PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG BERBEDA TERHADAP …repository.ub.ac.id/8504/1/Taufik...

80
PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG BERBEDA TERHADAP TEKSTUR, KADAR PROTEIN, KADAR LEMAK DAN ORGANOLEPTIK PADA BAKSO DAGING KELINCI SKRIPSI Oleh : Taufik Faturohman NIM. 125050101111071 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

Transcript of PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG BERBEDA TERHADAP …repository.ub.ac.id/8504/1/Taufik...

  • PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG

    BERBEDA TERHADAP TEKSTUR, KADAR PROTEIN,

    KADAR LEMAK DAN ORGANOLEPTIK PADA

    BAKSO DAGING KELINCI

    SKRIPSI

    Oleh :

    Taufik Faturohman

    NIM. 125050101111071

    PROGRAM STUDI PETERNAKAN

    FAKULTAS PETERNAKAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG

    BERBEDA TERHADAP TEKSTUR, KADAR PROTEIN,

    KADAR LEMAK DAN ORGANOLEPTIK PADA

    BAKSO DAGING KELINCI

    SKRIPSI

    Oleh :

    Taufik Faturohman

    125050101111071

    Skripsi ini merupakan salah satu syarat

    untuk memperoleh gelar Sarjana

    pada Fakultas Peternakan

    Universitas Brawijaya

    PROGRAM STUDI PETERNAKAN

    FAKULTAS PETERNAKAN

    UNIVERSITAS BRAWIJAYA

    MALANG

    2017

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis bernama lengkap Taufik Faturohman dilahirkan

    di Bandung 16 November 1993. Penulis adalah anak ketiga

    dari tiga bersaudara pasangan dari Bapak H. Cece Juhana dan

    Ibu Hj. Ai Atikah Rostikah. Pendidikan formal penulis dimulai

    pada tahun 1999 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Cibiru 1,

    Bandung lulus pada tahun 2005, penulis melanjutkan

    pendidikan di Pondok Pesanten Husnul Khotimah, Kuningan

    dan SMPIT Qordova kemudian lulus pada tahun 2009, pada

    tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah

    Menengah Atas (SMA) Al Ma’soem dan lulus pada tahun

    2012, sampai penulis diterima di Fakultas Peternakan

    Universitas Brawijaya Malang secara reguler melalui

    SNMPTN jalur undangan.

    Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi

    Takmir Masjid Al-Arraf Fakultas Peternakan, serta aktif dalam

    kegiatan kepanitiaan, seminar, maupun workshop. Penulis

    selama menjadi Mahasiswa, aktif juga dalam kegiatan Unit

    Kegiatan Mahasiswa di Universitas Brawijaya diantaranya

    aktif di Unit Aktivitas Kerohanian Islam (UAKI-UB). Serta

    pernah menjadi Ketua Bidang Pembinaan Karakter Berbasis

    Religius (PKBR) di Kementerian Pengembangan Sumber

    Daya Mahasiswa (PSDM) Badan Eksekutif Mahasiswa

    Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya pada tahun 2015.

    Pada bulan agustus 2015 melakukan Praktek Kerja Lapang

    (PKL) di CV. Agrowisata Bhakti Alam di Dusun Ngembal

    Pasuruan.

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha

    Kuasa, sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

    dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat

    untuk memperoleh gelar Strata satu (S-1) Sarjana Peternakan

    pada Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Oleh karena

    itu dalam kesempatan ini penulis juga sangat berterima kasih

    kepada yang terhormat:

    1. Bapak H. Cece Juhana dan Ibu Hj. Atikah Rostikah,

    selaku orang tua atas doa dan dukungannya baik

    secara moril maupun materiil.

    2. Dr. Agus Susilo, MP., selaku Pembimbing Utama dan

    Dr. Ir. Mustakim, MP., selaku Pembimbing

    Pendamping atas saran dan bimbingannya.

    3. Prof. Dr. Sc. Agr. Ir. Suyadi, MS., selaku Dekan

    Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.

    4. Dr. Ir. Sri Minarti, MP., selaku Ketua Jurusan

    Peternakan Fakultas Peternakan Universitas

    Brawijaya.

    5. Dr. Agus Susilo, MP., selaku Ketua Program Studi

    Peternakan yang telah banyak membina kelancaran

    proses studi.

    6. Dr. Ir. Mustakim, MP., selaku Koordinator Minat

    Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan

    Universitas Brawijaya.

  • 7. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada

    Masyhuri Azhar, SPt, Bumiaji, Batu sebagai peternak

    kelinci.

    8. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada

    teman-teman di Fakultas Peternakan Universitas

    Brawijaya yang menunjang dalam proses penelitian

    ini.

    9. Seluruh civitas akademika yang menunjang dari awal

    proses penelitian juga urusan administrasi hingga

    akhir proses penelitian.

    Malang, November 2017

    Penulis

  • THE EFFECT OF USING DIFFERENT FLOUR

    TOWARDS TEXTURE, PROTEIN LEVEL, FAT LEVEL

    AND ORGANOLEPTIC ON MEATBALL RABBIT

    MEAT

    Taufik Faturohman¹⁾ , Agus Susilo²⁾ dan Mustakim²⁾

    ¹⁾ Student from Faculty of Animal Husbandary, Brawijaya

    University

    ²⁾ Lecturer from Faculty of Animal Husbandary, Brawijaya

    University

    Email: [email protected]

    ABSTRACT

    The purpose of the research is to find out the use of

    different flour towards Texture, Protein Level, Fat Level and

    Organoleptic on meatball’s rabbit meat. The materials used

    was meatball from rabbit meat which was bought in Bumiaji

    Batu City, tapioca flour, mocaf flour, sweet potato flour,

    ganyong flour, potato flour and spices which consist of garlic,

    onion, pepper, salt, and ice cube. The research methodology

    was conducted by Completely Randomized Design (CRD)

    which consist of 5 treatments and 3 repetitions. Data collected

    was analyzed using Analysis of Varience (ANOVA) and

    followed by Tukey’s Test if it showed significant or highly

    significant. The result of the research revealed that the use of

    different flours on meatball’s rabbit meat gave significant

    effect (P0,05) towards protein

    mailto:[email protected]

  • level and organoleptic (texture). Organoleptic evaluation had

    revealed that the use of tapioca flour, mocaf flour, ganyong

    flour, potato flour during the process of making meatball can

    be accepted by the panelist. Meatball with tapioca flour, mocaf

    flour, ganyong flour, potato flour can be relevantly used in

    meatball’s rabbit meat under proportion of 20% flour from the

    total meat weight.

    Keywords: Meatball, texture, fat level

  • PENGARUH PENGGUNAAN TEPUNG YANG

    BERBEDA TERHADAP TEKSTUR, KADAR PROTEIN,

    KADAR LEMAK DAN ORGANOLEPTIK PADA

    BAKSO DAGING KELINCI

    Taufik Faturohman¹⁾ , Agus Susilo²⁾ dan Mustakim²⁾

    ¹⁾ Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

    ²⁾ Dosen Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya

    Email: [email protected]

    RINGKASAN

    Pada pembuatan bakso diperlukan bahan pengisi, yaitu

    bahan bukan daging yang memiliki sifat dapat memperbaiki

    sifat emulsi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

    mengetahui penggunaan tepung yang berbeda terhadap tekstur,

    kadar protein, kadar lemak, dan organoleptik pada bakso

    daging kelinci. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

    bahan pertimbangan mengenai pengaruh penggunaan tepung

    yang berbeda terhadap tekstur, kadar protein, kadar lemak, dan

    organoleptik pada bakso daging kelinci.

    Materi penelitian yang digunakan adalah bakso yang

    dibuat dari daging kelinci yang dibeli di Bumiaji kota Batu,

    tepung tapioka, tepung mocaf, tepung ubi jalar, tepung pati

    ganyong, tepung pati kentang dan bumbu-bumbu yang terdiri

    dari bawang putih, bawang merah goreng, lada, garam dan es

    batu. Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian

    adalah percobaan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

    yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuan yang

    diberikan berada pada jenis tepung yang terdiri dari 5 jenis

    mailto:[email protected]

  • tepung yang berbeda yakni tepung tapioka, tepung mocaf,

    tepung ubi jalar, tepung pati ganyong dan tepung pati kentang.

    P0 (Tepung Tapioka); P1 (Tepung Mocaf); P2 (Tepung Ubi

    Jalar); P3 (Tepung Pati Ganyong); P4 (Tepung Pati Kentang).

    Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam

    (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Tukey apabila

    menunjukan perbedaan yang nyata atau sangat nyata.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan

    tepung yang berbeda pada bakso daging kelinci memberikan

    pengaruh yang berbeda nyata (P0,05) terhadap kadar protein dan organoleptic

    (tekstur). Nilai rata-rata tekstur tertinggi yaitu pada perlakuan

    penggunaan tepung ubi jalar (P2) sebesar 20,83 N, sedangkan

    nilai rata-rata terendah pada perlakuan penggunaan tepung

    tapioka (P0) sebesar 11,4 N. Kadar protein tertinggi pada

    bakso daging kelinci yaitu pada perlakuan penggunaan tepung

    mocaf (P1) dengan rata-rata 14,01%, sedangkan nilai rata-rata

    terendah pada perlakuan penggunaan tepung pati kentang (P4)

    sebesar 13,20%. Kadar lemak tertinggi pada perlakuan

    penggunaan tepung ubi jalar (P2) dengan rata-rata 3,16%.

    Sedangkan kadar lemak terendah pada perlakuan penggunaan

    tepung tapioka dengan rata-rata 1,40%. Uji organoleptik

    menunjukkan pada kriteria rasa, tekstur, dan warna P3

    memiliki nilai tertinggi sedangkan P2 memiliki nilai terendah.

    Penggunaan tepung yang berbeda pada bakso daging

    kelinci tidak berpengaruh terhadap persentase kadar protein,

    namun memberikan pengaruh terhadap kadar lemak dan

    tekstur bakso daging kelinci. Penilaian organoleptik

    menunjukkan penggunaan tepung tapioka, tepung mocaf,

    tepung pati ganyong, dan tepung pati kentang pada pembuatan

  • bakso dapat diterima oleh panelis. Bakso dengan filler tepung

    tapioka, tepung mocaf, tepung pati ganyong, dan tepung pati

    kentang dapat diaplikasikan pembuatan bakso daging kelinci

    dengan proporsi tepung 20% dari berat daging yang

    digunakan. Selain itu perlu dilakukan pengujian lebih lanjut

    untuk mengetahui masa simpan bakso.

  • DAFTAR ISI

    Isi Halaman

    RIWAYAT HIDUP .......................................................... i

    KATA PENGANTAR ...................................................... iii

    ABSTRACT ....................................................................... v

    RINGKASAN ................................................................... vii

    DAFTAR ISI ..................................................................... xi

    DAFTAR TABEL ............................................................. xv

    DAFTAR GAMBAR ........................................................ xvii

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................... xix

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang .................................................. 1

    1.2. Rumusan Masalah ............................................. 4

    1.3. Tujuan Penelitian .............................................. 4

    1.4. Kegunaan Penelitian ......................................... 4

    1.5. Kerangka Pikir .................................................. 4

    1.6. Hipotesis ........................................................... 7

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Bakso ................................................................ 9

    2.2. Bahan Baku Bakso ............................................ 12

    2.2.1. Daging Kelinci ....................................... 13

    2.2.2. Tepung .................................................... 14

    2.2.2.1. Tepung Tapioka ........................ 15

    2.2.2.2. Tepung Mocaf ........................... 19

    2.2.2.3. Tepung Ubi Jalar ....................... 20

    2.2.2.4. Tepung Pati Gayong ................. 21

    2.2.2.5. Tepung Pati Kentang ................. 22

    2.2.3. Bawang Putih ......................................... 24

  • 2.2.4. Garam ..................................................... 24

    2.2.5. Lada ........................................................ 25

    2.2.6. Es Batu ................................................... 25

    2.3. Uji Kualitas Bakso ............................................ 26

    2.3.1. Tekstur .................................................... 26

    2.3.2. Kadar Protein ......................................... 26

    2.3.3. Kadar Lemak .......................................... 27

    2.3.4. Organoleptik ........................................... 27

    BAB III MATERI DAN METODE PENELITIAN

    3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ........................... 29

    3.2. Materi Penelitian ............................................... 29

    3.3. Metode Penelitian ............................................. 29

    3.3.1. Pembuatan Bakso ................................... 31

    3.4. Variabel Pengamatan ........................................ 33

    3.5. Analisis Data ..................................................... 33

    3.6. Batasan Istilah ................................................... 33

    BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    4.1. Hasil Penelitian ................................................ 35

    4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap Tekstur Bakso

    Daging Kelinci ................................................ 36

    4.3 Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Protein

    Bakso Daging Kelinci ...................................... 37

    4.4. Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak

    Bakso Daging Kelinci ...................................... 39

    4.5 Uji Organoleptik ............................................... 40

    4.5.1. Rasa ........................................................ 41

    4.5.2. Tekstur ................................................... 43

    4.5.3. Warna ..................................................... 45

  • 4.6 Perlakuan Terbaik ............................................. 46

    BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1. Kesimpulan ....................................................... 49

    5.2. Saran ................................................................. 49

    DAFTAR PUSTAKA ....................................................... 51

    LAMPIRAN ...................................................................... 57

  • DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    1. Standarisasi Nasional Indonesia (SNI) bakso daging 11

    2. Perbandingan komposisi kimia daging dari berbagai

    hewan ternak....................................................... ` 14

    3. Kandungan nutrisi pada tepung tapioka .................. 15

    4. Kandungan gizi tepung mocaf ................................. 19

    5. Kandungan gizi tepung ubi jalar ............................. 21

    6. Kandungan gizi tepung pati kentang ....................... 23

    7. Tabel perlakuan ....................................................... 30

    8. Takaran bahan pembuat bakso yang digunakan

    dalam penelitian .................................................... 30

    9. Rata-rata nilai tekstur, kadar protein, dan kadar

    lemak ..................................................................... 35

    10. Rata-rata nilai organoleptic rasa, tekstur, dan warna 41

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    1. Struktur Amilosa ...................................................... 16

    2. Struktur Amilopektin ............................................... 17

    3. Diagram Alir Pembuatan Bakso Daging Kelinci ..... 32

    4. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Tekstur .......... 36

    5. Garfik Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Protein 38

    6. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak . 39

    7. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Organoleptik

    Rasa .......................................................................... 42

    8. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Organoleptik ..

    Tekstur ..................................................................... 43

    9. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Organoleptik ..

    Warna ....................................................................... 45

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1. Prosedur pembuatan bakso ....................................... 57

    2. Prosedur pengujian keempukan bakso

    menggunakan Tensile Strenght Instrument .............. 58

    3. Prosedur pengujian kadar protein ............................. 59

    4. Prosedur pengujian kadar lemak .............................. 60

    5. Prosedur pengujian organoleptik .............................. 61

    6. Output ANOVA dan uji tukey tekstur ..................... 62

    7. Output ANOVA dan uji tukey kadar protein ........... 65

    8. Output ANOVA dan uji tukey kadar lemak ............. 68

    9. Output ANOVA dan uji tukey organoleptik rasa ..... 71

    10.Output ANOVA dan uji tukey organoleptik tekstur 74

    11.Output ANOVA dan uji tukey organoleptik warna. 77

    12.Lembar kuisioner Indeks Efektifitas Perlakuan

    Terbaik .................................................................... 80

    13.Data Uji Indeks Efektifitas Bakso Daging Kelinci .. 81

    14.Perhitungan untuk menentukan perlakuan terbaik ... 84

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Bakso merupakan salah satu produk olahan daging yang

    saat ini sudah banyak dikenal masyarakat dan banyak digemari

    masyarakat. Selain rasanya yang enak, konsumen menyukai

    produk bakso karena teksturnya yang kenyal dan lembut.

    Bakso adalah produk pangan yang terbuat dari bahan utama

    daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan-bahan

    lainnya, dibentuk bulatan-bulatan, dan selanjutnya direbus.

    Berbeda dengan sosis, bakso dibuat tanpa mengalami proses

    kiuring, pembungkusan maupun pengasapan (Anonim, 2003).

    Bahan-bahan baku bakso terdiri dari bahan baku utama dan

    bahan baku tambahan. Bahan utamanya adalah daging,

    sedangkan bahan tambahannya adalah bahan pengisi (tepung),

    garam, penyedap, dan es atau air es. Komponen daging yang

    terpenting dalam pembuatan bakso adalah protein (Puspita,

    2008). Protein daging berperan dalam pengikatan hancuran

    daging selama pemasakan dan pengemulsi lemak sehingga

    produk menjadi empuk, kompak dan kenyal.

    Dengan meningkatnya konsumsi daging sapi di

    Indonesia maka penyediaan harus disesuaikan, maka melalui

    kebijakan pemerintah kemudian ada kegiatan impor daging

    dari luar negeri. Pemerintah dalam pembangunan di subsektor

    peternakan telah bertekad akan mengembangkan aneka ternak.

    Disamping tingkat kebutuhan masyarakat terhadap protein

    hewani yang semakin tinggi, hal lain juga dapat dilihat dengan

    adanya ketidakseimbangan antara permintaan daging yang

    meningkat yaitu sekitar 6 – 8 % setiap tahunnnya dan

    persediaan daging yang ada serta pertambahan populasi ternak

  • yang tersedia tidak mencukupi kebutuhan (Putri, 2009).

    Sehingga pengembangan dan penganekaragaman ternak

    sumber protein hewani harus ditingkatkan. Selain dari daging

    ayam, sapi, domba atau kambing, ternak lain yang berpotensi

    sebagai penghasil daging adalah kelinci.

    Kelinci merupakan salah satu aneka ternak, yang mulai

    digemari masyarakat karena mampu memenuhi kebutuhan gizi

    masyarakat. Kelinci dapat dimanfaatkan sebagai penghasil

    daging serta kotorannya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk

    kandang seperti ternak lainnya. Daging kelinci memiliki kadar

    protein daging yang tinggi dan kadar lemak daging yang

    rendah, serta kandungan energi yang rendah. Kandungan gizi

    daging kelinci tidak kalah dengan daging sapi maupun unggas,

    dimana daging kelinci mengandung 20,80 % protein dan kadar

    lemak yang rendah yaitu 10,20 % (Yanis, Syarifah, dan Yossi,

    2016). Manfaat dan keunggulan lainnya yaitu daging kelinci

    memiliki serat yang halus dan warna sedikit pucat, sehingga

    dapat dikelompokkan dalam golongan daging putih, seperti

    halnya daging ayam yang memiliki kadar lemak rendah dan

    glikogen tinggi. Daging putih memiliki serat yang halus dan

    besar dibandingkan dengan daging merah. Daging merah

    memiliki serat yang kasar dan kecil, oleh karena itu daging

    putih lebih lembut daripada daging merah.

    Saat ini, konsumen semakin tertarik dalam gaya hidup

    sehat, misalnya energi dan gizi nilai makanan, yang kaya

    protein dan rendah kolesterol dan kandungan lemak. Dari sudut

    pandang gizi, daging kelinci mempunyai rasa yang khas dan

    mudah dicerna, dengan gizi yang tinggi. Keputusan konsumen

    untuk mengkonsumsi daging berdasarkan beberapa

    pertimbangan, yaitu kandungan kolesterol, kandungan kalori,

    bahan tambahan pangan, karakteristik produk olahan, dan

  • harga. Daging kelinci memiliki banyak manfaat dari segi

    kesehatan, karena daging kelinci memiliki kadar protein yang

    lebih tinggi daripada daging ayam dan memiliki kandungan

    lemak yang rendah, sehingga cocok dikonsumsi bagi penderita

    darah tinggi, jantung, dan kolesterol.

    Daging mempunyai tekstur yang khas, setiap daging

    mempunyai tekstur yang berbeda sehingga dalam pembuatan

    bakso daging kelinci ini memerlukan bahan pengisi (tepung)

    yang baik dan tepat sehingga kualitas bakso baik, empuk, dan

    mempunyai kekenyalan yang tepat. Tepung sangat

    mempengaruhi kualitas pada bakso sehingga kualitas bakso

    sangat ditentukan oleh kualitas daging, jenis tepung yang

    digunakan, dan perbandingan banyaknya daging dan tepung

    yang digunakan untuk membuat adonan. Kemudian

    ditambahkan juga bahan pengisi lainnya seperti garam,

    penyedap, dan es batu yang juga berpengaruh terhadap kualitas

    bakso. Kualitas daging yang tinggi juga tepung yang baik

    disertai perbandingan tepung dan daging yang sesuai serta

    manajemen pengolahan yang benar maka akan dihasilkan

    produk bakso dengan kualitas baik. Tepung yang digunakan

    juga mempunyai sifat-sifat kimia yang berbeda. Tepung pati

    ganyong mempunyai protein sebesar 0,01 % dan lemak sebesar

    0,001 % (Hermann, 1996), sedangkan tepung pati kentang

    mempunyai kadar protein sebesar 0,021 % dan lemak sebesar

    0,002 % (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 2009),

    lalu tepung tapioka mempunyai kadar protein sebesar 0,5 %

    dan lemak sebesar 0,0002 %, kemudian tepung ubi jalar

    0,0279 % dan lemak sebesar 0,81 %, kemudian tepung mocaf

    1,0 % dan lemak sebesar 0,8 %.

  • Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik

    untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut mengenai pengaruh

    penggunaan tepung yang berbeda terhadap tekstur, kadar

    protein, kadar lemak, dan organoleptik pada bakso daging

    kelinci.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut maka

    dapat dirumuskan permasalahan, bagaimana pengaruh

    penggunaan tepung yang berbeda terhadap tekstur, kadar

    protein, kadar lemak, dan organoleptik pada bakso daging

    kelinci?

    1.3. Tujuan

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

    penggunaan tepung yang berbeda terhadap tekstur, kadar

    protein, kadar lemak, dan organoleptik pada bakso daging

    kelinci.

    1.4. Kegunaan

    Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber

    informasi baik bagi mahasiswa maupun peternak, sebagai

    bahan pertimbangan mengenai pengaruh penggunaan tepung

    yang berbeda terhadap tekstur, kadar protein, kadar lemak, dan

    organoleptik pada bakso daging kelinci .

    1.5. Kerangka Pikir

    Bakso merupakan produk makanan yang banyak

    digemari semua lapisan masyarakat. Menurut SNI 3818-2014

    bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan atau lain yang

    diperoleh dari campuran daging. Secara rinci bakso merupakan

  • campuran homogen daging, tepung pati dan bumbu bumbu

    yang di bentuk bola. Pembentukan adonan bakso menjadi bola

    bola dapat dilakukan dengan menggunakan tangan atau dengan

    mesin pencetak bola bakso. Jika memakai tangan, adonan

    diambil dengan sendok makan lalu diputar-putar dengan tangan

    sehingga terbentuk bola bakso (Wibowo, 2006).

    Daging kelinci menurut Yanis dkk (2016), memiliki

    kualitas yang lebih baik daripada daging sapi, domba, atau

    kambing. Hal ini dikarenakan daging kelinci memiliki

    kandungan persentase kadar protein yang lebih tinggi dan

    kolesterol yang lebih rendah. Daging kelinci mempunyai serat

    yang halus dan berwarna sedikit pucat, sehingga daging kelinci

    digolongkan kedalam daging berwarna putih seperti daging

    ayam.

    Pada pembuatan bakso diperlukan bahan pengisi, yaitu

    bahan bukan daging yang memiliki sifat dapat memperbaiki

    sifat emulsi. Hal ini karena fungsi bahan pengisi adalah

    memperbaiki sifat emulsi, mereduksi penyusutan selama

    pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, serta

    menurunkan biaya produksi, meningkatkan daya ikat air,

    meningkatkan flavor, meningkatkan karakteristik fisik dan

    kimiawi serta sensori produk.

    Tepung tapioka merupakan tepung dibuat dari umbi akar

    ketela pohon atau singkong. Tepung tapioka umumnya

    berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi

    singkong (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, 2009).

    Tepung ini sering digunakan untuk membuat makanan

    tradisional sebagai bahan bakunya. Tapioka memiliki sifat-sifat

    yang serupa dengan sagu yaitu sebagai bahan perekat, sehingga

    keguaan keduanya dapat dipertukarkan.

  • Tepung mocaf merupakan rekayasa modifikasi tepung

    casava dengan teknik fermentasi sehingga menyebabkan

    perubahan karakteristik yang dihasilkan berupa naiknya

    visikositas (daya lekat), kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan

    solubility (kemampuan melarut) sehingga memiliki tekstur

    yang lebih baik dibandingkan tepung tapioka atau tepung

    singkong biasa (Salim, 2011).

    Tepung atau pati ganyong bedasarkan hasil penelitian

    memiliki komposisi gizi sebagai berikut: karbohidrat 84,34%,

    protein 0,44%, lemak 6,43%, serat kasar 0,040%, amilosa 28%

    (BKP dan FTP UNEJ, 2001). Adanya bentukan daya lengket

    yang kuat dari tingginya kadar amilopektin merupakan potensi

    dalam pembentukan sifat kekenyalan. Adanya kemampuan

    pembentuk gel melalui proses gelatinasinya dan bentukan daya

    lengket yang kuat dari tingginya kadar amilopektin merupakan

    potensi dalam pembentukan sifat elastisitas. Sehingga Tepung

    dan pati ganyong dapat digunakan sebagai bahan baku industri

    pangan seperti bakso.

    Sumber pati alternatif yang kurang diperhatikan di

    Indonesia diantaranya adalah pati kentang. Proses pembuatan

    tepung kentang pada prinsipnya sama dengan pembuatan

    tepung umbi-umbian lainnya. Secara tradisional pembuatan

    tepung kentang dilakukan melalui tahap-tahap pengupasan,

    pengirisan, perendaman, pengeringan, penggilingan,

    pengayakan. Tepung kentang yang digunakan berwarna putih

    kekuningan, aromanya khas tepung kentang, jika dipegang

    tekstur tepung kentang lebih halus dan lembut. (Fajiarningsih,

    2013). Pati kentang memiliki struktur permukaan yang halus

    dan tidak terdapat banyak pori.

  • Nur Richana (2012) menyatakan bahwa “Tepung ubi

    jalar merupakan produk ubi jalar setengah jadi yang dapat

    digunakan sebagai bahan baku dalam industri makanan dan

    juga mempunyai daya simpan yang lebih lama. Tepung ubi

    jalar dibuat dari sawut atau chip kering dengan cara digiling

    dan diayak”.

    1.6. Hipotesis

    Penggunaan tepung yang berbeda diharapkan dapat

    mempengaruhi kualitas tekstur, kadar protein, kadar lemak dan

    organoleptik pada bakso daging kelinci sehingga dapat

    mengetahui tepung yang cocok untuk membuat bakso daging

    kelinci.

  • BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Bakso

    Bakso merupakan produk makanan yang banyak

    digemari semua lapisan masyarakat. Menurut SNI 3818-2014

    bakso adalah produk makanan berbentuk bulatan yang

    diperoleh dari campuran daging. Secara rinci bakso merupakan

    campuran homogen daging, tepung pati dan bumbu bumbu

    yang di bentuk bola. Pembentukan adonan bakso menjadi bola

    bola dapat dilakukan dengan menggunakan tangan atau dengan

    mesin pencetak bola bakso. Jika memakai tangan, adonan

    diambil dengan sendok makan lalu diputar-putar dengan tangan

    sehingga terbentuk bola bakso (Wibowo, 2006).

    Menurut Wibowo (2000) mutu bakso dipengaruhi oleh

    komposisi bahan penyusun yang tepat dan daging yang

    digunakan harus baik, segar dan pembuatan bakso sebaiknya

    dilakukan secara higienis. Dalam pemilihan daging, haruslah

    segar yang halal tanpa pengawet. Mutu bakso dikatakan baik

    jika bahan tambahan sebagai campuran tidak melebih 50% dan

    bahan yang di tambahkan harus memenuhi syarat tanpa

    menyebabkan efek samping terhadap kesehatan. Widya dan

    Murtini (2006) mengatakan bahwa mutu bakso sangat

    bervariasi, karena perbedaan bahan baku dan bahan tambahan

    yang digunakan, proporsi daging, tepung dan proses

    pembuatan. Kekenyalan merupakan parameter fisik terpenting

    dari produk bakso. Bakso yang baik harus memenuhi syarat

    mutu bakso sapi yang telah ditentukan menurut standar

    Nasional Indonesia tentang bakso, seperti pada Tabel 1.

    Adonan bakso salah satu sistem emulsi minyak dalam

    air, lemak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase

  • pendispersi matrik tiga dimensi (Widyaningsih dan Murtini,

    2006). Faktor terpenting dalam pembuatan bakso adalah

    adanya kandungan protein. Protein pada daging berperan

    penting dalam pengikatan hancuran daging selama pemasakan

    dan pengemulsi lemak sehingga produk menjadi empuk,

    kompak dan kenyal. Bahan pengisi juga penting dalam

    pembuatan bakso yaitu dengan penambahan pati seperti

    tapioka atau sagu. Bahan pengisi ini mempunyai kandungan

    karbohidrat yang tinggi sedangkan kandungan proteinnya

    rendah. Pati tersebut tidak mengemulsikan lemak tetapi

    memiliki kemampuan mengikat air. Pada pembuatan bakso

    ditambahkan garam untuk memberikan rasa,juga menjadi

    pelarut protein , pengawet, dan meningkatkan daya ikat air dari

    protein daging. Garam yang ditambahkan biasanya 5-10%

    berat daging (Widyaningsih dan Murtini, 2006).

    Tabel 1. Standar Nasional Indonesia (SNI) Bakso Daging

    Sumber: Badan Standarisasi Nasional (2014)

  • Pembuatan bakso terdiri dari empat tahap yaitu: 1)

    Pelumatan daging, 2) Pembuatan adonan, 3) Pembuatan bola

    bakso dan 4) Perebusan. Pelumatan atau penggilingan dapat

    dilakukan dengan manual atau menggunakan mesin. Makin

    tinggi kecepatan mesin penggilingnya, semakin bagus adonan

    yang terbentuk. Penambahan es batu dapat menambah air dan

    meningkatkan rendemennya. Batu es dapat digunakan

    sebanyak 10-15% dari berat daging atau 30% berat daging

    No. Kriteria Satuan Persyaratan

    1.

    1.1

    1.2

    1.3

    1.4

    2.

    3.

    4.

    5.

    6.

    6.1

    6.2

    6.3

    6.4

    7.

    8.

    8.1

    8.2

    8.3

    8.4

    8.5

    8.6

    Keadaan

    Bau

    Rasa

    Warna

    Tekstur

    Air

    Abu

    Protein

    Lemak

    Cemaran logam :

    Kadmium (Cd)

    Timbal (Pb)

    Timah (Sn)

    Merkuri (Hg)

    Cemaran arsen (As)

    Cemaran mikroba :

    Angka lempeng total

    Bakteri bentuk koli

    Escherichia coli

    Clostridium perfringens

    Salmonella

    Staphylococcus aureus

    -

    -

    -

    -

    -

    % b/b

    % b/b

    % b/b

    % b/b

    -

    mg/kg

    mg/kg

    mg/kg

    mg/kg

    mg/kg

    koloni/g

    APM/g

    APM/g

    koloni/g

    -

    koloni/g

    Normal, Khas daging

    Normal, Khas bakso

    Normal

    Kenyal

    Maksimal 70,0

    Maksimal 3,0

    Minimal 11,0

    Maksimal 10,0

    Maksimal 0,3

    Maksimal 1,0

    Maksimal 40,0

    Maksimal 0,03

    Maksimal 0,5

    Maksimal 1x105

    Maksimal 10

    < 3

    Maksimal 1x102

    Negatif/25 g

    Maksimal 1x102

  • (Wibowo 2006). Dalam proses penggilingan daging, tujuan

    penambahan batu es adalah untuk mecegah denaturasi protein

    karna suhu daging tetap rendah. Protein daging mempunyai

    kemampuan dalam mengikat air (water holding capacity).

    Setelah itu daging giling dicampur dengan tepung sagu dan

    bumbu-bumbu yang telah dihaluskan. Pencampuran bahan ini

    dilakukan hingga homogen. Pencetakan menjadi bola bakso

    dapat dilakukan dengan tangan atau mesin. Bola bakso yang

    telah terbentuk direbus ke dalam air mendidih sampai matang

    yang ditandai dengan bakso mengapung kepermukaan air

    selama 15 menit. Lalu bakso diangkat dan ditiriskan.

    Bakso digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu bakso

    daging, bakso urat dan bakso aci. Penggolongan bakso ini

    dilakukan berdasarkan perbandingan atas jumlah daging dan

    perbandingan jumlah tepung yang digunakan dalam pembuatan

    bakso. Bakso daging dibuat dengan menggunakan bahan dasar

    pati dan daging dengan jumlah yang lebih besar. Bakso aci

    dibuat dengan menggunakan pati dalam jumlah yang lebih

    besar dibandingkan dengan daging yang digunakan. Bakso urat

    dengan menggunakan daging yang banyak mengandung

    jaringan ikat dalam jumlah lebih besar dibandingkan dengan

    jumlah pati.

    2.2 Bahan Baku Bakso

    Bakso dibuat dengan menggunakan daging, tepung, dan

    juga bumbu-bumbu. Daging yang dipakai dalam penelitian ini

    adalah daging kelinci. Tepung yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah tepung tapioca, tepung mocaf, tepung ubi

    jalar, tepung pati ganyong, dan tepung pati kentang.

    2.2.1 Daging Kelinci

  • Dalam penelitian ini daging yang dipakai bukanlah

    daging sapi, namun keseluruhan daging yang dipakai adalah

    daging kelinci. Permintaan daging kelinci tidak begitu

    berkembang dibandingkan jenis ternak lain, antara lain

    disebabkan ketersediaan terbatas dan adanya hambatan

    psikologis pada masyarakat karena lebih dikenal sebagai

    binatang kesayangan (peliharaan). Melihat potensinya yang

    cukup besar karena kecepatan perkembangbiakannya dan

    sebagai sumber protein maka agar konsumsi daging kelinci

    meningkat perlu dilakukan pengenalan dan diversifikasi

    produk olahan yang dapat diterima masyarakat. Daging kelinci

    dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan

    bercitarasa tinggi seperti sosis, nugget, bakso, kornet, dan abon.

    Daging kelinci menurut Yanis dkk (2016), memiliki

    kualitas yang lebih baik daripada daging sapi, domba atau

    kambing. Hal ini dikarenakan daging kelinci memiliki

    kandungan persentase kadar protein yang lebih tinggi dan

    kolesterol yang lebih rendah. Daging kelinci mempunyai serat

    yang halus dan berwarna sedikit pucat, sehingga daging kelinci

    digolongkan kedalam daging berwarna putih seperti daging

    ayam.

    Banyak keunggulan yang diperoleh dari

    mengkonsumsi daging kelinci dibandingkan dengan ternak lain

    (Tabel 2), yaitu kandungan protein yang tinggi dan rendah

    kolesterol, rendah lemak, mengandung berbagai vitamin,

    mineral dan yang terpenting adalah mengandung asam amino

    essensial sehingga daging kelinci dapat dipromosikan sebagai

    daging sehat. Berikut adalah tabel komposisi gizi dari beberapa

    daging hewan ternak.

  • Tabel 2. Perbandingan Komposisi Kimia Daging dari Berbagai

    Hewan Ternak

    Zat Gizi Kelinci* Ayam* Sapi** Domba** Babi*

    Protein (g/100 g) 21,9 19,7 16,3 15,7 21,8

    Lemak (g/100 g) 5,5 3,9 24,05 21,5 37,83

    Energi (kkal) 137 449 136 156 123

    Kolesterol (mg/100 g) 53 70 58 74 123

    Kalori (kkal) 136 215 291 267 398

    Sumber Chan (1995)

    Keterangan: (*) bagian paha dan pinggang

    (**) lean meat

    Dalam proses perkembangbiakanya, kendala yang

    muncul adalah secara teknis banyak ditemui angka kematian

    yang mencapai lebih dari 20% pada tingkat umur potong

    (Farrel, 1990).

    2.2.2 Tepung

    Pada pembuatan bakso diperlukan bahan pengisi, yaitu

    bahan bukan daging yang memiliki sifat dapat memperbaiki

    sifat emulsi. Hal ini karena fungsi bahan pengisi adalah

    memperbaiki sifat emulsi, mereduksi penyusutan selama

    pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan cita rasa, serta

    menurunkan biaya produksi, meningkatkan daya ikat air,

    meningkatkan flavor, meningkatkan karakteristik fisik dan

    kimiawi serta sensori produk. Tepung berpati dapat

    mengabsorpsi air dua sampai tiga kali lipat dari berat semula.

    Karena sifat tersebut, adonan bakso menjadi lebih besar.

    Dalam penelitian ini digunakan beberapa tepung untuk

    mengetahui tepung yang memiliki karakteristik yang paling

  • baik dalam pembuatan bakso, seperti tepung tapioka, tepung

    mocaf, tepung ubi jalar, tepung ganyong, dan tepung pati

    kentang.

    2.2.2.1 Tepung Tapioka

    Tepung tapioka merupakan tepung dibuat dari umbi

    akar ketela pohon atau singkong. Tepung tapioka umumnya

    berbentuk butiran pati yang banyak terdapat dalam sel umbi

    singkong. Tepung ini sering digunakan untuk membuat

    makanan tradisional sebagai bahan bakunya. Tapioka memiliki

    sifat yang serupa dengan sagu yaitu sebagai bahan perekat,

    sehingga keguaan keduanya dapat dipertukarkan. Kandungan

    nutrisi pada tepung tapioka, dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Kandungan nutrisi pada tepung tapioka

    Komposisi Jumlah

    Protein (g/100 g) 0,5

    Lemak (g/100 g) 0,0002

    Kalori (kkal) 363

    Sumber: Soemarno, 2007

    Kualitas tapioka sangat ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:

    a) Warna tepung; tepung tapioka yang baik berwarna

    putih.

    b) Kandungan air; tepung harus dijemur sampai kering

    benar sehingga kandungan airnya rendah.

    c) Banyaknya serat dan kotoran; kandungan serat dan

    kotoran harus rendah, maka ubi kayu yang digunakan

    umurnya kurang dari 1 tahun karena serat dan

  • kotorannya masih sedikit dan zat patinya masih

    banyak. (Whistler, dkk, 1984).

    Pati tapioka memiliki dua fraksi, yaitu fraksi terlarut

    disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut yang disebut

    amilopektin. Jumlah atau kadar amilosa pada tepung tapioa

    sebesar 8,06% sedangkan kadar amilopektin sebesar 91,94%.

    Amilosa merupakan rantai lurus yang terdiri dari molekul-

    molekul glukosa yang berikatan α(1,4). Amilosa memilki

    kemampuan membentuk kristal karena struktur rantai

    polimernya yang sederhana. Strukturnya yang sederhana ini

    dapat membentuk interaksi molekular yang kuat. Interaksi ini

    terjadi pada gugus hidroksil molekul amilosa. Pembentukan

    ikatan hidrogen ini lebih mudah terjadi pada amilosa daripada

    amilopektin. Struktur amilosa dapat dilihat pada Gambar 1.

    Gambar 1. Struktur Amilosa (Chaplin, 2006)

    Pada dasarnya, struktur amilopektin sama seperti

    amilosa, yaitu terdiri dari rantai pendek dalam jumlah yang

    besar. Perbedaannya ada pada tingkat percabangan yang tinggi

  • dengan ikatan α(1,6) dan bobot molekul yang besar.

    Amilopektin juga dapat membentuk kristal, tetapi tidak

    sereaktif amilosa. Hal ini terjadi karena adanya rantai

    percabangan yang menghalangi terbentuknya kristal. Struktur

    amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2.

    Gambar 2. Struktur Amilopektin (Chaplin, 2006)

    Pati memiiki sifat daya kembang dan gelatinisasi.

    Daya kembang atau swelling power yang didefinisikan sebagai

    pertambahan volume dan berat maksimum yang dialami pati

    dalam air. Hal ini terjadi Karena ikatan non-kovalen antara

    molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air

    dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak.

    Namun demikian, jumlah air yang terserap dan

    pembengkakannya terbatas hanya mencapai 30%. Ketika

    granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai

    mengembang (swelling). Swelling terjadi pada daerah amorf

    granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati

  • pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga

    terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus

    mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume

    hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati.

    Swelling merupakan sifat yang dipengaruhi oleh amilopektin.

    Amilosa dapat membentuk kompleks dengan lipida pada pati

    sehingga dapat menghambat swelling. Nilai swelling power

    dapat diukur pada kisaran suhu terbentuknya pasta pati, yaitu

    sekitar 50-95°C dengan interval 5°C. Ketika pati dipanaskan

    dalam air, sebagian molekul amilosa akan keluar dari granula

    pati dan larut dalam air.

    Pati juga mempunyai sifat gelatinisasi, yaitu proses

    pembengkakan granula pati ketika dipanaskan dalam media air.

    Proses gelatinisasi melibatkan peristiwa sebagai berikut: (1)

    hidrasi dan swelling (pengembangan) granula; (2) hilangnya

    sifat birefringent; (3) peningkatan kejernihan; (4) peningkatan

    konsistensi dan pencapaian viskositas puncak; (5) pemutusan

    molekul-molekul linier dan penyebarannya dari granula yang

    telah pecah.

    Berdasarkan aplikasinya, tepung tapioka yang dibuat

    dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai

    bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan

    dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu,

    komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik. (Whistler, 1984)

    2.2.2.2 Tepung Mocaf

    Tepung mocaf merupakan rekayasa modifikasi tepung

    casava dengan teknik fermentasi sehingga menyebabkan

    perubahan karakteristik yang dihasilkan berupa naiknya

  • visikositas (daya lekat), kemampuan gelasi, daya rehidrasi dan

    solubility (kemampuan melarut) sehingga memiliki tekstur

    yang lebih baik dibandingkan tepung tapioka atau tepung

    singkong biasa (Salim, 2011).

    Teknik fermentasi pada proses produksi mocaf

    umumnya menggunakan bakteri asam laktat. Asam laktat

    yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat memberikan aroma

    dan flavor. Adanya perlakuan fermentasi pada proses

    pembuatan tepung mocaf menyebabkan tepung mocaf menjadi

    bertekstur halus, warna lebih putih, dan aroma singkong juga

    hilang.

    Kandungan gizi yang terdapat pada tepung mocaf yaitu

    kadar karbohidrat yang tinggi dan kadar serat yang tinggi pula,

    selain itu terdapat kandungan gizi yang lain, berikut dalam

    Tabel 4.

    Tabel 4. Kandunga Gizi Tepung Mocaf

    Kriteria Uji Jumlah (%)

    Kadar air 12

    Kadar protein 1.0

    Kadar abu 1,13

    Kadar pati 60-68

    Kadar serat 2-2,5

    Kadar lemak 0,8

    Sumber: Salim, 2011

    Tepung mocaf memiliki kandungan amilosa sebesar

    23,03% dan kadar amilopektin sebesar 76,97%. Tepung mocaf

    memiliki prospek pengembangan yang bagus, pertama dilihat

    dari ketersediaan singkong sebagai bahan baku yang berlimpah

  • sehingga kemungkinan kelangkaan produk dapat dihindari.

    Dan yang kedua yaitu kandungan gizi pada tepung mocaf lebih

    tinggi dari tepung singkong atau tepung tapioka. Dari alasan

    tersebut produksi tepung mocaf membuka peluang bisnis.

    Masyarakat belum banyak mengenal tepung mocaf sebagai

    bahan pangan, sehingga dapat diolah menjadi berbagai macam

    olahan makanan.

    2.2.2.3 Tepung Ubi Jalar

    Ubi jalar ungu lebih cepat busuk dalam keadaan segar

    dan dapat disimpan lebih lama bila dalam bentuk tepung.

    Namun viskositas, kemampuan gelasi dan daya rehidrasi

    tepung ubi jalar ungu sangat rendah yang menyebabkan tepung

    ubi jalar kurang mengembang bila digunakan sebagai adonan

    roti atau kue sehingga perlu dilakukan modifikasi untuk

    meningkatkan viskositas, kemampuan gelasi dan daya

    rehidrasi tepung (Hardoko dkk, 2010).

    Nur Richana (2012) menyatakan bahwa “Tepung ubi

    jalar merupakan produk ubi jalar setengah jadi yang dapat

    digunakan sebagai bahan baku dalam industri makanan dan

    juga mempunyai daya simpan yang lebih lama. Tepung ubi

    jalar dibuat dari sawut atau chip kering dengan cara digiling

    dan diayak”. Tepung ubi jalar memiliki kadar amilosa sebesar

    26,02% dan kadar amilopektin sebesar 73,98%. Kandung gizi

    dari Tepung Ubi Jalar dapat dilihat pada Tabel 5.

    Tabel 5. Kadungan gizi tepung Ubi Jalar

    Kriteria Uji Jumlah (%)

    Kadar air 7

  • Kadar protein 0,279

    Kadar abu 2,13

    Kadar lemak 0,81

    Sumber: Antarlina, 1998

    Ubi ungu yang telah dijadikan tepung ubi ungu

    memiliki warna ungu, dan aroma ubi ungu masih terasa. Dalam

    pembuatan tepung ubi ungu, masalah utama yang dihadapi

    yaitu masalah reaksi pencoklatan enzimatik. Warna ubi ungu

    akan menjadi kusam yang disebabkan oleh enzim fenolase.

    Untuk menghambat reaksi pencoklatan enzimatik, maka ubi

    ungu perlu dikukus untuk merusak struktur enzim fenolase,

    dengan rusaknya struktur enzim fenolase tersebut, maka reaksi

    pencoklatan enzimatik pada ubi ungu dapat dihambat. (Nur

    Richana, 2012).

    2.2.2.4 Tepung Pati Ganyong

    Tanaman ganyong mempunyai nama ilmiah Canna

    edulis Kerr. Ganyong merupakan tanaman tegak yang

    tingginya mencapai 0,9 – 1,8 m hingga 3 m atau lebih. Daunnya

    lebar, di bagian tengah tulang daun menebal, terdapat

    keragaman pada warna daun. Bunganya berwarna merah

    jingga. Umbinya dapat mencapai panjang 60 cm, dikelililngi

    oleh bekas-bekas sisik dan akar tebal yang berserabut. Bentuk

    umbinya beraneka-ragam.

    Ganyong merupakan tanaman yang banyak di

    budidayakan di Indonesia. Tanaman ganyong (Canna edulis)

    cukup mudah dibudidayakan baik pada tanah yang subur

    maupun pada tanah yang tandus dan pertumbuhannya tidak

  • memerlukan persyaratan-persyaratan yang sukar. Produksi

    ganyong cukup banyak di masyarakat khususnya di daerah

    pedesaan. Masyarakat masih jarang memanfaatkan ganyong

    sebagai pangan. Pati ganyong dapat dibuat menjadi makanan

    bayi untuk mengatasi gizi buruk. Ganyong selain mengandung

    karbohidrat juga mempuyai kalsium dan fosfor yang cukup

    tinggi. Setiap 100 g tepung ganyong mengandung 95,0 kkal

    kalori, 0,01 g protein, 0,001 g lemak, 22,6 g karbohidrat, 21 mg

    kalsium, 70 mg fosfor, 20 mg zat besi, 0,1 mg vit B1, dan 75 g

    air (Hermann, 1996).

    Dalam pemanfaatanya ganyong dapat diolah menjadi

    tepung pati ganyong. Pati ganyong memiliki komposisi gizi

    sebagai berikut: karbohidrat 84,34%, protein 0,01%, lemak

    0,001%, serat kasar 0,04%, amilosa 18,6% dan amilopektin

    81,4% (BKP dan FTP UNEJ, 2001). Adanya bentukan daya

    lengket yang kuat dari tingginya kadar amilopektin merupakan

    potensi dalam pembentukan sifat kekenyalan. Adanya

    kemampuan pembentuk gel melalui proses gelatinasinya dan

    bentukan daya lengket yang kuat dari tingginya kadar

    amilopektin merupakan potensi dalam pembentukan sifat

    elastisitas. Sehingga Tepung dan pati ganyong dapat digunakan

    sebagai bahan baku industri pangan seperti bakso.

    2.2.2.5 Tepung Pati Kentang

    Kentang memiliki sumber keanekaragaman jenis yang

    banyak, terdiri dari varietas jenis lokal dan beberapa varietas

    unggul. Berdasarkan warna kulit dan daging umbi, terdapat tiga

    golongan kentang yaitu kentang kuning, kentang putih, dan

    kentang merah (Sari, 2013). Berikut adalah nilzi gizi yang

    terdapat dalam kentang dapat dilihat pada Tabel 6.

  • Tabel 6. Kandungan gizi tepung pati kentang

    Kriteria Uji Jumlah (%)

    Kadar air 8,34

    Kadar protein 0,021

    Kadar abu 0,8

    Kadar lemak 0,002

    Sumber: Tabel Komposisi Pangan Indonesia, 2009

    Kentang juga termasuk salah satu umbi-umbian yang

    mengandung banyak energi. Dibandingkan beras, kandungan

    karbohidrat, lemak, dan energi kentang lebih rendah. Namun,

    jika dibandingkan dengan umbi-umbian lain seperi singkong,

    ubi jalar, dan talas komposisi gizi kentang masih relative lebih

    baik. Selain itu, kandungan karbohidrat pada 100 gram

    kentang juga cukup tinggi yaitu 13,5 gram. (Direktorat Gizi

    Departemen Kesehatan RI, 2009). Kandungan pati kentang

    sebesar 15 % dengan kadar air 10% juga kadar amilosa sebesar

    23% dan amilopektin sebesar 77%.

    Proses pembuatan tepung kentang pada prinsipnya

    sama dengan pembuatan tepung umbi-umbian lainnya. Secara

    tradisional pembuatan tepung kentang dilakukan melalui

    tahap-tahap pengupasan, pengirisan, perendaman,

    pengeringan, penggilingan, pengayakan. Tepung kentang yang

    digunakan berwarna putih kekuningan, aromanya khas tepung

    kentang, jika dipegang tekstur tepung kentang lebih halus dan

    lembut. (Fajiarningsih, 2013). Pati kentang memiliki struktur

    permukaan yang halus dan tidak terdapat banyak pori.

  • 2.2.3 Bawang Putih

    Pemberian bawang putih atau bumbu pada bakso

    bertujuan untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan

    (Farrel, 1990). Bawang putih berfungsi sebagai penambah

    aroma dan untuk menigkatkan citarasa produk yang dihasilkan,

    sehingga mampu meningkatkan selera makan. Aroma pada

    bawang putih berasal dari minyak Volatile yang mengandung

    komponen Sulvure. Karakteristik bawang putih akan muncul

    apabila terjadi pemotongan atau perusakkan jaringan yang

    terdapat pada bawang tersebut. Selain untuk citarasa, bawang

    putih dapat dipakai sebagai pengawet karena bersifat

    bakteriostatik yang disebabkan oleh adanya zat aktif allicin

    yang sangat efektif terhadap bakteri. Senyawa alicin juga yang

    menyebabkan timbulnya bau yang sangat tajam. Ekstrak

    bawang putih segar pada konsentrasi 0.5 % dapat menghambat

    pertumbuhan E.coli dan Salmonella sp. (Hitokoto et al., 1990).

    2.2.4 Garam

    Garam mempunyai banyak peran dalam pembuatan

    bakso. Garam berperan dalam meningkatkan flavor,

    memberikan efek pengawetan dengan cara menurunkan

    aktivitas air (aw) dan membatasi pertumbuhan mikroba pada

    daging (Underriner dan Humei, 1994). Garam berfungsi

    mengekstraksi protein miofibrial dan meningkatkan daya

    simpan karena dapat menghambat pertumbuhan

    mikroorganisme pembusuk (Cross dan Overby, 1998).

    Penambahan garam dapur (NaCl) disamping dapat

    meningkatkan rasa dan penerimaan bakso juga berperan dalam

    meningkatkan mutu bakso dan penurunan susut berat

    (Sunarlim, 1992). Aberle et al. (2001) menyatakan bahwa

    garam yang ditambahkan pada daging yang digiling akan

  • meningkatkan protein miofibril yang terekstraksi. Penambahan

    garam sebaiknya tidak kurang dari 2% karena konsentrasi

    garam yang kurang dari 1,8% akan menyebabkan rendahnya

    protein yang terlarut (Sunarlim, 1992). Garam dapur

    digunakan biasanya 2,5% dari berat daging sedangkan bumbu

    penyedap 2% dari berat daging (Wibowo, 2006).

    2.2.5 Lada

    Lada atau merica (Peper ningrum Linn) merupakan

    jenis rempah berupa bijian berwarna keputih-putihan. Lada dan

    bawang putih digunakan pada beberapa resep produk daging

    seperti bakso (Aberle et al., 2001). Lada mempunyai aroma

    dan rasa khusus lada. Manfaat penambahan lada yaitu untuk

    menguatkan rasa yang terdapat pada makanan terutama rasa

    pedas. Rasa lada yang pedas disebabkan adanya zat Pirevin dan

    Piperanin dengan alkaloida (Rismunandar, 1993). Piperin

    ditemukan sebagai bahan aktif dan merupakan alkaloid yang

    bertanggung jawab terhadap rasa pedas serta bau merica.

    Konsentrasi piperin dalam merica sekitar 5-9% dan digunakan

    dalam pengobatan tradisional dan sebagai insektisida

    (Rismunandar, 2011).

    2.2.6 Es Batu

    Penggunaan es pada pembuatan bakso berfungsi untuk

    pembentukan tekstur bakso. Dengan suhu yang rendah, protein

    daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan

    ekstraksi protein berjalan dengan baik. Penambahan es juga

    dapat meningkatkan rendemennya, untuk itu dapat digunakan

    es sebanyak 10-15% dari berat daging atau bahkan 30% dari

    berat daging (Wibowo, 2006). Es dicampur pada saat

    pengilingan. Hal ini dimaksudkan agar selama penggilingan,

  • daya elastis daging tetap terjaga sehingga bakso yang

    dihasilkan akan lebih kenyal (Widya dan Murtini, 2006).

    2.3 Uji Kualitas Bakso

    Dalam penelitian ini analisa uji yang dilakukan pada

    kualitas bakso adalah: uji kadar protein, uji kadar lemak, uji

    teksur dan uji organoleptik.

    2.3.1 Tekstur

    Indikator yang dinilai dari tekstur bakso ditandai

    dengan kasar atau halusnya produk yang dihasilkan. Nilai yang

    diperoleh diharapkan dapat menjadi penentu kualitas makanan

    tersebut. Menurut Meilgaard et al. (1999) faktor tekstur

    diantaranya adalah rabaan oleh tangan, keempukan dan

    kemudahan dalam dikunyah. Aberle et al. (2001) menyatakan

    bahwa jumlah marbling yang besar pada daging akan

    membatasi palatabilitas dari produk daging olahan.

    2.3.2 Kadar Protein

    Protein untuk tubuh mempunyai fungsi sebagai zat

    pembangun, zat pengatur dan sebagai sumber energi. Protein

    adalah makromolekul yang tersusun oleh asam amino.

    Berbagai asam amino membentuk rantai panjang melalui

    ikatan peptida. Kandungan protein pada produk bakso berasal

    dari komposisi daging dan bahan pengisi biasanya tepung

    tapioka. Semakin tinggi persentase campuran tepung tapioka

    dan tepung sagu maka kadar protein semakin menurun,karena

    proporsi daging semakin sedikit. Puspita (2008) melakukan

    penelitian bakso sapi proporsi tepung tapioka dengan rumput

    laut, menghasilkan kadar protein berkisar antara 12,17%-

    16,64%.

  • 2.3.3 Kadar Lemak

    Lemak larut dengan pelarut organic seperti eter,

    benzene dan klorofom serta tidak larut dalam air (De man,

    1989). Makanan yang tidak termodifikasi seperti daging, susu

    dan ikan, lemaknya berupa campuran yang terdiri dari banyak

    senyawa dengan trigliserida sebagai bagian utama (De man,

    1997). Penelitian terdahulu Hermann (1996) mengungkapkan

    bahwa presentase campuran tepung tapioka dan tepung sagu

    berpengaruh nyata terhadap kadar lemak pada bakso daging

    sapi yaitu berkisar antara 3,73%- 5,13%. Selain itu tepung

    tapioka dan tepung sagu memiliki kadar lemak rendah yaitu

    sekitar 0,3 g/100g dan 0,2/100g.

    2.3.4 Kualitas Organoleptik

    Menurut Soekarto (1990), uji organoleptik yang

    digunakan pada penelitian ini adalah uji mutu hedonik dan

    kesukaan yang meliputi aroma, rasa, warna, tekstur dan

    kekenyalan. Uji organoleptik dilakukan oleh 40 panelis

    mahasiswa dengan memberikan penilaian pada skor yang telah

    ditetapkan dan pengajuan sampel secara acak. Penilaian uji

    hedonik dimulai dengan skala 1 (sangat tidak suka) hingga

    skala 5 (sangat suka). Penilaian uji mutu hedonik yaitu; warna

    skala 1 (gelap), skala 2 (agak gelap), skala 3 (agak putih), skala

    4 (putih), skala 5 (sangat putih); aroma skala 1 (sangat tidak

    menyengat khas daging kelinci), skala 2 (tidak menyengat khas

    daging kelinci), skala 3 (agak menyengat daging kelinci), skala

    4 (menyengat khas daging kelinci), skala 5 (sangat menyengat

    khas daging kelinci); rasa skala 1 (sangat tidak rasa khas

    bakso), skala 2 (tidak rasa khas bakso), 3 (agak rasa khas

    bakso), skala 4 (rasa khas bakso), skala 5 (sangat rasa khas

  • bakso); tekstur skala 1 (sangat kasar), skala 2 (kasar), skala 3

    (agak halus), skala 4 (halus), skala 5 (sangat halus), dan

    kekenyalan skala 1 (sangat tidak kenyal), skala 2 (tidak

    kenyal), skala 3 (agak kenyal), skala 4 (kenyal), skala 5 (sangat

    kenyal). Hasil yang didapatkan selanjutnya ditransformasikan

    ke dalam nilai numerik.

  • BAB III

    MATERI DAN METODE PENELITIAN

    3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 2 Mei 2017

    sampai 2 Juni 2017 di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak

    Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang, dan di

    Laboratorium Pengujian Mutu dan Keamanan Pangan Fakultas

    Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya.

    3.2 Materi Penelitian

    Materi penelitian yang digunakan adalah bakso yang

    dibuat dari daging kelinci yang dibeli di Bumiaji kota Batu,

    tepung tapioka, tepung mocaf, tepung ubi jalar, tepung pati

    ganyong, tepung pati kentang dan bumbu-bumbu yang terdiri

    dari bawang putih, bawang merah goreng, lada, garam dan es

    batu. Alat yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah meat

    grinder, pisau, sarung tangan plastik, kompor, panci, sendok,

    alat peniris, baskom, cobek, ulekan, tissue, kertas label dan

    bolpoin.

    3.3 Metode Penelitian

    Metode penelitian adalah percobaan dengan Rancangan

    Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 3

    ulangan (Tabel 7). Perlakuan yang diberikan berada pada jenis

    tepung yang terdiri dari 5 jenis tepung yang berbeda yakni

    tepung tapioka, tepung mocaf, tepung ubi jalar, tepung pati

    ganyong dan tepung pati kentang. Rincian perlakuan

    pembuatan bakso dalam penelitian ini terdapat pada Tabel 8.

  • Tabel 7. Tabel Perlakuan

    Perlakuan

    Ulangan

    1 2 3

    P0 P0U1 P0U2 P0U3

    P1 P1U1 P1U2 P1U3

    P2 P2U1 P2U2 P2U3

    P3 P3U1 P3U2 P3U3

    P4 P4U1 P4U2 P4U3

    Tabel 8. Takaran bahan pembuatan bakso yang digunakan

    dalam penelitian

    Bahan-bahan Perlakuan

    p0 p1 p2 p3 p4

    Daging Kelinci (g) 200 200 200 200 200

    Tepung Tapioka (g) 40 0 0 0 0

    Tepung Mocaf (g) 0 40 0 0 0

    Tepung Ubi Jalar (g) 0 0 40 0 0

    Tepung Pati Ganyong (g) 0 0 0 40 0

    Tepung Pati Kentang (g) 0 0 0 0 40

    Bawang Putih (g) 5 5 5 5 5

    Bawang Merah Goreng (g) 5 5 5 5 5

    Lada/Merica (g) 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5

    Garam (g) 5 5 5 5 5

    Es Batu (g) 40 40 40 40 40

    Jumlah (g) 295,5 295,5 295,5 295,5 295,5

  • 3.3.1 Pembuatan Bakso

    Cara pembuatan bakso pada penelitian ini (Gambar 3)

    dilakukan sesuai prosedur yang digunakan oleh Wibowo

    (2006), yaitu:

    1. Daging dipotong menjadi ukuran 3 cm.

    2. Digiling menggunakan meat grinder.

    3. Dicampur dengan bahan lain (tepung, bawang

    putih, bawang merah goreng, gula, garam, merica

    bubuk, putih telur dan es batu).

    4. Digiling dengan blender sampai halus dan

    homogen.

    5. Adonan dicetak bulat-bulat dengan tangan dan

    dimasukkan dalam air mendidih sampai

    mengapung.

    6. Dipertahankan selama 10 menit.

    7. Bakso diangkat menggunakan peniris bakso lalu

    didinginkan.

  • Gambar 3. Diagram alir pembuatan bakso daging kelinci

  • 3.4 Variabel Pengamatan

    Variabel yang diamati dalam penelitian ini adalah

    tekstur, kadar protein, kadar lemak dan organoleptik dari

    bakso daging kelinci dengan penggunaan tepung berbeda

    yang meliputi:

    1. Prosedur uji tekstur (Cuq et.al., 1996) seperti pada

    Lampiran 2.

    2. Prosedur uji kadar protein (Sudarmadji, 1996) seperti

    pada Lampiran 3.

    3. Prosedur uji kadar lemak (Sudarmadji, 1996) seperti

    pada Lampiran 4.

    4. Prosedur uji organoleptik. (Soekarto, 1990) seperti

    pada Lampiran 5.

    3.5 Analisis Data

    Data yang diperoleh diolah menggunakan program

    Microsoft Excel, kemudian data dianalisis menggunakan sidik

    ragam (ANOVA) dan apabila menunjukan perbedaan yang

    nyata maupun sangat nyata maka analisa dilanjutkan dengan

    menggunakan Uji Tukey.

    3.6 Batasan Istilah

    Tepung mocaf = Tepung dari bahan singkong yang

    diproses secara fermentasi dengan prinsip modifikasi

    dinding sel singkong.

    Rehidrasi = Proses senyawaan kembali.

    Gelasi = Proses pembetukan gel

    Viskositas = Pengukuran dari ketahanan fluida

    yang diubah baik dengan tekanan maupun tegangan.

  • Yang berarti ketebalan atau pergesekan internal.

  • BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    4.1 Hasil Penelitian

    Data hasil penelitian pengaruh penggunaan tepung yang

    berbeda terhadap kualitas bakso daging kelinci ditinjau dari

    Tekstur, Kadar Protein, dan Kadar Lemak ditampilkan pada

    Tabel 9.

    Tabel 9. Rata-rata nilai tekstur, kadar protein, dan kadar lemak

    bakso daging kelinci

    Perlakuan Tekstur (N) Protein (%) Lemak (%)

    P0 11,40ᵃ ± 0,17 13,43 ± 0,42 1,40ᵃ ± 0,08

    P1 12,87ᵃ ± 0,80 14,01 ± 0,20 2,03ᵃᵇ ± 0,05

    P2 20,83ᵇ ± 1,19 13,46 ± 0,34 3,16ᵇ ± 0,42

    P3 13,60ᵃ ± 1,55 13,88 ± 0,30 1,72ᵃ ± 0,23

    P4 16,53ᵃ ± 1,56 13,20 ± 0,18 2,17ᵃᵇ ± 0,29

    Keterangan: (P

  • 4.2 Pengaruh Perlakuan terhadap Tekstur Bakso

    Daging Kelinci

    Uji tekstur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

    uji nilai keempukan (N). Hasil analisis tekstur bakso daging

    kelinci dengan penggunaan tepung yang berbeda dapat dilihat

    pada Gambar 4.

    Gambar 4. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap

    Tekstur

    Hasil analisis ragam rata-rata nilai tekstur bakso daging

    kelinci menunjukkan bahwa penggunaan tepung tapioka (P0),

    tepung mocaf (P1), tepung ubi jalar (P2), tepung pati ganyong

    (P3), dan tepung pati kentang (P4) memberikan perbedaan

    yang nyata (P

  • (P

  • Gambar 5. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar

    Protein

    Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa bakso daging

    kelinci dengan penggunaan tepung yang berbeda tidak

    memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap kadar

    protein bakso (Lampiran 7). Kadar protein tertinggi pada bakso

    daging kelinci dihasilkan dari penambahan tepung mocaf (P1)

    dengan rata-rata 14,01%. Hal ini menunjukkan bahwa

    penggunaan tepung yang berbeda pada bakso daging kelinci

    tidak mempengaruhi kadar protein. Gambar 5 diatas

    memperlihatkan bahwa kadar protein bakso dengan berbagai

    jenis tepung yang berkisar antara 13,20% – 14,01%. Kondisi

    tersebut diduga karena kadar protein tepung tapioka, tepung

    mocaf, tepung ubi jalar, tepung pati ganyong, dan tepung pati

    kentang hampir sama, sehingga penggunaan tepung yang

    berbeda tidak mempengaruhi kadar protein bakso. Hasil

    penelitian yang disajikan pada Gambar 5 di atas menurut SNI

    kadar protein yang minimal adalah 11% sehingga kadar protein

    dari semua jenis tepung perlakuan telah memenuhi standar

    mutu bakso. Protein di dalam adonan mempunyai dua fungsi

    12131415

    P0 P1 P2 P3 P4

    Pe

    rse

    nta

    se

    Perlakuan

    Kadar Protein (%)

  • utama yaitu untuk mengemulsikan lemak dan untuk mengikat

    air (Anonim, 2003).

    4.4 Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak Bakso

    Daging Kelinci

    Lemak merupakan cadangan energi paling besar,

    simpanan ini berasal dari konsumsi berlebihan salah satu

    kombinasi zat-zat energi seperti karbohidrat, lemak, dan

    protein. Lemak tubuh pada umumnya disimpan pada 50% di

    jaringan bawah kulit (subkutan), 45% disekeliling organ dalam

    rongga perut dan 5% dijaringan intramuskuler, selain sebagai

    sumber energi fungsi lemak yaitu sebagai sumber asam lemak

    esensial, pelarut vitamin larut lemak (A, D, E, dan K),

    membantu protein sebagai sumber energi, memberi rasa

    kenyang dan kelezatan (Anonim, 2006). Hampir semua bahan

    pangan mengandung lemak, terutama yang berasal dari hewan.

    Hasil analisis kadar lemak bakso daging kelinci dengan

    penggunaan tepung yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 6.

    0

    1

    2

    3

    4

    P0 P1 P2 P3 P4

    Pe

    rse

    nta

    se

    Perlakuan

    Kadar Lemak (%)

  • Gambar 6. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Kadar Lemak

    Hasil analisis ragam yang dilanjutkan dengan uji Tukey

    menunjukkan bahwa penggunaan tepung yang berbeda pada

    bakso daging kelinci memberikan pengaruh yang berbeda

    nyata (P

  • Data hasil penelitian pengaruh penggunaan tepung yang

    berbeda terhadap kualitas bakso daging kelinci ditinjau dari

    Rasa, Tekstur, dan Warna ditampilkan pada Tabel 10.

    Tabel 10. Rata-rata nilai organoleptik rasa, tekstur, dan warna

    Perlakuan Rasa ± SD Tekstur ± SD Warna ± SD

    P0 3,91ᵇ ± 0,08 3,73 ± 0,23 4,63ᵇ ± 0,05

    P1 3,22ᵇ ± 0,16 3,66 ± 0,17 4,56ᵇ ± 0,07

    P2 1,75ᵃ ± 0,17 2,61 ± 0,42 2,03ᵃ ± 0,07

    P3 4,04ᵇ ± 0,38 4,20 ± 0,25 4,80ᵇ ± 0,06

    P4 3,88ᵇ ± 0,02 3,18 ± 0,50 4,49ᵇ ± 0,22

    Keterangan: (P

  • menciptakan rasa yang enak sehingga disukai orang selain itu

    tekstur juga memiliki pengaruh pada rasa bakso. Cita rasa

    dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu interaksi

    dengan komponen rasa lain.

    Hasil analisis uji organoleptik rasa bakso daging kelinci

    dengan penggunaan tepung yang berbeda dapat dilihat pada

    Gambar 7.

    Gambar 7. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap Organoleptik

    Rasa

    Berdasarkan hasil analisis ragam yang dilanjutkan

    dengan uji Tukey, penambahan tepung ubi jalar (P2) yang

    memberikan pengaruh berbeda nyata (P

  • yang tidak nyata (P>0,05) dengan rata-rata yang dihasilkan

    berturut-turut 3,22; 3,88; 3,91; dan 4,04.

    Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa perlakuan

    yang memiliki rata-rata tertinggi adalah P3 dengan rata-rata

    4,04. Hal ini menjelaskan bahwa panelis memberikan respon

    yang lebih tinggi untuk P3.

    Komposisi bahan pengikat dan bumbu yang digunakan

    seperti garam dapat menyebabakan rasa bakso menjadi gurih.

    Rasa gurih ditentukan adanya asam amino glutamat dalam

    protein yang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan cita

    rasa (Anonim, 2006). Waktu lama perebusan juga

    mempengaruhi rasa dari bakso, karena terjadi perubahan

    komposisi kimia selama proses perebusan.

    4.5.2 Tekstur

    Hasil analisis uji organoleptik tekstur bakso daging

    kelinci dengan penggunaan tepung yang berbeda dapat dilihat

    pada Gambar 8.

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    P0 P1 P2 P3 P4

    Nila

    i

    Perlakuan

    Tekstur

  • Gambar 8. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap

    Organoleptik Tekstur

    Berdasarkan hasil analisis ragam rata-rata nilai tekstur

    bakso daging kelinci menunjukkan bahwa penambahan 5 jenis

    tepung pada bakso daging sapi memiliki perbedaan yang tidak

    nyata (P>0,05) seperti pada Lampiran 10. Perlakuan yang

    memiliki rata-rata tertinggi adalah perlakuan penambahan

    tepung ganyong (P3) dengan rata-rata nilai tekstur bakso

    daging kelinci yang diberikan panelis sebesar 4,20. Menurut

    Nurwantoro dan Mulyani (2003) keempukan merupakan faktor

    penentu kualitas daging. Persepsi keempukan selama mastikasi

    terkait dengan aspek-aspek: (1) kelumatan terhadap lidah dan

    pipi sangat bervariasi, (2) ketahanan terhadap tekanan gigi

    yang berhubungan dengan daya yang dibutuhkan untuk

    menusukan gigi memotong serabut-serabut otot, (3)

    kemudahan fragmentasi yaitu ekspresi kemampuan gigi

    memotong serabut-serabut otot dan (4) jumlah residu setelah

    pengunyahan yang dapat dideteksi sebagai jaringan ikat yang

    tertinggal setelah hamper seluruh sampel terkunyah yang

    berasal dari perimisial atau epimisial (Montolalu dkk, 2013).

    Masyarakat cenderung menyukai bakso dengan tekstur

    kenyal dan tidak menyukai bakso yang terlalu empuk atau

    terlalu keras. Kandungan lemak, stabilitas emulsi dan

    kandungan binder berpengaruh terhadap tekstur bakso. Adonan

    yang stabil emulsinya biasanya akan menghasilkan tekstur

    yang baik setelah bakso dimasak, tetapi bila emulsinya tidak

    stabil maka sering dijumpai rongga. Daging kelinci

    mempunyai serat yang halus. Hal inilah yang menyebabkan

    bakso dari daging kelinci memiliki nilai yang tinggi

  • 4.5.3 Warna

    Hasil analisis uji organoleptik warna bakso daging

    kelinci dengan penggunaan tepung yang berbeda dapat dilihat

    pada Gambar 9.

    Gambar 9. Grafik Pengaruh Perlakuan terhadap

    Organoleptik Warna

    Hasil analisis ragam yang dilanjutkan dengan Uji

    Tukey menunjukkan bahwa penggunaan tepung ubi jalar (P2)

    yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P0,05) dengan rata-rata

    yang dihasilkan berturut-turut 4,49; 4,56; 4,63; dan 4,80.

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    P0 P1 P2 P3 P4

    Nila

    i

    Perlakuan

    Warna

  • Perlakuan yang memiliki rata-rata terendah adalah

    bakso daging kelinci dengan menggunakan tepung ubi jalar.

    Hal ini disebabkan oleh pada penelitian ini menggunakan

    tepung ubi jalar ungu yang mempunyai warna ungu sehingga

    bakso mempunyai warna cenderung ungu dan lebih gelap

    daripada bakso daging kelinci dengan menggunakan tepung

    yang lainnya.

    4.6 Perlakuan Terbaik

    Perlakuan terbaik ditentukan sebagai pertimbangan

    dalam pengambilan keputusan dengan membandingkan antara

    variabel dan perlakuan yang dilakukan. Perlakuan terbaik

    diambil dengan menggunakan metode indeks Efektifitas (De

    Garmo, Sullivan and Canada, 1984).

    Perlakuan terbaik pada tekstur ditetapkan pada P0

    sedangkan perlakuan terjelek ditetapkan pada P2 hal ini

    disebabkan oleh kandungan amilosa pada tepung ubi jalar

    tinggi yaitu sebesar 26,02%. Sedangkan nilai terendah pada P0

    berbanding lurus dengan kadar amilosa tepung tapioka yang

    rendah yaitu sebesar 8,06%. Produk pangan yang ditambahkan

    pati dengan kandungan amilosa yang tinggi akan memberikan

    nilai keempukan yang tinggi dibandingkan dengan kandungan

    amilosa yang lebih rendah.

    Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Efektifitas

    perlakuan terbaik pada kadar protein adalah P1 sedangkan

    terendah pada P4. Perlakuan terbaik pada kadar lemak adalah

    P0 sedangkan terendah pada P2, hal ini berbanding lurus

    dengan kadar lemak pada tepung yaitu kadar lemak tepung

    tertinggi yaitu pada tepung jalar yang mempunyai kadar lemak

    sebesar 0,81% dan kadar lemak tepung terendah pada tepung

    tapioka yaitu sebesar 0,0002%.

  • Perlakuan terbaik pada uji organoleptik rasa adalah

    dengan menggunakan tepung pati ganyong (P3). Perlakuan

    terbaik pada uji organoleptik tekstur adalah dengan

    menggunakan tepung pati ganyong (P3). Perlakuan terbaik

    pada uji organoleptik warna adalah dengan menggunakan

    tepung pati ganyong (P3). Hal ini disebabkan oleh pada

    penelitian ini menggunakan tepung ubi jalar ungu yang

    mempunyai warna ungu sehingga bakso mempunyai warna

    cenderung ungu dan lebih gelap daripada bakso daging kelinci

    dengan menggunakan tepung yang lainnya.

    Kesimpulan perlakuan terbaik dengan metode Indeks

    Efektifitas dalam penelitian ini didapatkan P3 sebagai

    perlakuan terbaik, dengan nilai Nh (Nilai Hasil) yang paling

    tinggi diantara perlakuan yang lain (0,93). P1 dengan

    penggunaan tepung pati ganyong dimana memiliki nilai tekstur

    13,60 N; kadar protein 13,88 %; kadar lemak 1,72 %;

    organoleptik rasa 4,04 (sangat enak); organoleptik tekstur 4,20

    (sangat kenyal); organoleptik warna 4,80 (sangat cerah).

  • BAB V

    KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Penggunaan tepung yang berbeda pada bakso daging

    kelinci tidak berpengaruh terhadap persentase kadar protein,

    namun memberikan pengaruh terhadap kadar lemak dan tekstur

    bakso daging kelinci. Penilaian organoleptik menunjukkan

    penggunaan tepung tapioka, tepung mocaf, tepung pati

    ganyong, dan tepung pati kentang pada pembuatan bakso dapat

    diterima oleh panelis.

    5.2 Saran

    Bakso dengan filler tepung tapioka, tepung mocaf,

    tepung pati ganyong, dan tepung pati kentang dapat

    diaplikasikan untuk pembuatan bakso daging kelinci dengan

    proporsi tepung 20% dari berat daging yang digunakan. Selain

    itu perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui

    masa simpan bakso.

  • DAFTAR PUSTAKA

    Aberle, E.D., J.C. Forrest, H.B. Hendrick, M.D. Judge & R.A.

    Merkel. 2001. Principles of Meat Science. W.H.

    Freeman and Co., San Fransisco.

    Anugrah I.S., Sadikin, I., dan Sejati, W.K. 2009. Kebijakan

    Kelembagaan Usaha Unggas Tradisional Sebagai

    Sumber Ekonomi Rumah Tangga Perdesaan. Jurnal

    Analisis Kebijakan Pertanian. Vol. 7 No. 3, p 249-267.

    Anonim. 2003. Daya Ikat Air, Tingkat Kekenyalan dan Kadar

    Protein pada Bakso Kombinasi Daging Sapi dan Daging

    Kelinci. Teknologi Pangan.

    ---------. 2006. Pengujian Organoleptik (Evaluasi Sensori)

    dalam Industri Pangan. Ebookpangan.com (Diakses

    tanggal 10 Agustus 2017) BKP Provinsi Jawa Timur dan

    FTP UNEJ. 2001. Kajian Tepung Umbi-umbian Lokal

    sebagai Pangan Olahan. Jember: UNEJ.

    Cross, H. R. & A. J. Overby. 1988. World Animal Science.

    Elsevier, New York.

    De, Man. 1997. Kimia Pangan. Terjemahan. K. p Winata.

    Institut Teknologi Bandung. Bandung.

    Departemen Kesehatan R.I., 1996. Daftar Komposisi Kimia

    Bahan Makanan. Bhatara Karya Aksara, Jakarta.

  • Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 2009. Tabel

    Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : Kompas

    Gramedia.

    Fajiarningsih, Hernawati. 2013. Pengaruh Penggunaan

    Komposit Tepung Kentang (Solanum tuberosum

    L) Terhadap Kualitas Cookies. Semarang, UNNES.

    Farrell, K. T. 1990. Spices, Condiments and Seasonings. 2nd

    Ed. Van Nostrand Reinhold, New York.

    Hardoko, dkk. 2010. “Pemanfaatan Ubi Jalar Ungu (Ipomoea

    batatas L. Poir) Sebagai Pengganti Sebagian Tepung

    Terigu pada Roti Tawar”. Universitas Pelita Harapan.

    Jakarta. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan.

    Haryanto, B. dan P. Pangloli. 19992. Potensi dan Pemanfaatan

    Sagu. Kanisius, Yogyakarta.

    Hermann, M. 1996. Starch Noodles from Edible canna. Dalam

    J. Janick (ed.), Progress in new crops. ASHS Press,

    Arlington, VA.

    Hitoko, H., S. Morozomi, T. Wauke, S. Sakai and H. Kurata.

    1990. Inhibitory effect of spices on growth and toxin

    production of toxigenic fungi. Journal Appl

    Environmental Microbial. 39(4):818-822

    Hursanto, P. B. 1986. Budidaya dan Pengolahan Sagu.

    Kanisius, Yogyakarta.

  • Immaningsih, N. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi

    Tepung-tepungan untuk Pendugaan Sifat Pemasakan.

    Panel Gizi Makan 35(1): 13-22

    Marsono, Y., P. Wiyono, Z. Utama. 2005. Indek Glikemik

    Produk Olahan Garut (Maranta arndinaceace L) dan

    Uji Sifat Fungsionalnya pada Model Hewan Coba.

    Laporan RUSNAS Diiversifikasi Pangan Pokok Tahun

    2005. UGM.

    Meilgaard, M., G. V. Civille & B. T. Carr. 1999. Sensory

    Evaluation Techniques. Third Edition. CRC Press,

    London.

    Montotalu, S., Lontaan N., Sakul S., dan Mirah A. 2013. Sifat

    Fisiko-Kimia dan Mutu Organoleptik Bakso Broiler

    dengan Menggunakan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea

    batatas L.). Jurnal Zootek 32(5); 1-13

    Nurwantoro dan S. Mulyani. 2003. Buku Ajar Dasar Teknologi

    Hasil Ternak. Fakultas Peternakan. Universitas

    Diponegoro Semarang.

    Panekenan, J.O., Loing, J.C., Rorimpandey, B., and

    Vwaleleng, P.O. 2013. Analisis keuntungan usaha

    beternak puyuh di kecamatan sonder Kabupaten

    Minahasa. Jurnal Zootek (“Zootek”Journal),

    Vol.32 No. 5, p 1 – 10.

  • Prabakaran, R. 2003. Good Practices in Planning and

    Manajement of Integrated Commercial Poultry

    Production in South Asia. FAO, Rome.

    Puspita. 2008. Pengaruh Jenis Daging dan Tingkat

    Penambahan Tepung Tapioka yang Berbeda

    terhadap Kualtas Bakso. Buana Sains Vol 7 No 2; 139-

    144

    Putri. 2009. Penambahan Tepung Sagu dengan Konsentrasi

    yang Berbeda terhadap Mutu Bakso Daging

    Kelinci. Skripsi

    Richana, N. 2012. Ubi Kayu & Ubi Jalar, Bandung: NUANS

    Rismunandar. 1993. Budidaya Lada dan Tataniaganya.

    Penebar Swadaya. Jakarta.

    Salim, A. 2011. Mengolah Tepung Singkong Menjadi Tepung

    Mocaf. Lily Publisher: Yogyakarta.

    Sang, A.I. 2012. Pengembangan produk burung puyuh dalam

    pembuatan aneka lauk pauk. Skripsi. Program Studi

    Teknik Boga. Fakultas Teknik. Universitas Negeri

    Yogyakarta

    Sari, F. K. 2013. Ekstraksi Pati Resisten dari Tiga Varietas

    Kentang Lokal yang Berpotensi sebagai

    Kandidat Prebiotik. Universitas Jember.

  • Soekarto, S.T. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi

    Mutu Pangan. Institut Pertanian Bogor Press, Bogor.

    Soemarno, 2007. Tepung Tapioka. (Jurnal) Program

    Pascasarjana. Fakultas Teknik. Jurusan Teknik

    Kimia. Universitas Diponegoro.

    Sunarlim, R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan

    pengaruh penambahan NaCl dan Natrium

    Tripolyfosfat terhadap perbaikan mutu. Disertasi.

    Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor

    Swastike, W. 2012. Efektivitas antibiotik herbal dan sintetik

    pada pakan ayam broiler terhadap performance, kadar

    lemak abdominal, dan kadar kolesterol darah.

    Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi ke-3,

    Fakultas Teknik Universitas Wahid Hasyim

    Semarang, 20 Juni, 2012. P. 1-6

    Underriner, E. W. & I. R. Humei. 1994. Handbook of Industrial

    Seasoning. Blackie Academic and Profesional,

    Madras.

    Usmiati, S. 2009. Bakso Sehat. Warta Penelitian dan

    Pengembangan Pertanian 13(6). Bogor

    Whistler, R. L.. 1984. History and Future Expectation of Starch

    Uses. In R.l. WHISTLER, j. N. Be Miller, & E. F.

    Paschall (Eds.), Starch chemistry and technology. New

    York: Academic Press.

  • Wibowo, S. 2006. Produksi kitin khitosan secara komersial.

    Prosiding Seminar Nasional Kitin-Khitosan. Balai

    Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi

    Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

    Widya, N. dan E. S. Murtini. 2006. Alternatif Pengganti

    Formalin pada Produk Pangan. Trubus Agrisarana.

    Surabaya.

    Villamayor, J.F.G., dkk. 1996. Plant Resources of South-East

    Asia No.9. Plant Yielding Non-Seed

    Carbohydrates, Backhuys Publishers, Leiden, p.113.

    Yanis, Muflihani, Syarifah A. dan Yossi H. 2016. Karakteristik

    Produk Olahan Berbasis Daging Kelinci. Balai

    Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta.

    1. Bagian Depan.pdf2. BAB I.pdf3. BAB II.pdf4. BAB III.pdf5. BAB IV.pdf6. BAB V.pdf7. DAFTAR PUSTAKA.pdf