Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

14
1 PEMBERDAYAAN PASIEN DAN KELUARGA GANGGUAN JIWA DI INDONESIA 1 M.A. Subandi Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta Di beberapa negara maju seperti negara-negara di Amerika utara dan Eropa, telah banyak muncul beberapa kelompok mantan pasien gangguan jiwa, yang menyebut diri mereka sebagai Consumer (maksudnya adalah pengguna dari jasa pelayanan kesehatan jiwa yang disediakan oleh rumah sakit). Mereka bahkan telah mencangkan sebuah gerakan (consumer movement) yang ingin memperbaiki kondisi pasien dan mantan pasien gangguan jiwa. Hal ini diikuti oleh gerakan keluarga mereka yang juga ingin memperbaiki bagaimana pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa. Dalam paper ini saya akan menyajikan latar belakang dan riwayat munculnya gerakan mantan pasien (consumer movement) dan gerakan keluarga pasien (family movement). Di bagian akhir makalah ini saya akan melihat bagaimana kemungkinan gerakan ini diterapkan di Indonesia dalam kaitannya dengan usaha menurunkan stigma diri keluarga yang memiliki salah satu anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa 1 Paper dipresentasikan dalam 6 th National Conference on Schizophrenia: Lighting the Hope towards Recovery, Jakarta, 14-16 October 2010

Transcript of Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

Page 1: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

1

PEMBERDAYAAN PASIEN DAN KELUARGA

GANGGUAN JIWA DI INDONESIA1

M.A. Subandi

Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta

Di beberapa negara maju seperti negara-negara di Amerika utara dan Eropa, telah

banyak muncul beberapa kelompok mantan pasien gangguan jiwa, yang menyebut diri

mereka sebagai Consumer (maksudnya adalah pengguna dari jasa pelayanan kesehatan jiwa

yang disediakan oleh rumah sakit). Mereka bahkan telah mencangkan sebuah gerakan

(consumer movement) yang ingin memperbaiki kondisi pasien dan mantan pasien gangguan

jiwa. Hal ini diikuti oleh gerakan keluarga mereka yang juga ingin memperbaiki bagaimana

pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap pasien gangguan jiwa. Dalam paper ini

saya akan menyajikan latar belakang dan riwayat munculnya gerakan mantan pasien

(consumer movement) dan gerakan keluarga pasien (family movement). Di bagian akhir

makalah ini saya akan melihat bagaimana kemungkinan gerakan ini diterapkan di Indonesia

dalam kaitannya dengan usaha menurunkan stigma diri keluarga yang memiliki salah satu

anggota keluarganya yang mengalami gangguan jiwa

1 Paper dipresentasikan dalam 6

th National Conference on Schizophrenia: Lighting the Hope towards Recovery,

Jakarta, 14-16 October 2010

Page 2: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

2

Pemberdayaan Pasien

Pandangan bahwa schizophrenia adalah sebuah penyakit yang tidak dapat

disembuhkan tidak hanya mendominasi di antara kalangan profesional di bidang kesehatan

mental. Pandangan serupa juga telah terbentuk sebagai sikap komunitas terhadap penderita

gangguan mental. Hal ini telah membentuk stigma dan konstruk pemahaman sosial mengenai

apa yang dimaksud dan makna dari schizophrenia. Sementara itu, pasien sangat

termarjinalisasi atau terkucilkan dari sistem (McGorry, 1995). Pandangan pesimistik dan

dominan di kalangan psikiater ini telah menstimulasi munculnya reaksi keras pada mantan

pasien sepanjang sejarah. Termasuk diantaranya memunculkan isu pemberdayaan pasien.

Para mantan pasien tersebut belakangan ini membentuk sebuah gerakan yang disebut

sebagai gerakan konsumen (consumer-survivor movement). (Istilah ‗konsumen‘ digunakan

untuk mendeskripsikan mereka yang menderita gangguan mental; ini digunakan karena,

sebagai ‗konsumen‘ atas berbagai pelayanan kesehatan dan sosial, mereka harus dilibatkan

dalam pengembangan dan manajemen pelayanan-pelayanan tersebut, sekaligus juga

penelitian-penelitian mengenainya).

Sepanjang sejarah psikiatri, telah terdapat para mantan pasien yang mengangkat

mengenai hak mereka dan mengenai penanganan individual yang berlawanan dengan

pandangan dominant di kalangan profesional di bidang kesehatan mental. Pada pertengahan

abad ke-19, Elizabeth Packard, pendiri An-Insane Asylum Society, mempublikasikan sebuah

kisah mengenai pemaksaan dirinya untuk menjalani perawatan di rumah sakit yang dilakukan

oleh suaminya (Schiff, 2004). Pada 1935, Clifford Beers, mendokumentasikan kisah

mengenai penanganan buruk yang diterimanya di rumah sakit jiwa. Hal ini kemudian diikuti

Page 3: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

3

oleh publikasi Memoirs of My Nervous Illness oleh Daniel Paul Schreber pada tahun 1955

(Davidson, 2003).

Gerakan konsumen (consumer movement) yang ada saat ini dimulai pada tahun 1970-

an ketika sekelompok kecil mantan pasien, membentuk organisasi di seluruh Amerika

Serikat. Beberapa kelompok konsumen yang tercatat antara lain Survivors Speak Out, the

National Self-Harm Network, the Hearing Voices Network, Mad Pride, dan Mad Women.

Kelompok-kelompok ini terinspirasi oleh gerakan kebebasan kaum kulit hitam, gerakan

liberalisasi gay, dan liberalisasi perempuan, sehingga mereka juga ingin ―membebaskan‖ para

penderita gangguan mental. Kemunculan berbagai macam kelompok pengguna secara luas

telah menjadi salah satu perkembangan yang paling penting dalam pelayanan kesehatan

mental selama 15 tahun terakhir.

Ada beberapa agenda yang dilakukan oleh kelompok gerakan konsumen ini. Mereka

berusaha menghilangkan stigma dengan mengubah pendapat publik mengenai gangguan

mental. Hal paling praktis yang mereka lakukan adalah dengan mengubah istilah medis

―pasien‖ menjadi sebuah istilah baru yaitu ―konsumen‖. Schiff (2004) yang juga merupakan

salah satu anggota kelompok tersebut mendeskripsikan bagaimana istilah ‗consumer‘ ini

muncul. Pada tahun 1970-an ketika orang-orang yang merupakan mantan ―pasien‖ mulai

berkumpul bersama dan berbagi pengalaman mereka, mereka menyebut diri mereka sebagai

―experience-patient‖ (pasien berpengalaman) atau or “former patients (mantan pasien).

Beberapa menggunakan ―psychiatric inmate‖ untuk memperjelas ketidakpuasan mereka atas

cara penanganan yang mereka peroleh dari para tenaga medis profesional. Di California

istilah netral ―client‖ (klien) lebih disenangi. Pada 1980-an istilah ―consumer‖ digunakan

oleh tenaga medis profesional dan kelompok keluarga, untuk menghindari pelabelan dan

stigma. Istilah ―survivor‖ digunakan oleh ―konsumen‖ berdasarkan pada fakta bahwa

Page 4: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

4

konsumen telah ―selamat‖ dari penanganan psikiatris yang dipaksakan dan menganggap diri

mereka telah mengalami pemulihan (recovery). Di Inggris istilah ―service user‖ (pengguna

layanan) digunakan di kalangan profesi kesehatan mental sebagai kebalikan dari ―service

provider‖ (penyedia layanan).

Shifft (2004) menyatakan bahwa penggunaan bahasa ini adalah lebih dari sekedar

semantik. Hal ini telah terbentuk ke dalam identitas personal dan sosial mereka. Ini juga

berarti sebagai penguatan dan masuknya ―konsumen‖ di dalam sistem kesehatan mental. Hal

ini sejalan dengan prinsip utama dari gerakan pemberdayaan pasien (empowerment), self-

help, dan advokasi (Schiff, 2004). Self-help telah menjadi sebuah elemen penting dalam

proses pemulihan. Banyak diantaranya telah mampu berpartisipasi dalam kelompok-

kelompok konsumer

Gerakan konsumen ini mengungkapkan sebuah suara baru bagi para konsumen untuk

berbicara mengenai pengalaman mereka dan untuk menjadikan pelayanan keehatan mental

berpihak pada mereka sehingga mereka dapat membantu para konsumen yang lain. Selain itu

mereka juga berusaha untuk mempengaruhi kebijakan struktural dan desain program

pelayanan kesehatan (Anthony, 2000). Dikarenakan gerakan konsumen mengangkat

mengenai potensi bahaya yang disebabkan oleh profesi kesehatan mental, mereka secara aktif

mampu mengubah kegiatan praktis para profesional. Mereka juga memainkan sebuah peran

yang sangat berpengaruh dalam pembentukan kebijakan pemerintah mengenai sistem

pelayanan kesehatan mental. Menurut Davidson (2003) model advokasi inilah yang

membedakan gerakan konsumen masa kini dengan gerakan konsumen sebelumnya. Gerakan

konsumen telah menjadi sebuah politik kolektif yang kuat dalam mempengaruhi kebijakan

kesehatan mental di Amerika. Moto mereka diadopsi dari gerakan Disability Rights

Movement yang lebih besar, yaitu frasa ―Tidak ada hal mengenai Kami tanpa kami‖

Page 5: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

5

(“Nothing about Us without us”). Gerakan ini pada akhirnya mendapatkan pendukung yang

cukup. Gerakan ini dimulai dengan memaksa masyarakat untuk mengkaji dan menegosiasi

kembali pelayanan kesehatan mental yang tersedia (Schiff, 2004). Di Inggris, model

pemberdayaan pasien yang digunakan oleh para profesional adalah dengan menghargai

mantan pasien sebagai seorang ‗experts in their own experience’ (ahli dalam pengalamannya

sendiri) (Roberts, 200), sehingga mereka diberi kesempatan untuk terlibat dalam pelayanan

kesehatan mental. Sejumlah konsumen bahkan juga mendapatkan pelatihan profesional

sebagai psikolog atau psikiater sebagai bagian dari proses penyembuhan mereka. Para

konsumen yang menjadi profesional sebagai ―prosumers‖. Diantara para prosumer yang aktif

menulis berbagai artikel maupun berbicara dalam berbagai forum adalah Deegan, Koehler,

Fisher adalah di antara para prosumers. Mereka menjadi sumber daya manusia yang paling

berharga bagi gerakan dan pemberdayaan pasien (Schiff, 2004).

Usaha yang dilakukan oleh kelompok konsumen untuk memodifikasi sistem

kesehatan mental terlihat sukses. Di AS dan UK mereka telah mempengaruhi pembuat

kebijakan untuk mendengarkan keinginan mereka. Didukung dengan bukti ilmiah dan

pengalaman mereka dalam proses penyembuhan, gerakan konsumen telah mengadvokasikan

sebuah perpindahan menuju ke pendekatan orientasi penyembuhan (recovery oriented

approach) pada rehabilitasi. Anthony (1993) telah mendeskripsikan bagaimana minat pada

‗pemulihan‘ (recovery) muncul sebagai sebuah pandangan panduan bagi pelayanan kesehatan

mental di AS selama tahun 1990an. Di UK, Department of Health memiliki program Expert

Patients Programme (Roberts, 2000). Terdapat juga peningkatan konvergensi antara

perspektif yang dipengaruhi oleh pengguna (user-led perspective) dan kebijakan kesehatan

mental yang juga tercermin dalam panduan klinis untuk schizophrenia yang belakangan ini

dipublikasikan oleh National Institute for Clinical Excellence yang ternyata paralel dengan

Page 6: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

6

apa yang telah diidentifikasikan oleh pengguna layanan di AS sebagai praktik recovery-

oriented yang paling penting.

Pandangan mengenai praktik recovery-oriented juga muncul di negara lain seperti

New Zealand. Pada sebuah pusat pelayanan yang berorientasi recovery-based, pelatihan staf

memfokuskan pada pengalaman nyata. Selama sesi pelatihan, para tenaga kesehatan mental

seringkali mengungkapkan pengalaman pribadi mereka selama mereka mengalami gangguan

mental. Dengan demikian dalam pelatihan terebut peserta lebih memfokuskan pada

kehidupan nyata dan tidak terlalu melebih-lebihkan gangguan. Juga ada perubahan pada

penggunaan bahasa dan penekanan yang lebih besar pada hal-hal yang penting bagi pasien,

yaitu tempat tinggal yang aman dan memuaskan, kecukupan uang, hubungan yang penuh

dukungan, serta pekerjaan dan aktivitas yang penuh makna.

Gerakan pemberdayaan konsumen tidak hanya bergerak di bidang pratis saja, tetapi

juga berusaha untuk merubah teori-teori ilmiah mengenai gangguan mental, terutama

pandangan pesimistis bahwa schizophrenia tidak dapat disembuhkan. Didukung oleh

beberapa psikiater yang skeptis terhadap pandangan Kraeplin, sejumlah konsumen memulai

untuk menuliskan pengalaman pribadi dan mempublikasikan pengalaman langsung dari

tangan pertama para konsumen yang telah sembuh (Lieberman & Kopelowics, 2002). Kisah-

kisah kehidupan pribadi mereka juga telah banyak muncul dalam jurnal-jurnal ilmiah

ternama, seperti Schizophrenia Bulletin, Psychiatric Services, Psychiatric Rehabition Journal

and Psychiatric Rehabilitation Skill. Bahkan Schizophrenia Bulletin telah menerbitkan satu

edisi khusus yang memuat berbagai pengalaman-pengalaman para konsumen ketika mereka

menderita gangguan jiwa. Pengalaman-pengalaman tersebut telah menjadi fondasi bagi

gerakan pelayanan kesehatan mental yang berorientasi pada kesembuhan (recovery

movement) di Amerika (Lieberman & Kopelowics, 2002), memunculkan pentingnya untuk

Page 7: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

7

‗keluar dari anggapan umum, pandangan semu dan generalisasi yang sempit…. Dan bergerak

menuju kenyataan empiris yang didukung oleh validasi sebuah konsep operasional mengenai

kesembuhan‘ (hal. 245). Sementara itu, konsumen juga mengkritisi kriteria medis bahwa

kesembuhan merupakan hal yang tidak mungkin; bahwa hal tersebut hanyalah mitos belaka

(Whitwell, 1999). Pandangan medis seringkali dikritik sebagai terlalu mefokus diri pada

penyakit, menerapkan kriteria reduksi biologis yang kontradiktif dengan model konsumen

yaitu person-centered focus (Ralph, dkk., 2002). Robert & Wolfson (2004) membandingkan

nilai-nilai dan bahasa pada pandangan-pandangan tersebut, yang menunjukkan perbedaan

yang sangat signifikan diantara keduanya, seperti yang ditunjukkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1

Perbedaan konsep, bahasa, dan nilai-nilai antara model medis dan konsumen

Model Medis Model Konsumen

Psikopatologi Menekankan pada pengalaman

Patografi Biografi

Anti-penyakit Pro-kesehatan

Berbasis pada penanganan Berbasis pada kekuatan

Dokter dan pasien Para ahli karena pengalaman

Diagnosis Makna personal

Pengenalan Pemahaman

Bebas nilai Berpusat pada nilai

Ilmiah Humanistik

Penanganan (tritmen) Perkembangan dan penemuan

Kepatuhan Pilihan

Berdasarkan hasil meta

analisis

Bermodelkan para pahlawan

(tokoh)

Uji coba random terkontrol Dipandu oleh narasi

Kembali ke normal Transformasi

Dikoordinasi oleh penanganan

ahli

Manajemen diri

di bawah kontrol seseorang Kontrol diri

Kewenangan profesional Tanggung jawab personal

Dekontekstualisasi Di dalam konteks sosial

Sumber: Roberts & Wolfson (2004, hal.40)

Page 8: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

8

Belakangan ini, kedua pemahaman yang kontradiktif antara pandangan medis dan

pandangan konsumen mengenai kesembuhan tampaknya mulai menunjukkan titik temu. Di

kalangan medis, Lieberman & Kopowitz (2002) menyebutkan indikator-indikator

kesembuhan subjektif (harapan, kontrol diri, otonomi)—yang banyak digunakan oleh

pendukung gerakan konsumen—sebagai pendukung indikator-indikator objektif (reduksi

gejala, fungsi sosial). Mereka berusaha untuk mengkombinasikan konsep kesembuhan

sebagai ‗hasil akhir‘ yang banyak diterapkan di kalangan medis dan konsep kesembuhan

dalam pandangan konsumen, yaitu sebagai suatu ‗proses‘. Atribut-atribut subjektif tersebut

dianggap sebagai ‗mediasi proses yang mengarah pada terjadinya kesembuhan‘ (hal. 247).

Sejalan dengan hal tersebut, dipihak kelompok konsumen juga berusaha memenuhi tuntutan

pandangan medis yaitu untuk memvalidasi konsep-konsep kesembuhan dari sudut pandang

subjektif konsumen dengan mengujinya secara empiris (Resnick, dkk., 2004)

Pemberdayaan Keluarga

Dalam gerakan pemberdayaan, konsumen ternyata tidak sendirian. Mereka juga

didukung oleh anggota keluarga mereka. Ini mengingat bahwa dampak gangguan jiwa tidak

hanya dialami oleh penderita saja, tetapi juga anggota keluarga mereka. Beban psikis dan

sosial ekonomis keluarga sangat besar. Salah satu diantaranya adalah stigma terhadap

keluarga. Oleh karena itu sejumlah anggota keluarga dari para penderita gangguan jiwa

mendirikan the National Alliance for Mentally Ill (NAMI). Dalam perkembangan selanjutnya

singkatan NAMI diberi kepanjangan sebagai The National Alliance on Mental Ilness

(NAMI). Organisasi ini bertujuan untuk membantu diri mereka sendiri dan anggota keluarga

mereka yang mengalami gangguan mental (http://www.nami.org/)

Page 9: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

9

NAMI merupakan sebuah organisasi yang unik. Organisasi ini dimulai ketika

sejumlah anggota keluarga pasien berkumpul di Madison, Wisconsin, pada September 1979.

Meskipun pada saat itu terdapat sejumlah profesional dari kalangan medis juga hadir dalam

pertemuan itu, tetapi para pendiri bersikukuh bahwa NAMI adalah sebuah organisasi yang

diatur untuk dan oleh keluarga dan konsumen. Tidak ada campur tangan pihak professional

maupun pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Para professional dipersilahkan

berpartisipasi sebagai simpatisan.

Organisasi NAMI berkembang sangat pesat. Ketika berdiri pada tahun 1979 NAMI

hanya terdiri dari sebuah kelompok kecil yang terdiri dari 284 orang. Hanya dalam waktu 10

tahun, anggota mereka telah berkembang menjadi lebih dari 80.00 orang di tahun 1989. Saat

ini NAMI sudah memiliki cabang hampir di semua negara bagian di Amerika, (lihat

http://www.nami.org). Program yang dilaksanakan antara lain memberikan public education

and information. Termasuk di sini adalah membantu konsumen dan keluarganya untuk

mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan untuk hidup dengan gangguan jiwa. Mereka juga

menyelenggarakan support group yang dilaksanakan family-to-family dan peer-to-peer.

Program yang lain adalah awareness and stigma di mana mereka melakukan talk show dan

rally untuk mengalang dana dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang gangguan jiwa.

Mereka juga memberikan respon tentang stigma yang kurang benar tentang gangguan jiwa

dengan menulis di berbagai media masa. Sekaligus juga berusaha meningkatkan pemahaman

masyarakat sehingga masyarakat dapat menghargai dan menerima orang yang mengalami

gangguan jiwa. Selain itu NAMI juga mempunyai program yang diberi nama State and

Federal Support, dimana mereka melakukan berba Dalam hal ini NAMI memang telah

memperoleh reputasi sebagai sebuah gerakan yang mempunyai kemampuan lobi yang kuat

dan efektif di Kongress Amerika berkaitan dengan kebijakan tentang kesehatan mental agar

Page 10: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

10

mereka dapat menghilangkan diskriminasi bagi mantan pasien. NAMI secara aktif juga

bekerja untuk memodifikasi pengetahuan profesional dan teori-teori ilmiah mengenai

gangguan mental. Mereka sangat mendorong dilaksanakannya berbagai penelitian dan

perubahan system pelayanan kesehatan mental yang lebih komprehensif

Pemberdayaan Pasien dan Keluarga di Indonesia

Di Indonesia sejauh ini belum ada sebuah organisasi atau kelompok mantan pasien

gangguan jiwa atau keluarganya. Namun indikasi mengarah ke sana sudah mulai tampak.

Misalnya telah muncul beberapa buku yang memberikan gambaran tentang pengalaman

menjadi pasien gangguan jiwa. Salah satu diantaranya adalah buku yang berjudul Ratu Adil:

Memoar Seorang Schizophrenia yang ditulis oleh Isvandiary (2004). Buku ini mirip dengan

beberapa artikel atau buku yang ditulis oleh para konsumen di Amerika yang

menggambarkan pengalaman-pengalaman ketika mnjadi pasien gangguan jiwa. Bedanya

adalah bahwa tulisan para konsumen di Amerika pada umumnya bertujuan untuk merubah

atau memperbaiki system kesehatan jiwa, tetapi buku Isvandiary ini lebih banyak merupakan

dokumentasi dari pengalaman pribadi penulis yang pernah mendapat diagnosa sebagai

penderita schizophrenia. Di situ digambarkan bagaimana prosesnya penulis mengalami

gangguan jiwa, yang diawali dengan persoalan keluarga dimana dia mendapat perlakuan yang

tidak semestinya dari suaminya, yang berujung pada perceraian. Bagian yang paling banyak

dibahas dalam buku tersebut adalah mengenai berbagai pengalaman penulis ketika

mengalami schizophrenia. Bagaimana dia merasa dirinya sebagai ratu adil, sebuah mitologi

dalam masyarakat Jawa yang mirip dengan ide Mesiahisme, dimana tokoh tersebut yang

akan menyelamatkan masyarakat Jawa darai berbgai persoalan. Selanjutnya penulis merasa

Page 11: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

11

bertemu dengan malaikat, tokoh-tokoh spiritual seperti Budha atau tokoh film serial TV dari

Cina, yaitu Sun Go Kong. Buku ini sama sekali tidak menyentuh isu bagaiaman pelayanan

dari dokter yang diberikan ketika dia menjalani perawatan di beberapa Rumah Sakit Jiwa.

Mantan penderita schizophrenia yang lain yang menulis beberapa buku adalah Bachril

Hidayat Lubis yang menulis buku Trilogi Gilakah Aku?. Buku pertama berjudul Aku

Sadar Aku Gila (Lubis, 2007). Buku ini menggambarkan proses kesembuhan penulis dari

gangguan skizofrenik paranoid yang dideritanya. Sebagai seorang yang mendapat pendidikan

tinggi di bidang psikologi dan latar belakang agama yang kuat, proses kesembuhan penulis

merupakan perjuangan pribadi yang panjang. Dia banyak menerapkan prinsip dan nilai Islami

yang dipadu dengan teknik-teknik psikologi. Misalnya semnagat kesembuhannya itu sendiri

ia alami setelah dia merenungkan isi Al Qur‘an surah ar-Rahman dalam shalat Jumat di tahun

2004. Memoar keduanya yang berjudul Aku Tahu Aku Gila (Lubis, 2008). Buku ketiga

masih dalam proses penyusunan yang berjudul Aku Bersyukur Aku Gila.

Baik Isvandiary maupun Bachril Hidayat berusaha memberikan gambaran mengenai

gangguan jiwa schizophrenia yang mereka derita. Kalau Isvandiary lebih banyak terfokus

pada pengalaman schizophrenianya yang penuh dengan delusi dan halusinasi yang unik dan

menarik, sehingga mirip sebagai sebuah novel. Sementara itu buku Bachril Hidayat lebih

merupakan sebuah refleksi dan renungan-renungan penulis dalam proses kesembuh dari

gangguan schizophrenia. Kemungkinan perbedaan itu selain karena latar belakang pendidikan

yang berbeda, juga sifat gangguan schizophrenia. Isvandiary mengalami gangguan

schizophrenia murni karena faktor psikologis sedangkan Bachril Hidayat karena

penyalahgunaan zat psikoaktif.

Page 12: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

12

Selain penerbitan buku di atas, indikasi mulai munculnya gerakan pemberdayaan

pasien dan keluarga gangguan jiwa adalah adanya keterlibatan keluarga dalam proses terapi

yang diberikan pihak rumah sakit. Beberapa RSJ telah menerapkan kegiatan family gathering

dimana keluarga diberi psikoedukasi mengenai gangguan jiwa, penyebab dan terapinya.

Dalam kesempatan ini keluarga juga mendapatkan kesempatan untuk berbagi pengalaman.

Bahkan di Indonesia telah muncul sebuah organisasi yang diberi nama Yayasan Skizofrenia

Indonesia (YSI) yang berdiri sejak tahun 2000 (http://yayasan-skizofrenia.grouply.com/) .

Dengan moto 'Wadah untuk Memberdayakan dan Berkomunikasi Penderita Skizofrenia

dengan Masyarakat' . yayasan ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:

Memberdayakan penderita skizofrenia agar dapat memperoleh perhatian, perawatan,

dan pengobatan yang layak serta perlindungan hukum melalui kepedulian masyarakat

dan pemerintah terhadap hasil karya penderita skizofrenia.

Menjadi wadah komunikasi serta saling dukung antar penderita maupun keluarga.

Mengurangi stigma yang selama ini ini diberikan oleh masyarakat kepada penderita

skizofrenia dengan cara melakukan penyebaran informasi mengenai skizofrenia.

Menjembatani komunikasi antar keluarga penderiat dengan dokter atau psikiater.

Menjadi sumber informasi bagi siapa saja yang memerlukan informasi mengenai

skizofrenia. (http://cybermed.cbn.net.id)

KESIMPULAN

Persoalan kesehtan mental merupakan masalah yang komplek, tidak hanya berkaitan

dengan para profesional kesehatan jiwa, pasien dan keluarga saja, tetapi juga menyangkut

masalah masyarakat yang lebih luas. Terutama masalah stigma dan perlindungan terhadap

harkat dan martabat mereka. Di Barat, sejak awal abad 20 beberapa mantan pasien yang

pernah dirawat di rumah sakit karena mengalami gangguan jiwa menuliskan berbagai

pengalaman mereka. Bahkan di akhir abad 20 mereka telah membentuk lembaga yang

terorganisir yang memiliki kemampuan negosiasi yang kuat untuk memperbaiki

pelayanan dan kebijakan kesehatan jiwa. Di Indoneisa, hadirnya Yayasan Skisofrenia

Page 13: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

13

IndonesiaI memang bertujuan untuk pemberdayaan pasien dan keluarga. Namun

organisasi ini dibentuk dan dikelola oleh para profesional kesehatan mental. Akan lebih

baik lagi kalau ada sebuah organisasi yang dibentuk sendiri oleh mantan pasien atau

kelurga, seperti yang dilakukan oleh NAMI, sebuah organisasi yang diatur untuk dan oleh

keluarga konsumen.

DAFTAR PUSTAKA

Anthony, W. A. (1993). Recovery from mental illness: The guiding vision of the mental

health service system in the 1990s. Psychosocial Rehabilitation Journal, 16(4), 11-23.

Davidson, L. (2003). Living Outside Mental Illness. New York: New York University Press

http://www.nami.org/ diakses pada tanggal 5 Oktober 2010

http://yayasan-skizofrenia.grouply.com/ diakses pada tanggal 5 Oktober 2010

http://cybermed.cbn.net.id/cbprtl/common/ptofriend.aspx?x=Health+News&y=cybermed|0|0|

5|49. YSI, Wadah untuk Penderita. Skizofrenia. Diakses pada tanggal 5 Oktober

2010

Isvandiary. (2004). Ratu Adil, Memoar Seorang Skizopren. Yogyakarta: Tinta

Liberman, R. P., & Kopelowicz, A. (2002). Recovery from schizophrenia: A challenge for 21

century. International Review of Psychiatry, 14(4), 245-255.

Lubis, B.H. (2007) Aku Sadar Aku Gila.Jakarta: Zikrul Hakim

Lubis, B.H. (2007) Aku Tahu Aku Gila. Yogyakarta: Pustaka Fahima

McGorry, P. D. (1995) Psychoeducation in first-episode psychosis: a therapeutic process.

Psychiatry, 58, 313–328

Ralph, R. O., Lambert, D. & Kidder, K.A. (2002). The Recovery Perspective and Evidence-

Based Practice for People with Serious Mental Illness: A Guideline Developed for

The Behavioural Health Recovery Management Project.

http://bhrm.org/guidelines/Ralph%20Recovery.pdf Diakses pada tanggal 3 February

2005

Roberts, G. A. (2000) Narrative and severe mental illness: what place do stories have in an

evidence-based world? Advances in Psychiatric Treatment, 6, 432–441

Page 14: Pemberdayaan Pasien Dan Keluarga Psikosis

14

Roberts, G. , & Wolfson, P. (2004). The rediscovery of recovery. Advances in Psychiatric

Treatment, 10, 37-49.

Resnick, S. G., Rosenheck, R. A., & Lehman, A. F. (2004). An exploratory analysis of

correlates of recovery. Psychiatric Services, 55(5), 540-547.

Whitwell, D. (1999). The myth of recovery from mental illness. Psychiatric Bulletin, 23, 621-

622.