PBL SK 2 BLOK EMERGENCY.docx

download PBL SK 2 BLOK EMERGENCY.docx

of 43

Transcript of PBL SK 2 BLOK EMERGENCY.docx

LI.1 Memahami dan menjelaskan trauma kapitisLO1.1 DefinisiTrauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung maupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen.Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006).

LO1.2 EpidemiologiCedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar benar rujukan yang terlambat .Pada populasi secara keseluruhan, laki-laki dua kali ganda lebih banyak mengalami trauma kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua perbandingan hampir sama. Hal ini dapat terjadi pada usia yang lebih tua disebabkan karena terjatuh. Mortalitas laki-laki dan perempuan terhadap trauma kepala adalah 3,4:1 (Jagger, Levine, Jane et al., 1984).Resiko trauma kepala adalah dari umur 15-30 tahun, hal ini disebabkan karena pada kelompok umur ini banyak terpengaruh dengan alkohol, narkoba dan kehidupan sosial yang tidak bertanggungjawab(Jagger, Levine, Jane et al., 1984). Menurut Brain Injury Association of America, dua kelompok umur mengalami risiko yang tertinggi adalah dari umur 0 sampai 4 tahun dan 15 sampai 19 tahun (CDC, 2006).

LO1.3 EtiologiPenyebab cedera kepala dapat dibedakan berdasarkan jenis kekerasan yaitu jenis kekerasan benda tumpul dan benda tajam Benda tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas (kecepatan tinggi, kecepatan rendah), jatuh, dan pukulan benda tumpul, sedangkan benda tajam berkaitan dengan benda tajam (bacok).

9

Menurut Cholik Harun Rosjidi & Saiful Nurhidayat, (2009 : 49) etiologi cedera kepala adalah:a) Kecelakaan lalu lintasb) Jatuhc) Pukuland) Kejatuhan bendae) Kecelakaan kerja atau industrif) Cedera lahirg) Luka tembak

Berbagai faktor terlibat dalam kecelakaan lalu lintas, mulai dari manusia sampai sarana jalan yang tersedia. Secara garis besar ada 4 faktor yang berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas , yaitu faktor manusia, kenderaan, fasilitas jalan, dan lingkungan.a. Faktor manusia, menyangkut masalah disiplin berlalu lintas.1. Faktor pengemudi dianggap salah satu faktor utama terjadinya kecelakaan dengan kontribusi 75-80%. Faktor yang berkaitan adalah perilaku (mengebut, tidak disipilin/melanggar rambu), kecakapan mengemudi, dan gangguan kesehatan (mabuk, mengantuk, letih) saat mengemudi.2. Faktor penunjang (jumlah penumpang dan barang yang berlebihan).3. Faktor pemakai jalan, yakni pejalan kaki, pengendara sepeda, pedagang kaki lima dan peminta-minta serta tempat pemarkiran kenderaan yang tidak pada tempatnya sehingga keadaan jalan raya semakin kacau.

b. Faktor kendaraan.Jalan raya penuh dengan berbagai kenderaan berupa kenderaan tidak bermotor dan kenderaan bermotor. Kondisi kenderaan yang tidak baik atau rusak akan mengganggu laju lalu lintas sehingga menyebabkan kemacetan bahkan kecelakaan. Saat ini jumlah dan penggunaan kenderaan bermotor bertambah dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 12% per tahun. Komposisi terbesar adalah sepeda motor (73% dari jumlah kenderaan pada tahun 2002-2003 dan pertumbuhannya mencapai 30% dalam 5 tahun terakhir). Rasio jumlah sepeda motor dan penduduk diperkirakan 1:8 pada akhir tahun 2005.

c. Faktor jalan, dilihat dari ketersediaan rambu-rambu lalu lintas, panjang dan lebar jalan yang tersedia tidak sesuai dengan jumlah kenderaan yang melintasinya, serta keadaan jalan yang tidak baik misalnya berlobang-lobang dapat menjadi memacu terjadinya kecelakaan, dan tembakan.

d. Faktor lingkungan yaitu adanya kabut, hujan, jalan licin akan membawa risiko kejadian kecelakaan yang lebih besar

LO1.4 Klasifikasi

Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :1. Berdasarkan Mekanismea. Trauma TumpulTrauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).b. Trauma TembusTrauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.

2. Berdasarkan Beratnya CideraAdapun pembagian cedera kepala lainnya dengan cara skala koma Glasgow. Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah;1. Proses membuka mata (Eye Opening)

2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)

3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).Table Skala Koma Glasgow

Eye Opening

Mata terbuka dengan spontan4

Mata membuka setelah diperintah3

Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri2

Tidak membuka mata1

Best Motor Response

Menurut perintah6

Dapat melokalisir nyeri5

Menghindari nyeri4

Fleksi (dekortikasi)3

Ekstensi (decerebrasi)2

Tidak ada gerakan1

Best Verbal Response

Menjawab pertanyaan dengan benar5

Salah menjawab pertanyaan4

Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai3

Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya2

Tidak ada jawaban1

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;

1.Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow14 15

2.Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow9 13

3.Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow3 8

Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :a. Cedera kepala ringan GCS 13 - 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematoma

b. Cedera kepala sedang GCS 9 - 12 Saturasi oksigen > 90 % Tekanan darah systole > 100 mmHg Lama kejadian < 8 jam Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam Dapat mengalami fraktur tengkorak

c. Cedera kepala berat GCS 3 8 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam Meliputi hematoma serebral, kontusio serebralPada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai T.

3. Berdasarkan Morfologia. Cedera kulit kepalaCedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.b. Fraktur TengkorakFraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batles sign, lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii (Kasan, 2000).Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (consul ahli tht) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan : 2000).

c. Cedera Otak 1) Commotio Cerebri (Gegar Otak) Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad).Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan. 2) Contusio Cerebri (Memar Otak)Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala.Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).

3) Perdarahan Intrakraniala) Epiduralis haematomaadalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.

b) Subduralis haematomaSubduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).

c) Subrachnoidalis Haematoma Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.

d) Intracerebralis HaematomaTerjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.

4. Berdasarkan Patofisiologia. Cedera kepala primerAkibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi.b. Cedera kepala sekunderPada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.

LO1.5 Manifestasi Klinis. 1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih2. Kebingungan3. Iritabel4. Pucat5. Mual dan muntah6. Pusing7. Nyeri kepala hebat8. Terdapat hematoma9. Kecemasan10. Sukar untuk dibangunkan11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

LO1.6 PatofisiologiOtak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksiMenurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi, goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi, kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang tengkorak. Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala fokal dan menyebar sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak, hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema cerebral.Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak, karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya, 1998).

LO1.7 Diagnosis

Pemeriksaan klinis merupakan pemeriksaan yang paling komprehensif dalam evaluasi diagnostik penderita-penderita cedera kepala, dimana dengan pemeriksaan=pemeriksaan serial yang cepat tepa dan noninvasif diharapkan dapat nenunjukkan progresifitas atau kemunduran dari proses penyakit atau gangguan tersebut. Sehubungan tinnginya insidensi kelainan / cedera sistemik penyerta (lebih dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka perlu diperhatikan hal hal sebagai berikut ;1. Tingkat kesadaran Tingkat kesadaran dinilai dengan skala Glasgow (GCS Glasgow coma Scale). Skala ini merupakan gradasi sederhana dari arousal dan kapasitas fungsionil korteks serebral berdasarkan respon verbal, motorik dan mata penderita. Respon motor terbaik 6 5 4 3 2 1 Mengikuti perintah Terlokalisasi pada rasa sakit Terjadi efek penarikan dari rasa sakit Fleksi abnormal Ekstensi abnormal Tidak ada pergerakan

Respon verbal terbaik 5 4 3 2 1

Terorientasi dan tepat Percakapan yang membingungkan Tidak tepat Suara yang tidak dapat dimengerti Tidak

Pembukaan mata 4 3 2 1 Spontan Terhadap pembicaraan Terhadap rasa sakit Tidak ada pembukaan mata

2. Gerakan bola mata Gerakan bola mata merupakan indeks penting untuk penilaian aktiffitas fungsional batang otak (formasio rektikularis). Penderita yang sadar penuh (alert) dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem motorikokuler di batang otak. Pada keadaan kesadaran yang menurun, gerakan bola mata volunter menghilang, sehingga untuk menilai gerakannya ditentukan dari refleks okulosefalik dan okulovestibuler.Pupil Penilaian ukuran pupil dan responnya terhadap rangsangan cahaya adalah pemeriksaan awal terpenting dalam menangani cedera kepala. Salah satu gejala dini dari herniasi dari lobus temporal adalah dilatasi dan perlambatan respon cahaya pupil. Dalam hal ini adanya kompresi maupun distorsi saraf okulomotorius sewaktu kejadian herniasi tentorial unkal akan mengganggu funsi akson parasimpatis yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstrksi pupil.Fungsi motorik Biasanya hanya merupakan pelengkap saja mengingat kadang sulit mendapatkan penilaian akurat dari penderita dengan penurunan kesadaran. Masing-masing ekstremitas digradasi kekuatannya dengan skala sebagai berikut:Normal : 5Menurun moderat : 4Menurun berat (dapat melawan gravitasi) : 3Tidak dapat melawan gravirasi : 2Sedikit bergerak : 1Tidak ada pergerakan : 0

1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.2. MRIDigunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.3. Cerebral AngiographyMenunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.4. EEG (Elektroencepalograf)Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis5. X-RayMendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.6. BAERMengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil7. PETMendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak8. CSF, Lumbal PungsiDapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.9. ABGsMendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial10. Kadar ElektrolitUntuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial11. Screen ToxicologiUntuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

LO1.8 Tatalaksana

Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:1. Observasi 24 jam2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.4. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring.5. Terapi obat-obatan.a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi vasodilatasi.c. Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.e. Pada trauma berat. karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP).6. Pembedahan bila ada indikasi.PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 1315)1. Observasi atau dirawat di rumah sakit bila CT Scan tidak ada atau hasil CT Scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilang kesadaran, sakit kepala sedangberat, pasien dengan intoksikasi alkohol/obat-obatan, fraktur tengkorak, rinorea-otorea, cedera penyerta yang bermakna, tidak ada keluarga yang di rumah, tidak mungkin kembali ke rumah sakit dengan segera, dan adanya amnesia. Bila tidak memenuhi kriteria rawat maka pasien dipulangkan dengan diberikan pengertian kemungkinan kembali ke rumah sakit bila dijumpai tanda-tanda perburukan.2. Observasi tanda vital serta pemeriksaan neurologis secara periodik setiap - 2 jam.3. Pemeriksaan CT Scan kepala sangat ideal pada penderita CKR kecuali memang sama sekali asimtomatik dan pemeriksaan neurologis normal.PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-12)1. Dirawat di rumah sakit untuk observasi, pemeriksaan neurologis secara periodik.2. Bila kondisi membaik, pasien dipulangkan dan kontrol kembali, bila kondisi memburuk dilakukan CT Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 7x pada individu yang berusia lebih dari 70 tahun.

LO2.3 EtiologiBermacam macam penyebab terjadinya perdarahan spontan pada otak dan umumnya multifaktorial. Berbagai bentuk kelainan kongenital dan yang diperoleh pada penyakit kardiovaskuler merupakan mekanisme penyebab yang paling sering, tapi struktur yang mirip dapat juga terjadi akibat komplikasi tumor otak primer dan sekunder, peradangan dan penyakit autoimmune, trauma, atau manifestasi penyakit sistemik yang menyebabkan hipertensi atau koagulopathy. Perdarahan otak juga dapat terjadi karena terapi trombolitik pada miokard infark dan cerebral infark. Oleh karena faktor-faktor penyebabnya heterogen, pengobatannya khusus dan intervensi penyesuaiannya harus hati-hati terhadap masing-masing individu.Penyebab yang paling sering dari perdarahan non-trauma adalah hipertensi, dimana terjadi perubahan-perubahan patologi, seperti micro-aneurysma, lipohyalinosis, terutama pada arteri-arteri kecil, lemahnya dinding pembuluh darah dan cenderung pecah.Perokok, peminum alkohol, kadar serum kolesterol juga mempengaruhi terjadinya perdarahan otak. Resiko perdarahan 2,5 kali lebih tinggi pada perokok. Resiko perdarahan bertambah pada peminum alkohol. Serum kolesterol yang rendah dibawah 160mg/dl, berhubungan dengan meningkatnya resiko perdarahan pada laki-laki Jepang. Sedangkan pemakaian Aspirin dengan terjadinya perdarahan dalam otak masih kontroversi. Dalam penelitian dimana penggunaan Aspirin dosis rendah (325mg/hari) terhadap plasebo pada pencegahan primer penyakit jantung, diperoleh hasil signifikan bertambah resiko perdarahan pada group Aspirin.Penyebab perdarahan dalam otak yang non hipertensi antara lain: Kelainan pembuluh darah yang kecil seperti angioma, biasanya lokasi perdarahannya lobar. Umumnya terjadi pada usia muda. Lokasi perdarahan biasanya superfisial. Obat-obat symptomatik. Perdarahan dalam otak berhubungan dengan penggunaan amphetamine. Penggunaan obat ini kebanyakan secara intra vena, juga dilaporkan dengan intra nasal atau oral. Lokasi perdarahan kebanyakan luas. Efeknya karena tekanan darah meninggi (50% dari kasus) atau perubahan histologis pembuluh darah seperti arteritis, mirip, periarteritis nodosa. Ini oleh karena efek toksik dari obat tersebut. Pada angiography dijumpai multiple area dari fokal arteri stenosis atau konstriksi dengan ukuran sedang pada arteri besar intra kranial. Ini bersifat reversible dan akan hilang dengan berhentinya penyalah gunaan obat ini. Cerebral amyloid angiopathy atau congophilic angiopathy merupakan bentuk yang unik dan pada angiography khas adanya penumpukan/deposit amyloid pada bagian media dan adventitia dengan ukuran sedang dan kecil dari arteri cortical dan leptomeningeal. Deposit pada dinding arteri cenderung menyebabkan penyumbatan pada lumen arteri karena penebalan dasar membran, fragmentasi dari lamina interna elastik dan hilangnya sel-sel endothel. Juga terjadi nekrosis fibrinoid pada pembuluh darah. Keadaan ini tidak berhubungan dengan amyloidosis vascular sistemik. Cerebral amyloid angiopathy berhubungan dengan dementia senilis yang progressive. Biasanya terjadi pada usia yang lebih lanjut dan jarang berhubungan dengan hipertensi. Tumor intrakranial (jarang terjadi perdarahan pada tumor otak; dijumpai sekitar 6-10%). Yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor ganas, baik primer ataupun metastase; jarang pada meningioma atau oligodendroma. Tumor ganas primer pada otak yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu glioblastoma multiform, lokasi perdarahan umumnya deep cortical seperti basal ganglia, corpus callosum. Tumor metastase yang paling sering menimbulkan perdarahan yaitu tumor sel germinal, sekitar 60% dan lokasi perdarahan umumnya sucortical. Anti koagulan. Pemakaian obat oral antikoagulan yang lama dengan warfarin sering menyebabkan perdarahan otak; dijumpai sekitar 9% dari kasus. Resiko terjadinya perdarahan dengan pemakaian antikoagulan oral dalam jangka panjang, 8-11 kali dibandingkan dengan yang tidak menggunakan obat tersebut pada usia yang sama. Lokasi perdarahan paling sering pada serebellum. Mekanisme terjadinya perdarahan ini masih belum diketahui. Agen fibrinolitik. Ini termasuk Streptokinase, Urokinase dan tissue type plasminogen aktivator (tPA) yang digunakan dalam pengobatan coronary, arteri dan venous trombosis. Kemampuan obat-obat ini yaitu menghancurkan klot dan relatif menurunkan tingkatan sistemik hipofibrinogenemia, sehingga sangat ideal dalam pengobatan trombosis akut. Komplikasi utama, walaupun jarang, adalah perdarahan intraserebral. Dijumpai 0,4%-1,3% penderita dengan miokard infark yang diobati dengan tPA. Perdarahan yang cenderung terjadi setelah pemberian tPA 40% sewaktu dalam pemberian infus, 25% terjadai dalam 24 jam setelah pemberian. 70-90% lokasi perdarahan lobar, 30% perdarahannya multiple dan mortality 40-65%. Mekanisme terjadinya perdarahan ini masih belum diketahui. Vaskulitis. Vaskulitis serebri dapat menyebabkan penyumbatan arteri dan infark serebri, serta jarang menimbulkan perdarahan intraserebral. Proses radang umumnya terjadi dalam lapisan media dan adventitia, serta pada pembuluh darah arteri dan vena dengan ukuran kecil dan sedang. Biasanya berhubungan dengan pembentukan mikroaneurysma. Gejalanya sakit kepala kronis, penurunan kesadaran atau kognitif yang progresif, kejang-kejang, infark serebri yang recurrent. Diagnosanya berupa limpositik CSF pleocytosis dengan protein yang tinggi. Lokasi perdarahan umumnya lobar.

LO2.4 KlasifikasiPada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom intrakranial yang dibagi menjadi :hematom yang terletak diluar duramater yaitu hematom epidural, dan yang terletak didalam duramater yaitu hematom subdural dan hematom intraserebral ; dimana masing-masing dapat terjadi sendiri ataupun besamaan.

EPIDURAL HEMATOMA

DefinisiHematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi.

EtiologiKausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi : 1. Trauma kepala 2. Sobekan a/v meningea mediana 3. Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum 4. Ruptur v diplorica Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara. Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.

KlasifikasiBerdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi 1. Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma2. Subakut : ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari3. Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

PatofisiologiHematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.

Gejala klinisGejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala;

1. Interval lusid (interval bebas)

Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera.Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid. Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri.

2. Hemiparesis

Gangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.

3. Anisokor pupil

Yaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian.

Diagnosis Regio yang paling sering terlibat dengan perdarahan epidural adalah regio temporal (70-80%). Pada regio temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningea media dekat dengan skema bagian dalam kranium. Insiden perdarahan epidural pada regio temporal lebih rendah pada pasien pediatri karena arteri meningea media belum membentuk alur dalam skema bagian dalam kranium. Perdarahan epidural muncul pada frontal, oksipital, dan regio fossa posterior kira-kira pada frekuensi yang sama. Perdarahan epidural muncul kurang begitu sering pada vertex atau daerah para-sagital. (1) Berdasarkan studi anatomi terbaru oleh Fishpool dkk, laserasi arteri ini mungkin menyebabkan campuran perdarahan arteri dan vena. (1) Perdarahan epidural jika tidak ditangani dengan observasi atau pembedahan yang hati-hati, akan mengakibatkan herniasi serebral dan kompresi batang otak pada akhirnya, dengan infark serebral atau kematian sebagai konsekuensinya. Karenanya, mengenali perdarahan epidural sangat penting. (1)PEMERIKSAAN LABORATORIUMLevel hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma. Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif. (1) Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit. (1)PENCITRAAN Radiografi (1) Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin diamati. Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar. CT-scan CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat. CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap. Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah. Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal. Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan hematom intraserebral MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas. (1)Terapi Obat-obatan Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial. (1) Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2) pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute konservatif. (1) Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal. (1) Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian klinis, publikasi terbaru Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati. (1) Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah didiskusikan diatas. (1)Terapi Bedah Berdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury, perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi. (1) Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial. (1) Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat. Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan. (1) Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini : (1) Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat. Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan. Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya pengumpulan darah yamg baru. - Trepanasi kraniotomi, evakuasi hematom- Kraniotomi-evakuasi hematom

Komplikasi Hematom epidural dapat memberikan komplikasi : 1. Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial 2. Kompresi batang otak meninggal Sedangkan outcome pada hematom epidural yaitu : 1. Mortalitas 20% -30% 2. Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10% 3. Sembuh tanpa defisit neurologik 4. Hidup dalam kondisi status vegetatif SUBDURAL HEMATOMADefinisiPerdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoidEtiologi1. Trauma kepala.2. Malformasi arteriovenosa.1. Diskrasia darah.2. Terapi antikoagulan

Klasifikasi1. Perdarahan akut Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.

2. Perdarahan sub akut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

3. Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens

PatofisiologiVena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

Gejala klinisGejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya. Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

TerapiTindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).

Komplikasi Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :1. Hemiparese/hemiplegia.2. Disfasia/afasia 3. Epilepsi.4. Hidrosepalus.5. Subdural empiemaSedangaka outcome untuk subdural hematom adalah :1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%2. Pada sub dural hematom kronis : - Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.

INTRASEREBRAL HEMATOMA

Definisi

Adalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera. Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).

EtiologiIntraserebral hematom dapat disebabkan oleh :1. Trauma kepala.2. Hipertensi.3. Malformasi arteriovenosa.4. Aneurisme5. Terapi antikoagulan6. Diskrasia darah

KlasifikasiKlasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;1. Hematom supra tentoral.2. Hematom serbeller.3. Hematom pons-batang otak.

PatofisiologiHematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.

Gejala klinis.Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otak diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat. Kriteria diagnosis hematom supra tentorial nyeri kepala mendadak penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam. Tanda fokal yang mungkin terjadi ; - Hemiparesis / hemiplegi.- Hemisensorik.- Hemi anopsia homonim- Parese nervus III.Kriteria diagnosis hematom serebeller ; Nyeri kepala akut. Penurunan kesadaran. Ataksia Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial. Kriteria diagnosis hematom pons batang otak: Penurunan kesadaran koma. Tetraparesa Respirasi irreguler Pupil pint point Pireksia Gerakan mata diskonjugat. TerapiUntuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medis

Konservatif Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller Bila perdarahan pons batang otak. Pembedahan Kraniotomi - Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa- Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa

Komplikasi Intraserebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa;1. Oedem serebri, pembengkakan otak 2. Kompresi batang otak, meninggal Sedangkan outcome intraserebral hematom dapat berupa :1. Mortalitas 20%-30% 2. Sembuh tanpa defisit neurologis

LO.3 Memahami dan menjelaskan fraktur basis craniiLO3.1 DefinisiFraktur basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung di sekitar dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita), transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek remote dari benturan pada kepala (tekanan gelombang yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar. 1, 2Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

LO3.2 EpidemiologiCedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika meninggal akibat berbagai jenis cedera. Trauma kapitis menyebabkan 50.000 kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk. Sebanyak 22% pasien trauma kapitis meninggal akibat cederanya. Sekitar 10.000-20.000 kejadian cedera medulla spinalis setiap tahunnya. Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis cranii sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun di Amerika Serikat.

LO3.3 EtiologiSuatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi akibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan terlokalisir yang dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium. Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis, dan sebaliknya

LO3.4 Klasifikasi

Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu : Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan umumnya tidak diperlukan intervensi. Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa kerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk mengoreksi deformitas yang terjadi. Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi melebar. Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal (Cerebrospinal Fluid).

1. Fossa crania anterior Menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius. Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior. 2. Fossa cranii media Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal. Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius dan n. abducens. Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek. 3. Fossa cranii posterior Menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars petrosa os temporal dab di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal. Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis. Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera

LO3.5 Manifestasi KlinisPasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII. Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss).Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia. Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.

LO3.6 PatofisiologiFraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek remote dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak. Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula. Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis Cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang terjadi dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur basis Cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja. Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983) meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus fraktur tengkorak diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus).Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et al. (1981) mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan tulang belakang. Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap ruda paksa dari arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi fraktur tengkorak hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi, leher menjadi wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN (Alem et al 1984). Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis Cranii membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s. Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur basis Cranii ketika kepala mandibula yang dikarenakan ruda paksa Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis (dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa yang bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam tes tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis Cranii. Studi kedua menilai toleransi fraktur basis Cranii ketika beban langsung diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan energi 4300 +350 N. Peneliti dapat menghitung energi untuk fraktur pada tiga dari tes dengan rata-rata 13,0 + 1.7 J. Cedera dihasilkan dengan cara ini konsisten dengan pengamatan klinis fraktur basis cranii. Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum.

LO3.7 Diagnosis dan diagnosis banding

Diagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain : Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung Keluar darah atau cairan jernih dari telinga Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes) Adanya luka memar di belakang telinga (Battles sign) Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak.

Pemeriksaan penunjangAdapun pemeriksaan penunjang untuk fraktur basis Craniii antara lain:1. Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan darah rutin, fungsi 2. Pemeriksaan radiologia. Foto rontgenb. CT-scan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.c. MRI (Magnetic Resonance Angiography)d. Pemeriksaan arteriografi

DIAGNOSA BANDINGEchimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital). Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh : Kongenital Ablasi tumor atau hidrosefalus Penyakit-penyakit kronis atau infeksi Tindakan bedah

LO3.8 TatalaksanaTatalaksana PrimerA Airway : Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada cedera. Bisa menggunakan Orogastric tube (NGT kurang aman) agar aspirasi lambung tidak mengahalangi B Breathing : Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteriC Circulation : Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV lineD Dysfunction of CNS : Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutinE Exposure : Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan dan belakang.

Untuk terapi CSF : elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung Paralisis nervus fasialis : Steroid dapat membantu Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii.

LO3.9 Komplikasi

a) Fistula cairan serebrospinalMengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.b) RinoreTerjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasusPenatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.Pendekatan bedah Sinus endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.(1)c) OtoreTerjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.(2)d) InfeksiMeningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.(3)e) Pnemocephalus:Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap.Tik yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari: operasi untuk membebaskan udara intracranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position.

LO.4 Memahami dan menjelaskan trias cushing

LI4.1 DefinisiAdanya hipertensi dan bradikardia yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.

LI4.2 Patogenesis dan PatofisiologiOtak adalah pusat kendali tubuh. Itu juga dilindungi oleh tulang yang membentuk kubah tengkorak. Perlindungan ini, bagaimanapun, adalah pedang bermata dua. Meskipun tengkorak membantu melindungi otak dari cedera, juga bisa melukai otak dengan membatasi ekspansi jaringan setelah cedera. Semua jaringan menanggapi cedera dengan pembengkakan dan pendarahan. Sebagian besar perdarahan ini mikroskopis dan terjadi relatif lambat. Jaringan otak tidak berbeda. Setelah cedera, otak akan membengkak. Namun, tidak seperti jaringan tubuh lainnya, otak terbatas dalam jumlah pembengkakan mungkin karena pembatasan fisik kubah tengkorak. Saat otak mulai membengkak, bahkan hanya di wilayah sekitar saja, pada akhirnya akan mulai mengisi semua ruang yang tersedia dalam kubah tengkorak. Ketika ini terjadi, tekanan dalam tengkorak mulai meningkat (TIK normal berkisar 5-15 mmHg).Edema otak biasanya terjadi akibat tekanan kapiler meningkat atau kerusakan yang sebenarnya untuk dinding kapiler yang memungkinkan mereka bocor. Bersamaan dengan membengkaknya otak, dua hal mulai terjadi. 1. Edema mulai menekan pembuluh darah yang mensuplai otak. Hasil kompresi ini dalam aliran darah berkurang ke otak dan iskemia otak. Iskemia kemudian akan menyebabkan arteri yang menuju ke otak membesar, menyebabkan peningkatan tambahan dalam tekanan kapiler dan peningkatan lebih lanjut dalam tekanan intrakranial. Tekanan kapiler meningkat memperburuk edema

2. Penurunan aliran darah otak ke otak kemudian akan menurunkan pengiriman oksigen ke jaringan otak. Hal ini akan mengurangi kemampuan kapiler di otak untuk berfungsi secara normal dan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran. Ketika sel-sel otak kehilangan pasokan energi mereka, pompa intraseluler (pompa natrium/kalium) mulai gagal. Hal ini memungkinkan natrium untuk memasuki sel-sel otak, menyebabkan edema seluler dan akhirnya kematian sel.

Aliran darah ke otak secara langsung berkaitan dengan tekanan perfusi serebral (CPP), yang dapat didefinisikan sebagai berikut: Cerebral Perfusi Tekanan (CPP) = Tekanan Arteri Rata-rata (MAP) Tekanan intrak

Daftar Pustaka

1. Bates, B. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2. De Jong, W. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.3. Mohlan, A. (1996). Major Diagnosis Fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.4. Masjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.5. Swartz, M. (1997). Intisari Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.6. Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua. Gajah Mada University Press, 19917. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, edisi kedua. Gajah Mada University Press, 20038. Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta, 19819. Sidharta P, Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 1981.10. Haryono Y. Rinorea cairan serebrospinal. USU. Departemen THT-KL FK USU. 200611. Nadeau K. Neurologic injury(chapter 29) in Jones and barlett learning.com. 200412. Bamberger D. Diagnosis, initial management and prevention of meningitis, University of MissouriKansas City School of Medicine, Kansas City, Missouri.13. Pillai P, Sharma R,MacKenzie R, Reilly EF, Beery PR, Thomas, Papadimos , Stawicki SPA. raumatic tension pneumocephalus: Two cases and comprehensive review of literature. OPUS 12 Scientist 2010;4(1):6-11

43