PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY ...eprints.ums.ac.id/63120/16/naskah...

19
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY SINISTRA DI RUMAH SAKIT JIWA DR. SOERODJO MAGELANG Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Diploma III pada Jurusan Fisioterapi Ilmu Kesehatan Oleh: SUCI INDAH RAMADHANI J100 150 022 PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2018

Transcript of PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY ...eprints.ums.ac.id/63120/16/naskah...

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S

PALSY SINISTRA DI RUMAH SAKIT

JIWA DR. SOERODJO MAGELANG

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Diploma III

pada Jurusan Fisioterapi Ilmu Kesehatan

Oleh:

SUCI INDAH RAMADHANI

J100 150 022

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2018

i

HALAMAN PERSETUJUAN

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS

BELL’S PALSY SINISTRA DI RUMAH SAKIT JIWA

DR. SOERODJO MAGELANG

PUBLIKASI ILMIAH

Oleh:

SUCI INDAH RAMADHANI

J100 150 022

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:

Dosen

Pembimbing,

Arif Pristianto, SSTFT., M.Fis

NIK. 100.1672

ii

HALAMAN PENGESAHAN

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS

BELL’S PALSY SINISTRA DI RUMAH SAKIT JIWA

DR. SOERODJO MAGELANG

OLEH

SUCI INDAH RAMADHANI

J100 150 022

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji

Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pada hari Senin, 04 Juni 2018

Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Dewan Penguji:

1. Arif Pristianto, SSTFT., M.Fis ( )

(Ketua Dewan Penguji)

2. Wijianto, S.ST., M.Or ( )

(Anggota 1 Dewan Penguji)

3. Agus Widodo, SST, FT, SKM., M.Fis ( )

(Anggota 2 Dewan Penguji)

Dekan,

Dr. Mutalazimah, SKM., M.Kes

NIK. 786

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam publikasi ilmiah ini tidak

terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar diploma di suatu

perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali secara tertulis

diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila kelak terbukti ada ketidakbenaran dalam pernyataan saya diatas,

maka akan saya pertanggungjawabkan sepenuhnya.

Surakarta, 04 Juli 2018

Penulis

Suci Indah Ramdhani

J100150022

1

PENATALAKSANAAN FISOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY

SINISTRA DI RUMAH SAKIT JIWA DR. SOERODJO MAGELANG

ABSTRAK

Bell’s palsy adalah saraf wajah unilateral yang cepat terjadinya kelemahan atau

kelumpuhan yang penyebabnya tidak diketahui. Kelumpuhan wajah yang terjadi

pada bell’s palsy bisa menyebabkan inkompetensi oral sementara signifikan dan

ketidakmampuan untuk menutup kelopak mata, meyebabkan potensi cidera mata.

Untuk mengetahui pelaksanaan fisioterapi pada kasus bell’s palsy dalam

meningkatkan kekuatan otot,mengurangi nyeri, dan meningkatkan kemampuan

fungsional wajah dengan menggunakan modalitas infra red, elctrical stimulation,

massage, dan mirror exersice. Setelah mendapatkan terapi sebanyak 6 kali dengan

hasil penilaian kekuatan otot m. forntalis T0:1 menjadi T6:3, m. corrugator

supercili T0:5 menjadi T6:5, m. orbicularis oculi T0:3 menjadi T6:3, m. nasalis

T0:0 menjadi T6:1, m. zygomaticus T0:0 menjadi T6:3, m. buccinator T0:0

menjadi T6:3, penurunan nyeri pada nyeri diam T0:2 yaitu nyeri sangat ringan

menjadi T6:1 yaitu tidak nyeri, nyeri tekan T0:4 yaitu nyeri tidak begitu berat

menjadi T6:1 yaitu tidak nyeri, nyeri gerak T0:3 yaitu nyeri ringan menjadi T6:1

yaitu tidak nyeri, peningkatan kemampuan fungsioanal wajah Istirahat T0:30%

menjadi T6:70%, mengerutkan dahi T0:30% menjadi T6:70%, memejamkan

mata T0:70% menjadi T6:70%, tersenyum T0:0% menjadi T6:70%, bersiul

T0:0% menjadi T6:30%. Pemberian infra red, electrical stimulation, massage,

dan mirror exersice dapat mengatasi gangguan yang ada pada kasus bell’s pasly.

Kata kunci : bell’s palsy sinitra, infrared, electrical stimulation, massage, dan

mirror exercise

ABSTRACT

Bell's palsy is a unilateral facial nerve that rapidly develops a weakness or

paralysis whose cause is unknown. Facial palsy that occurs in bell's palsy can lead

to significant temporary oral incompetence and an inability to close the eyelids,

causing potential eye injury. To know the implementation of physiotherapy in the

case of bell's palsy in improving muscle strength, reduce pain, and improve facial

functional ability by using infra red modality, elctrical stimulation, mas sage, and

mirror exersice. After getting therapy 6 times with result of assessment of muscle

strength m. T0: 1 forntalis becomes T6: 3, m. corrugator supercili T0: 5 to T6: 5,

m. orbicularis oculi T0: 3 being T6: 3, m. nasalis T0: 0 to T6: 1, m. zygomaticus

T0: 0 to T6: 3, m. buccinator T0: 0 to T6: 3, decreased pain in silent pain T0: 2 ie

pain is very mild to T6: 1 ie no pain, tenderness T0: 4 ie pain not so severe to T6:

1 ie no pain, motion pain T0 : 3 ie mild pain to T6: 1 ie painless, increased facial

functional ability Resting T0: 30% to T6: 70%, frowning T0: 30% to T6: 70%,

closing eyes T0: 70% to T6: 70 %, smile T0: 0% to T6: 70%, whistling T0: 0% to

2

T6: 30%. Infra red, electrical stimulation, massage, and mirror exersice can

overcome the disruption in bell's pasly case.

Keywords: bell's palsy sinitra, infrared, electrical stimulation, massage, and

mirror exercise.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bell’s palsy adalah kelemahan idiopatik atau kelumpuhan wajah saraf

tepi perifer (Gordon, 2014). Hal ini menyebabkan kelemahan akut

atau kelumpuhan saraf wajah memiliki resiko seumur hidup sebesar 1

dari 60. Kejadian bell’s palsy tahunan adalah 20 sampai 30 per

100.000 populasi. Sementara 71% pasien yang tidak diobati akan

sembuh total dan 84% akan sembuh total atau mendekati normal,

sisanya akan mengalami kelemahan moderat hingga berat, kontraktur

wajah, atau sinkenesis. Tingkat keparahan awal dikaitkan dengan

prognosis buruk dengan sedikitnya 61% kasus pareses lengkap dan

sebanyak 94% kasus pareses tidak lengkap mengalami pemulihan

lengkap, biasanya dalam waktu 4 bulan setelah presentasi (John,

2009).

Bell’s palsy memiliki prognosis yang baik tanpa melakukan

perawatan sebab penyakit bersifat self-limitting yang berarti dapat

sembuh dengan sendirinya. Pasien dengan bell’s palsy mungkin juga

mengeluhkan xerostomia, dysguesia dan nyeri aural. Gejala ini

tampak terkait dengan prognosis pemlihan saraf yang lebih buruk.

Meskipun kebanyakan kasus terbatas pada diri sendiri, sekitar 4%

pasien tetap mengalami disfungsi saraf wajah yang parah dan

persisten. Meskipun ada bukti kuat untuk perawatan medis konservatif

awal pada pasien bell’s palsy (Berania, 2018).

Permasalahan yang timbul akibat bell’s palsy sangat kompleks

antara lain seperti wajah asimetris, kelemahan otot wajah pada sisi

lesi, rasa kaku hingga rasa tebal pada wajah sisi lesi dan potensial

3

terjadi iritasi pada mata sisi lesi karena kelopak mata tidak dapat

tertutup dengan rapat. Dari permasalahan tersebut akan menimbulkan

gangguan fungsi otot wajah, sehingga terjadi gangguan ekspresi

wajah, gejala yang ditimbulkan seperti nyeri, gangguan sensibilitas

pada pengecapan atau gangguan untuk makan dan minum. Sensasi

mati rasa pada salah satu bagian wajah dan mulut akan terlihat agak

mencong terutama pada saat tersenyum, penderita tidak dapat

berkumur-kumur dengan baik, karena pada saat berkumur-kumur air

akan keluar dari sisi mulut yang mengalami lesi, gangguan bicara,

bersiul, dan meniup.

Dari permasalahan yang timbul dan untuk mengatasi masalah

di atas agar mencapai hasil yang optimal dengan pentingnya peranan

Fisioterapi dalam memberikan intervensi kepada penderita dengan

menggunakan electrical stimulation, infra red, massage, dan mirror

exercise. Fisioterapi berperan untuk mengembalikan kemampuan

fungsional secara optimal, sehingga pasien dapat melakukan

aktivitasnya seperti makan, minum dan lain-lain. Dengan demikian

seorang fisioterapi harus mampu memberikan penanganan secara baik

dan benar. Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini untuk menangani

kasus bell’s palsy akan diberikan modalitas fisioterapi berupa

electrical stimulation yang bertujuan untuk mengembalikan kontrol

wajah (Greco, 2012). Infra red bertujuan untuk menghasilkan

vasodilatasi lokal untuk meningkatkan sirkulasi darah superficial (Yan

and Chu, 2014). Massage memiliki tujuan untuk meningkatkan

sirkulasi darah dan memberi efek relaksasi (Gasibat and Suwehli,

2017). Mirror exercise memiliki tujuan yang sama yaitu untuk

peningkatan simetris wajah, penurunan sinkinesis, dan melakukan

latihan pengulangan yang dapat menyebabkan penguatan otot wajah

(Pourmomeny and Asadi, 2014). Pemeberian modalitas fisioterapi

diharapkan dapat mencegah atau memeperlambat terjadinya atrofi

4

otot, terjadinya regenerasi saraf, memperkuat otot yang masih lemah,

dan menjaga sifat fisologis otot wajah.

1.2 Tujuan

Penulisan laporan ini diharapkan dapat mencapai tujuannya

sebagai berikut:

a. Tujuan Umum

Untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan

dalam mempelajari dan mengidentifikasi masalah-masalah

pada kasus bell’s Palsy.

b. Tujuan Khusus

1) Untuk mengetahui manfaat dari electrical stimulation

dalam meningkatkan kekuatan otot.

2) Untuk mengetahui manfaat dari massage, dan mirror

exercise dalam memperbaiki motorik otot-otot wajah.

3) Untuk mengetahui manfaat dari infra red dalam

mengurangi nyeri.

2. METODE

2.1 Teknologi Intervensi Fisioterapi

a. Electrical stimulation

merupakan salah satu teknologi fisioterapi yang digunakan

untuk mencegah atrofi otot, membantu metabolisme,

mengembalikan fungsi otot, mencegah rasa sakit/nyeri, dan

untuk memfasilitasi gerakan wajah. electrical stimulation

melibatkan arus galvanik (terus-menerus) dan faradik

(berdenyut) dengan frekuensi 0,2-100 Hz biasa digunakan

selama 10-30 menit dengan durasi 30 sampai 300 ms

(Arnulfo, 2015).

b. Infra Red

Infra Red adalah salah satu teknologi intervensi fisioterapi

yang memancarkan cahaya merah. Radiasi dari sinar infra

red ini sangat bermanfaat karena meningkatkan sirkulasi.

5

Aplikasi infra red menghasilkan vasodilatasi secara lokal

dan memberikan efek hangat pada area tersebut dengan

waktu 15 menit. Karna menghasil efek vasodilatasi lokal

pasien mendapatkan sirkulasi yang lebih baik (Marshall et

al., 2016).

c. Massage

Massage merupakan salah satu teknik manual terapi yang

dimiliki fisioterapi. Dalam hal ini massage digunakan untuk

membantu proses penyembuhan bell’s palsy. Massage

dilakukan selama 10 menit dengan mengunakan teknik

efflurage yang diharapkan dapat memperbaiki sirkulasi,

memobilisasi otot, dan melepaskan perlengketan (Tanpreet,

2015).

d. Mirror Exercise

Mirror exercise adalah suatu latihan yang dapat dilakukan

pasien untuk mengurangi sinkenesis, latihan bibir,

penguncapan huruf juga kata, dan juga latihan ekspresi.

Latihan dilakukan selama 10 menit dengan 5-10 kali

pengulangan (Pereira et al., 2011).

2.2 PROSES FISIOTERAPI

a. Pengkajian fisioterapi

1) Anamnesis

2) Pemeriksaan Objektif

b. Diagnosa Fisioterapi

1) Imprairment

a) Adanya kelemahan pada otot wajah kiri

b) Adanya nyeri pada bagian wajah yang lesi

2) Fungsional Limitation

Adanya gangguan fungsioanal saat minum dan

berkumur-kumur karna air yang tumpah pada bagian sudut

6

bibir yang lesi. Gangguan ekspresi dan mata kiri tidak

dapat menutup dengan rapat.

3) Disability

Pasien tidak dapat mengikuti rapat di RT setempat dan

ketika ada kegiatan di lingkumgan rumahnya pasien belum

dapat mengikuti kegiatan tersebut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

a. Hasil pemeriksaan nyeri dengan VDS (Verbal Descriptive

Scale).

Grafik 1 Hasil Evaluasi Nyeri

Setelah melakukan terapi sebanyak 6 kali dengan

intervensi fisioterapi electrical stimulation, infra red, massage,

dan mirror exercise. Nyeri pada saat diam, tekan, dan gerak

berkurang menggunakan VDS (Verbal Descriptive Scale):

1) Nyeri diam T0 dengan hasil 2 yaitu nyeri sangat ringan

menjadi T6 dengan hasil 1 yaitu tidak nyeri.

2) Nyeri tekan T0 dengan hasil 4 yaitu nyeri tidak begitu berat

menjadi T6 dengan hasil 1 yaitu tidak nyeri.

2 2 2 2

1 1

3 3

2 2 2

1

3 3

2 2

1 1

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

T1 T2 T3 T4 T5 T6

Hasil Evaluasi Nyeri

Nyeri diam Nyeri tekan Nyeri gerak

7

3) Nyeri gerak T0 dengan hasil 3 yaitu nyeri ringan menjadi

T6 dengan hasil 1 yaitu tidak nyeri.

b. Hasil pemeriksaan kekuatan otot dengan MMT (Manual

Muscle Testing)

Grafik 2 Hasil Evaluasi Kekuatan Otot Wajah

Setelah dilakukan terapi sebanyak 6 kali dengan

mengunakan intervensi fisioterapi electrical stimulation, infra

red, massage, dan mirror exercise. Terjadi peningkatan

kekuatan otot wajah dengan menggunakan MMT (Manual

Muscle Testing):

1) M forntalis T0 dengan hasil 1 menjadi T6 dengan hasil 3.

2) M corrugator supercili T0 dengan hasil 5 menjadi T6

dengan hasil 5.

3) M orbicularis oculi T0 dengan hasil 3 menjadi T6 dengan

hasil 3.

4) M nasalis T0 dengan hasil 0 menjadi T6 dengan hasil 1.

5) M zygomaticus T0 dengan hasil 0 menjadi T6 dengan hasil

3.

1 1 1

3 3 3

5 5 5 5 5 5

3 3 3 3 3 3

0 0 0 1 1 1 0 0 1 1

3 3

0 0 1 1

3 3

0

1

2

3

4

5

6

T1 T2 T3 T4 T5 T6

Hasil Evaluasi Kekuatan Otot

m frontalis m corrugator supercili m orbicularis oculi

m nasalis m zygomaticus m buccinator

8

6) M buccinator T0 dengan hasil 0 menjadi T6 dengan hasil

3.

c. Hasil kemampuan fungsional dengan skala ugo fisch

Grafik 3 Hasil Evaluasi Kemampuan Fungsional

Setelah dilakukan terapi sebanyak 6 kali dengan

intervensi fisioterapi electrical stimulation, infra red, massage,

dan mirror exercise. Terjadi peningkatan kemampuan

fungsional wajah dengan menggunakan skala Ugo Fisch:

1) Istirahat T0 dengan hasil 30% menjadi T6 dengan hasil

70%.

2) Mengerutkan dahi T0 dengan hasil 30% menjadi T6 dengan

hasil 70%.

3) Memejamkan mata T0 dengan hasil 70% menjadi T6

dengan hasil 70%.

4) Tersenyum T0 dengan hasil 0% menjadi T6 dengan hasil

70%

5) Bersiul T0 dengan hasil 0% menjadi T6 dengan hasil 30%.

3.2 Pembahasan

Dalama pembahasan ini penulis akan menyampaikan tentang

pengaruh dari modalitas electrical stimulation, infra red,

30 30 30

70 70 70

30 30 30 30

70 70 70 70 70 70 70 70

0 0

30 30

70 70

0 0

30 30

70 70

0

10

20

30

40

50

60

70

80

T1 T2 T3 T4 T5 T6

Hasil Evaluasi Kemampuan Fungsioanal

9

massage, dan mirror execise apakah tujuan fisioterapi tercapai

dengan menggunakan intervensi tersebut.

a. Peningkatan kekuatan otot dengan Electrical Stimulation

Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan

kekuatan otot dengan MMT (Manual Muscle Testing).

Kemudian diberikan intervensi berupa electrical stimulation

sebanyak 6 kali. Hasil yang diperoleh pada T1 dan T2

belum ada perubahan karna pasien belum mampu

menggerakkan otot-otot. Menurut (Linsay et al., 2010)

terjadinya peningkatan kekuatan otot m. zygomaticus dan

m. buccinator pada T3 menjadi 1 karena pasien di rumah

lebih sering melakukan latihan dengan mengucapkan huruf

A, I, U, E, dan O. Pada m. nasalis terjadi perubahan pada

T4 menjadi 3 dan m. frontalis terjadi perubahan T4 menjadi

1 karna pasien sebelumnya melakukan terapi secara rutin,

karna efek yang timbul dapat melibatkan penerapan

rangsangan listrik untuk otot superficial dengan tujuan

utama memicu kontraksi dan aktivasi akson neuron (Gobbo

et al., 2014). Nilai yang terjadi pada m. corrugator supercili

dan m. orbicularis occuli tidak terjadi perubahan karna

pasien di rumah sering membaca hingga mata merasa lelah

dan ketika keluar rumah hanya menggunakan masker tidak

menggunakan kacamata dan tidak menutup kaca helm, tidak

adanya peningkatan yang terjadi setelah terapi karna efek

yang ditimbulkan oleh electrical stimulation tidak selalu

baik tetapi dapat memberikan efek residu dan keterlambatan

regenerasi jaringan (Alakram and Puckree, 2011).

Manfaat diberikannya electrical stimulation untuk

sarana atau menghasilkan kontraksi pada otot dengan

menerapkan arus listrik melalui elektroda yang ditempatkan

pada kulit dengan merangsang saraf dan serat otot. Upper

10

motor neuron mengirim pesan ke otak dan tulang belakang,

dan yang menyampaikan pesan dari tulang belakang ke otot

disebut Lower motor neuron. Neuron-neuron ini

berkomunikasi melalui sinapsis ditanduk anterior medulla.

Kerusakan pada UMN dan LMN yang menyebabkan

kelamahan pada otot. Dengan diberinya rangsangan pada

otot-otot wajah diharapkan dapat memperbaiki saraf (Bašić-

kes et al., 2013).

b. Mengurangi nyeri dengan Infra Red

Pada pasien ini, didapatkan hasil pemeriksaan adanya

nyeri pada bagian wajah kiri dengan menggunakan VDS

(Verbal Descriptive Scale). Pada nyeri diam dari T0 hingga

T4, nyeri tekan dan nyeri gerak tidak terjadi peningkatan

pada T0 hingga T2 karna efek yang muncul dari infra red

hanya lokal dan superfisial sehingga tidak memberikan

pengaruh yang besar (Takeuchi et al., 2015). Infra red

memiliki efek akut mekanik terhadap kulit yang bertindak

langsung pada jaringan kolagen di otot membentuk sifat

viskoelastiknya. Panas yang ditransmisikan oleh infra red

menembus satu sentimeter secara mendalam oleh konduksi

panas. Efek yang ditimbulkan oleh infra red adalah

vasodilatasi superfisial untuk meningkatkan nutrisi dan

oksigen kepada jaringan tersebut (Nunes et al., 2016).

Penurunan nyeri tekan, nyeri diam, dan nyeri gerak pada

T1, T2,T5, dan T6 terjadi karena diberikannya infra red

yang dapat menurunkan nyeri untuk mempercepat proses

penyembuhan dengan meningkatkan mikrosirkulasi melalui

pelepasan nitrous oxide dari hemoglobin. Radiasi panas

yang ditimbulkan infa red membuat efek analgesik dari

suhu panas menyebabkan vasodilatasi lokal superfisial

sehingga aliran darah lokal meningkat dan dapat

11

memfasilitasi penyembuhan jaringan dengan penyedian

protein, nutrisi dan oksigen untuk membantu proses

penyembuhan dengan meningkatkan reaksi katabolik

maupun anabolik untuk menurunkan metabolik yang

diproduksi dari kerusakan jaringan (Aiyegbusi et al., 2016)

c. Peningkatan kemampuan fungsional dengan Massage dan

Mirror Exercise.

Pada pasien ini, didapatkan hasil pemeriksaan adanya

penurunan kemampuan fungsional, dengan diberikannya

massage dan mirror exercise sebanyak 6 kali didapatkan

peningkatan kemampuan saat tersenyum dan bersiul pada

T3 menjadi 30% karna efek yang diberikan dari massage

dan mirror exercise menstimulasi saraf dan otot wajah,

pasien juga ketika melakukan latihan di depan cermin lebih

cenderung melakukan gerakkan di area mulutnya. Nilai

stabil pada saat memejamkan mata tidak terjadi peningkatan

karna pasien kurangnya latihan ketika di rumah, sedangkan

untuk meningkatkan aktivitas otot wajah diperlukan latihan,

fasilitasi neuromuskular, dan latihan di depan cermin

(Rahman et al., 2017). Peningkatan juga terjadi saat

istirahat, mengerutkan dahi, terseyum, dan bersiul pada T5

karena pemberian massage dan mirror exercise secara

bersamaan dapat memberikan peningkatan kemampuan

fungsional ditambah dengan edukasi yang pasien lakukan di

rumah, peningkatan kemampuan fungsional dipengaruhi

dengan diberikannya massage mengunakan efflurage

dengan tekanan yang meningkat menggunakan seluruh

palmar tangan dan jari-jari. Efek positif dari efflurage dapat

menstimulasi saraf, menurunkan ketegangan otot dan

rileksasi otot (Makinian et al., 2015).

12

Manfaat dari pemberian massage dan mirror exercise

yang dapat meningkatkan fungsi otot, mengurangi bengkak

dan meningkatkan aliran darah ke jaringan yang terkena,

sehingga meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia untuk

jaringan hipoksia yang rusak dengan tujuan meningkatkan

pemulihan (Alayat et al., 2014).

Pada mirror exercise terjadi peningkatan kemampuan

fungsional wajah karena latihan mirror exercise ini

memperbaikan gerakan wajah dengan hasil facial

neuromucular reeducation mengunakan mirror feedback

adalah proses belajar kembali gerakan wajah dengan umpan

balik yang akurat untuk (1) memfasilitasi aktivitas otot

wajah dengan pola fungsional gerakan wajah dan ekspresi,

(2) menekan aktivitas otot wajah abnormal yang

menggangu fungsi wajah (Vanswearigens, 2008).

4. PENUTUP

4.1 Simpulan

Setelah melakukan terapi sebanyak 6 kali dengan kasus bell’s

palsy Sinistra pada Ny. S didapatkan hasil sebagai berikut:

a. Electrical stimulation belum untuk meningkatkan kekuatan

otot.

b. Infra red dapat memberikan efek rileksasi dan mengurangi

nyeri pada otot wajah.

c. Massage dan mirror exercise dapat mengurangi nyeri, menjadi

sifat fisiologis otot, dan meningkatkan kemampuan fungsional

otot wajah.

4.2 Saran

Setelah melakukan terapi kepada pasien dengan kasus bell’s palsy

sebaiknya terapis memberikan saran kepada:

a. Pasien

13

Pasien harus memiliki keinginan untuk sembuh

sehingga dapat melakukan terapi dengan semangat, supaya

keberhasilan mudah dicapai. Pasien juga disarankan untuk

melakukan latihan yang telah diajarkan terapi dirumah

sendiri.

b. Fisioterapis

Sebelum memberikan terapi dan memberikan

pelayanan, sebaiknya terapis mengawali dengan pemeriksaan

yang sesuai, dan dalam pengambilan diagnosa harus benar,

modalitas yang dipilih, dan edukasi yang diberikanpun harus

benar, dan dalam mengevaluasi setiap kali terapi secara rutin

supaya mendapatkan hasil yang maksimal

c. Masyarakat

Sebaiknya masyarakat harus lebih peduli terhadap

kesehatan, dan berhati-hati dalam melakukan aktivitas.

DAFTAR PUSTAKA

De Almeida, J. R. et al. (2014) ‘Management of Bell palsy: Clinical practice

guideline’, Cmaj, 186(12), pp. 917–922. doi: 10.1503/cmaj.131801.

Arnulfo, R. J. (2015) ‘Effectiveness of Electro-stimulation as a Treatment for

Bell’s Palsy: An Update Review’, Journal of Novel Physiotherapies, 5(2),

pp. 2–5. doi: 10.4172/2165-7025.1000260.

Balakrishnan, A. (2015) ‘Bell ’s Palsy: Causes , Symptoms , Diagnosis and

Treatment’, J. Pharm. Sci. & Res., 7(11), pp. 1004–1006. doi:

10.1002/14651858.CD001869.pub3.Minnerop.

Barbotte, E. et al. (2001) ‘Prevalence of impairments, disabilities, handicaps and

quality of life in the general population: A review of recent literature’,

Bulletin of the World Health Organization, 79(11), pp. 1047–1055.

Bašić-kes, V. et al. (2013) ‘PERIPHERAL FACIAL WEAKNESS ( BELL ’ S

PALSY )’, 52(2), pp. 195–202.

Baugh, R. F. et al. (2013) ‘Clinical Practice Guideline : Bell ’ s Palsy’, (d). doi:

10.1177/0194599813505967.

Eviston, T. J. et al. (2015) ‘Bell’s palsy: Aetiology, clinical features and

multidisciplinary care’, Journal of Neurology, Neurosurgery and

Psychiatry, 86(12), pp. 1356–1361. doi: 10.1136/jnnp-2014-309563.

Gasibat, Q. and Suwehli, W. (2017) ‘Determining the Benefits of Massage

14

Mechanisms : A Review of Literature’, Journal of Rehabilitation Sciences,

2(3), pp. 58–67. doi: 10.11648/j.rs.20170203.12.

Guccione, A. A. (1991) ‘Physical therapy diagnosis and the relationship between

impairments and function’, Physical Therapy, 71(7), p. 499. doi:

10.1093/ptj/71.7.499.

J, V. (2008) ‘Facial Reahabilitation: A Neuromuscular Reeducation, Patient-

Centered Approach’, Facial Rehabilitation/Vanswearingen, 1(212), pp.

250–259. doi: 10.1055/s-2008-1075841.

Jain, S. and Kumar, S. (2018) ‘Bell ’ s Palsy : A Need for Paradigm Shift ?’

Jones, K. R. et al. (2007) ‘Determining mild, moderate, and severe pain

equivalency across pain-intensity tools in nursing home residents’, The

Journal of Rehabilitation Research and Development, 44(2), p. 305. doi:

10.1682/JRRD.2006.05.0051.

Kalafatis, D. (2014) ‘CHARLES UNIVERSITY IN PRAGUE FACULTY OF

PHYSICAL EDUCATION AND SPORT DEPARTMENT OF

PHYSIOTHERAPY CASE STUDY : PHYSIOTHERAPY TREATMENT

OF A PATIENT WITH BELL ’ S PALSY BACHELOR DEGREE OF

PHYSIOTHERAPY Author : Dominic Kalafatis Supervisor : Mgr . Helena

Vo’, (April).

Khabori, M. Al et al. (2009) ‘Combined Corticosteroid and Antiviral Treatment

for Bell Palsy’, 302(9).

Makinian, M., Mirzaei, T. and Ravari, A. (2015) ‘The effects of head and face

massage on delirium among elderly women hospitalized in coronary care

units’, Iran J Crit Care Nurs, 8(3), pp. 125–132.

Marshall, S. D. et al. (2016) ‘Original Article’, 46(1), pp. 389–404. doi:

10.1111/anae.13332.

Mujaddidah, N. (2017) ‘Tinjauan Anatomi Klinik dan Manajemen Bell’ S Palsy’,

Quanun Medika, I(2), pp. 1–11.

Ng, S. Y. and Chu, M. H. E. (2014) ‘Treatment of bell’s palsy using

monochromatic infrared energy: A report of 2 cases’, Journal of

Chiropractic Medicine. National University of Health Sciences, 13(2), pp.

96–103. doi: 10.1016/j.jcm.2014.06.010.

Patel, D. K. and Levin, K. H. (2015) ‘Bell palsy: Clinical examination and

management’, Cleveland Clinic Journal of Medicine, 82(7), pp. 419–426.

doi: 10.3949/ccjm.82a.14101.

Pereira, L. M. et al. (2011) ‘Facial exercise therapy for facial palsy: Systematic

review and meta-analysis’, Clinical Rehabilitation, 25(7), pp. 649–658. doi:

10.1177/0269215510395634.

Pourmomeny, A. A. and Asadi, S. (2014) ‘Management of synkinesis and

15

asymmetry in facial nerve palsy: A review article’, Iranian Journal of

Otorhinolaryngology, 26(77), pp. 251–256.

Report, C. and Shamsi, S. (2015) ‘Effect of Physiotherapy in the Management of

Facial Palsy- Case Study’, 5(January), pp. 408–412.

Tanpreet Kaur, C. K. (2015) ‘Comparison between Proprioceptive Neuromuscular

Facilitation and Neuromuscular Re-Education for Reducing Facial

Disability and Synkinesis in Patients with Bell’s palsy:

A Randomized Clinical Trial’, International Journal of Physical Medicine

& Rehabilitation, 3(4). doi: 10.4172/2329-9096.1000290.