Pembahasan Learning Issue Modul 4-SKENARIO 1

86
Pembahasan learning issue modul 4-Skenario 1 A. DEFINISI TRAUMA OROMAKSILOFASIAL Trauma oromaksilofasial adalah suatu keadaan cedera fisik pada bagian wajah. Keadaan cedera bisa terjadi pada jaringan keras dan jaringan lunak dimana membutuhkan perbaikan (restorasi) untuk mengembalikan fungsi serta estetika wajah. Berdasarkan skeleton fasial, trauma maksilofasial dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu a. Sepertiga atas dibentuk oleh tulang frontal b. Sepertiga bagian tulang yang dimulai dari tulang frontal sampai pada gigi maksila (edentulous atas) c. Sepertiga bawah dibentuk oleh tulang mandibula Fraktur pada sepertiga tengah bagian wajah yang disebut dengan trauma tulang maksila bisa terjadi dengan tingkat keparahan yang variatif pada jaringan lunaknya. B. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI TRAUMA MAKSILA ETIOLOGI: 1. Tipe penyebab a. Direct (Hantaman langsung) Seperti pertengkaran langsung (interpesonal fight) dengan kepalan tangan, stik, batang metal dll. Jatuh juga merupakan salah satu contoh(jatuh langsung menghantam permukaan, kecelakaan lalu lintas). Bisa juga karena iatrogenik, saat melakukan treatment dental, pembedahan, dll. b. Indirect (Hantaman tidak langsung) Jatuh dari ketinggian, atau karena pukulan tiba-tiba 2. Kecelakaan a. Lalu linas b. Pesawat c. Penambangan 3. Peluru 4. Predisposing cause a. Penyebab Lokal kista, tumor, osteomielits b. Penyebab sistemik Osteoporosis 1

description

oral medicine

Transcript of Pembahasan Learning Issue Modul 4-SKENARIO 1

Pembahasan learning issue modul 4-Skenario 1

A. DEFINISI TRAUMA OROMAKSILOFASIALTrauma oromaksilofasial adalah suatu keadaan cedera fisik pada bagian wajah. Keadaan cedera bisa terjadi pada jaringan keras dan jaringan lunak dimana membutuhkan perbaikan (restorasi) untuk mengembalikan fungsi serta estetika wajah. Berdasarkan skeleton fasial, trauma maksilofasial dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu1. Sepertiga atas dibentuk oleh tulang frontal1. Sepertiga bagian tulang yang dimulai dari tulang frontal sampai pada gigi maksila (edentulous atas)1. Sepertiga bawah dibentuk oleh tulang mandibulaFraktur pada sepertiga tengah bagian wajah yang disebut dengan trauma tulang maksila bisa terjadi dengan tingkat keparahan yang variatif pada jaringan lunaknya.

B. KLASIFIKASI DAN ETIOLOGI TRAUMA MAKSILAETIOLOGI: 1. Tipe penyebab1. Direct (Hantaman langsung)Seperti pertengkaran langsung (interpesonal fight) dengan kepalan tangan, stik, batang metal dll. Jatuh juga merupakan salah satu contoh(jatuh langsung menghantam permukaan, kecelakaan lalu lintas). Bisa juga karena iatrogenik, saat melakukan treatment dental, pembedahan, dll.1. Indirect (Hantaman tidak langsung)Jatuh dari ketinggian, atau karena pukulan tiba-tiba 1. Kecelakaan1. Lalu linas1. Pesawat1. Penambangan1. Peluru1. Predisposing cause1. Penyebab Lokal kista, tumor, osteomielits1. Penyebab sistemik Osteoporosis

KLASIFIKASI :0. Trauma jaringan lunakLuka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari luar. Biasanya disebabkan karena trauma mekanis, termis, listrik, dan lain sebagainya, bisa jadi trauma tajam atau trauma tumpul. Penampakan luka bisa tidak terjadi penembusan suatu rongga (vulvus non penetrans) atau menembus suatu rongga (vulvus penetrans). Sedangkan dari bentuk morfologisnya dapat dibedakan menjadi:1. HematomaHematoma adalah keadaan terdapat penimbunan darah dalam suatu rongga abnormal dan berada di subkutan. Dalam trauma maksila bisa terjadi pada orbita atau periorbita.1. Abrasi :Abrasi adalah keadaan dimana terdapat kerusakan epidermis.1. EkskoriasiEkskoriasi adalah perlukaan dimana terdapat kerusakan dari epidermis dan dermis.1. Vulnus Punctum (ictum)Perlukaan yang terjadi berupa suatu luka yang kecil (luka tusuk).1. Vulnus Scissum Perlukaan yang terjadi berupa suatu luka yang berbentuk garis.Sebagai penyebabnya adalah suatu trauma tajam.1. Vulnus Laceratum (luka compang camping)Sebagai penyebab adalah trauma tumpul. Luka yang terjadi dapat berupa garis (seperti pada v.scissum) atau memang berbentuk compang camping. Apabila berbentuk garis, maka perbedaannya dengan v.scissum adalah adnya jembatan jaringan,tepi yang tak rata, pinggir yang tak rata dsb.1. Luka tembak (v.sclopetorum)Luka tembak terbagi atas luka tembak masuk dan luka tembak keluar.

0. Trauma jaringan keras (dento-alveolar)Traumatic injury adalah injury yang dapat bersifat fisik (badan) atau emosional yang dihasilkan oleh luka luka fisik atau mental, atau shock. Traumatic dental injury atau dental trauma merupakan injury yang terjadi pada mulut, termasuk gigi, bibir, gusi, lidah, dan tulang rahang. Traumatic dental injury umumnya merupakan kombinasi trauma jaringan lunak peri-oral, gigi, dan jaringan pendukungnya. Traumatic Dental Injuries (TDI) atau luka trauma dental di klasifikasikan berdasarkan beberapa faktor seperti etiologi, anatomi, patologi, pertimbangan terapeutik, dan derajat keparahannya.

Etiologi Traumatik InjuriTraumatic Dental Injury terjadi oleh benturan yang dapat menyebabkan energi mekanis yang cukup untuk menghasilkan suatu injuri/luka. Peristiwa TDI terjadi karena aktivitas yang menyebabkan kejadian TDI seperti jatuh, benturan, aktivitas fisik diwaktu senggang, kecelakaan lalu lintas, permaian yang kasar, kekerasan, penggunaan gigi yang tidak sesuai, serta menggigit benda keras. Perilaku manusia seperti pengambilan resiko, masalah hubungan dengan kawan, hiperaktivitas, dan perilaku stress juga merupakan penyebab terjadinya TDI.1. Jatuh dan benturanSering terjadi pada anak dan orang tua. Seperti jatuh dari tangga, di garasi, teras, dan anak2 pada area bermain.1. Aktivitas fisik (olahraga)Olahraga beresiko tinggi terhadap Tdi contohnya American football, hockey, ice hockey, lacrosse, martial sport, rugby, dan skating. Olahraga yang beresiko medium misalnya basket, selam, squash, gymnastic, parachuting, dan waterpolo.1. Kecelakaan lalu lintasTermasuk kedalamnya pejalan kaki, sepeda, dan mobil/motor. Trauma disini didominasi oleh multiple dental injuri, meliputi tulang pendukung, jaringan lunak, bibir, dan dagu.1. Penggunaan gigi yang tidak sesuai Contohnya adalah menggigit pulpen, membuka bungkus makanan, memotong atau memegang barang dengan gigi, dan lainnya.1. Menggigit benda kerasTDI dapat terjadi pada pasien pemakai tindikan pada lidah dan oral. Tindikan telah dilaporkan dapat mengakibatkan potong dan frakturnya suatu gigi dan restorasi, kerusakan pulpa, gigi yang retak, dan abrasi gigi.1. Keadaan sakit, keterbatasan fisikPenderita epilepsi, cerebral palsy, anemia, dan kepusingan beresiko mengalami TDI.1. Penyiksaan fisik Penyiksaan dan pemukulan terhadap anak atau orang sering mengakibatkan terjadinya TDI. Pasien-pasien tersebut dibawa ke rumah sakit karena trauma fasial. Penyembuhan fraktur multipel pada gigi atau rahang, terutama dengan tahapan penyembuhan yang berbeda dapat menjadi tanda terjadinya suatu penyiksaan. Pukulan saat berkelahi pun termasuk pada kategori ini. Penyiksaan ini sering mengakibatkan kegoyangan, avulsi, atau fraktur gigi dan laserasi jaringan lunak.1. KlasifikasiMenurut ELLIS (FINN):1. Fraktur klas I : fraktur hanya email atau hanya melibatkan sedikit dentin.1. Fraktur klas II : fraktur mengenai jaringan dentin tetapi pulpa belum terkena.1. Fraktur klas III : fraktur gigi yang mengenai dentin dan pulpa sudah terkena.1. Fraktur klas IV : fraktur karena trauma sehingga gigi menjadi non vital, dapat atau tanpa disertai hilangnya struktur mahkota gigi.1. Fraktur klas V : fraktur karena trauma yang menyebabkan terlepasnya gigi tersebut.1. Fraktur klas VI : fraktur akar gigi tanpa atau disertai hilangnya struktur mahkota gigi.1. Fraktur klas VII : pindahnya tempat gigi tanpa disertai fraktur akar maupun mahkota.1. Fraktur Klas VIII : fraktur mahkota disertai dengan perubahan tempat gigi.1. Fraktur klas IX : khusus untuk gigi decidui, di mana trauma akan menyebabkan kerusakan gigi

Berdasarkan sistem WHO0. Luka terhadap jaringan keras gigi dan pulpaInjuryCriteria

Enamel infractionFraktur mahkota yang tidak sempurna pada enamel tanpa kehilangan substansi gigi

Enamel fracture (uncomplicated)Fraktur dengan kehilangan substansi gigi pada enamel

Enamel-Dentin fracture (uncomplicated)Fraktur dengan kehilangan substansi gigi pada enamel dan dentin

Complicated crown fractureFraktur yang melibatkan enamel, dentin hingga pulpa terbuka

Uncomplicated crown-root fractureFraktur yang melibatkan enamel, dentin dan sementum, tapi tidak membuka pulpa

Complicated crown-root fractureFraktur yang melibatkan enamel, dentin dan sementum, dan membuka pulpa

Root fractureFraktur yang melibatkan dentin dan sementum, dan pulpa

0. Luka terhadap jaringan periodontalInjuryCriteria

ConcussionLuka pada jaringan pendukung gigi tanpa pelepasan abnormal atau perpindahan dari gigi, tetapi bereaksi terhadap perkusi

Subluxation (loosening)Luka pada jar.pendukung gigi dengan pelepasan abnormal, tetapi dengan perpindahan gigi

Extrusive luxation (peripheral dislocation, partial avulsion)Perpindahan sebagian dari gigi dari soketnya

Lateral luxationPerpidahan gigi dengan arah selain aksial. Diikuti dengan fraktur soket alveolar

Intrusive luxation (central dislocation)Perpindahan gigi ke tulang alveolar. Diikuti dengan fraktur soket alveolar

Avulsion (exarticulation)Perpindahan gigi sepenuhnya keluar dari soket

0. Luka terhadap tulang pendukungInjuryCriteria

Comminution (pengurangan secara bertahap partikel kecil) of the maxillary alveolar socketHancurnya dan penekanan pada soket alveolar. Kondisi ini ditemukan dengan terjadinya intrusive dan lateral luxation

Comminution of the mandibular alveolar socket

Fraktur dinding soket alveolar maksilaFraktur yang terbatas pada bagian fasial atau oral dinding soket

Fraktur dinding soket alveolar mandibula

Fraktur prosesus alveolar maksilaFraktur prosesus alveolar, dengan/ tidak melibatkan soket alveolarnya

Fraktur prosesus alveolar mandibula

Fraktur maksila dan MandibulaFraktur yang melibatkan dasar maksila atau mandibula dan prosesus alveolaris (fraktur rahang). Fraktur tersebut bisa/ tidak melibatkan soket alveolar

0. Luka pada gingival atau mukosa oralInjuryCriteria

Laserasi gingiva atau mukosa oralLuka yang dangkal/ dalam pada mukosa akibat robekan, biasanya oleh benda tajam

Contusion gingiva atau mukosa oralLuka memar akibat tekanan oleh benda tumpul, tidak diikuti robeknya mukosa, biasanya menyebabkan hemoragi submukosa

Abrasi gingiva atau mukosa oralLuka pada superfisial akibat gosokan atau kikisan pada mukosa, menghasilkan suatu lecet dan permukaan yang berdarah

Tanda Tanda Klinis Fraktur DentoalveolarTanda-tanda klinis fraktur alveola r diantaranya adalah adanya kegoyangan dan pergeseran beberapa gigi dalam satu segmen, laserasi pada gingiva dan vermilion bibir, serta adanya pembengkakan atau luka pada dagu. Untuk menegakkan diagnosa diperlukan pemeriksaan klinis yang teliti dan pemeriksaan radiografi. Tanda-tanda klinis lainnya dari fraktur alveolar yaitu adanya luka pada gingiva dan hematom di atasnya, serta adanya nyeri tekan pada daerah garis fraktur. Pada kasus ini fraktur alveolar mungkin terjadi karena adanya trauma tidak langsung pada gigi atau tulang pendukung yang dihasilkan dari pukulan atau tekanan pada dagu. Hal ini bisaa terlihat dengan adanya pembengkakan dan hematom pada dagu serta luka pada bibir.

KlasifikasiKlasifikasi dari fraktur tulang alveolar menurutPer Clark Kelas 1, fraktur pada segmenedentulous Kelas 2, fraktur pada segmendentulousdengan sedikit perubahan posisi Kelas 3, fraktur pada segmendentulousdengan sedang-berat perubahan posisi Kelas 4, frakturprocessus alveolaris. Terdapat satu atau lebih garis fraktur dengan fraktur pada tulang facial penyangga gigi

Trauma Maxillofacial

Dibawh ini adalah Anatomi tulang fasial secara keseluruhan.

Gambar 1. Anatomi tulang facialSumber: Netters Head and Anatomy for Dentistry,2007

Fraktur pada bagian tengah tulang wajah Dibawah ini adalah gambar anatomis tulang maksila

Gambar 2. Anatomi tulang maksilaSumber: Netters Head and Anatomy for Dentistry,2007

Tulang yang termasuk bagian tengah wajah. adalah delapan tulang berpasangan dan dua tulang berpasangan yang merupakan sepertiga tengah wajah.1. Kedua rahang.2. Kedua tulang palatine.3. dua tulang zygomatic dan prosesus temporal4. Kedua proses zygomatic tulang temporal.5. Kedua tulang hidung.6. Kedua tulang lakrimal.7. Tulang ethmoid dan attached conchae tidak berpasangan.8. Kedua conchae inferior9. Kedua plate pterygoid dari sphenoid.10. Vomer yang tidak berpasangan

Klasifikasi Fraktur Middle Third Tulang Facial1. Berdasarkan eksperimen yang dilakukan oleh Rene Le Fort, terdapat tiga pola frakturMaksila, yaitu:

Gambar 3. Gambar Anteroposterior dan Lateral Fraktur LefortSumber: Peterson, Ellis Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 3rd ed. Mosby 1998.

Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III.1. Erich (1942) mengklasifikasikan fraktur berdasarkan arah dari garis fraktur: Fraktur Horizontal Fraktur Piramidal Fraktur Transversal1. Berdasarkan hubungan garis fraktur dengan tulang zygomatic: Subzygomatic Suprazygomatic1. Berdasarkan level dari garis fraktur Fraktur Level Rendah Fraktur Level Medium Fraktur Level Tinggi1. Klasifikasi Rowe and William (1985)Fraktur yang tidak melibatkan gigi dan alveolara. Region Tengahb. Region LateralFraktur yang melibatkan gigi dan alveolara. Region Tengahb. Kombinasi region tengah dan lateral1. Fraktur Le Fort1. Fraktur Le Fort I (Low Level, Subzygomatic)

Gambar 4. Fraktur Lefort ISumber: Balaji SM, Textbook of Oral & Maxillofacial Surgery, Elsevier 2007

Fraktur ini juga disebut sebagai fraktur horizontal rahang atau Fraktur Guerin. Fraktur ini juga dikenal sebagai fraktur mengambang, seperti ada separasi bagian dentoalveolar dari rahang (disjungsi pterygomaxillary) dan fragmen fraktur hanya ditahan melalui jaringan lunak. Fraktur membentang secara horizontal menyeberangi basis sinus maksila Fragmen fraktur begerak bebas dan perpindahan yang dihasilkan akan tergantung pada arah kekuatan. Tergantung pada perpindahan fragmen, berbagai ketidakharmonisan oklusal dapat dilihat dalam jenis fraktur ini (open bite anterior, crossbite, reverse overjet, dan lain-lain)

Tanda dan gejala klinis fraktur Le Fort I: 1. Ecchymosis pada vestibulum labial dan bukal, seperti serta memar pada kulit bibir atas mungkin dilihat. Laserasi bibir atas dan intraoral mukosa.1. Pembengkakan ringan dan edema dari bagian bawahwajah bersama dengan bibir bengkak atas. (tidak terdapat cacat wajah dan gross edema).1. Epistaksis atau perdarahan hidung bilateral. 1. Mobilitas bagian dentoalveolar rahang atas,1. Oklusi terganggu. Pasien tidak akan mampu mengunyah makanan.1. Nyeri saat berbicara rahang bergerak.1. Kadang-kadang terjadi perpindahan ke atas dari seluruh fragmen fraktur , dan terkunci pada struktur superior. Fraktur tersebut disebut sebagai fraktur impacted atau fraktur teleskopik. Biasanya terjadi open bite1. Perkusi gigi rahang atas akan menghasilkan suara Cracked

1. Fraktur Le Fort II (Piramidal,Subzygomatic)

Gambar 5. Fraktur Lefort IISumber: Balaji SM, Textbook of Oral & Maxillofacial Surgery, Elsevier 2007

Force biasanya datang dari arah anterior, yang ditopang oleh wilayah tengah sepertiga tulang wajah di area perpanjangan dari glabella ke marjin alveolar, dan menghasilkan fraktur dalam bentuk piramida. Force bergantung pada tingkat yang menyerang tulang hidung.

Garis fraktur berjalan di bawah sutura frontonasal dari daerah tengah tipis tulang hidung di atas kedua sisi, melintasi proses frontal maksila dan melewati anterior di tulang lakrimal, dan kanal nasolakrimalis. Dari titik ini garis fraktur melewati bawah, ke depan dan lateral melintasi margin inferior orbital, di wilayah sutura zygomaticomaxillary. Karena sutura zygomaticomaxillary dan frontomaxillary mengalami fraktur maka keseluruhan maksila akan bergeser terhadap basis kranium

Fraktur ini dapat melibatkan dan dapat tidak melibatkan foramen infraorbital. Garis fraktur meluas ke bawah, ke depan dan lateral melintasi dinding lateral antrum. Pemisahan seluruh blok piramida dari basis kranium melalui septum hidung.

Tanda dan gejala klinis fraktur Le Fort I:1. Terdapat gross oedema pada bagian tengah wajah, yang dikenal sebaggai balloning atau moon face. 1. Terdapat oedema circumorbital bilateral dan ecchymosis, pembengkakan kelopak mata1. Terdapat perdarahan bilateral subkonjunctiva

Gambar 6. Fraktur Lefort IISumber: Fonseca, Marciani,Turvey. Oral and Maxillofacial surgey 3 Saunders

1. Nose bridge akan tertekan, terdapat cacat hidung. 1. Jika ada fragmen yang impacted terhadap basis kranii, maka akan terjadi pemendekan wajah dan juga dapat terjadi open bite anterior1. Jika fragmen terdorong ke bawah dan ke belakang, maka akan terjadi pemanjangan wajah beserta open bite anterior. 1. Dapat terjadi epitaksis bilateral1. Sulit untuk mengunyah dan berbicara1. Dapat terjadi kehilangan oklusi1. Obstruksi jalan nafas dapat terjadi, karena adanya perpindahan fragmen posterior yang menutupi dorsal lidah1. Dapat terjadi kebocoran Serebrospinal Fluid1. Dapat terjadi deformitas pada margin infraorbital 1. Anestesi dan/atau parestesi pada pipi

1. Fraktur Le Fort III (Transversal, Suprazygomatic)

Gambar 7. Fraktur Lefort 3Sumber: Balaji SM, Textbook of Oral & Maxillofacial Surgery, Elsevier 2007

Selain pada pterygomaxillary, fraktur terjadi pada zygomatic arch berjalan ke sutura zygomaticofrontal membelah lantai orbital sampai ke sutura nasofrontal. Garis fraktur seperti itu akan memisahkan struktur midfasial dari kranium sehingga fraktur ini juga disebut dengan craniofacial dysjunction. Maksila tidak terpisah dari zygoma ataupun dari struktur nasal. Keseluruhan rangka wajah tengah lepas dari basis kranium dan hanya disuspensi oleh soft tissue. Gaya ini biasanya diterapkan dari arah lateral dengan dampak yang parah.Tanda dan gejala klinis fraktur Le Fort III:1. Terdapat Gross Oedema pada wajah, Panda Face dalam waktu 24 sampai 48 jam

Gambar 8. Fracture Lefort IIISumber: Fonseca, Marciani,Turvey. Oral and Maxillofacial surgey 3 Saunders

1. Terdapat Racoon eyes pada circumorbital, dan ecchymosis circumorbital bilateral1. Perdarahan Subconjuctival bilateral1. Dapat terjadi separasi pemisahan di sutura frontozygomatic yang akan menghasilkan perpanjangan wajah.1. Dapat terjadi enophthalmos, diplopia atau gangguan visual kebutaan sementara, dll1. Merata dan pelebaran, penyimpangan hidung jembatan.1. Epistaksis, CSF rhinorrhoea.

Modifikasi Klasifikasi LefortKlasifikasi lefort yang dimodifikasi oleh Marciano pada tahun 1993 menjadi lebih tepat menentukan LeFort, NOE (naso-orbital-ethmoid) dan pola fraktur zygomaticomaxillary.

Tabel 1. Modifikasi Klasifikasi Fraktur LefortSumber: Fonseca, Marciani,Turvey. Oral and Maxillofacial surgey 3 Saunders

C. KEGAWATDARURATAN 0. SYOK Syok merupakan kondisi patofisiologi, yang secara klinis dikenal dengan inadekuatnya perfusi. Karena aliran darah yang inadekuat, penghantaran nutrisi ke jaringan juga dan pembuangan hasil metabolisme selular juga inadekuat sehingga terjadi gangguan fungsi organ vital. Pada tahap yang lebih lanjut, sistem kardiovaskular memburuk sehingga syok makin memburuk secara progresiv. Identifikasi awal dan eliminasi penyebab syok dapat mengembalikan keadaan menjadi normal. Namun penundaan perawatan dapat mengakibatkan kerusakan selular dan organ secara permanen sehingga menyebabkan syok irreversible dan kematian. Syok dapat diklasifikasikan menjadi empat tipe berdasarkan patofisiologi dan perubahan hemodinamik :1. Syok HipovolemikSyok hipovolemik terjadi akibat penurunan volume intravaskular. Tipe syok ini merupakan tipe yang paling sering terjadi pada korba trauma maksilofasial. Syok hipovolemik kemudian dapat diklasifikasikan menjadi hemoragik dan non-hemoragik. Syok hemoragik terjadi karena kehilangan darah dari tubuh akibat adanya injuri. Perdarahan menurunkan tekanan darah sistemik dan terjadinya penurunan volume darah yang dikembalikan melalui vena sehingga terjadi penrunan cardiac output. Total volume kehilangan darah 10-15% : tidak memiliki efek signifikan terhadap tekanan arteri ataupun cardiac output Total volume kehilangan darah 15-25% : tidak menyebabkan perubahan hemodinamik jika terjadinya tidak dengan cepat, tetapi dapat terjadi inisiasi erubahan metabolik yang berkaitan dengan syok Total volume kehilangan darah 30-40% secara cepat : menyebabkan syok yang apabila tidak ditangani dengan cepat akan menyebabkan kematian Syok non-hemoragik terjadi karena adanya perpindahan cairan dari intravaskular ke komapartemen ekstravaskular secara masif. Kondisi ini dapat terjadi akibat luka bakar, injuri, pankreatitis, peritonitis, dan efusi paru. Kehilangan air juga dapat terjadi akibat diape parah, muntah, diabetes insipidus, hiperglikemia, dan nefritis.

Siklus di atas akan berulang terus sehingga meningkatkan derajat syok dan apabila penanganannya tidak segera, dapat terjadi syok irreversible.

Tabel 1. Manifestasi Klinis dari Syok HipovolemikSumber : Malik NA. 2008. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LtdSeorang ahli bedah mulut ataupun dokter gigi harus dapat mengenali tampilan awal dari syok. Respons fisiologis terhadap hemoragi mulai dari takikardi, rendahnya perfusi kapiler, dan penurunan denyut nadi sampai hipotensi, takipnea, dan delirium. Derajat hipotensi saat ada di tuang gawat darurat dan operasi berhubungan dengan tingkat kematian. Penanganan : Penggantian cairan dan perfusi jaringan merupakan penangan syok. Perlu dilakukan resusitasi cairan. Kaki diangkat dengan posisi badan supine sehingga dapat meningkatkan pengemalian vena dan indeks kardiak. Kektika hemoragik terjadi sevara masif, maka perlu dilakulan transfusi darah untuk mengkoreksi kondisi hipovolemia apabila kehilangan darah tidak dapat digantikan dengan cairan lain. Resusitasi awal dilakukan dengan kristaloid seperti saline normal atau Ringer lactate. Kristaloid ini berguna untuk menggantikan cairan interstitial. Setelah resusitasi awal, koloid seperti albumin atau larutan pati dapat digunakan untuk mengembalikan volume intravaskular dengan lebih efektif.Seluruh cairan di atas harus dihangatkan sebelum transfusi, karena hipotermia dapat memperburuk kelainan asidosis dan fungsi miokard. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari peningkatan tanda-tanda klinis terutama tekanan darah, denyut nadi dan heart rate. 1. Syok KardiogenikSyok kardiogenik terjadi akibat cardiac output yang inadekuat, penghantaran oksugen dan penurunan perfusi jaringan karena fungsi kontraktil dari miokardium yang tidak efektif (kegagalan jantung yang melemah untuk memompa darah secara adekuat). Perawatan inisial ditujukan langsung untuk mengidentifikasi penyebab, mempertahankan tekanan darah sistemik yang adekuat, cardiac output dan perfusi jaringan dengan ekspansi volume dan obat-obatan inotropic. Pilihan pertama vasopressor adalah dopamine. Penggunaannya dilarutkan pada normal saline. Obat-obatan lain yang dapat digunakan adalah norpinefrin ataupun dobutamine.1. Syok VasogenikSyok vasogenik disebabkan oleh dilatasi luas yang dicetuskan oleh adanya zat-zat vasodilator. Terdapat dua jenis syok vasogenik yaitu syok sepsis dan syok anafilaktik.Syok sepsis sangat penting karena merupakan tipe syok yang memiliki tingkat mortalitas tinggi di rumah sakit. Syok sepsis merupakan kondisi kegagalan sirkulatori akut akibat dari infeksi serius. Kebanyakan diakibatkan oleh bakteri gram negatif, tetapi bisa juga akibat fungi, virus, dan parasit. Gejalanya adalah arterial hypotension (tekanan darah sistol dibawah 90 mmHg) dan berkaitan dengan perubahan status mental perubahan perfusi organ dan tanda-tanda kegagalan organ, seperti reduksi pengeluaran urin, peningkatan blood lactate levels yang merefleksikan perubahan metabolisme seluler. Patofisiologi syok sepsis meliputi proses kompleks antara hipoksia aringan dnegan respons imun host. Manajemen dari syok sepsis harus didasarkan pada : Penggantian volume dini dan efektif Pengembalian perfusi jaringan Suplai oksigen yang adekuat ke sel-sel Kontrol infeksi dengan terapi antibiotik dan kontrol sumber infeksiPada kebanyakan kasus, pemberian vasopresor diperlukan untuk meningkatkan tekanan arterial. Drug of choicenya adalah dopamine atau noradrenalin. Sedangkan syok anafilaktik merupakan kondisi vasodilatasi luas akibat pengeluaran histamin yang berlebihan pada reaksi alergi hebat. Syok anafilaktik dapat terjadi jika alergen masu ke dalam dara atau jika terjadi pebgeluaran zat-zat kimia dalam jumlah sangat besar dari tempat yang terlokalisasi ke dalam sirkulasi. Mediator kimiawi masuk ke dalam darah sehingga timbul reaksi sistemik. Terjadi vasodilatasi luas dan pergeseran masif cairan plasma ke ruang interstitial akibat oeingkatan menyeluruh permeabilitas kapiler yang menyebabkan hipotensi berat yang dapat mengakibatkan kegagalan sirkulasi. Secara bersamaan, terjadi konstriksi bronkiolus yang dapat menimbukan kegagalan pernafasan. Penanganan syok anafilaktik dilakukan penyuntikan vasokonstriktor dan bronkodilator. 1. Syok Neurogenik Syok neurogenik juga melibatkan vasodilatasi luas tetapi bukan akrena adanya zat-zat vasodilator, melainkan karena hilangnya tonus vaskuar simpatis sehingga menyebabkan vasodilatasi umum. Syok ini serupa dengan hipotensi emosional tetapi lebih berat dan lama. syok ini terjadi pada cedera benturan hebat, pada saat kehilangan darah tidak cukup untuk menimbulkan syok hipovolemik. Nyeri yang dalam dan hebat menghambat aktivitas vasokonstriktor simpatis. Sehingga terjadi penurunan tekanan arteri. Vasovagal syncope atau emotional fainting merupakan kondisi yang sering ditemui di praktik kedokteran gigi. Kondisi ini disebabkan oleh eksitasi saraf parasimpatetik ke jantung sehingga terjadi elambatan jantung dan penurunan tekanan arteri. Kesadaran dapat pulih kembali dalam periode yang singkat. Gejela awal nya adalah kulit memucat, takikardia, mual, merasa hangat pada wajah dan leher. Sedangkan gejala lambatnya adalah dingin pada ekstremitas, hipotensi, bradikardi pusing, gangguan penglihaan, dilatasi pupil, dan kehilangan kesadaran. Manajemen terpenting adalah memposisikan pasien supine untuk meningkatkan aliran darah dari perifer ke serebral.

PENANGANANA. Primary survey Merupakan tahapan penilaian, tidak boleh ditunda dan harus segera dilakukan ABCD

B. Secondary survey

0. KESADARAN DefinisiBerdasarkan medical dictionary yang dimaksud dengan kesadaran (consciousness) adalah1. Kondisi sadar: kesadaran penuh, terorientasi dan responsif terhadap lingkungan2. Kesadaran subjektif dalam aspek proses kognitif dan fikiran FisiologiPusat pengaturan kesadaran pada manusia secara anatomi terletak pada serabut transversal retikularis dari batang otak sampai thalamus dan dilanjutkan dengan formasio activator reticularis, yang menghubungkan thalamus dengan korteks cerebri. Formasio reticularis terletak di substansi grisea otak dari daerah medulla oblongata sampai midbrain dan thalamus. Neuron formasio reticularis menunjukkan hubungan yang menyebar. Perangsangan formasio reticularis otak tengah menyebabkan individu menjadi dalam keadaan bangun dan terjaga (sadar). Lesi pada formasio reticularis otak tengah mengakibatkan orang dalam stadium koma, dengan gambaran EEG gelombang delta. Dalam formasio reticularis otak tengah terdapat daerah yang bernama ARAS (Ascending Reticular Activating System), suatu sistem proyeksi saraf difus yang mencakup daerah-daerah di tengah batang otak, meluas mulai dari otak tengah sampai hipotalamus dan talamus dan menjalarkan serabut saraf difusnya ke korteks serebri. Rangsangan dari ARAS menuju korteks serebri inilah yang mempengaruhi kesadaran. Sehingga kesadaran bergantung pada integritas korteks serebri.

Pemeriksaan kesadaranKesadaran diperiksa dengan menggunakan status/pemeriksaan neurologi. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan tingkat kesadaran dan reaksi serta ukuran pupil seseorang. Pemeriksaan neurologi ini dapat mengidentifikasi masalah pada sistem saraf pusat (SSP) yang membutuhkan intervensi perawtan sesegera mungkin atau evaluasi diagnostik tambahan. Kurangnya kesadaran dengan perubahan reaksi pupil terhadap cahaya membuttuhkan pemeriksaan CT scan kepala sesegera mungkin dan manajemen dengan mannitol atau pembatasan cairan. Hati-hati terhadap berbagai medikasi yang diterima pasien yang mungkin saja dapat berefek pada pupil.The Committe on Trauma of the American College o Surgeon merekomendasikanpenggunaan mnemonic AVPU (Alert, responds to Voice, responds to Pain, Unresponsive). Dalam sistem tersebut, setiap kata mendeskripsikan tingkat kesadaran dalam hubungannya dengan respon pasien terhadap stimuli eksternal tersebut. Salah satu pemeriksaan neurologi tersebut ialah dengan menggunakan Glasgow Coma Scele (GCS). GCS dikembangkan pada tahun 1974 oleh Tsdale dan Jennet. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan keparahan dari trauma kepala. Ada 3 variabel yang termasuk didalamnya yaitu respon motorik, respon verbal, dan respon mata. Respon motorik merefleksikan tingkat fungsi SSP, respon verbal menunjukkan kemampuan SSP dalam mengintegrasikan informasi dan respon mata menunjukkan kemampuan aktivitas batang otak. Semakin tinggi nilai merepresentasikan tingkatan kesadaran yang lebih tinggi. Setelah dilakukan pemeriksaan tersebut lalu dijumlah masing-masing variabe. Lalu diklasifikasikan berdasarkan nilai yang diperoleh: 15: normal 13-14: trauma kepala berat 9-12: trauma kepala sedang 3-8: trauma kepala berat

Pemeriksaan neurologi kuantitatif yang lebih detail merupakan bagian dari survey sekunder. Penurunan tingkat kesadaran mungkin mengindikasikan penurunan oksigenasi otak atau perfusi.Reaktivitas pupil terhadap cahaya memberikan penilaian cepat fungsi otak. perubahan merepresentasikan adanya kerusakan saraf optik atau pada otak. Perubahan reaktivitas pupil selanjutnya menunjukkan adanya perubahan status ventilasi atau oksigenasi. Penyebab utama koma atau penurunan tingkat kesadaran biasanya karena hipoksia, hipercarbia dan hypoperfusi otak. Penurunan kesadaran dan penyempitan pupil tersebut mungkin saja akibat overdosis opiat. Untuk kasus tersebut perawatan yang diperlukan adalah memberikan narcotic antagonist naloxone hydrochloride 0,4 mg sesegera mungkin.

Tingkat kesadaran juga harus dinilai, yaitu:1. Sadar penuh2. Pasien mengantuk dengan disorientasi, namun respon terhadap pertanyaan yang ditanyakan3. Pasien setengah sadar, respon irasional terhadap pertanyaan yang ditanyakan4. Pasien tidak sadar, namun respon terhadap respon sakit (semi coma)5. Pasien tidak sadar tanpa respon apapun terhadap stimuli sakit (coma). Derajat dan durasi hilangnya kesadaran penting sebagai indikasi keparahan kerusakan otak.Tingkat gangguan kesadaran:1. Kebingungan (confusion)Ditandai dengan ketidakmampuan berfikir jernih yang menyebabkan buruknya pengambilan keputusan2. DisorientasiKetidakmampuan memahami bagaimana berhubungan dengan orang lain, tempat, benda dan waktu. Disorientasi tahap pertama adalah ketika individu bingung terhadap waktu (tahun, bulan, hari). Hal ini diikuti dengan disorientasi terhadap tempat, dimana anda tidak mengetahui tempat dimana dirinya sedang berada. Kehilangan memori jangka pendek biasanya diikuti kehilangan memori terhadap tempat. Sementara bentuk yang paling ekstrem dari disorientasi adalah ketika individu kehilangan memori akan dirinya3. Igauan (delirium)Jika individu sering mengigau, maka menandakan pikirannya sedang bingung dan tidak logis. Orang yang mengigau seringkali kehilangan orientasi. Reson emosionalnya berkisar antara takut sampai marah. Orang yang sering mengigau biasanya sangat gelisah4. Kelesuan (lethargy)Keadaan menurunnya kesadaran yang menyerupai kantuk. Jika seseorang mengantuk, maka ia tidak akan menanggapi stimulan seperti suara alarm.5. Keadaan pingsan (stupor)Pingsan/stupor adalah tingkat gangguan kesadaran yang lebih dalam dimana individu akan sulit merespon setiap rangsangan, ekcuali rangsang sakit6. KomaTingkat terdalam dari gangguan kesadaran, dimana pada tingkat ini individu tidak menanggapi setiap stimulus yang diberikan, bahkan tidak merasakan sakit.

Symtom gangguan kesdaranBerbagai symptom yang mungkin diasosiasikan dengan penurunan kesadaran antara lain: Kejang Kehilangan fungsi usus atau kendung kemih Keseimbangan buruk Jatuh Kesulitan berjalan Pingsan Sakit kepala ringan Denyut jantung tidak teratur Nadi cepat Tekanan darah rendah Berkeringat Demam Lemah pada wajah, lengan atau kaki

D. PEMERIKSAAN

1. SubjektifPemeriksaan ini meliputi pemeriksaan seluruh riwayat pasien dan insiden trauma yang dialami pasien. Data-data yang dikumpulkan dari pasien adalah data-data sebelum injury seperti : Data biografis dan demografis Riwayat medis Waktu kejadian trauma Oklusi Lokasi kejadian trauma Ada atau tidaknya kehilangan kesadaran pada pasien Sifat traumaPemeriksaan ini harus dilakukan secara sistematis, metodis, dan komprehensif untuk menentukan rencana perawatan pada pasien.1. Objektif1. KlinisPemeriksaan ini meliputi pemeriksaan maxillafacial baik pemeriksaan intraoral atau ekstraoral. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien antaralain : Pemeriksaan jaringan lunak ekstraoral dan intraoralPemeriksaan dilakukan dengan melakukan inspeksi pada laserasi, abrasi, dan luka pada jaringan lunak. Mekanisme trauma pada jaringan lunak dapat dicatat pada kartu rekam medis dan berguna untuk menentukan apakah terdapat trauma pada jaringan keras yang berada di bawahnya seperti tulang maksila, tulang mandibua, TMJ, maupun tulang alveolar yang dapat menyebabkan fraktur. Pemeriksaan rahang dan tulang alveolarPada saat pemeriksaan fraktur rahang dan tulang alveolar, biasanya terdapat mobilitas tulang maupun perdarahan perikoronal dari gigi yang terlibat. Ekimosis sublingual pada dasar mulut biasanya merupakan pathogmonic dari fraktur mandibula. Step defect, krepitasi, maloklusi, laserasi gingival dapat membantu dokter gigi dalam mengenali ada atau tidaknya kerusakan pada tulang. Pemeriksaan gigi (displacement dan mobilitas)Periksa seluruh gigi yang fraktur dengan keterlibatan enamel, dentin, maupun pulpa. Mobilitas pada mahkota gigi dapat menandakan terjadinya fraktur mahkota-akar gigi tersebut. Inspeks seluruh gigi yang terlibat pada trauma. Trauma pada dagu biasanya dapat menyebabkan kerusakan gigi gigi posterior misalnya fraktur vertical atau fraktur cusp. Periksa oklusi dan catat jika terdapat displacement, intrusi maupun luksasi dari gigi. Tes perkusi dan palpasiPeriksa seluruh gigi yang fraktur dengan keterlibatan enamel, dentin, maupun pulpa. Mobilitas pada mahkota gigi dapat menandakan terjadinya fraktur mahkota-akar gigi tersebut. Inspeks seluruh gigi yang terlibat pada trauma. Trauma pada dagu biasanya dapat menyebabkan kerusakan gigi gigi posterior misalnya fraktur vertical atau fraktur cusp. Periksa oklusi dan catat jika terdapat displacement, intrusi maupun luksasi dari gigi. Tes perkusi dan vitalitas pulpa digunakan untuk mengetahui adanya trauma pada gigi yang melibatkan pulpa maupun periodontal ligament. Tes dilakukan dengan melakukan perkusi pada gigi yang mengalami injury maupu tidak menggunakan handle kaca mulut. Jika suaranya terdengar tumpul maka terdapat kemungkinan adanya luksasi atau fraktur tulang alveolar. Jika enamel mengalami fraktur, pada saat tes perkusi akan terdengar suara seperti cracked tea cup.Pemeriksaan vitalitas pulpa dapat dengan menggunakan stimulus mekanis, termal, dan elektrik. 1. Tanda VitalPemeriksaan tanda-tanda vital ini meliputi : Pemeriksaan suhu tubuhPeriksa suhu tubuh pasien . Biasanya pada pasien trauma , hingga terjadi perdarahan hebat / syok hipovolemik biasanya suhu tubuhnya rendah ditandai dinginnya ekstremitas pasien. Pemeriksaan tekanan darahPada pasien trauma dengan perdarahan hebat yang mengakibatkan syok hipovolemik biasanya terjadi penurunan tekanan darah atau hipotensi. Pemeriksaan denyut nadiDenyut nadi pasien biasanya cepat dan >100/menit namun lemah Pemeriksaan laju pernafasanLaju pernafasan yang normal adalah 14-16 hembusan per menit, kenali laju pernafasan pasien untuk mengetahui ada atau tidaknya obstruksi pada jalan nafas pasien.1. Penunjang RadiografRadiograf penting untuk mengevaluasi : Adanya fraktur Lokasi dan arah garis fraktur Derajat perpindahan dan perpisahan ujung tulang Hubungan gigi terhadap garis fraktur Lokasi benda asing pada jaringan keras dan lunak Adanya penyakit yang menyertai fraktur tersebut Alignment fragmen tulang setelah perawatan Penyembuhan dan identifikasi komplikasi pasca traumaTanda-tanda fraktur secara radiografis : Terdapat garis radiolusen di dalam batas struktur anatomis Terdapat perubahan pada outline atau bentuk struktur anatomis normal Terdapat defek pada batas kortikal luar Terdapat peningkatan densitas tulang yang mungkin disebabkan oleh dua fragmen tulang yang tumpang tindih.Macam-macam proyeksi yang dapat digunakan untuk melihat fraktur antara lain PanoramikTeknik panoramic digunakan untuk melakukan diagonis yang membutuhkan gambaran yang luas dan menyeluruh dari rahang seperti untuk mengevaluasi trauma pada rahang.

Occipithomental Oksipitomental standar (0o OM)Menunjukan kerangka wajah dan antrum maksila, mencegah superimposisi tulang padat pada basis tengkorak. Indikasi utama untuk antrum maksila, Le Fort I-III, kompleks zigomatik, kompleks NOE, orbital blow-out, fraktur prosesus koronoid.

Oksipitomental 30oHanya berbeda sudut dengan standar OM, sehingga perpindahan tulang tertentu dapat dilihat. Indikasi utamanya adalah fraktur 1/3 tengah wajah yaitu Le Fort I-III dan fraktur prosesus koronoid.

PeriapikalRadiograf periapikal dapat digunakan untuk melihat fraktur pada dental yang melibatkan mahkota, akar, atau mahkota-akar.

OklusalPemeriksaan oklusal digunakan untuk melihat fraktur pada tulang mandibula.

1. WatersMerupakan proyeksi oksipitomental dengan angulasi 45o terhadap garis orbitomeatal. Sinar berlanjut dari belakang kepala dan tegak lurus lempeng radiograf. Indikasinya untuk melihat sinus maksilaris, sehingga sering disebut sinus projection.

SubmentovortexMenunjukkan basis tengkorak, sinus sphenoidal, dan rangka wajah dari bawah. Indikasi utamanya untuk lesi ekspansif yang mempengaruhi palatum, daerah pterygoid, atau basis tengkorak; fraktur lengkung zigomatik; investigasi sinus sphenoidal, dll.

Computed Tomography (CT)CT menyediakan gambaran rekonstruksi 3 dimensi yang dapat memperlihatkan patologi fasial dengan jelas dibanding radiografi konvensional. Pada umumnya, CT lebih dipilih untuk pemeriksaan trauma. Jika menggunakan radiograf standar, lakukan sedikitnya 2 proyeksi dari sudut yang berbeda di bidang vertikal.

Berikut gambaran radiograf jenis-jenis fraktur , menurut klasifikasi Le Fort : Fraktur Horizontal (Le Fort I)Untuk melihat fraktur le fort I dapat digunakan teknik radiograf anteroposterior, lateral, Waters, dan CT scan. Kedua sinus maksilaris terlihat radiopak dan dapat memperlihatkan air-fluid level. Proyeksi lateral akan memperlihatkan sedikit pergeseran fragmen (bagian inferior maksila di bawah garis fraktur) ke posterior dan kadang terlihat pula garis fraktur yang melewati tulang pterigoid. Ruang intervertebral tulang belakang servikal pada foto anteroposterior menunjukkan garis fraktur. Tipe fraktur ini dapat menyatu dengan cepat, jadi jika ada beberapa hari selang waktu antara terjadinya trauma dengan pengambilan foto radiograf, fraktur ini mungkin tidak terdeteksi.

Fraktur Piramidal (Le Fort II) Gambaran radiografis menunjukkan fraktur pada tulang nasal, kedua prosesus frontal maksila (serta sinus etmoid dan frontalis bila terlibat) dan infraorbital rim pada kedua sisi (juga dasar kedua orbital). Kadang terjadi juga fraktur pada zigoma dan prosesus zigomatik, terpisahnya sutura zigomatikomaksilaris pada kedua sisi, deformitas dan dikontinuitas dinding lateral pada kedua sinus maksilaris, penebalan lapisan mukosa atau peningkatan radiopasitas sinus maksilaris dan terkadang sinus etmoid dan sinus frontal, dan fraktur pada kedua plat pterigoid. Pemeriksaan dengan CT diperlukan untuk mendukung foto radiograf karena banyaknya struktur yang superimposed.

Gambaran tomografi fraktur Le Fort II yang melewati infraorbital rim dan dinding lateral maksila.

Gambar A (OM 30o) dan B (true lateral skull) menunjukkan fraktur Le Fort II, termasuk fraktur dinding fossa pterigopalatinus. Karena pergeseran skeletal ke belakang, gigi posterior beroklusi dan gigi anterior open bite. Pemisahan Kraniofasial (Le Fort III) Gambaran radiografisnya berkabut disebabkan oleh pembengkakan jaringan lunak. Umumnya terlihat sutura nasofrontal, maksilofrontal, zigomatikofrontal, dan zigomatikofrontal terpisah. Terdapat garis radiolusen dan diskontinuitas pada area tulang nasal, prosesus frontal maksilaris, kedua dasar orbital, dan plat pterigoid. Sinus etmoid dan sphenoid terlihat radiopak, menunjukkan adanya fraktur. Fraktur pada dinding sinus maksilaris juga menunjukkan gambaran radiopak. Sangat sulit untuk melihat fraktur ini bila hanya menggunakan foto radiograf konvensional, sehingga diperlukan CT scan dan juga informasi klinis lain.

A: Gambaran tomografi fraktur Le Fort III melewati tulang ethmoid, dinding lateral orbita, infraorbital rim, dan dinding lateral maksila. B: Gambaran CT scan 3D pasien lain. Fraktur Zigomatik Karena edema menutupi gambaran klinis, pemeriksaan radiograf dilakukan untuk melihat keberadaan dan penyebaran trauma. Gambaran oksipitomental (Waters) memperlihatkan seluruh zigoma dan sinus maksila. Proyeksi Submentovertex menunjukkan gambaran lengkung zigomatik yang baik. CT memperlihatkan gambaran dalam bentuk tiga dimensi. Lengkung zigomatik dapat fraktur pada titik terlemahnya, sekitar 1 cm di posterior sutura zigomatikotemporal. Fraktur tidak harus melewati sutura zigomatikomaksilaris, tapi secara medial melewati tulang tipis yang terdiri atas dinding lateral antrum. Akibat fraktur ini, pada beberapa kasus akan terlihat gambaran radiopak pada antrum yang menunjukkan adanya cairan akibat perdarahan ke dalam sinus. Gambaran panoramik lengkung zigomatik terkadang memperlihatkan sutura zigomatikotemporal sebagai garis radiolusen yang memperlihatkan dikontinuitas pada batas inferior. Ini merupakan variasi anatomi normal, dan jangan diinterpretasikan sebagai fraktur.

Gambar A (OM 0o) dan B (OM 30o) menunjukkan fraktur kompleks zigomatik kiri. Tiga area fraktur yang sering terjadi (panah hitam): batas bawah orbita, sutura zigomatiko-temporal (lengkung zigomatik), dan dinding lateral antrum. Terdapat cairan pada antrum kanan (panah putih).

Gambar A (OM 0o), B (OM 30o), C (CT) menunjukkan beberapa area fraktur midfasial. CT scan menunjukkan antrum kanan radiopak total, pembengkakan jaringan lunak yang luas, dan udara pada orbita dan jaringan lunak Laboratorium BTPemeriksaan bleeding time digunakan untuk menilai fungsi pembuluh darah dan trombosit dalam proses pembekuan darah. Waktu perdarahan normal sekitar 1-7 menit. CTPemeriksaan ini dilakukan untuk menilai fungsi faktor-faktor pembekuan darah serta untuk mengetahui waktu yang diperlukan darah untuk membeku. DPLDiagnostic peritoneal lavage (DPL) dilakukan apalagi dicurigai ada perdarahan intra-abdominal (perdarahan dalam perut) karena adanya trauma. Prosedur ini dilakukan apabila metode diagnostic alternative seperti fasilitas CT scan atau USG tidak tersedia, atau keadaan pasien yang tidak memungkinkan.

E. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan awal fraktur (Debridement, reposisi dan Fiksasi dan imobilisasi)Reduksi Untuk re-establishment bentuk, fungsi dan oklusi dengan minimum morbiditas

Fiksasi Imobilisasi Tujuannya : Memperbaiki bentuk wajah Memperbaiki fungsi oklusal Menjaga pergerakan rahang post-treatment Bukan bedah kedua untuk recounturing atau maloklusi karna merupakan penanganan awal Bukan untuk bone grafting1. ReduksiRestorasi reduksi pada fragment fraktur untuk posisi anatomi awal. Restorasi fragment-fragment untuk mengambalikan ke posisi yang benar, dapat dilakukan dengan:a. Closed reduction (disatukan tanpa visualisasi garis fraktur) (table 28.3)1. reduksi dengan manipulasi1. reduksi dengan gaya tarikantindakan bedah tidak dibutuhkan pada closed reduction. Penyatuan fragmen-fragmen fraktur dapat dilakukan tanpa bedah . oklusi gigi digunakan sebagai factor pedoman. Fraktur pada tooth bearing area pada rahang di posisikan dengan memeriksa oklusi akhir gigi.Closed reductioan dapat dilakukan dengan metode manipulasi atau metode tractioni. Reduction by manipulationKetika fragmen fracture pergerakannya adekuat atau cukup tanpa banyak penolakan dan pasien datang untuk perawatan imediet setelah trauma, kemudian digital atau hand manipulation dapat digunakan untuk reduksi. Instrument khusus di didesain untuk grasping pada fragment-fragmen yang ada (disimpaction forceps, bone holding forceps). Alat ini dapat dipakai setelah anastesi local dengan sedasi atau general anastesi berdasarkan kebutuhan pasien (gambar 1)Tabel 1 keuntungan dan kerugian closed reduction

Gambar 1: (1) reduksi pada fraktur maksila menggunakan forceps disimpaction. (2) forceps Walsham`s disimpaction

ii. Reductions by traction1. metode intraoral tractionprefabricated arch bar didekatkan pada maksila dan mandibula di lengkung gigi dengan interdental wiring. Disini , fragment fraktur direkatkan secara gradual dengan elastic traction yang bersifat elastic , bar diletakkan pada rahang atas kebawah merupakan cara definitive dan arah tergantung pada garis fraktur (gambar 2).

Gambar 2 (1) intraoral traction (2) intraoral fixation or ligation dengan wire-Intermaksilary ligation or intermaksilary fixation1. Metode extraoral tractionMetode extraoral, penjangkaran yang umum diletakkan pada tengkorak sehat pasien dan tip berbeda head gears yang digunakan untuk tambahan variasi, sepanjang wajah dan dihubungkan pada arch bars dengan elastic dan wire. Metode traction digunakan pada pasien yang susah membuka dan menutup mulut, oleh karena itu elastic traction mulai berfungsi. Pasien sebaiknya tetap mengonsumsi analgesic untuk mengontrol rasa sakit, sebab itu elastic traction dapat menjadi lembut. Setelah oklusi yang tepat dicapai, kemudian elastic diganti dengan wires pada intermaksilary fixation atau ligation (IML atau IMF). Alt ini juga dikenal sebagai MMF (Maxillomandibular fixation). Setelah elastic traction diberikan, kemudian pasien diamati selama periode 12 sampai 24 jam. Selama 48 jam , jika perbaikan oklusi tidak didapat, kemudian open reduction dipilih.

b. Open reduction (surgical reduction terpenuhi setelah mengidentifikasi fragment fraktur secara visual) (table 2) Tabel 2: Keuntungan dan kerugian open reduction denan rigid internal fixation

2. Fixation di fase ini pada fragment fracture (setelah reduksi) di fiksasi, hubungan anatomi normalnya untuk mencegah perpindahan dan mendapatkan perkiraan yang tepat. Alat fiksasi dapat ditempatkan secara internal atau external.a. dirext skeletal fixationDirect external skeletal fixation, dimana alat berada diluar jaringan, tapi disisipkan kedalam tulang perkutan atau direct internal skeletal fixation alat yang secara total dimasukkan dekat jaringan dan ditautkan pada tulang yang diprediksi secara langsung. Di direct external fixation, bone clamps atau pin fixation dapat digunakan, sedangkan direct internal skeletal fixation dilakukan dengan wiring transosseous atau intraosseous atau menggunakan system bone plating. b. Indirect Skeletal fixation. Kontrol fragment tulang dilakukan lewat denture area. Arch bars dan IML atau gunning splint, pada pasien edentulous. Dapat dilakukan dengan metode extraoral atau intraoral.3. Immobilization, selama fase ini, alat fiksasi menahan untuk menstabilkan fragment yang telah direduksi menjadi posisi anatomi normalnya, sampai secra klinis terjadi penyatuan tulang pada tempatnya. Alat fiksasi diperlukan selama periode particular untuk immobilize fragment fraktur. Periode imobilitas akan bergantung pada tipe fraktur dan keterlibatan tulang. Untuk maksilary fraktur cukup 3 sampai 4 minggu periode imobilisasi, sedangkan fraktur mandibula dapat lebih lama 4 sampai 6 minggu. Pada fraktur kondil direkomendasikan periode immobilisasi hanya 2-3 minggu., untuk mencegah ankylosis pada TMJ.4. Next steps , mencegah infeksi dan rehabilitasi fungsi secara gradualDi region teeth bearing pada rahang, ada fracture reduksi yang menjadi pedoman untuk memeriksa oklusi gigi. Sela-sela gigi mandibula terhadap gigi maksila untuk diperiksa dn kemudian difiksasi serta dilakukan imobilisasi. Objek utama pada reduksi fraktur tulang wajah untuk restorasi struktur pada posisi normal fungsi dan kontur. Artinya restorasi relasi oklusi normal dengan posisi gigi dan struktur tulang yang tepat. Hubungan normal intermaksilary yang signifikan sebagai pedoman reposisi tulang maksila dan complex zygomatic di struktur multiple fasial. Untuk stabilisasi reduced fasial fraktur , banyak tipe alat penjangkaran yang diaplikasi pada rahang atas dan rahang bawah dan dilakukan intermaxillary fiksasi dengan mengaplikasikan wire atau elastic band antara alat penjangkaran rahang atas dan rahang bawah. Metode utama untuk beberapa fiksasi adalah dental wiring , arch bars dan splint.Ada variasi metode yang tersedia untuk penjangkaran lengkung gigi. Tipe alat dipilih tergantung pada tipe fraktur , tempat fracture, status periodontal dan adanya gigi serta ketersediaan alat penjangkaran. Alat penjangkaran dapat pas pada lengkung gigi dibawah local anestesi dengan atau tanpa sedasi , sebelum procedure bedah ( jika semua telah direncanakan) untuk menghentikan waktu operasi total . Pada kasus fracture multiple atau pasien yang tak cooperative, dapat dilakukan anastesi umum pada waktu bedah.

1. Perawatan Injuri DentoalveolarTujuan perawatan fraktur dentoalveolar adalah untuk mempertahankan fungsi gigi, tulang dan gingiva. Meskipun segala cara seharusnya diusahakan untuk mempertahankan struktur tersebut secara permanen, kadang, perlu untuk mengorbankannya ataupun mempertahankannya hanya untuk sementara yang adalah untuk kebaikan pasien. Sekuens perawatan dentoalveolar adalah tulang, gigi, dan kemudian jaringan lunak. 1. Perawatan injury terhadap jaringan keras gigi dan pulpa Crown infarction: Tidak ada perawatan yang diindikasikan. Vitalitas pada gigi yang trauma perlu dievaluasi secara periodic untuk memonitir pulpa dan menentukan kebutuhan akan perawatan di kemudian hari. Crown fracture Fraktur enamel: dilakukan penghalusan dari bagian yang tajam, jika perlu direstorasi dan dimonitor karena gaya akibat trauma tidak selalu seimbang dengan ukuran frakture dan ada kemungkinan pulpa menjadi nekrotic. Fraktur enamel dan dentin: perawatan emergensi ditujukan untuk mengurangi hiperemia dan melindungi pulpa dari stimulus termal. Diberikan calcium hidroksida pada dentin yang terexpose untuk merangsang pembentukan dentin sekunder, kemudian di restorasi untuk mempertahankan CaOH di tempatnya idealnya 6-8 minggu. Frakture enamel, dentin, dan pulpa: faktor contribusi dalam tatalaksananya: lama waktu sejak injury terjadi, besar pulpa yang terekspose, kondisi pulpa (vital atau non vital), dan tingkat pembentukan akar. 1. Pulpa tereskpose dengan pulpa vitalPrognosisnya sangat baik jika dirawat dalam dua jam pertama. Diindikasikan direct pulp capping untuk eksposur yang kecil pada tanduk pulpa dengan CaOH dibawah 24 jam pertama. Untuk gigi dengan apeks yang belum tertutup, ekspose lebih dari1.5 mm dan di atas 24 jam maka dilakukan pulpotomi atau partial dengan CaOH yang ditujukan untuk mempertahan vitalitas pulpa dan mengizinkan terjadinya apeksogenesis. Prognosisnya sangat baik. Biasanya pada akhirnya gigi ini memerlukan psa. Untuk gigi dengan apeks tertutup, ekspose lebih dari 1,5 mm, diatas 24 jam, dilakukan perawatan saluran akar.1. Pulpa terekspose dengan pulpa non-vitalIncomplete apeks: apeksifikasi, berbeda dengan apeksogenesis, ditujukan untuk mmbentuk calcified seal/bridge di apeks gigi sebelum dilakukan kondensasi gutta percha.Closed apeks: PSA. Fraktur mahkota akar: emergensi care biasanya dilakukan dengan menstabilkan fragment mahkota ke gigi did dekatnya dan pengangkatan loose fragment sebelum dilakukan perawatan definitive. Jika frakturnya longitudinal dan mengikuti long axis gigi, atau terdapat coronal fragment lebih dari 1/3 akar klinis, ekstraksi biasanya direkomendasikan. Jika garis fraktur di atas atau sedikit di bawah margin servikal, dilakukan terapi konservatif untuk merestorasi gigi, seperti: crown lengthening procedure atau elevasi ortodontik. jika akarnya tertutup, diindikasikan perawatan endodontik sebelum restorasi, jika akrnya terbuka, pulpotomy harus dilakukan dengan CaOH untuk penutupan, setelah tertutup, PSA dan restorasi permanen. Fraktur akar: Kebanyakan fraktur akar terjadi di apikal dan 1/3 tengah dan jarang di servikal, secara umum terjadi pada gigi dengan akar yang telah terbentuk sempurna dan biasanya tipe oblique. Secara klinis, fraktur akar terlihat ekstrud yang terdisplace secara lingual. Fraktur akar diagonal adalah sangat sulit untuk didiagnosa. Untuk gigi yang diperkirakan fraktur akar diagonal, foreshortened (45 degree angulation) dan elongated (110 degree angulation) film periapkal harus dilakukan untuk tambahan standart 90 degree angulation. Ektraksi adalah perawatan yang tepat untuk fraktur akar vertikal. Fraktur akar di apikal dan di 1/3 tengah biasanya tidak displint jika kegoyangan tidak berlebihan. Jika displint maka dipertahankan selama 12 minggu karena repair dari fraktur ini sama dengan repair fraktur tulang. Fraktur akar dapat healing dalam 4 tipe perbaikan: calcified tissue, conective tissue, tulang dan conective tissue, dan jaringan granulasi. PSA tidak dilakukan sampai terdapat tanda pulpa nekrosis. 1. Perawatan injury terhadap jaringan periodontal Concusion: Tidak ada treatment, hanya butuh terapi palidatif. Follow up untuk menjaga kesehatan pulpa karena pulpa dapat nekrosis setelah beberapa bulan/ minggu setelah kecelakaan. Displacement: displacement pada gigi dewasa jarang jika tidak diasosiasikan dengan fraktur alveolar. Subluxation: observasi gigi secara radiografik dan test vitalitas pulpa. Jika vitalitas pulpa tidak kembali dalam 8 minggu, PSA diindikasikan. Nekrosis pulpa dari injury ini sekitar 26%. Intrusive luxation: Insiden pulpa nekrosis untuk injury ini 96%. Untuk gigi incomplete root, reerupt biasanya terjadi, PSA harus dilakukan jika pulpa nekrosis. Untuk gigi utuh, gigi direposisikan ke tempat semula dan displint. CaOH diletakkan di dalam saluran selama 6-12 tahun untuk mencegah inflammantory resorption. Ekstrusive luxation: gigi dikembalikan ke posisi semula. Insiden nekrosis pulpa 64% dan frekuensi eksternal resorption 7%. Lateral luxation: perawatan awalnya adalah mereposisi gigi dan displint untuk mengurangi rasa nyeri. Gigi difollowup untuk menentukan vitalitas pulpa. Perawatan endodontik mungkin dibutuhkan dikemudian hari. exarticulation ( complete Avulsion ): probabilitas survival gigi replantasi tergantung kepada jumlah fiber periodontal vital yang tersisa di permukaan akar sebelum replantasi. Sel ligament periodontal yang berada di extraoral lebih dari 15 menit telah menghabiskan metabolit selnya. Ph, osmolalitas, dan metabolit sel dapat dipartahankan secara fisiologis di dalam larutan Hank. Sel ligament periodontal akan nekrotik jika berada di extraoral 120 menit atau lebih. Gigi harus direplantasi dan displint ketika tidak dikontraindikasikan. Gigi dapat direplantasi jika di extraoral lebih dari 2 jam tetapi prognosisnya buruk. Survival pulpa ada kemungkinan pada apeks terbuka jika direplantasi dalam waktu 2 jam. Jika apeksnya tertutup, pulpa harus diangkat dalam 7-10 hari kemudian. CaOH harus diletakkan di saluran akar dalam 1-2 minggu kemudian setelah replantasi. Prognosis dalam hal vitalitas pulpa sangat buruk. Perawatan terbaik untuk gigi avulsi adalah replantasi secepatnya. Periode extraoral yang lebih singkat meningkatkan prognosisnya. Jika replantasi tidak memungkinkan, gigi harus disimpan dalam medium transport yang baik dan yang tersedia. Pilihannya adalah larutan Hank atau Viaspan. Susu juga dapat digunakan sebagai medium penyimpanan sementara yang lebih singkat (sampai 6 jam). Hindari penyimpanan gigi avulsi di air atau saliva. Gigi yang di extraoral 15-20 menit harus direndam di larutan hank sebelum direplantasi selam 30 menit. Ketika pasien telah berada di fasilitas perawatan, gigi dibilas dengan saline, ligament yang ada tidak diangkat, soket didebride dengan irigasi saline tanpa kuretase, blood clot tidak diangkat, gigi harus direplantasi dan displint sesegera mungkin. Radiograf diambil untuk memverifikasi ketepatan kedudukan gigi. Kebutuhan akan tetanus profilaksis dievaluasi. Sejumlah antibiotik untuk 7-10 hari penting untuk mencegah infeksi sekunder dan untuk menaikkan derajat penyembuhan luka. Gigi dibebaskan dari oklusi, dan pasien tidak boleh mengunyah pda area tersebut selam satu bulan pertama. Gigi dengan apeks yang belum sempurna terbentuk mempunyai prognosis yang lebih baik. Jika gigi ini direplantasi dalam 2 jam, pengisian saluran akar dengan CaOH ditunda sebelum adanya tanda pulpa nekrotik. Untuk gigi apeks tertutup, gigi direplantasi dalam 2 jam, dalam 7-14 hari kemudian, pulpanya harus diangkat dan salurannya diisi dengan CaOH. Gigi dapat diobturasi setelah 6-12 bulan pengisian dengan CaOH dengan tidak adanya kehadiran patologis. Gigi dengan apeks terbuka dan tertutup, direplantasi dalam kurun waktu lebih dari 2 jam, telah memiliki sel ligament periodontal yang nekrotik. Ligementnya diangkat di dalam larutan NaCl selam 30 menit. Perawatan endodontik dilakukan di tangan. Gigi direndam dalam larutan asam sitrat selama 3 menit dan dibilas dengan larutan fisiologis. Gigi harus direndam dalam larutan stannous floride 1% selama 5 menit dan dalam larutan doxycycline 1mg/20ml selama 5 menit. Gigi harus segera direplantasi dan displint dalam 7-10 hari. Gigi dapat direplantasi dalam 24 jam setelah avulsi tetapi progosisnya sangat buruk. Secara radiograf, tanda pertama pulpa nekrosis dapat terlihat dalam 2 minggu, resorpsi inflamantory dalam 3-4 minggu, dan resorpsi replacement dalam 6-8 minggu. Resopsi terlihat jelas dalam 1 tahun setelah replantasi. Radiograf harus diambil dalam 2 minggu, pada bulan 1,2,3, dan 6, dan semiannual setelahnya. Gigi di dekatnya juga harus dievaluasi, biasanya, 50% gigi di dekatnya mengalami pulpa nekrosis dalam 2 tahun dari waktu kejadian injury. 1. Treatment of Injuries to the Primary TeethTreatment of Injuries to the Primary Teeth

Enamel only (Class I) Haluskan sudut ataupun permukaan yang tajam lalu diobservasi

Enamel & Dentin (Class II) Calcium hydroxide atau light cured glass ionomer liner/ based pada dentin Restorasi resin etsa-asam

Pulp exposure (Class III)Vital pulp Formocresol pulpotomy Restorasi full-coverageNonvital pulp Zinc oxide eugenol pulpotomy Restorasi full-coverage

Root Fracture (Class IV) 1/3 apikal : observasi 1/3 tengah atau servikal : pengambilan gigi beserta akar atau pengambilan fragmen jika memungkinkan Subluksasi : Observasi

Luksasi (Labial atau lingual) Reposisi atau pengambilan

Ekstrusi Reposisi atau pengambilan

Intrusi Ambil jika berkontak dengan gigi permanen atau re-erupsi tak berlangsung setelah 4-8 minggu Ambil jika terjadi infeksi Biarkan re-erupsi jika tak berkontak dengan gigi permanen

Perawatan fraktur gigi sulungInsidensi fraktur lebih banyak terjadi pada gigi sulung dibandingkan displacement injuries. Kebanyakan traumatic injuries pada gigi sulung terjadi pada saat anak belajar berjalan yaitu sekitar usia 1-2 tahun.Perawatan fraktur pada gigi sulung memiliki kesulitan tersendiri dikarenakan oleh ukuran dari gigi sulung tersebut yang kecil serta ukuran dari kamar pulpa yang besar. Perawatannya dapat dilihat pada tabel di atas. Calcium hydroxidepulpotomy pada gigi sulung tak direkomendasikan karena hubunagn insidensi yang tinggi terhadap resorpsi. Fraktur akar jarang terjadi. Jika ada, kebanyakan terjadi pada 1/3 dari gigi sulung. Jika terdapat fistula, kemerahan, atau bengkak, gigi harus dirawat dengan zinc-oxide eugenol pulpectomy atau lebih baik diambil saja. Gigi dengan zinc oxide eugenol pulpotomy kemungkinan tak dapat beresorpsi normal dan dapat menyebabkan displacement dari benih gigi permanen. Zinc oxide eugenol paste tak dapat memicu resorpsi eksternal.Perawatan Displacement gigi sulungDisplacement injuries adalah yang paling sering terjadi pada gigi sulung dibandingkan gigi permanen. Yang paling penting adalah jika waktu mengembalikan gigi sulung yang avulsi ke dalam soket, kontraindikasinya adalah jika ada kemungkinan ankylosis, resorpsi internal ataupun eksternal, abses.Premature loss pada gigi insisiv sulung sebelum erupsi dari caninus sulung biasanya menyebabkan lengkung rahang menjadi kurang sempurna. Kehilangan gigi insisivus setelah erupasi dari caninus sulung biasanya menyebabkan crowding gangguan estetik.Premature loss dari insisivus sulung tak mengganggu pada proses bicara, namun biasanya orangtua lebih khawatir pada masalah estetis. Jika anak memiliki kemampuan berbicara normal sebelum mengalami premature loss maka biasanya dia lebih adaptif pada lingkungan baru. Pada beberapa kasus, kadang dapat terjadi lisping sampai insisiv permanen erupsi.Mengambil insisiv sulung sebelum usia 3 tahun biasanya menyebabkan delay of eruption dari permanen sucessor, mengambil insisiv sulung 1-2 tahun sebelum waktu eksfoliasi normal akan menyebabkan percepatan dari erupsi permanen successorGigi sulung yang mengalami subluksasi harus diobservasi. Gigi sulung yang mengalami luksasi pada arah labial atau lingual harus direposisi dengan tekanan yang cukup. Biasanya gigi akan kembali ke posisinya dan tak dibutuhkan splinting. Jika hal tersebut tak dapat dilakukan, gigi harus diambil. Jika gigi sulung mengalami ekstrusi, reposisi jika memungkinkan. Jika tidak, lakukan ekstraksi.Intrusi pada gigi sulung, sebagai dokter gigi, kita harus mengobservasi gigi untuk re-erupsinya. Jika apeks displaced ke arah vestibular, gigi harus diekstraksi. Kebanyak gigi intrusi mulai re-erupsi sekitar 3-4 minggu setelah injuri terjadi serta erupsi penuh pada 6 bulan kemudian. Jika gigi sulung tersebut tak re-erupsi dalam jangka waktu 4-8 bulan setelah injuri, gigi tersebut harus diekstraksi. Ekstraksi juga berlaku jika gigi tersebut mengalami pembengkakan atau inflamasi akut pada gingiva serta adanya konsistensi purulen dari crevis gingiva sewaktu fase re-erupsi.

1. Treatment of Fractures to the Supporting Bone Fraktur dinding soketFraktur dinding soket sering dihubungkan dengan dislokasi gigi dengan mobilitas dari buccal osseus plate dan mucosal contusion. Reduksi dari fraktur ini setelah dilakukan anestesi lokal dapat dicapai dengan menggunakan penekanan dengan jari yang simultan pada area apikal dan aspek lingual pada mahkota. Pada kasus comminuted fracture, kehilangan perlekatan fragmen pada periosteum harus diambil namun kita harus berusaha mempertahankan gigi. Setelah reduksi selesai, gigi yang terlibat akan displinting selama 4 minggu untuk membantu osseus healing. Karena perbaikan tulang berlangsung relatif cepat pada usia anak, fiksasi biasanya tak dibutuhkan. Sebaiknya anak memakan makanan yang lunak pada periode ini dan harus dimonitor perbaikan gigi dan pulpanya secara periodik. Fraktur prosesus alveolarisFraktur prosesus alveolaris lebih sering terjadi pada gigi anterior ataupun regio premolar pada usia anak dan dewasa. Keberhasilan perawatan pada fraktur prosesus alveolaris bergantung pada reposisi dari fragmen yang menggunakan open atau closed techniques yang disertai dengan stabilisasi yang cukup untuk osseus healing.Teknik SplintingTujuan dari splinting adalah menstabilkan gigi yang terkena injuri, menjadikannya kembali ke posisi anatomis normal selama periode healing. Requirement yang dibutuhkan untuk splint yang baik adalah sebagai berikut : Pasien dapat menjaga OH-nya Mudah dilepas-pakai Mudah untuk dilakukan perawatan endodontik serta pulp-testing Adanya pergerakan fisiologis dari gigi Mengembalikan posisi gigi ke posisi normal Tak mengganggu gingiva ataupun oklusiSplint yang mendekati requirement ini adalh acid-etch resin arch wire splint serta orthodontic bracket arch wire splint. Namun contoh tersebut sulit untuk diaplikasikan.

Penatalaksanaan Trauma Jaringan Lunak PERTIMBANGAN UMUM Kesuksesan perawatan cedera wajah tergantung pada perhatian mendetail dari seluruh struktur anatomis yang terlibat Reduksi dini dari fraktur mempertahankan kontur normal wajah dan penutupan yang cermat dari jaringan lunak mempertahankan fungsi dan menentukan parut estetis. Fraktur dan laserasi sering berlangsung bersamaan, sehingga semua luka pada jaringan lunak memiliki kemungkinan adanya fraktur pada jaringan keras dibawahnya Cedera sistemik serius dan shock harus didahulukan, dan akan menunda perhatian utama terhadap cedera wajah selama beberapa jam bahkan hari. Namun penundaan lama yang mencegah perawatan dini yang memadai sebaiknya dihindari. Perbaikan wajah yang luka biasanya ditunda sampai kondisi pasien stabil dan perawatan untuk cedera yang mengancam jiwa telah dilakukan

PERAWATAN INISIAL Perawatan cedera wajah memerlukan pemeliharaan jalan nafas, kontrol perdarahan, perawatan shock, kontrol rasa nyeri, pemeliharaan keseimbangan cairan dan nutrisi, serta pencegahan infeksi.

Kontaminasi luka oleh bakteri clostridium harus diperhatikan dan profilaksis tetanus dini harus diberikan segera. Berikut adalah profilaksis tetanus pada luka yang dianggap terkontaminasi :1. Tidak ada riwayat imunisasi1. Tetanus immunoglobin (Hyper-Tet; 250 units IM) plus1. Tetanus toxoid (0.5 ml)1. Dua tambahan tetanus toxoid (0.5 ml) penguat pada interval bulanan.1. Imunisasi lebih dari 5 tahun1. Tetanus toxoid (0.5 ml)1. Contamintasi luka pada pasien yang tidak terimunisasi selama 2 tahun1. Tetanus toxoid (0.5 ml)

Klasifikasi kontaminasi luka: Bersih Bersih-terkontaminasi Kotor atau terinfeksi

Umumnya luka-luka superfisial berkategori bersih dan bersih-terkontaminasi, dan tingkat infeksi berkisar antara 1.5%-7% jika antibiotic profilaksis diberikan. Umumnya jaringan yang trauma berat termasuk dalam kategori terkontaminasi dan terinfeksi. Kontaminasi luka bersih dapat terjadi, khususnya jika lapisan mukosa telah terlibat Semua luka yang melibatkan kulit hingga mukosa harus dianggap terkontaminasi khususnya jika waktu kejadian telah lama. Luka-luka yang terkontaminasi material asing seperti kotoran, fragmen logam, gigi, tulang, atau kaca harus diperiksa secara menyeluruh untuk mencegah infeksi

WOUND PREPARATION Walaupun jaringan lunak di wajah memiliki vaskularisasi yang cukup banyak, hemorrhage tidak terkontrol jarang terjadi. Selama pemeriksaan awal, ligasi pembuluh darah yang berdarah dan aplikasi oklusif pressure dressing dapat mengontrol perdarahan dengan baik. Pressure dressing juga menyediakan imobilisasi sementara dari jaringan keras dan lunak. Antibiotik gram-positif seperti penicilin dan cephalosporin merupakan pertimbangan pilihan obat-obatan untuk cedera jaringan lunak wajah. Sedangkan untuk pasien yang alergi penicillin dan chepalosporin dapat diberikan Clindamycin. Kebanyakan cedera minor yang melibatkan wajah, dapat diperbaiki dengan memuaskan dengan anestesi lokal dan regional. Anastesi local menyediakan keuntungan yaitu vasokonstriksi mengurangi perdarahan dan memperlama durasi anastesi. Pemberian analgesik dan nerkotik harus dihindari sampai pemeriksaan neurologi dilakukan dan cedera kepala telah telah dihilangkan. Cedera mayor wajah biasanya dibarengi dengan fraktur tulang parah. Untuk kasus ini, perawatan paling baik dilakukan dibawah anestesi general untuk memperkenankan cleansing, debridement, dan perbaikan teliti yang adekuat. Reduksi dan fiksasi fraktur wajah dibawah jaringan lunak merupakan prioritas selama pembedahan.

1. Cleansing Pembersihan kulit dan luka yang cermat merupakan langkah perawatan pendahuluan esensial bagi perawatan semua cedera wajah. Jika anestesi lokal akan diberikan, pembersihan kulit dilakukan dengan menggunakan agen antiseptik Jika pasien telah dianestesi, luka diiirigasi dengan larutan salin steril yang banyak. Luka harus diperiksa dengan teliti, semua debris, misalnya kotoran, rambut, fragmen tubuh, dll harus dibuang/dibersihkan. Mata pasien harus dilindungi untuk mencegah cairan antiseptic/surgical scrub solution masuk ke mata Kontak langsung dengan luka terbuka sebaiknya dihindari untuk mengontrol/mencegah kerusakan sel.

1. Debridement Eksisi jaringan lunak dari luka di wajah harus minimal, karena jaringan lunak wajah itu unik dan sulit di duplikasi. Suplai darah jaringan di wajah juga berlimpah, dan resistensi terhadap infeksi cukup tinggi. Tepi kulit yang berbatasan dengan luka kemungkinan ireguler, tipis dan sulit menutup. Dalam hal ini, sebaiknya kulit dikurangi(undermine) 1-2 cm dengan skalpel dan tepinya di-trim dengan gunting, untuk menciptakan tepi yang bersih dan fresh. Pembuangan jaringan harus seminimal mungkin.

FUNDAMENTAL OF PRIMARY REPAIR Perawatan terhadap luka, paling baik dilakukan beberapa jam pertama setelah cedera, dan penutupan primer harus dilakukan dalam 24 jam pertama. Tidak ada luka (luka yang tidak infeksi dan tidak ada kehilangan jaringan) di wajah yang diizinkan sembuh dengan granulasi. Ada dua manfaat penutupan sesegera mungkin:1. Mengurangi pembentukan scar1. Kontrol infeksi Luka jaringan lunak pada daerah wajah sebaiknya diperbaiki untuk mengembalikan ke anatomi normal. Meskipun cedera jaringan lunak wajah sering mengalami disorientasi posisi yang parah, kebanyakan luka ditutup secara primer dengan penjahitan langusng melewati batas luka.

1. Suture Material Fungsi utama suture adalah untuk mempertahankan penutupan luka dan membantu penyembuhannya Proses penyembuhan luka dapat dipengaruhi oleh: Banyaknya material sutur yang digunakan Jenis sutur Teknik suturing Nilai tension dari sutur Sutur yang ideal dapat menyesuaikan dengan segala keadaan dan memiliki karakteristik sebagi berikut: Mudah di-handle Kemampuan untuk membentuk secure knots Tensile strength yang tinggi Mampu merenggang untuk mengakomodasi edema luka dan mengembalikannya pada panjang aslinya dengan retraksi luka. Mudah disterilkan Mudah dilihat Tidak mahal Namun sayang sekali, tidak ada satu jenis sutur pun yang memenuhi semua kriteria tersebut. Untuk itu tergantung dari ahli bedah untuk menentukan material suture mana yang cocok dengan situasi yang ada. Ada dua jenis sutur berdasarkan konfigurasi fisiknya, yakni:1. Monofilamen: Prolene, ethilon1. Multifilamen: silk Multifilamen suture merupakan tipe terpilin-pilin dan terjalin-jalin. Suture yang terjalin-jalin/tkepang biasanya mudah di-handle dan diikat, tapi mereka cenderung berpotensi sebagai tempat bersarangnya bakteri diantara benang yang akan meningkatkan resiko infeksi. Multifilament suture umumnya mempunyai lebih banyak kapiler dibanding monofilament suture, unutk itu mereka mempynuak lebih banyak potensi untuk komplikasi dan infeksi.

Absorbable Suture Materials Absorbable Suture Materials definisikan sebagai bahan sutur yang akan kehilangan banyak tensile strength-nya dalam 60 hari setelah penjahitan. Kebanyakan Absorbable Suture sekarang merupakan substansi sintetik, seperti: Polyglycolic acid (dexon), polyglactic acid (Vicryl, Polysorb), Polydioxanone (PDS), polytrimethylene carbonate (maxon), dan polyglecaprone (monoctyl, biosyn) Absorbable Suture ideal memiliki reaktivitas rendah, tensile strength yang tinggi, tingkat absorbsi yang lambat, dan knot security yang baik.

Non-absorbable Suture Materials Nonabsorbable Suture secara umum didefinisikan sebagai material berfilamen yang resisten terhadap degradasi oleh jaringan. Nonabsorbable Suture yang banyak digunakan saat ini meliputi: silk, nylon, polyprophylene (prolene), braided polyester (Marsilene, ethibond), dan polybutester (novofil).

1. Suturing Techniques Karakteristik teknik penutupan luka yang ideal termasuk : Menyediakan maximal wound eversion Mempertahankan tensile strength sepanjang proses penyembuhan luka Dapat dilakukan ahli bedah dengan sederhana dan cepat Memperkenankan perkiraan tepi luka yang seksama tanpa meninggalkan tanda suture. Tanda permanen suture dapat terjadi ketika luka terlalu kencang atau ditinggalkan terlalu lama.

1. Interrupted Suture TechniquesTeknik suturingKelebihanKekuranganGambar

Simple interruptedPengembalian tepi luka yang baik. Umum digunakan dan dapat dikerjakan dengan cepat Teknik pengembalian tepi memerlukan pengalaman Pengembalian tidak sebagus teknik yang lain Tidak mengurangi ekstrinsic tensions dari tepi luka

Vertical mattress Pengembalian tepi luka yang baik dan aposisi yang sempurna Mengurangi tension dari tepi kulit Pengerjaannya cukup lama Menciptakan lebih banyak cross-marks

Horizontal mattress Menguatkan jaringan subkutan Mengurangi tension dari tepi kulitlebih efektif dibanding vertical mattress

Tidak menciptakan aposisi tepi luka sebaik vertical mattress

Half-buried horizontal mattress Mengurangi intrinsic tension dan vascular compromise ketika mencapai ujung flap Memerlukan skill tinggi untuk menciptakan aposisi yang baik dari tepi luka

1. Continous Suture TechniquesTeknik suturingKelebihanKekuranganGambar

Continuous over and over Dapat dikerjakan dengan cepat untuk menutup laserasi multipel dan luka besar

Aposisi tepi luka lebih sulit diperoleh Inclusion cyst dapt terbentuk

Continuous single lock Dapat dikerjakan dengan cepat Aposisi tepi luka lebih baik dari Continous over and over Epitelisasi yang lebih rendah dari tracts

Aposisi tepi lka tidak seaik simple interrupted, kecuali jika prosedurnya dikerjakan dengan baik

Continuous mattressDapat dikerjakan dengan cepat pada laserasi besar di daerah yang tertutup (cosmetically unimportant)Tidak menyediakan aposisi tepi luka yang baik

F. KOMPLIKASI FRAKTUR MAKSILAKomplikasi yang mungkin terjadi pada pasien dengan fraktur maksila diantaranya:

Sumber: Peterson1. Nerve InjuryInferior alveolar nerve dan cabang-cabangnya merupakan syaraf yang paling sering mengalami injuri. Penyebab utamanya adalah trauma pada region kondil, ramus, sudut mandibula, dan luka sobek. Fungsi sensorik dan motorik akan kembali normal seiring waktu1. InfeksiDipengaruhi oleh: Sistemik: konsumsi alkohol, pasien immunocompromised dan kekurangan penggunaan antibiotik Lokal: reduksi dan fiksasi tidak baik, fraktur gigi pada garis frakturPerawatannya dengan debridement benda asing, drainage, penggunaan antibiotik. Penggunaan rigid fixation dengan atau tanpa IMF, jika gap terjadi antara tulang yang fraktur, lakukan bone graft.1. Delayed union, Non-union dan MalunionEtiologi: Sistemik: malnutrisi, diabetes, merokok, konsumsi alkohol Lokal: karakteristik fraktur (open, infected, segmental), lokasi anatomis fraktur, perawatan (fiksasi dan immobilisasi) yang tidak memadai. Delayed unionKondisi sementara di mana reduksi dan immobilisasi tidak adekuat untuk menyatukan tulang, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk sembuh. Ciri-cirinya yaitu nyeri saat ditekan pada patahan, ada pembengkakan, tulang membengkok, terdapat gerakan abnormal pada daerah patahan. Biasanya dokter akan menunggu selama 1-2 bulan untuk melihat ada tidaknya perkembangan sambil terus diberi asupan nutrisi tambahan. Tulang yang mengalami delayed union akan membentuk union normal apabila mobilisasi ditingkatkan sehingga adekuat. Non-unionFraktur yang setelah 9 bulan tidak sembuh dan tidak menunjukkan perkembangan secara radiograf selama 3 bulan walaupun sudah dilakukan tindakan bedah. Merupakan kelanjutan dari delayed union. Ciri-cirnya antara lain nyeri dan mobilitas abnormal. MalunionFraktur yang menyatu atau sembuh dalam waktu yang tepat tetapi susunannya tidak sesuai. Hal ini dapat menyebabkan maloklusi, asimetri fasial, enopthalmos dan ocular dystopia. Perawatannya adalah dengan orthodontic atau osteotomi setelah penyatuan tulang selesai terbentuk.1. EpiphoraEpiphora adalah keadaan dimana terjadi pengeluaran air mata secara terus menerus. Hal ini terjadi karena fraktur yang menyebabkan luka pada sistem lakrimal. Perawatannya dengan dacryocystorhinostomy (lacrimal injury) dan prosedur lid lightening (ectropian) dengan dirujuk ke spesialis mata.1. CSF (Cerebrospinal Fluid) leaksTidak biasa terjadi. Biasanya terjadi setelah perawatan fraktur midface dan naso-ethmoid, Le Fort II dan Le Fort III fraktur. Dapat menjadi faktor predisposisi dari meningitis dan dilaporkan terjadi 12 tahun setelah injury.1. Globe InjuryMerupakan injuri yang disebabkan oleh fraktur sehingga mengurangi integritas dinding orbital. Injuri yang umum terjadi adalah injuri pada kornea, penetrasi injuri dari scalpels, wire/drill bits. Evaluasi terhadap gangguan fungsi mata dan rujuk ke spesialis mata.1. DiplopiaDiplopia adalah kelainan yang menyebabkan seseorang memiliki dua visi atau presepsi terhadap objek atau benda yang sama. Selama reduksi fraktur midface, fraktur lantai orbital yang baru saja terjadi dapat menyebabkan herniation atau entrapment pada rektus inferior. Orbital floor exploration dan rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah fraktur yang berhubungan disembuhkan terlebih dahulu untuk mencegah diplopia post-operative.KONTROL PERDARAHANPerdarahan dari luka eksternal pada kepala dan leher umumnya dapat dikontrol dengan tekanan langsung ke lokasi perdarahan. Sumber perdarahan yang dapat dicapai dengan mudah dapat ditangani dengan tindakan yang sederhana (penekanan langsung atau pendinginan). Namun, apabila sumber perdarahan dalam, hindari eksplorasi lokasi perdarahan yang lebih dalam sebelum tindakan resusitasi dimulai dan kondisi kamar operasi tersedia. Apabila waktu dan kondisi pasien memungkinkan, tes lebih lanjut dan studi vaskular yang tepat berguna dalam menetapkan kerusakan pembuluh mayor. Perdarahan yang luas dapat ditangani dengan beberapa obat-obatan hemostatik, seperti:1. Hemostatik Lokal atau Topikal Absorbable hemostatic menghentikan perdarahan yang berasal dari kapilerContoh: spons gelatin, selulosa oksida (oksisel, dan human fibrin foam) Vasokonstriktor perdarahan kapiler suatu permukaanContoh: epinefrin dan norepinefrin Adstringensia perdarahan dari kapiler, namun kurang efektif jika dibandingkan vasokonstriktorContoh: feri klorida, AgNO3, Asam tanat Koagulan menghentkan perdarahan local dengan mempercepat perubahan protrombin menjadi thrombin

1. Hemostatik Sistemik Transfusi darah perdarahan yang disebabkan kurangnya faktor pembekuan darah Factor VIII dan Cryoprecipitated Antihemophilic factors Kompleks faktor IX mengatasi perdarahan pada pasien hemophilia A Desmopresin hemostatic jangka pendek pada pasien dengan defisiensi faktor VII ringan sampai sedang Vitamin K defisiensi vitamin K dan terapi overdosis antikoagulan oral. (tidak bisa untuk erdarahan akut) Asam aminokaproat mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolysis berlebihan Asam traneksamat untuk sindroma hemoragik, dan perdarahan yang abnormal

KONTROL INFEKSIDebridement Pembersihan kulit dan luka yang cermat merupakan langkah perawatan pendahuluan yang penting bagi perawatan semua cedera wajah. Jika anestesi lokal akan diberikan, pembersihan kulit dilakukan dengan menggunakan agen antiseptik Jika pasien telah dianestesi, luka diirigasi dengan larutan saline steril yang banyak. Luka harus diperiksa dengan teliti, semua debris, misalnya kotoran, rambut, fragmen tubuh, dll harus dibuang/dibersihkan. Mata pasien harus dilindungi untuk mencegah cairan antiseptic/surgical scrub solution masuk ke mata Kontak langsung dengan luka terbuka sebaiknya dihindari untuk mengontrol/mencegah kerusakan sel.Asepsis pascabedahYang harus diperhatikan antara lain : Manajemen luka dilakukan untuk mencegah penyebaran patogen Manajemen benda-benda tajam material tajam seperti jarum dan blade yang telah terkontaminasi harus segera dibuang untuk menghindari transmisi penyakitAnti-Tetanus SerumTetanus merupakan penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Chloostridium tetani. Bakteri tersebut dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh melalui luka. Anti-Tetanus Serum atau sering disebut ATS merupakan antiserum yang dibuat dari plasma kuda yang dikebalkan terhadap toksin tetanus. Cara kerjanya sebagai imunisasi pasif. Pada penyuntikan (secara intramuskular maupun intravena) ATS ini mampu menetralisir toksin tetanus yang beredar dalam darah penderita.Komposisi (kandungan tiap mL) Untuk pencegahan: Zat aktif antitoksin tetanus 1.500 IU Zat aktif fenol 0,25% V/V Untuk pengobatan: Zat aktif antitoksin tetanus 5.000 IU Zat tambahan fenol 0,25% V/VIndikasi Untuk luka cukup besar (dalam > 1 cm) Luka yang berasal dari benda kotor dan berkarat Luka gigitan hewan atau manusia Luka tembak atau luka bakar Luka yang telah terkontaminasi (mis: luka dibiarkan > 6 jam) Penderita yang tidak memiliki riwayat imunisasi tetanusKlasifikasi kontaminasi luka

BersihBersih-terkontaminasiKotor atau terinfeksi

Luka superfisial Tingkat infeksi antara 1,5 7% (jika antibiotik profilaksis diberikan) Luka superfisial Luka dengan keterlibatan lapisan mukosa Lama dibiarkan Trauma berat pada jaringan Lama dibiarkan Luka akibat material asing seperti kotoran, fragmen logam, gigi tulang, atau kaca

Dosis dan cara pemberian Pencegahan Dosis: 1.500 IU Diberikan secara intramuskular secepat mungkin kepada seseorang yang terkontaminasi dengan tanah, debu jalanan, dll yang dapat menyebabkan infeksi bakteri tetanus Amati penderita setelah penyuntikan selama 30 menit Pengobatan Dosis: 10.000 IU atau lebih Diberikan secara intramuskular terlebi dahulu, lalu dilanjutkan dengan penyuntikan secara intravena (bila tidak ada gejala alergi) Amati selama 1 jamEfek samping Gejala yang timbul setelah 5 hari penyuntikan, dapat berupa demam, gatal-gatal, sesak napas, dan gejala alergi Reaksi anafilaktik Sebaiknya lakukan tes hipersensitivitas subkutan sebelum memberi suntikan ATS dengan dosis penuh (terutama penderita asma) Hindari pemberian secara intramuskular apabila terdapat keadaan trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lainnya

Penggunaan ATS saat ini sudah mulai digantikan dengan HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) karena dianggap lebih aman.ATSHTIG

IndikasiHanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan harus dilanjutkan dengan imunisasiHanya dapat menghilangkan toksin tetanus yang belum berikatan dengan ujung saraf

KontraindikasiHati-hati dengan reaksi anafilaksisRiwayat hipersensitivitas terhadap immunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya

Dosis100.000 IU secara IM dan 50.000 IU secara IV3.000-6.000 IU secara IM dalam dosis tunggal

Kekurangan Ketersediaan di pelayanan kesehatan saat ini sulit didapat Masa kadaluarsa pendek Ketersediaan di pelayanan kesehatan cukup Masa kadaluarsa lebih lama

Rekomendasi perawatan tetanus (American College of Surgeons Committee) Individu yang telah diimunisasi1. Fully immunized individualJika pemberian toxoid (vaksin) diberikan 10 tahun yang lalu, diadministrasikan 0,5 mL absorbed toxoid pada luka yang rentan tetanus1. Partially immunized individualJika pemberian vaksin dilakukan 10 tahun yang lalu, 0,5 mL absorbed toxoid diadministrasikan pada luka yang rentan tetanus dan luka yang tidak rentan tetanus Individu yang tidak diimunisasi secara adekuat1. Non tetanus prone wounds (luka yang tidak rentan tetanus)Administrasikan 0,5 mL absorbed toxoid1. Tetanus prone wounds (luka yang rentan tetanus)Administrasikan 0,5 mL absorbed toxoid dan 250 unit antitetanum serum

G. OBAT-OBATAN YANG DIBUTUHKANANALGESIKAnalgesik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu Analgesik Non-opioid dan Opioid.1. Analgesik Non-opioida. Penggolongan obat1. NSAIDs (Non-Steroidal Antinflammatory Drugs)NSAIDs merupakan segolongan obat yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan menurunkan suhu tubuh. Rasa sakit tersebut disebabkan oleh rangsang yang ditimbulkan oleh rangsang listrik di sistem saraf yang ditransmisikan oleh prostaglandin. Dimana prostaglandin dilepaskan oleh sel-sel tubuh saat terjadi infeksi atau radang sebagai hasil metabolisme dari asam arakidonat yang dibantu oleh enzim COX (Cyclooxygenase), karena adanya prostaglandin tersebut menyebabkan meningkatnya kerja histamin dan senyawa lain sehingga menyebabkan vasodilatasi dan meningkatnya prostaglandin itu sendiri, hal inilah yang menimbulkan rasa sakit pada daerah tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan obat golongan NSAIDs untuk menghilangkan rasa nyeri tersebut dengan menghambat terbentuknya prostaglandin.

NSAIDs terdiri dari beberapa golongan obat, yaitu:1. Golongan salisilatMerupakan senyawa organik sederhana yang mempunyai efek analgetik, antipiretik, anti inflamasi, antireumatik dan urikosurik pada manusia

Golongan: Asam asetil salisilat (asetosal) nama dagang: aspirin Natrium salisilat Salisilamid

Mekanisme kerjaSecara umum obat golongan ini bekerja dengan menghambat biosintesis prostaglandin, melalui penghambatan enzim prostaglandin sintetase:Mengahambat biosintesis dan pelepasan prostaglandin dari sel

Efek farmakologi Efek analgetik Efek antipiretik Antirematik dan anti inflamasi Efek urikosurik Saluran cerna Agregasi trombosit Sistem pernapasan

Indikasi Analgesik : mengatasi nyeri tidak spesifik seperti sakit kepala, nyeri sendi, nyeri haid dan beberpa nyeri neuralgia dan sakit otot Antipiresis : menurunkan suhu tubuh pada keadaan demam Anti inflamasi : mengurangi rasa nyeri, kekakuan, pembengakakan sendi dan rasa panas serta kemerahan jaringan setempat dalam 24-48 jam Penggunaan lain : mencegah trombus koroner dan trombus vena

Efek samping efek samping yang utama adalah iritasi dan perdarahan lambung, timbulnya reaksi alergi dan juga gangguan ginjalEfek toksik Efek toksis akan terlihat apabila asetosal diberikan dosis lebih besar dari 150mg/kgbb. Efek toksik kronik disebut salisilismus dengan gejala telinga berdenging (kadar plasma 200-400mg/ml) Gejala lain : mual, muntah, tuli dan bingung Anak-anak : asidosis metabolik Dewasa: alkalosis respirasi

Dosis dan penulisan resep Dewasa : Dosis anti-inflamasi untuk orang dewasa adalah 45 mg / kg Anak-anak : Dosis anti-inflamasi untuk anak-anak 50-75 mg / kg

1. Golongan derivat pirazolon1. Golongan Dipiron Indikasi demam pada penyakit Hodgkin dan periartritis nododsa yang tidak dapat ditolong dengan obat lain Efek samping dan intoksikasi menimbulkan agranulositosis, anemia aplastik, trombositopenia, mual, muntah, perdarahan lambung dan anuria dosis dan penulisan resep 0,3-1 g 3x sehari, sediaan obat: tablet 500 mg dan obat suntik 500mg/ml

Fenilbutazon dan oksifenbutazon Indikasi penyakit pirai akut, artritis reumatoid, gangguan sendi dan otot (spondilitis ankilosa dan osteoartritis) Kontraindikasi penderita hipertensi, penyakit jantung dan gangguan ginjal, gangguan fungsi hati dan riwayat alergi serta tukak lambung Farmakodinamik Efek anti inflamasi Efek analgesik (lebih rendah dari salisilat) Efek urikodurik lemah Farmakokinetik Absorpsi: melalui saluran cerna, kadar puncak dicapai dalam 2 jam dengan waktu paruh 70 jam, 98% terikat protein plasma Efek samping reaksi alergi berupa urtikaria, udem engineurotik, eritema, dermatitis eksofoliativa dan sindrom Steven Johnson, dll Dosis dan penulisan resep Obat pirai akut: 800mg/hari selama 2 hari+300mg/hari selama 3 hari atau dosis awal 400 mg+100 mg tiap 4 jam hingga gejala berkurang selama tidak lebih dari 7 hari Artritis reumatoid: 3-4 x 100 mg/hari selama 1 minggu.

1. Golongan derivat asam fenamat1. Definisi merupakan golongan obat menyerupai aspirin dan N-phenyl-anthranilic1. Golongan Meclofenamat Efek samping : meningkatkan efek antikoagulan oral dan gangguan saluran cerna seperti nyeri lambung dan diare Kontraindikasi : kehamilan dan tidak dianjurkan untuk anak-anak Asam fenamat efek analgetik sebanding aspirin, efek antiinflamasi kurang daripada aspirin. Indikasi : nyeri sedang Kontraindikasi : hanya untuk waktu penggunaan jangka pendek, karena mempunyai potensi menimbulkan diskrasia darah dan efek samping pada saluran cerna seperti dispepsia dan diare Tidak dianjurkan untuk pemberian pada anak lebih dari 1 minggu Indometasin Efek analgetik, antipiretik dan anti inflamasi mirip asam asetilsalisilat Indikasi : artritis reumatoid , ankylosing spondilytis, osteoartritis dan penyakit pirai Mekanisme kerja : menghambat prostaglandin secara kuat dan menghambat pergerakan leukosit PMN Farmakokinetik : absorpsi dengan pemberian oral baik , kadar puncak plasma dicapai dalam 3 jam. Distribusi tidak merata dan 90% terikat plasma protein. Waktu paruh 4-12 jam. Ekskresi melalui urin dalam bentuk utuh dan metabolitnya Efek samping : timbul pada 30-50% pasien, seperti gangguan saluran cerna, muntah, mual, diare Sulindak efek farmakologi mirip indometasin

1. Golongan Derivat asam fenil propionat1. Efek farmakologi anelgetik, antipiretik, dan antiinflamasi1. Golongan IbuprofenIbuprofen merupakan turunan asam phenylpropionic sederhana. Dalam dosis sekitar 2400 mg sehari, ibuprofen adalah setara dengan 4 g aspirin pada efek anti-inflamasi. Ibuprofen oral sering diresepkan dalam dosis rendah (