PEDOMAN-UMUM-INKLUSI…  · Web view · 2009-12-15pada tahap ini asesmen dilakukan untuk...

58
PEDOMAN UMUM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

Transcript of PEDOMAN-UMUM-INKLUSI…  · Web view · 2009-12-15pada tahap ini asesmen dilakukan untuk...

PEDOMAN UMUMPENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

INKLUSIF

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONALDIREKTORAT JENDERAL MANDIKDASMEN

DIREKTORAT PEMBINAAN SEKOLAH LUAR BIASA2007

KATA PEGANTAR

Dalam rangka mensukseskan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan

Tahun dan perwujudan hak azasi manusia, layanan pendidikan bagi anak

berkebutuhan khusus perlu lebih ditingkatkan.

Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak di selenggarakan

secara segregasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa

(SDLB). Sementara itu lokasi SLB dan SDLB pada umumnya berada di ibu kota

kabupaten, padahal anak-anak berkebutuhan khusus banyak tersebar hampir di

seluruh daerah (Kecamatan/Desa). Akibatnya sebagian anak berkebutuhan khusus

tersebut tidak bersekolah karena lokasi SLB dan SDLB yang ada jauh dari tempat

tinggalnya, sedangkan sekolah umum belum memiliki kesiapan untuk menerima anak

berkebutuhan khusus karena merasa tidak mampu untuk memberikan pelayanan

kepada anak berkebutuhan khusus di sekolahnya.

Untuk itu perlu dilakukan terobosan dengan memberikan kesempatan dan peluang

kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan di sekolah umum

(SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK), yang disebut “Pendidikan

Inklusif”. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam implementasi

pendidikan inklusiff, maka pemerintah melalui Direktorat Pembinaan Sekolah Luar

Biasa menyusun naskah Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif.

Selanjutnya, dari naskah ini dikembangkan ke dalam beberapa pedoman yang terdiri

atas:

1. Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

2. Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, yaitu:

i

1) Pedoman Khusus Identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus.

2) Pedoman Khusus Pengembangan Kurikulum.

3) Pedoman Khusus Kegiatan pembelajaran.

4) Pedoman Khusus Penilaian.

5) Pedoman Khusus Manajemen Sekolah.

6) Pedoman Khusus Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Pendidik.

7) Pedoman Khusus Pemberdayaan Sarana dan Prasarana

8) Pedoman Khusus Pemberdayaan Masyarakat.

9) Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling

A. 3. Suplemen Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, yaitu:1) Model Program Pembelajaran Individual

2) Model Modifikasi Bahan Ajar

3) Model Rencana Program Pembelajran

4) Model Media Pembelajaran

5) Model Program Tahunan

6) Model Laporan Hasil Belajar (Raport)

Jakarta, Juni 2007

Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa

Ekodjatmiko Sukarso

NIP. 130804827

ii

KATA PENGANTAR

Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun

disemangati oleh seruan Internasional Education For All (EFA) yang dikumandangkan

UNESCO sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Sinegal

Tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada Tahun 2015.

Seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga

negara untuk memperoleh pendidikan dan Pasal 32 UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur mengenai pendidikan khusus dan

pendidikan layanan khusus.

Sedang pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus dilandasi pernyataan

Salamanca Tahun 1994. Pernyataan Salamanca ini merupakan perluasan tujuan Education

Fol All dengan mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk

menggalakkan pendekatan pendidikan inklusif. Melalui pendidikan inklusif ini diharapkan

sekolah–sekolah reguler dapat melayani semua anak, termasuk mereka yang memiliki

kebutuhan pendidikan khusus. Di Indonesia melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan No. 002/U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah penyelenggaraan

pendidikan inklusiff yang melayani Penuntasan Wajib Belajar bagi peserta didik yang

berkebutuhan khusus.

Pendidikan terpadu yang ada pada saat ini diarahkan untuk menuju pendidikan inklusif

sebagai wadah yang ideal yang diharapkan dapat mengakomodasikan pendidikan bagi

semua, terutama anak-anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus selama ini masih

belum terpenuhi haknya untuk memperoleh pendidikan layaknya seperti anak-anak lain.

Sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusif memiliki empat karakteristik makna yaitu:

(1) Pendidikan Inklusif adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-

cara merespon keragaman individu anak, (2) Pendidikan inklusif berarti memperoleh cara-

cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam belajar, (3) Pendidikan inklusif

membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan utuk hadir (di sekolah), berpartisipasi

dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, dan (4) Pendidikan inklusif

diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal, esklusif dan membutuhkan layanan

pendidikan khusus dalam belajar.

iii

Akses pendidikan dengan memperhatikan kriteria yang terkandung dalam makna inklusif

masih sangat sulit dipenuhi. Oleh karena itu kebijakan pemerintah dalam melaksanakan

usaha pemerataan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus baru merupakan

rintisan awal menuju pendidikan inklusif. Sistem pendekatan pendidikan inklusif diharapkan

dapat menjangkau semua anak yang tersebar di seluruh nusantara.

Untuk itu, maka kebijakan Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah,

Departemen Pendidikan Nasional dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar bagi

anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus diakomodasi melalui pendekatan

”Pendidikan Inklusif”. Melalui pendidikan ini, penuntasan Wajib Belajar dapat

diakselerasikan dengan berpedoman pada azas pemerataan serta peningkatan kepedulian

terhadap penanganan anak yang memerlukan layanan pendidikan khusus.

Sebagai embrio, pendidikan terpadu menuju pendidikan inklusif telah tumbuh diberbagai

kalangan masyarakat. Ini berarti bahwa tanggungjawab penuntasan wajib belajar utamanya

bagi anak yang memiliki kebutuhan pendidikan khusus telah menjadi kepedulian dari

berbagai pihak sehingga dapat membantu anak-anak berkebutuhan khusus dalam

mengakses pendidikan melalui ”belajar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang

inklusif”.

Agar dalam pelaksanaan program pendidikan inklusif dapat berjalan sesuai dengan yang

diharapkan, maka Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah melalui

Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa telah menyusun pedoman pendidikan inklusif.

Akhirnya, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu

dalam penyusunan buku pedoman ini dan semoga buku ini dapat bermanfaat serta berguna

bagi semua pihak.

Jakarta, Juni 2007Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar danMenengah

Prof. H. Suyanto, Ph. DNIP. 130606377

iv

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR i

KATA SAMBUTAN iii

DAFTAR ISI V

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

B. Tujuan Penulisan Buku

BAB II PENDIDIKAN INKLUSIFA. Konsep Pendidikan inklusif

B Sejarah Pendidikan Inklusif

C Tujuan

D Landasan

BAB III PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIFA. Peserta Didik

1. Sasaran

2. Identifikasi dan Asesmen

B. Kurikulum

C Tenaga Pendidik dan Kependidikan

D Kegiatan Pembelajaran

E Penilaian dan Sertifikasi

F Sarana dan Prasarana Pendidikan

G Manajemen Sekolah

H Pemberdayaan Masyarakat

BAB IV MEKANISME PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

A Kriteria calon sekolah penyelenggara pendidikan Inklusif

B Alur pengusulan menjadi sekolah inklusif

C Proses Pengusulan

D Pembinaan dan Monitoring

E Pelaporan

DAFTAR PUSTAKA

v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang–

Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat

disimpulkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada

anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang

bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak

pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya (reguler)

dalam pendidikan.

Selama ini, layanan pendidiakn bagi anak berkebutuhan khusus di

Indonesia disediakan melalui tiga macam lemabaga pendidikan yaitu,

Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan

Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua,

menampung anak dengan jenis kelainan yang sama sehingga ada SLB

untuk anak dengan hambatan penglihatan (Tunanetra), SLB untuk anak

dengan hambatan pendengaran (Tunarungu), SLB untuk anak dengan

hambatan berpikir/kecerdasan (Tunagrahita), SLB untuk anak dengan

hambatan (fisik dan motorik (Tunadaksa), SLB untuk anak dengan

hambatan emosi dan perilaku (Tunalaras), dan SLB untuk anak dengan

hambatan majemuk (Tunaganda). Sedangkan SLB menampung berbagai

jenis anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pendidikan terpadu adalah

sekolah reguler yang juga menampung anak berkebutuhan khusus,

dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar

mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak dengan

hambatan penglihatan (tunanetra), itupun perkembangannya kurang

menggembirakan karena banyak sekolah reguler yang keberatan

menerima anak berkebutuhan khusus.

Pada umumnya, lokasi SLB berada di ibu Kota Kabupaten, padahal

anak–anak berkebutuhan khusus tersebar hampir di seluruh daerah

1

(kecamatan/desa), tidak hanya di ibu kota kabupaten. Akibatnya

sebagian dari mereka, terutama yang kemampuan ekonomi orang tuanya

lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi SLB jauh dari rumah,

sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, sekolah tersebut

tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya.

Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di sekolah

terdekat, namun karena ketiadaan guru pembimbing khusus akibatnya

mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah.

Permasalahan diatas dapat berakibat pada kegagalan program wajib

belajar.

Untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan dasar, dipandang perlu

meningkatkan perhatian terhadap anak berkebutuhan khusus, baik yang

telah memasuki sekolah reguler (SD) tetapi belum mendapatkan

pelayanan pendidikan khusus maupun yang belum mengenyam

pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD terdekat atau karena

lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan

pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Pada penjelasan pasal 15

tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus

merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta

didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara

inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan

dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan

bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelaianan berupa

penyelenggaraan pendidikan inklusif. Secara lebih operasional, hal ini

diperkuat dengan peraturan pemerintah tentang Pendidikan Khusus dan

Pendidikan Layanan Khusus.

Pendidikan inklusif, mendidik anak berkebutuhan khusus bersama– sama

anak lainnya (reguler) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Hal ini

dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak

reguler dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan

sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus

2

perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak reguler

untuk mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah (SD) terdekat.

Sudah barang tentu SD terdekat tersebut perlu disiapkan segala

sesuatunya. Pendidikan inklusif diharapkan dapat memecahkan salah

satu persoalan dalam penanganan pendidikan bagi anak berkebutuhan

khusus selama ini. Tidak mungkin membangun SLB di tiap

Kecamatan/Desa sebab memakan biaya yang sangat mahal dan waktu

yang cukup lama.

B. Tujuan Penulisan BukuSetelah membaca buku Pedoman Umum Pendidikan Inklusif ini,

diharapkan pembaca (terutama para pembina dan pelaksana pendidikan

di lapangan) memiliki persepsi yang komprehensif terhadap

penyelenggaraan pendidikan inklusif, yang pada gilirannya dapat

dipergunakan pedoman umum dalam penyelenggaraan pendidikan

inklusif di Indonesia.

3

BAB IIPENDIDIKAN INKLUSIF

A. Konsep Pendidikan Inklusif1. Pengertian

Pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang

mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah

terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (Sapon-

Shevin dalam O’Neil, 1994) Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif

adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama.

Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang,

tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid

maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru,

agar anak-anak berhasil (Stainback,1980)

Berdasarkan batasan tersebut pendidikan inklusif dimaksudkan

sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak

berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di

sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Semangat

penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah memberikan kesempatan

atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk

memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan

individu peserta didik tanpa diskriminasi.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah

melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana

pendidikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan

kebutuhan individu peserta didik. Untuk itu proses identifikasi dan

asesmen yang akurat perlu dilakukan oleh tenaga yang terlatih

dan/atau profesional di bidangnya untuk dapat menyusun program

pendidikan yang sesuai dan obyektif.

2. Pendidikan Segregasi, Pendidikan Terpadu dan Pendidikan Inklusif Pendidikan inklusif hanya merupakan salah satu model

penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Model

4

yang lain diantaranya adalah sekolah segregasi dan pendidikan

terpadu. Perbedaan ketiga model tersebut dapat diringkas sebagai

berikut.

a. Sekolah segregasi

Sekolah segregasi adalah sekolah yang memisahkan anak

berkebutuhan khusus dari sistem persekolahan reguler. Di

Indonesia bentuk sekolah segregasi ini berupa satuan pendidikan

khusus atau Sekolah Luar Biasa sesuai dengan jenis kelainan

peserta didik. Seperti SLB/A (untuk anak tunanetra), SLB/B (untuk

anak tunarungu), SLB/C (untuk anak tunagrahita), SLB/D (untuk

anak tunadaksa), SLB/E (untuk anak tunalaras), dan lain-lain.

Satuan pendidikan khusus (SLB) terdiri atas jenjang TKLB, SDLB,

SMPLB dan SMALB. Sebagai satuan pendidikan khusus, maka

sistem pendidikan yang digunakan terpisah sama sekali dari sistem

pendidikan di sekolah reguler, baik kurikulum, tenaga pendidik dan

kependidikan, sarana prasarana, sampai pada sistem pembelajaran

dan evaluasinya. Kelemahan dari sekolah segregasi ini antara lain

aspek perkembangan emosi dan sosial anak kurang luas karena

lingkungan pergaulan yang terbatas.

b. Sekolah terpadu

Sekolah terpadu adalah sekolah yang memberikan kesempatan

kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti

pendidikan di sekolah reguler tanpa adanya perlakuan khusus yang

disesuaikan dengan kebutuhan individual anak. Sekolah tetap

menggunakan kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan

kependidikan, serta sistem pembelajaran reguler untuk semua

peserta didik. Jika ada peserta didik tertentu mengalami kesulitan

dalam mengikuti pendidikan, maka konsekuensinya peserta didik

itu sendiri yang harus menyesuaikan dengan sistem yang dituntut di

sekolah reguler. Dengan kata lain pendidikan terpadu menuntut

anak yang harus menyesuaikan dengan sistem yang

dipersyaratkan sekolah reguler. Kelemahan dari pendidikan melalui

5

sekolah terpadu ini antara lain, anak berkebutuhan khusus tidak

mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan individual anak.

Sedangkan keuntungannya adalah anak berkebutuhan khusus

dapat bergaul di lingkungan sosial yang luas dan wajar.

c. Sekolah inklusif

Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan

terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan

kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara

optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau

penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga

pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada

sistem penilaiannya. Dengan kata lain pendidikan inklusif

mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan

tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang

menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari

pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa

dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan

kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya

dapat terpenuhi sesuai potensinya masing-masing. Konsekuensi

penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut

melakukaan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap,

sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan

individual tanpa diskriminasi.

3. Implikasi manajerial pendidikan inklusifSekolah umum/reguler yang menerapkan program pendidikan inklusif

akan berimplikasi secara manajerial di sekolah tersebut. Diantaranya

adalah:

a. Sekolah reguler menyediakan kondisi kelas yang

hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai

perbedaan.

6

b. Sekolah reguler harus siap mengelola kelas yang

heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang

bersifat individual.

c. Guru di kelas umum/reguler harus menerapkan

pembelajaran yang interaktif.

d. Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif

dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain

dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.

e. Guru pada sekolah penyelenggara pendidikan inklusif

dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam proses

pendidikan.

4. Pro dan kontra pendidikan inklusif Meskipun pendidikan inklusif telah diakui di seluruh dunia sebagai

salah satu uapaya mempercepat pemenuhan hak pendidikan bagi

setiap anak, namun perkembangan pendidikan inklusif mengalami

kemajuan yang berbeda-beda di setiap negara. Sebagai inovasi baru,

pro dan kontra pendidikan inklusif masih terjadi dengan alasan masing-

masing. Sebagai negara yang ikut dalam berbagai konvensi dunia,

Indonesia harus merespon secara proaktif terhadap kecenderungan

perkembangan pendidikan inklusif. Salah satunya adalah dengan cara

memahami secara kritis tentang pro dan kontra pendidikan inklusif.

a. Pro Pendidikan Inklusif

(1) Belum ada bukti empirik yang kuat bahwa SLB

merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan anak

berkebutuhan khusus.

(2) Beaya penyelenggaraan SLB jauh lebih mahal

dibanding dengan dengan sekolah regular.

(3) Banyak anak berkebutuhan khusus yang tinggal di

daerah-daerah tidak dapat bersekolah di SLB karena jauh

dan/atau biaya yang tidak terjangkau.

(4) SLB (terutama yang berasrama) merupakan

sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan sosial yang

7

nyata. Sedangkan sekolah inklusif lebih ‘menyatukan’ anak

dengan kehidupan nyata.

(5) Banyak bukti di sekolah reguler terdapat anak

berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang

sesuai.

(6) Penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya

labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma

sepanjang hayat. Orangtua tidak mau ke SLB.

(7) Melalui pendidikan inklusif akan terjadi proses

edukasi kepada masyarakat agar menghargai adanya

perbedaan.

b. Kontra Pendidikan Inklusif

(1) Peraturan perundangan memberikan kesempatan

pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus.

(2) Hasil penelitian masih menghendaki berbagai

alternatif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.

(3) Banyak orangtua yang anaknya tidak ingin

bersekolah di sekolah reguler.

(4) Banyak sekolah reguler yang belum siap

menyelenggarakan pendidikan inklusif karena menyangkut

sumberdaya yang terbatas.

(5) Sekolah khusus/SLB dianggap lebih efektif karena

diikuti anak yang sejenis.

c. Pendidikan Inklusif yang Moderat

Jalan keluar untuk mengatasi pro dan kontra tentang pendidikan

inklusif, maka dapat diterapkan pendidikan inklusif yang moderat.

Pendidikan inklusif yang moderat dimaksud adalah:

(1) Pendidikan inklusif yang memadukan antara

terpadu dan Inklusi penuh.

(2) Model moderat dikenal dengan model

‘Meanstreaming’.

8

(3) Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam

prakteknya anak berkebutuhan khusus disediakan berbagai

alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan

kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus fleksibel pindah dari

satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti :

- bentuk kelas reguler penuh

- bentuk kelas reguler dengan cluster

- bentuk kelas reguler dengan ’pull

out’

- bentuk kelas reguler dengan

‘cluster dan pull out’

- bentuk kelas khusus dengan

berbagai pengintegrasian.

- bentuk kelas khusus penuh di

sekolah reguler

B. Sejarah Perkembangan Pendidikan InklusifSejarah perkembangan pendidikan inklusif di dunia pada mulanya

diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia (Denmark,

Norwegia, Swedia). Di Amerika Serikat pada tahun1960-an oleh Presiden

Kennedy mengirimkan pakar-pakar Pendidikan Luar Biasa ke

Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan Least restrictive

environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat.

Selanjutnya di Inggris dalam Ed.Act. 1991 mulai memperkenalkan

adanya konsep pendidikan inklusif dengan ditandai adanya pergeseran

model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke

integratif.

Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusif di dunia semakin nyata

terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada

tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1991 di

Bangkok yang menghasilkan deklarasi ’education for all’. Implikasi dari

statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak

tanpa kecuali (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan

layanana pendidikan secara memadai.

9

Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994

diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang

mencetuskan perlunya pendidikan inklusif yang selanjutnya dikenal

dengan ’the Salamanca statement on inclusive education”.

Sejalan dengan kecenderungan tuntutan perkembangan dunia tentang

pendidikan inklusif, Indonesia pada tahun 2004 menyelenggarakan

konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan

komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusif.

Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada

tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan

menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain

menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusif

sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar

memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak.

Berdasarkan perkembangan sejarah pendidikan inklusif dunia tersebut,

maka Pemerintah Republik Indonesia sejak awal tahun 2000

mengembangkan program pendidikan inklusif. Program ini merupakan

kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah

diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang

berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan

mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan

inklusif.

C. Tujuan Pendidikan InklusifPendidikan inklusif di Indonesia diselenggarakan dengan tujuan:

1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua

anak (termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan

yang layak sesuai dengan kebutuhannya.

2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan

dasar

3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah

dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah

10

4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai

keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap

pembelajaran

5. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps.

32 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak

mendapat pendidikan’, dan ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara

wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib

membiayainya’. UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

khususnya Ps. 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara

mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang

bermutu’. UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Ps.

51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental

diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk

memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

D. Landasan Pendidikan Inklusif1. Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya

dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti ’bhineka

tunggal ika’. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat,

keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang

tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

b. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain

ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2)

kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik

tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum

kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk

saling silaturahmi (‘inklusif’).

11

c. Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan

bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak

pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan.

2. Landasan Yuridisa. UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31: (1) berbunyi ‘Setiap

warga negara berhak mendapat pendidikan. Ayat (2) ’Setiaap

warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah

wajib membiayainya’.

b. UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Ps.

48 ‘Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal

9 (sembilan) tahun untuk semua anak. Ps. 49 ’Negara, Pemerintah,

Keluarga, dan Orangtua wajib memberikan kesempatan yang

seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan’.

c. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Ps. 5 ayat (1) ‘Setiap warga negara mempunyai hak yang

sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu’. Ayat (2):

Warganegara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental,

intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.

Ayat (3) ‘Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta

masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan

layanan khusus’. Ayat (4) ‘Warga negara yang memiliki potensi

kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan

khusus’. Pasal 11 ayat (1) dan (2) ‘Pemerintah dan pemerintah

daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin

terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga

negara tanpa diskriminasi’. ‘Pemerintah dan pemerintah daerah

wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya

pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai

dengan lima belas tahun’. Pasal 12 ayat (1) ‘Setiap peserta didik

pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan

pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya (1.b).

Setiap peserta didik berhak pindah ke program pendidikan pada

jalur dan satuan pendidikan lain yang setara (1.e). Pasal 32 ayat (1)

12

‘Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang

memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran

karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki

potensi kecerdasan dan bakat istimewa’. Ayat (2) ‘Pendidikan

layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah

terpencil atau terbelakang, masyarakat adat terpencil, dan/atau

mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari

segi ekonomi.’ Dalam penjelasan Pasal 15 alinea terakhir

dijelaskan bahwa ‘Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan

pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik

yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara

inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat

pendidikan dasar dan menengah’. Pasal 45 ayat (1) ‘Setiap satuan

pendidikan formal dan non formal menyediakan sarana dan

prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan

pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan

intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik’.

d. Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang

Standar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Standar

Nasional Pendidikan meliputi Standar isi, Standar proses, Standar

kompetensi lulusan, Standar pendidik dan kependidikan, Standar

sarana prasarana, Standar pengelolaan, Standar pembiayaan, dan

Standar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005 tersebut juga

dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas: SDLB,

SMPLB dan SMALB.

e. Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No.

380/C.C6/MN/2003 tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan

Inklusif: menyeelenggarakan dan mengembangkan di setiap

Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri

dari: SD, SMP, SMA, dan SMK.

3. Landasan Empirisa. Deklarasi Hak Asasi Manusia, 1948 (Declaration of Human

Rights),

13

b. Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the

Child),

c. Konferensi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua, 1990

(World Conference on Education for All),

d. Resolusi PBB nomor 48/96 tahun 1993 tentang Persamaan

Kesempatan bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the

equalization of opportunities for persons with disabilities)

e. Pernyataan Salamanca tentang Pendidikan Inklusi, 1994 (The

Salamanca Statement on Inclusive Education),

f. Komitmen Dakar mengenai Pendidikan untuk Semua, 2000

(The Dakar Commitment on Education for All), dan

g. Deklarasi Bandung (2004) dengan komitmen “Indonesia menuju

pendidikan inklusif”,

h. Rekomendasi Bukittinggi (2005), bahwa pendidikan yang inklusif

dan ramah terhadap anak seyogyanya dipandang sebagai:

(1) Sebuah pendekatan terhadap peningkatankualitas sekolah

secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi

nasional untuk ‘pendidikan untuk semua’ adalah benar-benar

untuk semua;

(2) Sebuah cara untuk menjamin bahwa semua anak memperoleh

pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas di dalam

komunitas tempat tinggalnya sebagai bagian dari program-

program untuk perkembangan usia dini anak, pra sekolah,

pendidikan dasar dan menengah, terutama mereka yang pada

saat ini masih belum diberi kesempatan untuk memperoleh

pendidikan di sekolah umum atau masih rentan terhadap

marginalisasi dan eksklusi; dan

(3) Sebuah kontribusi terhadap pengembangan masyarakat yang

menghargai dan menghormati perbedaan individu semua warga

negara.

14

Disamping itu juga menyepakati rekomendasi berikut ini untuk lebih

meningkatkan kualitas sistem pendidikan di Asia dan benua-benua

lainnya:

(1) Inklusi seyogyanya dipandang sebagai sebuah prinsip

fundamental yang mendasari semua kebijakan nasional

(2) Konsep kualitas seyogyanya difokuskan pada perkembangan

nasional, emosi dan fisik, maupun pencapaian akademik lainnya

(3) Sistem asesmen dan evaluasi nasional perlu direvisi agar

sesuai dengan prinsip-prinsip non-diskriminasi dan inklusi serta

konsep kualitas sebagaimana telah disebutkan di atas

(4) Orang dewasa seyogyanya menghargai dan menghormati

semua anak, tanpa memandang perbedaan karakteristik

maupun keadaan individu, serta seharusnya pula

memperhatikan pandangan mereka

(5) Semua kementerian seyogyanya berkoordinasi untuk

mengembangkan strategi bersama menuju inklusi

(6) Demi menjamin pendidikan untuk Semua melalui kerangka

sekolah yang ramah terhadap anak (SRA), maka masalah non-

diskriminasi dan inklusi harus diatasi dari semua dimensi SRA,

dengan upaya bersama yang terkoordinasi antara lembaga-

lembaga pemerintah dan non-pemerintah, donor, masyarakat,

berbagai kelompok local, orang tua, anak maupun sektor swasta

(7) Semua pemerintah dan organisasi internasional serta organisasi

non-pemerintah, seyogyanya berkolaborasi dan berkoordinasi

dalam setiap upaya untuk mencapai keberlangsungan

pengembangan masyarakat inklusif dan lingkungan yang ramah

terhadap pembelajaran bagi semua anak

(8) Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan implikasi sosial

maupun ekonomi bila tidak mendidik semua anak, dan oleh

karena itu dalam Manajemen Sistem Informasi Sekolah harus

mencakup semua anak usia sekolah

15

(9) Program pendidikan pra-jabatan maupun pendidikan dalam

jabatan guru seyogyanya direvisi guna mendukung

pengembangan praktek inklusi sejak pada tingkat usia pra-

sekolah hingga usia-usia di atasnya dengan menekankan pada

pemahaman secara holistik tentang perkembangan dan belajar

anak termasuk pada intervensi dini

(10) Pemerintah (pusat, propinsi, dan local) dan sekolah

seyogyanya membangun dan memelihara dialog dengan

masyarakat, termasuk orang tua, tentang nilai-nilai sistem

pendidikan yang non-diskriminatif dan inklusif

16

BAB IIIPENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

A. Peserta Didik1. Sasaran

Sasaran pendidikan inklusif secara umum adalah semua peserta didik

yang ada di sekolah reguler. Tidak hanya mereka yang sering disebut

sebagai anak berkebutuhan khusus, tetapi juga mereka yang termasuk

anak ‘normal’. Mereka secara keseluruhan harus memahami dan

menerima keanekaragaman dan perbedaan individual. Secara

khusus, sasaran pendidikan inklusif adalah anak berkebutuhan khusus,

baik yang sudah terdaftar di sekolah reguler, maupun yang belum dan

berada di lingkungan sekolah reguler. Untuk itu perlu dilakukan

identifikasi secara khusus agar dapat diberikan program yang sesuai.

2. Identifikasi Anak Berkebutuhan Khususa. Identifikasi

Hakekat

Istilah identifikasi dimaknai sebagai proses penjaringan,

sedangkan assesment dimaknai sebagai penyaringan. Identifikasi

anak dimaksudkan sebagai suatu upaya seseorang (orang tua,

guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk melakukan

proses penjaringan terhadap anak yang mengalami

kelainan/penyimpangan (phisik, intelektual, social,

emosional/tingkah laku) dalam rangka pemberian layanan

pendidikan yang sesuai. Hasil dari identifikasi adalah

ditemukannya anak-anak berkebutuhan khusus yang perlu

mendapatkan layanan pendidikan khusus melalui program inklusi.

17

Tujuan

Identifikasi anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk lima

keperluan,yaitu:

(1) Penjaringan (screning),

(2) Pengalihtanganan (referal),

(3) Klasifikasi,

(4) Perencanaan pembelajaran, dan

(5) Pemantauan kemajuan belajar.

b. Asesmen

Pengertian

Asesmen merupakan proses pengumpulan informasi sebelum

disusun program pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus.

Asesmen ini dimaksudkan untuk memahami keunggulan dan

hambatan belajar siswa, sehingga diharapkan program yang

disusun benar-benar sesuai dengan kebutuhan belajarnya.

Fungsi

Fungsi screening/penyaringan, pada tahap ini asesmen

dilakukan untuk keperluan screening/penyaringan. Screening ini

dilakukan untuk mengidentifikasi siswa yang mungkin mempunyai

problem belajar.

Fungsi pengalihtanganan/referal, adalah sebagai alat untuk

pengalihtanganan kasus dari kasus pendidikan menjadi kasus

kesehatan, kejiwaan ataupun kasus sosial ekonomi. Ada bagian

yang tidak mungkin ditangani oleh guru sendiri, sehingga

memerlukan keterlibatan profesional lain.

Fungsi perencanaan pembelajaran individual (PPI), dengan

berbekal data yang diperoleh dalam kegiatan asesmen, maka akan

tergambar berbagai potensi maupun hambatan yang dialami anak.

18

Misalnya keterbelakangan mental, gangguan motorik, persepsi,

memori, komunikasi, adaptasi sosial.

Fungsi monitoring kemajuan belajar, adalah untuk memonitor

kemajuan belajar yang dicapai siswa.

Fungsi evaluasi program, adalah untuk mengevaluasi program

pembelajaran yang telah dilaksanakan.

Sasaran

(1) Anak berkebutuhan khusus yang sudah bersekolah di Sekolah

Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;

(2) Anak berkebutuhan khusus yang akan masuk ke Sekolah

Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;

(3) Anak berkebutuhan khusus yang belum/tidak bersekolah

(4) Anak berkebutuhan khusus yang akan mengikuti program

pendidikan non formal atau informal.

B. Kurikulum1. Jenis Kurikulum

Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif

pada dasarnya menggunakan kurikulum reguler yang berlaku di

sekolah umum. Namun demikian karena ragam hambatan yang

dialami peserta didik berkebutuhan khusus sangat bervariasi, mulai

dari yang sifatnya ringan, sedang sampai yang berat, maka dalam

implementasinya, kurikulum reguler perlu dilakukan modifikasi

(penyelarasan) sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan

peserta didik.

Modifikasi (penyelarasan) kurikulum dilakukan oleh tim pengembang

kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari:

kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan

khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait.

19

2. Tujuan Pengembangan Kurikuluma. Membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dan

mengatasi hambatan belajar yang dialami siswa semaksimal

mungkin dalam setting inklusi.

b. Membantu guru dan orangtua dalam mengembangkan program

pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus baik yang

diselenggarakan di sekolah, di luar sekolah maupun di rumah.

c. Menjadi pedoman bagi sekolah, dan masyarakat dalam

mengembangkan, menilai dan menyempurnakan program

pendidikan inklusif.

3. Model Pengembangan Kurikuluma. Model kurikulum reguler

Pada model kurikulum ini peserta didik yang berkebutuhan khusus

mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di

dalam kelas yang sama. Program layanan khususnya lebih

diarahkan kepada proses pembimbingan belajar, motivasi dan

ketekunan belajarnya.

b. Model kurikulum reguler dengan modifikasi

Pada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategiPada model kurikulum ini guru melakukan modifikasi pada strategi

pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahanpembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan

lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa (anaklainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan siswa (anak

berkebutuhan khusus). Di dalam model ini bisa terdapat siswaberkebutuhan khusus). Di dalam model ini bisa terdapat siswa

berkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaranberkebutuhan khusus yang memiliki program pembelajaran

berdasarkan kurikulum reguler dan program pembelajaranberdasarkan kurikulum reguler dan program pembelajaran

individual (PPI). Misal seorang siswa berkebutuhan khusus yangindividual (PPI). Misal seorang siswa berkebutuhan khusus yang

mengikuti 3 mata pelajaran berdasarkan kurikulum regulermengikuti 3 mata pelajaran berdasarkan kurikulum reguler

sedangkan mata pelajaran lainnya berdasarkan PPI.sedangkan mata pelajaran lainnya berdasarkan PPI.

c. Model kurikulum PPI

Pada model kurikulum ini guru mempersiapkan program pendidikanPada model kurikulum ini guru mempersiapkan program pendidikan

individual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembangindividual (PPI) yang dikembangkan bersama tim pengembang

yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepalayang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala

sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.

20

Model ini diperuntukan pada siswa yang mempunyai hambatanModel ini diperuntukan pada siswa yang mempunyai hambatan

belajar yang tidak memungkinkan untuk mengikuti proses belajarbelajar yang tidak memungkinkan untuk mengikuti proses belajar

berdasarkan kurikulum reguler. Siswa berkebutuhan khusus sepertiberdasarkan kurikulum reguler. Siswa berkebutuhan khusus seperti

ini dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan menggunakanini dapat dikembangkan potensi belajarnya dengan menggunakan

PPI dalam setiing kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikutiPPI dalam setiing kelas reguler, sehingga mereka bisa mengikuti

proses belajar sesuai dengan fase perkembangan danproses belajar sesuai dengan fase perkembangan dan

kebutuhannya. kebutuhannya.

Penjelasan dan model PPI secara lebih lengkap dapat dilihat padaPenjelasan dan model PPI secara lebih lengkap dapat dilihat pada

Buku Pedoman Pengembangan PPI.Buku Pedoman Pengembangan PPI.

C. Tenaga Pendidik 1. Pengertian

Tenaga pendidik adalah pendidik profesional yang mempunyai tugas

utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,

meninlai, dan mengevaluasi peserta didik pada satuan pendidikan

tertentu yang melaksanakan program pendidikan inklusif. Tenaga

pendidik meliputi: guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama

serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan guru pendidikan

khusus (GPK).

2. Tugasa. Tugas Guru Kelas antara lain sebagai berikut:

(1) Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-

anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.

(2) Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak

untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya

(3) Menyusun program pembelajaran individual (PPI)

bersama-sama dengan guru pendidikan khusus (GPK).

(4) Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan

mengadakan penilaian untuk semua mata pelajaran (kecuali

Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan )

yang menjadi tanggung jawabnya.

21

(5) Memberikan program remedi pengajaran (remedial

teaching), pengayaan/percepatan bagi peserta didik yang

membutuhkan.

(6) Melaksanakan administrasi kelas sesuai dengan bidang

tugasnya.

b. Tugas guru mata pelajaran antara lain sebagai berikut:

(1) Menciptakan iklim belajar yang kondusif sehingga anak-

anak merasa nyaman belajar di kelas/sekolah.

(2) Menyusun dan melaksanakan asesmen pada semua anak

untuk mengetahui kemampuan dan kebutuhannya

(3) Menyusun program pembelajaran individual (PPI)

bersama-sama dengan guru pembimbing khusus (GPK).

(4) Melaksanakan kegiatan belajar-mengajar dan

mengadakan penilaian kegiatan belajar mengajar untuk mata

pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya.

(5) Memberikan program Perbaikan (remedial teaching),

pengayaan/percepatan bagi peserta didik yang membutuhkan.

c. Tugas Guru Pendidikan Khusus antara lain sebagai berikut

(1) Menyusun instrumen asesmen pendidikan bersama-sama

dengan guru kelas dan guru mata pelajaran

(2) Membangun system koordinasi antara guru, pihak sekolah

dan orang tua peserta didik.

(3) Melaksanakan pendampingan anak berkebutuhan khusus

pada kegiatan pembelajaran bersama-sama dengan guru

kelas/guru mata pelajaran/guru bidang studi.

(4) Memberikan bantuan layanan khusus bagi anak-anak

berkebutuhan khusus yang mengalami hambatan dalam

mengikuti kegiatan pembelajaran di kelas umum, berupa remidi

ataupun pengayaan.

(5) Memberikan bimbingan secara berkesinambungan dan

membuat catatan khusus kepada anak-anak berkebutuhan

22

khusus selama mengikuti kegiatan pembelajaran, yang dapat

dipahami jika terjadi pergantian guru.

(6) Memberikan bantuan (berbagi pengalaman) pada guru

kelas dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat

memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak

berkebutuhan khusus.

3. KedudukanGuru berkedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang

pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan pada usia dini

pada jalur pendidikan formal yang dibuktikan dengan sertifikat

pendidik. Kedudukan untuk masing-masing guru secara rinci meliputi:

a. Guru Kelas berkedudukan di sekolah dasar yang di tetapkan

berdasarkan kualifikasi sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan oleh sekolah.

b. Guru mata pelajaran/bidang studi adalah guru yang mengajar

mata pelajaran tertetu sesuai kualifikasi yang dipersyaratkan di

sekolah.

c. Guru Pendidikan Khusus berkedudukan sebagai guru pendamping

khusus. Secara administrasi status kepegawaian, ada beberapa

alternatif yang memungkinkan.

D. Kegiatan Pembelajaran1. Perencanaan

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam merancang kegiatan

pembelajaran pada kelas inklusif antara lain seperti di bawah ini.

a. Merencanakan pengelolaan kelas

b. Merencanakan pengorganisasian bahan

c. Merencanakan strategi pendekatan kegiatan belajar mengajar

d. Merencanakan prosedur kegiatan belajar mengajar

e. Merencanakan penggunaan sumber dan media belajar

f. Merencanakan penilaian

2. Pelaksanaan a. Melaksanakan apersepsi

23

b. Menyajikan materi/bahan pelajaran

c. Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan

latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik

siswa, serta sesuai dengan tujuan pembelajaran

d. Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif

e. Mendemontrasikan penguasaan materi pelajaran dan

relevansinya dalam kehidupan

f. Membina hubungan antar pribadi, antara lain: (1) Bersikap

terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa; (2) Menampilkan

kegairahan dan kesungguhan; (3) Mengelola interaksi antar

pribadi.

2. Prinsip-Prinsip Pembelajarana. Prinsip motivasi

Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar

tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam mengikuti

kegiatan belajar-mengajar.

b. Prinsip latar/konteks

Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan

contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan

sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-

pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu

bagi anak.

c. Prinsip keterarahan

Setiap akan melakukan kegiatan pembalajaran, guru harus

merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang

sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat

d. Prinsip hubungan sosial

Dalam kegiatan belajar-mengajar, guru perlu mengembangkan

strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi

antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa

dan lingkungan, serta interaksi banyak arah.

e. Prinsip belajar sambil bekerja

24

Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi

kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau

percobaan, atau menemukan sesuatu melalui pengamatan,

penelitian, dan sebagainya.

f. Prinsip individulisasi

Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap

anak secara mendalam, baik dari seagi kemampuan maupun

ketidakmampuannya dalam menyerap materi pelajaran, kecepatan

maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga

setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat

perhatian dan perlakuan yang sesuai.

g. Prinsip menemukan

Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu

memancing anak untuk terlibat seacara aktif, baik fisik, mental,

sosial, dan atau emosional.

h. Prinsip pemecahan masalah

Guru hendaknya sering mengajukan berbagai persoalan/problem

yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk

merumuskan, mencari data, menganalisis, dan memecahkannya

seasuai dengan kemampuannnya.

E. Penilaian dan Sertifikasi1. Penilaian

Penilaian dalam setting inklusif ini mengacu pada model

pengembangan kurikulum yang dipergunakan, yaitu:

a. Apabila menggunakan model kurikulum reguler penuh, maka

penilaiannya menggunakan sistem penilaian yang berlaku pada

sekolah reguler.

b. Jika menggunakan model kurikulum reguler dengan modifikasi,

maka penilaiannya menggunakan sistem penilaian reguler yang

telah dimodifikasi sekolah disesuaikan dengan tingkat

perkembangan dan kebutuhan siswa.

c. Apabila menggunakan kurikulum PPI, maka penilaiannya bersifat

individu dan didasarkan pada kemampuan dasar (base line).

25

2. Sistem Kenaikan Kelas dan Laporan Hasil Belajara. Sistem Kenaikan kelas

(1) Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler

penuh, sistem kenaikan kelasnya menggunakan acuan yang

berlaku pada sekolah reguler penuh yang sedang berlaku.

(2) Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum reguler yang

dimodifikasi, maka sistem kenaikan kelasnya dapat

menggunakan alternatif berikut: (1) menggunakan model

kenaikan kelas yang didasarkan pada usia kronologis; (2)

menggunakan sistem kenaikan kelas reguler.

(3) Bagi siswa yang menggunakan model kurikulum PPI, sistem

kenaikannya didasarkan pada usia kronologis.

b. Sistem Laporan Hasil Belajar

(1) Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler penuh, maka

model laporan hasil belajarnya (raport) menggunakan model

raport reguler yang sedang berlaku.

(2) Bagi siswa yang menggunakan kurikulum reguler yang

dimodifikasi, model raport yang dipergunakan adalah raport

reguler yang dilengkapi dengan diskripsi (narasi) yang

menggambarkan kualitas kemajuan belajarnya.

(3) Bagi siswa yang menggunakan kurikulum PPI, maka

menggunakan model raport kuantitatif yang dilengkapi dengan

diskripsi (narasi). Penentuan nilai kuantitatif didasarkan pada

kemampuan dasar (base line anak).

3. SertifikasiSertifikasi adalah suatu bentuk penghargaan yang berupa surat

keterangan yang diberikan kepada siswa yang telah berhasil mencapai

prestasi dalam bidang akademik maupun non akademik. Sertifikasi

bidang akademik adalah suatu bentuk penghargaan yang diberikan

kepada siswa yang telah berhasil mencapai kompetensi pembelajaran

pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan standar penilaian yang

berlaku. Sedangkan sertifikasi non akademik adalah suatu bentuk

26

penghargaan yang diberikan kepada siswa yang telah mampu

mencapai prestasi tertentu, seperti bidang, seni, budaya, olah raga,

mekanik, otomotif, dan jenis keterampilan lainnya.

F. Sarana dan Prasarana PendidikanSarana dan prasarana pendidikan inklusif adalah perangkat keras maupun

perangkat lunak yang dipergunakan untuk menunjang keberhasilan

pelaksanaan pendidikan inklusif pada satuan pendidikan tertentu.

Pada hakekatnya semua sarana dan prasarana pendidikan pada satuan

pendidikan tertentu itu dapat dipergunakan dalam penyelenggaraan

pendidikan inklusi, tetapi untuk mengoptimalkan proses pembelajaran

perlu dilengkapi asesibilitas bagi kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan

khusus, serta media pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak

berkebutuhan khusus.

G. Manajemen Sekolah1. Konsep Manajemen

Istilah manajemen sekolah acapkali disandingkan dengan istilah

administrasi sekolah. Berkaitan dengan itu, terdapat tiga pandangan

berbeda. Pertama, mengartikan administrasi lebih luas dari pada

manajemen (manajemen merupakan inti dari administrasi) kedua

melihat manajemen lebih luas daripada administrasi (administrasi

merupakan inti dari manajemen) dan ketiga yang menganggap bahwa

manajemen identik dengan administrasi.

Dalam buku ini, istilah manajemen diartikan sama dengan istilah

administrasi atau pengelolaan, yaitu segala usaha bersama untuk

mendayagunakan sumber-sumber, baik personal maupun material,

secara efektif dan efisien guna menunjang tercapainya tujuan

pendidikan di sekolah secara optimal.

2. FungsiFungsi manajemen pendidikan inklusif meliputi:

a. Perencanaan (Planning)

27

b. Pengorganisasian (organizing)

c. Pengarahan (directing)

d. Pengkoordinasian (coordinating)

e. Pengawasan (controlling), dan

f. Penilaian (evaluation)

3. Ruang LingkupManajemen sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, memberikan

kewenangan penuh kepada pihak sekolah untuk merencanakan,

mengorganisasikan, mengarahkan, mengkoordinasikan, mengawasi,

dan mengevaluasi komponen-komponen pendidikan inklusif yang

bersangkutan.

Komponen- komponen tersebut meliputi:

a. Manajemen kesiswaan

b. Manajemen kurikulum

c. Manajemen pembelajaran

d. Manajemen penilaian

e. Manajemen ketenagaan

f. Manajemen sarana-prasarana

g. Manajemen pembiayaan

h. Manajemen sumberdaya lingkungan

4. Penghargaan dan sanksia. Penghargaan

Kepada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif

yang berprestasi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif

diberikan penghargaan. Penghargaan dimaksudkan untuk

menjaga dan meningkatkan mutu layanan pendidikan.

Penghargaan dapat berupa simbul, seperti sertifikat, piagam, dan

dapat pula dalam bentuk lain, seperti promosi, dana pembinaan,

pelatihan, maupun dalam bentuk lain yang relevan.

b. Sanksi

Kepada satuan pendidikan tertentu yang telah memperoleh surat

penetapan sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dari

28

Dinas Pendidikan Propinsi, apabila dinilai lalai dalam

melaksanakan kewajibannya dapat dikenakan sanksi. Berat

ringannya sanksi disesuaikan dengan tingkat kelalaiannya. Jenis-

jenis sanksi yang diberikan dapat berupa, teguran, peringatan tertulis, maupun dalam bentuk pembatalan surat ketetapan sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.

H. Pemberdayaan Masyarakat Pada hakekatnya pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara

sekolah, masyarakat dan pemerintah. Oleh sebab itu para pembina dan

pelaksana pendidikan di lapangan diharapkan mampu memberdayakan

masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif secara optimal.

Partisipasi dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan

inklusif antara lain dalam: (1) perencanaan; (2) penyediaan tenaga

ahli/profesional terkait; (3) pengambilan keputusan; (4) pelaksanaan

pembelajaran dan evaluasi; (5) pendanaan; (6) pengawasan; dan (7)

penyaluran lulusan.

Untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan

inklusi dapat diakomodasikan melalui Wadah: (1) Komite sekolah, (2)

dewan pendidikan; (3) forum-forum pemerhati pendidikan inklusif.

29

BAB IVMEKANISME PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

A. Kriteria calon sekolah penyelenggara pendidikan Inklusifa. Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan

inklusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik, dan orang

tua)

b. Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah

c. Tersedia guru pendidikan khusus (GPK) dari PLB (guru tetap sekolah

atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain)

d. Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar

e. Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan

f. Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak

g. Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan

inklusif

h. Sekolah tersebut telah terakreditasi

i. Memenuhi prosedur administrasi yang ditentukan

B. Mekanisme PenyelenggaraanUntuk keperluan administrasi dan pembinaan, serta kelancaran dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif, perlu mengikuti prosedur sebagai

berikut :

a. Sekolah yang akan menerima anak berkebutuhan khusus

mengajukan proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif

kepada Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota. Sedangkan sekolah

yang telah memiliki peserta didik berkebutuhan khusus

melaporkan penyelenggaraan pendidikan inklusif kepada Dinas

Pendidikan Kabupaten/Kota.

b. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota menindaklanjuti

proposal/laporan dari sekolah yang bersangkutan kepada Dinas

Pendidikan Provinsi.

c. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dan Dinas

Pendidikan Provinsi melakukan visitasi ke sekolah yang

bersangkutan.

30

d. Dinas Pendidikan Provinsi menetapkan sekolah yang

bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif dengan

menerbitkan surat penetapannya, dengan tembusan kepada

Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, dan Direktorat Pembinaan

Sekolah Luar Biasa.

Mekanisme Penetapan Sekolah Inklusif

SEKOLAH(SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK)

DINAS PENDIDIKANKABUPATEN/KOTA

DINAS PENDIDIKAN PROVINSI

31

D. Pembinaan dan Monitoring

1. Pembinaan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Agar penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat berjalan dengan baik

sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka perlu dilakukan

pembinaan oleh yang berwenang.

Yang berwenang melakukan pembinaan adalah Dinas Pendidikan

Propinsi dan atau Kabupaten/Kota sesuai dengan mekanisme masing-

masing daerah. Secara teknis operasional pembinaan sekolah inklusif

dilakukan oleh Pengawas Sekolah masing-masing daerah.

Pembinaan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat dilakukan

secara berkala maupun insidental sesuai kebutuhan.

2. MonitoringKegiatan monitoring dimaksudkan untuk mengawal keterlaksanaan

penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Hasil monitoring

dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan mutu

layanan pendidikan inklusif. Materi monitoring meliputi aspek,

manajemen, proses pendidikan, dan pengembangan sekolah. Kegiatan

monitoring dilaksanakan secara berkala, minimal satu kali dalam satu

tahun.

Monitoring dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar

Biasa, Dinas Pendidikan Daerah Tingkat I dan atau Dinas Pendidikan

Daerah Tingkat II/Kota. Dalam menjalankan monitoring Direktorat

Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dinas Pendidikan Propinsi dan/atau

Kabupaten/Kota dapat bekerjasama dengan LPTK PLB yang ada.

.

3. PelaporanSetiap penyelenggara pendidikan inklusif diwajibkan membuat laporan

tertulis tahunan kepada atasan langsung yang tembusannya dikirimkan

kepada Direktorat Pembinaan sekolah Luar Biasa.

Laporan tertulis tahunan sekurang-kurangnya memuat tentang: (a)

peserta didik; (2) kurikulum yang digunakan; (3) sarana prasarana; (4)

32

tenaga pendidik dan kependidikan; (5) proses pembelajaran; (6) hasil

evaluasi, serta permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Setiap sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dapat

mengembangkan format laporan sesuai dengan ketentuan yang

berlaku pada lingkungan lembaga setempat.

33

DAFTAR PUSTAKA

Ashman,A.& Elkins,J.(194). Educating Children With Special Needs. New York:Prentice Hall.

Baker,E.T.(1994). Metaanalysis evidence for non-inclusive Educational practices.Disertasi, Temple University.

Baker,E.T.,Wang,M.C.& Walberg,H.J.(194/1995). The effects Of inclusion on learning. Educational Leadership. 52(4) 33-35.

Carlberg,C & Kavale,K (The efficacy of special class vs regular Class placement for exceptional children: a metaanalysis.The Journal of Special Education.14,295-305

Colley, Helen (2003) Mentoring for Social Inclusion,Kondon : Routledge Falmer

Fish,J (1985). Educational Opportunities for All. London: InnerLondon Education Authority.

Johnsen, Berit H dan Miriam D. Skjorten (2003) Pendidikan Kebutuhan Khusus; Sebuah Pengantar, Bandung : Unipub

Mulyono Abdulrahman (2003). Landasan Pendidikan Inklusif Dan Implikasinya dalam penyelenggaraan LPTK.Makalah disajikan dalam pelatihan penulisan buku ajar Bagi Dosen jurusan PLB yang diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Yogyakarta, 26 Agustus 2002.

O’Neil,j.(1994/1995).Can inclusion work? A ConversationWith James Kauffman and Mara Sapon-Shevin.Educational Leadership.52(4)7-11

Slee, Roger (2003), Inclusive Education,(International Jurnal vol. 7 no. 1)

Skidmare, David (2004) Inclusion the Dynamic of School DevelopmentNew York : Open University Press

Stainback,W. & Sianback,S.(1990). Support Networks for Inclusive Schooling:Independent Integrated Education.Baltimore: Paul H.Brooks.

Staub,D. & Peck,C.A.(1994/195). What are the outcomes for Nondisabled students? Educational Leadership.52 (4) 36-40.

Topping, Keith and Sheelagh Maloney (2005), The Routledge Falmer Reader In Inclusive Education

34

New York : Routledge Falmer

Undang – Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

UNESCO (1994). The Salamanca Statement and Framework For Action on Special Needs Education. PARIS:Author.

Vaughn,S., Bos,C.S.& Schumn,J.S.(2000). Teaching Exceptional, Diverse, and at Risk Student in the General Educational Classroom,Boston:Allyn Bacon.

Warnock,H.M.(1978). Special Educational Needs:Report of The committee of Enquiry into the Education of Handicapped Young People. London: Her Majesty’sStationary Office.

35