Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata...

127
Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi (Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air) Oleh: Dr. Isharyanto, S.H.,M.Hum. Aryoko Abdurrachman, S.H.

Transcript of Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata...

Page 1: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

i

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi

(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Oleh:

Dr. Isharyanto, S.H.,M.Hum.Aryoko Abdurrachman, S.H.

Page 2: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

ii

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Page 3: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

iii

Jakarta, September 2016ISBN: 978-602-269-183-9

Diterbitkan oleh:Halaman Moeka PublishingGriya Taman Banjarwangi B6 No 5. Banjarwangi, Ciawi, BogorJl. Manggis IV No.2 Rt. 07/04 Tanjung Duren Selatan Grogol Petamburan, Jakarta Baratwww.halamanmoeka.net

Penulis:

Dr. Isharyanto, S.H.,M.Hum.Aryoko Abdurrachman, S.H.

Editor: Isharyanto

Desain Isi & Sampul: Tim HalamanMoeka.net

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004

tentang Sumber Daya Air)

Page 4: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

iv

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Page 5: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

v

Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mawarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat

Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai lembaga yudikatif yang dibangun berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah suatu lembaga yang bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan lembaga negara lain guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Sebagaimana telah diformulasikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini kemudian diatur dalam BAB III bagian ketiga Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan

KATA PENGANTAR

Page 6: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

vi

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

khusus untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Dalam praktek penyelenggaraan praktik peradilan, putusan adalah muara dari suatu perkara. Putusan sebagai mahkota hakim dalam pemahaman yang artifisial dapat dimaknai sebagai, harga diri seorang hakim dan wibawa seorang hakim dapat dilihat dan dinilai dari putusannya. Kualitas suatu putusan hakim serta tingkat kecerdasan dan intelektual yang dimilikinya akan direfleksikan sekaligus dipertaruhkan pada bagaimana hakim merumuskan ratio decendi dalam putusannya. Penalaran hukum (legal reasoning) serta rumusan argumentasi hukum (legal argumentation) akan menggambarkan kecermatan dan tingkat intelektualitas hakimnya. Hakim dalam merumuskan putusannya tidak hanya berkutat pada silogisme formal belaka, bukan juga sekedar menafsir secara mekanis, melainkan sebagai pekerjaan intelektual yang membutuhkan analisis dan penafsiran secara komprehensif.

Buku ini dimaksudkan untuk mengupas isu-isu yang berhubungan dengan narasi di atas. Penyampaian pesan dilakukan dengan menyajikan telaah teoritis dalam isu-isu yang berhubungan dengan penafsiran hukum pada praktik peradilan. Akan tetapi, tidak seluruh isu dan fakta penafsiran hukum pada praktik peradilan tuntas dibahas. Buku ini memiliki keterbatasan tersebut, namun tidak mengurangi semangat untuk menyajikan secara komprehensif pilihan isu yang dipilih. Diharapkan buku ini mampu menjadi sekotak wacana untuk menjadi rintisan referensi guna mendorong karya-karya identik di masa-masa yang akan datang.

Surakarta, Februari 2016Penulis

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.Aryoko Abdurrachman, S.H.

Page 7: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

vii

DAFTAR ISI

BaB I Catatan awalPenafsiran Hukum dalam Konsep Negara Hukum _____

BaB II PIJaKan PUStaKa1. Tinjauan Tentang Penafsiran Hukum____________2. Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman_________3. Tinjauan Tentang Asas-Asas Penyelenggaraan

Kekuasaan Kehakiman________________________

BaB III wEwEnanG HaKIM KOnStItUSI DalaM MEnaFSIRKan PERatURan PERUnDanG-UnDanGan

1. Kewenangan Hakim Konstitusi Dalam Menafsirkan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009__________

2. Penerapan Asas-Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara____________________________________

BaB IV Catatan PEnUtUP________________________DaFtaR PUStaKa_________________________________PROFIl PEnUlIS__________________________________

1

1727

46

51

78

107110117

Page 8: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

viii

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Page 9: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

1

a. Penafsiran Hukum dalam Konsep negara HukumNegara Hukum merupakan terjemahan yang tepat dari

istilah rechtsstaat. Istilah rechsstaat banyak dianut di negara-negara Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law. Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid kemudian menjadi rechtmatigheid1. Friedrich Julius Stahl merupakan salah satu ahli yang patut dirujuk pendapatnya ketika membicarakan topik Negara Hukum (rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental. Menurutnya unsur-unsur yang ada pada Negara Hukum dalam pengertian rechtsstaat, yaitu:2

1. Pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten).2. Pemisahan kekuasaan (scheiding van machten).3. Pemerintah berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van

het bestuur).4. Peradilan administrasi (administrative rechtpraak).

Sesuai dengan unsur-unsur Negara Hukum yang dikemukakan oleh Friedrich Julius Stahl diatas, sebagai Negara Hukum, Indonesia yang menganut sistem Eropa Kontinental dan bertumpu pada sistem civil law, juga menganut asas-asas pemisahan kekuasaan yang diantaranya terdiri dari kekuasaan eksekutif, kekuasaan 1 Mahfud MD, 1999. Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-1272 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 49

Bab 1

CATATAN AWAL

Page 10: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

2

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Untuk kekuasaan eksekutif di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diatur dalam BAB III yang mengatur tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, untuk kekuasaan legislatif diatur dalam BAB VII yang mengatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat serta BAB VII A yang mengatur tentang Dewan Perwakilan Daerah, dan untuk kekuasaan yudikatif diatur dalam BAB IX yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kekuasaan kehakiman telah menjadi bagian dari sejarah ketatanegaraan Indonesia dan bahkan telah berjalan sebelum terbentuknya republik ini. Dalam khasanah praktik dan literatur, pada umumnya pengertian peradilan pada umumnya yang berjenjang mulai dari peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, peradilan tingkat banding di Pengadilan Tinggi sampai peradilan tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Sebelum Indonesia merdeka, ketiga jenjang peradilan tersebut bermula dari badan-badan peradilan yang sudah eksis dalam sistem peradilan Hindia Belanda, yaitu “Landraad” yang dijadikan Pengadilan Negeri, “Raad van Justitie” yang menjadi Pengadilan Tinggi, dan “Hogeraad” yang dkembangkan menjadi Mahkamah Agung. Karena itu, semua pengadilan di luar lingkungan peradilan biasa pada umumnya tersebut di atas disebut Pengadilan Khusus, seperti Pengadilan Agama yang berasal dari “Priesterraad” dan lain-lain. Sesudah Indonesia merdeka, muncul pula pemikiran untuk mengadopsi perkembangan pengertian tentang negara hukum (rechtsstaat) di Eropa Barat yang mengharuskan adanya peradilan tata usaha negara.

Karena itu, pada mulanya, seperti tercermin dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dikenal adanya 3 (tiga) macam peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman

Page 11: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

3

ini, peradilan agama dianggap termasuk ke dalam pengertian pengadilan khusus. Pengertian demikian ini dikoreksi pada masa Orde Baru sehingga dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, peradilan agama itu dianggap merupakan lingkungan peradilan yang tersendiri di samping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.3

Selain pengertian pengadilan agama dan pengadilan militer yang kemudian dikembangkan sebagai lingkungan peradilan yang tersendiri seperti dikemukakan tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa pengadilan khusus pertama yang pernah dibentuk di Indonesia adalah Pengadilan Ekonomi pada tahun 1955. Pengadilan Ekonomi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi untuk mengadili perkara tindak pidana di bidang perekonomian. Kemudian dibentuk pula Pengadilan Landreform untuk mengadili perkara-perkara pidana, perdata, dan tata-usaha negara yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan land-reform.4

Pengadilan Ekonomi dan Pengadilan Land-reform tersebut di atas termasuk ke dalam pengertian Peradilan Umum, sedangkan yang dimaksud dengan Peradilan Khusus adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Sementara itu, yang dimaksud dengan Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan sebagaimana disebut dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 sebagai peradilan administratif. Di dalamnya tercakup juga pengertian peradilan administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian. Peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara ini baru diperlakukan sebagai lingkungan peradilan sendiri yang 3 Jimly Asshiddiqie, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: BIP-Gramedia. Hal 5264 Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Page 12: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

4

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

setara dengan peradilan umum dengan dicantumkannya ketentuan mengenai keempat lingkungan peradilan itu dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dengan demikian, pengertian pengadilan khusus ditiadakan dan diganti dengan pengertian lingkungan peradilan. Namun, sebelum dibentuknya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman ini, di masa awal Orde Baru, meskipun bentuk-bentuk pengadilan khusus, seperti Pengadilan Ekonomi dan Pengadilan Land-Reform tersebut di atas sudah tidak ada lagi.

Perkembangan demikian ini terus berlangsung sampai kemudian dilakukan konsolidasi dan penataan struktural terhadap sistem peradilan nasional pada tahun 1970 dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Produk legislatif ini memperkenalkan pengelompokan peradilan ke dalam 4 (empat) lingkungan peradilan, yaitu: (i) Peradilan Umum; (ii) Peradilan Agama; (iii) Peradilan Tata Usaha Negara; dan (iv) Peradilan Militer.

Karena besarnya pengaruh sistem peradilan militer melalui Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mulai tahun 1965, struktur peradilan militer itu dimuat dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman itu sebagai salah satu lingkungan peradilan yang tersendiri, di samping peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata-usaha negara, yang masing-masing dapat dikatakan mempunyai latar belakarang ide dan sejarahnya sendiri-sendiri. Seharusnya, peradilan militer tidak perlu dimasukkan ke dalam rezim hukum peradilan biasa, karena fungsinya terkait dengan hukum keadaan darurat, bukan hukum dalam keadaan normal. Dalam keadaan normal, peradilan militer itu seharusnya hanya dikaitkan dengan fungsi peradilan disiplin internal prajurit dan perwira militer. Pengadilan Militer dapat berfungsi, baik sebagai peradilan sipil maupun sebagai peradilan militer secara bersama-

Page 13: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

5

sama hanya dalam kondisi negara dalam keadaan darurat perang atau keadaan darurat militer.

Karena itu, keberadaan pengadilan militer seharusnya hanya tidak diperlakukan sebagai lingkungan peradilan yang tersendiri, melainkan cukuplah dipandang sebagai salah satu bentuk pengadilan khusus, yaitu bersifat internal militer ketika kondisi negara berada dalam keadaan normal, dan bersifat eksternal dengan kemungkinan menjalankan fungsi peradilan sipil manakala fungsi-fungsi peradilan sipil tidak dapat menjalankan tugas konstitusionalnya berhubungan kondisi negara berada dalam keadaan darurat perang atau darurat militer. Dengan demikian, keadilan tidak malah dicampur-adukkan antara kondisi negara dalam keadaan normal dan keadaan tidak normal.

Sayangnya, ketika reformasi, ketentuan mengenai keempat lingkungan peradilan menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman itu diadopsi begitu saja dalam rangka Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2002. Hal itu dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Pada akhir masa Orde Baru, dibentuk satu pengadilan khusus, yaitu Pengadilan Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Setelah reformasi, desentralisasi pemerintahan dan diversifikasi fungsi-fungsi kekuasaan negara berkembang luas bersamaan dengan gerakan liberalisasi dan demokratisasi di segala bidang kehidupan. Karena itu, lembaga peradilan yang bersifat khusus semakin banyak didirikan

Page 14: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

6

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

oleh Pemerintah. Pada tahun 1998, dengan Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentaang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, kita mendirikan Pengadilan Niaga yang pertama kali. Selanjutnya, pada tahun 2000 dan tahun 2002, kita membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, telah pula dibentuk Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan Pengadilan Perikanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan banyak lagi lainnya.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman pada BAB IX menjamin diselenggarakannya kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan apa yang tertulis pada BAB IX Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Perubahan tersebut antara lain menegaskan bahwa:

1. Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

2. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat

Page 15: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

7

kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

3. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan dengan ketentuan konstitusi negara Indonesia tersebut maka salah satu prinsip penting dari Negara Hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Semangat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini kemudian diturunkan ke dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam BAB III Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang pelaku kekuasaan kehakiman, dimana di Pasal 18 termaktub bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Page 16: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

8

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai lembaga yudikatif yang dibangun berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah suatu lembaga yang bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan lembaga negara lain guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Sebagaimana telah diformulasikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19455. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini kemudian diatur dalam BAB III bagian ketiga Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan khusus untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Hal yang tidak kalah penting yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman adalah adanya bab tersendiri yang membahas tentang aas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni di dalam BAB II Pasal 2 sampai dengan Pasal 17, termasuk di dalamnya asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terkait dengan hakim konstitusi yang termaktub di Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam undang-undang. Hal ini termaktub dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, tolak ukur hakim konstitusi dalam mempertanggungjawabkan jaminan diimplementasikannya asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dapat dilihat 5 Jimly Asshiddiqie, 2004. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 45. Yogyakarta: UII Press. Hal 241

Page 17: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

9

dari putusan yang dibuatnya. Penafsiran hakim konstitusi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkara yang sedang diadilinya sangatlah penting karena dari penafsiran hakim tersebutlah yang akan menentukan putusan yang akan dibuat oleh hakim konstitusi.

Putusan adalah mahkota hakim merupakan jargon yang sering didengar, tidak hanya di kalangan yuris dan akademisi, namun juga masyarakat awam sangat memahami jargon ini. Putusan sebagai mahkota hakim dalam pemahaman yang artifisial dapat dimaknai sebagai, harga diri dan wibawa seorang hakim dapat dilihat dan dinilai dari putusannya. Kualitas suatu putusan hakim serta tingkat kecerdasan dan intelektual yang dimilikinya akan direfleksikan sekaligus dipertaruhkan pada bagaimana hakim merumuskan ratio decendi dalam putusannya.

Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kualitas putusan hakim amat erat kaitannya dengan profesionalisme hakim. Penanda penting dari profesionalisme tersebut termasuk (i) asas-asas hukum yang berkaitan dengan norma hukum positif; (ii) kemahiran yuridis dan kemampuan berfikir aksiomatik; dan (iii) problematik atau berpikir ekstra yuridis yang dibangun melalui penalaran hukum yang tercermin dalam pertimbangan hukum putusannya.6 Pertimbangan hukum tersebut merupakan mahkota bagi hakim yang harus dipertimbangkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada pencari keadilan, dan masyarakat. Hakim bertanggung jawab atas putusan dan penetapan yang dibuatnya, bertanggung jawab membawa perubahan dalam suatu fenomena ketidakpercayaan masyarakat menjadi percaya kepada lembaga peradilan.7 Sudikno Mertokusumo berujar bahwa tinggi rendahnya kepercayaan masyarakat, sangat ditentukan seberapa jauh argumentatifnya 6 Syarif Mappiasse, 2015. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Jakarta: Kencana. Hal 107 Lihat tuntutan ini dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Page 18: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

10

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

putusan hakim atas klaim, bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (Res judicata pro veritate habetur).8 Penalaran hukum (legal reasoning) serta rumusan argumentasi hukum (legal argumentation) akan menggambarkan kecermatan dan tingkat intelektualitas hakimnya. Hakim dalam merumuskan putusannya tidak hanya berkutat pada silogisme formal belaka, bukan juga sekedar menafsir secara mekanis, melainkan sebagai pekerjaan intelektual yang membutuhkan analisis dan penafsiran secara komprehensif9.

Dengan tertib berpikir demikian, maka pertimbangan hukum putusan hakim, bukan hanya harus logis, rasional, dan ilmiah, melainkan juga sekaligus intuitif irasional.10 Rasional ilmiah artnya hakim harus memiliki kemampuan mengenal dan memahami kenyataan fakta serta aturan yang berlaku serta ilmunya.11 Adapun logis intelektual berarti menerapkan suatu aturan terhadap kasus konkrit dengan mengindahkan hukum-hukum logika. Intuitif rasional bermakna ada kepekaan nurani dan perasaan halus mendampingi rasio dan logika sehingga melahirkan keadilan.12

Pengembangan peraturan perundang-undangan menjadi tidak bermakna dan tidak disukai sebagai ciri rule of law manakala penegakannya tersendat-sendat. Dalam praktik, cara berhukum yang baik dan cara berhukum yang buruk, didominasi oleh tuntutan penegakan hukum di lapangan.13 Kinerja pengadilan adalah pilar

8 Sudikno Mertokusumo, 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hal 1739 Natsir Asnawi, 2014. Hermeneutika Putusan Hakim. Yogyakarta: UII Press. Hal 8-910 dris Rachmawati dan Imam Mulyana, 2012. Penemuan Hukum Nasional dan Internasional. Bandung: Penerbit Fikahati Aneska. Hal 63011 Ibid.12 Ibid.13 Baca: Utpal Bhattacharya dan Hazem Daouk. 2004. When No Law is Better than a Good Law. Working Paper. Available at [http://papers.

Page 19: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

11

negara hukum. Bisa jadi, sejumlah norma hukum ditegakkan dengan kaidah-kaidah hukum admistrasi, akan tetapi perlindungan kepemilikan dan penegakan kontrak, membutuhkan pengadilan sebagai sarana penyelesaian perselisihan diantara para pihak. Penghadapan dengan negara menjadi lebih mudah bagi pengadilan, manakala disertai dengan wewenang perlindungan warganegara dalam konstitusi maupun undang-undang.

Sejumlah sarjana telah meyakinkan pentingnya independensi pengadilan. Derajat independensi itu akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.14 Kinerja pengadilan yang bagus akan mendorong gerak pasar keuangan. Peran pengadilan yang baik akan mendorong pertumbuhan usaha kecil dan menengah setara dengan pertumbuhan korporasi-korporasi besar.15

Hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya karena hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit), melainkan mengetahui secara objektif fakta atau peristiwanya sebagai duduk perkara yang sebenarnya yang nantinya dijadikan dasar putusannya, bukan secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya. Untuk dapat memberikan putusan pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya dan peraturan hukum yang akan diterapkan.16 Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sarnpai ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=558021].14 Lars P. Feld dan Stefan Voigt, 2004, “Making Judges Independent—Some Proposals Regarding the Judiciary”, CESifo Working Paper No. 1260.15 Roumeen Islam, 2003. “Institutional Reform and the Judiciary: Which Way Forward”, World Bank Policy Research Working Paper 3134.16 Riduan Syahrani, 2000. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal 117

Page 20: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

12

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memilih potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari Negara. Memegang teguh doktrin legal audit yaitu seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas itu. Dalam lapangan hukum acara pidana misalnya, seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yang bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak memihak. Gagasan persamaan di muka hukum lebih diutamakan. Lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.

Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya. Kebebasan hakim tersebut diberikan dalam rangka mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia. Dengan kata lain, kebebasan Hakim berarti harus memperhatikan Pancasila, undang-undang, kepentingan para pihak dan ketertiban umum. Hakim dapat mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang.

Page 21: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

13

Konsekuensi sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, hakim honstitusi dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya haruslah berpedoman kepada undang-undang. Tugas hakim pada dasarnya dalam penegakan hukum akan sangat berkait erat dengan persoalan filsafat hukum sebagaimana dikatakan Roscoe Pound, bahwa salah satu objek filsafat hukum adalah ”The application of law”. Oleh karena itu, tugas hakim secara kongkret adalah mengadili perkara, yang pada dasarnya atau pada hakikatnya adalah melakukan penafsiran terhadap realitas, yang sering disebut sebagai penemuan hukum.17 Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai umbrella act kekuasaan kehakiman di Indonesia ada untuk mengatur keberadaan hakim konstitusi sekaligus mengatur apa saja fungsi, tugas, dan wewenang yang dibebankan kepada hakim konstitusi sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman di Indonesia, sehingga apapun tindakan hakim konstitusi haruslah berdasar pada aturan jelas yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman guna menjamin terlaksananya asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman seperti yang dicita-citakan oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari sebuah tafsir pula, misalnya Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional review kepada Mahkamah Konstitusi, ketentuan tersebut tidak mengandung kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-17 Lihat: Otje Salman, 2009. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah). Bandung: Penerbit Refika Aditama.

Page 22: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

14

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).

Senada dengan pandangan tersebut dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie18 bahwa fungsi hakim dalam menjalankan dan menerapkan hukum (the statute law) dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu: (i) untuk menemukan fakta-fakta yang terjadi dalam suatu kasus tertentu, dan kemudian (ii) untuk menemukan pengertian mengenai apa yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang agar dilakukan hakim dalam menangani kasus semacam itu.

Menurut Rosjidi Ranggawidjaja19 yang mengutip pendapat Kleintjes bahwa tersimpul adanya wewenang untuk menyelidiki dan menilai isi peraturan perundang-undangan yang diuji maupun peraturan perundang-undangan yang menjadi batu pengujinya. Dalam hal suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka di dalam tata urutan perundang-undangan yang ada harus diartikan bahwa peraturan yang lenih tinggi derajatnya tersebut oleh penguji telah dilakukan penafsiran. Dalam melakukan pengujian lembaga yang berwenang juga mempunyai wewenang untuk menafsirkan karena menguji isi peraturan perundang-undangan berarti membandingkan dan di dalamnya termasuk “process of discovering and expounding the meaning of the articles of laws and the constitution”. Dengan demikian lewat wewenang melakukan pengujian materiil, lembaga peradilan juga mempunyai wewenang untuk menafsirkan ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 18 Jimly Asshiddiqie, 2011. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta. Sinar Grafika: Hal 17519 Rosjidi Ranggawidjaja, 1996. Pengantar Ilmu Perundang-undangan. Bandung: Mandar Maju. Hal: 47

Page 23: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

15

Ni’matul Huda justru mempertanyakan benarkah Mahkamah Konstitusi lembaga penafsir konstitusi dan sejauhmana kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan konstitusi, ketentuan ini tidak jelas sehingga diperlukan rambu-rambu yang tegas dan jelas.20

Menurut Mahfud MD bahwa ketidakjelasan tolok ukur dalam memaknai pertentangan norma hukum yang berdasarkan pada pemaknaan, kriteria, penggunaan penafsiran original intent sebagai metode penafsiran dalam pengujian norma hukum, hal ini terkait dengan teori apa yang menjadi dasar dan semanggat dalam perumusan konstitusi maupun pembentukan peraturan perundang-undangan. Hakim boleh menggunakan original intent suatu produk hukum, hal ini berdasarkan fakta bahwa secara teoritis pengujian norma hukum tersebut bertujuan untuk mengetahui makna atau maksud utama/ maksud sebenarnya dari isi konstitusi atau peraturan perundang-undangan.

Menafsirkan konstitusi berarti memberikan arti atau makna dari suatu istilah atau kumpulan istilah dalam rumusan pasal atau ayat. Biasanya dilakukan dengan cara menguraikan atau menjelaskan maksud dari sesuatu hal yang dianggap belum jelas. Selain itu, menafsirkan konstitusi atau undang-undang berarti memberikan keterangan atau penjelasan agar dapat dipahami maksud atau artinya.21 Penafsiran secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu: pertama, penafsiran harfiah, yaitu semata-mata menggunakan kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya dan tidak keluar dari litera legis. Kedua, fungsional atau biasa diartikan interpretasi bebas yaitu interpretasi yang tidak mengikatkan diri sepenuhnya pada kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya melainkan mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari

20 Ni’matul Huda, 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Kelima. Jakarta: Penerbit Rajawali. Hal 27621 Rosjidi Ranggawidjaja, 1996. Pengantar Ilmu Perundang-undangan. Bandung: Mandar Maju. Hal 34

Page 24: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

16

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

suatu peraturan dengan berbagai sumber lain yang dianggap bisa memberikan penjelasan yang lebih memuaskan.22

Pada tanggal 18 Februari 2015, Mahkamah Konstitusi baru saja menjalankan wewenang yang diamanatkan konstitusi dan undang-undang terkait kepadanya yaitu memberikan putusan terhadap pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial Review). Dalam hal ini Undang-Undang yang dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Putusan Mahkamah Konstitusi ini menarik karena hakim konstitusi memberikan penafsiran terhadap Pasal-pasal yang dianggap sebagai privatisasi terselubung terhadap pengelolaan sumber daya air yang mempunyai potensi untuk dilakukannya komersialisasi sumber daya air di Indonesia. Komersialisasi yang dimaksud dalam hal ini adalah keterlibatan pihak asing dalam mengelola sumber daya air yang ada di Indonesia, dimana para pihak asing yang mengelola sumber daya air di Indonesia tersebut menekankan profit oriented dalam mengelola sumber daya air yang ada di Indonesia.

22 Tim Peneliti PKK FH Universitas Jenderal Soedirman, 2006: 199

Page 25: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

17

1. tinjauan tentang Penafsiran Hukuma. Pengertian Penafsiran Hukum

Penafsiran hukum (legal interpretation) senantiasa diperlukan dalam penerapan hukum tertulis untuk menemukan dan membentuk hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan untuk memperjelas tentang ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang sudah ada, yang dapat diberlakukan bagi suatu aspek kehidupan tertentu. Pembentukan hukum bertujuan untuk membentuk, menyusun atau membangun hukum bagi aspek kehidupan tertentu yang belum ada hukumnya. Penafsiran hukum hendaknya diikuti dengan penalaran hukum (legal reasoning), yaitu upaya yang dilakukan untuk memberi alasan dan penjelasan hukum agar hasil penafsiran hukum masuk akal dan dapat dipahami secara logik. Hasil penafsiran dan penalaran hukum tersebut disampaikan dengan menggunakan argumentasi hukum yang rasional agar kepastian hukum, keadilan, dan kebenaran dapat ditegakkan.

Kehendak hukum adalah kehendak peraturan perundang-undangan yang secara nyata tertulis secara “hitam-putih” di dalam ketentuan-ketentuan hukumnya. Penekanan pada hukum tertulis tersebut dikarenakan pengaruh dari aliran legisme terhadap sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) yang beriaku di Indonesia, yang menyatakan bahwa hanya hukum tertulis saja yang merupakan hukum. Ketentuan hukum tertulis yang dipahami oleh

Bab 2

PIJAKAN PUSTAKA

Page 26: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

18

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

orang awam sebagai apa yang tertera secara “hitam-putih” di dalam peraturan perundang-undangan menunjukan bahwa kehendak hukum tersebut adalah tegaknya kepastian hukum.

Kesesuaian hasil penafsiran hukum dengan kehendak masyarakat maksudnya adalah bahwa hasil penafsiran tersebut hams sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena rasa keadilan dari berbagai masyarakat itu bermacam-macam, maka penyerasian rasa keadilan tersebut perlu mengacu kepada kepastian hukum yang secara “hitam-putih” tertera di dalam peraturan perundang-undangan. Disamping itu, hasil penafsiran juga harus selaras dengan kehendak moral, yaitu kebenaran. Jadi, hasil penafsiran hukum yang masuk akal atau sesuai dengan “nalar” adalah hasil penafsiran hukum yang dapat menegakkan kepastian hukum, memenuhi rasa keadilan masyarakat, dan mencerminkan kebenaran.

Dalam sistem hokum tertulis, kehendak hukum (kepastian hukum) harus dicari atau diketemukan terlebih dahulu, baru setelah itu kehendak masyarakat (keadilan) dan kehendak moral (kebenaran). Setelah kita tahu kehendak hukum yang sebenarnya, barulah kehendak hukum tersebut dikombinasikan dengan kehendak masyarakat dan kehendak moral. Kehendak masyarakat dan kehendak moral tersebut dapat diketemukan di dalam kebiasaan hidup sosial kemasyarakatan. Nilai-nilai yang terkandung di dalam ketiga kehendak tersebut dapat dipahami dari sikap dan perilaku anggota masyarakat terhadap hukum tertulis dan tak tertulis. Penyatuan ketiga kehendak dengan mengacu kepada sistem hukum yang berlaku, mempertimbangkan dampak hukum yang timbul, memperhatikan kendala dan hambatan hukum yang dihadapi, serta mempertimbangkan keberadaan ius constitutum dan ius contituendum merupakan arah dari kegiatan penafsiran hukum.

Padanan kata dari penafsiran adalah interpretasi. Bila dikaitkan dengan ilmu hukum, maka penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan

Page 27: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

19

kesan atau makna dari suatu norma hukum. Penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.23

Penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-hal yang dihadapi secara konkret.24 Bahkan teks undang-undang itu tidak pernah jelas dan selalu membutuhkan penafsiran. Barang siapa yang mengatakan bahwa teks undang-undang sudah sangat jelas, sehingga tidak membutuhkan interpretasi lagi, sebenarnya yang menyatakan demikian, sudah melakukan interpretasi sendiri. Pernyataannya tentang jelasnya teks, sudah merupakan hasil interpretasinya terhadap teks tersebut.25

Pentingnya penafsiran hukum dalam ilmu hukum dan dampaknya yang dapat bersifat luas karena dapat menjadi sarana pengubah, penambah, atau pengurang makna konstitusi, mengharuskan penafsiran hukum dilakukan secara bijaksana dan mempertimbangkan berbagai faktor baik di dalam maupun dari luar hukum. Bila kita akan melakukan penafsiran hukum maka yang pertama-tama harus dilakukan adalah meneliti apa niat (intensi) dari penyusunnya26. Penafsiran hukum merupakan kegiatan yang

23 Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal 15424 Jimly Asshiddiqie, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hal 27325 Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis dan Sosiologis, Jakarta: Gunung Agung. Hal 146-147 26 R.M. Ananda. B. Kusuma. “Bagaimana Menginterpretasikan Konstitusi Kita” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 1 No 3: 2005. Hal 157

Page 28: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

20

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

sering dilakukan oleh kalangan yuris. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Patterson yang menyatakan bahwa:27

“Interpretation is a familiar feature of law and legal practice. For some legal theorists, interpretation is a central even foundational aspect of law”.

Interpretasi hukum terjadi, apabila terdapat ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat diterapkan pada kasus konkret yang dihadapi, atau metode ini dilakukan dalam hal peraturannya sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkret atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), konflik antar norma hukum (antinomy normen), dan ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan. Interpretasi terhadap tek peraturan perundang-undangannya pun masih tetap berpegang pada bunyi teks tersebut28.

Menurut Dharma Pratap sebagaimana dikutip oleh Yudha Bhakti Ardiwisastra29, Interpretasi merupakan penjelasan setiap istilah dari suatu perjanjian apabila terdapat pengertian ganda atau tidak jelas dan para pihak memberikan pengertian yang berbeda terhadap istilah yang sama atau tidak dapat memberikan arti apa pun terhadap istilah tersebut. Tujuan utama interpretasi adalah menjelaskan maksud sebenarnya dari para pihak atau meruapakan suatu kewajiban memberikan penjelasan mengenai maksud para pihak seperti dinyatakan dalam kata-kata yang digunakan oleh para pihak dilihat dari keadaan-keadaan yang mengelilinginya.

Menurut Sudikno Mertokusumo, Interpretasi atau penafsiran

27 Dennis Patterson. “Interpretation In Law”. Departments Of Law And Philosophy. No 1:2003. Hal 228 Jazim Hamidi, 2005. Hermeneutika Hukum – Sejarah Filsafat Dan Metode Tafsir. Malang: UB Press. Hal 5229 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Dibalik Putusan Hakim, Kajian Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana. Sidoarjo: Citramedia. Hal 19

Page 29: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

21

merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan gambling tentang teks undang-undang, agar ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada peristiwa hukum tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu berlaku30.

Penafsiran hukum (dilihat dari bentuk hukumnya atau rechtsvorm) dapat bermakna luas, baik itu penafsiran terhadap hukum yang tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak tertulis (ongeschreven recht). Akan tetapi dalam praktik, pembedaan antara penafsiran konstitusi atau penafsiran hukum itu tidak dapat ditarik secara tegas, karena ketika hakim menafsirkan konstitusi, ia tidak dapat dibatasi hanya dengan melakukan penafsiran terhadap norma-norma hukum tertulisnya saja atau sesuai dengan rumusan teks-nya saja, melainkan dapat saja ia melakukan penafsiran terhadap norma-norma hukum konstitusi yang tidak tertulis, seperti asas-asas hukum umum (elgemene rechtsbeginselen) yang berada di belakang rumusan norma-norma hukum tertulis itu. Dalam ilmu hukum dan konstitusi, interpretasi atau penafsiran adalah metode penemuan hukum (rechtsvinding) dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.

Dalam studi ilmu hukum tata negara, penafsiran suatu naskah hukum (konstitusi dan dokumen hukum lainnya) merupakan suatu hal yang niscaya, karena gagasan dan semangat yang terkandung dalam suatu naskah hukum terkait dengan ruang dan waktu, dalam arti erat kaitannya dengan situasi dimana dan ketika naskah hukum itu diterapkan. Kebutuhan akan penafsiran tersebut timbul karena konstitusi tidak memuat semua ketentuan normatif yang diperlukan

30 Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Op.cit, Hal 13

Page 30: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

22

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

dalam rangka penataan kehidupan bernegara. Untuk melakukan penafsiran konstitusi diperlukan metode dan teknik tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah, sehingga upaya menegakkan konstitusi sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman yang ada dan tidak bertentangan dengan semangat rumusan konstitusi yang lazim digunakan dalam rumusan normatif31.

Dalam kaitannya dengan interpretasi, menarik disimak mengenai prinsip contextualism dalam interpretasi, seperti yang dikemukakan oleh Ian Mcleod, yang mengemukakan adanya 3 (tiga) asas-asas dalam contextualism, yaitu sebagai berikut:32

1) Asas Noscitur a Sociis, yaitu suatu hal yang diketahui dari associated nya, yang berarti suatu kata harus diartikan dalam rangkaiannya.

2) Asas Ejusdem Generis, yang berarti sesuai genusnya, yaitu kata dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya.

3) Asas Expressio Unius Exclusio Alterius, yaitu kalau satu konsep digunakan untuk satu hal, maka berarti tidak berlaku untuk hal yang lainnya.

Pada awalnya metode interpretasi oleh Bruggink dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yaitu:33

1) Interpretasi Bahasa/Gramatikal (de taalkundige interpretative).

2) Interpretasi Historis Undang-Undang (de wetshistorische interpretatie).

3) Interpretasi Sistematis (de sistematische interpretative).4) Interpretasi Kemasyarakatan atau Interpretasi Teleologis /

Sosiologis (de maatshappelijke interpretatie).

Selanjutnya dikenal pula interpretasi komparatif dan 31 Jimly Asshiddiqie, 1998. Teori Dan Aliran Penafsiran Konstitusi, Jakarta: Ind-hill,co. hal 1632 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005. Argumentasi Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal 26-2733 Ibid, Hal 26

Page 31: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

23

antisipatif atau futuristic. Sementara itu metode interpretasi yang dianut dikenal di Indonesia saat ini selain keenam metode Interpretasi tersebut, juga ada interpretasi restriktif dan ekstensif. Selain itu menurut Yudha Bhakti Ardiwisastra dikenal pula adanya interpretasi autentik, interdisipliner, dan multidisipliner34.

b. Penafsiran Hukum dalam Penemuan Hukum

Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-Undang. Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri35.

Istilah penemuan hukum dalam praktik di pengadilan sering diperbandingkan dengan beberapa istilah seperti pelakssanaan hukum, penerapan hukum, penciptaan hukum, atau pembentukan hukum, padahal masing-masing istilah tersebut tidaklah sama karena mempunyai perbedaan-perbedaan. Sudikno Mertokusumo, memberikan pengertian dari beberapa istilah tersebut, yaitu sebagai berikut:36

1) Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum tanpa adanya sengketa atau pelanggaran, seperti pelaksanaan hukum oleh setiap warga negara dalam kehidupannya sehari-hari seperti menyeberang di jembatan

34 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Op.cit, Hal 11-1235 Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Loc.cit, Hal 1336 Sudikno Mertokusumo, 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Hal 36-37

Page 32: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

24

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

penyeberangan, berjalan di trotoar, dan lain-lain ataupun yang juga dilaksanakan oleh aparat Negara, seperti petugas polisi yang mengatur lalu-lintas. Selain itu, pelaksanaan hukum terjadi pada sengketa, seperti pekerjaan hakim yang mengadili suatu sengketa di persidangan. Hal ini sekaligus pula merupakan penegakkan hukum (law enforcement).

2) Penerapan hukum, yang berarti menerapkan (peraturan) hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya, sehingga tidak mungkin secara langsung menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkret, jadi terlebih dahulu peristiwa konkret dijadikan peristiwa hukum agar peraturan hukumnya dapat diterapkan. Dalam pandangan kaum positivis, dikatakan hakim adalah corong undang-undang karena kewajibannya hanya menerapkan undang-undang, hakim adalah subsumptive automaat.

3) Pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-peraturan umum yang berlaku umum bagi setiap orang. Lazimnya pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Tetapi hakim dimungkinkan pula membentuk hukum, jikalau hasil putusannya merupakan penemuan hukum yang di kemudian hari menjadi yurisprudensi tetap yang diikuti oleh para hakim selanjutnya dan menjadi pediman bagi masyarakat, yaitu putusan hakim yang mengandung 2 (dua) unsur sekaligus, yaitu merupakan penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa konkret dan merupakan peraturan hukum untuk waktu mendatang.

4) Penciptaan hukum, merupakan istilah yang dipandang kurang tepat karena memberi kesan bahwa hukumnya itu sama sekali tidak ada, yang kemudian diciptakan, atau dari tidak ada menjadi ada. Padahal hukum itu bukanlah selalu berupa kaidah baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, tetapi dapat pula berupa perilaku atau peristiwa dan

Page 33: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

25

di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya, yang harus diketemukan atau digali kaidah atau hukumnya.

Paul Scholten menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechsvervijning (penghalusan/penkronketan hukum)37. Penemuan hukum menurut Mauwissen, merupakan pengembangan hukum (rechtsboefening) adalah kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di masyarakat, yang meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan, merupakan, menemukan, menafsirkan secara sistematis, mempelajari, dan mengajarkan hukum38.

Amir Syamsudin seorang praktisi hukum yang bergiat sebagai advokat, memberikan pengertian bahwa penemuan hukum merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim dalam upaya menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu, yang digunakan agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum, sehingga hasil yuang diperoleh dari proses itu dapat diterima dan dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum39.

Penemuan hukum mempunyai cakupan wilayah kerja hukum yang sangat luas, karena dapat dilakukan oleh siapa saja, baik itu perorangan (individu), ilmuwan/peneliti hukum, para penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat), dosen, notaris,

37 Achmad Ali, 2002. Loc.cit, Hal 14638 Arief Sidharta, 2007. Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum: Teori Hukum Dan Filsafat Hukum. Bandung: Refika Aditama. Hal 61-6339 Sudikno Mertokusumo, 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty. Hal 37

Page 34: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

26

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

dan lainnya40. Problematika yang berhubungan dengan penemuan hukum umumnya dipusatkan di sekitar hakim dan pembentuk undang-undang. Namun, dalam kenyataannya, beberapa profesi dapat saja menemukan hukum, sebagaimana tersebut diatas. Profesi yang terutama sekali melakukan penemuan hukum adalah hakim, karena setiap harinya hakim dihadapkan pada peristiwa konkret atau konflik yang harus diselesaikannya41.

Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara. Penemuan hukum oleh hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuwan hukum pun mengadakan penemuan h ukum. Hanya kalau hasil penemuan hukum oleh hakim itu adalah hukum, maka hasil penemuan hukum oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum melainkan ilmu atau doktrin. Sekalipun yang dihasilkan itu bukanlah hukum, namun disini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh karena doktrin ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya, menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum melainkan sumber hukum42.

Menurut Utrecht43 apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus bertindak bersdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim inilah yang dinamakan dengan penemuan hukum. Penemuan hukum oleh hakim dilakukan dalam rangka tugas dan kewenangan dari hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang dihadapka kepadanya. Penemuan hukum oleh hakim dianggap

40 Jazim Hamidi, 2005. Op.cit, Hal 5141 Sudikno Mertokusumo, 2001. Op.cit, Hal 3842 Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.cit, Hal 16343 Utrecht, 1986. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar hal 248

Page 35: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

27

yang mempunyai wibawa. Hasil penemuan oleh hakim merupakan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena dituangkan dalam bentuk putusan44.

2. tinjauan tentang Kekuasaan Kehakimana. Pengertian Kekuasaan Kehakiman

Dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat). Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif. Kekuasaan kehakiman diwujudkan dalam tindakan pemeriksaan, penilaian dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan nilai situasi konkret dan menyelesaikan persoalan atau konflik yang ditimbulkan secara imparsial berdasarkan hukum sebagai patokan objektif.45

Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau “rules and procedures” (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu, untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip “frijsermessen”’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri “beleid regels” atau “policy rules” yang berlaku internal secara

44 Sudikno Mertokusumo & Pitlo A, 1993. Op.cit, Hal 545 Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal 93

Page 36: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

28

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere), ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan.

Oleh sebab itu, legitimasi hukum adalah kehendak rakyat yang tertinggi. Tidak mengherankan bahwa tujuan ini sejak awal menjadi cita-cita pendiri negara Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum, rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif. Sebaliknya, rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan. Pemngutan suara itu akan menghasilkan lembaga negara yang diberi kekuasaan untuk membentuk undang-undang.

Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri. Jargon yang kemudian dikembangkan sehubungan dengan ini adalah “kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Bahkan, dalam sistem ‘participatory democracy’, dikembangkan pula tambahan “bersama rakyat”, sehingga menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat”.

Dalam hubungan dengan lingkup kegiatannya, ide kedaulatan rakyat meliputi proses pengambilan keputusan, baik

Page 37: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

29

di bidang legislatif maupun di bidang eksekutif. Artinya, rakyat mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya suatu ketentuan hukum dan mempunyai otoritas tertinggi untuk menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum itu. Dengan perkataan lain, rakyat berdaulat, baik dalam perencanaan, penetapan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan produk hukum yang mengatur proses pengambilan keputusan dalam dinamika penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang berkaitan dengan nasib dan masa depan mereka sendiri sebagai rakyat negara yang bersangkutan. Dalam paham kedaulatan rakyat, yang didaulat dari segi politik tentu saja bukanlah person rakyat itu sendiri, melainkan proses kehidupan kenegaraan sebagai keseluruhan. Hubungan kedaulatan bukan lagi terjadi antara Raja dengan Rakyatnya, tetapi antara rakyat dengan proses pengambilan keputusan dalam negara itu sebagai keseluruhan. Oleh sebab itu, tidak lagi relevan untuk memisahkan kedua konsep “imperium” versus “dominium” itu secara diametral. Rakyat menurut paham modern sekarang, berdaulat baik di lapangan politik maupun di lapangan perekonomian. Dengan demikian, sebagaimana kekuasaan Raja dalam paham Kedaulatan Raja yang meliputi aspek politik dan ekonomi, maka kedua aspek politik dan ekonomi ini tetap tercakup dalam konsep kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat dalam paham Kedaulatan Rakyat. Artinya, baik dalam bidang politik maupun di bidang ekonomi, rakyatlah yang berperan sebagai pengambil keputusan tertinggi. Karena itu, dalam hubungannya dengan “subject and sovereign”, kedua pengertian kekuasaan di bidang politik dan di bidang ekonomi tidak dapat dipisahkan. Kedaulatan rakyat di bidang politik disebut demokrasi politik, sedangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi disebut demokrasi ekonomi.

Pengertian mengenai kekuasaan tertinggi itu sendiri, tidak perlu dipahami bersifat monistik dan mutlak dalam arti tidak

Page 38: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

30

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

terbatas, karena sudah dengan sendirinya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang mereka tentukan sendiri secara bersama-sama yang dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka susun dan sahkan bersama, terutama mereka mendirikan negara yang bersangkutan. Inilah yang disebut dengan “kontrak sosial” antara warga masyarakat yang tercermin dalam konstitusi. Konstitusi itulah yang membatasi dan mengatur bagaimana kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan dan diselenggarakan dalam kegiatan kenegaraan dan kegiatan berpemerintahan sehari-hari.

Pada hakikatnya, dalam ide kedaulatan rakyat itu, tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudisial. Rakyatlah yang berwenang merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta penilaian terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu. Bahkan lebih jauh lagi, untuk kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala kegiatan ditujukan dan diperuntukkannya segala manfaat yang didapat dari adanya dan berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah gagasan kedaulatan rakyat atau demokrasi yang bersifat “total” dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat. Hanya saja, karena kebutuhan yang bersifat praktis, gagasan demokrasi ini dianggap perlu dilakukan melalui prosedur perwakilan. Dari sinilah munculnya ide lembaga perwakilan atau lembaga parlemen dalam sejarah. Dalam sistem “representative democracy” ini tentu ada saja usaha untuk mengebiri pengertian kedaulatan rakyat itu.

Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Ketiga pada tahun 2001, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan,

Page 39: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

31

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.

Semula gagasan Negara Hukum terdapat dalam penjelasan UUD 1945. Soepomo selaku perancang utamanya, menulis bahwa Indonesia adalah “rechtsstaat” bukan “machtsstaat.” Hampir lima tahun kemudian, Indonesia mengadopsi konstitusi baru, yang juga dirancang oleh Soepomo, dan di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat itu sekali lagi ditekankan bahwa Indonesia Merdeka adalah negara hukum. Lebih eksplisit lagi, UUD Sementara 1950 dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa Republik Indonesia adalah negara-hukum yang demokratis, seperti yang juga diamanatkan dalam Perubahan Ketiga atas UUD 1945, yang berlaku lagi sejak tahun 1959.

Dari posisi khusus negara hukum dalam UUD Indonesia, dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah ini menempati posisi yang istimewa dalam pemikiran hukum tata negara Indonesia. Anehnya, istilah ini sangat berbeda terjemahannya dalam institusi tata negara yang diciptakan oleh masing-masing Konstitusi tersebut. Walaupun semuanya menyatakan bentuk negara Indonesia adalah negara hukum, institusi dan hak yang mereka definisikan sangat berbeda. Sehingga menjadi wajar jika pertanyaan apa yang dimaksud dengan istilah negara hukum terus muncul dalam perdebatan para pakar hukum tata negara maupun di diskusi politik dan bahkan di media massa. Sekarang ini, banyak pakar di Indonesia tidak ingin menggunakan istilah negara hukum lagi karena maknanya yang kontroversial.

Page 40: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

32

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Demi mempermudah, istilah negara hukum dalam tulisan ini akan digunakan untuk menyebutkan rule of law Inggris dan Amerika, rechtsstaat Jerman dan Belanda, negara hukum Indonesia, dan lain-lain. Keputusan ini mungkin menyiratkan bahwa tulisan ini memperlakukan negara hukum sebagai suatu yang nonesensialis atau konsep “kosong.” Akan tetapi, memang sudah ada sebuah pendasaran umum yang kokoh untuk mengawali penyelidikan terhadap negara hukum. Kendati ada ketidaksepakatan mengenai definisi-definisi negara hukum, namun hampir semua pihak sepakat pada dua fungsi yang diberikan oleh negara hukum.

Yang pertama adalah membatasi kesewenang-wenangan dan penggunaan yang tidak semestinya dari kekuasaan negara. Negara hukum adalah konsep payung bagi beberapa instrumen hukum dan kelembagaan demi melindungi warga negara dari kekuasaan negara. Fungsi negara hukum ini pertama kali diajukan oleh Plato dan Aristoteles, namun lenyap selama lebih dari seribu tahun, kemudian “ditemukan kembali” dan dielaborasi oleh ahli-ahli keagamaan, khususnya Thomas Aquinas, sepanjang Abad Pertengahan. Inti gagasannya adalah kedaulatan dibatasi oleh hukum, gagasan yang semenjak itu dielaborasi dengan beragam cara. Fungsi kedua tidak mengacu balik pada filsafat Yunani, tetapi masuk melalui “pintu belakang” pada masa Pencerahan. Fungsinya adalah untuk melindungi kepemilikan dan keselamatan warga dari pelanggaran dan serangan warga lainnya.

Walaupun demikian, ada alasan-alasan yang kuat untuk

Page 41: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

33

tetap membiarkan fungsi kedua ini. Pertama adalah bahwa fungsi perlindungan kepemilikan warga ini menjadi sentral pada banyak diskusi terkini yang memberi perhatian pada negara hukum. Membuangnya akan menghilangkan pokok-pokok dari perdebatan- perdebatan yang tergantung di tiang pancang negara hukum. Alasan tambahan yang bisa diberikan adalah posisi sentral bahwa hak asasi manusia yang menurut pertimbangan banyak orang menjadi bagian integral dari negara hukum, telah semakin dimanfaatkan sebagai standar utama dalam hubungan antara warga dan warga lainnya; bukan hanya di antara negara dengan warga negaranya. Isunya tidak lagi sekadar bagaimana negara memperlakukan warganya, namun juga bagaimana warga memperlakukan sesama warga.

Hal ini mempunyai implikasi penting bagi negara, yang harus mencegah warga negaranya melanggar hak asasi sesama warga negara. Sejak banyak penulis mendiskusikan isu-isu ini dalam istilah negara hukum, menjadi masuk akal bila kita menimbang fungsi kedua sebagai isu sentral dari negara hukum juga.

Penting pula untuk melihat bahwa fungsi-fungsi ini cenderung bertentangan. Stephen Holmes secara meyakinkan berpendapat bahwa pembatasan kekuasaan negara sesungguhnya mening- katkan keefektifan dari kekuasaan itu. Negara kerap merasa bahwa mereka memerlukan kekuasaan yang lebih besar dengan dalih bahwa mereka perlu melindungi warga dari sesamanya. Ketegangan antara pengelolaan negara (governability) dan tujuan negara hukum untuk membatasi kekuasaan adalah suatu masalah yang selalu muncul dalam perdebatan-perdebatan mengenai upaya mempromosikan negara hukum.

Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making) dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya. Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula

Page 42: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

34

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai “the guardian” dan sekaligus “the ultimate interpreter of the constitution.”

Dalam kepustakaan berbahasa Indonesia telah populer dengan istilah “negara hukum”. Ada pendapat yang mengatakan istilah negara hukum merupakan terjemahan dari istilah “rechtsstaat” atau “Rule of Law”, sehingga menyamakan pengertian negara hukum dengan rechtsstaat atau rule of law.

Menurut Philipus Hadjon dari segi konsepnya negara hukum tidak dapat disamakan dengan rechtsstaat dan Rule of law. Menurutnya Rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme, yakni kekuasaan dari raja yang sewenang-wenang untuk mewujudkan negara yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, atau sifatnya revolusioner. Lain halnya dengan rule of law berkembang secara evolusioner. Selanjutnya konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum Kontinental (civil law), sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum common law. Dengan demikian istilah Rechtsstaat dan Rule of law tidak bisa disamakan begitu saja dengan negara hukum (Pancasila). Meskipun berbeda konsep antara rechtsstaat dan Rule of law, namun keduanya mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu “pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia”, dengan sistem hukumnya sendiri (berbeda).

Jika melihat sejumlah literatur hukum tata negara, di kalangan kebanyakan ahli hukum masih sering terpaku kepada unsur-unsur pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad ke-19 dan abad ke-20. Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian Negara Hukum (Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan empat unsur “rechtsstaat,” di mana unsurnya yang keempat adalah adanya “administratieve rechtspraak” atau peradilan tata usaha Negara sebagai ciri pokok Negara Hukum. Tidak ada yang mengaitkan unsur pengertian Negara Hukum Modern itu dengan keharusan adanya kelembagaan atau setidak-tidaknya fungsi Mahkamah

Page 43: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

35

Konstitusi sebagai lembaga pengadilan tata Negara. Jawabannya ialah karena konsepsi Negara Hukum (Rechtsstaat) sebagaimana banyak dibahas oleh para ahli sampai sekarang adalah hasil inovasi intelektual hukum pada abad ke 19 ketika Pengadilan Administrasi Negara itu sendiri pada mulanya dikembangkan; sedangkan Mahkamah Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga tersendiri di samping Mahkamah Agung atas jasa Professor Hans Kelsen pada tahun 1919, dan baru dibentuk pertama kali di Austria pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika pengadilan tata usaha Negara merupakan fenomena abad ke-19, maka pengadilan tata negara adalah fenomena abad ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi salah satu ciri utama Negara Hukum kontemporer. Oleh karena itu, patut kiranya dipertimbangkan kembali untuk merumuskan secara baru konsepsi Negara Hukum modern itu sendiri untuk kebutuhan praktek ketatanegaraan pada abad ke-21 sekarang ini.

Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan sebagai negara hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum yang dikenal di Barat. Jika membaca dan memahami apa yang dibayangkan oleh Soepomo ketika menulis penjelasan UUD 1945 jelas merujuk pada konsep rechtstaat. Karena negara hukum dipahami sebagai konsep Barat, Satjipto Raharjo46 sampai pada kesimpulan bahwa negara hukum adalah konsep moderen yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara hukum adalah bangunan yang “dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut menurut Satjipto, proses menjadi negara hukum bukan menjadi bagian dari sejarah sosial politik bangsa kita di masa lalu seperti terjadi di Eropa.

Kekuasaan kehakiman dikenal dengan istilah kekuasaan

46 Satjipto Rahardjo, 2006, Op.Cit, Hal 48

Page 44: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

36

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

yudikatif. Sebagai bagian dari pemisahan kekuasaan, kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang Undang Dasar 1945, dalam Pasal 24 ayat (1) yang berbunyi:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimaksud dengan Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Menurut John Alder, dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri47. Prinsip pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi peradilan, dimana hakim dapat bekerja secara independen dari pengaruh kekuasaan legislatif maupun eksekutif.

Suatu peradilan yang independen adalah bagian dari seluruh definisi tentang negara hukum, kecuali definisi yang diberlakukan dalam negara-negara otoriter, seperti Vietnam atau Tiongkok. Definisi-definisi yang terdapat pada negara-negara tersebut berargumentasi bahwa peradilan harus senantiasa melayani kepentingan negara, yang tujuannya tidak berbeda dari negara-negara nonotoriter, namun negara- negara otoriter tersebut kemudian berasumsi bahwa negara sama artinya dengan eksekutif. Meskipun demikian, selain dari pandangan tersebut, suatu peradilan yang independen secara umum dianggap sebagai elemen yang esensial dari negara hukum.

47 Jimmly Asshiddiqie, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Hal 45

Page 45: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

37

Fakta bahwa definisi selalu berbicara tentang independensi peradilan daripada ketidakberpihakannya (impartiality) mencerminkan bahwa prioritas sebagian besar definisi tentang negara hukum masih dihubungkan dengan perlindungan atas warga negara terhadap eksekutif (dan terhadap badan legislatif walaupun tidak sejauh seperti terhadap badan eksekutif). Independensi adalah cara-cara untuk mencapai ketidakberpihakan, suatu konsep yang secara mengejutkan tidak banyak dibahas dalam literatur teoretis. Meskipun sebagian besar literatur tersebut membahas pengadilan-pengadilan, beberapa dari literatur tersebut memperhatikan masalah independensi yang berkaitan dengan mediasi dan bentuk-bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, yang biasanya menghasilkan peringatan-peringatan tentang adanya perbedaan kekuasaan antara pihak yang bersengketa.

Untuk menjadi efektif, peradilan tidak hanya harus independen namun juga harus mudah diperoleh, suatu kualitas kedua yang disyaratkan oleh elemen ini. Hal ini berarti bahwa keseluruhan per- debatan tentang akses terhadap peradilan dan bagaimana hal tersebut dapat dicapai memang relevan dengan konteks negara hukum. Oleh karena sebagian besar literatur memang terkait dengan akses terhadap pengadilan, hal ini menjadi wajar. Perkembangan terakhir yang menjadikan akses terhadap keadilan sebagai akses terhadap ragam lembaga yang lebih luas, termasuk lembaga-lembaga nonpemerintah, menunjuk pada dua masalah yang relevan dengan pembahasan ini: pertama, bahwa peradilan tidak memiliki monopoli atas keadilan, dan kedua, bahwa relasi antara peradilan dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya juga relevan dengan perdebatan tentang negara hukum. Meskipun demikian, hanya sedikit yang berpendapat bahwa pada akhirnya suatu lembaga peradilan yang independen dapat dikesampingkan.

Di sisi lain, konstitusionalisme sering disandingkan dengan negara hukum (rule of law). Akibatnya, membawa pada makna

Page 46: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

38

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

yang agak negatif terhadapnya. Sesungguhnya, konstitusionalisme menyiratkan bahwa negara mempunyai hukum sebagai senjata yang dahsyat tanpa jadi sasaran dari segala pembatasan yang secara inheren terkandung di dalamnya.48 Walau demikian, jika kita membayangkan bahwa pemerintah memerintah dengan hanya keputusan individual sehingga jelaslah bahwa persyaratan rule of law adalah vital. Negara semacam Tiongkok sudah hampir mengakui versi paling sempit ini dari negara hukum dan tidak sulit untuk melihat kelebihannya ketika kita membandingkannya dengan situasi pada masa Revolusi Kebudayaan. Konstitusionalisme lebih jauh lagi menganjurkan bahwa hukum pada prinsipnya harus bersifat umum dalam muatannya dan harus diketahui. Keperluan bagi hukum yang bersifat umum menjadi sangat jelas dari kritik terhadap rezim yang “memerintah dengan pengecualian” (rule by exception). Dalam situasi ini hukum-hukum yang bersifat umum disisihkan untuk memberi jalan bagi keputusan individual, yang menyingkirkan jaminan pada kepastian yang ada di dalam persyaratan dari pemerintahan dengan hukum. Tindakan yang dilakukan dalam “pemerintahan dengan pengecualian” menyiratkan bahwa konstitusionalisme dapat dikurangi dengan cara-cara legal.

Mirip dengan itu, Shapiro telah mengungkap bagaimana dalam penyelesaian perselisihan, kesepakatan para pihak mengenai aturan yang akan diterapkan dan kesepakatan tentang pihak ketiga yang akan memutus sengketa telah tergantikan oleh hukum dan jabatan. Tindakan ini harus dilakukan pemerintah agar dapat mengendalikan masyarakat dengan memutus sengketa sesuai aturan yang telah dibuat oleh pemerintah. Hal ini juga menyiratkan bahwa segala bentuk kewenangan yang tersentralisasi akan berhadapan, pada derajat tertentu, dengan negara hukum.

Pengertian kekuasaan kehakiman menurut Muladi, mengandung pengertian tidak hanya otoritas hukum tetapi juga

48 Tamanaha, Op.Cit., Hal. 92.

Page 47: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

39

kewajiban hukum yang merupakan kekuasaan yang melekat pada hakim dan pengadilan untuk melaksanakan fungsi pemerintahan berupa mengadili dan memutus. Adjudikasi tersebut secara luas mencakup tiga hal:49

1) Tanggungjawab administratif (manajemen perkara). 2) Tanggungjawab prosedural (manajemen peradilan atas

dasar hukum acara yang berlaku).3) Tanggungjawab substantif (yang berkaitan dengan

pengkaitan antara fakta dengan hukum yang berlaku).

Sebagai salah satu kekuasaan yang ada di Indonesia, kekuasaan kehakiman tidak dapat dilaksanakan tanpa instrumen yang melengkapinya. Instrumen kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, atau dengan kata lain alat kelengkapan negara yang melakukan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur pelaku kekuasaan kehakiman dalam Pasal 18 yang berbunyi:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Sehingga berdasar Pasal tersebut pelaku kekuasaan kehakiman terdiri dari Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dalam lingkungannya, kemudian oleh Mahkmah Konstitusi. Selain itu Komisi Yudisial yang bukan pelaksana kekuasaan kehakiman akan tetapi keberadaannya diatur dalam UUD 1945 BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga keberadaanyya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman.

49 Muladi, 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, Dan Reformasi Hukum DI Indonesia. Jakarta: The Habibie Center. Hal 224

Page 48: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

40

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakkan hukum atau pemberian sanksi adalah monopoli penguasa. Perorangan tidak diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum (menghakimi sendiri), tindakan menghakimi sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan50.

Definisi kekuasaan kehakiman, dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Menurut John Alder, dalam sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri51.

b. Pelaku Kekuasaan Kehakiman

Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pelaku kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah 50 Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.cit, Hal 2351 Jimmly asshiddiqie, 2006. Loc.cit, Hal 45

Page 49: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

41

Konstitusi. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan badan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya bebas dari intervensi sesuai yang diamanatkan Pasal 24A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung adalah sebagaimana diuraikan dibawah ini:

1) Badan Peradilan Umum

Badan Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.

2) Badan Peradilan Agama.

Badan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang.

3) Badan Peradilan Militer

Badan Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan tindak pidana militer.

4) Badan Peradilan Tata Usaha Negara

Badan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.

Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam

Page 50: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

42

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

sistem ketatanegaraan Indonesia memegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga sebagai penafsir akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi juga menjadi pelindung (protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-kannya hak-hak asasi manusia dalam Undang Undang Dasar 1945, bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya52.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai lembaga yudikatif yang dibangun berdasarkan Pasal 24 UUD Negara RI adalah suatu lembaga yang bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan lembaga Negara lain guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Sebagaimana telah diformulasikan oleh UUD Negara RI, meskipun kekuasaan kehakiman bebas dan merdeka, tetapi mempunyai hubungan kekuasaan dengan lembaga Negara lain.

Pada tingkat implementasi pelaksanaan kekuasaan negara baik dalam pembentukan undang-undang, pengujian undang-undang maupun pelaksanaan wewenang lembaga-lembaga negara dengan dasar prinsip konstitusionalisme harus selalu merujuk pada ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena pasal-pasal konstitusi tidak mungkin mengatur segala hal mengenai kehidupan negara yang sangat dinamis, maka pelaksanaan dan penafsiran konstitusi dalam tingkat implementatif harus dilihat pada kerangka dasar konsep dan elemen-elemen negara hukum Indonesia yang terkandung pada Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung Pancasila. Sehingga pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 menjadi lebih hidup dan dinamis. Pembentuk undang-undang maupun 52 Maruarar Siahaan, 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. Hal 11

Page 51: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

43

Mahkamah Konstitusi memliki ruang penafsiran yang luas terhadap pasal-pasal UUD 1945 dalam frame prinsip-prinsip negara hukum Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Pengujian konstitusional dalam UUD 1945 sebenarnya sudah menjadi perdebatan dalam tahap awal pembentukan republik. Dalam sidang BPUPK, isu itu mempertemukan secara diametral antara Soepomo dan Muhammad Yamin. Yamin dikenal sebagai tokoh yang menggagas pentingnya judicial review, sedangkan Soepomo sebaliknya. Ia menolak gagasan Yamin. Soepomo beralasan saat itu pengujian undang-undang hasil kerja legislatif belum layak karena jumlah ahli hukum di Indonesia masih sedikit. Soepomo juga beralasan panitia penyusun konstitusi sudah sepakat sistem ketatangaraan yang akan dianut bukan pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, sehingga tak mungkin memberikan kewenangan kepada satu cabang kekuasaan untuk membatalkan produk cabang kekuasaan lain. Yamin melihat pentingnya checks and balances antar lembaga negara. Karena itu ia mengusulkan agar Balai Agung tak hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman belaka. Balai Agung juga harus bisa membanding undang-undang produk DPR jika undang-undang itu melanggar konstitusi. Balai Agung yang dimaksud Yamin adalah Mahkamah Agung.

Sebaliknya, Soepomo khawatir jika diberi wewenang pengujian itu akan muncul kesan Balai Agung lebih tinggi dibanding legislatif dan yudikatif. Padahal sistem ketatanegaraan yang sudah disepakati para pendiri negara, eksekutif, legislatif, dan yudikatif sama-sama lembaga tinggi negara. Kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR. Gagasan Yamin itu pada akhirnya memang tidak mendapat tempat dalam konstitusi UUD 1945. Balai Agung (Mahkamah Agung) tak diberi wewenang “membanding undang-undang” produk DPR.

Jika diamati, pemikiran Soepomo tidak statis, tetapi terus berkembang sesuai kebutuhan zamannya. Dalam soal hak asasi

Page 52: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

44

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

manusia, misalnya. Dulu ia berdebat dengan Yamin perlu tidaknya masuk pasal-pasal HAM dalam konstitusi. Gagasan Yamin tentang HAM memang tak sepenuhnya mentok karena penolakan Soepomo. Ada kompromi. Tetapi pada fase berikutnya perjalanan Soepomo, ketika ia ditunjuk jadi panitia perancangan konstitusi pasca kemerdekaan, Soepomo malah mengakomodasi isu-isu HAM. Saldi Isra menunjuk bukti, UUD RIS dan UUD 1950, yang ikut disusun Soepomo, bertabur dengan pasal-pasal HAM.

Barangkali alasan utama untuk memasukkan hak asasi manusia ke dalam kerangka negara hukum adalah karena ranah ini telah menjadi tema pengarah sentral dari kerja sama dalam pembangunan dan secara bertahap menjadi jelas bahwa dalam rangka mencapai perbaikan apapun untuk mewujudkan hak asasi manusia diperlukan suatu sistem hukum yang efektif untuk mencapai hal tersebut. Bersatunya hak azasi manusia dengan sistem yang efektif dalam satu konsep bermanfaat untuk menunjukkan secara singkat kepada kesejahteraan manusia dan kerangka hukum yang diperlukan untuk mencapai hal tersebut.

Catatan akhirnya bahwa secara akademik tidak harus meragukan manfaat konstitusionalisme bagi seorang penguasa. Konstitusionalisme adalah langkah pertama menuju legitimasi yang berbasis pada pemerintahan legal-rasional. Menggunakan peraturan yang bersifat umum adalah lebih krusial untuk sebuah pemerintahan atas sejumlah besar orang dalam rangka menciptakan kejelasan dan stabilitas di mana regulasi-mandiri (self-regulation) tidak diinginkan atau dikesampingkan. Tiap kasus mengenai pengembangan negara pada titik tertentu mensyaratkan pengintroduksian pemerintahan dengan hukum, tak peduli seberapa memihak atau canggungnya upaya ini dilihat dari perspektif kontemporer.

Perubahan UUD Negara RI menerapkan prinsip pembagian kekuasaan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Page 53: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

45

Dengan fungsi checks and balances dalam upaya kontrol dan keseimbangan antara organ-organ lembaga yang satu dengan yang lain. Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia merupakan sesuatu yang baru. Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya untuk judicial review dalam rangka munguji konstitusionalitas materi suatu undang-undang tidak berdiri sendiri melainkan dikaitkan langsung dengan kewenangan Mahkamah Agung53.

Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mawarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat54.

Berdirinya Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari lembaga kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi sebagai tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung yang mengemban tugas khusus merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan modern (modern state) yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Mahkamah Konstitusi dibentuk atas dasar asumsi adanya supremasi konstitusi, dimana Mahkamah Konstitusi memiliki tugas utama sebagai pengawal konstitusi, yaitu menjaga agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan konstitusi dalam penyelenggaraan negara. Asumsi berpandangan bahwa “konstitusi adalah hukum tertinggi yang mendasari atau melandasi kegiatan negara serta sebagai parameter untuk mencegah negara bertindak

53 Jimly Asshiddiqie, 2004. Loc.cit, Hal 24154 Maruarar Siahaan, 2006. Op.cit, Hal 12

Page 54: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

46

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

secara tidak konstitusional”55.

Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar...” Selanjutnya Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur secara hierarki kedudukan UUD 1945 sebagai Groundnorms kedudukannya lebih tinggi dari Undang-Undang. Dengan demikian setiap ketentuan Undang- Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945, maka dalam hal suatu Undang-Undang diduga dan terindikasi bertentangan dengan UUD 1945, pengujiannya diiakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

3. tinjauan tentang asas-asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman

Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan mengenai asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Di dalam Pasal 2 ayat (1), (2), (3), dan (4) menjelaskan bahwa Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, dan semua peradilan negara diatur dengan undang-undang untuk menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila 55 Fickar Hadjar, 2003. Pokok-Pokok Pikiran Dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KRHN dan Kemitraan. Hal 5

Page 55: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

47

dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di dalam Pasal 5 ayat ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Di dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang menentukan lain. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya. Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari

Page 56: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

48

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

Di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Di dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

Di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali undangundang menentukan lain. Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota. Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera. Di dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.

Di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran

Page 57: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

49

terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain. Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa. Di dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam siding terbuka untuk umum.

Di dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia. Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Di dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan.

Di dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Di dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.

Asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman menurut Soedikno diantaranya adalah.56

56 Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.cit, Hal 137-138

Page 58: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

50

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

a. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.

b. Asas equality before the law atau asas mengadili menurut hukum tanpa membedakan orang.

c. Asas hakim pasif artinya jika tidak ada perkara yang diajukan kepada hakim maka hakim bersifat menunggu datangnya perkara yang diajukan kepadanya.

d. Asas hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas.

e. Asas hakim dianggap tahu akan hukum (ius curia novit).f. Asas terbuka untuk umum, asas ini dimaksudkan untuk

lebih menjamin objektivitas kekuasaan kehakiman kecuali apabila undangundang menentukan lain.

Beberapa prinsip pokok dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman menurut Jimly Ashiddiqie, yaitu:57

a. The Principle of Judicial Independence.

b. The Principle of Judicial Imparciality.

Kedua pokok prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua Negara yang disebut hukum modern atau modern constitutional state. Selain prinsip diatas, dari perspektif hakim sendiri berkembang pula prinsip-prinsip yang lain, yang dihasilkan dalam konferensi internasional di Bangalore, India, antara lain58

a. Mandiri.b. Ketidakberpihakan.c. Integritas.d. Kepantasan dan Kesopanan.e. Kesetaraan.f. Kecakapan dan Keseksamaan.

57 Jimmly Asshiddiqie, 2006. Op.cit, Hal 29158 Jimmly Asshiddiqie, 2006. Op.cit, Hal 291

Page 59: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

51

a. Kewenangan Hakim Konstitusi Dalam Menafsirkan Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Undang-Undang nomor 48 tahun 2009

1. Penafsiran Hukum terhadap Peraturan Perundang-Undangan Oleh Hakim Konstitusi

Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan59. Mahkamah Agung beserta peradilan dibawahnya dan Mahkamah Konstitusi merupakan perwujudan instrumen negara dalam hal kekuasaan kehakiman, yakni melaksanakan peradilan dalam sebuah lembaga yudikatif yang bernama pengadilan.

Pengadilan sebagai lembaga yudikatif dalam struktur ketatanegaraan Indonesia memiliki fungsi dan peran strategis dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara anggota masyarakat maupun antara masyarakat dengan lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah60. 59 Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.cit, Hal 2360 M. Natsir Asnawi, 2014. Op.cit, Hal 3

Bab 3

WEWENANG HAKIM KONSTITUSI DALAM MENAFSIRKAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Page 60: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

52

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Fungsi pengadilan diselenggarakan di atas koridor independensi peradilan yang merdeka dari segala bentuk intervensi pihak manapun. Hal ini diamanatkan secara tegas dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:

“Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Berbicara mengenai independensi peradilan yang merdeka dari segala bentuk intervensi pihak manapun, maka muara dari proses peradilan yang independen seperti disebutkan diatas adalah lahirnya putusan. Putusan merupakan produk peradilan yang pertama dan utama karena merupakan jawaban akhir dari persengketaan yang diajukan oleh para pihak serta hasil dari proses peradilan yang telah dijalankan. Putusan sebagai produk peradilan sejatinya lahir dari proses yang penuh kecermatan dan kehati-hatian dari seorang hakim.

Pengadilan yang timpang hanya menghalang-halangi tujuan bernegara. Brazil menjadi contoh untuk hal ini. Kritik yang terpapar di Financial Times dalam kepala berita “Pengadilan Brazil menjadi mimpi buruk bagi pertumbuhan” menunjukkan hal itu. Dalam artikel itu dinyatakan bahwa banyak gugatan yang terdaftar di pengadilan berurusan dengan pemerintah. Para jaksa menganggap wanprestasi sebagai utang pemerintah. Jika pengadilan tersendat-sendat, maka jajaran pemerintahan di lingkungan federal, provinsi, dan lokal hanya akan menghadapi ancaman kebangkrutan secara massif.61

Walaupun pengadilan telah berkinerja bagus, akan tetapi kultur bisa jadi penghambat terjadinya transplantasi hukum asing

61 Jonathan Wheatley, “Brazil’s Judicial Nightmare Brings Gridlock for Growth”, FinancialTimes”, 24 Mei 2005, hlm. 18.

Page 61: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

53

kepada sistem hukum nasional. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Jepang (1950) mengkonfirmasi hal ini. Ia tidak terlalu diperhatikan para hakim dalam perselisihan bisnis. Padahal, undang-undang yang ditransplantasi langsung dari Amerika Serikat untuk memastikan tata kelola perusahaan yang baik tersebut, telah diundangkan lebih dari setengah abad.62

Manakala institusi hukum seperti pengadilan tidak bekerja secara efektif, maka usaha-usaha perbaikan undang-undang hanya akan memberikan efek yang sedikit. Sebuah studi di negara-negara Eropa Timur dan bekas Uni Soviet dalam transisi demokrasi mengkonfirmasikan hal tersebut. Dalam kurun waktu 1992-1998, sejumlah reformasi hukum korporasi dan kepailitan, tidak segera memberikan dampak untuk meyakinkan pasar, karena mereka menuntut peran pengadilan secara lebih baik lagi.63

Setiap sarjana hukum akan mampu menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam sistem hukum di negara masing-masing. Kondisi pengadilan di negara-negara berkembang jauh berbeda dengan kondisi di negara-negara maju. Oleh sebab itu, dalam waktu-waktu belakangan telah sering dicoba menyediakan instrumen-isntrumen pengukuran yang bersifat lintas negara. Sebuah proyek ambisius telah dimulai pada 2002, the World Development Report of 2002, mendeskripsikan efektifitas pengadilan sehubungan dengan kemampuan menyelesaikan kasus-kasus di seluruh dunia.

Putusan hakim merupakan cerminan kemampuan seorang hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Putusan yang baik harus disusun dari fakta peristiwa dan fakta hukum yang

62 Lihat: Hideki Kanda dan Curtis J. Milhaupt, “Re-examining Legal Transplants: The Director’s Fiduciary Duty in Japanese Corporate Law”, American Journal of Comparative Law, Vol. 51, 2003, hlm. 887–901.63 Katharine Pistor, Martin Raiser, dan Stanislaw Gelfer, “Law and Finance in Transition Economies”, Economics of Transition, Vol. 8, No. 2, hlm. 325–368.

Page 62: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

54

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

lengkap, rinci, jelas dan akurat yang diperoleh dalam persidangan yang termuat dalam Berita Acara Persidangan (BAP). Putusan yang disusun secara runtut dan sistematis dengan bahasa yang baik dan benar berisi argumentasi hukum yang jelas, tepat dan benar mencerminkan keprofesionalan seorang hakim, putusan demikian setidaknya dapat memberikan informasi yang jelas dan akurat dan memberikan kepuasan kepada para pihak.

Tugas penting dari hakim adalah menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila peraturan perundang-undangan tidak dapat dijalankan menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya64. Dalam hal menafsirkan ini, selain memperhatikan unsur kepastian dari putusan yang akan dibuatnya, hakim juga harus tetap memperhatikan unsur rasa keadilan di masyarakat. Hakim dalam memutus suatu perkara senantiasa dituntut untuk mendayagunakan segenap potensi yang dimilikinya untuk mengkonstatir (menemukan fakta-fakta hukum), mengkualifisir (menemukan dan mengklasifikasikan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok perkara), serta mengkonstituir (menetapkan hukum dari perkara tersebut)65.

Dalam putusan hakim harus dipertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, sosiologis, dan filosofis, sehingga keadilan yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam putussan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice), dan keadilan moral (moral justice)66. Penafsiran hukum merupakan kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan 64 Bambang Sutiyoso, 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia – Upaya Membangun Kesadaran Dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan Dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal 7065 M. Natsir Asnawi, 2014. Op.cit, Hal 4-566 Lilik Mulyadi, 2005. Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan Praktik Peradilan Indonesia. Jakarta: Djambatan. Hal 21

Page 63: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

55

dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum. Penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu67.

Menurut Ridwan Halim, penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik dalam arti memperluas maupun membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada, dalam rangka penggunaannya untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi68. Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dinyatakan bahwa penafsiran atau interpretasi hukum sangat dibutuhkan, mengingat isi undang-undang kadang-kadang tidak jelas susunan katanya, juga tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti, atau bahkan sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan dinamika yang hidup di dalam masyarakat. Oleh karena itu, penafsiran atau interpretasi terhadap undang-undang dipandang perlu.

Menafsirkan peraturan perundang-undangan adalah kewajiban hukum dari hakim. Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan peraturan perundang-undangan. Hakim harus tunduk kepada pembuat undang-undang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-kata peraturan perundang-undangan, hakim harus mencarinya dalam kata-kata tersebut. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak pembuat undang-undang. Atas dasar itu hakim tidak diperkenankan menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah yang

67 Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Loc.cit, Hal 15468 Ridwan Halim, 2005. Hukum Acara Perdata Dalam Tanya Jawab. Bogor: Ghalia Indonesia. Hal 81

Page 64: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

56

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

mengikat, kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat69.

Satjipto Rahardjo mengemukakan, salah satu sifat yang melekat pada perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari rumusan-rumusan peraturannya. Namun demikian, pengutaraan dalam bentuk tulisan atau litera scripta itu sesungguhnya hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan sesuatu ide atau pikiran. Ide atau pikiran yang hendak dikemukakan itu ada yang menyebutnya sebagai semangat dari suatu peraturan. Usaha untuk menggali semangat itu dengan sendirinya merupakan bagian dari keharusan yang melekat khusus pada hukum perundang-undangan yang bersifat tertulis. Usaha tersebut akan dilakukan oleh kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi. Interpretasi atau konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai arti dari hukum perundang-undangan70.

Hukum yang tidak atau kurang jelas tidak dapat dijadikan alasan penolakan bagi hakim terhadap suatu perkara yang diajukan pencari keadilan. Asas ini dikenal dengan istilah Ius Curia Novit atau hakim dianggap mengetahui akan hukumnya71. Sebagai pejabat negara yang melakukan fungsi kekuasaan kehakiman di Indonesia, menafsirkan peraturan perundang-undangan sudah menjadi hal yang tidak bisa dilepaskan dari hakim. Akan tetapi terhadap suatu peraturan perundang-undangan yang sama, antara hakim yang satu dengan yang lainnya menfasirkan peraturan perundang-undangan tersebut secara berbeda.

Pembentuk undang-undang tidak mungkin mengatur seluruh kegiatan kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas. Kemampuan pembentuk undang-undang terbatas. Ada kalanya 69 Bambang Sutiyoso, 2006. Loc.Cit, Hal 7070 Satjipto Rahardjo, 2006. Membelah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. Hal 94-9571 Jazim Hamidi, 2005. Loc.cit, Hal 101

Page 65: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

57

pembentuk undang-undang tidak sempat, tidak terpikirkan, atau tidak menduga sebelumnya sebuah kejadian atau peristiwa sehingga tidak memasukkannya ke dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, hakim konstitusi wajib menggali, megikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim konstitusi sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat guna terciptanya penegakkan hukum dan keadilan yang nantinya akan dirasakan oleh masyarakat.

Pembentuk Undang-Undang mempunyai kemampuan terbatas, sehingga Undang-Undang yang dibuatnya tidak lengkap dan sempurna. Untuk itu, maka tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-jelasnya. Karena undang-undang tidak lengkap dan tidak jelas, maka harus dicari dan ditemukan hukumnya, dengan memberi penjelasan, penafsiran atau melengkapi peraturan perundang-undangannya72.

Boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu sendiri73.

72 Achmad Ali, 2002. Op.cit, Hal 153-15473 Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.Cit, Hal 169

Page 66: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

58

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Penafsiran menjadi bagian tidak terpisahkan dari kerja intelektual yang dilakukan oleh hakim. Dalam konteks memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara, penafsiran yang dilakukan oleh hakim bermacam-macam. Bentuk-bentuk penafsiran tersebut adalah sebagai berikut74:

a. Interpratasi Substansif

Interpretasi substansif adalah penafsiran hukum dengan menetapkan suatu teks undang-undang terhadap suatu perkara. Dalam pengertian lain, penafsiran substansif merupakan penafsiran dengan memasukkan (subsumpsi) aturan atau teks undang-undang ke dalam perkara yang sedang diadili.

b. Interpretasi Gramatikal

Interpretasi gramatikal adalah penafsiran teks atau peraturan perundang-undangan menurut bahasa sehari-hari. Metode penafsiran ini melibatkan penafsiran secara etimologis dan terminologis dan merupakan bentuk paling sederhana dalam menafsirkan suatu teks.

c. Interpretasi Sistematis

Interpretasi sistematis adalah penafsiran teks undang-undang dengan menghubungkan makna dan teksnya dengan perundang-undangan lain. Dalam penafsiran sistematis, hukum dipandang secara utuh sebagai sistem, karenanya dalam model penafsiran ini hakim akan melibatkan atau mengimplementasikan beberapa perundang-undangan bahkan mungkin sumber hukum lain di luar perundang-undangan, termasuk yurisprudensi, doktrin, dan the living law.

d. Interpretasi Historis

Interpretasi historis adalah penafsiran hakim dengan

74 M. Natsir Asnawi, 2014. Op.cit, Hal 21-23

Page 67: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

59

melihat latar belakang atau sejarah pembentukan suatu undang-undang. Interpretasi historis terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Interpretasi menurut sejarah Undang-Undang

Interpretasi menurut sejarah undang-undang (wetshistorisch) adalah penafsiran dengan mencari maksud atau tujaun dibuatnya suatu undang-undang. Aspek utama yang diamati disini adalah maksud pembuat undang-undang. Dalam studi hukum (legal drafting), dikenal istilah naskah akademik yang memuat landasan filosofis, sosiologis dan historis suatu rancangan undang-undang. Hal demikian yang dapat memberikan petunjuk kepada hakim untuk mengetahui secara jelas maksud pembuat undang-undang.

2) Interpretasi menurut sejarah hukum

Interpretasi menurut sejarah hukum (rechtshistorisch) adalah penafsiran dengan memahami dan menganalisis undang-undang dalam konteks seluruh ajaran hukum. Interpretasi ini tidak hanya menganalisis dan memhami sejarah dari undang-undang itu sendiri, melainkan juga keseluruhan dimensi historis dari proses kelahiran dan perkembangan hukum yang mendahuluinya.

e. Interpretasi Teleologis

Interpretasi Teleologis adalah penafsiran undang-undang dengan mengacu pada tujuan atau ekspektasi kemasyarakatan. Undang-Undang ditafsirkan tidak hanya dari segi teks semata, melainkan juga tujuan dari dibentuknya undang-undang tersebut. Undang-undang merupakan entitas yang statis, dan hakim disini berperan penting dalam memberikan ruh agar undang-undang tersebut dapat selaras

Page 68: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

60

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

dengan perkembangan masyarakat. undang-undang yang sudah tidak relevan (out to date) disesuaikan penerapannya dengan situasi dan perkembangan dinamika di masyarakat.

f. Interpretasi Komparatif

Interpretasi komparatif adalah penafsiran dengan membandingkan berbagai sistem hukum yang ada. Metode penafsiran ini sebagian besar digunakan hakim dalam perkara yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Penafsiran komparatif juga dapat digunakan dalam mengadili perkara perdata biasa, misalnya dalam perkara tentang kontrak atau transaksi elektronik. Perkembangan sistem hukum di Negara maju mengenai kontrak atau transaksi elektronik dapat menjadi pembanding dalam menerapkan hukum terhadap perkara tersebut.

g. Interpretasi Restriktif

Interpretasi restriktif adalah penafsiran dengan membatasi makna teks dalam undang-undang. Penafsiran restriktif dalam praktek lebih banyak berkaitan dengan penafsiran undang-undang yang termuat dalam bab penjelasan undang-undang tersebut. Penafsiran yang dapat dipakai adalah penjelasan umum maupun penafsiran Pasal demi Pasal.

h. Interpretasi Ekstensif

Interpretasi ekstensif adalah penafsiran dengan memperluas makna teks undang-undang. Teks dalam undang-undang tidak hanya ditafsirkan secara gramatikal, melainkan diperluas maknanya sesuai dengan konteks undang-undang tersebut, juga konteks kasus yang sedang diadili.

i. Interpretasi Futuristik

Interpretasi futuristik adalah penafsiran undang-undang yang

Page 69: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

61

bersifat antisipatif dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum, hukum yang dicitakan). Penafsiran futuristik adalah penafsiran hakim dengan maksud mengantisipasi perubahan dinamika hukum pada masa yang akan datang. Dalam konteks ini, prediktabilitas dinamika hukum pada masa yang akan datang merupakan patronase utama hakim dalam menafsir undang-undang.

Hakim dalam menafsirkan peraturan terkait perkara yang sedang diadilinya dapat berpijak kepada beberapa macam interpretasi hukum seperti diatas. Dalam penggunaannya, interpretasi hukum yang dilakukan oleh hakim sering kali melahirkan suatu hukum yang baru. Penemuan hukum (rechtsvinding) sering terjadi pada perkara yang tergolong baru dan belum ada peraturan jelas yang mengatur tentang hal tersebut atau dengan kata lain perkara yang mendahului hukum. Undang-undang tidak memberi petunjuk bagaimana menafsirkan. Dalam menemukan hukum tidak ada prioritas pada salah satu metode interpretasi atau penafsiran.

Penemuan hukum di Indonesia sudah mendapatkan tempat dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang kekuasaan kehakiman mengatur secara substansial beberapa ketentuan yang memungkinkan kegiatan penemuan hukum itu dilakukan. Apabila dicermati dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terdapat ketentuan yang bisa menjadi dasar hukum positif dari penemuan hukum. Hal ini tampak pada Pasal 10 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut yang berbunyi:

“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-

Page 70: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

62

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

peristiwa hukum yang konkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu75.

Dalam literatur lain disebutkan, melalui putusannya yang menjadi yurisprudensi kuat, hakim juga membuat hukum. Hal itu dalam praktik penyelesaian sengketa tidak dapat dihindari manakala terminologi yang digunakan oleh undang-undang tidak jelas, undang-undang tidak mengatur masalah yang dihadapi atau undang-undang yang ada bertentangan dengan situasi yang dihadapi. Oleh karena itulah hakim dalam hal ini melakukan pembentukan hukum (rechtsvorming), analogi (rechtsanalogie), penghalusan hukum (rechtsvervijning), ataaru penafsiran (interpretatie), kegiatan-kegiatan semacam itu dalam hukum continental disebut sebagai penemuan hukum (rechtsvinding)76. Ada 2 (dua) teori penemuan hukum, yaitu penemuan hukum heteronom dan penemuan hukum otonom77:

a. Penemuan Hukum Heteronom

Penemuan hukum heteronom terjadi pada saat hakim dalam memutus perkara dan menetapkan hukum menganggap dirinya terikat pada kaidah-kaidah hukum yang disodorkan dari luar dirinya. Diandaikan bahwa makna atau isi dari kaidah pada prinsipnya dapat ditemukan dan ditetapkan secara objektif, atau setidaknya dapat ditetapkan dengan cara yang sama oleh setiap orang.

Contoh kasus dari penemuan hukum heteronom ini adalah kasus Tindak Pidana Penipuan Pasal 378 Kitab Undang-Undnag Hukum Pidana (KUHP) dengan terdakwa

75 Sudikno Mertokusumo, 2005. Loc.cit, Hal 37-3876 Peter Mahmud Marzuki, 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Hal 33377 J.A. Pontier, 2008. Penemuan Hukum. Bandung: Jendela Mas Pustaka. Hal 94

Page 71: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

63

M.R. Sidabutar. Putusan Nomor 144/Pid/1983/PT-Mdn yang dipimpin oleh hakim Bismar Siregar menuai kontroversi karena hakim Bismar melakukan perluasan makna penafsiran kata “barang” pada Pasal 378 KUHP dengan cara mengklasifikasikan keperawanan seorang wanita ke dalam kata barang pada Pasal 378 KUHP tersebut78.

Penemuan hukum dengan memperluas makna barang pada Pasal 378 KUHP tersebut dilakukan oleh Bismar Siregar dengan penafsiran ekstensif dikarenakan hakim Bismar menganggap apa yang dilakukan oleh terdakwa M.R. Sidabutar termasuk penipuan karena terdakwa menjanjikan menikahi saksi korban apabila saksi korban mau bersenggama dengan terdakwa. Peristiwa penipuan seperti apa yang dihadapkan kepada hakim Bismar memang belum jelas diatur dalam KUHP, apakah termasuk dalam Pasal 378 KUHP atau tidak. Akan tetapi, dengan cara memperluas makna “barang” pada Pasal 378 KUHP, maka hakim Bismar dapat mengklasifikasikannya ke dalam Pasal 378 KUHP dan dapat menghukum terdakwa79.

b. Penemuan Hukum Otonom

Penemuan hukum otonom artinya menunjuk pada kontribusi pemikiran hakim. Hakim dapat memberikan masukan atau kontribusi melalui metode-metode interpretasi yang sesuai dengan model penemuan hukum legistik atau melalui metode-metode interpretasi yang baru seperti metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal di mana hakim menetapkan apa tujuan, rentang jangkauan atau fungsi dari suatu kaidah hukum, kepentingan-kepentingan apa yang hendak dilindungi oleh kaidah hukum itu, dan apakah kepentingan tersebut benar terlindungi apabila kaidah hukum itu diterapkan ke dalam suatu

78 (hukumonline.com/berita/baca/lt559fba87c3065/putusan-ibonda-i-yang-mengayun-bismar, oleh penulis,2015. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 20.50 WIB)79 Ibid. hukumonline.com

Page 72: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

64

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

kasus konkret dalam konteks kemasyarakatan yang aktual. Metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal ini juga memberikan kepada hakim alternatif kemungkinan untuk menelaah apakah makna yang pada suatu saat secara umum selalu diberikan pada suatu kaidah hukum tertentu masih sesuai dengan perkembangan aktual masyarakat.

Contoh kasus dari penemuan hukum otonom ini adalah kasus pra peradilan Budi Gunawan yang dipimpin oleh Sarpin Rizaldi. Hakim Sarpin menambahkan penetapan tersangka sebagai objek pra peradilan. Hakim Sarpin menganggap putusannya terkait gugatan penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah penemuan hukum yang dikaji secara keilmuan80.

Hakim Sarpin menyimpulkan segala tindakan penyidik yang belum diatur dalam Pasal 77, Pasal 82, Pasal 95 KUHAP ditetapkan sebagai objek pra81. Pernyataan hakim Sarpin tersebut merupakan pernyataan yang merujuk pada penemuan hukum otonom karena memaksa hakim pra peradilan untuk menemukan hukum tanpa terikat pada kaidah-kaidah hukum yang disodorkan dari luar dirinya.

Dalam teori hukum, keseluruhan pandangan yang merumuskan secara eksplisit kebebasan hakim untuk menetapkan putusannya dinamakan Freirechtsbewegung (gerakan hukum bebas). Aliran pemikiran ini menolak pandangan sempit tentang proses penemuan hukum, mengakui sumbangan (kontribusi) atau masukan dari hakim yang menilai (waarderende inbreng) ke dalam proses tersebut dan memperjuangkan pengakuan terhadap kedudukan

80 (okezone.com/read/2015/02/16/337/1106530/putusan-praperadilan-bg-hakim-lakukan-penafsiran-hukum, oleh Syamsul Anwar Khoemani,2015. diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul 22.35 WIB).81 Ibid. okezone.com

Page 73: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

65

mandiri dari peradilan berhadapan dengan Undang-Undang dan sistem hukum82.

Aliran Freirechtsbewegung ini banyak mendapat kritik, karena terlalu memberi kebebasan yang teramat besar kepada hakim dalam mengambil keputusan, sehingga dapat mengakibatkan ketidakpastian. Di samping itu aliran pemikiran hukum bebas ini tidak didukung oleh suatu wawasan metodologikal yang memadai. Dengan cara bagaimanakah hakim harus menilai dan menimbang-nimbang berbagai kepentingan yang berhasil diungkap yang satu terhadap yang lainnya, ukuran atau standar penilaian apakah yang menjadi landasan pijaknya, dan metode interpretasi manakah yang harus dipilih. Tanpa metode yang tegar dari teori legistik, yang berkenaan dengannya diterima bahwa metode tersebut dapat menjamin objektivitas, bebas nilai dan rasionalitas dari putusan, maka penemuan hukum itu mungkin saja terjerumus ke dalam kesewenang-wenangan hakim83.

Sebelum menyinggung peraturan terkait penafsiran di dalam undang-undang Kekuasaan Kehakiman, berikut sistematika Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman:

Tabel 1: Sistematika UU No 48 Tahun 2009Bab Isi Ketentuan Pasal

I Ketentuan Umum 1II Asas-asas Penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman2-17

III Pelaku kekuasaan kehakiman 18-29IV Pengangkatan dan pemberhentian hakim

konstitusi30-37

V Badan-badan lain yang fungsinya berhubungan dengan kekuasaan kehakiman

38

VI Pengawasan hakim konstitusi 39-44

82 J.A. Pontier, 2008. Op.cit, Hal 73-7483 J.A. Pontier, 2008. Op.cit Hal 73-74

Page 74: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

66

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

VII Pejabat peradilan 45-47VIII Jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim 48-49IX Putusan pengadilan 50-53X Pelaksaaan putusan 54-55XI Bantuan hukum 56-57XII Penyelesaian sengketa di luar pengadilan 58-61XIII Ketentuan penutup 62-64

2. Peraturan terkait Penafsiran Di Dalam Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang adalah suatu bentuk peraturan tertulis yang dijadikan pedoman bagi pihak yang telah diatur didalamnya untuk bertindak sesuai dengan apa yang tertulis di dalam undang-undang tersebut. Dalam hal kekuasaan kehakiman di Indonesia, maka peraturan tertulis yang mengatur adalah Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Undang-Undang ini juga diatur tentang siapa pelaku kekuasaan kehakiman dan pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman beserta kewenangan dan kekuasaan yang diberikan padanya, yang termaktub pada Pasal 18 dan Pasal 19.

Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman sudah jelas menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung beserta badan peradilan yang ada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pejabat negara yang melakukan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia adalah Hakim konstitusi, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ujung tombak penegakkan hukum yang melakukan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia adalah Hakim konstitusi

Apabila diuraikan, sistematika dari UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimulai dari Bab II yang berisi tentang asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, mengkokohkan asas-asas hukum sebagai jantung dari aturan hukum

Page 75: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

67

sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Kemudian selanjutnya dalam Bab III Pelaku Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan derivikasi dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, secara tegas menjelaskan lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman (dan juga melaksanakan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman).

Adapun kode etik dan pedoman berperilaku hakim konstitusi diatur dalam suatu peraturan tertentu. Untuk kode etik dan pedoman berperilaku hakim agung dan seluruh hakim dibawah mahkamah agung diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim. Sedangkan untuk kode etik dan pedoman berperilaku hakim konstitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/2003 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi. Isi kedua peraturan tersebut diantaranya adalah:

a. Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim yang berisi prinsip-prinsip dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim yang diimplementasikan dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut:

1) Berperilaku adil

Adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau

Page 76: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

68

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

2) Berperilaku jujur

Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan.

3) Berperilaku arif dan bijaksana

Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.

4) Bersikap mandiri

Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.

Page 77: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

69

5) Berintegritas tinggi

Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.

6) Bertanggungjawab

Bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.

7) Menjunjung tinggi harga diri

Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang. Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai aparatur Peradilan.

8) Berdisiplin tinggi

Disiplin bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta

Page 78: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

70

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.

9) Berperilaku rendah hati

Rendah hati bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.

10) Bersikap professional

Profesional bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.

b. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/2003 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi dalam BAB II tentang Kode Etik Hakim Konstitusi di dalam Pasal 2 dan BAB III tentang Pedoman Tingkah Laku di dalam Pasal 3 yang isinya:

Page 79: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

71

1) BAB II tentang Kode Etik Hakim Konstitusi di dalam Pasal 2 yang berbunyi:

Pasal 2

1. Menjunjung tinggi dan mematuhi sumpah jabatan yang telah diucapkan, serta melaksanakan tugas dengan jujur dan adil, penuh pengabdian dan penuh rasa tanggung jawab kepada diri sendiri, masyarakat, bangsa, negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.

2. Menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan menjaga wibawa selaku negarawan pengawal konstitusi, yang bebas dari pengaruh manapun (independen), arif dan bijaksana, serta tidak memihak (imparsial) dalam menegakkan hukum dan keadilan.

3. Memperdalam dan memperluas penguasaan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan tugas sebagai Hakim Konstitusi, untuk digunakan dalam proses penyelesaian perkara dengan setepat-tepatnya dan seadiladilnya sesuai dengan kewenangan dan kewajiban yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Memelihara hubungan kerjasama, memupuk kesetiakawanan, menjaga martabat dan nama baik, serta saling menghargai dan mengingatkan antar sesama teman sejawat.

2) BAB III tentang Pedoman Tingkah Laku di dalam Pasal 3 yang bunyinya:

Pasal 3

(1) Dalam Penyelesaian Perkara, Hakim Konstitusi:

a. Bersikap dan bertindak menurut ketentuang yang

Page 80: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

72

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

digariskan dalam hukum acara.

b. Memperlakukan semua pihak yang berperkara secara berimbang, tidak diskriminatif dan tidak memihak (imparsial).

c. Menjatuhkan putusan secara obyektif didasarkan kepada fakta dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan guna menjamin rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum yang optimal

d. Menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung ataupun tidak langsung, baik dengan pihak yang berperkara maupun dengan pihak lain dan tidak mengadakan kolusi dengan siapapun yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan dengan perkara yang akan atau sedang ditangani, sehingga dapat mempengaruhi obyektivitas atau citra mengenai obyektivitas putusan yang akan dijatuhkan.

e. Tidak menerima sesuatu pemberian atau janji dari pihak yang berperkara, baik langsung maupun tidak langsung.

f. Tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan di luar persidangan atas sesuatu perkara yang sedang ditanganinya mendahului putusan.

(2) Terhadap Teman Sejawat, Hakim Konstitusi:

a. Memelihara hubungan kerjasama, saling membantu dalam meningkatkan profesionalisme, saling mengingatkan, memupuk kesetiakawanan, tenggang rasa, serta menjaga martabat dan nama baik sesama teman sejawat.

b. Tidak sekali-kali melecehkan teman sejawat.

Page 81: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

73

c. Tidak memberikan komentar terbuka atas pendapat teman sejawat yang berbeda (dissenting opinion), kecuali dilakukan dalam rangka pengkajian ilmiah.

(3) Terhadap Masayarakat, Hakim Konstitusi:

a. Berperilaku sederhana, rendah hati, serta menghormati dan menghargai orang lain.

b. Berupaya menjadi contoh teladan dalam kepatuhan kepada hukum dan norma-norma lainnya.

(4) Terhadap Keluarga, Hakim Konstitusi:

a. Berupaya menjaga keluarga dari perbuatan tercela menurut norma hukum dan kesusilaan.

b. Berupaya menjaga ketentraman dan keutuhan keluarga.

Konsekuensi sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, hakim konstitusi dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya haruslah berpedoman kepada Undang-Undang dan peraturan lain yang mengaturnya. Permasalahan terjadi ketika di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya itu ada hal substansial yang belum diatur secara jelas di dalam undang-undang dan peraturan terkait. Salah satu yang menjadi permasalahan pada saat ini adalah pedoman hakim dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan. Sering terjadi perbedaan antara penafsiran hakim yang satu dengan hakim yang lainnya terhadap suatu perundang-undangan yang sama sekalipun.

Contoh perbedaan pendapat antara hakim yang satu dengan hakim yang lainnya terhaap peraturan perundang-undangan yang sama adalah pada kasus Tindak Pidana Penipuan dengan terdakwa M.R. Sidabutar terkait penafsiran

Page 82: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

74

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

“barang” pada Pasal 378 KUHP. Dalam kasus ini, hakim Bismar melakukan penafsiran ekstensif dengan memperluas makna “barang” dalam Pasal 378 KUHP, sedangkan oleh Ketua Muda Pidana Mahkamah Agung pada saat itu, Adi Andojo Soetjipto sebagai salah satu majelis yang juga memutus kasasi dari putusan banding hakim Bismar, bahwa keperawanan seorang wanita tidak bisa diklasifikasikan sebagai apa yang dimaksud dengan kata “barang” dalam Pasal 378 KUHP84.

Hakim sebagai pemegang kekuasaan yudikatif, ia berkewajiban memberikan pertimbangan dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai peraturan umum. Dalam memberikan pertimbangan, ada kalanya hakim menambah peraturan perundang-undangan, maka hal ini berarti bahwa hakim memenuhi ruang kosong (leemten) dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku85. Penafsiran hakim terhadap suatu perundang-undangan itu sangatlah penting karena dalam memutus suatu perkara yang dipimpinnya, hakim mendasarkan putusannya tersebut terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkara yang sedang dipimpinnya. Apabila hakim keliru dalam menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkaranya tersebut maka putusan dari hakim tersebut bisa merugikan salah satu pihak yang berperkara.

Hal tersebut mengandung kerangka berfikir yang sama dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paul Scholten yang mengatakan bahwa hukum merupakan suatu sistem yang terbuka (open sistem van het recht). Dengan begitu hukum yang dulunya bersifat rigid, berkembang menjadi dinamis, terus-menerus mengikuti proses perkembangan kemasyarakatan. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa hakim dapat dan wajib

84 Ibid. hukumonline.com85 C.S.T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal 70

Page 83: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

75

memenuhi kekosongan yang terjadi dalam sistem hukum, dengan catatan bahwa penambahan tersebut tidaklah membawa perubahan yang mendasar (prinsipil) pada sistem hukum yang berlaku. Sebelum itu sistem hukum dianggap sebagai kesatuan yang lengkap dan tertutup, di luar undang-undang tidak ada hukum dan hakim tidak boleh melaksanakan hukum yang tidak disebutkan di dalam undang-undang (aliran legisme)86.

Pembuat Undang-undang tidak menetapkan suatu sistem tertentu yang harus dijadikan pedoman bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang. Oleh karenanya hakim bebas dalam melakukan penafsiran. Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-tama selalu dilakukan penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan perundang-undangan harus dimengerti lebih dahulu arti kata-katanya. Apabila perlu dilanjutkan dengan penafsiran otentik atau penafsiran resmi yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri, kemudian dilanjutkan dengan metode penafsiran lainnya yang dianggap perlu dilakukan oleh hakim dan relevan dengan apa yang hakim butuhkan pada saat hendak menafsirkan peraturan perundang-undangan.

Sedapat mungkin semua metode penafsiran supaya dilakukan, agar didapat makna-makna yang tepat. Apabila semua metode tersebut tidak menghadilkan makna yang sama, maka wajib diambil metode penafsiran yang membawa keadilan yang setinggi-tingginya sesuai dengan harkat dan martabat manusia, karena memang keadilan itulah yang dijadikan sasaran pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-undang yang bersangkutan

Pada kenyataannya penyusunan undang-undang

86 Soeroso, 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 110

Page 84: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

76

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

memerlukan waktu yang relatif lama, sehingga pada waktu undang-undang itu dinyatakan berlaku, perihal atau keadaan yang hendak diatur oleh undang-undang tersebut telah mengalami perubahan; adakalanya terbentuknya suatu peraturan perundang-undangan senantiasa terbelakang dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam masyarakat. Berkaitan dengan fenomena tersebut, dimana peraturan perundang-undang yang statis dan masyarakat yang dinamis, maka hakim dituntut untuk memperbaiki undang-undang tersebut, agar sesuai dengan kondisi riil (kenyataan) kehidupan yang berkembang dalam masyarakat. Mengingat hukum positif peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan suatu sistem yang formal, yang sulit untuk mengubah dan mencabutnya walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan perundang-undangan tersebut.

Fenomena ini pada akhirnya memaksa hakim konstitusi untuk melakukan penafsiran pada setiap perkara yang dihadapkan kepadanya. Akan tetapi sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam undang-undang, maka hakim konstitusi dalam setiap hal yang dilakukannya terkait penegakkan hukum dan keadilan haruslah bertumpu pada ketentuan-ketentuan yang sudah diatur dalam undang-undang tanpa terkecuali dalam hal melakukan penafsiran.

Landasan yuridis yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk melakukan penafsiran hukum adalah ketentuan yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang dihadapkan kepadanya dan hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut tergambar dalam beberapa ketentuan antara lain:

Page 85: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

77

a. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan: “Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

b. Kemudian Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Jika dimaknai kata menggali pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat diasumsikan bahwa sebenarnya hukumnya itu sudah ada , tetapi masih tersembunyi, sehingga untuk menemukannya hakim harus berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, kemudian mengikuti dan selanjutnya memahaminya agar putusan sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat87. Kemudian ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan yang belum jelas atau belum mengatur peristiwa hukumnya, maka hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat membantunya88.

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

87 Achmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 788 Utrecht, 1986. Loc.Cit, Hal 248

Page 86: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

78

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

mempunyai makna bahwa apapun perkara yang dihadapkan pada pengadilan, maka hakim konstitusi sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman di pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Jelas atau tidaknya hukum yang mengatur tentang perkara tersebut, hakim konstitusi tetap harus mengali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam measyarakat, oleh karena itulah dalam setiap perkara yang dihadapkan kepadanya hakim konstitusi akan tetap melakukan penafsiran demi terwujudnya tujuan kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu penegakkan hukum dan keadilan.

B. Penerapan asas-asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Judicial Review Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya air

1. Peranan Hakim Konstitusi Dalam asas-asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Pada Putusan Judicial Review Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya air

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara Hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Semangat kekuasaan kehakiman yang tercantum di konstitusi ini diwujudkan dalam sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Page 87: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

79

Kehakiman. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah bentuk penyempurnaan dari Undang-Undang yang mengatur kekuasaan kehakiman sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Salah satu penyempurnaan undang-undang kekuasaan kehakiman ini adalah adanya bab tersendiri mengenai asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.

Penyempurnaan undang-undang kekuasaan kehakiman dengan menambahkan adanya bab tersendiri yang mengatur tentang asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman ini menunjukkan bahwa asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman merupakan elemen penting dalam mewujudkan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Korelasi penyempurnaan undang-undang kekuasaan kehakiman dengan adanya bab tersendiri yang mengatur tentang asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terkait penegakkan hukum dan keadilan yang tertera pada Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi:

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Apabila diuraikan, sistematika dari UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimulai dari Bab II yang berisi tentang asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, mengkokohkan asas-asas hukum sebagai jantung dari aturan hukum sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Kemudian selanjutnya dalam Bab III Pelaku Kekuasaan Kehakiman, yang merupakan derivikasi dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, secara tegas menjelaskan lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman (dan juga melaksanakan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman). Dalam Bab III juga dijelaskan siapa pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini adalah hakim hakim konstitusi.

Page 88: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

80

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai umbrella act kekuasaan kehakiman di Indonesia menjadi rujukan bagi instrumen kekuasaan kehakiman di Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan, tidak terlepas bagi hakim konstitusi. Sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia, dalam berperan menegakkan hukum dan keadilan, hakim konstitusi merujuk pada apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terutama dalam hal memberikan putusan sebagai akhir dari sebuah perkara yang diajukan ke pengadilan.

Pada prinsipnya peran merupakan dua sisi yang tak terpisahkan dengan fungsi dan kewenangan, yakni peran merupakan limpahan dari fungsi dan kewenangan, oleh karena itu berbicara mengenai peran sekaligus berbicara tentang fungsi dan kewenangan. Peranan hakim konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan kehakimn melalui badan peradilan, tidak lain daripada melaksanakan fungsi peradilan sesuai dengan batas-batas kewenangan yang disebutkan undang-undang. Pasal 2 ayat (2 dan 4), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1 dan 2) dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menyebutkan beberapa asas, bahwa89:

a. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

b. Peradilan menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila

c. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan

d. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya h a k i m wajib menjaga kemandirian peradilan

e. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

89 Nurcholis Syamsudin, 2012. Prospektif Peran Hakim Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman. Semarang: Aneka Ilmu. Hal 4

Page 89: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

81

membeda-bedakan orang

f. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

g. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tak tercela, jujur, adil, profesional dan pengalaman di bidang hukum

h. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya dan tidak menutup usaha penyelesaian perkara secara perdamaian.

Bertitik tolak dari segi tujuan melaksanakan fungsi dan kewenangan peradilan dari asas-asas di atas, peran hakim konstitusi secara umum dapat diuraikan sebagai berikut90:

a. Menegakkan kebenaran dan keadilan

Menegakkan kebenaran dan keadilan bukan menegakkan peraturan perundang-undangan dalam arti sempit, yakni hakim tidak berperan menjadi mulut undang-undang dan hakim tidak boleh berperan mengidentikkan kebenaran dan keadilan itu sama dengan rumusan peraturan perundang-undangan. Dalam hal inilah dituntut peran hakim:

1) Harus mampu menafsir undang-undang secara aktual

Agar hukum yang diterapkan dilenturkan sesuai dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan tempat, maka hukum yang diterapkan itu sesuai dengan kepentingan umum dan kemasalahatan masyarakat masa kini, namun demikian pada setiap kegiatan peran hakim menafsir dan menentukan undang-undang mesti tetap beranjak dari landasan cita-cita umum yang

90 Ibid, Hal 5-9

Page 90: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

82

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

terdapat dalam falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan

2) Harus berani berperan menciptakan hukum baru atau sebagai pembentuk hukum.

Dalam hal ketentuan peraturan undang-undang tidak mengatur sesuatu permasalahan tentang suatu kasus konkreto, hakim harus berperan menciptakan hukum baru disesuaikan dengan kesadaran perkembangan dan kebutuhan masyarakat, hal itu dapat diwujudkan hakim dengan jalan menyelami kesadaran kehidupan masyarakat dan dari pengalaman tersebut hakim berusaha menemukan dasar-dasar atau asas-asas hukum baru, akan tetapi dalam hal inipun harus tetap beranjak dari cita-cita umum falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan.

3) Harus berani berperan melakukan contra legem

Dalam hal ini hakim harus berani menyingkirkan ketentuan pasal undang-undang tertentu, dilakukan setelah hakim menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan ketertiban, kepentingan dan kemasalahatan umum, maka dalam keadaan seperti ini kesampingkan pasal tersebut dan berbarengan dengan boleh mencipta hukum baru atau mempertahankan yurisprudensi yang sudah bersifat stare decesis, tapi hal inipun harus tetap beranjak dari cita-cita umum.

4) Harus mampu berperan mengadili secara kasuistik

Pada prinsipnya setiap kasus mengandung particular reason, maka dalam kenyataan tidak ada perkara yang persis mirip, oleh karena itu hakim harus mampu berperan mengadili perkara case by case,

Page 91: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

83

tidak dibenarkan sekedar membabi buta mengikuti putusan yang telah ada tanpa menilai keadaan khusus (particular reason) yang terkandung dalam perkara yang bersangkutan dan menerapkannya secara kasuistik sesuai dengan keadaan konkreto perkara yang diperiksa.

b. Memberi edukasi, koreksi, prepensi dan represip

Memberi Edukasi, hakim melalui produk putusan yang dijatuhkan harus mampu memberi pendidikan dan pelajaran kepada yang berperkara dan masyarakat. Dari putusan yang dijatuhkan, anggota masyarakat harus dapat memetik pelajaran dan pengalaman bahwa berbuat seperti itu adalah salah dan keliru. Memberi Koreksi, bahwa putusan hakim harus jelas dan tegas memperbaiki dan meluruskan setiap kesalahan yang dilakukan seseorang.

Memberi prepensi, makna dan tujuan prepensi ini berkaitan dengan edukasi dan koreksi putusan yang dijatuhkan, hakim harus mampu memberi pengertian kepada masyarakat, mana yang benar dan mana yang salah. Pengertian yang demikian akan menanamkan kesadaran bagi mereka untuk tidak melakukan perbuatan yang seperti itu. Memberi represif, bahwa putusan hakim harus tegas membenarkan yang benar dan menghukum yang salah. Ketegasan yang demikian akan berperan menegakkan kepastian hukum pada satu segi serta menegakkan kebenaran dan keadilan pada segi lain. Ketegasan memberi hukuman kepada yang salah sangat luas dampaknya, masyarakat merasa dilindungi dan mereka merasa tenteram serta citra wibawa pengadilan akan tegak sebagai lembaga pencari kebenaran dan keadilan.

Dalam kerangka edukasi, koreksi, prepensi dan represip, peran hakim baru dapat memberi makna apabila

Page 92: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

84

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

putusan-putusan yang dijatuhkan dilakukan melalui proses persidangan yang:

1) Didukung oleh integritas dan profesionalisme yang solid

Memang diakui bahwa hakim bukan manusia yang bersifat ultimate, juga tidak absolut kemampuan dan kesempurnaannya, hakim memiliki kekurangan dan kelebihan, namun demikian pada diri hakim dituntut sifat dan sikap manusia tipe ideal dalam bentuk:

a) Memegang teguh disiplin, yakni harus menepati ketentuan aturan persidangan, jika sidang ditetapkan pada hari dan jam tertentu, tepati dengan patuh.

b) Kwalitas moral yang tinggi dan mantap, yakni tidak ragu-ragu dan terombang-ambing, tidak dapat dipengaruhi apa dan siapapun, kokoh memegang prinsip kejujuran.

c) Berwawasan luas, yakni cakap dan trampil, menguasai dengan baik teknis justisial, memiliki dinamika antisipasi yang luwes secara efektif, maupun memodifikasi nilai-nilai yang segar secara analitis dan konstruktif, sehingga putusan yang dijatuhkan mengandung nilai-nilai hukum, kebenaran dan keadilan yang berbobot hukum yang matang (the maturity of law), yaitu yang rasional, praktis dan aktual.

2) Didukung oleh sikap arif dan manusiawi

Hakim sebagai pejabat yang dianugerahi Negara Hukum memimpin persidangan, mutlak dituntut kearifan, yakni berbudi luhur yang tulus dan ikhlas sebagai seorang manusia sopan dan santun, mampu menempatkan diri sebagai agent of service tidak ubahnya

Page 93: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

85

sebagai pelayan yang mengabdi kepada keadilan, menjauhkan sikap dan perilaku arogansi (kecongkakan kekuasaan) dan instrument of power dan menjunjung tinggi harkat martabat orang yang berperkara.

3) Menegakkan asas-asas imperialitas dan audi et alturam partem

Hakim tidak bertindak berat sebelah, maka hakim harus memberi kesempatan yang sama dan seimbang kepada para pihak dalam membela dan mempertahankan hak dan kepentingan mereka. Dengan demikian proses persidangan benar-benar menegakkan prinsip equality before the law, equal protection of the law, equal justice under the law, tidak boleh bersikap diskriminatif, baik yang bersifat normatif dan kategoris berdasar jenis kelamin, etnis, golongan dan status sosial.

4) Menegakkan asas-asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan

Asas-asas ini jangan hanya rumusan mati dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009, tapi benar-benar diwujudkan jika ingin menampilkan putusan yang mengandung edukasi, koreksi, prepensi dan represip. Proses persidangan yang panjang dan bertele-tele mengakibatkan kebenaran dan keadilan hancur ditelan masa, menimbulkan kebingungan dan keresahan yang berkepanjangan bagi yang berperkara dan berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat atas lembaga peradilan.

c. Proyeksi tatanan masa datang

Baik dari segi doktrin maupun politik hukum, salah satu tujuan penegakan hukum melalui putusan hakim, bertujuan memproyeksikan tatanan masyarakat pada masa

Page 94: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

86

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

yang akan datang. Penegakan hukum melalui putusan hakim bukan sekedar memberi kepastian hukum masa kini, tapi sekaligus harus mampu merekayasa tatanan masyarakat pada masa yang akan datang, dalam hal ini paling tidak pada bidang kehidupan tertentu, peran hakim harus mampu memproyeksikan rekayasa atau menjadi bagian rekayasa tatanan masyarakat yang lebih baik dan lebih tertib di masa yang akan datang.

d. Harus berperan mendamaikan

Bahwa hakim tidak semata-mata berperan dan berfungsi untuk memeriksa dan memutus perkara, tapi sesuai Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg, undang-undang memberi para hakim untuk mendamaikan. Peran mendamaikan lebih utama dari fungsi memutus perkara, upaya mendamaikan merupakan prioritas utama, sedangkan fungsi mengadili merupakan kegiatan dan tindak lanjut atas kegagalan upaya mendamaikan. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi, menegaskan bahwa dalam perkara perdata, khususnya yang sifatnya contentius, mediasi adalah suatu hal yang imperatif, bahkan menurut Pasal 2 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tersebut, tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum.

e. Ikut berperan membina law standard

Penegakkan hukum melalui badan peradilan (hakim) memerlukan terwujudnya unified legal framework dan unified legal opinion, yakni perlu terwujudnya keseragaman landasan hukum dan keseragaman pandangan hukum diantara para hakim, agar tidak berkembang putusan-putusan yang yang bersifat fluktuasis dan yang bercorak

Page 95: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

87

disparitas tinggi. Law standard dapat terbina dan terwujud, para hakim harus meneliti putusan-putusan yang telah menjadi stare decesis, yakni putusan yang mengandung nilai judge made law, berupa putusan yang aktual yang bermakna pembaharuan dari pembangunan hukum, isinya mengandung perlindungan kepentingan umum atau maslahat umum atau putusan tersebut mengandung common basic idie tatanan hukum masa yang akan datang dan putusan dimaksud bersifat konstan, yaitu selalu diikuti dalam kasus yang sama dari jumlahnya sudah banyak, maka putusan yang demikian dikualifikasi sebagai yurisprudensi.

Akan tetapi azas terikat mengikuti yurisprudensi, harus bersifat dinamik dengan acuan, Pertama, hakim tetap bebas menjatuhkan putusan yang bersifat variabel dalam kasus yang sama, berarti boleh menjatuhkan putusan yang menyimpang dari yurisprudensi, tetapi penyimpangan ini tidak bercorak fundamental hanya bersifat variabel, Kedua, hakim tetap bebas mencipta putusan baru, tetap dimungkinkan menyimpang secara keseluruhan dari putusan yurisprudensi yang telah bersifat stare decesis bilamana yurisprudensi tersebut tidak aktual lagi atau yurisprusensi itu bertentangan dengan kepentingan, ketertiban atau kemasalahatan umum.

Pengujian konstitusional (judicial review) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebenarnya sudah pernah dilakukan sebelumnya bahkan sudah sampai pada tahap putusan. Judicial Review kembali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ini karena Mahkamah mempertimbangkan dalam putusan perkara nomor 008/PUU-III/2005, bertanggal 19 Juli 2005, di halaman 495, yaitu:

“Apabila undang-undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan

Page 96: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

88

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

mahkamah diatas, maka terhadap undang-undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali (conditionally constitutional)”.

Dalam putusan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang pertama, Mahkamah Konstitusi memberikan persyaratan bahwa dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut, Pemerintah harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Peraturan pelaksana yang dimaksud, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, adalah peraturan yang levelnya di bawah Undang-Undang, baik Peratuarn Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan peraturan lainnya yang berada dibawah cabang kekuasaan eksekutif. Dalam praktiknya, Pemerintah tidak mengindahkan syarat konstiusional yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Hal ini terlihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum. Pada Pasal 64 ayat (3) dan ayat (5) yang memberikan peluang keterlibatan swasta dalam penyediaan sumberdaya air melalui hubungan hukum perjanjian dengan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Permohonan pengujian sejumlah Pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang diajukan oleh para pemohon dilakukan kembali karena pasal-pasal itu dinilai membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak swasta atas pengelolaan sumber daya air yang merugikan masyarakat Indonesia sebagai pengguna air. Meski mengakui keterlibatan swasta dijamin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/PUU-III/2005 yang mengakui peran swasta dan telah mewajibkan pemerintah memenuhi hak atas air sebagai kebutuhan pokok, di luar hak guna air.  Namun, penafsiran Mahkamah Konstitusi

Page 97: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

89

itu telah diselewengkan secara normatif yang berdampak teknis pelaksanaannya. 

Buktinya, dapat dilihat pada Pasal 1 angka 9  Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005    tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang menyebut penyelenggara pengembangan sistem penyediaan air minum adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta, atau kelompok masyarakat. Padahal, Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sudah dinyatakan pengembangan sistem pengembangan air minum adalah tanggung jawab pemerintah pusatatau pemerintah daerah. Ini artinya, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 merupakan swastanisasi terselubung dan pengingkaran tafsir konstitusional Mahkamah Konstitusi.

Kondisi yang demikian telah melahirkan pola pikir pengelola air yang selalu profit oriented dengan keuntungan maksimum bagi pemegang sahamnya. Hal ini sudah sangat jelas bahwa pasal-pasal privatisasi itu bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga harus dinyatakan dibatalkan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 haruslah dikuasai negara. Sehingga, dalam pengusahaan air harus ada pembatasan ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air apabila dilihat dari asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terutama pada Pasal 5 ayat (1) haruslah merefleksikan penegakan hukum dan keadilan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Page 98: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

90

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Sumber Daya Air yang dibacakan pada tanggal 18 Februari 2015 oleh ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, di salah satu amar putusannya hakim konstitusi mengabulkan permohonan dari pemohon untuk seluruhnya. Hal ini karena Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air melukai prinsip keadilan yang ada di dalam Pasal 33 Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena dianggap merampas hak konstitusionalitas warga negara Indonesia untuk mendapatkan air yang ada di tanah airnya sendiri.

Putusan Mahkamah Kontitusi dalam perkara judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) haruslah dikuasai negara. Sehingga, dalam pengusahaan air harus ada pembatasan ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi kehidupan. Berikut beberapa poin pembatasan yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam hal pembatasan pengelolaan air:

a. Setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan meniadakan hak rakyat, karena selain dikuasai negara, air ditujukan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

b. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah satu hak asasi manusia yang berdasarkan Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah tanggung jawab pemerintah.

c. Pengelolaan air harus mengingat kelestarian lingkungan.

d. Air harus dalam pengawasan dan pengendalian negara secara mutlak sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-

Page 99: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

91

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena air merupakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.

e. Hak pengelolaan air mutlak milik negara, maka prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.

Mahkamah Konstitusi menghapus keberadaan seluruh Pasal dalam  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004  tentang Sumber Daya Air yang diajukan para pemohon, karena dianggap belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Dengan dibatalkan keberadaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi menghidupkan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974  tentang Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya pembentukkan undang-undang baru. Karenanya, segala bentuk pengelolaan air tidak lagi berdasar pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, tetapi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. 

2. Penafsiran Konstitusi Perkara Judicial Review Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya air

Penafsiran konstitusi atau constitutional interpretation merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar, atau interpretation of the basic law91. Penafsiran konstitusi merupakan hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas judicial review. Chen menyatakan92:

91 Albert Chen. “The Interpretation Of The Basic Law”. Common Law And Mainland Chinesse Perspectives. No 1: 2000. Page 192 Ibid, Page 2

Page 100: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

92

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

“The American experience demonstrates that constitutional interpretation is inseparable from judicial review of the constitutionality of governmental actions, particularly legislative enactments”.

Terdapat pandangan yang mengemukakan, bahwa penafsiran konstitusi atau undang-undang dasar, tidaklah sama dengan penafsiran hukum. Bertumpu dari pengertian konstitusi atau undang-undang dasar di satu sisi, dan pengertian hukum di sisi lain jelaslah memang pengertian konstitusi atau undang-undang dasar itu tidak sama. Jika konstitusi diartikan sebagai undang-undang dasar atau hukum dasar yang tertulis, maka penafsiran konstitusi atau undang-undang dasar hanyalah merupakan salah satu bagian saja dari penafsiran hukum. Akan tetapi dalam praktik, pembedaan antara penafsiran konstitusi atau penafsiran hukum itu tidak dapat ditarik secara tegas, karena ketika hakim konstitusi menafsirkan konstitusi, ia tidak dapat dibatasi hanya dengan melakukan penafsiran terhadap norma-norma hukum tertulisnya saja atau sesuai dengan rumusan teks nya saja, melainkan dapat saja ia melakukan penafsiran terhadap norma-norma hukum konstitusi yang tidak tertulis, seperti asas-asas hukum umum (elgemene rechtsbeginselen) yang berada di belakang rumusan norma-norma hukum tertulis itu.

Penafsiran konstitusi yang dimaksud di sini adalah penafsiran yang digunakan sebagai suatu metode dalam penemuan hukum (rechstvinding) berdasarkan konstitusi atau undang-undang dasar yang digunakan atau berkembang dalam praktik peradilan Mahkamah Konstitusi. Metode penafsiran diperlukan karena peraturan perundang-undangan tidak seluruhnya dapat disusun dalam bentuk yang jelas dan tidak membuka penafsiran lagi. Mengenai ukuran kejelasan dalam peraturan perundang-undangan (termasuk konstitusi atau undang-undang dasar), Montesquieu mengajukan kriteria

Page 101: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

93

untuk menyusun peraturan perundang-undangan sebagai berikut93:

a. Gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana. Ini mengandung arti bahwa pengutaraan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan kebesaran (grandiose) dan retorik hanyalah mubasir dan menyesatkan. Ini mengandung arti bahwa pengutaraan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan kebesaran (grandiose) dan retorik hanyalah mubasir dan menyesatkan.

b. Peraturan-peraturan hendaknya membatasi dirinya pada hal-hal yang nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal yang bersifat metaforis dan hipotesis.

c. Peraturan-peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi, oleh karena ia ditujukan untuk orang-orang dengan kecerdasan tengah-tengah saja; peraturan itu bukan latihan dalam penggunaan logika, melainkan hanya penalaran sederhana yang bisa dilakukan oleh orang-orang biasa.

d. Janganlah masalah pokoknya dikacaukan dengan kekecualian, pembatasan atau modifikasi, kecuali dalam hal-hal yang sangat diperlukan.

e. Peraturan tidak boleh mengandung argumentasi; adalah berbahaya untuk memberikan alasan terperinci bagi suatu peraturan, oleh karena yang demikian itu hanya akan membuka pintu untuk pertentangan pendapat.

f. Akhirnya, di atas itu semua, ia harus dipertimbangkan dengan penuh kematangan dan mempunyai kegunaan praktis dan jangan hendaknya ia mengguncangkan hal-hal yang elementer dalam penalaran dan keadilan serta la nature des choices. Peraturan-peraturan yang lemah, yang tidak perlu dan tidak adil akan menyebabkan orang tidak menghormati perundang-undangan dan menghancurkan otoritas negara.

93 Satjipto Rahardjo, 2006. Loc.CIt, Hal 94-95

Page 102: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

94

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Jon Roland, salah seorang senator Amerika Serikat yang memiliki intensi yang tinggi terhadap hukum konstitusi telah mengemukakan prinsip-prinsip mengenai penafsiran konstitusi (Principles of Constitutional Interpretation) yang dibedakannya menjadi beberapa prinsip, yaitu94:

a. Tekstual

Penafsiran tekstual didasarkan pada kata-kata yang aktual dari hukum tertulis, jika makna dari kata-kata tersebut tidak ambigu. Karena pada dasarnya hukum adalah sebuah perintah, maka ia harus diartikan seperti apa makna yang dimaksud pembuat hukum (tertulis). Dan jika maksud kata digunakan dalam suatu peristiwa, maka analisis tekstual dari kata-kata harus seperti pemahaman yang diinginkan pembuat undang-undang, yang mana untuk konstitusi dapat dipahami dari persetujuan yang disahkan, jika hal tersebut tidak jelas, maka dicari dari pembuat naskah.

Penafsiran tekstual adalah penafsiran yang tidak lari dari teks atau naskah hukum tertulis. Penafsiran ini bersifat restriktif karena membatasi penafsiran pada ketentuan yang telah ada dari teks tertulis yang akan ditafsirkan. Disamping penafsiran restriktif, penafsiran letterlijk atau harfiah, arti kata atau istliah, penafsiran gramatikal, bahkan penafsiran otentik dapat dimasukkan sebagai bagian dari penafsiran tekstual. salah satu cara penerapan penafsiran tekstual dapat dilakukan dengan cara subsumptif, yaitu dengan menggunakan logika silogisme.

94 Jon Roland dalam Yance Arizona, 2007. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 33 UUD 1945: Perbandingan Putusan Pengujian UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan Pengujian UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, Skripsi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Hal 68

Page 103: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

95

b. Historikal

Dalam penafsiran historis atau historical interpretation, keputusan sedikit sekali didasarkan pada kata-kata yang aktual dalam undang-undang, melainkan lebih didasarkan kepada pemahaman yang diungkapkan dari sejarah naskah dan pengesahan undang-undang tersebut, demikian juga terhadap konstitusi atau aturan dasar. Kadang-kadang penafsiran ini disebut sebagai sejarah legislasi, dan untuk putusan pengadilan disebut sejarah kasus. Suatu analisa tekstual dari kata-kata yang diartikan bersentuhan dengan analisa sejarah.

Karena merupakan pendekatan sejarah, historical interpretation tidak bertitik tolak dari asas-asas hukum yang abstrak, betapa rasional pun, tetapi bersumber pada tradisi-tradisi yuridis nasional, yang merupakan gambaran dari kesadaran nasional bangsa atau jiwa bangsa (volksgeist). Jiwa ini muncul secara alami ke permukaan di dalam hukum kebiasaan setiap bangsa.

Historical interpretation mencoba meninjau kembali konstruksi pemikiran dan semangat masa lalu, kemudian menggunakan hal tersebut sebagai landasan yang original dalam memutus perkara aktual. Hal ini dapat dilihat dari risalah sidang, makalah, buku yang diterbitkan, dan lain-lain media yang merekam intensi para pembuat undang-undang serta suasana pada saat undang-undang itu di buat.

c. Fungsional

Dalam penafsiran fungsional (functional) atau disebut juga struktural, keputusan didasarkan dari struktur hukum dan bagaimana aturan tersebut diharapkan jelas keterkaitannya, sebuah sistem yang harmonis. Functional interpretation melihat hukum sebagai suatu sistem yang harmonis. Harmonisasi hukum itu dapat berupa

Page 104: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

96

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

keterkaitan secara horizontal, sesama undang-undang, maupun yang bersifat vertikal. Disamping meninjau keterkaitan antara norma hukum, functional interpretation juga mempertimbangkan bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam operasionalisasi suatu undang-undang. Jadi, ia juga bersifat antisipatif, tetapi antisipatif yang dimaksud di sini adalah antisipatif yang terikat pada penerapan suatu norma hukum dengan aturan hukum dibawahnya, bukan norma hukum itu sendiri yang bersifat antisipatif.

d. Doktrinal

Dalam Penafsiran Doktrinal, keputusan didasarkan kepada praktik yang berlaku atau pendapat hukum dari ahli hukum, terutama legislatif, eksekutif, atau yurisprudensi pengadilan, yang dijadikan sebagai prinsip untuk digunakan bagi keputusan pengadilan, yaitu tidak sebagai suatu nasehat belaka tetapi bersifat normatif. Disamping pendapat atau putusan dari lembaga-lembaga hukum, Doctrinal interpretation juga dapat bersumber dari pendapat-pendapat ahli dari bidang ilmu lain seperti ekonomi, sosial, dan lain sebagainnya.

Doctrinal interpretation melakukan penafsiran berdasarkan sumber-sumber hukum, yaitu dari sesuatu yang dianggap sebagai sebuah doktrin. Doktrin-doktrin tersebut lahir pada masa lalu, namun hal tersebut harus dibedakan dengan penafsiran berdasarkan sejarah (historical interpretation) karena doktrin-doktrin tidak dimaknai sebagai sumber hukum yang berdasarkan waktu kelahirannya (tempus), melainkan dari kaidah-kaidahnya yang berlaku lama.

e. Prudensial

Keputusan berdasar pada faktor di luar hukum

Page 105: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

97

atau kepentingan para pihak (masyarakat) dalam perkara, seperti memberi batas waktu yang harus dipenuhi pejabat publik, efisiensi kinerja pemerintah, menghindarkan dari pengaruh banyak hal, atau dari tekanan politis. seperti satu pertimbangan, menghindari mengganggu suatu kegiatan suatu lembaga, juga motivasi yang utama untuk metoda yang berkenaan dengan doktrin. juga meliputi seperti pertimbangan apakah suatu kasus adalah “siap” diputuskan, atau apakah perbaikan yang administratif menjelang diambil keputusan. Prudential interpretation berorientasi kepada kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah putusan. Ia berupaya menciptakan kondisi terbaik untuk memutus suatu perkara.

f. Ekuitabel

Penafsiran Ekuitabel atau equitable interpretation bisa juga disebut penafsiran etis. Dimana keputusan didasarkan pada perasaan keadilan, keseimbangan kepentingan dari para pihak, dan apa yang baik dan buruk, tanpa memperhatikan apa hukum (tertulis). Sering kali ditempatkan pada kasus di mana fakta tidak cukup untuk mengantisipasi atau memadai dari pembuat undang-undang. Beberapa sarjana menaruh berbagai ukuran keseimbangan dari kepentingan dan nilai-nilai dalam kategori kebijaksanaan. Tetapi tindakan itu lebih baik digunakan untuk membedakan kebijaksanaan sebagai keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai dalam sistem hukum dari pada kepatutan (equitable) sebagai keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai antara para pihak.

Ciri pokok dari equitable interpretation adalah adanya dua atau lebih variabel yang dipertimbangkan oleh hakim. Dua atau lebih variabel itu diakomodasi secara proposional. Hal ini berbeda dengan penafsiran perbandingan

Page 106: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

98

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

(comparative interpretation), bila comparative interpretation hanya memaparkan dua atau lebih variabel secara deskriptif, maka equitable interpretation melihat variabel-variabel yang ada sebagai hal yang dihimpun secara proporsional

g. Natural

Dalam penafsiran natural, keputusan didasarkan pada apa yang diwajibkan atau anjuran dari hukum yang alamiah, atau barang kali dari sifat-sifat dasar manusia, dan pada apa yang bersifat jasmaniah atau secara ekonomis mungkin atau dapat dilakukan, atau pikiran yang bersifat aktual. Penafsiran yang bersifat natural ini dapat dilihat dari putusan-putusan hakim yang memaparkan benda-benda secara alamiah, baik itu perilaku manusia maupun kejadian alam.

Hukum positif nampaknya belum dapat menentukan, bahwa dari sekian banyak macam metode interpretasi konstitusi yang ada atau berkembang dalam praktik peradilan di Mahkamah Konstitusi baik yang digunakan oleh pemohon, termohon, pihak terkait, saksi, ahli, maupun hakim konstitusi, hanya metode interpretasi konstitusi tertentu saja yang boleh dipilih dan digunakan oleh hakim konstitusi. Hakim konstitusi juga memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan metode-metode penafsiran konstitusi mana yang diyakininya benar. Dengan demikian hakim konstitusi memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan metode-metode penafsiran atau interpretasi itu. Mengenai hal ini, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pernah mengemukakan pandangan hukumnya sebagai berikut:

Page 107: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

99

“Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir undang-undang dasar (the sole judicial interpreter of the constitution), tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran originalisme dengan mendasarkan diri hanya kepada original intent perumusan Pasal UUD 1945, terutama apabila penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi Undang-Undang Dasar itu sendiri secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan. Mahkamah Konstitusi harus memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang terkandung di dalamnya guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih tepat dalam upaya mencapai cita negara (staatsideé), yaitu mewujudkan Negara Hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, yang merupakan penjabaran pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945”.

Jadi, terkait dengan prinsip independensi dan kebebasan hakim, hingga kini tidak ada ketentuan atau aturan yang mengharuskan hakim konstitusi hanya menggunakan salah satu metode penafsiran tertentu saja. Pemilihan dan penggunaan metode interpretasi merupakan kemerdekaan hakim konstitusi dalam penemuan hukum. Terkait dengan hal ini, Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengemukakan:

“Kemerdekaan dimaksud juga diartikan bahwa hakim bebas memutus sesuai dengan nilai yang diyakininya melalui penafsiran hukum, walaupun putusan yang didasarkan pada penafsiran dan keyakinan demikian mungkin berlawanan

Page 108: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

100

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

dengan mereka yang mempunyai kekuasaan politik dan administrasi”.

Dalam pertimbangan yang dimuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, hakim konstitusi memberikan penafsiran pada Pasal-pasal yang dianggap pemohon sebagai komersialisasi terselubung. Hal ini tidak terlepas dari permohonan pemohon judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang meminta hakim konstitusi untuk menguji konstitusionalitas Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagaimana disebutkan lengkap dalam bagian duduk perkara yang dapat dikelompokkan ke dalam pokok permasalahan sebagai berikut:

a. Pengelolaan air dengan menggunakan instrumen pemberian hak guna air, sebagaimana diatur dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.

b. Pendayagunaan sumber daya air, termasuk pengusahaan air, sebagaimana diatur dalam Pasal 26, Pasal 29, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 48, dan Pasal 49.

c. Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 80.

d. Gugatan masyarakat dan organisasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92.

Guna mempertimbangkan permasalahan permohonan para pemohon, di dalam salah satu pertimbangannya, hakim konstitusi menggunakan penafsiran fungsional. Dalam kategori penafsiran konstitusi yang digariskan oleh Jon Roland, konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) merupakan bentuk dari penafsiran fungsional (functional interpretation), Penafsiran fungsional melihat hukum sebagai

Page 109: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

101

suatu sistem yang harmonis. Harmonisasi hukum itu dapat berupa keterkaitan secara horizontal, sesama undang-undang, maupun yang bersifat vertikal. Disamping meninjau keterkaitan antara norma hukum, penafsiran fungsional juga mempertimbangkan bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam operasionalisasi suatu undang-undang. Jadi dia juga melihat bagaimana suatu perundang-undangan dijalankan sebagai suatu sistem yang lintas institusi.

Penafsiran fungsional pada putusan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sangat mempengaruhi pertimbangan mahkamah. Salah satu contoh penafsiran fungsional pada putusan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dapat dilihat pertimbangan mahkamah, berikut:

“Apabila undang-undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan mahkamah diatas, maka terhadap undang-undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali (conditionally constitutional)”.

Selain penafsiran fungsional yang paling mempengaruhi putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, terdapat beberapa penafsiran lain yang dilakukan oleh hakim konstitusi salah satunya adalah penafsiran historis. Dalam salinan putusan, mahkamah mempertimbangkan bahwa:

“Sejarah menjadi saksi bahwa sejak dahulu kala, sebelum masyarakat mengikatkan diri sebagai suatu bangsa dan negara, hingga saat ini, air merupakan kebutuhan dasar manusia yang dikaruniakan oleh Allah Subhanahuwata’ala Tuhan Yang Maha Esa, sehingga air menjadi hak publik (res commune), yaitu suatu hak yang dimiliki oleh masyarakat secara bersama-sama”.

Page 110: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

102

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Pandangan sebagaimana diuraikan diatas secara konstitusional dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjadi salah satu pertimbangan mahkamah dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Selanjutnya, mahkamah menggunakan penafsiran doktrinal yang mana pendapat hukum yang digunakan oleh mahkamah adalah pendapat hukum komite Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya terhadap komentar umum mengenai hat atas kesehatan sebagaimana dikutip oleh mahkamah sebagai berikut:

“komentar umum tersebut menafsirkan hak inklusif yang meliputi tidak saja pelayanan kesehatan yang terus menerus dan layak tetapi juga meliputi faktor-faktor yang menentukan kesehatan yang baik, termasuk salah satu didalamnya adalah akses kepada air minum yang aman”.

Mahkamah pun kemudian menegaskan bahwa sebagai bagian dari hak asasi, maka negara wajib menghormati, melindungi, dan memenuhinya. Pada saat yang sama mahkamah menekankan bahwa aspek hak asasi tersebut, tidak hanya menyangkut kebutuhan sekarang tetapi juga harus dijamin kesinambungannya untuk masa depan karena menyangkut eksistensi manusia. Kemudian, mahkamah membatasi pengertian pihak yang berhak melakukan pengelolaan terhadap air dalam hal ini pihak swasta beserta keleluasaannya mengolah air dengan menggunakan penafsiran tekstual dan prudensial secara bersamaan yang sifatnya restriktif atau membatasi apa yang tertulis di dalam undang-undang sebagaimana berikut:

“hak guna usaha air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat doperoleh atau diusahakan

Page 111: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

103

oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini, izin harus dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan. Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan penguasaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan negara secara ketat.

Dibatalkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air memang secara otomatis juga mengakhiri konsep privatisasi pemanfaatan sumber daya air hujan melalui penyelenggaraan modifikasi cuaca sebagaimana sebelumnya di atur dalam Pasal 38 ayat (2). Namun, permasalahan hukum yang baru timbul dari Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Di berlakukanya kembali Undang-Undang Pengairan oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengisi kekosongan hukum pengelolaan sumber daya air ternyata justru menimbulkan kekosongan hukum dalam pengaturan pemanfaatan sumber daya air hujan. Undang-Undang Pengairan tidak mengatur tentang pemanfaatan sumber daya air hujan, khususnya melalui penyelenggaraan modifikasi cuaca. Mahkamah Konstitusi tidak sepenuhnya melarang pihak swasta untuk ikut melakukan pemanfaatan sumber daya air. Mahkamah Konstitusi mengamanatkan bahwa penggunaan istrumen Hak Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas sumber air, sungai, danau, atau rawa, melainkan sebagai instrument perizinan sehingga dapat dijadikan pengendalian kegiatan pengusahaan sumber air oleh pemerintah. Swasta tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi yang ditentukan dalam izin yang

Page 112: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

104

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

diberikan oleh negara secara ketat. Konklusi yang ditetapkan Mahkamah Konstitusi tersebut dapat diartikan bahwa swasta masih dapat melakukan pengusahaan sumber daya air hujan melalui penyelenggaraan modifikasi cuaca. namun dengan sistem perizinan dan batasan yang ketat dari pemerintah. Masalahnya adalah Undang-Undang Pengairan tidak mengatur tentang itu, apalagi aturan pelaksanaannya. Artinya terdapat kekosongan hukum dalam pengaturan penyelenggaraan modifikasi cuaca oleh swasta. Dapat saja dalam praktik dilapangan terjadi kecurangan untuk menguasai kembali penyelenggaraan modifikasi cuaca oleh swasta. Dengan demikian mengancam hak petani atas akses air.

Praktik privatisasi ini telah mengancam dan menghalangi hak petani atas akses air irigasi. Secara hukum Pasal 38 ayat (2) yang memberikan kewenangan swasta dalam penyelenggaraan modifikasi melanggar ketentuan hukum yang menjamin hak-hak petani atas air irigasi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2),Pasal 28 H ayat (1), Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 2 Ayat (1) UUPA, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia alinea ke 5, Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Covenan Internasioanal Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Praktik privatisasi sumber daya air hujan melalui penyelenggaraan modifikasi cuaca oleh swasta yang menghalangi pemenuhan hak petani atas akses air tersebut di atas menjadi salah satu alasan dikeluarkannya Putusan

Page 113: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

105

Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XI/2013 yang membatalkan seluruh ketentuan dalam Undang-Undang SDA. Politik hukum yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 85/PUU-XI/2013 mengacu pada cita-cita bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur serta tujuan negara Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum. Hak atas air dan akses atas air merupakan hak setiap warga negara negara dimana negara harus menghormati, melindungi dan memenuhinya. Oleh karena itu sudah tepat apabila Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 membatalkan keberlakuan Undang-undang SDA dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Air yang pada hakikatnya merupakan hak asasi petani kemudian berubah menjadi komoditas dagang Oleh karena itu MK melalui Putusan Nomor 85/PUU- XI/2013 telah menegaskan kembali bahwa air merupakan hak dasar manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu pemanfaatan sumber daya air hujan melalui penyelenggaraan modifikasi cuaca tidak boleh melanggar hak atas air dan hak atas akses air bagi petani. Penyelenggaraan modifikasi cuaca sebagaimana sebelumnya diatur pada Pasal 38 ayat (2) Undang-undang Sumber Daya Air merupakan tangung jawab negara sebagai bentuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak petani atas air dan akses atas air.

Melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menggunakan lebih dari satu metode penafsiran konstitusi dalam memutus judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menegaskan bahwa tidak ada pembatasan bagi hakim konstitusi untuk menggunakan metode penafsiran di dalam menghadapi peristiwa konkret

Page 114: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

106

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

yang dihadapkan kepadanya, hanya dalam kasus judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ini, penafsiran yang paling memberikan kontribusi terhadap putusan adalah penafsiran fungsional. Dengan penafsiran fungsional inilah, hakim konstitusi bisa untuk menerima pengujian kembali judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dengan melihat implementasinya pada peraturan yang mengikuti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang ternyata tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 115: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

107

Kewenangan hakim konstitusi dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dilihat dari Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Kemudian Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mempunyai makna bahwa apapun perkara yang dihadapkan pada pengadilan, maka hakim konstitusi sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman di pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Jelas atau tidaknya hukum yang mengatur tentang perkara tersebut, hakim konstitusi tetap harus mengali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam measyarakat, oleh karena itulah dalam setiap perkara yang dihadapkan kepadanya hakim konstitusi akan tetap melakukan penafsiran demi terwujudnya tujuan kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu penegakkan hukum dan keadilan.

Bab 4

CATATAN PENUTUP

Page 116: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

108

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Putusan perkara judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, hakim konstitusi sudah menerapkan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang dapat dilihat dari putusan hakim konstitusi dengan membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat. Putusan ini apabila dilihat dari asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman pada Pasal 5 ayat (1), sudah memenuhi unsur menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dilaksanakannya asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman oleh hakim konstitusi dalam putusan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dapat dilihat dari cara hakim konstitusi menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat dengan menggunakan beberapa metode penafsiran konstitusi. Beberapa metode penafsiran konstitusi tersebut adalah metode penafsiran tekstual, historikal, fungsional, doktrinal, dan prudensial. Namun diantara beberapa metode penafsiran konstitusi yang digunakan, yang paling mempengaruhi putusan judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah metode penafsiran fungsional. Dalam penafsiran fungsional keputusan didasarkan dari struktur hukum dan bagaimana aturan tersebut diharapkan jelas keterkaitannya sebagai sebuah sistem yang harmonis. Penafsiran fungsional dalam perkara judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 dapat dilihat dari cara hakim konstitusi yang melihat penerapan Undang-Undang ini dalam ketentuan pelaksanaannya.

Hakim konstitusi tidak boleh ragu untuk melakukan penafiran hukum terhadap peraturan perundang-undangan terkait perkara yang dihadapkan kepadanya karena sebagai salah satu ujung tombak kekuasaan kehakiman di Indonesia hakim konstitusi haruslah terus

Page 117: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

109

mengikuti rasa keadilan yang ada di dalam masyarakat dalam setiap putusannya. Hakim konstitusi hendaknya lebih konsisten lagi mengeluarkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan yang ada di dalam masyarakat seperti putusan judicial review Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman agar tujuan dari kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu penegakkan hukum dan keadilan dapat menjadi tradisi yang dapat konsisten dilakukan oleh hakim konstitusi dan selanjutnya akan diikuti pula oleh seluruh instrumen kekuasaan kehakiman lainnya di Indonesia.

Dalam hal pengelolaan sumber daya air di Indonesia, hendaknya pihak swasta tidak melakukan monopoli sumber daya air yang menyebabkan kerugian konstitusionalitas rakyat Indonesia. Pengelolaan sumber daya air seyogyanya dilakukan dengan prinsip keadilan, dimana setiap warga negara Indonesia dapat memperoleh hak konstitusionalnya untuk mendapatkan air di tanah airnya sendiri.

Page 118: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

110

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

BUKUAchmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis

dan Sosiologis, Jakarta: Gunung Agung.

Achmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.

Arief Sidharta, 2007. Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum: Teori Hukum Dan Filsafat Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Bambang Sutiyoso, 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia – Upaya Membangun Kesadaran Dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan Dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi. Bandung: Citra Aditya Bakti.

C.S.T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Fickar Hadjar, 2003. Pokok-Pokok Pikiran Dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KRHN dan Kemitraan.

Idris Rachmawati dan Imam Mulyana, 2012. Penemuan Hukum Nasional dan Internasional. Bandung: Penerbit Fikahati Aneska

Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

DAFTAR PUSTAKA

Page 119: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

111

J.A. Pontier, 2008. Penemuan Hukum. Bandung: Jendela Mas Pustaka.

Jazim Hamidi, 2005. Hermeneutika Hukum – Sejarah Filsafat Dan Metode Tafsir. Malang: UB Press.

Jimly Asshiddiqie, 1998. Teori Dan Aliran Penafsiran Konstitusi, Jakarta: Ind-hill,co.

______, 2004. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 45. Yogyakarta: UII Press.

, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

______, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: BIP-Gramedia.

______, 2011. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Sinar Grafika.

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Lilik Mulyadi, 2005. Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan Praktik Peradilan Indonesia. Jakarta: Djambatan.

M. Natsir Asnawi, 2014. Hermeneutika Putusan Hakim. Yogyakarta: UII Press.

Mahfud MD, 1999. Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press.

Maruarar Siahaan, 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Muladi, 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, Dan Reformasi Hukum DI Indonesia. Jakarta: The Habibie Center.

Ni’matul Huda, 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Kelima. Jakarta: Penerbit Rajawali.

Page 120: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

112

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Nurcholis Syamsudin, 2012. Prospektif Peran Hakim Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman. Semarang: Aneka Ilmu.

Otje Salman, 2009. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika Masalah). Bandung: Penerbit Refika Aditama.

Peter Mahmud Marzuki, 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.

_____, 2014. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005. Argumentasi Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Riduan Syahrani, 2000. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Ridwan Halim, 2005. Hukum Acara Perdata Dalam Tanya Jawab. Bogor: Ghalia Indonesia.

Rosjidi Ranggawidjaja, 1996. Pengantar Ilmu Perundang-undangan. Bandung: Mandar Maju.

Satjipto Rahardjo, 2006. Membelah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

Soeroso, 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Sudikno Mertokusumo, 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Liberty

______, 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

______, 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Page 121: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

113

Syarif Mappiasse, 2015. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Jakarta: Kencana

Tim Peneliti PKK FH Universitas Jenderal Soedirman, 2006

Utrecht, 1986. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Dibalik Putusan Hakim, Kajian Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana. Sidoarjo: Citramedia.

JURnalAlbert Chen. “The Interpretation Of The Basic Law”. Common Law

And Mainland Chinesse Perspectives. No 1: 2000

Dennis Patterson. “Interpretation In Law”. Departments Of Law And Philosophy. No 1:2003

Hideki Kanda dan Curtis J. Milhaupt, “Re-examining Legal Transplants: The Director’s Fiduciary Duty in Japanese Corporate Law”, American Journal of Comparative Law, Vol. 51, 2003

Jonathan Wheatley, “Brazil’s Judicial Nightmare Brings Gridlock for Growth”, FinancialTimes”

Katharine Pistor, Martin Raiser, dan Stanislaw Gelfer, “Law and Finance in Transition Economies”, Economics of Transition, Vol. 8, No. 2

Lars P. Feld dan Stefan Voigt, 2004, “Making Judges Independent-Some Proposals Regarding the Judiciary”, CESifo Working Paper No. 1260.

R.M. Ananda. B. Kusuma. “Bagaimana Menginterpretasikan Konstitusi Kita” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 1 No 3: 2005

Roumeen Islam, 2003, “Institutional Reform and the Judiciary: Which Way Forward”, World Bank Policy Research Working Paper 3134

Page 122: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

114

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

SKRIPSIYance Arizona, 2007. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap

Pasal 33 UUD 1945: Perbandingan Putusan Pengujian UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan Pengujian UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, Skripsi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

PERatURan PERUnDanG-UnDanGan:Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005  tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/2003 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Page 123: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

115

Putusan Nomor 058/PUU-II/2004, 059/PUU-II/2004, 060/PUU-II/2004, 063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-II/2005 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.

IntERnEthukumonline.com/berita/baca/lt559fba87c3065/putusan-ibonda-i-

yang-mengayun -bismar, oleh penulis, 2015.

oke z on e . c om / re a d / 2 0 1 5 / 0 2 / 1 6 / 3 3 7 / 1 1 0 6 5 3 0 / putu s an -praperadilan-bg-hakim-laku kan-penafsiran-hukum, oleh Syamsul Anwar Khoemani, 2015.

Utpal Bhattacharya dan Hazem Daouk. 2004. When No Law is Better than a Good Law. Working Paper. Available at [http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=558021]

Page 124: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

116

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

Page 125: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

117

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. Lahir di Gunung Kidul, 1 Mei 1978. Merupakan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret sejak 2004. Menyelesaikan pendidikan sarjana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (2001), Magister Hukum Universitas Gadjah Mada (2003), dan Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret (2014).

Pernah menempuh Sandwich Like Program di School of Economics, Law, and Governemnt Utrecht University, Netherland (2012) untuk memperdalam riset hukum dan penulisan jurnal internasional. Pernah menjabat sebagai Sekretaris Badan Mediasi dan Bantuan Hukum Universitas Sebelas Maret (2004-2011), Kepala Pusat Penelitian Konstitusi dan Hak Asasi Manusia LPPM Universitas Sebelas Maret (2010-2012), dan Koordinator Tenaga Ahli Rektor Bidang Hukum (2015-sekarang). Aktif melakukan penelitian antara lain Hibah Kajian Wanita (2005), Hibah Strategi Nasional Dirjen Dikti (2012 dan 2013), Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (2015), dan Hibah Prioritas Nasional MP3EI Dirjen Dikti (2016), serta penelitian yang dibiayai oleh PNBP Universitas Sebelas Maret (2013 dan 2015). Ia juga aktif menulis di media nasional dan lokal untuk isu-isu hukum dan politik serta berpengalaman melakukan advokasi kebijakan publik dan menjadi mentor dalam bimbingan teknis pengembangan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan.

PROFIL PENULIS

Page 126: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

118

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)

aryoko abdurrachman, S.H. Lahir di Jakarta, 25 September 1993. Merupakan Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan Konsentrasi Hukum Kesehatan. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2015 dengan konsentrasi Hukum Tata Negara. Aktif menjadi asisten dosen dan asisten

peneliti di kampusnya. Minat utamanya adalah mengkaji isu-isu kekuasaan kehakiman dalam hukum tata negara dan isu-isu penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Page 127: Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi file... · Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127 2 Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar

119