PENGANTAR A. Latar Belakang...
Transcript of PENGANTAR A. Latar Belakang...
1
PENGANTAR
A. Latar Belakang Masalah
Pada tanggal 27 Mei 2006 Yogyakarta dan sebagian daerah Jawa Tengah
diguncang gempa tektonik yang berkekuatan 5,9 SR (BMG). Akibat gempa
tersebut menimbulkan kerusakan yang besar terutama di daerah Kabupaten
Bantul, Klaten, Gunung Kidul dan Yogyakarta.
Korban meninggal mencapai ribuan orang. Puluhan ribu mengalami luka-
luka tertimpa bangunan. Puluhan ribu rumah mengalami kerusakan dari yang
rusak ringan sampai rusak berat bahkan rata dengan tanah. Hal ini menyebabkan
banyak korban gempa yang kehilangan tempat tinggal. Sarana publik seperti
tempat ibadah, gedung sekolah dan gedung Pemerintahan juga banyak yang
rusak.
Gempa tersebut meninggalkan duka yang dalam bagi korban yang terkena
dampak langsung. Menyaksikan kematian anggota keluarga secara tidak
disangka-sangka tentu menimbulkan kesedihan yang luar biasa. Tidak sedikit
yang mengalami gangguan jiwa karena peristiwa ini. Rumah sakit Jiwa Pakem
dipenuhi oleh pasien korban gempa yang mengalami gangguan psikologis. Begitu
juga dengan RS dr Sarjito dan Rumah sakit lainnya yang ada di Yogyakarta.
Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi UGM, bahwa 2,5 %
dari populasi yang mengalami beban mental pasca gempa bumi 27 Mei akan
mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri pada jangka menengah dan
panjang. Dengan demikian kurang dari 30 ribu korban selamat akan memerlukan
bantuan psikologis mulai minggu ketiga sampai kurang lebih tiga bulan
2
kemudian. Selanjutnya, yang perlu diantisipasi adalah 1% dari populasi, kurang
lebih 12 ribu orang yang mengalami kesulitan psikologis pada masa yang lebih
lama. Disampaikan saat presentasi Program Penanganan Bencana Alam pada
tanggal 16 Juni 2006. (ugm.ac.id)
Satu minggu setelah bencana, sebahagian masyarakat yang selamat sudah
terlihat menjalankan aktivitasnya meskipun tidak punya tempat tinggal lagi.
Penduduk desa bersama relawan yang datang dari Yogyakarta maupun luar
Yogyakarta bahu-membahu membersihkan puing-puing rumah dan bangunan
yang hancur.
Sultan Hamengku Buwono XI menghimbau kepada masyarakat untuk
segera membersihkan rumahnya dan membangun tempat tinggal sementara dari
bekas bahan bangunan yang masih bisa dipakai. Masyarakat dihimbau untuk
segera bangkit dari kesedihan. Sepanjang jalan di daerah Bantul terlihat spanduk-
sepanduk yang berisi kata-kata memotivasi untuk bangkit dari kesedihan yang
berlarut-larut.
LSM atau relawan yang membantu tidak bisa selamanya berada di lokasi
bencana. Ada saatnya untuk pergi. Saat bantuan mulai berkurang atau berhenti
sama sekali, dan relawan sudah meninggalkan lokasi bencana, kesepian dan
kesedihan akan terasa kembali. Terjadi kegamangan dalam menghadapi hidup.
Ditambah lagi, bantuan yang dijanjikan Pemerintah belum juga diterima.
Masyarakat harus membangun sendiri daerahnya dengan apa yang masih tersisa.
Tidak tahu sampai kapan hidup di rumah yang terbuat dari tenda plastik. Atau
yang lebih baik sedikit rumah berdinding triplek. Ketika siang kepanasan dan
3
malam kedinginan. Belum lagi ditambah masalah penyakit yang timbul pasca
bencana. Tentu ini akan menjadi stressor bagi korban gempa yang selamat.
Melalui berita-berita di media massa baik cetak maupun elektronik,
terlihat banyak korban gempa yang melakukan unjuk rasa di kantor Pemerintahan
karena belum mendapatkan bantuan atau yang disebut bantuan jatah hidup.
Hanya melakukan demonstrasi saja tidak cukup, korban gempa sampai ada yang
melakukan aksi mogok makan supaya Pemeritah merealisasikan janji-janjinya
untuk memberikan bantuan. Kemarahan mulai terlihat di kalangan korban
bencana gempa. Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diharapkan
mulai ditunjukkan meskipun tidak semua orang melakukannya.
Reaksi individu dalam menghadapai sebuah bencana berbeda-beda. Ada
yang terus menerus berada di dalam kesedihan meratapi apa yang telah hilang.
Tidak melakukan apa-apa selain menunggu bantuan atau sumbangan orang lain
maupun Pemerintah. Tetapi ada yang memilih untuk melanjutkan hidupnya.
Mereka memang sedih atas apa yang menimpa mereka. Tetapi mereka tidak mau
terus-menerus berada dalam kesedihan yang dalam. Di tengah derita yang mereka
rasakan, mereka tetap melakukan aktivitasnya. Bersama para relawan ikut serta
membantu korban yang lebih membutuhkan. Memasak makanan untuk para
relawan dan korban yang masih selamat di tenda pengungsian. Segera
membangun tempat tinggal dari sisa reruntuhan rumah yang masih bisa dipakai.
Mereka tidak merasa putus asa meski harus memulai dari nol lagi.
Seperti yang dikatakan oleh salah seorang warga di kecamatan Jetis pada
tanggal 25 Juni 2006, yang rumahnya rata dengan tanah :
4
“Kalau tertalu dipikir bisa tambah stress Mbak. Saya memang sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang. Mulai dari nol lagi. Harta kan masih bisa dicari. Yang lain juga banyak yang susah. Yang kena bencana bukan kita aja”. Ada lagi yang mengatakan:
“Daripada saya ngeliatin rumah saya yang sudah hancur lebih baik saya Bantu-bantu di posko. Saya sedih kayak apapun rumah saya sudah hancur. Masih untung keluarga saya selamat semua”.
Penelitian ini akan mengungkap tentang ketegaran dan kebangkitan
kembali orang-orang yang terkena musibah. Apa yang menyebabkan sebagian
korban bencana memberikan reaksi yang positif terhadap bencana yang menimpa
mereka sementara sebagian yang lain memberi reaksi negatif. Serta apa yang
mendasari mereka untuk cepat bangkit memperbaiki kehidupannya.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui resilience korban gempa
bumi 27 Mei 2006 dan faktor yang mempengaruhinya.
C. Manfaat Penelitian
Secara teoritis diharapkan penelitian ini bisa menambah khazanah
keilmuan di bidang psikologi sosial, klinis dan lain-lain
Sedangkan manfat praktis diharapkan penelitian ini bisa menginspirasi
korban gempa yang lain, agar bangkit dari kesedihan dan melanjutkan hidupnya di
masa depan. Selain itu, sebagai bahan pertimbangan bagi LSM, Relawan,
Masyarakat serta Pemerintah dalam mengambil kebijakan bagi korban gempa.
5
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian Resilience
Beberapa literatur mengatakan tidak ada kesepakatan tentang defenisi
yang pasti dari resilience. Problem dalam mendefinisikan resilence menjadikan
interpretasi tentang resilience belum jelas. Defenisi resilience sangat bervariasi
dalam setiap literatur ( Rutter dalam Wolkow 2001).
Menurut International Resilience Project, Resilience adalah daya tahan
universal yang dimiliki seseorang, kelompok atau komunitas untuk mencegah,
meminimalisasi, atau mangatasi efek yang membahayakan dari suatu kesulitan.
Pengertian lain tentang resilience adalah kemampuan untuk servive dari stressor,
dimana kebanyakan orang (korban selamat) menyerah pada stressor (Kazdin,
2001). Sedangkan menurut (Garmezy 1993, Holaday 1997) Resilience adalah
kemampuan untuk mengatasi atau menyesuaikan diri terhadap stress atau
kesengsaraan.
Orang yang disebut resilience adalah korban selamat yang menghindar
dari dampak negatif yang merugikan (Kazdin, 2000). Sedangkan menurut Bolog
& Weddle (Holaday, 1997) Individu yang dipertimbangkan untuk menjadi
resilience adalah mereka yang dapat cepat kembali dari trauma sebelumnya dan
kebal terhadap peristiwa negatif dalam hidup.
6
Orang-orang seperti inilah yang menurut Seligman (2005) adalah orang yang
melihat kesusahan atau peristiwa buruk dalam hidup bersifat sementara. Sehingga
mereka lebih optimis. Berbeda dengan orang yang menganggap peristiwa buruk atau
bencana dalam hidup bersifat permanen, sehingga mereka mudah menyerah dan putus
asa.
Dari berbagai pengertian tentang resilience di atas dapat disimpulkan bahwa
resilience adalah kemampuan untuk bertahan dan tidak berputus asa dari peristiwa
buruk atau musibah dan bisa mengambil hikmah dari apa yang terjadi untuk bisa
bangkit kembali.
2. Aspek-aspek Resilience
Menurut Grotberg (1999) asfek dari resilience adalah Percaya, mandiri,
inisiatif, ulet, identitas. (Dunning dalam Paton, 2000) menggambarkan Resilience
terdiri dari tiga komponen. Disposisi, kognitif dan lingkungan.
a. Disposisi menggambarkan bagaimana karakteristik personal berpengaruh
terhadap penyesuaian diri.
b. Komponen Kognitif menggambarkan pengertian individu tentang
hubungan dan makna.
c. Training merupakan strategi yang tepat untuk menfasilitasi kemampuan
untuk menentukan hubungan dan makna pada tipe pengalaman yang
ekstrim. Komponen lingkungan membantu dan mendukung resilience
dapat meredakan atau mengurangi bahaya dan memaksimalkan potensi
untuk recovery dan pertumbuhan post traumatic .
7
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resilience
Menurut Holaday 1997, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi resilience
adalah sebagai berikut :
a. Social Support termasuk di dalamnya pengaruh budaya, community
support, Personal Support, Familial Support. Budaya dan komunitas
dimana individu tinggal juga mempengaruhi terhadap resilience.
b. Cognitive Skills. Termasuk di dalamnya intelegensi, coping style ,
kemampuan untuk menghindarkan dari menyalahkan diri sendiri,
Personal control , Spritualitas
c. Psychological Resources. Termasuk di dalamnya Locus of control
internal, Empati dan rasa ingin tahu, cenderung mencari hikmah dari
setiap pengalaman, selalu fleksibel dalam setiap situasi.
Banyak penelitian menunjukkan satu dari tiga korban be ncana yang selamat
mengalami gejala stress yang hebat. Mereka beresiko mengalami Posttraumatic
Stress Disorder (PTSD ) yang lama. Gejalanya sebagai berikut: Disasosiasi,
gangguang pengalaman yang terulang, reaksi emosiaonal yang ekstrim, mencoba
menghindar dari memori yang menggelisahkan, cemas yang luar biasa, depresi luar
biasa.
4. Resilience Pada korban Gempa
Penelitian menunjukkan satu dari tiga korban bencana yang selamat memiliki
gejala stress yang beresiko menjadi post traumatic stress disor der(PTSD) (Young,
dkk 2006). Setelah mengalami peristiwa yang sangat traumatis, sangat wajar jika
8
mengalami gejala depresi dan kecemasan. Pada PTSD, gejalanya akan hilang setelah
berbulan -bulan bahkan sampai bertahun -tahun. Bencana gempa bumi adalah salah
satu dari peristiwa yang menyebabkan trauma bagi individu yang mengalaminya.
Resilience sangat berperan dalam recovery terhadap trauma atau
meminimalkan resiko terhadap PTSD. Dr Judith Herman penulis buku Trauma And
Recovery menggambarkan bagaimana resilience meningkatkan kemampuan
seseorang untuk menghindari stress dan menurunkan resiko PTSD. Orang yang
memiliki resilience yang tinggi ketika dihadapkan pada trauma akan melindungi diri
mereka dari PTSD dan mempercepat proses recovery (Reivich 2002).Hiew d alam
Astuti (2005) menyatakan bahwa orang yang memiliki resilience dapat kembali
normal setelah mengalami trauma karena kemampuan mereka untuk dapat mengatur
sendiri kondisi kognitif emosional dan biologi yang seimbang. Orang yang resilience
dapat mengatasi tekanan dengan baik, ramah dan dapat berafiliasi dengan orang lain
(McClelland dalam Astuti 2005).
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana Resilience pada korban gempa Yogyakarta 27 Mei 2006?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi resilience pada korban gempa bumi
Yogyakarta 27 Mei 2006?
9
METODE PENELITIAN
A. Fokus penelitian
Fokus penelitian ini adalah Resilience pada korban gempa bumi Yogyakarta
27 Mei 2006 dan faktor yang mempengaruhinya.
B. Responden penelitian
Responden penelitian ini adalah korban gempa bumi Yogya karta 27 Mei 2006
yang mengalami langsung peristiwa gempa bumi, dan kehilangan tempat tinggal.
Selain menjadi korban, responden juga berperan untuk menolong korban yang lain
bersama dengan relawan..
C. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dig unakan pada penelitian ini adalah metode
wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan
oleh dua pihak yaitu pewawancara (Interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
orang yang diwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.
(Moleong 2006).
Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana saudara menyikapi bencana ini?
2. Hikmah apa yang bisa diambil dari bencana ini?
3. Bagaimana saudara bangkit dari kesedihan dan trauma karena bencana ?
4. Perubahan apa saja yang terjadi dalam hidup saudara setelah bencana?
5. Bagaimana saudara menyikapi perubahan tersebut?
6. Bagaimana kondisi Psikososiorelijius saudara setelah bencana ini?
10
7. Apakah saudara optimis keadaan akan kembali seperti semula?
8. Apa yang akan saudara lakukan atau apa rencana saudara ke depannya?
9. Apa yang saudara rasakan saat membantu orang lain, padahal posisi
saudara juga sebagai korban?
D. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif
menurut Bogdan & Taylor (Moleong 2006) adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriftif berupa kata -kata tertulis atau lisan dari orang -orang dan
prilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut
secara holistik (utuh).
E. Metode Analis Data
Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke
dalam pola, kategori, dan atuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang diarankan oleh data. (Moleong 2006)
Langkah analisis data menurut Miles dan Huberman (Muhadjir 1989)
pertama, meringkaskan data kontak hubungan dengan orang, kejadian dan situasi di
lokasi penelitian. Kedua pengkodean. Ketiga membuat catatan objektif. Keempat
membuat catatan reflektif.
11
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil dari penelitian ini, diperoleh gambaran tentang resilience
pada korban gempa bumi dan faktor -faktor yang mempengaruhinya. Gambaran
resilience pada korban gempa bumi menunjukkan adanya perubahan positif yang
dirasakan setelah gempa secara psikologis, sosial maupun spritual.
Perubahan positif yang dirasakan Responden setelah ge mpa secara psikologis.
Menurut Responden pertama setelah gempa ia merasa lebih sabar, misalnya dalam
menghadapi anak lebih sabar dari biasanya dan tidak ce pat marah kepada anak.
Alasan Responden karena anak-anak lebih sulit untuk melupakan apa yang terjadi.
Responden ketiga juga merasakan emosi marahnya berkur ang terutama kepada anak-
anak. Selain itu Responden l ebih bisa mengendalikan emosi. Adanya gempa
memberikan pelajaran pada Responden untuk lebih bersabar.
Ketiga Responden merasa optimis Yogyakarta bisa bangkit kembali dan
keadaan bisa pulih seperti biasa. Responden pertama merasa percaya bisa bangkit lagi
dengan kemauan yang kuat dan dengan pertolonga n Allah. Responden kedua juga
optimis Jogja bisa bangkit lagi dengan melihat para korban gempa yang segera
membangun rumah dari bekas -bekas reruntuhan. Hal ini dipengaruhi juga oleh
karakteristik orang Jogja yang tidak ingin jauh -jauh berada dari rumahnya. Walaupun
keadaan rumah mereka tidak layak untuk ditempati. Karena itu, beberapa hari tinggal
di tenda mereka langsung membangun rumah sementara di bekas reruntuhan rumah.
Responden ketiga juga optimis bisa bangkit kembali dan berharap ke depannya lebih
12
baik lagi. Keoptimisan ini ditunjukkan Responden dengan lebih bersemangat lagi
menjalankan usahanya kembali.
Orang-orang seperti inilah yang menurut Seligman (2005) adalah orang yang
melihat kesusahan atau peristiwa buruk dalam hidup hanya bersifat sementar a,
sehingga mereka lebih optimis. Berbeda dengan orang yang menganggap peristiwa
buruk atau bencana dalam hidup bersifat permanen, sehingga mereka mudah
menyerah dan putus asa.
Hubungan interpersonal ketiga responden merasakan semakin baik daripada
sebelum gempa. Responden pertama merasakan hubungannya dengan tetangga
semakin dekat dan tidak ada jarak antara tetanga satu dengan yang lain. Menurutnya
kapan saja bisa berkunjung ke tempat tetangga baik pagi, siang atau malam. Sebelum
terjadinya gempa, keindiv iduan dan ego masing-masing orang terlihat. Masyarakat
lebih terfokus untuk mengurusi kepentingannya sendiri. Responden juga merasakan
kebersamaan yang dirasakan juga lebih dari sebelum gempa. Hal ini terlihat dalam
mengerjakan sesuatu bersama -sama, misalnya membangun rumah, memasak
bersama, saling berbagi makanan, pakaian atau apapun yang bisa dibagi. Masyarakat
saling membantu tanpa diminta. Ketika melihat ada tetangga yang membangun rumah
maka dengan inisiatif sendiri tetangga yang lain ikut membantu ta npa mengharapkan
imbalan. Semangat bergotong -royong masyarakat semakin kental setelah gempa.
Rumah-rumah sementara yang dibangun dari sisa reruntuhan dibangun secara
bergotong-royong oleh masyarakat. Budaya pada Masyarakat Jawa pada umumnya
adalah budaya kolektif. Senada dengan Responden pertama, Responden ketiga juga
13
merasakan hubungannya dengan tetangga semakin baik. Ia merasa semakin dekat
dengan tetangga, hal ini dikarenakan pada saat peristiwa terjadi mereka
mempertaruhkan nyawa bersama-sama dan merasakan bersama hidup di tenda
pengungsian selama berhari-hari dengan makanan seadanya .
Semua Responden merasa senang ketika bisa membantu korban yang lain.
Responden pertama merasa senang bisa menolong dan meringankan beban korban
yang lain. Karena itu Responden membantu apa saja yang bisa dilakukannya tanpa
dipikir -pikir. Seperti merawat orang sakit, membersihkan darah tanpa rasa jijik, i kut
memasak makanan di dapur umum untuk korban selamat yang lain kemudian
menawarkan makanan pada siapa saja yang dat ang terutama korban yang sakit.
Responden menganggap menolong sebagai ungkapan rasa syukurnya pada Allah
SWT yang masih memberi kesempatan unt uk hidup. Selamat dari bencana berarti
menggunakan kesehatan dan kekuatan yang dimilikinya untuk menolong. Karena itu,
ia ikhlas menolong lebih dari b iasanya. Responden m erasa tidak tega jika ada orang
minta tolong tapi tidak bisa menolong. Apalagi pada saat -saat pertama terjadinya
gempa, dimana belum ada bantuan dan masyarakat mengupayakan sendiri dari apa
yang tersisa. Responden kedua juga merasakan senang saat bisa membantu korban
yang lain. Begitu juga dengan responden ketiga, lebih semangat untuk saling
memberi dan b erbagi rezeki dengan yang lain. Misalnya memberi oleh -oleh jika ada
yang datang berkunjung, membagi -bagikan makanan dengan tetangga yang lain.
Responden tidak merasa rugi. Karena menurut Responden, memberi berarti
menambah rezeki. Dalam konsep logoterapi Viktor Frankl, orang yang tertimpa
14
musibah tetap melakukan misi kemanusiaan , menebarkan kebajikan da n membantu
orang lain yang lebih menderita. Bahkan mungkin mereka akan mengusahakannya
sebagai ajang peluang untuk mengamalkan ci nta kasih kepada sesama manusia
(Bastaman 1998).
Sisi Spritual responden merasa ada peningk atan. Spritualitas Responden
pertama semakin meningkat, sehingga l ebih berniat untuk mendengarkan pengajian,
selalu mengingatkan warga yang lain untuk ikut pengajian , juga membangkitkan
semangat warga untuk bangkit, salah satunya dengan mengadakan pengajian. Dengan
pengajian tersebut memberi kan kesadaran kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi
ada hikmahnya. Responden kedua merasa ibadahnya lebih terkontrol. Misalnya dalam
hal shalat dan tilawah , meskipun di awal-awal terjadinya gempa sempat bolong shalat
sunnat Dhuha dan Tahajjud. Hal ini d ikarenakan Responden masih terlena dengan
keadaan yang tidak berdaya pada awal terjadinya gempa. Responden ketiga juga
merasa spritualitasnya lebih baik, misalnya l ebih sering shalat berjamaah di mesjid
dan mengaji bersama, b egitu mende ngar suara azan langsung ke mesjid.
Kategori kedua adalah faktor internal yang mendukung resilience. Perubahan
positif yang dirasakan tidak terlepas dari faktor -faktor yang menyebabkannya. Faktor
kemandirian, semua Responden tidak terlalu menuntut bantuan yang dijanjikan o leh
berbagai pihak. Responden pertama mengatakan meskipun mengharapkan bantuan
tetapi tidak kecewa jika tidak medapat bantuan. Menurut Responden , bantuan itu
hanya sebagai pengentasan dan perangsang untuk bangkit. Tetapi ia tidak memaksa
jika memang Pemer intah tidak mempunyai dana. Hanya saja, jangan tidak diberi
15
sama sekali. Sama seperti Respoden pertama, Responden ketiga tidak mengharapkan
bantuan pembangunan rumah sepe rti yang dijanjikan Pemeritah. Bahkan ia tidak
menuntut uang jatah hidup yang tidak di dapatkannya. Ia merasa bersyukur jika
mendapat bantuan dan jika tidak, tidak menjadi masalah. Responden tetap bangkit
walau tidak mendapat bantuan. Hal ini terlihat dari inisiatif Responden yang memulai
usahanya kembali sebelum bantuan datang dengan memanf aatkan uang anak-anaknya
sebagai modal. Pada saat mendapat bantuan, Responden lebih bersemangat lagi.
Responden semakin bisa memanfaatkan peluang, misalnya membawa daga ngan lain
saat pulang dari Solo dan membuka toko di rumah. Adanya pinjaman menyebabkan
Responden jadi bersemangat untuk menabung, padahal sebelumnya susah untuk
membiasakan menabung.
Faktor penerimaan terhadap musibah yang menimpa. Semua responden bisa
menerima apa yang telah terjadi. Meskipun pada awalnya ada perasaan belum siap
untuk kehil angan, merasa belum bisa menerima apa yang telah terjadi, masih merasa
trauma, dan merasa sedih ketika kehilangan, tapi kesedihan yang dirasakan
Responden adalah kesedihan yang wajar. Setiap orang akan merasa sedih jika
kehilangan sesuatu, tetapi tidak ber larut-larut dalam kesedihan itu. Orang-orang yang
resilience sama seperti orang kebanyakan. Merasa cemas dan khawatir. Tetapi
mereka belajar bagaimana menghentikan kecemasan dan kekhawati ran mereka
(Reivich 2002). Secara perlahan-lahan Responden mengikhla skan apa yang sudah
terjadi dan menerimanya. Karena banyak orang juga mengalami hal yang sama ,
kehilangan tempat tinggal, rumah dan pekerjaan . Bencana tidak hanya menimpa
16
mereka, di daerah lain juga banyak terjadi bencana . Responden kedua mengatakan
sudah siap kehilangan sejak awal dengan menuliskan amanah Allah pada setiap benda
yang dimilikinya. Walaupun musibah gempa bumi telah menyebabkan mereka
menderita banyak kerugian, tetapi mereka merasa pasrah terhadap kehilangan . Kultur
masyarakat Jawa menganut budaya pasrah dan Nrimo. Ketika dihadapkan kepada
masalah, orang Jawa biasanya m engembangka n sikap nrimo dan pasrah. Menerima
bukan berarti pasrah pasif menunggu penyel esaian masalah tanpa mel akukan apapun,
tetapi tetap melakukan usaha-usaha yang akan mengeluarkan mereka dari masalah
tersebut (Subandi 2006).
Faktor kemampuan mengambil hikmah dari bencana yang terjadi. Semua
Responden menganggap pasti ada hikmah yang bisa diambil dari peristiwa yang
sudah terjadi. Responden pertama megatakan hikmah yang bisa diambil adalah rasa
pasrah pada Allah, bersyukur masih diberi keselamatan, dan bersabar pada apa yang
telah terjadi. Allah memberi co baan karena kemurahan hatiNya. Contohnya saja,
dengan adanya bencana ini semakin menambah saudara dan perhatian dari b erbagai
pihak. Responden kedua mengatakan hikmah yang bisa diambil adalah pertolongan
datang bersamaan dengan datangnya bencana. Terlihat dari datangnya relawan-
relawan dan bantuan yang begitu cepat. Menurut Responden perasaan tidak panik
merupakan karunia dari Allah. Hikmah dari bencana yang terjadi menurut Responden
ketiga adalah harus prihatin dan bersyukur, l ebih berhati -hati lagi dalam megerjakan
sesuatu, tidak boleh berhutang dan jika ada barang harus segera dibayar. Selain itu
memberi kesadaran benda-benda yang ada hanya merupakan titipan saja. Menurut
17
konsep logoterapi Viktor Frankl (Bastaman 1998) saat dihadapkan pada penderitaan,
individu bisa menemukan makna hidup dan mengembangkan hidup yang bemakna,
serta mampu melihat makna dari penderitaan itu sendiri. Selain itu juga m emiliki
harapan dan percaya bahwa ada hikmah dibalik penderitaan.
Cara menyikapi masalah. Menurut Responden pertama musibah ini sebagai
peringatan untuk lebih bertaqwa dan lebih baik lagi. Sementara Responden ketiga
menyikapi mu sibah yang terjadi sebagai cobaan. Menurut Holaday (1997) Cognitive
Skills termasuk di dalamnya intelegensi, coping style , kemampuan untuk
menghindarkan dari menyalahkan diri sendiri, Personal control, Spritualitas
merupakan faktor yang dapat mempengaruhi resilience.
Kategori ketiga adalah faktor eksternal yang mempengaruhi resilience. Yang
termasuk faktor eksternal adalah bantuan. Bencana yang terjadi menggugah hati
banyak orang untuk memberikan bantuan, sehingga b antuan datang dari mana-mana.
Tidak hanya dari dalam negeri tetapi dari masyarakat Internsional. Menurut
Responden pertama bantuan sebagai perangsang untuk bangkit dan mengurangi rasa
kesedihan. Dengan adanya bantuan masyarakat terpacu untuk membangun rumahnya
kembali. Bagi Responden ketiga, adan ya bantuan semakin memacu semangatnya
untuk mengembangkan usahanya.
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap proses kebangkitan korban
bencana. Lingkungan tetangga yang saling menguatkan untuk segera bangkit dari
kesedihan. Responden merasakan nasib yang sama dengan korban yang lain.
18
Faktor dukungan juga mempengaruhi resilience. Menurut responden pertama
dukungan dari berbagai pihak dalam hal ini masyarakat Indonesia ataupun yang
datang dari luar negeri, Pemerintah, Relawan membantu dalam proses keb angkitan
kembali. Responden kedua mengatakan dukungan rel awan banyak membantunya,
misalnya dalam hal pengontrolan ibadah. Sedangkan bagi Responden ketiga teman -
teman turut membantunya untuk bangkit.
19
Kesimpulan
Ada tiga kategori yang ditemukan dalam penelitian ini. Pertama gambaran
resilience pada korban gempa bumi, kedua faktor internal yang mempengaruhi dan
yang ketiga faktor eksternal yang mempengaruhi resilience.
Gambaran resilience pada korban gempa bumi menunjukkan adanya
perubahan positif secara psikologis, sosial dan spritual setelah terjadinya bencana.
Secara Psikologis lebih bisa mengontrol emosi, lebih sabar dan optimis akan masa
depan. Dalam hal sosial , Responden merasakan adanya peningkatan hubungan
interpersonal menjadi lebih baik. Dari sisi Spritual ada peningkatan.
Yang termasuk faktor internal yang mempengaruhi Resilience adalah
kemandirian, kemampuan mengambil hikmah atau pelajaran dari bencana yang
terjadi, penerimaan terhadap musibah, dan cara menyikapi musibah.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi resilience adalah bantuan
dari mana-mana, lingkungan tempat tinggal dan dukungan dari berbagai pihak.
Saran
1. Bagi Responden
Kepada responden agar meningkatkan resilience yang mereka miliki dan
membantu korban yang la in untuk bangkit bersama. Tetap bangkit walau tidak
mendapat bantuan yang dijanjikan. Supaya tetap bersabar terhadap apa yang telah
menimpa.
20
2. Bagi Korban bencana yang lain
Tetap bersabar terhadap apa yang telah terjadi karena pasti ada hikmah dibalik
peristiwa yang bisa diambil.
3. Bagi Pemerintah, Relawan dan Masyarakat
Dalam mengambil kebijakan untuk korban gempa bumi agar memperhatikan
apa yang menjadi kebutuhan. Masyarakat tetap mendukung dan memberi motivasi
kepada korban bencana untuk bangkit. Tidak hanya di awal-awal terjadi bencana.
4. Bagi Peneliti selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya agar lebih bisa menggali data secara mendalam.
Selain itu menambah responden dengan kasus kehilangan orang yang paling dekat
dalam hidupnya atau yang mengalami cacat tubuh setelah terjadinya bencana. Budaya
masyarakat Jawa sangat tinggi budaya kolektifnya, hal ini menarik untuk dikaji lebih
jauh dan dihubungkan dengan kemampuan resilience.
21
DAFTAR PUSTAKA Astuti, Y.D. 2005. Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya Pada Kondisi
Psikologis Survivor : Tinjauan tentang Arti Penting Death Education. Indonesian Psychological Journal : 41 –53
Grotberg, E. H. 1999. Inner Strength : How to Fine the Resilience ti Deal With
Anything. Oakland. New Harbinger Public ation, Inc
Hatta, K. Yunus, SM. Salmawaty, Direzkia, Y. Ibrahim, S. Nasruddin, AR. Asmawati. Tamarli. 2006. Dampak Gempa dan Tsunami Terhadap Kondisi Psikologi Guru . The Aceh Institut
Holaday & McPhearson. 1997. Resilience and Severe Burns. Journal of Counseling
and Development : 75, 5, 346 – 356 Kazdin, AE. 2000. Encyclopedia of Psychology . American Psychological
Assosiation. Oxford University Press Moleong, L.J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Muhadjir, N. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin Paton, D. Smith, L. & Violanti, J. 2000. Disaster Response : Risk, Vulnerability and
Resilience. Disaster Prevention ang Management. Bradford. 9, 3, 173 Seligman, M.E.P. 2005. Authentic Happiness . Menciptakan Kebahagiaan dengan
Psikologi Positif. Jakarta : Mizan Subandi, 2006. Psychocultural Dimensions of Recovery From First Episode
Psychosis in Java. Disertasi (tidak diterbitkan). Depertemen of Psychiatry School of Medicine, Faculty of Health Science s The University of Adelaide
Wolkow, K.W. & Ferguson, H.B. 2001. Community Factor in the Development of
Resiliency: Consideration and Future Directions. Community Mental Health Journal . New York 37,6, 489-499
Young, L.C.S.W, BH. Ford, JD. & Watson, PJ. 2006 Helping Survivor In The Wake
of Disaster.
22