PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY …eprints.ums.ac.id/64337/10/NASKAH...
Transcript of PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY …eprints.ums.ac.id/64337/10/NASKAH...
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S
PALSY DENGAN MODALITAS ELECTRICAL STIMULATION
DAN MIRROR EXERCISE DI RSUP DR. SARDJITO
YOGYAKARTA
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Diploma III
pada Jurusan Fisioterapi Fakultas Ilmu Kesehatan
Oleh:
ICHA SEPTIANI
J100150023
PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADYAH SURAKARTA
2018
i
HALAMAN PERSETUJUAN
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY
DENGAN MODALITAS ELECTRICAL STIMULATION DAN MIRROR
EXERCISE DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Oleh
Icha Septiani
J100 150 023
Telah Diperiksa dan Disetujui untuk diuji Oleh :
Dosen
Pembimbing,
Totok Budi Santoso, S.Fis., S.Pd., M.P.H
NIDN. 0604127102
ii
HALAMAN PENGESAHAN
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S PALSY
DENGAN MODALITAS ELECTRICAL STIMULATION DAN MIRROR
EXERCISE DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Oleh :
ICHA SEPTIANI
J100150023
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
pada hari Selasa, 3 Juli 2018
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Dewan penguji:
1. Totok Budi Santoso, S.Fis., S.Pd., M.P.H ( )
(Ketua Dewan Penguji)
2. Arif Pristianto, SSt.FT.,M.Fis ( )
(Anggota I Dewan Penguji)
3. Agus Widodo SSt, FT, SKM., M.Fis ( )
(Anggota II Dewan Penguji)
Dekan,
Dr. Mutalazimah, SKM., M.Kes
NIK. 786
iii
1
PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS BELL’S
PALSYDENGAN MODALITAS ELECTRICAL STIMULATION DAN
MIRROR EXERCISE DI RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA
Abstrak
Bell’s Palsy adalah suatu keadaan terjadi adanya kelumpuhan fasialis akibat
paralisis nervus fasial perifer yang teradi secara akut dan penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) tanpa adanya kelainan neurologic lain. untuk mengetahui
manfaat dari Electrical Stimulation dan Mirror Exercise pada kasus Bell’s Palsy.
Setalah melakukan terapi 6 kali dengan menggunakan Electrical Stimulation dan
mirror exercise adanya peningkatan pada kekuatan otot, dan kemampuan
fungsional wajah M. Frontalis T0: 0 menjadi T6: 3, M. Corugator supercili T0:0
menjadi T6: 1, M. Procerus T0: 0 menjadi T6: 1, M.Orbicularis Oculi T0: 1
menjadi T6: 3, M. Nasalis T0: 0 menjadi T6: 3, M. Depressor anguli oris T0: 0
menjadi T6: 3, M.Zygomatikus Major & minor T0: 0 menjadi T6: 5, M.
Orbicularis Oris T0: 0 menjadi T6: 3, M. Bucinator T0: 0 menjadi T6: 3, M.
Mentalis T0: 1 menjadi T6: 5, M. Risorius T0: 0 menjadi T6: 3. Pemberian
modalitas Electrical Stimulation dan Mirror Exercise dapat meningkatkan
kekuatan otot, dan meningkatkan aktifitas fungsional pada wajah.
Kata kunci: Electrical Stimulation dan Mirror Exercise.
Abstract
Bell's Palsy is a form of state that occurs during the occurrence of falaration that
occurs under pressure that occurs and is no longer (idiopathic) in the absence of
other neurological abnormalities. To know the benefits of Electrical Stimulation
and Mirror Exercises on the Bell's Palsy case. After therapy 6 times using
electrical stimulation and exercise mirror. Increase T6: 0, to T6: 3, M. Corugator
supercili T0: 0 to T6: 1, M. Procerus T0: 0 to T6: 1, M.Orbicularis Oculi T0: 1 to
T6: 3, M. Nasalis T0 : 0 becomes T6: 3, M. Depressor anguli oris T0: 0 becomes
T6: 3, M.Zygomatikus Major & minor T0: 0 becomes T6: 5, M. Orbicularis Oris
T0: 0 becomes T6: 3, M. Bucinator T0 : 0 becomes T6: 3, M. Mentalist T0: 1
becomes T6: 5, M. Risorius T0: 0 becomes T6: 3. Giving modalities Electric
Stimulation and Mirror Exercises can increase strength, and increase facial
activity.
Keywords: Electrical Stimulation and Mirror Exercise.
1. PENDAHULUAN
Saat seseorang mulai bersosialisasi dengan lingkungan sekitar ataupun dalam
melakukan perkerjaan, salah satu yang menjadi sorotan mata ketika berbicara
untuk pertama kalinya adalah wajah. Dengan hal ini, seseorang dapat
mengetahui ekspresi wajah yang ditunjukan. Wajah sangat berperan penting
2
dalam aktivitas yang kita lakukan hingga dapat bersosialisasi dengan
lingkungan sekitar maupun ditempat kerja secara lebih mudah. Berbeda
halnya saat wajah kiri dan kanan sudah tidak simetris, karna pengaruh dari
udara dingin ataupun seringnya terkena air conditioner saat bekerja. Jika
kejadian ini berlangsung secara terus dan menerus dapat meningkatkan resiko
terjadinya suatu penyakit yang disebut bell’s palsy.
Bell’s Palsy adalah kasus cranial neuropati yang sering terjadi.
Disebabkan karena lower motor neuron yang mengalami unilateral secara
akut dan menyebabkan kelemahan pada sisi wajah. Hal lain yang menjadi
penyebab berkembangnya kasus bells palsy adalah imun infektif dan iskemik
mekanisme. Tetapi penyebabnya masih idiopatik (Eviston et al., 2015).
Pasien terserang bell’s palsy dalam kurun waktu gejala muncul 48 jam.
Evolusi dari kelemahan otot wajah terjadi selama 10 hari. Berikut adalah ciri-
cirinya seperti rasa nyeri mata yang kering mulut yang kering, dan
hiperimflamasi. Setelah 10 hari pasien akan mengalami penyembuhan pada
kelemahan wajah (De Seta et al., 2014).
Fisioterapi berperan penting dalam proses rehabilitas. Beberapa
diantaranya adalah membantu mengurangi nyeri yang dialami pasien,
meningkatkan kekuatan otot pada sisi yang lemah diarea wajah.
Meningkatkan kemampuan fungsional pasien yang terbatas akibat rasa nyeri
dan kelemahan, hingga meningkatkan kualitas hidup pasien. Ada banyak cara
yang dapat dilakukan dalam mewujudkan kesembuhan pasien seperti
menggunakan beberapa intervensi fisioterapi, contohnya adalah electrical
stimulation. Sedangkan dalam penatalaksanaannya, pasien mendapatkan juga
terapi berupa latihan tertentu dan pemberian edukasi seperti mirror exercise
agar pasien dapat berlatih dirumah.
Arus Faradik adalah arus IDC (Interrupted Direct Current) memiliki
durasi yang pendek dengan arus yang berdenyut dengan frekuensi antara 50
dan 75 Hz. Pulsa bersifat monophasic atau biphasic, dengan durasi kurang
dari 1 ms, dan secara tradisional digunakan untuk rangsangan motorik (Sérgio
& Rodrigues, 2015).
3
Terapi latihan adalah gerakan yang telah dirancang secara sistematik
sesuai dengan gerakan fisik manusia, postur tubuh, atau aktivitas tertentu
yang bertujuan untuk mencegah keterbatasan aktivitas fungsional klien,
meningkatkan kemampuan fungsional klien, mengurangi resiko cidera,
mengoptimalisasi kesehatan, serta meningkatkan kualitas hidup pasie
(C.Kisner, 2012).
Dengan dilakukannya program fisioterapi tersebut, diharapkan dapat
mengurangi keluhan pasien dengan kasus bell’s palsy.
2. METODE
2.1 Teknologi Intervensi Fisioterapi
2.1.1. Stimulasi Elektrik (Electrical Stimulation)
Stimulasi listrik adalah teknik yang menggunakan arus listrik untuk
mengaktifkan saraf penggerak otot dan ekstremitas yang mengalami
kelemahan serta gangguan fungsional. electrical stimulation arus faradik
yang diberikan dapat menimbulkan kontraksi otot dan membantu
memperbaiki perasaan gerak sehingga diperoleh gerak yang normal serta
bertujuan untuk mencegah memperlambat terjadinya atrofi otot.
Pada kasus bell’s palsy ini rangsangan gerak dari otak tidak dapat
disampaikan kepada otot-otot wajah yang disyarafi. Akibatnya kontraksi
otot secara volunter hilang sehingga diperlukan bantuan dari rangsangan
arus faradik untuk menimbulkan kontraksi otot. Rangsangan arus faradik
yang dilakukan berulang- ulang dapat melatih kembali otot- otot yang
lemah untuk melakukan gerakan sehingga dapat meningkatkan
kemampuan kontraksi otot sesuai fungsinya. Durasi pulsa yang
digunakan 20 ms, dan interval pulse 1000, pulse rectangular, intensitas
diatas 6 Ma sampai timbul kontraksi 30x tiap motor point, pindah dan
diulangi sampai 3x.
2.1.2 Mirror exercise
Mirror exercise merupakan salah satu bentuk terapi latihan yang
menggunakan cermin yang pelaksanaannya menggunakan latihan
4
gerakan–gerakan pada wajah baik secara aktif maupun pasif (Widowati,
2008). Pasien diminta melakukan gerakan – gerakan dari wajah seperti:
mengangkat alis dan dahi ke atas, menutup mata, tersenyum, menarik
sudut mulut ke samping kanan atau kiri, bersiul dan mencucu, menutup
mata dengan rapat, memperlihatkan gigi seri dan mengangkat bibir ke
atas, mengembang kempiskan cuping hidung, mengucap kata – kata
labial : l, m, n. Latihan dilakukan selama 10 – 20 menit dengan
pengulangan 4 – 5 kali setiap latihan, dan dilakukan 2 – 3 kali sehari.
2.2 Proses Fisioterapi
2.2.1 Pengkajian Fisioterapi
2.2.1.1 Anamnesis
2.2.1.2 Pemeriksaan Obyektif
2.2.2 Problematika Fisioterapi
Dari pemeriksaan tersebut didapatkan beberapa problematik
fisioterapi yang muncul sebagai berikut:
2.2.2.1 Impairment
Adanya penurunan kekuatan otot wajah sebelah kiri, potensi
terjadinya atropi otot wajah sisi kiri, potensi spasme otot wajah sisi
kanan karena kontraksi terus menerus, adanya rasa tebal pada wajah
sebelah kiri oleh karena vaskularisasi tidak lancar..
2.2.2.2 Functional limitation
Functional limitation atau keterbatasan fungsional merupakan istilah
yang digunakan pada setiap keadaan dimana seseorang mengalami
keterbatasan fungsinya pada bells palsy adanya gangguan saat minum
dan berkumur karena air keluar dari sisi yang lesi, adanya gangguan
saat makan, karena makanan terkumpul pada sisi yang sehat, adanya
gangguan ekspresi, seperti mengerutkan dahi, mengangkat alis,
menutup mata, tersenyum dan bersiul.
2.2.2.3 Disability
Disability atau ketidakmampuan dalam bidang kesehatan dianggap
sebagai ketidakmampuan atau kekurangan yang disebabkan
5
impairment yang ada sehingga terjadi gangguan dalam beraktivitas.
Pada bells palsy adanya penurunan rasa percaya diri saat bergaul di
lingkungan masyarakat karena gangguan ekspresi wajah, dan adanya
gangguan kemampuan fungsional pasien, seperti berkumur, makan,
minum dan lain – lain.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Pasien dengan nama Ny. S, umur 23 tahun, dengan diagnosa medis Bell’s
Palsy mengeluh karna adanya kelemahan otot wajah bagian kiri, dan
keterbatasan dalam kemampuan fungsional wajah. Setelah melakukan
terapi sebanyak 6 kali menggunakan modalitas Electrical Stimulation dan
mirror exercise, terjadi peningkatan kekuatan otot-otot wajah serta
meningkatkan kemampuan fungsional pada kondisi Bell’s Palsy.
3.1.1 Hasil pemeriksaan kekuatan otot wajah kiri
Tabel 1 Pemeriksaan Kekuatan Otot
Otot-otot T1 T2 T3 T4 T5 T6
M. Frontalis 0 0 0 1 1 3
M.Corugator
supercili
0 0 0 1 1 1
M. Procerus 0 0 0 1 1 1
M. orbicularis oculi 1 1 3 3 3 3
M. nasalis 0 1 1 1 3 3
M. depressor anguli
oris
0 1 1 1 3 3
M. zigomaticus
major & minor
0 1 3 3 3 3
M. oblicularis oris 0 1 3 3 3 3
M. bucinator 0 1 1 1 3 3
M. mentalis 1 1 3 3 3 5
M. Risorius 0 1 1 1 3 3
Sumber: data primer, 2018
3.1.2 Hasil pemeriksaan motorik dengan Ugo Fisch Scale
Tabel 2 Hasil Pemeriksaan Ugo Fisch Scale
Posisi T1 T2 T3 T4 T5 T6
Saat Istirahat 0 0 6 6 14 14
6
Point Point Point Point Point Point
Mengerutkan 0
Point
0
Point
3
Point
3
Point
7
Point
7
Point
Menutup mata
rapat
0
Point
0
Point
9
Point
9
Point
21
Point
21
Point
Tersenyum 0
point
0
Point
6
Point
6
Point
21
Point
21
Point
Bersiul 0
point
0
Point
0
Point
3
Point
3
Point
7
Point
Jumlah 0
Point
0
Point
24
Point
27
Point
66
Point
70
Point Sumber: data primer, 2018
3.2 Pembahasan
3.2.1 Kekuatan otot
Penilaian kekuatan otot dinilai dengan inspeksi pada pergerakan wajah.
Setelah mendapatkan 6 kali tindakan terapi dan evaluasi, dari
pemeriksaan awal (T0) sampai dengan pemeriksaan akhir (T6)
didapatkan hasil terjadi peningkatan kekuatan otot yang mulai terjadi
pada saat terapi ke 4 (T4) (Vakharia, 2016). Hal ini dikarenakan dalam
meningkatkan kekutan otot yang mengalami penurunan karena
kelemahan dari saraf yang mengintervensi sehingga membutuhkan
intensitas yang sering sehingga dapat terjadi kontraksi pada otot yang di
persyarafi.
3.2.2 Motorik pada wajah
Dalam penelitian pengaruh electrical stimulation dan mirror exercise
dapat memulihkan ekspresi wajah. Hal ini disebabkan oleh kontraksi
secara sering. Sehingga dapat memfasilitasi kekuatan otot dan
koordinasi pada bell’s palsy (Patil & Kanase, 2017).
Dan setelah dilakukan 6 kali terapi. Pada terapi pertama sampai
ketiga tidak menghasilkan kenaikan kekuatan otot (Vakharia, 2016). Itu
bisa disebabkan karena beberapa faktor yaitu :
3.2.2.1 Pasien tidak melakukan home program yang diberikan oleh
terapis dengan teratur.
3.2.2.2 Efek dari modalitas hanya bersifat sementara jika latihan yang
diberikan tidak dilanjutkan dengan rutin.
7
4. PENUTUP
Setelah dilakunkan terapi sebanyak 6 kali pada kasus bell’s palsy pada Ny. S
didapatkan hasil sebagai berikut: (1) Electrical Stimulation dapat memelihara
sifat kontraksi otot pada Bell’s Palsy Sinistra. (2) Mirror Exercise dalam
meningkatkan kemampuan fungsional pada kasus Bell’s Palsy Sinistra.
Setelah melakukan terapi pada kasus Bell’s Palsy, sebaiknya fisioterapi
memberikan saran:
Pasien harus memiliki kesungguhan yang besar untuk sembuh, agar
lebih semangat dalam melakukan latihan, dan didapatkan keberhasilan yang
mudah untuk dicapai. Pasien juga disarankan agar melakukan latihan sendiri
dirumah seperti yang telah diberikan oleh terapis.
Sebelum melakukan terapi, sebaiknya terapis mengawali pemeriksaan
yang sesuai prosedur, dalam pengambilan diagnosa harus benar, modalitas
yang dipilih, dan edukasi yang diberikan harus sesuai dengan prosedur, dan
dalam mengevaluasi setiap kali terapi secara rutin supaya mendapatkan hasil
yang maksimal. Ketika memberikan pelayanan, harus melakukan pelayanan
sesuai prosedur yang ada. Seperti pemberian dosis pada pasien dengan
modalitas: (1) Electrical Stimulation arus Faradik yang dapat menimbulkan
kontraksi otot dan membantu memperbaiki gerak sehingga diperoleh gerak
yang normal serta bertujuan untuk mencegah terjadinya atrofi otot. Pada
kasus bell’s palsy ini kontraksi otot secara volunter hilang sehingga
diperlukan bantuan dari rangsangan arus faradik untuk menimbulkan
kontraksi otot. Rangsangan arus faradik yang dilakukan berulang- ulang dapat
kembali melatih otot- otot yang lemah dalam melakukan gerakan sehingga
dapat meningkatkan kemampuan kontraksi otot sesuai fungsinya. (2) Pada
pemberian latihan mirror exercise terapis harus memberikan edukasi yang
benar. Sehingga pemberian latihan mirror exercise dapat efektif, dan dosis
yang diberikan kepada pasien harus sesuai prosedur, sehingga latihan mirror
exercise tersebut bisa memberikan pengaruh yang signifikan. Pemberian
dosis latihan mirror exercise yaitu 5 kali pengulangan dalam setiap per-step
8
latihan. (3) Sebaiknya masyarakat berhati-hati dalam melakukan aktifitas,
terutama yang memiliki resiko cidera. Masyarakat harus lebih mengontrol
waktu jam bekerjanya karena jika masyarakat tidak bisa mengontrol hal
tersebut maka keluhan yang dideritanya tidak akan mengalami perubahan
yang signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
Alakram, P., & Puckree, T. (2010). Effects of electrical stimulation on house-
brackmann scores in early bells palsy. Physiotherapy Theory and Practice.
https://doi.org/10.3109/09593980902886339
Bahrudin, M. (2011). Vol . 7 No . 15 Desember 2011 Bell ’ s Palsy ( BP ), 7(15),
20–25.
Baugh, R. (2013). Clinical Practice Guideline: Bell’s Palsy, 149.
Clement, R. S., Carter, P. M., & Kipke, D. R. (2002). Measuring the electrical
stapedius reflex with stapedius muscle electromyogram recordings. Annals of
Biomedical Engineering. https://doi.org/10.1114/1.1454132
De Almeida, J. (2014). Management Of Bell Palsy: Clinical Practice Guideline,
186(12).
De Seta, D., Mancini, P., Minni, A., Prosperini, L., De Seta, E., Attanasio, G., …
Filipo, R. (2014). Bell’s palsy: Symptoms preceding and accompanying the
facial paresis. Scientific World Journal, 2014.
https://doi.org/10.1155/2014/801971
Eiffert, H., Karsten, A., Schlott, T., Ohlenbusch, A., Laskawi, R., Hoppert, M., &
Christen, H. J. (2004). Acute peripheral facial palsy in Lyme disease - A
distal neuritis at the infection site. Neuropediatrics, 35(5), 267–273.
https://doi.org/10.1055/s-2004-821174
Eviston, T. J., Croxson, G. R., Kennedy, P. G. E., Hadlock, T., & Krishnan, A. V.
(2015). Bell’s palsy: Aetiology, clinical features and multidisciplinary care.
Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry, 86(12), 1356–1361.
https://doi.org/10.1136/jnnp-2014-309563
Hultcrantz, M. (2016). Rehabilitation of Bells palsy from a multi-team
perspective. Acta Oto-Laryngologica.
https://doi.org/10.3109/00016489.2015.1116124
Isnaini, H., & Wahyuni. (2017). Pemeriksaan Fisioterapi.
9
Kisner, C. (2012). Manual Therapy, 2008.
Lowis, H., & Gaharu, M. N. (2012). Bell ’ s Palsy , Diagnosis dan Tata Laksana
di Pelayanan Primer.
Patil, G. R., & Kanase, S. B. (2017). Art2017790, 6(2), 655–659.
Ramadian, D. A., S, J. M. P., & Runtuwene, T. (2012). Gambaran Fungsi Kognitif
Pada Lansia di Tiga Yayasan Manula di Kecamatan Kawangkoan Manado,
(November), 1–8.
Rasjad. (2015). Pemeriksaan Fisik.
Salinas, R. (2003). Bell’s palsy. Clinical Evidence, (10), 1504–1507.
Sérgio, T., & Rodrigues, S. (2015). Modulation of electrical stimulation applied to
human physiology and clinical diagnostic.
Syahril, M., Hasibuan, N. A., & Pristiwanto, P. (2016). Penerapan Metode
Dempster Shafer Dalam Mendiagnosa Penyakit Bell’S Palsy. JURIKOM
(Jurnal Riset Komputer), 3(6), 101–105. Retrieved from http://ejurnal.stmik-
budidarma.ac.id/index.php/jurikom/article/view/182/164
Thomas, & Monaghan. (2012). pemeriksaan vital sign.
Vakharia, K., & Vakharia, K. (2016). Bell’s Palsy. Facial Plastic Surgery Clinics
of North America. https://doi.org/10.1016/j.fsc.2015.08.001
Wilis Srisayekti. (n.d.). Suatu Pengantar Wilis Srisayekti Fakultas Psikologi
Universitas Padjadjaran, 1–10.
World Confederation for Physical Therapy. (2011). Description of physical
therapy: Policy statement. The World Confederation for Physical Therapy,
(appendix 1), 1–12.