PENGANTAR A. Latar Belakang...

22
1 PENGANTAR A. Latar Belakang Masalah Pada tanggal 27 Mei 2006 Yogyakarta dan sebagian daerah Jawa Tengah diguncang gempa tektonik yang berkekuatan 5,9 SR (BMG). Akibat gempa tersebut menimbulkan kerusakan yang besar terutama di daerah Kabupaten Bantul, Klaten, Gunung Kidul dan Yogyakarta. Korban meninggal mencapai ribuan orang. Puluhan ribu mengalami luka- luka tertimpa bangunan. Puluhan ribu rumah mengalami kerusakan dari yang rusak ringan sampai rusak berat bahkan rata dengan tanah. Hal ini menyebabkan banyak korban gempa yang kehilangan tempat tinggal. Sarana publik seperti tempat ibadah, gedung sekolah dan gedung Pemerintahan juga banyak yang rusak. Gempa tersebut meninggalkan duka yang dalam bagi korban yang terkena dampak langsung. Menyaksikan kematian anggota keluarga secara tidak disangka-sangka tentu menimbulkan kesedihan yang luar biasa. Tidak sedikit yang mengalami gangguan jiwa karena peristiwa ini. Rumah sakit Jiwa Pakem dipenuhi oleh pasien korban gempa yang mengalami gangguan psikologis. Begitu juga dengan RS dr Sarjito dan Rumah sakit lainnya yang ada di Yogyakarta. Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi UGM, bahwa 2,5 % dari populasi yang mengalami beban mental pasca gempa bumi 27 Mei akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri pada jangka menengah dan panjang. Dengan demikian kurang dari 30 ribu korban selamat akan memerlukan bantuan psikologis mulai minggu ketiga sampai kurang lebih tiga bulan

Transcript of PENGANTAR A. Latar Belakang...

Page 1: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

1

PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Pada tanggal 27 Mei 2006 Yogyakarta dan sebagian daerah Jawa Tengah

diguncang gempa tektonik yang berkekuatan 5,9 SR (BMG). Akibat gempa

tersebut menimbulkan kerusakan yang besar terutama di daerah Kabupaten

Bantul, Klaten, Gunung Kidul dan Yogyakarta.

Korban meninggal mencapai ribuan orang. Puluhan ribu mengalami luka-

luka tertimpa bangunan. Puluhan ribu rumah mengalami kerusakan dari yang

rusak ringan sampai rusak berat bahkan rata dengan tanah. Hal ini menyebabkan

banyak korban gempa yang kehilangan tempat tinggal. Sarana publik seperti

tempat ibadah, gedung sekolah dan gedung Pemerintahan juga banyak yang

rusak.

Gempa tersebut meninggalkan duka yang dalam bagi korban yang terkena

dampak langsung. Menyaksikan kematian anggota keluarga secara tidak

disangka-sangka tentu menimbulkan kesedihan yang luar biasa. Tidak sedikit

yang mengalami gangguan jiwa karena peristiwa ini. Rumah sakit Jiwa Pakem

dipenuhi oleh pasien korban gempa yang mengalami gangguan psikologis. Begitu

juga dengan RS dr Sarjito dan Rumah sakit lainnya yang ada di Yogyakarta.

Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi UGM, bahwa 2,5 %

dari populasi yang mengalami beban mental pasca gempa bumi 27 Mei akan

mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri pada jangka menengah dan

panjang. Dengan demikian kurang dari 30 ribu korban selamat akan memerlukan

bantuan psikologis mulai minggu ketiga sampai kurang lebih tiga bulan

Page 2: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

2

kemudian. Selanjutnya, yang perlu diantisipasi adalah 1% dari populasi, kurang

lebih 12 ribu orang yang mengalami kesulitan psikologis pada masa yang lebih

lama. Disampaikan saat presentasi Program Penanganan Bencana Alam pada

tanggal 16 Juni 2006. (ugm.ac.id)

Satu minggu setelah bencana, sebahagian masyarakat yang selamat sudah

terlihat menjalankan aktivitasnya meskipun tidak punya tempat tinggal lagi.

Penduduk desa bersama relawan yang datang dari Yogyakarta maupun luar

Yogyakarta bahu-membahu membersihkan puing-puing rumah dan bangunan

yang hancur.

Sultan Hamengku Buwono XI menghimbau kepada masyarakat untuk

segera membersihkan rumahnya dan membangun tempat tinggal sementara dari

bekas bahan bangunan yang masih bisa dipakai. Masyarakat dihimbau untuk

segera bangkit dari kesedihan. Sepanjang jalan di daerah Bantul terlihat spanduk-

sepanduk yang berisi kata-kata memotivasi untuk bangkit dari kesedihan yang

berlarut-larut.

LSM atau relawan yang membantu tidak bisa selamanya berada di lokasi

bencana. Ada saatnya untuk pergi. Saat bantuan mulai berkurang atau berhenti

sama sekali, dan relawan sudah meninggalkan lokasi bencana, kesepian dan

kesedihan akan terasa kembali. Terjadi kegamangan dalam menghadapi hidup.

Ditambah lagi, bantuan yang dijanjikan Pemerintah belum juga diterima.

Masyarakat harus membangun sendiri daerahnya dengan apa yang masih tersisa.

Tidak tahu sampai kapan hidup di rumah yang terbuat dari tenda plastik. Atau

yang lebih baik sedikit rumah berdinding triplek. Ketika siang kepanasan dan

Page 3: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

3

malam kedinginan. Belum lagi ditambah masalah penyakit yang timbul pasca

bencana. Tentu ini akan menjadi stressor bagi korban gempa yang selamat.

Melalui berita-berita di media massa baik cetak maupun elektronik,

terlihat banyak korban gempa yang melakukan unjuk rasa di kantor Pemerintahan

karena belum mendapatkan bantuan atau yang disebut bantuan jatah hidup.

Hanya melakukan demonstrasi saja tidak cukup, korban gempa sampai ada yang

melakukan aksi mogok makan supaya Pemeritah merealisasikan janji-janjinya

untuk memberikan bantuan. Kemarahan mulai terlihat di kalangan korban

bencana gempa. Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang diharapkan

mulai ditunjukkan meskipun tidak semua orang melakukannya.

Reaksi individu dalam menghadapai sebuah bencana berbeda-beda. Ada

yang terus menerus berada di dalam kesedihan meratapi apa yang telah hilang.

Tidak melakukan apa-apa selain menunggu bantuan atau sumbangan orang lain

maupun Pemerintah. Tetapi ada yang memilih untuk melanjutkan hidupnya.

Mereka memang sedih atas apa yang menimpa mereka. Tetapi mereka tidak mau

terus-menerus berada dalam kesedihan yang dalam. Di tengah derita yang mereka

rasakan, mereka tetap melakukan aktivitasnya. Bersama para relawan ikut serta

membantu korban yang lebih membutuhkan. Memasak makanan untuk para

relawan dan korban yang masih selamat di tenda pengungsian. Segera

membangun tempat tinggal dari sisa reruntuhan rumah yang masih bisa dipakai.

Mereka tidak merasa putus asa meski harus memulai dari nol lagi.

Seperti yang dikatakan oleh salah seorang warga di kecamatan Jetis pada

tanggal 25 Juni 2006, yang rumahnya rata dengan tanah :

Page 4: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

4

“Kalau tertalu dipikir bisa tambah stress Mbak. Saya memang sudah tidak punya apa-apa lagi sekarang. Mulai dari nol lagi. Harta kan masih bisa dicari. Yang lain juga banyak yang susah. Yang kena bencana bukan kita aja”. Ada lagi yang mengatakan:

“Daripada saya ngeliatin rumah saya yang sudah hancur lebih baik saya Bantu-bantu di posko. Saya sedih kayak apapun rumah saya sudah hancur. Masih untung keluarga saya selamat semua”.

Penelitian ini akan mengungkap tentang ketegaran dan kebangkitan

kembali orang-orang yang terkena musibah. Apa yang menyebabkan sebagian

korban bencana memberikan reaksi yang positif terhadap bencana yang menimpa

mereka sementara sebagian yang lain memberi reaksi negatif. Serta apa yang

mendasari mereka untuk cepat bangkit memperbaiki kehidupannya.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui resilience korban gempa

bumi 27 Mei 2006 dan faktor yang mempengaruhinya.

C. Manfaat Penelitian

Secara teoritis diharapkan penelitian ini bisa menambah khazanah

keilmuan di bidang psikologi sosial, klinis dan lain-lain

Sedangkan manfat praktis diharapkan penelitian ini bisa menginspirasi

korban gempa yang lain, agar bangkit dari kesedihan dan melanjutkan hidupnya di

masa depan. Selain itu, sebagai bahan pertimbangan bagi LSM, Relawan,

Masyarakat serta Pemerintah dalam mengambil kebijakan bagi korban gempa.

Page 5: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

5

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Resilience

Beberapa literatur mengatakan tidak ada kesepakatan tentang defenisi

yang pasti dari resilience. Problem dalam mendefinisikan resilence menjadikan

interpretasi tentang resilience belum jelas. Defenisi resilience sangat bervariasi

dalam setiap literatur ( Rutter dalam Wolkow 2001).

Menurut International Resilience Project, Resilience adalah daya tahan

universal yang dimiliki seseorang, kelompok atau komunitas untuk mencegah,

meminimalisasi, atau mangatasi efek yang membahayakan dari suatu kesulitan.

Pengertian lain tentang resilience adalah kemampuan untuk servive dari stressor,

dimana kebanyakan orang (korban selamat) menyerah pada stressor (Kazdin,

2001). Sedangkan menurut (Garmezy 1993, Holaday 1997) Resilience adalah

kemampuan untuk mengatasi atau menyesuaikan diri terhadap stress atau

kesengsaraan.

Orang yang disebut resilience adalah korban selamat yang menghindar

dari dampak negatif yang merugikan (Kazdin, 2000). Sedangkan menurut Bolog

& Weddle (Holaday, 1997) Individu yang dipertimbangkan untuk menjadi

resilience adalah mereka yang dapat cepat kembali dari trauma sebelumnya dan

kebal terhadap peristiwa negatif dalam hidup.

Page 6: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

6

Orang-orang seperti inilah yang menurut Seligman (2005) adalah orang yang

melihat kesusahan atau peristiwa buruk dalam hidup bersifat sementara. Sehingga

mereka lebih optimis. Berbeda dengan orang yang menganggap peristiwa buruk atau

bencana dalam hidup bersifat permanen, sehingga mereka mudah menyerah dan putus

asa.

Dari berbagai pengertian tentang resilience di atas dapat disimpulkan bahwa

resilience adalah kemampuan untuk bertahan dan tidak berputus asa dari peristiwa

buruk atau musibah dan bisa mengambil hikmah dari apa yang terjadi untuk bisa

bangkit kembali.

2. Aspek-aspek Resilience

Menurut Grotberg (1999) asfek dari resilience adalah Percaya, mandiri,

inisiatif, ulet, identitas. (Dunning dalam Paton, 2000) menggambarkan Resilience

terdiri dari tiga komponen. Disposisi, kognitif dan lingkungan.

a. Disposisi menggambarkan bagaimana karakteristik personal berpengaruh

terhadap penyesuaian diri.

b. Komponen Kognitif menggambarkan pengertian individu tentang

hubungan dan makna.

c. Training merupakan strategi yang tepat untuk menfasilitasi kemampuan

untuk menentukan hubungan dan makna pada tipe pengalaman yang

ekstrim. Komponen lingkungan membantu dan mendukung resilience

dapat meredakan atau mengurangi bahaya dan memaksimalkan potensi

untuk recovery dan pertumbuhan post traumatic .

Page 7: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

7

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resilience

Menurut Holaday 1997, faktor-faktor yang dapat mempengaruhi resilience

adalah sebagai berikut :

a. Social Support termasuk di dalamnya pengaruh budaya, community

support, Personal Support, Familial Support. Budaya dan komunitas

dimana individu tinggal juga mempengaruhi terhadap resilience.

b. Cognitive Skills. Termasuk di dalamnya intelegensi, coping style ,

kemampuan untuk menghindarkan dari menyalahkan diri sendiri,

Personal control , Spritualitas

c. Psychological Resources. Termasuk di dalamnya Locus of control

internal, Empati dan rasa ingin tahu, cenderung mencari hikmah dari

setiap pengalaman, selalu fleksibel dalam setiap situasi.

Banyak penelitian menunjukkan satu dari tiga korban be ncana yang selamat

mengalami gejala stress yang hebat. Mereka beresiko mengalami Posttraumatic

Stress Disorder (PTSD ) yang lama. Gejalanya sebagai berikut: Disasosiasi,

gangguang pengalaman yang terulang, reaksi emosiaonal yang ekstrim, mencoba

menghindar dari memori yang menggelisahkan, cemas yang luar biasa, depresi luar

biasa.

4. Resilience Pada korban Gempa

Penelitian menunjukkan satu dari tiga korban bencana yang selamat memiliki

gejala stress yang beresiko menjadi post traumatic stress disor der(PTSD) (Young,

dkk 2006). Setelah mengalami peristiwa yang sangat traumatis, sangat wajar jika

Page 8: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

8

mengalami gejala depresi dan kecemasan. Pada PTSD, gejalanya akan hilang setelah

berbulan -bulan bahkan sampai bertahun -tahun. Bencana gempa bumi adalah salah

satu dari peristiwa yang menyebabkan trauma bagi individu yang mengalaminya.

Resilience sangat berperan dalam recovery terhadap trauma atau

meminimalkan resiko terhadap PTSD. Dr Judith Herman penulis buku Trauma And

Recovery menggambarkan bagaimana resilience meningkatkan kemampuan

seseorang untuk menghindari stress dan menurunkan resiko PTSD. Orang yang

memiliki resilience yang tinggi ketika dihadapkan pada trauma akan melindungi diri

mereka dari PTSD dan mempercepat proses recovery (Reivich 2002).Hiew d alam

Astuti (2005) menyatakan bahwa orang yang memiliki resilience dapat kembali

normal setelah mengalami trauma karena kemampuan mereka untuk dapat mengatur

sendiri kondisi kognitif emosional dan biologi yang seimbang. Orang yang resilience

dapat mengatasi tekanan dengan baik, ramah dan dapat berafiliasi dengan orang lain

(McClelland dalam Astuti 2005).

Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana Resilience pada korban gempa Yogyakarta 27 Mei 2006?

2. Faktor apa saja yang mempengaruhi resilience pada korban gempa bumi

Yogyakarta 27 Mei 2006?

Page 9: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

9

METODE PENELITIAN

A. Fokus penelitian

Fokus penelitian ini adalah Resilience pada korban gempa bumi Yogyakarta

27 Mei 2006 dan faktor yang mempengaruhinya.

B. Responden penelitian

Responden penelitian ini adalah korban gempa bumi Yogya karta 27 Mei 2006

yang mengalami langsung peristiwa gempa bumi, dan kehilangan tempat tinggal.

Selain menjadi korban, responden juga berperan untuk menolong korban yang lain

bersama dengan relawan..

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dig unakan pada penelitian ini adalah metode

wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan

oleh dua pihak yaitu pewawancara (Interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan

orang yang diwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan.

(Moleong 2006).

Pedoman wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana saudara menyikapi bencana ini?

2. Hikmah apa yang bisa diambil dari bencana ini?

3. Bagaimana saudara bangkit dari kesedihan dan trauma karena bencana ?

4. Perubahan apa saja yang terjadi dalam hidup saudara setelah bencana?

5. Bagaimana saudara menyikapi perubahan tersebut?

6. Bagaimana kondisi Psikososiorelijius saudara setelah bencana ini?

Page 10: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

10

7. Apakah saudara optimis keadaan akan kembali seperti semula?

8. Apa yang akan saudara lakukan atau apa rencana saudara ke depannya?

9. Apa yang saudara rasakan saat membantu orang lain, padahal posisi

saudara juga sebagai korban?

D. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif

menurut Bogdan & Taylor (Moleong 2006) adalah prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriftif berupa kata -kata tertulis atau lisan dari orang -orang dan

prilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut

secara holistik (utuh).

E. Metode Analis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke

dalam pola, kategori, dan atuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang diarankan oleh data. (Moleong 2006)

Langkah analisis data menurut Miles dan Huberman (Muhadjir 1989)

pertama, meringkaskan data kontak hubungan dengan orang, kejadian dan situasi di

lokasi penelitian. Kedua pengkodean. Ketiga membuat catatan objektif. Keempat

membuat catatan reflektif.

Page 11: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

11

PEMBAHASAN Berdasarkan hasil dari penelitian ini, diperoleh gambaran tentang resilience

pada korban gempa bumi dan faktor -faktor yang mempengaruhinya. Gambaran

resilience pada korban gempa bumi menunjukkan adanya perubahan positif yang

dirasakan setelah gempa secara psikologis, sosial maupun spritual.

Perubahan positif yang dirasakan Responden setelah ge mpa secara psikologis.

Menurut Responden pertama setelah gempa ia merasa lebih sabar, misalnya dalam

menghadapi anak lebih sabar dari biasanya dan tidak ce pat marah kepada anak.

Alasan Responden karena anak-anak lebih sulit untuk melupakan apa yang terjadi.

Responden ketiga juga merasakan emosi marahnya berkur ang terutama kepada anak-

anak. Selain itu Responden l ebih bisa mengendalikan emosi. Adanya gempa

memberikan pelajaran pada Responden untuk lebih bersabar.

Ketiga Responden merasa optimis Yogyakarta bisa bangkit kembali dan

keadaan bisa pulih seperti biasa. Responden pertama merasa percaya bisa bangkit lagi

dengan kemauan yang kuat dan dengan pertolonga n Allah. Responden kedua juga

optimis Jogja bisa bangkit lagi dengan melihat para korban gempa yang segera

membangun rumah dari bekas -bekas reruntuhan. Hal ini dipengaruhi juga oleh

karakteristik orang Jogja yang tidak ingin jauh -jauh berada dari rumahnya. Walaupun

keadaan rumah mereka tidak layak untuk ditempati. Karena itu, beberapa hari tinggal

di tenda mereka langsung membangun rumah sementara di bekas reruntuhan rumah.

Responden ketiga juga optimis bisa bangkit kembali dan berharap ke depannya lebih

Page 12: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

12

baik lagi. Keoptimisan ini ditunjukkan Responden dengan lebih bersemangat lagi

menjalankan usahanya kembali.

Orang-orang seperti inilah yang menurut Seligman (2005) adalah orang yang

melihat kesusahan atau peristiwa buruk dalam hidup hanya bersifat sementar a,

sehingga mereka lebih optimis. Berbeda dengan orang yang menganggap peristiwa

buruk atau bencana dalam hidup bersifat permanen, sehingga mereka mudah

menyerah dan putus asa.

Hubungan interpersonal ketiga responden merasakan semakin baik daripada

sebelum gempa. Responden pertama merasakan hubungannya dengan tetangga

semakin dekat dan tidak ada jarak antara tetanga satu dengan yang lain. Menurutnya

kapan saja bisa berkunjung ke tempat tetangga baik pagi, siang atau malam. Sebelum

terjadinya gempa, keindiv iduan dan ego masing-masing orang terlihat. Masyarakat

lebih terfokus untuk mengurusi kepentingannya sendiri. Responden juga merasakan

kebersamaan yang dirasakan juga lebih dari sebelum gempa. Hal ini terlihat dalam

mengerjakan sesuatu bersama -sama, misalnya membangun rumah, memasak

bersama, saling berbagi makanan, pakaian atau apapun yang bisa dibagi. Masyarakat

saling membantu tanpa diminta. Ketika melihat ada tetangga yang membangun rumah

maka dengan inisiatif sendiri tetangga yang lain ikut membantu ta npa mengharapkan

imbalan. Semangat bergotong -royong masyarakat semakin kental setelah gempa.

Rumah-rumah sementara yang dibangun dari sisa reruntuhan dibangun secara

bergotong-royong oleh masyarakat. Budaya pada Masyarakat Jawa pada umumnya

adalah budaya kolektif. Senada dengan Responden pertama, Responden ketiga juga

Page 13: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

13

merasakan hubungannya dengan tetangga semakin baik. Ia merasa semakin dekat

dengan tetangga, hal ini dikarenakan pada saat peristiwa terjadi mereka

mempertaruhkan nyawa bersama-sama dan merasakan bersama hidup di tenda

pengungsian selama berhari-hari dengan makanan seadanya .

Semua Responden merasa senang ketika bisa membantu korban yang lain.

Responden pertama merasa senang bisa menolong dan meringankan beban korban

yang lain. Karena itu Responden membantu apa saja yang bisa dilakukannya tanpa

dipikir -pikir. Seperti merawat orang sakit, membersihkan darah tanpa rasa jijik, i kut

memasak makanan di dapur umum untuk korban selamat yang lain kemudian

menawarkan makanan pada siapa saja yang dat ang terutama korban yang sakit.

Responden menganggap menolong sebagai ungkapan rasa syukurnya pada Allah

SWT yang masih memberi kesempatan unt uk hidup. Selamat dari bencana berarti

menggunakan kesehatan dan kekuatan yang dimilikinya untuk menolong. Karena itu,

ia ikhlas menolong lebih dari b iasanya. Responden m erasa tidak tega jika ada orang

minta tolong tapi tidak bisa menolong. Apalagi pada saat -saat pertama terjadinya

gempa, dimana belum ada bantuan dan masyarakat mengupayakan sendiri dari apa

yang tersisa. Responden kedua juga merasakan senang saat bisa membantu korban

yang lain. Begitu juga dengan responden ketiga, lebih semangat untuk saling

memberi dan b erbagi rezeki dengan yang lain. Misalnya memberi oleh -oleh jika ada

yang datang berkunjung, membagi -bagikan makanan dengan tetangga yang lain.

Responden tidak merasa rugi. Karena menurut Responden, memberi berarti

menambah rezeki. Dalam konsep logoterapi Viktor Frankl, orang yang tertimpa

Page 14: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

14

musibah tetap melakukan misi kemanusiaan , menebarkan kebajikan da n membantu

orang lain yang lebih menderita. Bahkan mungkin mereka akan mengusahakannya

sebagai ajang peluang untuk mengamalkan ci nta kasih kepada sesama manusia

(Bastaman 1998).

Sisi Spritual responden merasa ada peningk atan. Spritualitas Responden

pertama semakin meningkat, sehingga l ebih berniat untuk mendengarkan pengajian,

selalu mengingatkan warga yang lain untuk ikut pengajian , juga membangkitkan

semangat warga untuk bangkit, salah satunya dengan mengadakan pengajian. Dengan

pengajian tersebut memberi kan kesadaran kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi

ada hikmahnya. Responden kedua merasa ibadahnya lebih terkontrol. Misalnya dalam

hal shalat dan tilawah , meskipun di awal-awal terjadinya gempa sempat bolong shalat

sunnat Dhuha dan Tahajjud. Hal ini d ikarenakan Responden masih terlena dengan

keadaan yang tidak berdaya pada awal terjadinya gempa. Responden ketiga juga

merasa spritualitasnya lebih baik, misalnya l ebih sering shalat berjamaah di mesjid

dan mengaji bersama, b egitu mende ngar suara azan langsung ke mesjid.

Kategori kedua adalah faktor internal yang mendukung resilience. Perubahan

positif yang dirasakan tidak terlepas dari faktor -faktor yang menyebabkannya. Faktor

kemandirian, semua Responden tidak terlalu menuntut bantuan yang dijanjikan o leh

berbagai pihak. Responden pertama mengatakan meskipun mengharapkan bantuan

tetapi tidak kecewa jika tidak medapat bantuan. Menurut Responden , bantuan itu

hanya sebagai pengentasan dan perangsang untuk bangkit. Tetapi ia tidak memaksa

jika memang Pemer intah tidak mempunyai dana. Hanya saja, jangan tidak diberi

Page 15: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

15

sama sekali. Sama seperti Respoden pertama, Responden ketiga tidak mengharapkan

bantuan pembangunan rumah sepe rti yang dijanjikan Pemeritah. Bahkan ia tidak

menuntut uang jatah hidup yang tidak di dapatkannya. Ia merasa bersyukur jika

mendapat bantuan dan jika tidak, tidak menjadi masalah. Responden tetap bangkit

walau tidak mendapat bantuan. Hal ini terlihat dari inisiatif Responden yang memulai

usahanya kembali sebelum bantuan datang dengan memanf aatkan uang anak-anaknya

sebagai modal. Pada saat mendapat bantuan, Responden lebih bersemangat lagi.

Responden semakin bisa memanfaatkan peluang, misalnya membawa daga ngan lain

saat pulang dari Solo dan membuka toko di rumah. Adanya pinjaman menyebabkan

Responden jadi bersemangat untuk menabung, padahal sebelumnya susah untuk

membiasakan menabung.

Faktor penerimaan terhadap musibah yang menimpa. Semua responden bisa

menerima apa yang telah terjadi. Meskipun pada awalnya ada perasaan belum siap

untuk kehil angan, merasa belum bisa menerima apa yang telah terjadi, masih merasa

trauma, dan merasa sedih ketika kehilangan, tapi kesedihan yang dirasakan

Responden adalah kesedihan yang wajar. Setiap orang akan merasa sedih jika

kehilangan sesuatu, tetapi tidak ber larut-larut dalam kesedihan itu. Orang-orang yang

resilience sama seperti orang kebanyakan. Merasa cemas dan khawatir. Tetapi

mereka belajar bagaimana menghentikan kecemasan dan kekhawati ran mereka

(Reivich 2002). Secara perlahan-lahan Responden mengikhla skan apa yang sudah

terjadi dan menerimanya. Karena banyak orang juga mengalami hal yang sama ,

kehilangan tempat tinggal, rumah dan pekerjaan . Bencana tidak hanya menimpa

Page 16: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

16

mereka, di daerah lain juga banyak terjadi bencana . Responden kedua mengatakan

sudah siap kehilangan sejak awal dengan menuliskan amanah Allah pada setiap benda

yang dimilikinya. Walaupun musibah gempa bumi telah menyebabkan mereka

menderita banyak kerugian, tetapi mereka merasa pasrah terhadap kehilangan . Kultur

masyarakat Jawa menganut budaya pasrah dan Nrimo. Ketika dihadapkan kepada

masalah, orang Jawa biasanya m engembangka n sikap nrimo dan pasrah. Menerima

bukan berarti pasrah pasif menunggu penyel esaian masalah tanpa mel akukan apapun,

tetapi tetap melakukan usaha-usaha yang akan mengeluarkan mereka dari masalah

tersebut (Subandi 2006).

Faktor kemampuan mengambil hikmah dari bencana yang terjadi. Semua

Responden menganggap pasti ada hikmah yang bisa diambil dari peristiwa yang

sudah terjadi. Responden pertama megatakan hikmah yang bisa diambil adalah rasa

pasrah pada Allah, bersyukur masih diberi keselamatan, dan bersabar pada apa yang

telah terjadi. Allah memberi co baan karena kemurahan hatiNya. Contohnya saja,

dengan adanya bencana ini semakin menambah saudara dan perhatian dari b erbagai

pihak. Responden kedua mengatakan hikmah yang bisa diambil adalah pertolongan

datang bersamaan dengan datangnya bencana. Terlihat dari datangnya relawan-

relawan dan bantuan yang begitu cepat. Menurut Responden perasaan tidak panik

merupakan karunia dari Allah. Hikmah dari bencana yang terjadi menurut Responden

ketiga adalah harus prihatin dan bersyukur, l ebih berhati -hati lagi dalam megerjakan

sesuatu, tidak boleh berhutang dan jika ada barang harus segera dibayar. Selain itu

memberi kesadaran benda-benda yang ada hanya merupakan titipan saja. Menurut

Page 17: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

17

konsep logoterapi Viktor Frankl (Bastaman 1998) saat dihadapkan pada penderitaan,

individu bisa menemukan makna hidup dan mengembangkan hidup yang bemakna,

serta mampu melihat makna dari penderitaan itu sendiri. Selain itu juga m emiliki

harapan dan percaya bahwa ada hikmah dibalik penderitaan.

Cara menyikapi masalah. Menurut Responden pertama musibah ini sebagai

peringatan untuk lebih bertaqwa dan lebih baik lagi. Sementara Responden ketiga

menyikapi mu sibah yang terjadi sebagai cobaan. Menurut Holaday (1997) Cognitive

Skills termasuk di dalamnya intelegensi, coping style , kemampuan untuk

menghindarkan dari menyalahkan diri sendiri, Personal control, Spritualitas

merupakan faktor yang dapat mempengaruhi resilience.

Kategori ketiga adalah faktor eksternal yang mempengaruhi resilience. Yang

termasuk faktor eksternal adalah bantuan. Bencana yang terjadi menggugah hati

banyak orang untuk memberikan bantuan, sehingga b antuan datang dari mana-mana.

Tidak hanya dari dalam negeri tetapi dari masyarakat Internsional. Menurut

Responden pertama bantuan sebagai perangsang untuk bangkit dan mengurangi rasa

kesedihan. Dengan adanya bantuan masyarakat terpacu untuk membangun rumahnya

kembali. Bagi Responden ketiga, adan ya bantuan semakin memacu semangatnya

untuk mengembangkan usahanya.

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap proses kebangkitan korban

bencana. Lingkungan tetangga yang saling menguatkan untuk segera bangkit dari

kesedihan. Responden merasakan nasib yang sama dengan korban yang lain.

Page 18: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

18

Faktor dukungan juga mempengaruhi resilience. Menurut responden pertama

dukungan dari berbagai pihak dalam hal ini masyarakat Indonesia ataupun yang

datang dari luar negeri, Pemerintah, Relawan membantu dalam proses keb angkitan

kembali. Responden kedua mengatakan dukungan rel awan banyak membantunya,

misalnya dalam hal pengontrolan ibadah. Sedangkan bagi Responden ketiga teman -

teman turut membantunya untuk bangkit.

Page 19: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

19

Kesimpulan

Ada tiga kategori yang ditemukan dalam penelitian ini. Pertama gambaran

resilience pada korban gempa bumi, kedua faktor internal yang mempengaruhi dan

yang ketiga faktor eksternal yang mempengaruhi resilience.

Gambaran resilience pada korban gempa bumi menunjukkan adanya

perubahan positif secara psikologis, sosial dan spritual setelah terjadinya bencana.

Secara Psikologis lebih bisa mengontrol emosi, lebih sabar dan optimis akan masa

depan. Dalam hal sosial , Responden merasakan adanya peningkatan hubungan

interpersonal menjadi lebih baik. Dari sisi Spritual ada peningkatan.

Yang termasuk faktor internal yang mempengaruhi Resilience adalah

kemandirian, kemampuan mengambil hikmah atau pelajaran dari bencana yang

terjadi, penerimaan terhadap musibah, dan cara menyikapi musibah.

Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi resilience adalah bantuan

dari mana-mana, lingkungan tempat tinggal dan dukungan dari berbagai pihak.

Saran

1. Bagi Responden

Kepada responden agar meningkatkan resilience yang mereka miliki dan

membantu korban yang la in untuk bangkit bersama. Tetap bangkit walau tidak

mendapat bantuan yang dijanjikan. Supaya tetap bersabar terhadap apa yang telah

menimpa.

Page 20: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

20

2. Bagi Korban bencana yang lain

Tetap bersabar terhadap apa yang telah terjadi karena pasti ada hikmah dibalik

peristiwa yang bisa diambil.

3. Bagi Pemerintah, Relawan dan Masyarakat

Dalam mengambil kebijakan untuk korban gempa bumi agar memperhatikan

apa yang menjadi kebutuhan. Masyarakat tetap mendukung dan memberi motivasi

kepada korban bencana untuk bangkit. Tidak hanya di awal-awal terjadi bencana.

4. Bagi Peneliti selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya agar lebih bisa menggali data secara mendalam.

Selain itu menambah responden dengan kasus kehilangan orang yang paling dekat

dalam hidupnya atau yang mengalami cacat tubuh setelah terjadinya bencana. Budaya

masyarakat Jawa sangat tinggi budaya kolektifnya, hal ini menarik untuk dikaji lebih

jauh dan dihubungkan dengan kemampuan resilience.

Page 21: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

21

DAFTAR PUSTAKA Astuti, Y.D. 2005. Kematian Akibat Bencana dan Pengaruhnya Pada Kondisi

Psikologis Survivor : Tinjauan tentang Arti Penting Death Education. Indonesian Psychological Journal : 41 –53

Grotberg, E. H. 1999. Inner Strength : How to Fine the Resilience ti Deal With

Anything. Oakland. New Harbinger Public ation, Inc

Hatta, K. Yunus, SM. Salmawaty, Direzkia, Y. Ibrahim, S. Nasruddin, AR. Asmawati. Tamarli. 2006. Dampak Gempa dan Tsunami Terhadap Kondisi Psikologi Guru . The Aceh Institut

Holaday & McPhearson. 1997. Resilience and Severe Burns. Journal of Counseling

and Development : 75, 5, 346 – 356 Kazdin, AE. 2000. Encyclopedia of Psychology . American Psychological

Assosiation. Oxford University Press Moleong, L.J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Muhadjir, N. 1989. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Rake Sarasin Paton, D. Smith, L. & Violanti, J. 2000. Disaster Response : Risk, Vulnerability and

Resilience. Disaster Prevention ang Management. Bradford. 9, 3, 173 Seligman, M.E.P. 2005. Authentic Happiness . Menciptakan Kebahagiaan dengan

Psikologi Positif. Jakarta : Mizan Subandi, 2006. Psychocultural Dimensions of Recovery From First Episode

Psychosis in Java. Disertasi (tidak diterbitkan). Depertemen of Psychiatry School of Medicine, Faculty of Health Science s The University of Adelaide

Wolkow, K.W. & Ferguson, H.B. 2001. Community Factor in the Development of

Resiliency: Consideration and Future Directions. Community Mental Health Journal . New York 37,6, 489-499

Young, L.C.S.W, BH. Ford, JD. & Watson, PJ. 2006 Helping Survivor In The Wake

of Disaster.

Page 22: PENGANTAR A. Latar Belakang Masalahpsychology.uii.ac.id/images/stories/jadwal_kuliah/naskah-publikasi... · Menurut Tim Crisis and Recovery Center fakultas Psikologi ... Mereka tidak

22