat ini, konsumen semakin tertarik dalam gaya hidup
sehat, misalnya energi dan gizi nilai makanan, yang kaya
protein dan rendah kolesterol dan kandungan lemak. Dari sudut
pandang gizi, daging kelinci mempunyai rasa yang khas dan
mudah dicerna, dengan gizi yang tinggi. Keputusan konsumen
untuk mengkonsumsi daging berdasarkan beberapa
pertimbangan, yaitu kandungan kolesterol, kandungan kalori,
bahan tambahan pangan, karakteristik produk olahan, dan
-
harga. Daging kelinci memiliki banyak manfaat dari segi
kesehatan, karena daging kelinci memiliki kadar protein yang
lebih tinggi daripada daging ayam dan memiliki kandungan
lemak yang rendah, sehingga cocok dikonsumsi bagi penderita
darah tinggi, jantung, dan kolesterol.
Daging mempunyai tekstur yang khas, setiap daging
mempunyai tekstur yang berbeda sehingga dalam pembuatan
bakso daging kelinci ini memerlukan bahan pengisi (tepung)
yang baik dan tepat sehingga kualitas bakso baik, empuk, dan
mempunyai kekenyalan yang tepat. Tepung sangat
mempengaruhi kualitas pada bakso sehingga kualitas bakso
sangat ditentukan oleh kualitas daging, jenis tepung yang
digunakan, dan perbandingan banyaknya daging dan tepung
yang digunakan untuk membuat adonan. Kemudian
ditambahkan juga bahan pengisi lainnya seperti garam,
penyedap, dan es batu yang juga berpengaruh terhadap kualitas
bakso. Kualitas daging yang tinggi juga tepung yang baik
disertai perbandingan tepung dan daging yang sesuai serta
manajemen pengolahan yang benar maka akan dihasilkan
produk bakso dengan kualitas baik. Tepung yang digunakan
juga mempunyai sifat-sifat kimia yang berbeda. Tepung pati
ganyong mempunyai protein sebesar 0,01 % dan lemak sebesar
0,001 % (Hermann, 1996), sedangkan tepung pati kentang
mempunyai kadar protein sebesar 0,021 % dan lemak sebesar
0,002 % (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 2009),
lalu tepung tapioka mempunyai kadar protein sebesar 0,5 %
dan lemak sebesar 0,0002 %, kemudian tepung ubi jalar
0,0279 % dan lemak sebesar 0,81 %, kemudian tepung mocaf
1,0 % dan lemak sebesar 0,8 %.
-
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik
untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut mengenai pengaruh
penggunaan tepung yang berbeda terhadap tekstur, kadar
protein, kadar lemak, dan organoleptik pada bakso daging
kelinci.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut maka
dapat dirumuskan permasalahan, bagaimana pengaruh
penggunaan tepung yang berbeda terhadap tekstur, kadar
protein, kadar lemak, dan organoleptik pada bakso daging
kelinci?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
penggunaan tepung yang berbeda terhadap tekstur, kadar
protein, kadar lemak, dan organoleptik pada bakso daging
kelinci.
1.4. Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber
informasi baik bagi mahasiswa maupun peternak, sebagai
bahan pertimbangan mengenai pengaruh penggunaan tepung
yang berbeda terhadap tekstur, kadar protein, kadar lemak, dan
organoleptik pada bakso daging kelinci .
1.5. Kerangka Pikir
Bakso merupakan produk makanan yang banyak
digemari semua lapisan masyarakat. Menurut SNI 3818-2014
bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang
diperoleh dari campuran daging. Secara rinci bakso merupakan
-
campuran homogen daging, tepung pati dan bumbu bumbu
yang di bentuk bola. Pembentukan adonan bakso menjadi bola
bola dapat dilakukan dengan menggunakan tangan atau dengan
mesin pencetak bola bakso. Jika memakai tangan, adonan
diambil dengan sendok makan lalu diputar-putar dengan tangan
sehingga terbentuk bola bakso (Wibowo, 2006).
Daging kelinci menurut Yanis dkk (2016), memiliki
kualitas yang lebih baik daripada daging sapi, domba, atau
kambing. Hal ini dikarenakan daging kelinci memiliki
kandungan persentase kadar protein yang lebih tinggi dan
kolesterol yang lebih rendah. Daging kelinci mempunyai serat
yang halus dan berwarna sedikit pucat, sehingga daging kelinci
digolongkan kedalam daging berwarna putih seperti daging
ayam.
Pada pembuatan bakso diperlukan bahan pengisi, yaitu
bahan bukan daging yang memiliki sifat dapat memperbaiki
sifat emulsi. Hal ini karena fungsi bahan pengisi adalah
memperbaiki sifat emulsi, mereduksi penyusutan selama
pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, serta
menurunkan biaya produksi, meningkatkan daya ikat air,
meningkatkan flavor, meningkatkan karakteristik fisik dan
kimiawi serta sensori produk.
Tepung tapioka merupakan tepung dibuat dari umbi akar
ketela pohon atau singkong. Tepung tapioka umumnya
berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi
singkong (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 2009).
Tepung ini sering digunakan untuk membuat makanan
tradisional sebagai bahan bakunya. Tapioka memiliki sifat-sifat
yang serupa dengan sagu yaitu sebagai bahan perekat, sehingga
keguaan keduanya dapat dipertukarkan.
-
Tepung mocaf merupakan rekayasa modifikasi tepung
casava dengan teknik fermentasi sehingga menyebabkan
perubahan karakteristik yang dihasilkan berupa naiknya
visikositas (daya lekat), kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan
solubility (kemampuan melarut) sehingga memiliki tekstur
yang lebih baik dibandingkan tepung tapioka atau tepung
singkong biasa (Salim, 2011).
Tepung atau pati ganyong bedasarkan hasil penelitian
memiliki komposisi gizi sebagai berikut: karbohidrat 84,34%,
protein 0,44%, lemak 6,43%, serat kasar 0,040%, amilosa 28%
(BKP dan FTP UNEJ, 2001). Adanya bentukan daya lengket
yang kuat dari tingginya kadar amilopektin merupakan potensi
dalam pembentukan sifat kekenyalan. Adanya kemampuan
pembentuk gel melalui proses gelatinasinya dan bentukan daya
lengket yang kuat dari tingginya kadar amilopektin merupakan
potensi dalam pembentukan sifat elastisitas. Sehingga Tepung
dan pati ganyong dapat digunakan sebagai bahan baku industri
pangan seperti bakso.
Sumber pati alternatif yang kurang diperhatikan di
Indonesia diantaranya adalah pati kentang. Proses pembuatan
tepung kentang pada prinsipnya sama dengan pembuatan
tepung umbi-umbian lainnya. Secara tradisional pembuatan
tepung kentang dilakukan melalui tahap-tahap pengupasan,
pengirisan, perendaman, pengeringan, penggilingan,
pengayakan. Tepung kentang yang digunakan berwarna putih
kekuningan, aromanya khas tepung kentang, jika dipegang
tekstur tepung kentang lebih halus dan lembut. (Fajiarningsih,
2013). Pati kentang memiliki struktur permukaan yang halus
dan tidak terdapat banyak pori.
-
Nur Richana (2012) menyatakan bahwa “Tepung ubi
jalar merupakan produk ubi jalar setengah jadi yang dapat
digunakan sebagai bahan baku dalam industri makanan dan
juga mempunyai daya simpan yang lebih lama. Tepung ubi
jalar dibuat dari sawut atau chip kering dengan cara digiling
dan diayak”.
1.6. Hipotesis
Penggunaan tepung yang berbeda diharapkan dapat
mempengaruhi kualitas tekstur, kadar protein, kadar lemak dan
organoleptik pada bakso daging kelinci sehingga dapat
mengetahui tepung yang cocok untuk membuat bakso daging
kelinci.
-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakso
Bakso merupakan produk makanan yang banyak
digemari semua lapisan masyarakat. Menurut SNI 3818-2014
bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan yang
diperoleh dari campuran daging. Secara rinci bakso merupakan
campuran homogen daging, tepung pati dan bumbu bumbu
yang di bentuk bola. Pembentukan adonan bakso menjadi bola
bola dapat dilakukan dengan menggunakan tangan atau dengan
mesin pencetak bola bakso. Jika memakai tangan, adonan
diambil dengan sendok makan lalu diputar-putar dengan tangan
sehingga terbentuk bola bakso (Wibowo, 2006).
Menurut Wibowo (2000) mutu bakso dipengaruhi oleh
komposisi bahan penyusun yang tepat dan daging yang
digunakan harus baik, segar dan pembuatan bakso sebaiknya
dilakukan secara higienis. Dalam pemilihan daging, haruslah
segar yang halal tanpa pengawet. Mutu bakso dikatakan baik
jika bahan tambahan sebagai campuran tidak melebih 50% dan
bahan yang di tambahkan harus memenuhi syarat tanpa
menyebabkan efek samping terhadap kesehatan. Widya dan
Murtini (2006) mengatakan bahwa mutu bakso sangat
bervariasi, karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan
yang digunakan, proporsi daging, tepung dan proses
pembuatan. Kekenyalan merupakan parameter fisik terpenting
dari produk bakso. Bakso yang baik harus memenuhi syarat
mutu bakso sapi yang telah ditentukan menurut standar
Nasional Indonesia tentang bakso, seperti pada Tabel 1.
Adonan bakso salah satu sistem emulsi minyak dalam
air, lemak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase
-
pendispersi matrik tiga dimensi (Widyaningsih dan Murtini,
2006). Faktor terpenting dalam pembuatan bakso adalah
adanya kandungan protein. Protein pada daging berperan
penting dalam pengikatan hancuran daging selama pemasakan
dan pengemulsi lemak sehingga produk menjadi empuk,
kompak dan kenyal. Bahan pengisi juga penting dalam
pembuatan bakso yaitu dengan penambahan pati seperti
tapioka atau sagu. Bahan pengisi ini mempunyai kandungan
karbohidrat yang tinggi sedangkan kandungan proteinnya
rendah. Pati tersebut tidak mengemulsikan lemak tetapi
memiliki kemampuan mengikat air. Pada pembuatan bakso
ditambahkan garam untuk memberikan rasa,juga menjadi
pelarut protein , pengawet, dan meningkatkan daya ikat air dari
protein daging. Garam yang ditambahkan biasanya 5-10%
berat daging (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Tabel 1. Standar Nasional Indonesia (SNI) Bakso Daging
Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2014)
-
Pembuatan bakso terdiri dari empat tahap yaitu: 1)
Pelumatan daging, 2) Pembuatan adonan, 3) Pembuatan bola
bakso dan 4) Perebusan. Pelumatan atau penggilingan dapat
dilakukan dengan manual atau menggunakan mesin. Makin
tinggi kecepatan mesin penggilingnya, semakin bagus adonan
yang terbentuk. Penambahan es batu dapat menambah air dan
meningkatkan rendemennya. Batu es dapat digunakan
sebanyak 10-15% dari berat daging atau 30% berat daging
No. Kriteria Satuan Persyaratan
1.
1.1
1.2
1.3
1.4
2.
3.
4.
5.
6.
6.1
6.2
6.3
6.4
7.
8.
8.1
8.2
8.3
8.4
8.5
8.6
Keadaan
Bau
Rasa
Warna
Tekstur
Air
Abu
Protein
Lemak
Cemaran logam :
Kadmium (Cd)
Timbal (Pb)
Timah (Sn)
Merkuri (Hg)
Cemaran arsen (As)
Cemaran mikroba :
Angka lempeng total
Bakteri bentuk koli
Escherichia coli
Clostridium perfringens
Salmonella
Staphylococcus aureus
-
-
-
-
-
% b/b
% b/b
% b/b
% b/b
-
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
koloni/g
APM/g
APM/g
koloni/g
-
koloni/g
Normal, Khas daging
Normal, Khas bakso
Normal
Kenyal
Maksimal 70,0
Maksimal 3,0
Minimal 11,0
Maksimal 10,0
Maksimal 0,3
Maksimal 1,0
Maksimal 40,0
Maksimal 0,03
Maksimal 0,5
Maksimal 1x105
Maksimal 10
< 3
Maksimal 1x102
Negatif/25 g
Maksimal 1x102
-
(Wibowo 2006). Dalam proses penggilingan daging, tujuan
penambahan batu es adalah untuk mecegah denaturasi protein
karna suhu daging tetap rendah. Protein daging mempunyai
kemampuan dalam mengikat air (water holding capacity).
Setelah itu daging giling dicampur dengan tepung sagu dan
bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Pencampuran bahan ini
dilakukan hingga homogen. Pencetakan menjadi bola bakso
dapat dilakukan dengan tangan atau mesin. Bola bakso yang
telah terbentuk direbus ke dalam air mendidih sampai matang
yang ditandai dengan bakso mengapung kepermukaan air
selama 15 menit. Lalu bakso diangkat dan ditiriskan.
Bakso digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu bakso
daging, bakso urat dan bakso aci. Penggolongan bakso ini
dilakukan berdasarkan perbandingan atas jumlah daging dan
perbandingan jumlah tepung yang digunakan dalam pembuatan
bakso. Bakso daging dibuat dengan menggunakan bahan dasar
pati dan daging dengan jumlah yang lebih besar. Bakso aci
dibuat dengan menggunakan pati dalam jumlah yang lebih
besar dibandingkan dengan daging yang digunakan. Bakso urat
dengan menggunakan daging yang banyak mengandung
jaringan ikat dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan
jumlah pati.
2.2 Bahan Baku Bakso
Bakso dibuat dengan menggunakan daging, tepung, dan
juga bumbu-bumbu. Daging yang dipakai dalam penelitian ini
adalah daging kelinci. Tepung yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tepung tapioca, tepung mocaf, tepung ubi
jalar, tepung pati ganyong, dan tepung pati kentang.
2.2.1 Daging Kelinci
-
Dalam penelitian ini daging yang dipakai bukanlah
daging sapi, namun keseluruhan daging yang dipakai adalah
daging kelinci. Permintaan daging kelinci tidak begitu
berkembang dibandingkan jenis ternak lain, antara lain
disebabkan ketersediaan terbatas dan adanya hambatan
psikologis pada masyarakat karena lebih dikenal sebagai
binatang kesayangan (peliharaan). Melihat potensinya yang
cukup besar karena kecepatan perkembangbiakannya dan
sebagai sumber protein maka agar konsumsi daging kelinci
meningkat perlu dilakukan pengenalan dan diversifikasi
produk olahan yang dapat diterima masyarakat. Daging kelinci
dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan
bercitarasa tinggi seperti sosis, nugget, bakso, kornet, dan abon.
Daging kelinci menurut Yanis dkk (2016), memiliki
kualitas yang lebih baik daripada daging sapi, domba atau
kambing. Hal ini dikarenakan daging kelinci memiliki
kandungan persentase kadar protein yang lebih tinggi dan
kolesterol yang lebih rendah. Daging kelinci mempunyai serat
yang halus dan berwarna sedikit pucat, sehingga daging kelinci
digolongkan kedalam daging berwarna putih seperti daging
ayam.
Banyak keunggulan yang diperoleh dari
mengkonsumsi daging kelinci dibandingkan dengan ternak lain
(Tabel 2), yaitu kandungan protein yang tinggi dan rendah
kolesterol, rendah lemak, mengandung berbagai vitamin,
mineral dan yang terpenting adalah mengandung asam amino
essensial sehingga daging kelinci dapat dipromosikan sebagai
daging sehat. Berikut adalah tabel komposisi gizi dari beberapa
daging hewan ternak.
-
Tabel 2. Perbandingan Komposisi Kimia Daging dari Berbagai
Hewan Ternak
Zat Gizi Kelinci* Ayam* Sapi** Domba** Babi*
Protein (g/100 g) 21,9 19,7 16,3 15,7 21,8
Lemak (g/100 g) 5,5 3,9 24,05 21,5 37,83
Energi (kkal) 137 449 136 156 123
Kolesterol (mg/100 g) 53 70 58 74 123
Kalori (kkal) 136 215 291 267 398
Sumber Chan (1995)
Keterangan: (*) bagian paha dan pinggang
(**) lean meat
Dalam proses perkembangbiakanya, kendala yang
muncul adalah secara teknis banyak ditemui angka kematian
yang mencapai lebih dari 20% pada tingkat umur potong
(Farrel, 1990).
2.2.2 Tepung
Pada pembuatan bakso diperlukan bahan pengisi, yaitu
bahan bukan daging yang memiliki sifat dapat memperbaiki
sifat emulsi. Hal ini karena fungsi bahan pengisi adalah
memperbaiki sifat emulsi, mereduksi penyusutan selama
pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, serta
menurunkan biaya produksi, meningkatkan daya ikat air,
meningkatkan flavor, meningkatkan karakteristik fisik dan
kimiawi serta sensori produk. Tepung berpati dapat
mengabsorpsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula.
Karena sifat tersebut, adonan bakso menjadi lebih besar.
Dalam penelitian ini digunakan beberapa tepung untuk
mengetahui tepung yang memiliki karakteristik yang paling
-
baik dalam pembuatan bakso, seperti tepung tapioka, tepung
mocaf, tepung ubi jalar, tepung ganyong, dan tepung pati
kentang.
2.2.2.1 Tepung Tapioka
Tepung tapioka merupakan tepung dibuat dari umbi
akar ketela pohon atau singkong. Tepung tapioka umumnya
berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi
singkong. Tepung ini sering digunakan untuk membuat
makanan tradisional sebagai bahan bakunya. Tapioka memiliki
sifat yang serupa dengan sagu yaitu sebagai bahan perekat,
sehingga keguaan keduanya dapat dipertukarkan. Kandungan
nutrisi pada tepung tapioka, dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan nutrisi pada tepung tapioka
Komposisi Jumlah
Protein (g/100 g) 0,5
Lemak (g/100 g) 0,0002
Kalori (kkal) 363
Sumber: Soemarno, 2007
Kualitas tapioka sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
a) Warna tepung; tepung tapioka yang baik berwarna
putih.
b) Kandungan air; tepung harus dijemur sampai kering
benar sehingga kandungan airnya rendah.
c) Banyaknya serat dan kotoran; kandungan serat dan
kotoran harus rendah, maka ubi kayu yang digunakan
umurnya kurang dari 1 tahun karena serat dan
-
kotorannya masih sedikit dan zat patinya masih
banyak. (Whistler, dkk, 1984).
Pati tapioka memiliki dua fraksi, yaitu fraksi terlarut
disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut yang disebut
amilopektin. Jumlah atau kadar amilosa pada tepung tapioa
sebesar 8,06% sedangkan kadar amilopektin sebesar 91,94%.
Amilosa merupakan rantai lurus yang terdiri dari molekul-
molekul glukosa yang berikatan α(1,4). Amilosa memilki
kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai
polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini
dapat membentuk interaksi molekular yang kuat. Interaksi ini
terjadi pada gugus hidroksil molekul amilosa. Pembentukan
ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada
amilopektin. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Struktur Amilosa (Chaplin, 2006)
Pada dasarnya, struktur amilopektin sama seperti
amilosa, yaitu terdiri dari rantai pendek dalam jumlah yang
besar. Perbedaannya ada pada tingkat percabangan yang tinggi
-
dengan ikatan α(1,6) dan bobot molekul yang besar.
Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak
sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai
percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal. Struktur
amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur Amilopektin (Chaplin, 2006)
Pati memiiki sifat daya kembang dan gelatinisasi.
Daya kembang atau swelling power yang didefinisikan sebagai
pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati
dalam air. Hal ini terjadi Karena ikatan non-kovalen antara
molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air
dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak.
Namun demikian, jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30%. Ketika
granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai
mengembang (swelling). Swelling terjadi pada daerah amorf
granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati
-
pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga
terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus
mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume
hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati.
Swelling merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin.
Amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida pada pati
sehingga dapat menghambat swelling. Nilai swelling power
dapat diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu
sekitar 50-95°C dengan interval 5°C. Ketika pati dipanaskan
dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari granula
pati dan larut dalam air.
Pati juga mempunyai sifat gelatinisasi, yaitu proses
pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air.
Proses gelatinisasi melibatkan peristiwa sebagai berikut: (1)
hidrasi dan swelling (pengembangan) granula; (2) hilangnya
sifat birefringent; (3) peningkatan kejernihan; (4) peningkatan
konsistensi dan pencapaian viskositas puncak; (5) pemutusan
molekul-molekul linier dan penyebarannya dari granula yang
telah pecah.
Berdasarkan aplikasinya, tepung tapioka yang dibuat
dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai
bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan
dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu,
komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik. (Whistler, 1984)
2.2.2.2 Tepung Mocaf
Tepung mocaf merupakan rekayasa modifikasi tepung
casava dengan teknik fermentasi sehingga menyebabkan
perubahan karakteristik yang dihasilkan berupa naiknya
-
visikositas (daya lekat), kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan
solubility (kemampuan melarut) sehingga memiliki tekstur
yang lebih baik dibandingkan tepung tapioka atau tepung
singkong biasa (Salim, 2011).
Teknik fermentasi pada proses produksi mocaf
umumnya menggunakan bakteri asam laktat. Asam laktat
yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat memberikan aroma
dan flavor. Adanya perlakuan fermentasi pada proses
pembuatan tepung mocaf menyebabkan tepung mocaf menjadi
bertekstur halus, warna lebih putih, dan aroma singkong juga
hilang.
Kandungan gizi yang terdapat pada tepung mocaf yaitu
kadar karbohidrat yang tinggi dan kadar serat yang tinggi pula,
selain itu terdapat kandungan gizi yang lain, berikut dalam
Tabel 4.
Tabel 4. Kandunga Gizi Tepung Mocaf
Kriteria Uji Jumlah (%)
Kadar air 12
Kadar protein 1.0
Kadar abu 1,13
Kadar pati 60-68
Kadar serat 2-2,5
Kadar lemak 0,8
Sumber: Salim, 2011
Tepung mocaf memiliki kandungan amilosa sebesar
23,03% dan kadar amilopektin sebesar 76,97%. Tepung mocaf
memiliki prospek pengembangan yang bagus, pertama dilihat
dari ketersediaan singkong sebagai bahan baku yang berlimpah
-
sehingga kemungkinan kelangkaan produk dapat dihindari.
Dan yang kedua yaitu kandungan gizi pada tepung mocaf lebih
tinggi dari tepung singkong atau tepung tapioka. Dari alasan
tersebut produksi tepung mocaf membuka peluang bisnis.
Masyarakat belum banyak mengenal tepung mocaf sebagai
bahan pangan, sehingga dapat diolah menjadi berbagai macam
olahan makanan.
2.2.2.3 Tepung Ubi Jalar
Ubi jalar ungu lebih cepat busuk dalam keadaan segar
dan dapat disimpan lebih lama bila dalam bentuk tepung.
Namun viskositas, kemampuan gelasi dan daya rehidrasi
tepung ubi jalar ungu sangat rendah yang menyebabkan tepung
ubi jalar kurang mengembang bila digunakan sebagai adonan
roti atau kue sehingga perlu dilakukan modifikasi untuk
meningkatkan viskositas, kemampuan gelasi dan daya
rehidrasi tepung (Hardoko dkk, 2010).
Nur Richana (2012) menyatakan bahwa “Tepung ubi
jalar merupakan produk ubi jalar setengah jadi yang dapat
digunakan sebagai bahan baku dalam industri makanan dan
juga mempunyai daya simpan yang lebih lama. Tepung ubi
jalar dibuat dari sawut atau chip kering dengan cara digiling
dan diayak”. Tepung ubi jalar memiliki kadar amilosa sebesar
26,02% dan kadar amilopektin sebesar 73,98%. Kandung gizi
dari Tepung Ubi Jalar dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kadungan gizi tepung Ubi Jalar
Kriteria Uji Jumlah (%)
Kadar air 7
-
Kadar protein 0,279
Kadar abu 2,13
Kadar lemak 0,81
Sumber: Antarlina, 1998
Ubi ungu yang telah dijadikan tepung ubi ungu
memiliki warna ungu, dan aroma ubi ungu masih terasa. Dalam
pembuatan tepung ubi ungu, masalah utama yang dihadapi
yaitu masalah reaksi pencoklatan enzimatik. Warna ubi ungu
akan menjadi kusam yang disebabkan oleh enzim fenolase.
Untuk menghambat reaksi pencoklatan enzimatik, maka ubi
ungu perlu dikukus untuk merusak struktur enzim fenolase,
dengan rusaknya struktur enzim fenolase tersebut, maka reaksi
pencoklatan enzimatik pada ubi ungu dapat dihambat. (Nur
Richana, 2012).
2.2.2.4 Tepung Pati Ganyong
Tanaman ganyong mempunyai nama ilmiah Canna
edulis Kerr. Ganyong merupakan tanaman tegak yang
tingginya mencapai 0,9 – 1,8 m hingga 3 m atau lebih. Daunnya
lebar, di bagian tengah tulang daun menebal, terdapat
keragaman pada warna daun. Bunganya berwarna merah
jingga. Umbinya dapat mencapai panjang 60 cm, dikelililngi
oleh bekas-bekas sisik dan akar tebal yang berserabut. Bentuk
umbinya beraneka-ragam.
Ganyong merupakan tanaman yang banyak di
budidayakan di Indonesia. Tanaman ganyong (Canna edulis)
cukup mudah dibudidayakan baik pada tanah yang subur
maupun pada tanah yang tandus dan pertumbuhannya tidak
-
memerlukan persyaratan-persyaratan yang sukar. Produksi
ganyong cukup banyak di masyarakat khususnya di daerah
pedesaan. Masyarakat masih jarang memanfaatkan ganyong
sebagai pangan. Pati ganyong dapat dibuat menjadi makanan
bayi untuk mengatasi gizi buruk. Ganyong selain mengandung
karbohidrat juga mempuyai kalsium dan fosfor yang cukup
tinggi. Setiap 100 g tepung ganyong mengandung 95,0 kkal
kalori, 0,01 g protein, 0,001 g lemak, 22,6 g karbohidrat, 21 mg
kalsium, 70 mg fosfor, 20 mg zat besi, 0,1 mg vit B1, dan 75 g
air (Hermann, 1996).
Dalam pemanfaatanya ganyong dapat diolah menjadi
tepung pati ganyong. Pati ganyong memiliki komposisi gizi
sebagai berikut: karbohidrat 84,34%, protein 0,01%, lemak
0,001%, serat kasar 0,04%, amilosa 18,6% dan amilopektin
81,4% (BKP dan FTP UNEJ, 2001). Adanya bentukan daya
lengket yang kuat dari tingginya kadar amilopektin merupakan
potensi dalam pembentukan sifat kekenyalan. Adanya
kemampuan pembentuk gel melalui proses gelatinasinya dan
bentukan daya lengket yang kuat dari tingginya kadar
amilopektin merupakan potensi dalam pembentukan sifat
elastisitas. Sehingga Tepung dan pati ganyong dapat digunakan
sebagai bahan baku industri pangan seperti bakso.
2.2.2.5 Tepung Pati Kentang
Kentang memiliki sumber keanekaragaman jenis yang
banyak, terdiri dari varietas jenis lokal dan beberapa varietas
unggul. Berdasarkan warna kulit dan daging umbi, terdapat tiga
golongan kentang yaitu kentang kuning, kentang putih, dan
kentang merah (Sari, 2013). Berikut adalah nilzi gizi yang
terdapat dalam kentang dapat dilihat pada Tabel 6.
-
Tabel 6. Kandungan gizi tepung pati kentang
Kriteria Uji Jumlah (%)
Kadar air 8,34
Kadar protein 0,021
Kadar abu 0,8
Kadar lemak 0,002
Sumber: Tabel Komposisi Pangan Indonesia, 2009
Kentang juga termasuk salah satu umbi-umbian yang
mengandung banyak energi. Dibandingkan beras, kandungan
karbohidrat, lemak, dan energi kentang lebih rendah. Namun,
jika dibandingkan dengan umbi-umbian lain seperi singkong,
ubi jalar, dan talas komposisi gizi kentang masih relative lebih
baik. Selain itu, kandungan karbohidrat pada 100 gram
kentang juga cukup tinggi yaitu 13,5 gram. (Direktorat Gizi
Departemen Kesehatan RI, 2009). Kandungan pati kentang
sebesar 15 % dengan kadar air 10% juga kadar amilosa sebesar
23% dan amilopektin sebesar 77%.
Proses pembuatan tepung kentang pada prinsipnya
sama dengan pembuatan tepung umbi-umbian lainnya. Secara
tradisional pembuatan tepung kentang dilakukan melalui
tahap-tahap pengupasan, pengirisan, perendaman,
pengeringan, penggilingan, pengayakan. Tepung kentang yang
digunakan berwarna putih kekuningan, aromanya khas tepung
kentang, jika dipegang tekstur tepung kentang lebih halus dan
lembut. (Fajiarningsih, 2013). Pati kentang memiliki struktur
permukaan yang halus dan tidak terdapat banyak pori.
-
2.2.3 Bawang Putih
Pemberian bawang putih atau bumbu pada bakso
bertujuan untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan
(Farrel, 1990). Bawang putih berfungsi sebagai penambah
aroma dan untuk menigkatkan citarasa produk yang dihasilkan,
sehingga mampu meningkatkan selera makan. Aroma pada
bawang putih berasal dari minyak Volatile yang mengandung
komponen Sulvure. Karakteristik bawang putih akan muncul
apabila terjadi pemotongan atau perusakkan jaringan yang
terdapat pada bawang tersebut. Selain untuk citarasa, bawang
putih dapat dipakai sebagai pengawet karena bersifat
bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif allicin
yang sangat efektif terhadap bakteri. Senyawa alicin juga yang
menyebabkan timbulnya bau yang sangat tajam. Ekstrak
bawang putih segar pada konsentrasi 0.5 % dapat menghambat
pertumbuhan E.coli dan Salmonella sp. (Hitokoto et al., 1990).
2.2.4 Garam
Garam mempunyai banyak peran dalam pembuatan
bakso. Garam berperan dalam meningkatkan flavor,
memberikan efek pengawetan dengan cara menurunkan
aktivitas air (aw) dan membatasi pertumbuhan mikroba pada
daging (Underriner dan Humei, 1994). Garam berfungsi
mengekstraksi protein miofibrial dan meningkatkan daya
simpan karena dapat menghambat pertumbuhan
mikroorganisme pembusuk (Cross dan Overby, 1998).
Penambahan garam dapur (NaCl) disamping dapat
meningkatkan rasa dan penerimaan bakso juga berperan dalam
meningkatkan mutu bakso dan penurunan susut berat
(Sunarlim, 1992). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa
garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan
-
meningkatkan protein miofibril yang terekstraksi. Penambahan
garam sebaiknya tidak kurang dari 2% karena konsentrasi
garam yang kurang dari 1,8% akan menyebabkan rendahnya
protein yang terlarut (Sunarlim, 1992). Garam dapur
digunakan biasanya 2,5% dari berat daging sedangkan bumbu
penyedap 2% dari berat daging (Wibowo, 2006).
2.2.5 Lada
Lada atau merica (Peper ningrum Linn) merupakan
jenis rempah berupa bijian berwarna keputih-putihan. Lada dan
bawang putih digunakan pada beberapa resep produk daging
seperti bakso (Aberle et al., 2001). Lada mempunyai aroma
dan rasa khusus lada. Manfaat penambahan lada yaitu untuk
menguatkan rasa yang terdapat pada makanan terutama rasa
pedas. Rasa lada yang pedas disebabkan adanya zat Pirevin dan
Piperanin dengan alkaloida (Rismunandar, 1993). Piperin
ditemukan sebagai bahan aktif dan merupakan alkaloid yang
bertanggung jawab terhadap rasa pedas serta bau merica.
Konsentrasi piperin dalam merica sekitar 5-9% dan digunakan
dalam pengobatan tradisional dan sebagai insektisida
(Rismunandar, 2011).
2.2.6 Es Batu
Penggunaan es pada pembuatan bakso berfungsi untuk
pembentukan tekstur bakso. Dengan suhu yang rendah, protein
daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan
ekstraksi protein berjalan dengan baik. Penambahan es juga
dapat meningkatkan rendemennya, untuk itu dapat digunakan
es sebanyak 10-15% dari berat daging atau bahkan 30% dari
berat daging (Wibowo, 2006). Es dicampur pada saat
pengilingan. Hal ini dimaksudkan agar selama penggilingan,
-
daya elastis daging tetap terjaga sehingga bakso yang
dihasilkan akan lebih kenyal (Widya dan Murtini, 2006).
2.3 Uji Kualitas Bakso
Dalam penelitian ini analisa uji yang dilakukan pada
kualitas bakso adalah: uji kadar protein, uji kadar lemak, uji
teksur dan uji organoleptik.
2.3.1 Tekstur
Indikator yang dinilai dari tekstur bakso ditandai
dengan kasar atau halusnya produk yang dihasilkan. Nilai yang
diperoleh diharapkan dapat menjadi penentu kualitas makanan
tersebut. Menurut Meilgaard et al. (1999) faktor tekstur
diantaranya adalah rabaan oleh tangan, keempukan dan
kemudahan dalam dikunyah. Aberle et al. (2001) menyatakan
bahwa jumlah marbling yang besar pada daging akan
membatasi palatabilitas dari produk daging olahan.
2.3.2 Kadar Protein
Protein untuk tubuh mempunyai fungsi sebagai zat
pembangun, zat pengatur dan sebagai sumber energi. Protein
adalah makromolekul yang tersusun oleh asam amino.
Berbagai asam amino membentuk rantai panjang melalui
ikatan peptida. Kandungan protein pada produk bakso berasal
dari komposisi daging dan bahan pengisi biasanya tepung
tapioka. Semakin tinggi persentase campuran tepung tapioka
dan tepung sagu maka kadar protein semakin menurun,karena
proporsi daging semakin sedikit. Puspita (2008) melakukan
penelitian bakso sapi proporsi tepung tapioka dengan rumput
laut, menghasilkan kadar protein berkisar antara 12,17%-
16,64%.
-
2.3.3 Kadar Lemak
Lemak larut dengan pelarut organic seperti eter,
benzene dan klorofom serta tidak larut dalam air (De man,
1989). Makanan yang tidak termodifikasi seperti daging, susu
dan ikan, lemaknya berupa campuran yang terdiri dari banyak
senyawa dengan trigliserida sebagai bagian utama (De man,
1997). Penelitian terdahulu Hermann (1996) mengungkapkan
bahwa presentase campuran tepung tapioka dan tepung sagu
berpengaruh nyata terhadap kadar lemak pada bakso daging
sapi yaitu berkisar antara 3,73%- 5,13%. Selain itu tepung
tapioka dan tepung sagu memiliki kadar lemak rendah yaitu
sekitar 0,3 g/100g dan 0,2/100g.
2.3.4 Kualitas Organoleptik
Menurut Soekarto (1990), uji organoleptik yang
digunakan pada penelitian ini adalah uji mutu hedonik dan
kesukaan yang meliputi aroma, rasa, warna, tekstur dan
kekenyalan. Uji organoleptik dilakukan oleh 40 panelis
mahasiswa dengan memberikan penilaian pada skor yang telah
ditetapkan dan pengajuan sampel secara acak. Penilaian uji
hedonik dimulai dengan skala 1 (sangat tidak suka) hingga
skala 5 (sangat suka). Penilaian uji mutu hedonik yaitu; warna
skala 1 (gelap), skala 2 (agak gelap), skala 3 (agak putih), skala
4 (putih), skala 5 (sangat putih); aroma skala 1 (sangat tidak
menyengat khas daging kelinci), skala 2 (tidak menyengat khas
daging kelinci), skala 3 (agak menyengat daging kelinci), skala
4 (menyengat khas daging kelinci), skala 5 (sangat menyengat
khas daging kelinci); rasa skala 1 (sangat tidak rasa khas
bakso), skala 2 (tidak rasa khas bakso), 3 (agak rasa khas
bakso), skala 4 (rasa khas bakso), skala 5 (sangat rasa khas
-
bakso); tekstur skala 1 (sangat kasar), skala 2 (kasar), skala 3
(agak halus), skala 4 (halus), skala 5 (sangat halus), dan
kekenyalan skala 1 (sangat tidak kenyal), skala 2 (tidak
kenyal), skala 3 (agak kenyal), skala 4 (kenyal), skala 5 (sangat
kenyal). Hasil yang didapatkan selanjutnya ditransformasikan
ke dalam nilai numerik.
-
BAB III
MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 2017
sampai 2 Juni 2017 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak
Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang, dan di
Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan Fakultas
Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.
3.2 Materi Penelitian
Materi penelitian yang digunakan adalah bakso yang
dibuat dari daging kelinci yang dibeli di Bumiaji kota Batu,
tepung tapioka, tepung mocaf, tepung ubi jalar, tepung pati
ganyong, tepung pati kentang dan bumbu-bumbu yang terdiri
dari bawang putih, bawang merah goreng, lada, garam dan es
batu. Alat yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah meat
grinder, pisau, sarung tangan plastik, kompor, panci, sendok,
alat peniris, baskom, cobek, ulekan, tissue, kertas label dan
bolpoin.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah percobaan dengan Rancangan
Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3
ulangan (Tabel 7). Perlakuan yang diberikan berada pada jenis
tepung yang terdiri dari 5 jenis tepung yang berbeda yakni
tepung tapioka, tepung mocaf, tepung ubi jalar, tepung pati
ganyong dan tepung pati kentang. Rincian perlakuan
pembuatan bakso dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 8.
-
Tabel 7. Tabel Perlakuan
Perlakuan
Ulangan
1 2 3
P0 P0U1 P0U2 P0U3
P1 P1U1 P1U2 P1U3
P2 P2U1 P2U2 P2U3
P3 P3U1 P3U2 P3U3
P4 P4U1 P4U2 P4U3
Tabel 8. Takaran bahan pembuatan bakso yang digunakan
dalam penelitian
Bahan-bahan Perlakuan
p0 p1 p2 p3 p4
Daging Kelinci (g) 200 200 200 200 200
Tepung Tapioka (g) 40 0 0 0 0
Tepung Mocaf (g) 0 40 0 0 0
Tepung Ubi Jalar (g) 0 0 40 0 0
Tepung Pati Ganyong (g) 0 0 0 40 0
Tepung Pati Kentang (g) 0 0 0 0 40
Bawang Putih (g) 5 5 5 5 5
Bawang Merah Goreng (g) 5 5 5 5 5
Lada/Merica (g) 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
Garam (g) 5 5 5 5 5
Es Batu (g) 40 40 40 40 40
Jumlah (g) 295,5 295,5 295,5 295,5 295,5
-
3.3.1 Pembuatan Bakso
Cara pembuatan bakso pada penelitian ini (Gambar 3)
dilakukan sesuai prosedur yang digunakan oleh Wibowo
(2006), yaitu:
1. Daging dipotong menjadi ukuran 3 cm.
2. Digiling menggunakan meat grinder.
3. Dicampur dengan bahan lain (tepung, bawang
putih, bawang merah goreng, gula, garam, merica
bubuk, putih telur dan es batu).
4. Digiling dengan blender sampai halus dan
homogen.
5. Adonan dicetak bulat-bulat dengan tangan dan
dimasukkan dalam air mendidih sampai
mengapung.
6. Dipertahankan selama 10 menit.
7. Bakso diangkat menggunakan peniris bakso lalu
didinginkan.
-
Gambar 3. Diagram alir pembuatan bakso daging kelinci
-
3.4 Variabel Pengamatan
Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah
tekstur, kadar protein, kadar lemak dan organoleptik dari
bakso daging kelinci dengan penggunaan tepung berbeda
yang meliputi:
1. Prosedur uji tekstur (Cuq et.al., 1996) seperti pada
Lampiran 2.
2. Prosedur uji kadar protein (Sudarmadji, 1996) seperti
pada Lampiran 3.
3. Prosedur uji kadar lemak (Sudarmadji, 1996) seperti
pada Lampiran 4.
4. Prosedur uji organoleptik. (Soekarto, 1990) seperti
pada Lampiran 5.
3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh diolah menggunakan program
Microsoft Excel, kemudian data dianalisis menggunakan sidik
ragam (ANOVA) dan apabila menunjukan perbedaan yang
nyata maupun sangat nyata maka analisa dilanjutkan dengan
menggunakan Uji Tukey.
3.6 Batasan Istilah
Tepung mocaf = Tepung dari bahan singkong yang
diproses secara fermentasi dengan prinsip modifikasi
dinding sel singkong.
Rehidrasi = Proses senyawaan kembali.
Gelasi = Proses pembetukan gel
Viskositas = Pengukuran dari ketahanan fluida
yang diubah baik dengan tekanan maupun tegangan.
-
Yang berarti ketebalan atau pergesekan internal.
-
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Data hasil penelitian pengaruh penggunaan tepung yang
berbeda terhadap kualitas bakso daging kelinci ditinjau dari
Tekstur, Kadar Protein, dan Kadar Lemak ditampilkan pada
Tabel 9.
Tabel 9. Rata-rata nilai tekstur, kadar protein, dan kadar lemak
bakso daging kelinci
Perlakuan Tekstur (N) Protein (%) Lemak (%)
P0 11,40ᵃ ± 0,17 13,43 ± 0,42 1,40ᵃ ± 0,08
P1 12,87ᵃ ± 0,80 14,01 ± 0,20 2,03ᵃᵇ ± 0,05
P2 20,83ᵇ ± 1,19 13,46 ± 0,34 3,16ᵇ ± 0,42
P3 13,60ᵃ ± 1,55 13,88 ± 0,30 1,72ᵃ ± 0,23
P4 16,53ᵃ ± 1,56 13,20 ± 0,18 2,17ᵃᵇ ± 0,29
Keterangan: (P
-
4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap Tekstur Bakso
Daging Kelinci
Uji tekstur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
uji nilai keempukan (N). Hasil analisis tekstur bakso daging
kelinci dengan penggunaan tepung yang berbeda dapat dilihat
pada Gambar 4.
Gambar 4. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap
Tekstur
Hasil analisis ragam rata-rata nilai tekstur bakso daging
kelinci menunjukkan bahwa penggunaan tepung tapioka (P0),
tepung mocaf (P1), tepung ubi jalar (P2), tepung pati ganyong
(P3), dan tepung pati kentang (P4) memberikan perbedaan
yang nyata (P
-
(P
-
Gambar 5. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar
Protein
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa bakso daging
kelinci dengan penggunaan tepung yang berbeda tidak
memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap kadar
protein bakso (Lampiran 7). Kadar protein tertinggi pada bakso
daging kelinci dihasilkan dari penambahan tepung mocaf (P1)
dengan rata-rata 14,01%. Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan tepung yang berbeda pada bakso daging kelinci
tidak mempengaruhi kadar protein. Gambar 5 diatas
memperlihatkan bahwa kadar protein bakso dengan berbagai
jenis tepung yang berkisar antara 13,20% – 14,01%. Kondisi
tersebut diduga karena kadar protein tepung tapioka, tepung
mocaf, tepung ubi jalar, tepung pati ganyong, dan tepung pati
kentang hampir sama, sehingga penggunaan tepung yang
berbeda tidak mempengaruhi kadar protein bakso. Hasil
penelitian yang disajikan pada Gambar 5 di atas menurut SNI
kadar protein yang minimal adalah 11% sehingga kadar protein
dari semua jenis tepung perlakuan telah memenuhi standar
mutu bakso. Protein di dalam adonan mempunyai dua fungsi
12131415
P0 P1 P2 P3 P4
Pe
rse
nta
se
Perlakuan
Kadar Protein (%)
-
utama yaitu untuk mengemulsikan lemak dan untuk mengikat
air (Anonim, 2003).
4.4 Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak Bakso
Daging Kelinci
Lemak merupakan cadangan energi paling besar,
simpanan ini berasal dari konsumsi berlebihan salah satu
kombinasi zat-zat energi seperti karbohidrat, lemak, dan
protein. Lemak tubuh pada umumnya disimpan pada 50% di
jaringan bawah kulit (subkutan), 45% disekeliling organ dalam
rongga perut dan 5% dijaringan intramuskuler, selain sebagai
sumber energi fungsi lemak yaitu sebagai sumber asam lemak
esensial, pelarut vitamin larut lemak (A, D, E, dan K),
membantu protein sebagai sumber energi, memberi rasa
kenyang dan kelezatan (Anonim, 2006). Hampir semua bahan
pangan mengandung lemak, terutama yang berasal dari hewan.
Hasil analisis kadar lemak bakso daging kelinci dengan
penggunaan tepung yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6.
0
1
2
3
4
P0 P1 P2 P3 P4
Pe
rse
nta
se
Perlakuan
Kadar Lemak (%)
-
Gambar 6. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak
Hasil analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji Tukey
menunjukkan bahwa penggunaan tepung yang berbeda pada
bakso daging kelinci memberikan pengaruh yang berbeda
nyata (P
-
Data hasil penelitian pengaruh penggunaan tepung yang
berbeda terhadap kualitas bakso daging kelinci ditinjau dari
Rasa, Tekstur, dan Warna ditampilkan pada Tabel 10.
Tabel 10. Rata-rata nilai organoleptik rasa, tekstur, dan warna
Perlakuan Rasa ± SD Tekstur ± SD Warna ± SD
P0 3,91ᵇ ± 0,08 3,73 ± 0,23 4,63ᵇ ± 0,05
P1 3,22ᵇ ± 0,16 3,66 ± 0,17 4,56ᵇ ± 0,07
P2 1,75ᵃ ± 0,17 2,61 ± 0,42 2,03ᵃ ± 0,07
P3 4,04ᵇ ± 0,38 4,20 ± 0,25 4,80ᵇ ± 0,06
P4 3,88ᵇ ± 0,02 3,18 ± 0,50 4,49ᵇ ± 0,22
Keterangan: (P
-
menciptakan rasa yang enak sehingga disukai orang selain itu
tekstur juga memiliki pengaruh pada rasa bakso. Cita rasa
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu interaksi
dengan komponen rasa lain.
Hasil analisis uji organoleptik rasa bakso daging kelinci
dengan penggunaan tepung yang berbeda dapat dilihat pada
Gambar 7.
Gambar 7. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Organoleptik
Rasa
Berdasarkan hasil analisis ragam yang dilanjutkan
dengan uji Tukey, penambahan tepung ubi jalar (P2) yang
memberikan pengaruh berbeda nyata (P
-
yang tidak nyata (P>0,05) dengan rata-rata yang dihasilkan
berturut-turut 3,22; 3,88; 3,91; dan 4,04.
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa perlakuan
yang memiliki rata-rata tertinggi adalah P3 dengan rata-rata
4,04. Hal ini menjelaskan bahwa panelis memberikan respon
yang lebih tinggi untuk P3.
Komposisi bahan pengikat dan bumbu yang digunakan
seperti garam dapat menyebabakan rasa bakso menjadi gurih.
Rasa gurih ditentukan adanya asam amino glutamat dalam
protein yang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan cita
rasa (Anonim, 2006). Waktu lama perebusan juga
mempengaruhi rasa dari bakso, karena terjadi perubahan
komposisi kimia selama proses perebusan.
4.5.2 Tekstur
Hasil analisis uji organoleptik tekstur bakso daging
kelinci dengan penggunaan tepung yang berbeda dapat dilihat
pada Gambar 8.
0.00
2.00
4.00
6.00
P0 P1 P2 P3 P4
Nila
i
Perlakuan
Tekstur
-
Gambar 8. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap
Organoleptik Tekstur
Berdasarkan hasil analisis ragam rata-rata nilai tekstur
bakso daging kelinci menunjukkan bahwa penambahan 5 jenis
tepung pada bakso daging sapi memiliki perbedaan yang tidak
nyata (P>0,05) seperti pada Lampiran 10. Perlakuan yang
memiliki rata-rata tertinggi adalah perlakuan penambahan
tepung ganyong (P3) dengan rata-rata nilai tekstur bakso
daging kelinci yang diberikan panelis sebesar 4,20. Menurut
Nurwantoro dan Mulyani (2003) keempukan merupakan faktor
penentu kualitas daging. Persepsi keempukan selama mastikasi
terkait dengan aspek-aspek: (1) kelumatan terhadap lidah dan
pipi sangat bervariasi, (2) ketahanan terhadap tekanan gigi
yang berhubungan dengan daya yang dibutuhkan untuk
menusukan gigi memotong serabut-serabut otot, (3)
kemudahan fragmentasi yaitu ekspresi kemampuan gigi
memotong serabut-serabut otot dan (4) jumlah residu setelah
pengunyahan yang dapat dideteksi sebagai jaringan ikat yang
tertinggal setelah hamper seluruh sampel terkunyah yang
berasal dari perimisial atau epimisial (Montolalu dkk, 2013).
Masyarakat cenderung menyukai bakso dengan tekstur
kenyal dan tidak menyukai bakso yang terlalu empuk atau
terlalu keras. Kandungan lemak, stabilitas emulsi dan
kandungan binder berpengaruh terhadap tekstur bakso. Adonan
yang stabil emulsinya biasanya akan menghasilkan tekstur
yang baik setelah bakso dimasak, tetapi bila emulsinya tidak
stabil maka sering dijumpai rongga. Daging kelinci
mempunyai serat yang halus. Hal inilah yang menyebabkan
bakso dari daging kelinci memiliki nilai yang tinggi
-
4.5.3 Warna
Hasil analisis uji organoleptik warna bakso daging
kelinci dengan penggunaan tepung yang berbeda dapat dilihat
pada Gambar 9.
Gambar 9. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap
Organoleptik Warna
Hasil analisis ragam yang dilanjutkan dengan Uji
Tukey menunjukkan bahwa penggunaan tepung ubi jalar (P2)
yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P0,05) dengan rata-rata
yang dihasilkan berturut-turut 4,49; 4,56; 4,63; dan 4,80.
0.00
2.00
4.00
6.00
P0 P1 P2 P3 P4
Nila
i
Perlakuan
Warna
-
Perlakuan yang memiliki rata-rata terendah adalah
bakso daging kelinci dengan menggunakan tepung ubi jalar.
Hal ini disebabkan oleh pada penelitian ini menggunakan
tepung ubi jalar ungu yang mempunyai warna ungu sehingga
bakso mempunyai warna cenderung ungu dan lebih gelap
daripada bakso daging kelinci dengan menggunakan tepung
yang lainnya.
4.6 Perlakuan Terbaik
Perlakuan terbaik ditentukan sebagai pertimbangan
dalam pengambilan keputusan dengan membandingkan antara
variabel dan perlakuan yang dilakukan. Perlakuan terbaik
diambil dengan menggunakan metode indeks Efektifitas (De
Garmo, Sullivan and Canada, 1984).
Perlakuan terbaik pada tekstur ditetapkan pada P0
sedangkan perlakuan terjelek ditetapkan pada P2 hal ini
disebabkan oleh kandungan amilosa pada tepung ubi jalar
tinggi yaitu sebesar 26,02%. Sedangkan nilai terendah pada P0
berbanding lurus dengan kadar amilosa tepung tapioka yang
rendah yaitu sebesar 8,06%. Produk pangan yang ditambahkan
pati dengan kandungan amilosa yang tinggi akan memberikan
nilai keempukan yang tinggi dibandingkan dengan kandungan
amilosa yang lebih rendah.
Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Efektifitas
perlakuan terbaik pada kadar protein adalah P1 sedangkan
terendah pada P4. Perlakuan terbaik pada kadar lemak adalah
P0 sedangkan terendah pada P2, hal ini berbanding lurus
dengan kadar lemak pada tepung yaitu kadar lemak tepung
tertinggi yaitu pada tepung jalar yang mempunyai kadar lemak
sebesar 0,81% dan kadar lemak tepung terendah pada tepung
tapioka yaitu sebesar 0,0002%.
-
Perlakuan terbaik pada uji organoleptik rasa adalah
dengan menggunakan tepung pati ganyong (P3). Perlakuan
terbaik pada uji organoleptik tekstur adalah dengan
menggunakan tepung pati ganyong (P3). Perlakuan terbaik
pada uji organoleptik warna adalah dengan menggunakan
tepung pati ganyong (P3). Hal ini disebabkan oleh pada
penelitian ini menggunakan tepung ubi jalar ungu yang
mempunyai warna ungu sehingga bakso mempunyai warna
cenderung ungu dan lebih gelap daripada bakso daging kelinci
dengan menggunakan tepung yang lainnya.
Kesimpulan perlakuan terbaik dengan metode Indeks
Efektifitas dalam penelitian ini didapatkan P3 sebagai
perlakuan terbaik, dengan nilai Nh (Nilai Hasil) yang paling
tinggi diantara perlakuan yang lain (0,93). P1 dengan
penggunaan tepung pati ganyong dimana memiliki nilai tekstur
13,60 N; kadar protein 13,88 %; kadar lemak 1,72 %;
organoleptik rasa 4,04 (sangat enak); organoleptik tekstur 4,20
(sangat kenyal); organoleptik warna 4,80 (sangat cerah).
-
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Penggunaan tepung yang berbeda pada bakso daging
kelinci tidak berpengaruh terhadap persentase kadar protein,
namun memberikan pengaruh terhadap kadar lemak dan tekstur
bakso daging kelinci. Penilaian organoleptik menunjukkan
penggunaan tepung tapioka, tepung mocaf, tepung pati
ganyong, dan tepung pati kentang pada pembuatan bakso dapat
diterima oleh panelis.
5.2 Saran
Bakso dengan filler tepung tapioka, tepung mocaf,
tepung pati ganyong, dan tepung pati kentang dapat
diaplikasikan untuk pembuatan bakso daging kelinci dengan
proporsi tepung 20% dari berat daging yang digunakan. Selain
itu perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui
masa simpan bakso.
-
DAFTAR PUSTAKA
Aberle, E.D., J.C. Forrest, H.B. Hendrick, M.D. Judge & R.A.
Merkel. 2001. Principles of Meat Science. W.H.
Freeman and Co., San Fransisco.
Anugrah I.S., Sadikin, I., dan Sejati, W.K. 2009. Kebijakan
Kelembagaan Usaha Unggas Tradisional Sebagai
Sumber Ekonomi Rumah Tangga Perdesaan. Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 7 No. 3, p 249-267.
Anonim. 2003. Daya Ikat Air, Tingkat Kekenyalan dan Kadar
Protein pada Bakso Kombinasi Daging Sapi dan Daging
Kelinci. Teknologi Pangan.
---------. 2006. Pengujian Organoleptik (Evaluasi Sensori)
dalam Industri Pangan. Ebookpangan.com (Diakses
tanggal 10 Agustus 2017) BKP Provinsi Jawa Timur dan
FTP UNEJ. 2001. Kajian Tepung Umbi-umbian Lokal
sebagai Pangan Olahan. Jember: UNEJ.
Cross, H. R. & A. J. Overby. 1988. World Animal Science.
Elsevier, New York.
De, Man. 1997. Kimia Pangan. Terjemahan. K. p Winata.
Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Departemen Kesehatan R.I., 1996. Daftar Komposisi Kimia
Bahan Makanan. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.
-
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 2009. Tabel
Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : Kompas
Gramedia.
Fajiarningsih, Hernawati. 2013. Pengaruh Penggunaan
Komposit Tepung Kentang (Solanum tuberosum
L) Terhadap Kualitas Cookies. Semarang, UNNES.
Farrell, K. T. 1990. Spices, Condiments and Seasonings. 2nd
Ed. Van Nostrand Reinhold, New York.
Hardoko, dkk. 2010. “Pemanfaatan Ubi Jalar Ungu (Ipomoea
batatas L. Poir) Sebagai Pengganti Sebagian Tepung
Terigu pada Roti Tawar”. Universitas Pelita Harapan.
Jakarta. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan.
Haryanto, B. dan P. Pangloli. 19992. Potensi dan Pemanfaatan
Sagu. Kanisius, Yogyakarta.
Hermann, M. 1996. Starch Noodles from Edible canna. Dalam
J. Janick (ed.), Progress in new crops. ASHS Press,
Arlington, VA.
Hitoko, H., S. Morozomi, T. Wauke, S. Sakai and H. Kurata.
1990. Inhibitory effect of spices on growth and toxin
production of toxigenic fungi. Journal Appl
Environmental Microbial. 39(4):818-822
Hursanto, P. B. 1986. Budidaya dan Pengolahan Sagu.
Kanisius, Yogyakarta.
-
Immaningsih, N. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi
Tepung-tepungan untuk Pendugaan Sifat Pemasakan.
Panel Gizi Makan 35(1): 13-22
Marsono, Y., P. Wiyono, Z. Utama. 2005. Indek Glikemik
Produk Olahan Garut (Maranta arndinaceace L) dan
Uji Sifat Fungsionalnya pada Model Hewan Coba.
Laporan RUSNAS Diiversifikasi Pangan Pokok Tahun
2005. UGM.
Meilgaard, M., G. V. Civille & B. T. Carr. 1999. Sensory
Evaluation Techniques. Third Edition. CRC Press,
London.
Montotalu, S., Lontaan N., Sakul S., dan Mirah A. 2013. Sifat
Fisiko-Kimia dan Mutu Organoleptik Bakso Broiler
dengan Menggunakan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea
batatas L.). Jurnal Zootek 32(5); 1-13
Nurwantoro dan S. Mulyani. 2003. Buku Ajar Dasar Teknologi
Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas
Diponegoro Semarang.
Panekenan, J.O., Loing, J.C., Rorimpandey, B., and
Vwaleleng, P.O. 2013. Analisis keuntungan usaha
beternak puyuh di kecamatan sonder Kabupaten
Minahasa. Jurnal Zootek (“Zootek”Journal),
Vol.32 No. 5, p 1 – 10.
-
Prabakaran, R. 2003. Good Practices in Planning and
Manajement of Integrated Commercial Poultry
Production in South Asia. FAO, Rome.
Puspita. 2008. Pengaruh Jenis Daging dan Tingkat
Penambahan Tepung Tapioka yang Berbeda
terhadap Kualtas Bakso. Buana Sains Vol 7 No 2; 139-
144
Putri. 2009. Penambahan Tepung Sagu dengan Konsentrasi
yang Berbeda terhadap Mutu Bakso Daging
Kelinci. Skripsi
Richana, N. 2012. Ubi Kayu & Ubi Jalar, Bandung: NUANS
Rismunandar. 1993. Budidaya Lada dan Tataniaganya.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Salim, A. 2011. Mengolah Tepung Singkong Menjadi Tepung
Mocaf. Lily Publisher: Yogyakarta.
Sang, A.I. 2012. Pengembangan produk burung puyuh dalam
pembuatan aneka lauk pauk. Skripsi. Program Studi
Teknik Boga. Fakultas Teknik. Universitas Negeri
Yogyakarta
Sari, F. K. 2013. Ekstraksi Pati Resisten dari Tiga Varietas
Kentang Lokal yang Berpotensi sebagai
Kandidat Prebiotik. Universitas Jember.
-
Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi
Mutu Pangan. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.
Soemarno, 2007. Tepung Tapioka. (Jurnal) Program
Pascasarjana. Fakultas Teknik. Jurusan Teknik
Kimia. Universitas Diponegoro.
Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan
pengaruh penambahan NaCl dan Natrium
Tripolyfosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi.
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor
Swastike, W. 2012. Efektivitas antibiotik herbal dan sintetik
pada pakan ayam broiler terhadap performance, kadar
lemak abdominal, dan kadar kolesterol darah.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi ke-3,
Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim
Semarang, 20 Juni, 2012. P. 1-6
Underriner, E. W. & I. R. Humei. 1994. Handbook of Industrial
Seasoning. Blackie Academic and Profesional,
Madras.
Usmiati, S. 2009. Bakso Sehat. Warta Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 13(6). Bogor
Whistler, R. L.. 1984. History and Future Expectation of Starch
Uses. In R.l. WHISTLER, j. N. Be Miller, & E. F.
Paschall (Eds.), Starch chemistry and technology. New
York: Academic Press.
-
Wibowo, S. 2006. Produksi kitin khitosan secara komersial.
Prosiding Seminar Nasional Kitin-Khitosan. Balai
Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Widya, N. dan E. S. Murtini. 2006. Alternatif Pengganti
Formalin pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana.
Surabaya.
Villamayor, J.F.G., dkk. 1996. Plant Resources of South-East
Asia No.9. Plant Yielding Non-Seed
Carbohydrates, Backhuys Publishers, Leiden, p.113.
Yanis, Muflihani, Syarifah A. dan Yossi H. 2016. Karakteristik
Produk Olahan Berbasis Daging Kelinci. Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta.
1. Bagian Depan.pdf2. BAB I.pdf3. BAB II.pdf4. BAB III.pdf5. BAB IV.pdf6. BAB V.pdf7. DAFTAR PUSTAKA.pdf