Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis
-
Upload
ade-faisal-djumhuri -
Category
Documents
-
view
133 -
download
8
Transcript of Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis
1
PEMBERDAYAAN PASIEN DAN KELUARGA
GANGGUAN JIWA DI INDONESIA1
M.A. Subandi
Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta
Di beberapa negara maju seperti negara-negara di Amerika utara dan Eropa, telah
banyak muncul beberapa kelompok mantan pasien gangguan jiwa, yang menyebut diri
mereka sebagai Consumer (maksudnya adalah pengguna dari jasa pelayanan kesehatan jiwa
yang disediakan oleh rumah sakit). Mereka bahkan telah mencangkan sebuah gerakan
(consumer movement) yang ingin memperbaiki kondisi pasien dan mantan pasien gangguan
jiwa. Hal ini diikuti oleh gerakan keluarga mereka yang juga ingin memperbaiki bagaimana
pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa. Dalam paper ini
saya akan menyajikan latar belakang dan riwayat munculnya gerakan mantan pasien
(consumer movement) dan gerakan keluarga pasien (family movement). Di bagian akhir
makalah ini saya akan melihat bagaimana kemungkinan gerakan ini diterapkan di Indonesia
dalam kaitannya dengan usaha menurunkan stigma diri keluarga yang memiliki salah satu
anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa
1 Paper dipresentasikan dalam 6
th National Conference on Schizophrenia: Lighting the Hope towards Recovery,
Jakarta, 14-16 October 2010
2
Pemberdayaan Pasien
Pandangan bahwa schizophrenia adalah sebuah penyakit yang tidak dapat
disembuhkan tidak hanya mendominasi di antara kalangan profesional di bidang kesehatan
mental. Pandangan serupa juga telah terbentuk sebagai sikap komunitas terhadap penderita
gangguan mental. Hal ini telah membentuk stigma dan konstruk pemahaman sosial mengenai
apa yang dimaksud dan makna dari schizophrenia. Sementara itu, pasien sangat
termarjinalisasi atau terkucilkan dari sistem (McGorry, 1995). Pandangan pesimistik dan
dominan di kalangan psikiater ini telah menstimulasi munculnya reaksi keras pada mantan
pasien sepanjang sejarah. Termasuk diantaranya memunculkan isu pemberdayaan pasien.
Para mantan pasien tersebut belakangan ini membentuk sebuah gerakan yang disebut
sebagai gerakan konsumen (consumer-survivor movement). (Istilah ‗konsumen‘ digunakan
untuk mendeskripsikan mereka yang menderita gangguan mental; ini digunakan karena,
sebagai ‗konsumen‘ atas berbagai pelayanan kesehatan dan sosial, mereka harus dilibatkan
dalam pengembangan dan manajemen pelayanan-pelayanan tersebut, sekaligus juga
penelitian-penelitian mengenainya).
Sepanjang sejarah psikiatri, telah terdapat para mantan pasien yang mengangkat
mengenai hak mereka dan mengenai penanganan individual yang berlawanan dengan
pandangan dominant di kalangan profesional di bidang kesehatan mental. Pada pertengahan
abad ke-19, Elizabeth Packard, pendiri An-Insane Asylum Society, mempublikasikan sebuah
kisah mengenai pemaksaan dirinya untuk menjalani perawatan di rumah sakit yang dilakukan
oleh suaminya (Schiff, 2004). Pada 1935, Clifford Beers, mendokumentasikan kisah
mengenai penanganan buruk yang diterimanya di rumah sakit jiwa. Hal ini kemudian diikuti
3
oleh publikasi Memoirs of My Nervous Illness oleh Daniel Paul Schreber pada tahun 1955
(Davidson, 2003).
Gerakan konsumen (consumer movement) yang ada saat ini dimulai pada tahun 1970-
an ketika sekelompok kecil mantan pasien, membentuk organisasi di seluruh Amerika
Serikat. Beberapa kelompok konsumen yang tercatat antara lain Survivors Speak Out, the
National Self-Harm Network, the Hearing Voices Network, Mad Pride, dan Mad Women.
Kelompok-kelompok ini terinspirasi oleh gerakan kebebasan kaum kulit hitam, gerakan
liberalisasi gay, dan liberalisasi perempuan, sehingga mereka juga ingin ―membebaskan‖ para
penderita gangguan mental. Kemunculan berbagai macam kelompok pengguna secara luas
telah menjadi salah satu perkembangan yang paling penting dalam pelayanan kesehatan
mental selama 15 tahun terakhir.
Ada beberapa agenda yang dilakukan oleh kelompok gerakan konsumen ini. Mereka
berusaha menghilangkan stigma dengan mengubah pendapat publik mengenai gangguan
mental. Hal paling praktis yang mereka lakukan adalah dengan mengubah istilah medis
―pasien‖ menjadi sebuah istilah baru yaitu ―konsumen‖. Schiff (2004) yang juga merupakan
salah satu anggota kelompok tersebut mendeskripsikan bagaimana istilah ‗consumer‘ ini
muncul. Pada tahun 1970-an ketika orang-orang yang merupakan mantan ―pasien‖ mulai
berkumpul bersama dan berbagi pengalaman mereka, mereka menyebut diri mereka sebagai
―experience-patient‖ (pasien berpengalaman) atau or “former patients (mantan pasien).
Beberapa menggunakan ―psychiatric inmate‖ untuk memperjelas ketidakpuasan mereka atas
cara penanganan yang mereka peroleh dari para tenaga medis profesional. Di California
istilah netral ―client‖ (klien) lebih disenangi. Pada 1980-an istilah ―consumer‖ digunakan
oleh tenaga medis profesional dan kelompok keluarga, untuk menghindari pelabelan dan
stigma. Istilah ―survivor‖ digunakan oleh ―konsumen‖ berdasarkan pada fakta bahwa
4
konsumen telah ―selamat‖ dari penanganan psikiatris yang dipaksakan dan menganggap diri
mereka telah mengalami pemulihan (recovery). Di Inggris istilah ―service user‖ (pengguna
layanan) digunakan di kalangan profesi kesehatan mental sebagai kebalikan dari ―service
provider‖ (penyedia layanan).
Shifft (2004) menyatakan bahwa penggunaan bahasa ini adalah lebih dari sekedar
semantik. Hal ini telah terbentuk ke dalam identitas personal dan sosial mereka. Ini juga
berarti sebagai penguatan dan masuknya ―konsumen‖ di dalam sistem kesehatan mental. Hal
ini sejalan dengan prinsip utama dari gerakan pemberdayaan pasien (empowerment), self-
help, dan advokasi (Schiff, 2004). Self-help telah menjadi sebuah elemen penting dalam
proses pemulihan. Banyak diantaranya telah mampu berpartisipasi dalam kelompok-
kelompok konsumer
Gerakan konsumen ini mengungkapkan sebuah suara baru bagi para konsumen untuk
berbicara mengenai pengalaman mereka dan untuk menjadikan pelayanan keehatan mental
berpihak pada mereka sehingga mereka dapat membantu para konsumen yang lain. Selain itu
mereka juga berusaha untuk mempengaruhi kebijakan struktural dan desain program
pelayanan kesehatan (Anthony, 2000). Dikarenakan gerakan konsumen mengangkat
mengenai potensi bahaya yang disebabkan oleh profesi kesehatan mental, mereka secara aktif
mampu mengubah kegiatan praktis para profesional. Mereka juga memainkan sebuah peran
yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kebijakan pemerintah mengenai sistem
pelayanan kesehatan mental. Menurut Davidson (2003) model advokasi inilah yang
membedakan gerakan konsumen masa kini dengan gerakan konsumen sebelumnya. Gerakan
konsumen telah menjadi sebuah politik kolektif yang kuat dalam mempengaruhi kebijakan
kesehatan mental di Amerika. Moto mereka diadopsi dari gerakan Disability Rights
Movement yang lebih besar, yaitu frasa ―Tidak ada hal mengenai Kami tanpa kami‖
5
(“Nothing about Us without us”). Gerakan ini pada akhirnya mendapatkan pendukung yang
cukup. Gerakan ini dimulai dengan memaksa masyarakat untuk mengkaji dan menegosiasi
kembali pelayanan kesehatan mental yang tersedia (Schiff, 2004). Di Inggris, model
pemberdayaan pasien yang digunakan oleh para profesional adalah dengan menghargai
mantan pasien sebagai seorang ‗experts in their own experience’ (ahli dalam pengalamannya
sendiri) (Roberts, 200), sehingga mereka diberi kesempatan untuk terlibat dalam pelayanan
kesehatan mental. Sejumlah konsumen bahkan juga mendapatkan pelatihan profesional
sebagai psikolog atau psikiater sebagai bagian dari proses penyembuhan mereka. Para
konsumen yang menjadi profesional sebagai ―prosumers‖. Diantara para prosumer yang aktif
menulis berbagai artikel maupun berbicara dalam berbagai forum adalah Deegan, Koehler,
Fisher adalah di antara para prosumers. Mereka menjadi sumber daya manusia yang paling
berharga bagi gerakan dan pemberdayaan pasien (Schiff, 2004).
Usaha yang dilakukan oleh kelompok konsumen untuk memodifikasi sistem
kesehatan mental terlihat sukses. Di AS dan UK mereka telah mempengaruhi pembuat
kebijakan untuk mendengarkan keinginan mereka. Didukung dengan bukti ilmiah dan
pengalaman mereka dalam proses penyembuhan, gerakan konsumen telah mengadvokasikan
sebuah perpindahan menuju ke pendekatan orientasi penyembuhan (recovery oriented
approach) pada rehabilitasi. Anthony (1993) telah mendeskripsikan bagaimana minat pada
‗pemulihan‘ (recovery) muncul sebagai sebuah pandangan panduan bagi pelayanan kesehatan
mental di AS selama tahun 1990an. Di UK, Department of Health memiliki program Expert
Patients Programme (Roberts, 2000). Terdapat juga peningkatan konvergensi antara
perspektif yang dipengaruhi oleh pengguna (user-led perspective) dan kebijakan kesehatan
mental yang juga tercermin dalam panduan klinis untuk schizophrenia yang belakangan ini
dipublikasikan oleh National Institute for Clinical Excellence yang ternyata paralel dengan
6
apa yang telah diidentifikasikan oleh pengguna layanan di AS sebagai praktik recovery-
oriented yang paling penting.
Pandangan mengenai praktik recovery-oriented juga muncul di negara lain seperti
New Zealand. Pada sebuah pusat pelayanan yang berorientasi recovery-based, pelatihan staf
memfokuskan pada pengalaman nyata. Selama sesi pelatihan, para tenaga kesehatan mental
seringkali mengungkapkan pengalaman pribadi mereka selama mereka mengalami gangguan
mental. Dengan demikian dalam pelatihan terebut peserta lebih memfokuskan pada
kehidupan nyata dan tidak terlalu melebih-lebihkan gangguan. Juga ada perubahan pada
penggunaan bahasa dan penekanan yang lebih besar pada hal-hal yang penting bagi pasien,
yaitu tempat tinggal yang aman dan memuaskan, kecukupan uang, hubungan yang penuh
dukungan, serta pekerjaan dan aktivitas yang penuh makna.
Gerakan pemberdayaan konsumen tidak hanya bergerak di bidang pratis saja, tetapi
juga berusaha untuk merubah teori-teori ilmiah mengenai gangguan mental, terutama
pandangan pesimistis bahwa schizophrenia tidak dapat disembuhkan. Didukung oleh
beberapa psikiater yang skeptis terhadap pandangan Kraeplin, sejumlah konsumen memulai
untuk menuliskan pengalaman pribadi dan mempublikasikan pengalaman langsung dari
tangan pertama para konsumen yang telah sembuh (Lieberman & Kopelowics, 2002). Kisah-
kisah kehidupan pribadi mereka juga telah banyak muncul dalam jurnal-jurnal ilmiah
ternama, seperti Schizophrenia Bulletin, Psychiatric Services, Psychiatric Rehabition Journal
and Psychiatric Rehabilitation Skill. Bahkan Schizophrenia Bulletin telah menerbitkan satu
edisi khusus yang memuat berbagai pengalaman-pengalaman para konsumen ketika mereka
menderita gangguan jiwa. Pengalaman-pengalaman tersebut telah menjadi fondasi bagi
gerakan pelayanan kesehatan mental yang berorientasi pada kesembuhan (recovery
movement) di Amerika (Lieberman & Kopelowics, 2002), memunculkan pentingnya untuk
7
‗keluar dari anggapan umum, pandangan semu dan generalisasi yang sempit…. Dan bergerak
menuju kenyataan empiris yang didukung oleh validasi sebuah konsep operasional mengenai
kesembuhan‘ (hal. 245). Sementara itu, konsumen juga mengkritisi kriteria medis bahwa
kesembuhan merupakan hal yang tidak mungkin; bahwa hal tersebut hanyalah mitos belaka
(Whitwell, 1999). Pandangan medis seringkali dikritik sebagai terlalu mefokus diri pada
penyakit, menerapkan kriteria reduksi biologis yang kontradiktif dengan model konsumen
yaitu person-centered focus (Ralph, dkk., 2002). Robert & Wolfson (2004) membandingkan
nilai-nilai dan bahasa pada pandangan-pandangan tersebut, yang menunjukkan perbedaan
yang sangat signifikan diantara keduanya, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1
Perbedaan konsep, bahasa, dan nilai-nilai antara model medis dan konsumen
Model Medis Model Konsumen
Psikopatologi Menekankan pada pengalaman
Patografi Biografi
Anti-penyakit Pro-kesehatan
Berbasis pada penanganan Berbasis pada kekuatan
Dokter dan pasien Para ahli karena pengalaman
Diagnosis Makna personal
Pengenalan Pemahaman
Bebas nilai Berpusat pada nilai
Ilmiah Humanistik
Penanganan (tritmen) Perkembangan dan penemuan
Kepatuhan Pilihan
Berdasarkan hasil meta
analisis
Bermodelkan para pahlawan
(tokoh)
Uji coba random terkontrol Dipandu oleh narasi
Kembali ke normal Transformasi
Dikoordinasi oleh penanganan
ahli
Manajemen diri
di bawah kontrol seseorang Kontrol diri
Kewenangan profesional Tanggung jawab personal
Dekontekstualisasi Di dalam konteks sosial
Sumber: Roberts & Wolfson (2004, hal.40)
8
Belakangan ini, kedua pemahaman yang kontradiktif antara pandangan medis dan
pandangan konsumen mengenai kesembuhan tampaknya mulai menunjukkan titik temu. Di
kalangan medis, Lieberman & Kopowitz (2002) menyebutkan indikator-indikator
kesembuhan subjektif (harapan, kontrol diri, otonomi)—yang banyak digunakan oleh
pendukung gerakan konsumen—sebagai pendukung indikator-indikator objektif (reduksi
gejala, fungsi sosial). Mereka berusaha untuk mengkombinasikan konsep kesembuhan
sebagai ‗hasil akhir‘ yang banyak diterapkan di kalangan medis dan konsep kesembuhan
dalam pandangan konsumen, yaitu sebagai suatu ‗proses‘. Atribut-atribut subjektif tersebut
dianggap sebagai ‗mediasi proses yang mengarah pada terjadinya kesembuhan‘ (hal. 247).
Sejalan dengan hal tersebut, dipihak kelompok konsumen juga berusaha memenuhi tuntutan
pandangan medis yaitu untuk memvalidasi konsep-konsep kesembuhan dari sudut pandang
subjektif konsumen dengan mengujinya secara empiris (Resnick, dkk., 2004)
Pemberdayaan Keluarga
Dalam gerakan pemberdayaan, konsumen ternyata tidak sendirian. Mereka juga
didukung oleh anggota keluarga mereka. Ini mengingat bahwa dampak gangguan jiwa tidak
hanya dialami oleh penderita saja, tetapi juga anggota keluarga mereka. Beban psikis dan
sosial ekonomis keluarga sangat besar. Salah satu diantaranya adalah stigma terhadap
keluarga. Oleh karena itu sejumlah anggota keluarga dari para penderita gangguan jiwa
mendirikan the National Alliance for Mentally Ill (NAMI). Dalam perkembangan selanjutnya
singkatan NAMI diberi kepanjangan sebagai The National Alliance on Mental Ilness
(NAMI). Organisasi ini bertujuan untuk membantu diri mereka sendiri dan anggota keluarga
mereka yang mengalami gangguan mental (http://www.nami.org/)
9
NAMI merupakan sebuah organisasi yang unik. Organisasi ini dimulai ketika
sejumlah anggota keluarga pasien berkumpul di Madison, Wisconsin, pada September 1979.
Meskipun pada saat itu terdapat sejumlah profesional dari kalangan medis juga hadir dalam
pertemuan itu, tetapi para pendiri bersikukuh bahwa NAMI adalah sebuah organisasi yang
diatur untuk dan oleh keluarga dan konsumen. Tidak ada campur tangan pihak professional
maupun pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Para professional dipersilahkan
berpartisipasi sebagai simpatisan.
Organisasi NAMI berkembang sangat pesat. Ketika berdiri pada tahun 1979 NAMI
hanya terdiri dari sebuah kelompok kecil yang terdiri dari 284 orang. Hanya dalam waktu 10
tahun, anggota mereka telah berkembang menjadi lebih dari 80.00 orang di tahun 1989. Saat
ini NAMI sudah memiliki cabang hampir di semua negara bagian di Amerika, (lihat
http://www.nami.org). Program yang dilaksanakan antara lain memberikan public education
and information. Termasuk di sini adalah membantu konsumen dan keluarganya untuk
mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk hidup dengan gangguan jiwa. Mereka juga
menyelenggarakan support group yang dilaksanakan family-to-family dan peer-to-peer.
Program yang lain adalah awareness and stigma di mana mereka melakukan talk show dan
rally untuk mengalang dana dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gangguan jiwa.
Mereka juga memberikan respon tentang stigma yang kurang benar tentang gangguan jiwa
dengan menulis di berbagai media masa. Sekaligus juga berusaha meningkatkan pemahaman
masyarakat sehingga masyarakat dapat menghargai dan menerima orang yang mengalami
gangguan jiwa. Selain itu NAMI juga mempunyai program yang diberi nama State and
Federal Support, dimana mereka melakukan berba Dalam hal ini NAMI memang telah
memperoleh reputasi sebagai sebuah gerakan yang mempunyai kemampuan lobi yang kuat
dan efektif di Kongress Amerika berkaitan dengan kebijakan tentang kesehatan mental agar
10
mereka dapat menghilangkan diskriminasi bagi mantan pasien. NAMI secara aktif juga
bekerja untuk memodifikasi pengetahuan profesional dan teori-teori ilmiah mengenai
gangguan mental. Mereka sangat mendorong dilaksanakannya berbagai penelitian dan
perubahan system pelayanan kesehatan mental yang lebih komprehensif
Pemberdayaan Pasien dan Keluarga di Indonesia
Di Indonesia sejauh ini belum ada sebuah organisasi atau kelompok mantan pasien
gangguan jiwa atau keluarganya. Namun indikasi mengarah ke sana sudah mulai tampak.
Misalnya telah muncul beberapa buku yang memberikan gambaran tentang pengalaman
menjadi pasien gangguan jiwa. Salah satu diantaranya adalah buku yang berjudul Ratu Adil:
Memoar Seorang Schizophrenia yang ditulis oleh Isvandiary (2004). Buku ini mirip dengan
beberapa artikel atau buku yang ditulis oleh para konsumen di Amerika yang
menggambarkan pengalaman-pengalaman ketika mnjadi pasien gangguan jiwa. Bedanya
adalah bahwa tulisan para konsumen di Amerika pada umumnya bertujuan untuk merubah
atau memperbaiki system kesehatan jiwa, tetapi buku Isvandiary ini lebih banyak merupakan
dokumentasi dari pengalaman pribadi penulis yang pernah mendapat diagnosa sebagai
penderita schizophrenia. Di situ digambarkan bagaimana prosesnya penulis mengalami
gangguan jiwa, yang diawali dengan persoalan keluarga dimana dia mendapat perlakuan yang
tidak semestinya dari suaminya, yang berujung pada perceraian. Bagian yang paling banyak
dibahas dalam buku tersebut adalah mengenai berbagai pengalaman penulis ketika
mengalami schizophrenia. Bagaimana dia merasa dirinya sebagai ratu adil, sebuah mitologi
dalam masyarakat Jawa yang mirip dengan ide Mesiahisme, dimana tokoh tersebut yang
akan menyelamatkan masyarakat Jawa darai berbgai persoalan. Selanjutnya penulis merasa
11
bertemu dengan malaikat, tokoh-tokoh spiritual seperti Budha atau tokoh film serial TV dari
Cina, yaitu Sun Go Kong. Buku ini sama sekali tidak menyentuh isu bagaiaman pelayanan
dari dokter yang diberikan ketika dia menjalani perawatan di beberapa Rumah Sakit Jiwa.
Mantan penderita schizophrenia yang lain yang menulis beberapa buku adalah Bachril
Hidayat Lubis yang menulis buku Trilogi Gilakah Aku?. Buku pertama berjudul Aku
Sadar Aku Gila (Lubis, 2007). Buku ini menggambarkan proses kesembuhan penulis dari
gangguan skizofrenik paranoid yang dideritanya. Sebagai seorang yang mendapat pendidikan
tinggi di bidang psikologi dan latar belakang agama yang kuat, proses kesembuhan penulis
merupakan perjuangan pribadi yang panjang. Dia banyak menerapkan prinsip dan nilai Islami
yang dipadu dengan teknik-teknik psikologi. Misalnya semnagat kesembuhannya itu sendiri
ia alami setelah dia merenungkan isi Al Qur‘an surah ar-Rahman dalam shalat Jumat di tahun
2004. Memoar keduanya yang berjudul Aku Tahu Aku Gila (Lubis, 2008). Buku ketiga
masih dalam proses penyusunan yang berjudul Aku Bersyukur Aku Gila.
Baik Isvandiary maupun Bachril Hidayat berusaha memberikan gambaran mengenai
gangguan jiwa schizophrenia yang mereka derita. Kalau Isvandiary lebih banyak terfokus
pada pengalaman schizophrenianya yang penuh dengan delusi dan halusinasi yang unik dan
menarik, sehingga mirip sebagai sebuah novel. Sementara itu buku Bachril Hidayat lebih
merupakan sebuah refleksi dan renungan-renungan penulis dalam proses kesembuh dari
gangguan schizophrenia. Kemungkinan perbedaan itu selain karena latar belakang pendidikan
yang berbeda, juga sifat gangguan schizophrenia. Isvandiary mengalami gangguan
schizophrenia murni karena faktor psikologis sedangkan Bachril Hidayat karena
penyalahgunaan zat psikoaktif.
12
Selain penerbitan buku di atas, indikasi mulai munculnya gerakan pemberdayaan
pasien dan keluarga gangguan jiwa adalah adanya keterlibatan keluarga dalam proses terapi
yang diberikan pihak rumah sakit. Beberapa RSJ telah menerapkan kegiatan family gathering
dimana keluarga diberi psikoedukasi mengenai gangguan jiwa, penyebab dan terapinya.
Dalam kesempatan ini keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman.
Bahkan di Indonesia telah muncul sebuah organisasi yang diberi nama Yayasan Skizofrenia
Indonesia (YSI) yang berdiri sejak tahun 2000 (http://yayasan-skizofrenia.grouply.com/) .
Dengan moto 'Wadah untuk Memberdayakan dan Berkomunikasi Penderita Skizofrenia
dengan Masyarakat' . yayasan ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
Memberdayakan penderita skizofrenia agar dapat memperoleh perhatian, perawatan,
dan pengobatan yang layak serta perlindungan hukum melalui kepedulian masyarakat
dan pemerintah terhadap hasil karya penderita skizofrenia.
Menjadi wadah komunikasi serta saling dukung antar penderita maupun keluarga.
Mengurangi stigma yang selama ini ini diberikan oleh masyarakat kepada penderita
skizofrenia dengan cara melakukan penyebaran informasi mengenai skizofrenia.
Menjembatani komunikasi antar keluarga penderiat dengan dokter atau psikiater.
Menjadi sumber informasi bagi siapa saja yang memerlukan informasi mengenai
skizofrenia. (http://cybermed.cbn.net.id)
KESIMPULAN
Persoalan kesehtan mental merupakan masalah yang komplek, tidak hanya berkaitan
dengan para profesional kesehatan jiwa, pasien dan keluarga saja, tetapi juga menyangkut
masalah masyarakat yang lebih luas. Terutama masalah stigma dan perlindungan terhadap
harkat dan martabat mereka. Di Barat, sejak awal abad 20 beberapa mantan pasien yang
pernah dirawat di rumah sakit karena mengalami gangguan jiwa menuliskan berbagai
pengalaman mereka. Bahkan di akhir abad 20 mereka telah membentuk lembaga yang
terorganisir yang memiliki kemampuan negosiasi yang kuat untuk memperbaiki
pelayanan dan kebijakan kesehatan jiwa. Di Indoneisa, hadirnya Yayasan Skisofrenia
13
IndonesiaI memang bertujuan untuk pemberdayaan pasien dan keluarga. Namun
organisasi ini dibentuk dan dikelola oleh para profesional kesehatan mental. Akan lebih
baik lagi kalau ada sebuah organisasi yang dibentuk sendiri oleh mantan pasien atau
kelurga, seperti yang dilakukan oleh NAMI, sebuah organisasi yang diatur untuk dan oleh
keluarga konsumen.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony, W. A. (1993). Recovery from mental illness: The guiding vision of the mental
health service system in the 1990s. Psychosocial Rehabilitation Journal, 16(4), 11-23.
Davidson, L. (2003). Living Outside Mental Illness. New York: New York University Press
http://www.nami.org/ diakses pada tanggal 5 Oktober 2010
http://yayasan-skizofrenia.grouply.com/ diakses pada tanggal 5 Oktober 2010
http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/common/ptofriend.aspx?x=Health+News&y=cybermed|0|0|
5|49. YSI, Wadah untuk Penderita. Skizofrenia. Diakses pada tanggal 5 Oktober
2010
Isvandiary. (2004). Ratu Adil, Memoar Seorang Skizopren. Yogyakarta: Tinta
Liberman, R. P., & Kopelowicz, A. (2002). Recovery from schizophrenia: A challenge for 21
century. International Review of Psychiatry, 14(4), 245-255.
Lubis, B.H. (2007) Aku Sadar Aku Gila.Jakarta: Zikrul Hakim
Lubis, B.H. (2007) Aku Tahu Aku Gila. Yogyakarta: Pustaka Fahima
McGorry, P. D. (1995) Psychoeducation in first-episode psychosis: a therapeutic process.
Psychiatry, 58, 313–328
Ralph, R. O., Lambert, D. & Kidder, K.A. (2002). The Recovery Perspective and Evidence-
Based Practice for People with Serious Mental Illness: A Guideline Developed for
The Behavioural Health Recovery Management Project.
http://bhrm.org/guidelines/Ralph%20Recovery.pdf Diakses pada tanggal 3 February
2005
Roberts, G. A. (2000) Narrative and severe mental illness: what place do stories have in an
evidence-based world? Advances in Psychiatric Treatment, 6, 432–441
14
Roberts, G. , & Wolfson, P. (2004). The rediscovery of recovery. Advances in Psychiatric
Treatment, 10, 37-49.
Resnick, S. G., Rosenheck, R. A., & Lehman, A. F. (2004). An exploratory analysis of
correlates of recovery. Psychiatric Services, 55(5), 540-547.
Whitwell, D. (1999). The myth of recovery from mental illness. Psychiatric Bulletin, 23, 621-
622.