PEMBERIAN RUMPUT LAUT SEBAGAI SELTER PADA … · LUKMANUL HAKIM. Pemberian Rumput Laut sebagai...

30
PEMBERIAN RUMPUT LAUT SEBAGAI SELTER PADA PENDEDERAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei DI LAUT DENGAN SISTEM IMTA LUKMANUL HAKIM DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2018

Transcript of PEMBERIAN RUMPUT LAUT SEBAGAI SELTER PADA … · LUKMANUL HAKIM. Pemberian Rumput Laut sebagai...

PEMBERIAN RUMPUT LAUT SEBAGAI SELTER

PADA PENDEDERAN UDANG VANAME Litopenaeus

vannamei DI LAUT DENGAN SISTEM IMTA

LUKMANUL HAKIM

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2018

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Pemberian Rumput

Laut sebagai Selter pada Pendederan Udang Vaname Litopenaeus vannamei di

Laut dengan Sistem IMTA” adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi

Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2018

Lukmanul Hakim

NIM C14130070

ABSTRAK

LUKMANUL HAKIM. Pemberian Rumput Laut sebagai Selter pada Pendederan

Udang Vaname Litopenaeus vannamei di Laut dengan Sistem IMTA. Dibimbing

oleh IRZAL EFFENDI dan IIS DIATIN.

Udang vaname Litopenaeus vannamei adalah salah satu komoditas

unggulan nasional yang tengah diupayakan dibudidayakan di laut. Berbeda

dengan tambak, laut lebih dinamis dan miskin pakan alami, sehingga diperlukan

selter sebagai tempat berlindung dan substrat penumbuhan pakan alami (perifiton)

untuk udang yang dipelihara. Rumput laut Glacilaria sp. bisa dijadikan selter

sebagai implementasi sistem integrated multi trophic aquaculture (IMTA).

Penelitian ini bertujuan menentukan biomasa selter rumput laut yang optimal

berdasarkan kinerja produksi yang terbaik pada pemeliharaan pendederan udang

vaname dengan sistem IMTA dalam karamba jaring apung (KJA) di laut.

Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga perlakuan biomasa

selter rumput laut 1, 2 dan 3 kg per KJA (1,5 m3), setiap pelakuan diulang tiga

kali. Selter diletakkan dalam KJA dengan cara digantung 20 cm di bawah

permukaan air. Udang vaname (0,0182±0,0002 g ekor-1

) dipelihara dalam KJA

1×1×2 m dengan padat penebaran 500 ekor m-2

dan diberi pakan buatan dengan

frekuensi tiga kali sehari. Udang dipelihara selama 60 hari dan setiap 20 hari

dilakukan pengamatan pertumbuhan. Selter rumput laut sebanyak 3 kg per wadah

menghasilkan kinerja produksi udang vaname yang optimal (p<0,05). Pada

perlakuan tersebut diperoleh tingkat kelangsungan hidup 79,30±0,99 %,

pertumbuhan bobot harian sebesar 0,0418±0,008 g hari-1

, pertumbuhan bobot

spesifik 8,58±0,04 %, dan rasio konversi pakan 1,64±0,08.

Kata kunci: perifiton, rumput laut, selter, udang vaname

ABSTRACT

LUKMANUL HAKIM. Stocking of Seaweed as Shelter in White Shrimp

Litopenaeus vannamei Nursery at Sea with IMTA System. Supervised by IRZAL

EFFENDI dan IIS DIATIN.

White shrimp Litopenaeus vannamei is one of the national major

commodity, which is being pursued cultured in the sea. In contrast to the ponds,

the sea is more dynamic and poor in natural food, so it is necessary shelter for

protecting shrimp and growing natural food (periphyton). Seaweed Glacilaria sp.

can be made shelter as implementation integrated multi trophic aquaculture

(IMTA) system. The purpose of this research was to determine the optimum

biomass of seaweed shelter which give best production performance of white

shrimp nursery at sea floating net cages (FNC) at sea with IMTA system. The

study used a complete randomized design with three treatments of seaweed

biomass of 1, 2 and 3 kg per FNC (1,5 m3), and each treatment was repeated three

times. The shelter was hanged in FNC 20 cm under water surface. White shrimp

(0.0182±0.0002 g shrimp-1

) were stocked in the FNC 1×1×2 m with density of 500

shrimp m-2

and given artificial feed with feeding frequency of three times a day.

Shrimp were reared for 60 days and every 20 days were sampled for growth

observation. Seaweed shelter with 3 kg biomass per cage produces the optimum

vaname shrimp production performance (p<0,05) with survival rate of 79,30±0,99

%, growth rate of 0,0418±0,008 g day-1

, specific growth rate of 8,58±0,04 %, and

feed conversion rate of 1,64±0,08.

Keywords: periphyton, seaweed, shelter, white shrimp

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Perikanan

pada

Departemen Budidaya Perairan

PEMBERIAN RUMPUT LAUT SEBAGAI SELTER

PADA PENDEDERAN UDANG VANAME Litopenaeus

vannamei DI LAUT DENGAN SISTEM IMTA

LUKMANUL HAKIM

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2018

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih yaitu

berjudul “Pemberian Rumput Laut sebagai Selter pada Pendederan Udang

Vaname Litopenaeus vannamei di Laut dengan Sistem IMTA”.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah

memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi, di antaranya:

1. Dr. Ir. Irzal Effendi, M.Si selaku Pembimbing I dan Dr. Ir. Iis Diatin, MM

selaku Pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan serta dukungan

yang banyak dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tugas akhir ini.

2. Prof. Dr. Ir. M. Zairin Junior, M.Sc selaku Penguji Tamu dan Dr. Ir. Eddy

Supriyono, M.Sc selaku perwakilan Gugus Kendali Mutu, yang telah

memberikan bimbingan serta dukungan yang banyak dalam pelaksanaan dan

penyusunan tugas akhir ini.

3. Pegawai Balai Sea Farming PKSPL IPB yaitu Mas Widi, Bang Omen, Bang

Riki, Bang Bowi, Rovi, Bang Anwar yang telah membantu penelitian di

lapangan sejak persiapan hingga selesai penelitian.

4. Bapak Marjanta dan Ibu Yuli Rohmalia yang telah membantu mengelola

administrasi seminar dan ujian sidang skripsi.

5. Kedua orang tua, Bapak H. Helmi Surya Botutihe, SE, MM. dan Ibu Hj. Lely

Lihayati, kakak Syahidah Asma Amani S.Gz dan Aisyah Muti’ah S.Pi, adik

Balqis Qonita, Fida Hasanah, dan Hannan Adzkia, serta seluruh keluarga besar

atas doa serta dukungannya.

6. Teman-teman BDP 50 yaitu Luthfi yang telah membantu dalam pengerjaan

data penelitian serta Nina, Putra dan Salma yang telah membantu dalam

pengerjaan penelitian di lapangan.

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan seluruh pihak

dalam mengembangkan budidaya udang vaname di laut.

Bogor, Juli 2018

Lukmanul Hakim

.

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat 2

Rancangan Penelitian 2

Teknik Pendederan 2

Parameter Uji 3

Analisis Data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Hasil 8

Pembahasan 10

KESIMPULAN DAN SARAN 12

Kesimpulan 12

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 13

LAMPIRAN 16

RIWAYAT HIDUP 20

DAFTAR TABEL

1 Parameter fisika kimia air dalam karamba jaring apung di laut yang

diukur selama pemeliharaan udang vaname Litopenaeus vannamei 3 2 Kinerja pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei dan biomasa

akhir rumput laut dalam karamba jaring apung di laut pada berbagai

perlakuan. 8 3 Perifiton dalam media pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei

karamba jaring apung di laut dengan perlakuan biomasa selter rumput

laut 1, 2 dan 3 kg. 9 4 Nilai Index of Preponderans (IP) dan mikroorganisme/pakan alami yang

terdapat dalam lambung udang vaname Litopenaeus vannamei. 9 5 Fisika kimia air media pemeliharaan pendederan udang vaname

Litopenaeus vannamei dalam karamba jaring apung di laut dengan

perlakuan biomasa selter rumput laut 1, 2 dan 3 kg. 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Gambar wadah pemeliharaan penelitian udang vaname Litopenaeus

vannamei dalam karamba jaring apung di laut pada perlakuan biomasa

selter rumput laut 1, 2 dan 3 kg. 16 2 Analisis statistik hasil penelitian udang vaname Litopenaeus vannamei

pada perlakuan biomasa selter rumput laut 1, 2 dan 3 kg. 17 3 Contoh organisme perifiton yang ditemukan pada substrat rumput laut,

dinding jaring dan isi lambung udang vaname Litopenaeus vannamei. 18

4 Hasil jenis dan jumlah perifiton yang ditemukan dari selter rumput laut

dan dinding jaring udang vaname Litopenaeus vannamei dalam KJA air

laut. 19

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Potensi sumber daya perairan laut di Indonesia cukup besar untuk usaha

budidaya laut yang diperkirakan mencapai 8,4 juta hektar, namun belum

dimanfaatkan secara optimal, termasuk untuk budidaya udang vaname

Litopenaeus vannamei (KKP 2016). Udang vaname merupakan salah satu

komoditas unggulan nasional. Produksi udang vaname Indonesia pada 2015

sebesar 421.089 ton dan pada 2016 sebesar 488.019 ton serta berpotensi

meningkat pada tahun-tahun berikutnya (DJPB 2017). Udang vaname mempunyai

keunggulan diantaranya, waktu pemeliharaan lebih pendek yakni 90−100 hari,

padat tebar lebih tinggi hingga lebih dari 150 ekor m-2

, dapat dipelihara dalam

salinitas perairan dengan kisaran yang lebar (0,5−45 g L-1

) dan relatif lebih

resisten terhadap kualitas lingkungan yang rendah (Hudi dan Shahab 2005).

Pemanfaatan laut untuk budidaya udang vaname menggunakan karamba

jaring apung (KJA) masih terbatas, namun sudah mulai berkembang di Indonesia.

Budidaya udang vaname di laut memiliki keuntungan dibanding dengan di

tambak, yaitu tidak membutuhkan energi untuk pergantian air dan aerasi, perairan

laut yang luas, limbah padatan dan tersuspensi tidak terakumulasi di sekitar

karamba serta pergantian air yang terjadi terus-menerus (Zarain-Herzberg et al.

2010). Kelemahan dalam budidaya udang vaname di laut, yaitu kelangsungan

hidup serta produktivitas yang masih rendah (30−60%) dibandingkan dengan di

tambak dan rasio konversi pakan yang tinggi (2,88−2,92) (Zarain-Herzberg et al.

2006). Hal tersebut diduga disebabkan oleh beberapa faktor seperti

kecerahan/intensitas cahaya, arus dan gelombang yang relatif terlalu tinggi, serta

rendahnya produktivitas plankton di perairan (oligotropik) (Effendi et al. 2016b).

Usaha yang dapat dilakukan dalam mengurangi faktor tersebut yaitu penggunaan

selter dalam wadah budidaya.

Rumput laut Glacilaria sp. bisa dijadikan selter dalam aplikasi sistem

integrated multi trophic aquaculture (IMTA). IMTA merupakan sistem budidaya

laut dengan pendekatan ekosistem yang memanfaatkan ekosistem laut untuk

mengatasi permasalahan lingkungan terhadap penggunaan pakan pada kegiatan

budidaya dan saling menguntungkan antar spesies (Yudiastuti et al. 2018). Sistem

IMTA telah banyak dikembangkan dengan dua spesies atau lebih (Putro et al.

2015). Rumput laut mempunyai peran ekologis, yaitu mampu menyerap nitrogen

dalam bentuk NH3 dan NO3 melalui thallus serta mampu berfotosintesis yang

dapat menghasilkan oksigen (Akhrari 2013). Berdasarkan penelitian dari Radiarta

dan Erlania (2016), sistem IMTA pada komoditas ikan kerapu macan, ikan bawal

bintang dan rumput laut menunjukkan produktivitas budidaya yang baik. Fungsi

rumput laut sebagai selter yaitu dapat dijadikan tempat berlindung udang dan

sebagai substrat penumbuhan pakan alami. Rumput laut tergolong ke dalam

substrat alami (aufwuchs) untuk perifiton, yaitu seluruh kelompok organisme

umumnya mikroskopis yang hidup menempel pada benda atau pada permukaan

tumbuhan air yang terendam, tidak menembus substrat, diam atau bergerak di

permukaan substrat tersebut (Azim dan Verdegem 2001). Penelitian ini dilakukan

karena belum ada informasi tentang penggunaan biomasa selter rumput laut yang

2

optimal untuk digunakan pada wadah pemeliharaan pendederan udang vaname di

karamba jaring apung laut.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menentukan biomasa selter rumput laut yang

optimal berdasarkan kinerja produksi yang terbaik pada pemeliharaan pendederan

udang vaname di karamba jaring apung laut.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada 23 Februari hingga 25 April 2017 di Balai

Sea Farming Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut Institut Pertanian Bogor

di perairan Karang Lebar, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta untuk pemeliharaan

udang. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan di Laboratorium Lingkungan

Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan (BDP), Fakultas Perikanan dan Ilmu

Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB). Pengamatan perifiton dan isi

lambung dilakukan di Laboratorium Teknik Produksi dan Manajemen

Akuakultur, Departemen BDP, FPIK, IPB.

Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan 3

perlakuan yaitu biomasa rumput laut Glacilaria sp. sebanyak 1, 2 dan 3 kg per

wadah serta setiap perlakuan diulang 3 kali.

Teknik Pendederan

Wadah yang digunakan berupa kantong jaring (hapa) berbahan dasar

polyethylene (PE) berukuran 1×1×2 m sebanyak 9 unit. Ukuran mata jaring yang

digunakan sebesar 1 mm (hapa). Jaring ditempatkan pada sistem karamba jaring

apung (KJA) yang berbahan dasar high density polyethylene (HDPE). Selter

berupa rumput laut yang diambil dari tambak swasta di Karawang. Proses adaptasi

rumput laut yaitu ditenggelamkan di dasar jaring selama satu minggu. Selter

rumput laut ditempatkan di dalam wadah budidaya, 1 minggu sebelum penebaran

benur. Selter rumput laut dibuat dari tali tambang utama (5 mm) yang

digantungkan secara vertikal sepanjang 1 m. Terdapat tiga tingkat rumpun rumput

laut pada tali tersebut dengan jarak dari tingkat rumpun pertama ke permukaan air

20 cm dan jarak antar tingkatan rumpun 40 cm. Setiap rumpun rumput laut diikat

pada tali penghubung (1,3 mm), selanjutnya tali penghubung diikat ke tali utama.

Terdapat lima tali utama pada setiap wadah yang diletakkan pada setiap sisi dan

di bagian tengah wadah pemeliharaan. Rumput laut dibagi rata pada setiap

rumpun sesuai dengan perlakuan biomasa selter rumput laut per wadah

(Lampiran 1).

3

Udang vaname yang digunakan berupa benur (post larva) PL 10 yang

diambil dari hatchery swasta Labuan, Anyer. Benur yang dipelihara berbobot rata-

rata 0,0182±0,0002 g dan panjang rata-rata 0,821±0,02 cm dengan padat tebar

yang digunakan yaitu 500 ekor m-2

. Udang ditebar setelah melewati proses

aklimatisasi dengan menaruh wadah penebaran di atas permukaan air selama 15

menit, kemudian udang dilepaskan secara perlahan hingga keluar dengan

sendirinya. Udang dipelihara selama 60 hari dan diberikan pakan berupa pelet

komersial berbentuk serbuk dan remah (protein 40%, lemak 5%, serat kasar 2%,

abu 13% dan kadar air 11%). Pakan diberikan sebanyak 3 kali dalam sehari pada

pukul 06.00, 14.00, dan 22.00 WIB. Metode pemberian pakan yang digunakan

yaitu restricted dengan feeding rate (FR) yang digunakan yaitu 10−45% per hari

dari bobot udang dengan umur pemeliharaan. Pengamatan tingkah laku udang

dilakukan dengan cara melihat secara langsung pada wadah pemeliharaan setiap

sebelum waktu pemberian pakan.

Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan pembersihan dinding jaring dari

biofouling (organisme penempel seperti lumut dan teritip). Sampah yang terdapat

di luar jaring dibersihkan menggunakan serok. Penukuran parameter fisika kimia

air seperti kecepatan arus, suhu, pH, oksigen terlarut dan salinitas dilakukan

secara langsung setiap tujuh hari sekali pada pukul 06.00 dan 16.00 WIB.

Pengukuran parameter amonia dilakukan setiap 14 hari sekali di Laboratorium

Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan sampel air menggunakan

botol sampel. Alat pengukuruan kualitas air yang digunakan dapat dilihat pada

tabel 1.

Tabel 1 Parameter fisika kimia air dalam karamba jaring apung di laut yang

diukur selama pemeliharaan.

Parameter Satuan Alat ukur

Suhu oC Termometer

pH - pH meter

Oksigen terlarut mg L-1

DO meter

Salinitas g L-1

Refraktometer

Kecepatan arus m s-1

Current meter

Amonia mg L-1

Spektrofotometer

Parameter Uji

Parameter uji yang dilakukan dalam penelitian ini berupa panjang dan bobot

udang, jenis perifiton, isi lambung, tingkat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan

bobot spesifik, laju pertumbuhan mutlak, rasio konversi pakan, koefisien

keragaman bobot kemudian dilakukan analisis data.

Panjang dan Bobot

Pengambilan sampel bobot dan panjang tubuh udang dilakukan setiap 20

hari sekali. Pengambilan sampel dilakukan pada pukul 17.00 WIB. Udang yang

diambil sebanyak 10 ekor pada setiap wadah perlakuan diambil menggunakan

serok kemudian dimasukkan ke dalam ember yang telah berisi air laut. Setelah itu,

udang dikeringkan menggunakan tisu lalu udang ditimbang dengan menggunakan

4

timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g dan diukur menggunakan penggaris

dengan ketelitian 1 mm. Data yang diperoleh dari setiap pengambilan sampel

digunakan untuk penghitungan parameter pertumbuhan.

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup (TKH) yaitu persentase jumlah udang yang

hidup setelah dipelihara (dalam waktu tertentu) dibandingkan dengan jumlah pada

awal pemeliharaan.

TKH = (Nt/No) × 100

Keterangan : TKH = Tingkat Kelangsungan hidup (%)

Nt = Jumlah udang pada waktu ke-t (ekor)

No = Jumlah udang pada saat ditebar (ekor)

Laju Pertumbuhan Bobot Spesifik

Laju pertumbuhan bobot spesifik (LPBS) dihitung menggunakan rumus

dengan mengikuti Zonneveld et al. (1991):

LPS = × 100

Keterangan : LPBS = Laju pertumbuhan bobot spesifik (%)

Wt = Bobot rerata udang waktu ke-t (g ekor-1

)

Wo = Bobot rerata udang waktu ke-0 (g ekor-1

)

t = Lama pemeliharaan (hari)

Laju Pertumbuhan Bobot Harian

Laju pertumbuhan bobot harian merupakan perubahan bobot rata-rata

individu dari awal sampai akhir pemeliharaan. Pertumbuhan bobot harian dihitung

menggunakan rumus dengan mengikuti Zonneveld et al. (1991):

LPBH =

Keterangan : LPBH = Laju pertumbuhan bobot harian (g hari-1

)

Wt = Bobot rata-rata pada akhir pemeliharaan (g)

Wo = Bobot rata-rata pada awal pemeliharaan (g)

t = Waktu pemeliharaan (hari)

Rasio Konversi Pakan

Rasio konversi pakan (RKP) menunjukkan seberapa banyak jumlah pakan

yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu kilogram udang. Rasio konversi pakan

dihitung menggunakan rumus dengan mengikuti Zonneveld et al. (1991):

5

Keterangan : RKP = Rasio konversi pakan

Bt = Biomassa udang waktu ke-t pemeliharaan (g)

Bm = Biomassa udang mati (g)

Bo = Biomassa udang pada awal pemeliharaan (g)

F = Jumlah pakan yang diberikan selama pemeliharaan (g)

Koefisien Keragaman Bobot

Variasi ukuran dalam penelitian ini berupa variasi bobot udang, yang

dinyatakan dalam koefisien keragaman, dihitung menggunakan rumus dengan

mengikuti Steel dan Torrie (1993):

KK = (s/y) × 100

Keterangan : KK = Koefisien keragaman (%)

s = Simpangan baku

y = Rata-rata contoh

Perifiton

Sampel perifiton diambil setiap 20 hari sekali dari dinding jaring dan

rumput laut menggunakan cetakan transek berukuran 5 cm × 5 cm yang

ditempelkan lalu dikerik dengan kuas. Sampel yang diambil dari rumput laut dan

dinding jaring dimasukkan ke dalam botol film kemudian diencerkan

menggunakan akuades sebanyak 25 ml. Sampel kemudian diberikan lugol 4 %

sebanyak 2-3 tetes, lalu diberi label. Setelah itu sampel diamati menggunakan

mikroskop dengan perbesaran 40× di Laboratorium Teknik Produksi dan

Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan diidentifikasi dengan mengamati ciri-

ciri morfologi yang berpedoman pada buku identifikasi (Davis 1955). Berikut

adalah rumus untuk menghitung kepadatan, indeks keanekaragaman, indeks

keseragaman dan indeks dominansi perifiton. Kepadatan perifiton dapat dihitung

dengan menggunakan rumus modifikasi Lackey Drop Microtransecting Mehods

(APHA 1989):

N = 1/A × B/C × n

Keterangan : N = Jumlah perifiton (ind cm-2

)

A = Luasan substrat dikerik (5 cm × 5 cm)

B = Volume kosentrat pada botol contoh (30 ml)

C = Volume pada gelas objek (0,05 ml)

n = Jumlah perifiton yang tercacah (ind)

Keanekaragaman adalah ketidakaturan yang terdapat dari genera individu

yang diambil dari suatu populasi. Keanekaragaman jenis perifiton yang ditentukan

dengan menggunakan indeks Shannon-Wiener (Krebs 1989):

6

Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman Shannon

N = Total individu seluruh genera

ni = Jumlah total individu genera ke-1

pi = Proporsi jenis ke-1

Menurut Mason (1981) nilai indeks keanekaragaman populasi dapat

menggambarkan kondisi perairan. Indeks keanekaragaman dapat diklasifikasikan

sebagai berikut.

H’ < 2,3 : Keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap

genus rendah dan kestabilan komunitas rendah. Komunitas

mengalami gangguan faktor lingkungan.

2,3 < H’< 6,9 : Keanekaragaman sedang, penyebaran jumlah individu tiap

genus sedang dan kestabilan komunitas sedang. Komunitas

mudah berubah.

H’ > 6,9 : Keanekaragaman tinggi, penyebaran jumlah individu tiap

genus tinggi dan kestabilan komunitas tinggi. Faktor

lingkungan yang baik untuk semua jenis dalam habitat.

Untuk melihat seberapa besar nilai keseragaman penyebaran genera dalam

komunitas perifiton, digunakan indeks keseragaman, yaitu rasio keanekaragaman

dan nilai maksimumnya.

E = H’ maks = Ln S

Keterangan : E = Indeks keseragaman Evenness dengan kisaran 0-1

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon

H’ maks = Indeks keanekaragaman maksimum

S = jumlah genera

Nilai indeks keseragaman (E) berkisar antara 0−1 (Odum dan Odum 1955).

Semakin kecil nilai E, semakin kecil keseragaman populasinya yang berarti

penyebaran individu tiap jenis tidak merata atau ada kecenderungan satu genus

mendominasi. Sebaliknya, apabila nilai E mendekati satu maka penyebaran

individu tiap jenis cenderung merata atau memiliki tingkat keseragaman yang

tinggi.

Indeks dominansi digunakan untuk menggambarkan sejauh mana suatu

genera mendominasi populasi tersebut. Genera yang paling dominan ini dapat

menentukan atau mengendalikan kehadiran jenis lain.

7

Keterangan : D = Indeks dominansi Simpson

Ni = Jumlah individu genera ke-1

N = Total individu seluruh genera

Kisaran nilai indeks dominansi antara 0−1. Nilai yang mendekati nol

menunjukkan bahwa tidak ada genus dominan dalam komunitas. Hal ini

menunjukkan bahwa kondisi struktur dalam keadaan stabil. Sebaliknya, nilai yang

mendekati satu menunjukkan adanya genus yang dominan. Hal ini menunjukkan

bahwa kondisi struktur komunitas dalam keadaan labil dan terjadi tekanan

ekologis.

Isi Lambung

Analisis isi lambung dilakukan dengan metode Index of Preponderance atau

indeks bagian terbesar yang dikemukakan oleh Effendie (1997). Sampel udang

yang diambil memiliki bobot 1−2 g dan panjang 6−8 cm. Sampel kemudian

dibedah lalu saluran pencernaan dikeluarkan dari tubuh udang. Bagian

hepatopankreas udang kemudian diambil lalu dimasukkan ke dalam botol film dan

diberikan formalin 10 % hingga terendam. Sampel dibawa ke Laboratorium

Teknik Produksi dan Manajemen Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan,

Institut Pertanian Bogor untuk diamati dengan mikroskop dengan perbesaran 40×

dan diidentifikasi.

Berikut merupakan rumus untuk menghitung Index of Preponderance atau

Indeks Bagian Terbesar isi lambung udang vaname (Effendie 1997).

IP =

Keterangan : IP = Index of Preponderance atau Indeks Bagian Terbesar (%)

Vi = Persentase jumlah satu jenis makanan (%)

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu jenis makanan (%)

𝜮Vi×Oi = Jumlah Vi × Oi dari semua jenis makanan (%)

Persentase jumlah dinyatakan dengan cara menghitung jumlah makanan

sejenis per jumlah makanan seluruhnya dengan rumus:

Vi =

Presentase frekuensi kejadian dinyatakan dengan cara menghitung jumlah

lambung yang berisi makanan sejenis per jumlah lambung yang berisi seluruhnya

dengan rumus:

Analisis Data

Data kinerja produksi yang diperoleh ditabulasi menggunakan Ms. Excel

2010. Parameter produksi dianalisis menggunakan analisis ragam (ANOVA)

× 100

× 100

8

(Lampiran 2) dengan selang kepercayaan 95% dengan bantuan perangkat lunak

SPSS 22.0. Apabila data berpengaruh nyata maka dilakukan uji Duncan. Data

kualitas air dianalisis secara deskriptif mengguanakan tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Hasil parameter produksi menunjukkan parameter tingkat kelangsungan

hidup, rata-rata bobot akhir, laju pertumbuhan bobot harian, laju pertumbuhan

bobot spesifik dan koefisien keragaman bobot udang vaname dengan pemberian

biomasa rumput laut 3 kg per wadah lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan

lainnya (p<0,05), sedangkan parameter rasio konversi pakan dengan pemberian

biomasa rumput laut 3 kg per wadah lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan

lainnya (p<0,05) dan biomasa akhir rumput laut tertinggi didapat pada perlakuan

bimasa rumput laut 3 kg per wadah sebesar 6,43 kg (Tabel 2).

Tabel 2 Kinerja pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei dan biomasa

akhir rumput laut Glacilaria sp. dalam karamba jaring apung di laut pada

berbagai perlakuan.

Parameter Biomasa Selter Rumput laut (kg)

1 2 3

Tingkat kelangsungan hidup (%) 44,20±2,83a 63,00±1,98

b 79,30±0,99

c

Rata-rata bobot akhir (g) 2,39±0,09a 2,44±0,02

ab 2,53±0,05

b

Laju pertumbuhan bobot harian

(g hari-1

) 0,0395±0,0015

a 0,0404±0,003

ab 0,0418±0,008

b

Laju pertumbuhan bobot spesifik

(%) 8,46±0,06

a 8,50±0,02

a 8,58±0,04

b

Rasio konversi pakan 3,18±0,33a 2,67±0,10

b 1,64±0,08

b

Koefisien keragaman bobot (%) 13,98±3,23a 16,70±1,70

ab 20,36±0,51

b

Biomasa akhir rumput laut (kg) 2,29±0,16 4,32±0,17 6,43±0,08 aAngka-angka pada baris yang sama dengan huruf sama menunjukkan hasil tidak berbeda nyata

pada taraf uji 5% (uji selang Duncan)

Hasil umlah kepadatan perifiton yang diambil dari rumput laut tertinggi

terdapat pada perlakuan biomasa rumput laut 3 kg per wadah sebesar 6.960 ind

cm-2

dan nilai kepadatan perifiton yang diambil dari dinding jaring tertinggi

terdapat pada perlakuan biomasa rumput laut 2 kg per wadah sebesar 1.702 ind

cm-2

. Indeks keanekaragam pada setiap perlakuan memiliki nilai yang rendah

yaitu kurang dari 2,3 (Mason 1981). Nilai indeks keseragaman dan indeks

dominasi pada setiap perlakuan masih dalam kisaran 0−1 (Odum dan Odum

1955). (Tabel 3).

9

Tabel 3 Perifiton dalam media pendederan udang vaname Litopenaeus vannamei

karamba jaring apung di laut dengan perlakuan biomasa selter rumput

laut 1, 2 dan 3 kg.

Parameter

Biomasa Selter Rumput Laut (kg)

1 2 3

RL DJ RL DJ RL DJ

Kepadatan (ind

cm-2

)

2.640

1.653

5.756

1.702

6.960

1.697

Indeks

Keanekaragaman

0,72

0,42

0,77

0,45

0,69

0,46

Indeks

Keseragaman

0,93

0,60

0,91

0,64

0,81

0,66

Indeks

Dominansi

0,21

0,41

0,17

0,40

0,23

0,38 Keterangan: RL= Rumput Laut, DJ= Dinding Jaring

Hasil nilai Index of Preponderans (IP) atau bagian terbesar isi lambung

udang yang terbesar dari setiap perlakuan didapatkan pada perifiton Nitzschia sp.

dan jumlah perifiton yang terbanyak dari isi lambung udang didapatkan pada

perlakuan biomasa selter rumput laut 3 kg per wadah dengan jumlah 58 individu

(Tabel 4).

Tabel 4 Nilai Index of Preponderans (IP) dan mikroorganisme/pakan alami yang

terdapat dalam lambung udang vaname Litopenaeus vannamei.

Mikroorganisme

Biomasa Selter Rumput Laut (kg)

1 2 3

individu

IP (%)

individu

IP(%)

individu

IP(%)

Nitzschia sp. 10 26,32 12 26,09 15 25,86

Navicula sp. 8 21,05 6 13,04 11 18,97

Licmophora sp. 2 3,64 5 10,87 5 8,62

Fragilaria sp. 7 18,42 7 15,22 3 5,17

Amphiprora sp. 3 7,89 4 8,70 7 12,07

Tabelaria sp. 4 10,53 4 8,70 8 13,79

Oscilatoria sp. 3 7,89 5 10,87 5 8,62

Amphipoda 1 0,91 3 6,52 4 6,90

Total 38 100 46 100 58 100

Hasil dari pengukuran fisika kimia air yang didapatkan pada paramater

kecepatan arus, suhu, pH dan salinitas tidak jauh berbeda antar perlakuan,

sedangkan parameter oksigen terlarut terdapat hasil yang lebih tinggi dan

parameter amonia terdapat hasil yang lebih rendah pada perlakuan biomasa selter

rumput laut 3 kg dengan nilai kisaran oksigen terlarut senilai 4,8−6,0 mg L-1

dan

nilai kisaran amonia senilai 0,014− 0,033 mg L-1

(Tabel 5).

10

Tabel 5 Fisika kimia air media pemeliharaan udang vaname Litopenaeus

vannamei dalam karamba jaring apung di laut dengan perlakuan biomasa

selter rumput laut 1, 2 dan 3 kg.

Parameter Biomasa Selter Rumput Laut (kg) Nilai Optimal

1 2 3

Kecepatan arus

(m detik-1

) 0,2−0,4 0,22−0,4 0,2−0,4

0,1−0,35 (Effendi et

al. 2016a)

Suhu (ºC) 26,1−28,7 26,2−28,4 26,4−28,5 24−32 (Ferreira et al.

2011)

pH 7,2−8,3 7,2−8,1 7,2−8,2 5,5−9,5 (Beltrame et

al. 2006)

Salinitas (g L-1

) 32−34 32−34 32−34 5−40 (Beltrame et al.

2006)

Oksigen terlarut

(mg L-1

) 4,2−6,0 4,6−6,0 4,8−6,0

2−6 (Beltrame et al.

2006)

Amonia (mg L-1

) 0,018−

0,035

0,017−

0,037

0,014−

0,033

<0,20 (Ferreira et al.

2011)

Pembahasan

Penggunaan selter akan berpengaruh terhadap tingkah laku udang. Tingkah

laku udang yang diamati pada siang hari selama pemeliharaan cenderung berada

pada selter rumput laut dan bagian dasar jaring, sedangkan pada malam hari

cenderung berada pada kolom air. Hal tersebut sesuai dengan Effendi et al.

(2016b), udang vaname pada siang hari berada di bagian dasar jaring dan selter

serta akan bergerak ke kolom perairan pada malam hari karena sifat udang yang

nokturnal (Effendi et al. 2016b). Tingkah laku udang yang cenderung berada pada

selter akan memungkinkan udang akan mengonsumsi pakan alami/perifiton yang

berada di selter rumput laut. Rumput laut tergolong ke dalam substrat alami

(aufwuchs) untuk perifiton, yaitu seluruh kelompok organisme umumnya

mikroskopis yang hidup menempel pada benda atau pada permukaan tumbuhan

air yang terendam, tidak menembus substrat, diam atau bergerak di permukaan

substrat tersebut (Azim dan Verdegem 2001). Kelompok organisme akuatik ini, di

dalam sistem akuakultur, dapat menjadi makanan suplemen bagi udang yang

dibudidaya, meningkatkan efisiensi penggunaan nutrien, mempurifikasi air dan

meningkatkan sistem imun (Kumar et al. 2015). Jenis perifiton yang didapatkan

dari sampel yang diambil pada selter rumput laut dan dinding jaring yaitu berupa

fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae (Nitzschia sp., Navicula sp., Licmophora

sp., Amphiprora sp., Fragilaria sp., Tabellaria sp.) dan Cyanophyceae

(Oscillatoria sp.) serta zooplankton dari ordo Amphipoda (Lampiran 3).

Hasil pengamatan sampel perifiton didapatkan kepadatan pada perlakuan

biomasa selter rumput laut 1, 2 dan 3 kg masing-masing yaitu 2.640 ind cm-2

,

5.756 ind cm-2

, 6.960 ind cm-2

dan pada dinding jaring setiap perlakuan masing-

masing yaitu 1.653 ind cm-2

, 1.702 ind cm-2

, 1.697 ind cm-2

(Lampiran 4). Jumlah

kepadatan yang didapatkan pada setiap perlakuan tidak terlalu berbeda pada

dinding jaring, namun pada kepadatan perifiton yang diambil dari rumput laut

perlakuan biomasa rumput laut 3 kg didapatkan kepadatan yang lebih banyak

dengan nilai 6.960 ind cm-2

. Hal tersebut diduga karena perlakuan biomasa

11

rumput laut 3 kg memiliki substrat penempel perifiton yang lebih banyak. Nilai

indeks keanekaragaman yang didapat pada setiap perlakuan yaitu < 2,3 artinya

keanekaragaman rendah, penyebaran jumlah individu tiap genus rendah, dan

kestabilan komunitas rendah (Mason 1981). Hal tersebut diduga akibat adanya

intensitas ekologi yang tinggi seperti arus dan gelombang yang besar. Nilai indeks

keseragaman yang didapat pada setiap perlakuan yaitu mendekati satu, artinya

penyebaran individu tiap jenis cenderung merata atau memiliki tingkat

keseragaman yang tinggi. Nilai indeks dominansi yang didapat pada setiap

perlakuan yaitu mendekati nol, artinya tidak ada genus dominan dalam komunitas,

sehingga menunjukkan bahwa kondisi struktur dalam keadaan stabil (Odum dan

Odum 1955). Nilai indeks bagian terbesar isi lambung udang pada perlakuan

biomasa selter rumput laut 1, 2 dan 3 kg didapatkan pada Nitzschia sp. dengan

nilai masing 26,32%, 26,09% dan 25,86%. Hal tersebut diduga karena kepadatan

perifiton Navicula sp. yang didapatkan pada substrat rumput laut dan dinding

jaring disetiap perlakuan lebih banyak dibanding dengan perifiton lainnya yang

teramati.

IMTA merupakan sistem budidaya laut dengan pendekatan ekosistem yang

memanfaatkan ekosistem laut untuk mengatasi permasalahan lingkungan terhadap

penggunaan pakan pada kegiatan budidaya dan saling menguntungkan antar

spesies (Yudiastuti et al. 2018), dalam hal ini rumput laut mempunyai peran

ekologis, yaitu mampu menyerap nitrogen dalam bentuk NH3 dan NO3 melalui

thallus serta mampu berfotosintesis yang dapat menghasilkan oksigen (Akhrari

2013). Selain itu, selter rumput laut berfungsi sebagai substrat penumbuhan

perifiton, sehingga udang vaname dapat memanfaatkan perifiton sebagai pakan

tambahan (Lombardi et al. 2006). Keberadaan perifiton sangat mempengaruhi

pertumbuhan udang vaname, karena pada bagian dinding dan dasar jaring dapat

menjadi substrat penempel perifiton yang menjadi sumber nutrisi bagi udang

(Zarain-Herzberg et al. 2010).

Nilai laju pertumbuhan bobot harian (LPBH) dan laju pertumbuhan bobot

spesifik (LPBS) pada perlakuan biomasa selter rumput laut 3 kg lebih besar dan

menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) terhadap perlakuan biomasa selter 1 kg

dan 2 kg (Tabel 2). Hal tersebut diduga karena pada perlakuan biomasa selter

rumput laut 3 kg memiliki substrat penempel perifiton lebih banyak sehingga

udang memanfaatkan perifiton yang menempel pada susbtrat rumput laut dan

dinding jaring sebagai pakan tambahan lebih banyak dibandingkan dengan dua

perlakuan lainnya. Hasil tersebut didukung dengan sampel udang yang dilakukan

analisis isi lambung didapatkan jumlah individu perifiton yang lebih banyak pada

perlakuan biomasa selter rumput laut 3 kg (Tabel 3). Udang vaname pada stadia

PL mengonsumsi diatom, alga filamen, lamun, zooplankton, moluska kecil,

udang kecil, polikaeta, invertebrata lain, dan agregat detritus (Azim et al. 2005).

Nilai rasio konversi pakan (RKP) pada perlakuan biomasa selter 3 kg lebih

baik dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya dan menunjukkan perbedaan

yang nyata (p<0,05) terhadap perlakuan biomasa rumput laut 1 kg (Tabel 2). Hal

tersebut diduga karena selter rumput laut yang lebih banyak sehingga perifiton

yang terdapat padah selter rumput laut dan dinding jaring dapat menurunkan

jumlah pakan buatan yang diberikan pada udang. Nilai RKP yang tinggi

diakibatkan karena kondisi air laut yang relatif lebih dinamis menyebabkan pakan

yang tidak termakan menjadi relatif tinggi. Pakan yang diberikan kepada udang

12

rentan terbawa arus keluar jaring (Stickney 2000). Selain itu, keberadaan pakan

alami di laut relatif lebih rendah (oligotropis) (Effendi et al. 2106b).

Nilai tingkat kelangsungan hidup yang didapatkan pada perlakuan biomasa

selter 1 kg, 2 kg dan 3 kg berturut-turut sebesar 44,2%, 63% dan 79,3%.

Perlakuan biomasa selter 3 kg mendapatkan nilai tingkat kelangsungan hidup

yang lebih tinggi dan menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) terhadap dua

perlakuan lainnya. Hal tersebut diduga karena pada perlakuan biomasa selter 3 kg

memiliki lebih banyak selter rumput laut yang berfungsi sebagai tempat

berlindung dari predator, tempat istirahat, dan tempat menempel pakan alami

untuk pakan tambahan bagi udang. Tingkat kelangsungan hidup yang rendah yang

didapatkan pada perlakuan biomasa selter rumput laut 1 kg dan 2 kg disebabkan

oleh tingginya tingkat kanibalisme antar udang dan adanya predator (kepiting) di

wadah pemeliharaan, hal tersebut diduga akibat kurangnya substrat rumput laut

sehingga tempat berlindung udang lebih sedikit. Menurut Sofiandi (2002),

tingginya tingkat kanibalisme dapat ditekan dengan memberikan selter yang

cukup pada wadah pemeliharaan.

Nilai koefisien keragaman bobot yang didapatkan pada perlakuan biomasa

selter rumput laut 1 kg, 2 kg dan 3 kg berturut-turut sebesar 13,98%, 16,70% dan

20,36%. Nilai tersebut menurut Matjik dan Sumertajaya (2010), masih dapat

dikatakan seragam atau homogen karena nilai dibawah 25%. Udang yang

memiliki koefisien keragaman bobot yang tinggi terjadi akibat persaingan udang

dalam mendapatkan pakan. Udang yang kurang mendapatkan pakan menyebabkan

ukuran udang yang lebih kecil, metabolisme terganggu, dan asupan energi kurang

(Delianda 2016). Semakin tinggi nilai koefisien keragaman maka tingkat

keseragaman bobot semakin kecil yang dipengaruhi oleh jumlah, kualitas pakan,

dan lama pemanfaatan pakan (Juhdi 2017).

Parameter kualitas air yang diamati selama pemeliharaan udang vaname di

laut dengan menggunakan KJA meliputi kecepatan arus, suhu, pH, DO, salinitas

dan amonia. Hasil dari parameter suhu, pH, DO, salinitas dan amonia yang diukur

masih dalam nilai yang optimal untuk budidaya udang di laut sehingga tidak

terganggu dalam pertumbuhan udang, namun pada parameter kecepatan arus pada

lokasi pemeliharaan udang vaname berkisar antara 0,2–0,4 m s-1

. Kecepatan arus

yang optimal secara umum untuk budidaya udang vaname dengan menggunakan

KJA di laut berkisar antara 0,1–0,35 m s-1

(Effendi et al. 2016a). Kecepatan arus

yang tinggi akan mempengaruhi tingkat kelangsungan hidup dan daya tahan

tubuh udang terhadap lingkungan, sehingga menyebabkan udang kelelahan dan

lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan. Peningkatan kecepatan arus dari

0,054 m s-1

menjadi 0,114 m s-1

akan membatasi kemampuan renang udang

(Zhang et al. 2011).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pemberian biomasa selter rumput laut yang optimal dalam penelitian ini

didapatkan pada perlakuan biomasa selter rumput laut 3 kg berdasarkan dari

13

kinerja produksi yang diperoleh yaitu tingkat kelangsungan hidup 79,30±0,99 %,

rata-rata bobot akhir 2,53±0,05 g, laju pertumbuhan bobot mutlak 0,0418±0,008 g

hari-1

, laju pertumbuhan bobot spesifik 8,58±0,04 %, dan rasio konversi pakan 1,64±0,08.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan perlakuan biomasa selter

rumput laut yang lebih banyak.

DAFTAR PUSTAKA

Akhrari H. 2013. Kemampuan serap rumput laut Glacilaria sp. terhadap nitrogen

hasil buangan limbah budidaya udang windu Penaeus monodon dalam

sistem polikultur [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[APHA] American Public Health Association. 1989. Standard methods for the

examination of water and waste water. American Public Health Association

(APHA). American Water Works Association (AWWA) AND Water

Pollution Control Federation (WPCF). 17th ed. Washington. 1193 p.

Azim ME, Asaeda T, Verdegem MCJ, Van Dam AA, Beveridge MCM. 2005.

Periphyton structure, diversity and colonization. Di dalam: Azim ME,

Verdegem MCJ, van Dam AA, Beveridge MCM, editor. Periphyton:

Ecology, Exploitation and Management. (UK): CABI publishing. p 207–

222.

Azim ME, Verdegem MCJ. 2001. Periphyton-based aquaculure: a novel fish

culture technology. Research for Sustainable Development. 14: 1–4.

Beltrame E, Bonetti C, Bonetti FJ. 2006. Pre-selection of areas for shrimp culture

in a subtropical Brazilian lagoon based on multicriteria hydrological

evaluation. Journal of Coastal Research. 39: 1838–1842.

Davis CC. 1955. The Marine and Freshwater plankton. Michigan (US): Michigan

State University Press. 526 p.

Delianda BA. 2016. Kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang vaname

(Litopenaeus vannamei) yang dipelihara pada padat tebar 450, 600, dan 750

ekor/m2 dalam karamba jaring apung di Kepulauan Seribu, Jakarta [skripsi].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[DJPB] Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2017. Laporan Kinerja (LKJ)

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Tahun 2016. Jakarta (ID): DJPB.

Effendie MI. 1997. Biologi Perikanan. Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka

Nusatama. 163 hlm.

Effendi I, Suprayudi MA, Nurjaya IW, Surawidjaja EH, Supriyono E, Zairin Jr.

M, Sukenda. 2016a. Kondisi oseanografi dan kualitas air di beberapa

perairan kepulauan seibu dan kesesuaiannya untuk budidaya udang

vannamei Litopenaeus vannamei. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan

Tropis. 8(1): 403–417.

14

Effendi I, Suprayudi MA, Surawidjaja EH, Supriyono E, Zairin Jr. M, Sukenda.

2016b. Production perfomance of white shrimp (Litopenaeus vannamei)

under sea floating net cages with biofloc and periphyton juvenile. Bioflux.

9(4): 823–832.

Ferreira NC, Bonetti C, Seiffert WQ. 2011. Hydrological and water quality

indices as management tools in marine shrimp culture. Aquaculture. 318:

425–433.

Hudi L, Shahab A. 2005. Optimasi produktivitas budidaya udang vaname

(Litopenaeus vannamei) dengan menggunakan metode respon surface dan

non linear programming. Di dalam: Prosiding Seminar Nasional Manajemen

Teknologi II; 2005 Jul 30; Surabaya, Indonesia. Surabaya (ID): Program

Studi MMT-ITS. Hlm 281–289.

Juhdi MS. 2017. Kinerja produksi udang vaname (Litopenaeus vannamei) dalam

karamba jaring apung di laut melalui penambahan feeding tray [skripsi].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2016. Rencana strategis Direktorat

Jenderal perikanan budidaya tahun 2015-2019 [internet]. [diunduh 2017

Agustus 1]. Jakarta. Tersedia pada: http://www.pusluh.kkp.go.id.

Krebs CL. 1989. Ecological Methodology. London (UK): Harper and Row

Publisher. 694 p.

Kumar S, Anand PSS, Ravichandran P, Panigrahi A, Dayal JS, Raja RA, Deo AD,

Ghoshal TK, Ponniah AG. 2015. Effect of periphyton on microbial

dynamics, immune responses and growth performance in black tiger shrimp

Penaeus monodon Fabricius, 1798. Indian J. Fish. 62(3): 67–74.

Lombardi JV, De Almeida Marques HL, Pereira RTL, Barreto OJS, De Paula EJ.

2006. Cage polyculture of the Pasific white shrimp Litopenaeus vannamei

and the Philippines seaweed Kappaphycus alvarezii. Aquaculture. 258: 412–

415.

Matjik AA, Sumertajaya IM. 2010. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS

dan Minitab. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Mason CF. 1981. Biology Freshwater Polution 2nd ed. New York (US): Longman

Scientific and Technical. 387 p.

Odum HT, Odum EP. 1955. Tropic structure and productivity of a windward coral

reef community on Eniwetok Atoll. Ecological. 25(3): 291–320.

Putro SP, Widowati W, Suhartana S, Muhammad F. 2015. The application of

integrated multi trophic aquaculture (IMTA) using stratified double net

rounded cage (SDFNC) for aquaculture sustainability. International Journal

of Science and Engineering. 9(2). 85–89.

Radiarta IN, Erlania. 2016. Performa komoditas budidaya laut pada sistem

integrated multi trophic aquaculture (IMTA) di Teluk Gerupuk, Lombok

Tengah, Nusa Tenggara Barat. Jurnal Riset Akuakultur. 11(1): 85–97.

Sofiandi A. 2002. Pengaruh perbedaan shelter terhadap pertumbuhan dan

kelangsungan hidup udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man)

[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Steel GD, Torrie JH. 1993. Prinsip-Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta (ID):

PT. Gramedia Pustaka Utama. 772 hlm.

Stickney RR. 2000. Encyclopedia of aquaculture. United State of Amerika (US):

Wiley-Interscience Publication John Wiley & Sons, Inc. 1061 p.

15

Yudiastuti K, Dharma IGBS, Puspitha NLPR. 2018. Laju pertumbuhan rumput

laut Glacilaria sp. melalui budidaya IMTA (Integrated Multi Trophic

Aquaculture) di Pantai Geger, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali. Journal

of Marine and Aquatic Sciences. 4(2): 191–203.

Zarain-Herzberg M, Campa-Córdova AI, Cavalli RO. 2006. Biological viability

of producing white shrimp Litopenaeus vannamei in seawater floating cages.

Aquaculture. 259: 283–289.

Zarain-Herzberg M, Fraga I, Hernandez-Llamas A. 2010. Anvances in

intensifying the cultivation of the shrimp Litopenaeus vannamei in floating

cages. Aquaculture. 300: 87–92.

Zhang PD, Zhang XM, Li J. 2011. Physiological responses to swimming fatigue

of juvenile whiteleg shrimp Litopenaeus vannamei exposed to different

current velocities, temperatures and salinities. African Journal of

Biotechnology. 10(5): 851–853.

Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Udang.

Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. 336 hlm.

16

LAMPIRAN

Lampiran 1 Gambar wadah pemeliharaan penelitian udang vaname

Litopenaeus vannamei dalam karamba jaring apung di laut pada

perlakuan biomasa selter rumput laut 1 kg, 2 kg dan 3 kg.

a. Tampak samping wadah pemeliharaan

b. Tampak atas wadah pemeliharaan

Keterangan :

A1–A3 = Biomassa selter rumput laut 1 kg

B1–B3 = Biomassa selter rumput laut 2 kg

C1–C3 = Biomassa selter rumput laut 3 kg

= Arah arus dominan

17

Lampiran 2 Analisis statistik hasil penelitian udang vaname Litopenaeus

vannamei pada perlakuan biomasa selter rumput laut 1 kg, 2 kg dan

3 kg.

ANOVA

Sumber keragaman Jumlah kuadrat db Kuadrat

tengah F P

TKH

Perlakuan 1234,093 2 617,047 143,499 0,001*

Galat 12,900 3 4,300

Total 1246,993 5

BAR

Perlakuan 0,030 2 0,015 3,919 0,082

Galat 0,023 6 0,004

Total 0,058 8

LPBM

Perlakuan 0,000 2 0,000 4,052 0,077

Galat 0,000 6 0,000

Total 0,000 8

LPBS

Perlakuan 0,025 2 0,012 7,535 0,023*

Galat 0,010 6 0,002

Total 0,035 8

RKP

Perlakuan 2,449 2 1,224 28,986 0,011*

Galat 0,127 3 0,042

Total 2,576 5

Perlakuan 61,564 2 30,782 5,806 0,040*

KKB Galat 31,809 6 5,302

Total 93,373 8 *)

P<0,05 artinya perlakuan berpengaruh terhadap parameter uji

Uji Duncan (α= 0,05)

Perlakuan N 1 2 3

TKH

1 kg 3 44,200

2 kg 3 63,000

3 kg 3 79,300

P 1,00 1,00 1,00

LPBS

1 kg 3 8,458520

2 kg 3 8,496575

3 kg 3 8,583826

P 0,294 1,00

RKP

1 kg 3 3,182000

2 kg 3 2,665100

3 kg 3 1,644350

P 0,087 1,00

KKB

1 kg 3 1,39791

2 kg 3 1,67048 1,67048

3 kg 3 2,03629

P 0,197 0,100

18

Lampiran 3 Contoh organisme perifiton yang ditemukan pada susbtrat rumput

laut, dinding jaring dan isi lambung udang vaname Litopenaeus

vannamei.

*Dokumentasi Pribadi

Navicula sp.

Tabellaria sp.

Nitzschia sp.

Licmophora sp. Oscillatoria sp. Fragillaria sp.

Amphiprora sp. Amphipoda

19

Lampiran 4 Hasil jenis dan jumlah perifiton yang ditemukan dari selter rumput

laut dan dinding jaring udang vaname Litopenaeus vannamei dalam

KJA air laut.

Biomasa

Selter

Rumput

Laut

Selter Rumput

Laut

Jumlah

Dinding Jaring

Jumlah

1 kg

Navicula sp. 724 Navicula sp. 687

Nitzschia sp. 758 Nitzschia sp. 740

Fragilaria sp. 329 Fragilaria sp. 40

Amphiprora 191 Oscillatoria sp. 37

Tabellaria sp. 166 Licmophora sp. 51

Oscillatoria sp. 164 Amphipoda 74

Licmophora sp. 178

Amphipoda 130

2 kg

Navicula sp. 744 Navicula sp. 727

Nitzschia sp. 820 Nitzschia sp. 765

Fragilaria sp. 323 Fragilaria sp. 43

Amphiprora 212 Oscillatoria sp. 55

Tabellaria sp. 240 Licmophora sp. 68

Oscillatoria sp. 208 Amphipoda 44

Licmophora sp. 307

Amphipoda 158

3 kg

Navicula sp. 653 Navicula sp. 734

Nitzschia sp. 696 Nitzschia sp. 714

Fragilaria sp. 219 Fragilaria sp. 43

Amphiprora 162 Oscillatoria sp. 56

Tabellaria sp. 137 Licmophora sp. 83

Oscillatoria sp. 139 Amphipoda 67

Licmophora sp. 168

Amphipoda 146

20

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 4 Desember 1995. Penulis

merupakan anak ketiga dari enam bersaudara dari pasangan H. Helmi Surya

Botutihe, SE, MM dan Hj. Lely Lihayati. Penulis menyelesaikan pendidikan tahun

2013 dari SMA Bina Bangsa Sejahtera Bogor dan pada tahun yang sama penulis

diterima melalui jalur SBMPTN di Departemen Budidaya Perairan, Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis aktif mengikuti kepengurusan di Himakua (Himpunan Mahasiswa

Akuakultur) dengan jabatan sebagai wakil ketua pada tahun 2015 dan menjabat

sebagai ketua pada tahun 2016. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum dasar-

dasar akuakultur pada tahun 2015-2016 dan asisten praktikum marinkultur pada

tahun 2017. Bulan Juni-Juli 2016 penulis melaksanakan Praktik Lapangan di

Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Batam dengan judul Pembesaran Ikan

Kerapu Macan (Ephinepelus fuscoguttatus) di Balai Perikanan Budidaya Laut

Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Tugas akhir dalam penyelesaian pendidikan

tinggi di Institut Pertanian Bogor untuk mendapatkan gelar sarjana perikanan

dengan judul “Pemberian Rumput Laut sebagai Selter pada Pendederan Udang

Vaname Litopenaeus vannamei di Laut dengan Sistem IMTA”