PBL+BLOK+12
description
Transcript of PBL+BLOK+12
Mengenal Penyakit Demam Tifoid
Andreas Esa
NIM :102010298/ D6
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no. 6 Jakarta Barat
Alamat Korespondensi: [email protected]
Pendahuluan
Demam tifoid masih merupakan penyakit endemic di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit
menular yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok
penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Demam tifoid ini sendiri disebabkan oleh suatu
bakteri golongan Salmonella, terutama Salmonella thypii. Transmisi penyakit ini terutama
melalui perncernaan makanan yang mengandung bakteri Salmonella Thypii. Rendahnya tingkat
higienitas akan meningkatkan prevalensi dari demam tifoid. Adapun demam paratifoid yang
disebabkan oleh S. parathypii. Demam ini memiliki gejala klinis yang sama dengan demam
tifoid, namun biasanya lebih ringan dibandingkan demam tifoid. Perlu dilakukan cuci tangan
sebelum makan untuk mencegah transmisi dari pathogen tifoid. Sementara demam tifoid itu
sendiri memiliki ciri demam yang khas, yaitu demam 7 hari. Maka karena itu, perlu dipelajari
dan dimengerti apa penyebab, bagaimana terjadinya, penyebaran, ramalan, gejala-gejala klinis
serta penatalaksanaan pengobatan demam tifoid. 1-2
Anamnesis
Dari kasus yang yang ada, pasien datang dengan keluhan demam selama 7 hari. Demam terjadi
sepanjang hari dan meninggi pada sore hingga malam hari. Demam disertai dengan nyeri kepala,
nyeri ulu hati, mual, dan muntah. Pasien mengatakan belum BAB sejak 5 hari. Hal-hal tersebut
sesuai dengan gejala demam tifoid. Namun untuk memastikan lebih baik lagi, anamnesis harus
ditunjang dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
1
Pemeriksaan Fisik
Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat
bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimtomatik hingga gambaran penyakit yang
khas disertai komplikasi hingga kematian.
Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan dengan gejala serupa dengan penyakit
infeksi akut pada umumnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual,
muntah, obstipasi, atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epiktaksis. Pada
pemeriksaan fisik hanya di dapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala
menjadi lebih jelas berupa demam, bardikardia relative (bradikardia relative adalah peningkatan
suhu 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput (kotor di
tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan
mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. Roseolae jarang ditemukan pada
orang Indonesia.2
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leucopenia, dapat pula
terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai
infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada
pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap
darah pada demam tifoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan
kembali menjadi normal setelah sembuh. 2
Uji Widal
Uji widal dilakukan untuk deteksi antibody terhadap kuman S. typhi . pada uji widal terjadi suatu
reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibody yang disebut agglutinin.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan
diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya agglutinin dalam
2
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu : agglutinin O (dari tubuh kuman), agglutinin H
(flagella kuman), dan agglutinin Vi (simpai kuman).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji widal yaitu :
1. pengobatan dini dengan antibiotic
2. gangguan pembentukan antibody dan pemberian kortikosteroid
3. waktu pengambilan darah
4. daerah endemic dan non endemic
5. riwayat vaksinasi
6. reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer agglutinin pada infeksi bukan demam tifoid
akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
7. faktor teknik pemeriksaan antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain
Salmonella yang digunakan untuk suspense antigen.
Uji TUBEX®
Uji TUBEX® merupakan uji semi kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan
mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibody anti-S. typhi O9 pada serum pasien, dengan
cara meghambat ikatan antara IgM anti-O9 yang terkonjugasi pada partikel magnetic latex. Hasil
positif uji Tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonella serogroup D walau tidak secara
spesifik menunjuk pada S.typhi. Infeksi oleh S. Paratyphi akan memberikan hasil negative.2
Patogenesis
Infeksi berasal dari penderita atau seorang yang secara klinik tampak sehat tetapi yang
mengandung kuman yang keluar bersama faecesnya atau bersama urine (carrier). Kuman-kuman
ini mengkontaminasi makanan, minuman dan tangan. Lalat merupakan penyebar kuman typhus
penting, karena dari tempat kotor ia dapat mengotori makanan. Infeksi selalu terjadi pada saluran
pencernaan. Porte d’entrée ialah jaringan limfoid usus halus. Dari usus kuman-kuman menuju ke
kelenjar getah bening mesenterium, disini mereka berproliferasi lalu menuju ke ductus thoracicus
dan masuk ke dalam peredaran darah. Banyak kuman musnah, endotoksinnya keluar
menyebabkan gejala-gejala penyakit.
Reaksi Radang : terdiri atas sel mononukleus besar yang dapat memfagositosis secara aktif
hingga di dalamnya dapat ditemukan limfosit dan eritrosit (eritrofagositosis). Sel-sel ini sering
3
disebut sel-sel typhus. Sumsum tulang penuh sel typhus, sehingga menyebabkan berkurangnya
sel polinukleus dan menghilangnya eosinofil. 3
Diagnosis Banding
Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik barat, dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vector nyamuk genus Aedes (terutama A.aegypti
dan A.albopictus). Peningkatan kasus tiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan
tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak
mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi biakan virus dengue yaitu :
Vektor : perkembangbiakan vector, kebiasaan menggigit, kepadatan vector di lingkungan,
transportasi vector dari satu tempat ke tempat yang lain.
Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia, dan jenis kelamin.
Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi, dan kepadatan penduduk.4
Malaria
Penyebab infeksi malaria adalah plasmodium, yang selain menginfeksi manusia juga
menginfeksi binatang seperti golongan burung, reptile, dan mamalia. Termasuk genus
plasmodium dari family plasmodidae.
Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit dan mengalami pembiakan aseksual di
jaringan hati dan di eritrosit. Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk yakni anopheles
betina. Secara keseluruhan ada lebih dari 100 plasmodium yang menginfeksi binatang (82 jenis
pada burung dan reptile dan 22 pada binatang primate).
4
Plasmodium malaria yang sering dijumpai ialah plasmodium vivax yang menyebabkan malaria
tertiana (Benign malaria) dan plasmodium falciparum yang menyebabkan malaria tropika
(Malignan malaria). Plasmodium malariae pernah juga dijumpai pada kasus tetapi sangat jarang.
Plasmodium ovale pernah dilaporkan dijumpai d Irian Jaya, pulau Timor, dan pulau Owi (utara
Irian Jaya). 4
Terapi
Pengobatan yang dilakukan terhadap penderita demam tifoid yakni dengan pemberian
Antimikroba. Antimikroba (AM) ialah obat pembasmi mikroba, khususnya mikroba yang
merugikan manusia. Dalam pembicaraan di sini, yang dimaksudkan dengan mikroba terbatas
pada jasad renik yang tidak termasuk kelompok parasit.
Mekanisme kerja antimikroba yakni dengan pemusnahan mikroba dengan antimikroba yang
bersifat bakteriostatik masih tergantung dari kesanggupan reaksi daya tahan tubuh hospes.
Peranan lamanya kontak antara mikroba dengan antimikroba dalam kadar efektif juga sangat
menentukan untuk mendapatkan efek; khususnya pada tuberkulostatik.
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba dibagi dalam 5 kelompok :
1. yang mengganggu metabolism sel mikroba, misalnya : sulfonamide, trimetoprim, asam p-
aminosalisilat (PAS), dan sulfon.
2. yang menghambat sintesis dinding sel mikroba, misalnya : penisilin, sefalosporin,
basitrasin, vankomisin, dan sikloserin.
3. yang mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba, misalnya : pilimikson, golongan
polien, serta berbagai antimikroba kemotrapeutik, umpamanya antiseptic surface active
agents.
4. yang menghambat sintesis protein sel mikroba, misalnya : obat golongan aminoglikosid,
makrolid, linkomisin, tetrasiklin, dan kloramfenikol.
5
5. yang menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba, misalnya : rifampisin,
dan golongan kuinolon.
Berikut adalah antimokroba yang diberikan untuk penderita demam tifoid :
a) Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama mengobati demam
tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral
atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat
suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam
rata-rata7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam dapat terjadi setelah hari
ke 5.3
b) Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol,
akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkina terjadinya anemia plastic lebih
rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg, demam
rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.3
c) Kotrimoksazole
Trimetoprim dan sulfametoksazol menghambat reaksi enzimatik obligat pada dua tahap
yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi.
Penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan penting dalam usaha
meningkatkan efektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama
kotrimoksazol.
Aktivitas antibakteri kotrimoksazol berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap yang
berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat
penting untuk reaksi-reaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin
(adenine,guanine, dan timidin) dan beberapa asam amino (metionin, glisin). Sel-sel
mammalia menggunakan folat jadi yang teradapat dalam makanan dan tidak mensintesis
senyawa tersebut. Trimetoprim menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara
sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia. 5
6
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa adalah 2 x2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg
trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.3
Efek Samping
Pada dosis yang dianjurkan tidak terbukti bahwa kotrimoksazol menimbulkan defisiensi
folat pada orang normal. Namun batas antara toksisitas untuk bakteri dan untuk manusia
relative sempit bila sel tubuh mengalami defisiensi folat. Dalam keadaan demikian obat
ini mungkin menimbulkan megaloblastosis, leucopenia, atau trombositopenia. Kira-kira
75% efek samping trejadi pada kulit, berupa reaksi yang khas ditimbulkan oleh
sulfonamide. Dermatitis eksfoliatif, sindrom Stevens-Johnson, dan toxic epidermal
necrolisis jarang terjadi. Gejala-gejala saluran cerna terutama berupa mual dan muntah;
diare jarang terjadi. Glositis dan stomatitis relative sering. Ikterus terutama terjadi pada
pasien yang sebelumnya telah mengalami hepatis koletatik alergik. Reaksi susunan saraf
pusat berupa sakit kepala, depresi, halusinasi, disebabkan oleh sulfonamide. Reaksi
hematologic lainnya ialah berbagai macam anemia (aplastik, hemolitik, dan makrositik),
gangguan kaogulasi, granulositopenia, agranulositosis, purpura, pupura Henoch-
Schonlein dan sulfhemoglobinemia. 5
d) Ampisilin
Untuk pemberian oral tersedia dalam bentuk tablet atau kapsul sebagai ampisilin trihidrat
atau ampisilin anhidrat 125 mg, 250mg, 500 mg, dan 1000 mg sedangkan untuk bubuk
suspense sirup mengandung 125 mg atau 500 mg/5 mL. Selain itu ampisilin tersedia juga
untuk suntikan 0,1 ; 0,25; 0,5 dan 1 gr per vial. Dosis ampisilin tergantung dari beratnya
penyakit, fungsi ginjal dan umur pasien. 5
e) Amoksisilin
Tersedia sebagai kapsul atau tablet berukuran 125, 250, dan 500 mg dan sirup 125 mg/5
mL. Dosis sehari dapat diberikan lebih kecil daripada ampisilin karena absorpsinya lebih
baik daripada ampisilin, yaitu 3 kali 250-500 mg sehari.5
Kemampuan obat ini (ampisilin dan amoksisilin) untuk menurunkan demam lebih rendah
dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kg
BB dan digunakan selama 2 minggu. 3
7
f) Sefalosporin golongan ke III
Golongan ini umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama terhadap
kokus Gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain
penghasil penisilinase. Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap P. aeruginosa.5
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang terbukti efektif untuk demam
tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc
diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.3
g) Golongan fluorokuinolon
Golongan ini bahan sediaan dan aturan pemberiannya :
Norflokasasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
Siproflokasasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
Perfloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin dosis 400mg/hari selama 7 hari
h) Azitromisin
Tinjauan yang dilakukan oleh Eva EW dan Bukirwa H pada tahun 2008 terhadap 7
penelitian yang membandingkan penggunaan azitromisin (dosis 2x500 mg) menunjukkan
bahwa penggunaan obat ini jika dibandingkan dengan flurokinolon, azitromisin secara
signifikan mengurangi kegagalan klinis dan durasi rawat inap, terutama jika penelitian
mengikutsertakan pula strain MDR (multi drag resistance) maupun NARST (Nalidixic
Acid Resistant S.Typhi).2,5
Tirah baring dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring
dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi dan buang air besar akan
membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga
kebersihan tempat tidur, pakaian dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi
untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu
diperhatikan dan dijaga
Diet : Dimasa lampau penderita demam tifoid diberi bubur saring, kemudian ditingkatkan
menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan
8
dengan tingkat kesembuhan pasien. Saat ini beberapa peneliti menunjukan bahwa pemberian
makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran
yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid. 2
Komplikasi
Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan
berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam
tifoid yaitu :
KOMPLIKASI INTESTINAL
Perdarahan usus
Perforasi usus
Ileus paralitik
Pancreatitis
KOMPLIKASI EKSTRA-INTESTINAL
Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis.
Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis.
Komplikasi paru : pneumonia, empisema, pleuritis.
Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolestitis.
Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.
Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis.
Komplikasi neuropsikiatrik / tifoid toksik.2
Kesimpulan
Tifoid merupakan demam yang berlangsung selama 7 hari. Penyebabnya adalah Salmonella
thypii yang merupakan indikasi dari lingkungan yang kurang bersih. Komplikasi dari tifoid dapat
menimbulkan kematian. Sementara tifoid masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia
Daftar pustaka
9
1) Jawetz A, Melnick JL, Aldeberg EA. Medical Microbiology. Singapore: McGraw-Hill
Company; 2004
2) Sudoyo etc. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009
3) Patologi. Bagian Patologi Anatomik FKUI. 2004. Jakarta.
4) Sutanto I, Ismid IS, Sjarifuddin PK, Sungkar Saleha. Buku ajar parasitologi kedokteran.
ed ke-4. jakarta : FKUI;2008
5) Gunawan SG. Farmakologi dan terapeutik. Jakarta: Gaya Baru; 2007
10