PBL

35
Makalah PBL Mandiri 6 Blok 30 Etika Profesi Kedokteran dan Rahasia Pasien Olivia Ekaputri 10.2009.077 / A2 [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta, 2013 Pendahuluan Latar Belakang Penyakit menular seksual juga disebut penyakit venereal merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di seluruh dunia. Pengobatan penyakit ini efektif dan penyembuhan cepat sekali. Namun, beberapa kuman yang lebih tua telah menjadi kebal terhadap obat-obatan dan telah menyebar ke seluruh dunia dengan adanya banyak perjalanan yang dilakukan orang-orang melalui transportasi udara. Pengendalian penyakit menular seksual ini adalah dengan meningkatkan keamanan kontak seks dengan menggunakan upaya pencegahan. Salah satu di antara PMS ini adalah penyakit gonore yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi selaput lendir saluran kencing, leher rahim, dubur dan tenggorokan atau selaput lendir Gonore adalah PMS yang paling sering ditemukan dan paling mudah ditegakkan Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 1

description

pbl 6 forensik

Transcript of PBL

Page 1: PBL

Makalah PBL Mandiri 6 Blok 30

Etika Profesi Kedokteran dan Rahasia Pasien

Olivia Ekaputri

10.2009.077 / A2

[email protected]

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jakarta, 2013

Pendahuluan

Latar Belakang

Penyakit menular seksual juga disebut penyakit venereal merupakan penyakit yang paling

sering ditemukan di seluruh dunia. Pengobatan penyakit ini efektif dan penyembuhan cepat

sekali. Namun, beberapa kuman yang lebih tua telah menjadi kebal terhadap obat-obatan

dan telah menyebar ke seluruh dunia dengan adanya banyak perjalanan yang dilakukan

orang-orang melalui transportasi udara.

Pengendalian penyakit menular seksual ini adalah dengan meningkatkan keamanan kontak

seks dengan menggunakan upaya pencegahan. Salah satu di antara PMS ini adalah penyakit

gonore yang disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi selaput lendir

saluran kencing, leher rahim, dubur dan tenggorokan atau selaput lendir Gonore adalah

PMS yang paling sering ditemukan dan paling mudah ditegakkan diagnosisnya. Nama awam

penyakit kelamin ini adalah “kencing nanah”. Masa inkubasi 3-5 hari.1

Kebanyakan penderita dengan PMS malu mendapatkan perawatan karena takut rahasia

perbuatannya akan terbongkar apakah kepada keluarga, pasangan, maupun masyarakat. Di

sini dokter bertanggung-jawab dalam memberikan perawatan kepada pasien dan menjamin

kepada pasien bahwa rahasianya akan tetap dijaga. Tapi yang menjadi masalah adalah PMS

seperti penyakit Gonore adalah suatu penyakit yang juga bisa tertular kepada pasangan

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 1

Page 2: PBL

penderita jika tetap berhubungan dengan pasangannya seperti dari definisinya. Di sini,

kedua pihak pasangan harus diobati supaya juga pasien itu dapat sembuh total.

PMS memang memengaruhi baik pria maupun wanita. Namun masalah kesehatan dan

konsekuensi jangka panjang PMS cenderung lebih parah pada wanita. Dokter harus

mengambil tindakan yang bijak supaya tetap menjaga etika kedokterannya dan rahasia

kedokteran dalam melakukan screening pada pasangan penderita dan memberikan

perawatan jika ditemukan positif menderita penyakit PMS pada pasangan tersebut.

Tujuan

1. Mengetahui prinsip-prinsip etika kedokteran

2. Mengetahui tentang informed consent

3. Mengetahui tentang rahasia kedokteran

4. Megetahui tentang dampak hukum megenai pembukaan rahasia kedokteran

5. Mengetahui tindakan dokter apabila pasien tersebut menderita AIDS.

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 2

Page 3: PBL

Pembahasan

I. Prinsip-prinsip Etika Kedokteran

Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu sikap dan

atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian baik-buruk

dan benar-salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang cukup

banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut orang adalah teori

deontologi dan teleologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa, Deontologi mengajarkan

bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatannya sendiri (I Kant),

sedangkan teleologi mengajarkan untuk menilai baik-buruk tindakan dengan melihat

hasilnya atau akibatnya (D Hume, J Bentham, JS Milis). Deontologi lebih mendasarkan

kepada ajaran agama, tradisi, dan budaya sedangakan teleologi lebih ke arah penalaran

(reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran utilitarian).2

Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan

etik diperlukan 4 kaidah dasar moral (moral principle) yakni:2

Beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke

kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbutan untuk kebaikan saja,

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 3

Skenario

Seorang pasien laki-laki datang ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien

lama dokter tersebut, dan sangat akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya

dengan dokter terebut. Kali ini pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah

melakukan hubungan dengan wanita lain seminggu yang lalu. Sesudah itu ia masih tetap

berhubungan dengan istrinya. Dua hari terakhir ia mengeluh bahwa kemaluannya

mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah diperiksa ternyata ia menderita GO. Pasien

tidak ingin diketahui istrinya, karena bisa terjadi pertengkaran diantara keduanya. Dokter

tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh karena

ia telah berhubungan juga dengan istrinya maka mungkin istrinya juga sudah tertular.

Istrinya juga harus diobati.

Page 4: PBL

melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi

buruknya.

Non-malaficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk

keadaan pasien.

Justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap

maupun dalam mendistribusikan sumber daya.

Autonomy, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak-hak

ototnomi pasien *the right to self determination).

Sedangkan rules derivatnya adalah veracity (berbicara benar, jujur dan

terbuka), privacy (menghormati hak privasi pasien), confidentiality (menjaga kerahasiaan

pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).2

Di dalam praktek, peran profesional kesehatan khususnya dokter dapat terbagi ke dalam 3

model penjaga gawang, yaitu peran tradisional, peran negative gatekeeper dan peran

positive gatekeeper.3

Dalam peran tradisionalnya, dokter memikul beban moral sebagai penjaga gawang

penyelenggaraan layanan kesehatan dan medis. Mereka harus menggunakan pengetahuan

mereka untuk berpraktek secara kompeten dan rasional ilmiah. Petunjuknya harus

diagnostic elegance (termasuk menggunakan cara yang memiliki tingkat ekonomi yang

sesuai dalam mendiagnosis) dan therapeutic parsinomy (memberikan terapi hanya yang

secara nyata bermanfaat dan efektif). Mereka harus mencegah adanya risiko yag tidak

diperlukan kepada pasien yang berasal dari terapi yang meragukan dan menjaga sumber

daya finansial pasien.

Dalam peran negative gatekeeper, yaitu pada sistem kesehatan pra-bayar atau kapitasi,

dokter diharapkan untuk membatasi akses pasien ke layanan medis. Pada peran ini jelas

terjadi konflik moral pada dokter dengan tanggungjawab tradisionalnya dalam membela

kepentingan pasien (prinsip beneficence) dengan tanggungjawab barunya sebagai pengawal

sumberdaya masyarakat/komunitas. Meskipun demikian, peran negative gatekeeper ini

secara moral mungkin masih dapat dijustifikasi.

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 4

Page 5: PBL

Tidak seperti peran negatif yang banyak dideskripsikan secara terbuka, peran positive

gatekeeper dokter sangat tertutup dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara moral.

Dalam peran ini dokter diberdayakan untuk menggunakan fasilitas medis dan jenis

pelayanan hi-tech demi kepentingan profit. Bagi mereka yang mampu membayar disediakan

fasilitas diagnostik dan terapi yang paling mahal dan mutakhir, layanan didasarkan kepada

“keinginan pasar” dan bukan kepada kebutuhan medis. Upaya meningkatkan demand atas

layanan yang sophisticated dijadikan tujuan yang impilisit, dan dokter menjadi salesmannya.

Mereka berbagi profit secara langsung apabila mereka pemilik atau investor layanan

tersebut, atau mereka memperoleh penghargaan berupa kenaikan honorarium atau

tunjangan apabila mereka hanya berstatus pegawai atau pelaksana.

Etika kedokteran adalah pengetahuan tentang perilaku profesional para dokter dan dokter

gigi dalam menjalankan pekerjaannya sebagaimana tercantum dalam lafal sumpah dan kode

etik masing-masing yang telah disusun oleh organisasi profesinya bersama-sama

pemerintah.3

Terdapat 17 pasal yang tentukan menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang

secara besar menyentuh tentang kewajiban umum dokter (pasal 1 – 9) , dan kewajiban

dokter terhadap pasien (pasal 10-17).

Dalam pasal 1 ditetapkan tentang sumpah dokter itu harus dijunjung tinggi, dihayati dan

diamalkan oleh setiap dokter. Dari sumpah dokter, maka kita dapat lihat bahwa setiap

dokter itu harus membaktikan hidupnya guna kepentingan kemanusiaan; menjalankan tugas

yang terhormat dan bersusila sesuai martabat pekerjaannya sebagai seorang dokter;

memelihara martabat dan tradisi luhur profesi kedokteran; merahsiakan segala sesuatu

yang ketahuinya karena keprofesianya; mempergunakan pengetahuan dokternya untuk

sesuatu yang tidak bertentangan dengan perikemanusiaan; menghormati setiap hidup

insani mulai dari saat pembuahan; mengutamakan kesehatan pasien dengan

memperhatikan kepentingan masyarakat; tidak terpengaruh oleh pertimbangan

keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial, dan jenis penyakit

dalam menunaikan kewajiban terhadap pasien; menghormati dan berterimakasih kepada

guru-gurunya; memperlakukan teman sejawat seperti saudara kandung; mentaati dan

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 5

Page 6: PBL

mengamalkan KODEKI; dan mengikrarkan sumpahnya dengan sungguh-sungguh dan

mepertaruhkan kehormatan dirinya.

Pelanggaran etika kedokteran diproses melalui MKDKI dan MKEK IDI, sedangkan

pelanggaran hukum diselesaikan melalui pengadilan. Dalam profesi kedokteran dikenal 4

prinsip moral utama, yaitu:2

1. Autonomy

Prinsip autonomy atau otonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien

terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination, yaitu hak menentukan

nasib sendiri)2 dan hak atas informasi yang dimiliki pasien tentang penyakitnya dan

tindakan medik apa yang hendak dilakukan terhadap dirinya.1

2. Beneficence

Beneficence yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan ke

kebaikan pasien.2

3. Non-maleficence

Prinsip non-maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk

keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “do no harm”.2

4. Justice

Prinsip justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam

mendistribusikan sumber daya (distributive justice). 2

Prinsip-prinsip moral

Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip

moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam

menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari

segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika

biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat

keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di

bidang medis.

Dari skenario, sebagai seorang dokter, tersebut harus tetap mengikuti etika kedokteran

yang ada, dan juga mengikuti prinsip-prinsip dalam etika kedokteran. Laki-laki tersebut dan

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 6

Page 7: PBL

juga istrinya itu keduanya adalah pasiennya si dokter tersebut. Dari segi prinsip autonomy,

dokter harus memberikan hak kepada pasien laki-laki tersebut dalam menentukan tindakan

medis yang akan dipilih dan hak untuk menyimpan rahasia laki-laki tersebut karena itu

adalah autonomynya laki-laki tersebut. Jadi dokter tidak berhak memberitahu kepada istri

laki-laki tersebut tentang penyakit yang dialami oleh laki-laki tersebut walaupun dokter tahu

bahwa penyakit yang diderita laki-laki tersebut yaitu PMS dapat juga sudah tertular kepada

istri laki-laki tersebut.

Pengembangan Skenario

Dari segi prinsip beneficence, dokter harus mengambil tindakan yang terbaik dalam

memberikan penyembuhan kepada pasien laki-laki tersebut dan pada masa yang sama dari

prinsip non-maleficence, dokter dilarang mengambil tindakan yang dapat memperburuk

keadaan pasien laki-laki tersebut. Disini dokter harus menjelaskan kepada pasien tentang

PMS dan menjelaskan bahwa penyakit ini bisa ditularkan lagi kepadanya walaupun ia sudah

berobat tapi istrinya tidak diobati. Maka, dokter harus mengambil tindakan yang benar

dengan mengobati pasien laki-laki tersebut dan juga sang istrinya.

Dari segi prinsip justice, si istri kepada laki-laki tersebut juga mempunyai hak yang sama

untuk mendapatkan kesembuhan dari dokter tersebut. Jadi dokter harus merawat kedua-

keduanya tanpa membuka rahasia pasien laki-laki tersebut dengan meminta si suami sendiri

bilang ke istrinya.

II. Informed Consent

Informed consent merupakan alat paling penting dalam hubungan dokter-pasien pada masa

kini. Informed consent yang benar harus disertai dengan komunikasi baik antara dokter dan

pasien. Keterangan yang dapat diberikan kepada pasien sebelum mendapatkan informed

consent termasuklah menerangkan diagnosis penyakit, prognosis dan pilihan pengobatan

penyakit. Perlu juga kebaikan dan keburukan masing-masing tindakan yang bakal dilakukan.

Informed consent harus memuatkan pilihan untuk pasien menerima atau menolak tindakan

medic yang bakal dilakukan dokter selain mencantumkan pilihan terapi lain. Pasien yang

kompeten boleh memilih untuk menolak tindakan medik walaupun tanpa tindakan ini dapat

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 7

Page 8: PBL

mengancam nyawa pasien. Terdapat dua kondisi di mana informed consent dikecualikan

yaitu:

1. Pasien menyerahkan sepenuhnya keputusan tindakan medik terhadap dirinya

kepada dokter. Apabila pasien menyerahkan semua keputusan kepada dokter yang

merawatnya, dokter tetap harus menerangkan secara lengkap tindakan yang bakal

dilakukan.

2. Keadaan apabila pemberitahuan tentang kondisi penyakit pasien dapat berdampak

besar terhadap pasien secara fisik, psikologis dan emosional. Contohnya adalah

apabila pasien cenderung untuk membunuh diri apabila mengetahui tentang

penyakitnya. Namun, dokter pada awalnya harus menganggap bahwa semua pasien

dapat menerima berita tentang penyakitnya dan memberikan informasi

selengkapnya sesuai dengan hak pasien.4

Informed consent atau persetujuan tindakan medik adalah suatu cara bagi pasien untuk

menunjukan prefensi dan pilihannya. Informed consent adalah aplikasi praktis dari salah

satu kaidah moral dalam praktek kedokteran yaitu, autonomi.

Secara harafiah, informed consent memiliki dua unsur yaitu: 1. Informed yang dapat diartikan informasi yang telah diberikan dokter. Yang dimaksud

dengan informed atau memberi penjelasan di sini adalah semua keadaan yang

berhubungan dengan penyakit pasien dan tindakan medic apa yang akan dilakukan

dokter serta hal-hal lain yang perlu dijelaskan dokter atas pertanyaan pasien atau

keluarga. Dalam Permenkes Nomor 589 tahun 1989 dijelaskan bahwa Persetujuan

Tindakan Dokter (Informed Consent) adalah persetujuan yang diberikan pasien atau

keluarga atas dasar penjelasan mengenai tindak medic yang akan dilakukan terhadap

pasien tersebut.

2. Consent artinya persetujuan yang diberikan kepada seseorang untuk berbuat

sesuatu. Dengan demikian, informed consent adalah persetujuan yang diberikan

pasien kepada dokter setelah diberi penjelasan.3 Saat seorang dokter memulai

hubungan dokter-pasien, maka tugasnya adalah memeriksa pasien, membuat

diagnosa, memberi informasi yang jujur dan tepat sasaran serta mengajurkan

pengobatan. Dokter diharapkan untuk dapat menjelaskan tahapan-tahapan dalam

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 8

Page 9: PBL

pengobatan, memberikan alasan diberikannya pengobatan yang ia anjurkan, dan

menunjukkan alternatif pengobatan dari sisi keuntungan dan kerugiannya. Di lain

pihak, pasien diharapkan untuk dapar memahami penjelasan dokter, menilai pilihan

pengobatan yang ditawarkan dokter, kemudian memilih pilihan-pilihan pengobatan

yang ditawarkan.2,5

Dari pengertian demikian, informed consent bisa dilihat dari dua sudut, yaitu pertama

membicarakan informed consent dari pengertian umum dan kedua membicarakan informed

consent dari pengertian khusus. Dalam pengertian umum, informed consent adalah

persetujuan yang diperoleh dokter sebelum melakukan pemeriksaan, pengobatan, dan

tindakan medic apapun yang akan dilakukan.

Persetujuan tindak medik secara praktis dalam praktek kedokteran dapat dibedakan atas 2

bentuk, yaitu:

1. Implied consent atau persetujuan tersirat, yakni pasien tidak menyatakan persetujuan

baik secara tertulis maupun lisan, namun dari tingkah lakunya menunjukan

persetujuaanya.

2. Expressed consent atau persetujuan yang dinyatakan, yakni persetujuan dinyatakan

secara lisan dan tertulis. Bila yang dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan

tindakan yang biasa.Dalam keadaan demikian, sebaiknya kepada pasien disampaikan

dahulu tindakan apa yang akan dilakukan supaya tidak sampai terjadi salah pengertian.

Misalnya pemeriksaan dalam rectal atau pemeriksaan vaginal, mencabut kuku dan

tindakan lain yang melenihi prosedur pemeriksaan dan tindakan umum. Pada saat ini,

belum diperlukan pernyataan tertulis. Persetujuan secara lisan sidah mencukupi.

Namun bila tindakan yang akan dilakukan mengandung risiko seperti tindakan pembedahan

atas prosedur pemeriksaan dan pengobatan invasive, sebaiknya didapatkan informed

consent tertulis.

Dalam Permenkes Nomor 585 tahun 1989 tentang informed consent, dinyatakan dokter

harus menyampaikan atau menjelaskan informasi kepada pasien/keluarga diminta atau

tidak diminta. Jadi informasi harus disampaikan. Inti dari persetjuan adalah persetujuan

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 9

Page 10: PBL

haruslah didapat sesudah pasien mendapat informasi yang adekuat. Hal yang harus

diperhatikan adalah bahwa yang berhak memberikan persetujuan adalah pasien yang sudah

dewasa (di atas 21 tahun atau sudah menikah) dan dalam keadaan sehat mental.

Selain memberikan informasi yang lengkap kepada pasien, informed consent itu penting

juga kepada dokter dalam menjamin dokter tidak akan dihukum jika apa-apa masalah yang

timbul seperti yang telah dijelaskan kepada pasien berlaku atas tindakan yang diberi dengan

persetujuan pasien.

Sesuai dengan sifat hukum yang memiliki daya paksa, maka tidak dilaksanakan informed

consent atau persetujuan tindakan medik dalam praktek kedokteran akan dikenakan sanksi,

yakni:

Sanksi administratif

Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien

atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan surat izin

prakteknya (Pasal 13 Permenkes 585 tahun 1989)

Sanksi perdata

Tindakan medik tanpa persetujuan dari pasien, adalah perbuatan melanggar hukum.

Bila perbuatan itu menimbulkan kerugian, maka dokter yang melakukan dan institusi

penyelengara pelayanan kedokteran yang bersangkutan dapat dikenakan sanksi

perdata dengan acuan pasal 1365 KUHP.

Sanksi pidana

Kelalaian menjalankan persaetujuan tindakan medik dapat dikenai delik penganiaan

dalam KUHP. Kesengajaan penyimpangan dalam praktek kedokteran yang

mengakibatkjan kerugian bagi pasien dengan delik yang sesuai.

III. Rahasia Pasien

Kerahasiaan merupakan pembatasan pengungkapan informasi pribadi tertentu. Dalam hal

ini mencakup tanggungjawab untuk menggunakan, mengungkapkan, atau mengeluarkan

informasi hanya dengan sepengetahuan dan ijin individu. Informasi yang bersifat rahasia

dapat berupa tulisan ataupun verbal.2

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 10

Page 11: PBL

Dasar dari kerahasiaan pasien adalah autonomy, rasa hormat dan kepercayaan pasien.

Kepercayaan adalah bagian paling penting dalam hubungan dokter-pasien sehingga seorang

dokter tidak dibenarkan untuk membuka rahasia pasien tanpa kebenaran dari pasien itu

sendiri kecuali diminta oleh hukum. Dokter juga dibenarkan untuk membuka rahasia pasien

apabila pasien tidak mampu untuk mengambil keputusan sendiri.

Tugas dokter untuk menjaga kerahasian informasi pasien merupakan dasar pokok dalam

etka kedokteran sejak zaman Hippocrates. Sumpah Hippocrates menyebutkan: “Apa yang

mungkin aku lihat atau dengar dalam perawatan atau bahkan di luar perawatan yang saya

lakukan yang berhubungan dengan kehidupan manusia yang tidak disampaikan ke luar, saya

akan menyimpannya sebagai sesuatu yang memalukan untuk dibicarakan”. Sumpah ini, dan

versi yang lebih baru, tidak menempatkan perkecualian dalam tugas menjaga kerahasiaan.

Kode Etik Kedokteran Internasional dari World Medical Association (WMA) menyatakan

“Seorang dokter harus menjaga kerahasiaan secara absolute mengenai yang dia ketahui

tentang pasien-pasien mereka bahkan setelah pasien tersebut mati”.3 Menurut sumpah

dokter sesuai dengan Deklarasi Jenewa 1948 (Geneva Declaration 1948), “Saya akan

merahasiakan segala rahasia yang saya ketahui bahkan sesudah pasien meninggal dunia.”

“Saya tidak akan mengizinkan pertimbangan umur, penyakit dan disabilitas, kepercayaan,

asal etnik, gender, kewarganegaraan, affiliasi politik, ras, orientasi seksual”.3

Kepercayaan merupakan bagian penting dalam hubungan dokter-pasien. Untuk dapat

menerima perawatan medis, pasien harus membuka rahasia pribadi kepada dokter atau

orang yang mungkin benar-benar asing bagi mereka mengenai informasi yang mungkin tidak

ingin diketahui orang lain. Mereka pasti mempunyai alas an yang kuat untuk mempercayai

orang yang memberikan perawatan bahwa mereka tidak akan membocorkan informasi

tersebut. Kepercayaan merupakan standar legal dan etis dari kerahasiaan dimana profesi

kesehatan harus menjaganya. Tanpa pemahaman bahwa pembeberan tersebut akan selalu

dijaga kerahasiaannya, pasien mungkin akan menahan informasi pribadi yang dapat

mempersulit dokter dalam usahanya memberikan intervensi efektif atau dalam mencapai

tujuan kesehatan public tertentu.6

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 11

Page 12: PBL

IV. Aspek Hukum

Kewajiban dokter untuk tetap menjaga rahasia kedokteran merupakan suatu hal yang

tercantum di dalam undang-undang maka apabila dokter melakukan suatu kelalaian dalam

menyimpan rahasia kedokteran maka akan terkena dampak hukum yang berlaku.7

Pengaturan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran

Seperti yang telah diketahui, bahwa dalam transaksi terapeutik terdapat hak dan kewajiban

kepada masing-masing pihak secara timbal balik. Adapun salah satu kewajiban dokter

adalah berkewajiban menyimpan rahasia kedokteran yang dimiliki pasiennya.7

Dibidang etika kedokteran, sepanjang dapat ditelesuri masalah rahasia kedokteran mulai

diatur dalam sumpah hippocrates pada abad 469-399 SM yang berbunyi “apa yang saya

melihat atau mendengar sewaaktu dalam menjalankan praktek atau tidak, tentang

kehidupan seseorang yang seharusnya tidak diungkapkan akan saya perlakukan sebagai

rahasia.” Selain di dalam sumpah hippocrates kewajiban menyimpan rahasia kedokteran

juga terdapat pada:

a. Declaratioon of Geneva

Declaration of Geneva adalah versi sumpah hipocrates yang dimodernisasi yang

diintroduksikan oleh world medical association. Khusus yang mengenai rahasia

kedokteran berbunyi : “I will respect the secrets which are confided in me, even

after the patient has died.”

b. International code of medichal ethics

Pada tahun 1968 di sydney diadakan perubahan pada declaration of geneva yang

kemudian menjadi pedoman dasar untuk terbitnya International code of medichal

ethics ini. khusus yang mengenai rahasia kedokteran berbunyi “ a doctor shall

preserve absolute secrecy on all the knows about his patient because the

confidence entrusted in him.”

c. Peraturan pemerintah nomor 26 tahun 1966 yang memuat lafal sumpah dokter

indonesia

Dalam sumpah ini khususnya di dalam penjelasan pasal 1 kode etik kedokteran

indonesia terdapat uraian yang berkenaan dengan rahasia kedokteran yang

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 12

Page 13: PBL

berbunyi “saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena

pekerjaan saya dan karena kelimuan saya sebagai dokter.”

d. Kode etik kedokteran indonesia

Pasal 13 tercantum kalimat sebagai berikut :”setiap dokter wajib merahasiakan

segala sesuatu yang diktehauinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah

penderita itu meninggal dunia.”

Sumpah dalam hubungannya dengan rahasia kedokteran ini jika ditinjau secara yuridis tidak

mempunyai arti. Sumpah hanyalah merupakan suatu ikrar, suatu pernyataan kehendak

secara sepihak yang pelaksanaannya tergantung pada hati nurani si pelaku itu sendiri. Oleh

karena itu suatu sumpah tidak dapat dipergunakan sebagai dasar hukum untuk penuntutan.

Demikian pula kode etik kedokteran indonesia (KODEKI) yang termasuk bidang etik yang

sifatnya self imposed regulations. Suatu kode etik ini bersifat intern dimana sanksi hanya

dapat dijatuhkan dalam kaitan organisasi dan oleh organisasi itu sendiri. Suatu KODEKI juga

tidak memiliki nilai yuridis, shingga tidak mempunyai akibat hukum.

Adapun dasar yuridis untuk menuntut yang menyangkut rahasia kedokteran terdapat pada:

a. Hukum perdata

1. Perjanjian terapeutik antara dokter dengan pasien

2. Pasalnya 1909, 3e KUHPerdata “segala siapa yang karena kedudukannya,

pekerjaannya, atau jabatannya menurut undang-undang diwajibkan merahasiakan

sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya

dipercayakan kepadanya sebagai demikian.”

3. Pasal 1365 KUHPerdata “Tiap-tiap perbuatan melanaggar hukum yang membawa

kerugian terhadap orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya, menerbitkan

kerugian itu, menggantikan kerugian tersebut”

b. Hukum pidana

1. Pasal 322 KUHP

1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya

karena jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu,

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda

paling banyak sembilanribu rupiah.

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 13

Page 14: PBL

2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya

dapatdituntut atas pengaduan orang itu

2. Pasal 224 KUHP

Barangsiapa yang dipanggil menurut undang-undang untuk menjadi saksi, ahli

atau jurubahasa, dengan sengaja tidak melakukan suatu kewajiban yang menurut

undang-undang harus melakukannnya:

1. Dalam perkara pidana dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya

9 bulan.

2. Dalam perkara lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 6 bulan.

c. Hukum acara pidana

1. Pasal 170 KUHAP

1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan

menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi

keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka.

2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut.

2. Pasal 179 KUHAP

1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau

dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang

memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan

sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan

sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

d. Hukum acara perdata

1. Pasal 146 ayat 3 HIR

Sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah,

diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang

diberitahukan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu.

2. Pasal 174 RBg

(1) Mereka yang dapat membebaskan diri dari pemberian kesaksian adalah :

(KUHperd. 1909.)

1) saudara-saudara laki-laki atau perempuan dan ipar-ipar laki-laki atau

perempuan dari salah satu pihak;

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 14

Page 15: PBL

2) saudara-saudara sedarah dalam garis lurus dan saudara-saudara laki-laki atau

perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;

3) mereka yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatan resmi, diharuskan

menyimpan rahasia tetapi hanya dan semata-mata mengenai hal-hal yang

pengetahuannya dipercayakan kepadanya dalam kedudukannya tersebut.

(2) Ada tidaknya kewajiban menyimpan rahasia yang dikemukakan oleh yang

bersangkutan dapat dinilai oleh pengadilan negeri.

e. Hukum administrasi

Peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1996 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.

Pada peraturan tersebut diperluas berlakunya wajib simpan rahasia kedokteran, juga

bagi tenaga kesehatan lainnya, seperti perawat, bidan, mahawsiswa kedokteran, ahli

farmasi, analis laboratorium, radiologi dan lain-lainnya.

Gugurnya kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran

Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran ini tidak mutlak sifatnya. Artinya dalam situasi-

situasi tertentu hal tersebut dapat diterobos. Dengan kata lain, kewajiban dokter untuk

menyimpan rahasia kedokteran tersebut dapat gugur sehingga dokter tidak dikenai sanksi

hukum. Seorang dokter dapat dibebaskan dari sanksi hukum dalam hal ia mengungkapkan

rahasia kedokteran jika terdapat faktor-faktor atau hal-hal sebagai berikut:7

a. Adanya ijin dari pasien

Pasien adalah satu-satunya orang yang berhak memutuskan boleh tidaknya

konfidensialitas tentang dirinya diungkapkan. Namun apabila pasien telah memberikan

ijin untuk mengungkapkan rahasia atas dirinya, maka dokter terbebas dari kewajiban

menyimpan rahasia tersebut dan tidak dapat dikenai sanksi. Ijin dari pasien ini dapat

diberikan secara lisan ataupun tertulis ataupun secara diam-diam/anggapan. Pemberian

ijin itu bisa secara terbatas, yaitu dalam arti terbatas pada orang-orang tertentu saja.

Dapat juga dibatasi oleh ruang lingkup rahasia itu sendiri, misalnya terbatas hanya

kepada apa yang diperlukan saja. Pemeberian ijin secara diam-diam/anggapan, misalnya

pasien yang dirawat inap dirumah sakit dapat dianggap telah memberikan ijin kepada

dokter yang merawatnya untuk mengadakan konsultasi kepada dokter ahli tentang

penyakitnya.

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 15

Page 16: PBL

b. Adanya keadaan mendesak atau memaksa

Di dalam keadaan terpaksa, juga tanpa ijin pasien, dokter dapat mengungkapkan rahasia

kedokteran. Keadaan terpaksa yang dimaksud adalah suatu situasi di mana suatu norma

dapat dilanggar demi suatu kepentingan yang lebih besar. Seperti pada pasal 48 KUHP

“siapapun tak terpidana jika melakukan perbuatan karena terdorong oleh keadaan

terpaksa.”

c. Adanya peraturan perundang-undangan

Seorang dokter yang membuka rahasia kedokteran tidak dapat dipidana karena

melaksanakan ketentuan undang-undang. Hal tersebut tersimpul dalam ketentuan pasal

50 KUHP yang berbunyi : “barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan

ketentuan undang-undang tidak dipidana.” Dalam hal ini dapat dianggap bahwa secara

materiil oleh undang-undang telah dipertimbangkan, bahwa terdapat kepentingan yang

lebih besar.

d. Adanya perintah jabatan

Sebagai dasar pembenar lain untuk melanggar kewajiban dokter untuk menyimpan

rahasia kedokteran adalah adanya perintah jabatan yang diatur dalam ketentuan pasal

51 KUHP. Pasal ini mengatur tentang seorang dokter yang mempunyai jabatan rankap

seperti militer atau dokter tentang penguji kesehatan.

e. Demi kepentingan umum atau kepentingan yang lebih tinggi

Alasan ini timbul berdasaarkan kebiasaan praktek, karena pasien tersebut merupakan

“public figure”, seorang tokoh atau pemimpin yang dianggap penting oleh masyarakat.

f. Adanya Presumed Consent dari pasien

Adanya Presumed Consent yaitu pasien telah mengetahui atau seharusnya mengetahui

bahwa data tentang dirinya akan diketahui oleh orang atau instansi selain dokter.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik

kedokteran, terdapat pasal-pasal berkaitan dengan pelaksanaan praktik seorang dokter

yaitu dengan pasiennya (Pasal 39); persetujuan kedokterani dalam menjalankan prakteknya

(Pasal 45); rahasia kedokteran (Pasal 48) dan kewajiban dokter merahasiakan hal pasien

(Pasal 51); dan hak pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran (Pasal 52)

seperti berikut:

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 16

Page 17: PBL

Pasal 39

Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau

dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan

penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan peyakit dan pemulihan.

Pasal 45

1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau

dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat

penjelasan secara lengkap.

3) Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:

4) Diagnosis dan tata cara tindakan medis; tujuan tindakan medis yang dilakukan; alternatif

tindakan lain dan risikonya; risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan prognosis

terhadap tindakan yang dilakukan.

5) Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara

bertulis maupun lisan.

6) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus

diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak

memberikan persetujuan.

Pasal 48

(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan prakrik kedokteran wajib

menyimpan rahasia kedokteran.

(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien….

Pasal 51

Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban

merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu

meninggal dunia.

Pasal 52

Pasien dalam, menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 17

Page 18: PBL

(1) Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana

dimaksud dalam pasal 45 ayat (3),

(2) Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;

(3) Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;

(4) Menolak tindakan medis; dan mendapatkan isi rekam medis.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10 tahun 1966 dijelaskan tentang kewajiban

simpan rahasia Kedokteran seperti berikut:

Pasal 1:

Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-

orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu tertentu atau selama melakukan pekerjaannya

dalam lapangan kedokteran.

Pasal 2:

Pengetahuan tersebu pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut dalam

pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi daripada PP ini

menentukan yang lain.

Pasal 3:

Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:

a. Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang kesehatan

b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan, pengobatan,

dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.

Pasal 4:

Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran, yang tidak

atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri kesehatan dapat

melakukan tindakan administrative berdasarkan pasal UU tentang tenaga kesehatan.

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 18

Page 19: PBL

Pasal 5:

Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka disebut dalam

pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-tindakan berdasarkan

wewenag dan kebijaksanaannya.

Pasal 6:

Dalam pelaksanaan peraturan ini, menteri kesehatan dapat mendengar Dewan Pelinding

Susila Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu.

Seperti dalam pasal 4 PP no 10/1966, tindak pidana yang dikenakan adalah berdasarkan

pasal 322 yang seperti berikut:

Pasal 322 KUHP:

(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan

atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana

penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu

rupiah.

(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat

dituntut atas pengaduan orang itu.

Tapi menurut Pasal 48 KUHP:

Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.

Yaitu sini, apabila seorang dokter itu terpaksa membuka rahsua dokter karena dipaksa

dengan ugutan dan atau diancam nyawa, dokter itu tidak akan dipidana.

MA 117/K/Kr/1968 2 Juli 1969

Dalam “noodtoestand” harus dilihat adanya:

1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum

2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum

3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 19

Page 20: PBL

Pasal 49 KUHP:

(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri

sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta bnda sendiri

maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat

pada saat itu yang melawan hukum.

(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan keguncangan

jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Pasal 50 KUHP

Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak

dipidana.

V. Solusi

Dalam bahasan kasus kali ini, pasien dokter tersebut menderita penyakit hubungan seksual

yaitu GO. Namun, pasien tersebut tidak ingin istrinya tahu tentang penyakitnya karena takut

akan menimbulkan pertengkaran. Dokter tahu bahwa penyakit tersebut dapat menularkan

istrinya melalui hubungan seksual. Maka dokter memberikan penjelasan kepada pasien laki-

laki tersebut tentang cara penularannya. Dokter tersebut menyarankan agar istrinya tahu

karena apabila tidak segera berobat penyakitnya akan terus timbul meskipun

pengobatannya mudah. Maka pasien laki-laki tersebut menyetujui agar istrinya diberi tahu.

Apabila dokter berbicara terbuka di hadapan kedua pasutri tanpa pengetahuan terlebih

dahulu apakah pasien setuju kalau penyakitnya boleh diketahui oleh pasangannya, bisa

membawa persoalan tentang wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia jabatan dan

pekerjaan yang menjurus pada perkara medik. Bila dokter menduga pasangannya telah

tertular tanpa disadari, sebaiknya dokter mengobati pasien tanpa harus menyatakan ia telah

tertular, kecuali terpaksa bila pasien mau tahu tentang penyakitnya. Membuka rahasia

pasien kepada orang lain, biarpun dalam ikatan suami istri harus dihindari dokter.6

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 20

Page 21: PBL

VI. Pengembangan Kasus (Pasien Menderita AIDS)

Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh WMA memuat hak pasien

terhadap kerahasian. Deklarasi ini juga menyatakan adanya perkecualian terhadap

kewajiban menjaga kerahasian, beberapa hal relatif tidak masalah, tetapi yang lain dapat

memunculkan masalah etik yang sulit bagi dokter.Terhadap kerahasian yang diminta oleh

hukum dokter mempunyai tugas etik untuk membagi informasi dengan orang yang mungkin

berada dalam bahaya karena pasien tersebut. Dua keadaan dimana hal ini dapat terjadi

adalah saat pasien mengatakan kepada psikiater bahwa dia berniat menyakiti orang lain dan

saat dokter yakin bahwa pasien yang dihadapinya HIV Positif namun tetap meneruskan

hubungan seks yang tidak aman dengan pasangannya atau dengan orang lain.

Dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informasi kepada pasangan atau partner

seksnya saat itu bukanlah suatu yang tidak etis dan bahkan dibenarkan jika pasien tidak

bersedia menginformasikannya kepada orang (orang-orang) tersebut bahwa dia (mereka)

dalam resiko. Pembenaran dari pembeberan informasi haruslah berdasar: partner beresiko

terinfeksi HIV namun tidak mengetahui kemungkinan terinfeksi; pasien menolak memberi

tahu pasangan seksnya; pasien menolak bantuan dokter untuk melakukannya; dan dokter

telah mengatakan kepada pasien untuk memberitahu pasangannya.

Penyakit HIV AIDS merupakan isu etik manajemen informasi kesehatan yang sensitif. Human

Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh

manusia dan kemudian dapat menimbulkan AIDS. Acquired Immune Deficiency Syndrome

(AIDS) adalah suatu kondisi medis berupa kumpulan tanda dan gejala yang diakibatkan oleh

menurunnya atau hilangnya kekebalan tubuh karena terinfeksi HIV, sering berwujud

infeksi yang bersifat ikutan (oportunistik) dan belum ditemukan vaksin serta obat

penyembuhannnya. Kewajiban etik yang utama dari professional MIK maupun tenaga

kesehatan adalah melindungi privasi dan kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak

pasien dengan menjaga kerahasiaan rekam medis pasien HIV AIDS. Kaidah turunan moral

bagi tenaga kesehatan adalah privacy, confidentiality, fidelity dan veracity. Privacy berarti

menghormati hak privacy pasien,confidentialty berarti kewajiban menyimpan informasi

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 21

Page 22: PBL

kesehatan sebagai rahasia, fidelity berarti kesetiaan, dan veracity berarti menjunjung tinggi

kebenaran dan kejujuran.8

Pengelolaan informasi pasien HIV AIDS di tempat kerja diatur Menurut Kepmenaker No.

KEP. 68/MEN/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS :

Pasal 6

Informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, pengobatan, perawatan dan

kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya seperti yang berlaku bagi data rekam medis.

Dalam kaitannya aspek hukum kerahasiaan pasien HIV AIDS , kode etik administrator

perekam medis dan informasi kesehtan (PORMIKI, 2006) adalah:8

1. Selalu menyimpan dan menjaga data rekam medis serta informasi yang terkandung

di dalamnya sesuai dengan ketentuan prosedur manajemen, ketetapan pimpinan

institusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Selalu menjunjung tinggi doktrin kerahasiaan dan hak atas informasi pasien yang

terkait dengan identittas individu atau social.

3. Administrator informasi kesehtan wajib mencegah terjadinya tindakan yang

menyimpang dari kode etik profesi.

Perbuatan / tindakan yang bertentangan dengan kode etik adalah menyebarluaskan

informasi yang terkandung dalam laporan rekam medis HIV AIDS yang dapat merusak citra

profesi rekam administrator informasi kesehatan.

Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan jabatan

adalah untuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya

status kesehatan.

Dalam kasus pasien HIV positif pembeberan informasi kepada pasangan atau partner

seksnya saat itu bukanlah sesuatu yang tidak etis, dan bahkan dibenarkan jika pasien tidak

bersedia menginformasikannya kepada orang (orang-orang) tersebut bahwa dia (mereka)

dalam resiko. Pembenaran dari pembeberan informasi haruslah berdasar: partner beresiko

terinfeksi HIV namun tidak mengetahui kemungkinan terinfeksi; pasien menolak memberi

tahu pasangan seksnya; pasien menolak bantuan dokter untuk melakukannya; dan dokter

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 22

Page 23: PBL

telah mengatakan kepada pasien untuk memberitahu pasangannya. Dokter harus

mengungkapkan status penderita HIV pada anak, orangtua, pengasuh atau pasien itu

sendiri. Perlu dilakukan konseling untuk mengatasi efek psikologis dan efek medis dari

penyakit, termasuk didalamnya diskusi antara pasien dan konselor.Pasien harus melaporkan

dan mengungkapkan mengenai penyakitnya baik kepada keluarga, teman, dan lainnya.8

Dalam kaitannya dengan pengungkapan informasi HIV AIDS terdapat 3 masalah etik, yaitu ;

1. Pelanggaran prinsip kebutuhan untuk mengetahui ( need-to-know principle).

2. Penyalahgunaan surat persetujuan atau otorisasi yang tidak tertentu ( blanket

authorization).

3. Pelanggaran privasi yang terjadi sebagai akibat dari prosedur pengungkapan

sekunder ( secondary release).

Rekam medis bersifat rahasia. Pelepasan informasi pasien menular maupun HIV AIDS dapat

diberikan dengan tetap memperhatikan tujuan maupun kegunaan dari pelepasan informasi

tersebut. Hal ini sesuai dengan UU Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004 memberikan

peluang pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):6

1. untuk kepentingan kesehatan pasien

2. untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan

hukum

3. permintaan pasien sendiri

4. berdasarkan ketentuan undang-undang

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 23

Page 24: PBL

Kesimpulan

Dalam menjalankan tugas profesi kedokteran, seorang dokter itu harus mengamalkan etika

kedokteran dan prinsip-prinsip etika kedokteran tersebut. Menjaga rahasia pasien itu sangatlah

penting dalam profesi kedokteran karena melibatkan kepercayaan yang diberi kepada dokter oleh

pasien karena tanpa kepercayaan tersebut, pasien tidak akan memberikan informasi-informasi yang

penting kepada dokter yang mungkin penting dalam dokter gunakan untuk mengobati pasien

tersebut. Sebelum melakukan tindakan ke atas pasien, dokter harus memberikan informed consent

kepada pasien, sama ada secara expressed atau implied consent, lisan atau tertulis supaya pasien

dapat mendapatkan penjelasan-penjelasan tentang tindakan-tindakan yang akan dilakukan ke

atasnya dan juga demi kebaikan dokter supaya dokter tidak dituntut dengan syarat dokter

melakukan tugasnya dengan benar. Terdapat hokum-hukum seperti Undang Republik Indonesia (UU

RI) Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktik kedokteran, dan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10

tahun 1966 dijelaskan tentang kewajiban simpan rahasia Kedokteran yang harus dipatuhi oleh

seorang dokter.

Daftar Pustaka

1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi 6. Badan Penerbit Fakultas

Kedokteran Univesitas Indonesia: Jakarta; 2010.

2. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Bagian Kedokteran Forensik

FKUI: Jakarta; 2005.

3. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran & hukum kesehatan, Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran

EGC: Jakarta; 2007.

4. Budi Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran,

Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005.

5. Williams J. World medical association. Medical Ethics Manual 2nd Edition; 2009.

6. Sagiran. Panduan Etika Medis. Pusat Studi Kedokteran Islam FK Universitas Muhammadiyah:

Yogyakarta; 2006.

7. Lestari AY. Aspek hukum kewajiban menyimpan rahasia kedokteran. Diunduh dari

http://isjd.pdii.lipi.go.id, 16 Januari 2013.

8. Jusuf HM. Etika kedokteran & hukum kesehatan. Dalam aspek etik dan hukum penyakit menular

seksual. Ed. 4. Jakarta: EGC, 2008. h. 144-5.

Olivia Ekaputri /10-2009-077 / A2 Page 24