pbl blok 29

19
Persiapan Perioperatif pada Pasien Dewasa Normal Gladys Irma Hartono 102011191 [email protected] Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat Pendahuluan Pasien yang akan menjalani operasi harus melewati tahapan preoperatif. Hal ini merupakan mekanisme standar awal yang digunakan oleh ahli atau bagian anestesi. Kesalahan atau kegagalan dalam tahapan ini dapat meningkatkan resiko yang ditanggung oleh pasien baik saat premedikasi maupun saat operasi dilakukan. Dokter spesialis anestesi harus mengumpulkan data yang berhubungan dengan risiko tindakan anestesi dan operasi agar persiapan dan tindakan anestesi dapat disesuaikan dengan risiko tersebut. Persiapan preoperatif Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh persiapan preoperatif. Kunjungan preoperatif pada bedah elektif umumnya dilakukan 1 – 2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Kunjungan preoperatif bertujuan untuk: 1

description

pbl

Transcript of pbl blok 29

Page 1: pbl blok 29

Persiapan Perioperatif pada Pasien Dewasa NormalGladys Irma Hartono

[email protected]

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaJalan Arjuna Utara 6, Jakarta Barat

Pendahuluan

Pasien yang akan menjalani operasi harus melewati tahapan preoperatif. Hal ini

merupakan mekanisme standar awal yang digunakan oleh ahli atau bagian anestesi. Kesalahan

atau kegagalan dalam tahapan ini dapat meningkatkan resiko yang ditanggung oleh pasien baik

saat premedikasi maupun saat operasi dilakukan. Dokter spesialis anestesi harus mengumpulkan

data yang berhubungan dengan risiko tindakan anestesi dan operasi agar persiapan dan tindakan

anestesi dapat disesuaikan dengan risiko tersebut.

Persiapan preoperatif

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus

dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi oleh

persiapan preoperatif. Kunjungan preoperatif pada bedah elektif umumnya dilakukan 1 – 2 hari

sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.

Kunjungan preoperatif bertujuan untuk:

1. Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat – obat anestesi, premedikasi, obat atau alat

resusitasi yang sesuai dengan keadaan fisik dan kehendak pasien, sehingga komplikasi

yang mungkin terjadi dapat ditekan seminimal mungkin sehingga mengurangi biaya atau

cost pengobatan.

3. Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini dipakai

klasifikasi ASA (America Society of Anesthesiology) sebagai gambaran prognosis pasien

secara umum.

4. Menjelaskan resiko anestesi pada pembedahan dan mengurangi rasa cemas pasien dan

keluarganya.1,2

1

Page 2: pbl blok 29

Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau keluarga pasien

(alloanamnesis). Yang harus diperhatikan pada anamnesis antara lain:

1. Identitas pasien (nama, umur, alamat, pekerjaan, berat badan, tinggi badan)

2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi penyulit

dalam anestesi. Tanyakan pada pasien riwayat operasi dan anestesi yang terdahulu,

apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih sadar, perawatan

intensif pasca bedah, penyakit serius yang pernah dialami, juga mengenai riwayat

diabetes mellitus, penyakit hati, hemoglobinopati, penyakit kardiovaskuler atau sistem

pernafasan. Sehubungan dengan keadaan pasien sekarang, perlu juga ditanyakan toleransi

terhadap olahraga, batuk kronik, dan sesak nafas.

3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan

interaksi.

4. Riwayat alergi terhadap obat-obatan tertentu terutama obat anestesi pada pasien maupun

keluarganya.

5. Riwayat kebiasaan pasien, seperti merokok, minum alkohol atau mengonsumsi narkotika.

Perlu ditanyakan juga makanan dan minuman yang terakhir dimakan pasien karena dapat

mempengaruhi waktu pengosongan lambung.1,2

Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan antara lain pemeriksaan tanda-tanda vital, tinggi

dan berat badan, keadaan umum, dan kesadaran. Perhatikan juga jalan nafas bagian atas dan

pikirkan bagaimana penatalaksanaannya selama anestesi. Apakah jalan nafas mudah tersumbat,

apakah intubasi akan sulit atau mudah, apakah pasien ompong atau memakai gigi palsu atau

mempunyai rahang yang kecil yang akan mempersulit laringoskopi. Apakah ada gangguan

membuka mulut atau kekakuan leher, apakah pembengkakan abnormal pada leher yang menekan

dorong saluran nafas bagian atas.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan harus disesuaikan dengan masalah pada pasien

yang ditemukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Rontgen thoraks tidak diperlukan jika

tidak ada gejala abnormal pada dada, tapi pemeriksaan Hb dan Ht sebaiknya rutin dilakukan

pada pasien yang akan menjalani anestesi umum.1 Pemeriksaan laboratorium yang dapat

dilakukan antara lain pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, serum elektrolit, dan

2

Page 3: pbl blok 29

faal hemostasis. Dapat juga dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) dan radiologi jika

dibutuhkan.

Berdasarkan status fisik pasien preanestesia, ASA (American Society

of Anesthesiologist) membuat klasifikasi yang membagi pasien ke dalam 6 kelompok sebagai

berikut:2

Tabel 1: Klasifikasi Status Pasien Preoperatif Menurut American Society of Anesthesiologist2

Kelompok Keterangan

ASA 1 Pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan

operasi

ASA 2 Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai

sedang baik karena penyakit bedah maupun

penyakit lainnya. Tidak ada keterbatasan

fungsional.

ASA 3 Pasien dengan gangguan atau penyakit

sistemik sedang hingga berat yang

menyebabkan keterbatasan fungsi

ASA 4 Pasien dengan penyakit sistemik berat yang

mengancam hidup dan menyebabkan ketidak

mampuan fungsi

ASA 5 Pasien yang tidak dapat bertahan hidup dalam

24 jam dengan atau tanpa operasi

ASA 6 Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat

diambil untuk donor

Setelah anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dilakukan dan telah

diperoleh gambaran tentang keadaan pasien secara umum beserta masalah-masalah yang ada,

selanjutnya dibuat rencana pemberian obat dan teknik anestesi yang digunakan. Dengan

perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi sewaktu pembedahan dan

pasca bedah dapat dihindari. Rencana anestesi meliputi:

3

Page 4: pbl blok 29

1. Medikasi preanestesi

2. Jenis anestesi

Jika dilakukan anestesi umum, perhatikan manajemen jalan napas (airway), pemberian

obat induksi, rumatan dan pelemas otot. Jika anestesi yang diberikan anestesi regional,

perhatikan teknik dan zat anestesi yang digunakan.

3. Monitoring intraoperasi

Perhatikan kebutuhan cairan, tanda vital, bising usus dan kesadaran pasien.

4. Monitoring pasca operasi

Meliputi pengendalian nyeri dan pengawasan hemodinamik.2

Persiapan pada hari operasi

Persiapan yang pertama dilakukan adalah pengosongan saluran pencernaan. Pengosongan

lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi isi lambung ke paru karena

regurgitasi dan muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan dengan

puasa, pada pasien dewasa puasa 6-9 jam, pada bayi/anak dipuasakan 3-4 jam. Pada pembedahan

darurat, pengosongan lambung dapat dilakukan lebih aktif dengan cara merangsang muntah,

memasang pipa nasogastrik atau memberi obat yang menyebabkan muntah seperti apomorphin.

Cara-cara ini tidak nyaman bagi pasien sehingga jarang sekali dilakukan. Cara lain yang dapat

ditempuh adalah menetralkan asam lambung dengan memberi antasida (magnesium trisilikat)

atau antagonis reseptor H2 (cimetidin, ranitidine atau famotidin). Pemberian obat pencahar

umumnya dilakukan pada laparotomi eksplorasi. Komplikasi penting yang harus dihindari

kerena puasa adalah hipoglikemia atau dehidrasi, terutama pada bayi, anak, dan pasien geriatrik.3

Kedua, benda-benda seperti gigi palsu, bulu mata palsu, cincin, gelang harus ditinggalkan

dan bahan kosmetik seperti lipstick, cat kuku harus dibersihkan agar tidak menggangu

monitoring selama anestesi, misalnya pemeriksaan sianosis.

Ketiga, kandung kemih harus kosong, bila perlu dilakukan kateterisasi.

Keempat, Pasien masuk ke dalam kamar bedah dengan memakai pakaian khusus,

diberikan tanda atau label, terutama untuk bayi. Periksa sekali lagi apakah pasien atau keluarga

sudah memberikan izin pembedahan secara tertulis (informed consent).1.3

4

Page 5: pbl blok 29

Medikasi preanestesi

Dengan kemajuan teknik anestesi sekarang, tujuan utama pemberian medikasi preanestesi

tidak hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi jumlah obat-obat yang digunakan,

akan tetapi terutama untuk menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Kini obat

premedikasi ringan banyak digunakan, agar masa pemulihan setelah pembedahan singkat. Selain

itu ditekankan agar obat-obat yang digunakan sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien

oleh karena kebutuhan tiap-tiap pasien berbeda.

Manfaat dari pemberian medikasi preanestesi adalah memberikan rasa nyaman pada

pasien dengan efek analgesik dan anestesia, memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat

anestesi, menekan reflex yang tidak diinginkan, serta mengurangi timbulnya hipersalivasi,

bradikardi, mual, dan muntah pasca anestesi.1,2,3

Obat yang dapat diberikan sebagai medikasi preanestesi adalah:

1. Analgesik narkotik

Morfin dan pethidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan untuk

premedikasi. Keuntungan penggunaan obat ini ialahmemudahkan induksi, mengurangi

kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesi pra dan pasca bedah, memudahkan

melakukan pemberian pernapasan buatan, dan dapat diantagonisir dengan naloxon.

Narkotik ini dapat menyeabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebaabkan

hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan

hipovolemia. Berlawanan dengan barbiturate, narkotik ini dapat menyebabkan depresi

pusat pernapasan di medulla yang dapat ditunjukkan dengan turunnya respon terhadap

CO2. Efek mual dan muntah menunjukkan adanya stimulasi narkotik pada pusat muntah

di medulla.2

2. Barbiturate

Keuntungan penggunaan obat ini ialah dpat menimbulkan sedasi, efek terhadap depresi

respirasi minimal (ini dibuktikan dengan tidak berubahnya respon ventilasi terhadap

CO2), depresi sirkulasi minimal dan tidak menimbulkan efek mual dan muntah. Obat ini

efektif bila diberikan peroral. Kerugian penggunaan barbiturate termasuk tidak adanya

efek analgesia, terjadinya disorientasi terutama pada pasien yang kesakitan, serta tidak

ada antagonisnya. Barbiturate merupakan kontraindikasi untuk pasien dengan akut

intermitten porphyria.2,3

5

Page 6: pbl blok 29

3. Hipnotik Sedatif

Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja pada

menghasilkan efek anti anxiety yang selektif pada dosis yang tidak menimbulkan sedasi

yang berlebihan, depresi napas, mual dan muntah, serta memiliki antagonis yaitu

flumazenil. Kerugian penggunaan diazepam untuk premedikasi ini ialah kadang-kadang

pada orang tertentu dapat menyebabkan sedasi yang berkepanjangan. Selain itu, ada juga

obat golongan benzodiazepine lain yang larut dalam air dan cepat diabsorbsi setelah

pemberian intramuscular, yaitu midazolam. Keuntungan obat ini adalah waktu paruh

yang lebih singkat dibanding diazepam.2,3

4. Neuroleptik

Dapt digunakan droperidol. Keuntungan sangat besar dari penggunaan obat ini ialah efek

anti emetic yang sangat kuat, dan bekerja secara sentral pada pusat muntah di medulla.

Droperidol juga mempunyai efek blockade terhadap dopaminergik reseptor sehingga

dapat menimbulkan gejala extrapiramidal pada psien yang normal. Selain itu juga

mempunyai efek alpha adrenergic antagonis yang ringan, sehingga menyebabkan

vasodilatasi pembuluh darah perifer. Efek ini dapat digunakan pada pasien hipertermi

sebelum diberikan kompres basah seluruh tubuh. Namun perlu di ingat akan terjadinya

relative hipovolemia. Pada pasien dengan riwayat alergi / rhinitis vasomotorika sebaiknya

penggunaan obat ini dihindari.2,3

5. Antikolinergik

Dapat diberikan atropin. Atropin mempunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek

muskarinik dari asetylcholin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah dan

bronkus. Efek samping yang diketahui antara lain hipotensi, bradikardi dan retensi urin.2,3

Induksi anestesi dan rumatan

Pada anestesi, dikenal stadium anestesi umum atau stadium Guedel yang membagi

anestesi umum dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu:3

1. Stadium I (analgesi), dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai hilangnya

kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi

(hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi

kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.

6

Page 7: pbl blok 29

2. Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran dan refleks

bulu mata sampai pernapasan kembali teratur. Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi

dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis,

menyanyi, pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka

meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia.

stadium ini harus cepat dilewati karena dapat menyebabkan kematian.3

3. Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai pernapasan

spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:

a. Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan

bola mata yang involunter, refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring

dan muntah tidak ada dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna

(tonus otot mulai menurun).

b. Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,

frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil

midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks laring

hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.3,4

c. Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,

lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum

tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).

d. Plana 4: Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,

pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air

mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).3,4

4. Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya pernapasan perut

dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak dapat diukur, denyut

jantung berhenti, dan akhimya terjadi kematian. Kelumpuhan pernapasan pada stadium

ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.3,

Induksi adalah usaha membawa pasien dari kondisi sadar ke stadium pembedahan atau

stadium Guedel III dan melewati stadium II dalam waktu sesingkat mungkin. Induksi dapat

diberikan secara inhalasi atau intravena.

7

Page 8: pbl blok 29

Anestesi inhalasi memiliki keuntungan yaitu dpaat diberikan dan diserap secara

terkontrol dan cepat karena diserap serta dikeluarkan melalui paru. Faktor utama yang

menentukan kecepatan induksi dan pemulihan adalah kelarutan zat inhalasi dalam darah.

Semakin rendah kelarutannya, semakin cepat masa induksi dan pemulihan.

Konsentrasi alveolar minimal (KAM) atau MAC (Minimum Alveolar Concentration)

ialah kadar minimal zat tersebut dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir yang diperlukan untuk

mencegah gerakan pada 50% pasien yang dilakukan insisi standar. Pada umumnya immobilisasi

tercapai pada 95% pasien, jika kadarnya dinaikkan di atas 30% nilai KAM. Dalam keadaan

seimbang tekanan parsial zat anestetik dalam alveoli sama dengan tekanan zat dalam darah dan

otak tempat kerja obat.3,4

Anestesi inhalasi yang umum digunakan untuk praktek klinik ialah N2O, halotan,

enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran.

Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia, induksi dan

pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada anesthesia atau tambahan

pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan medik atau untuk membantu prosedur

diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan propofol. Untuk anestesia intravena total biasanya

menggunakan propofol. Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh

hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan, mula kerja cepat,

lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh

amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya,

cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler,

pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual

muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat

menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat

mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang

lain.4

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang jalur

vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan 30-60

detik. Selama induksi anesthesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan

selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

8

Page 9: pbl blok 29

Anestesi intravena yang dapat digunakan antara lain golongan barbiturate (tiopenthal,

pentothal), propofol, ketamin, dan golongan benzodiazepine (midazolam).

Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia umum inhalasi,

melakukan blockade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia

beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade saraf sehingga terbatas penggunaannya.

Oleh karena itu, diberikan obat pelumpuh otot sebagai adjuvant. Ada 2 jenis pelumpuh otot,

yaitu depolarisasi dan non depolarisasi. Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare)

bekerjanya seperti asetil-kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga

cukup lama berada di celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi

yang disusul relaksasi otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil-

kolin (diasetil-kolin) dan dekametonium. Efek sampingnya antara lain hiperkalemia, myalgia

pasca operasi, dan malignant hyperthermia.3,5

Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan

reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil-

kolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Contohnya adalah pancuronium,

atracurium.3,5

Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur

konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akan

dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat

anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu diperlukan

pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi.

Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia

intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.3,5

Monitoring intraoperasi

Dari skenario diketahui bahwa pasien wanita usia 25 tahun dengan berat badan 50 kg.

Hasil pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran tonsil T3-T3, sedangkan pemeriksaan lain

normal. Untuk menentukan kebutuhan cairan yang diperlukan, diperlukan data pasien telah

dipuasakan berapa jam. Cairan yang digunakan adalah kristaloid, seperti NaCl, Ringer Laktat

atau Ringer Asetat. Yang pertama dihitung defisit cairan, misal pasien dipuasakan selama 8 jam

dan cairan maintenance yang dibutuhkan tiap jamnya

9

Page 10: pbl blok 29

Defisit cairan dan kebutuhan maintenance selama operasi dapat dihitung dengan rumus di

bawah ini (misal, pasien telah dipuasakan 8 jam):

Defisit cairan = 1,5 ml/kgBB/jam

= 1,5 x 50 x 8

= 600 ml

Maintenance = 1,5 ml/kgBB x 1 jam

= 1,5 ml x 50

= 75 ml

Cairan diberikan ½ dalam 1 jam pertama, ¼ dalam 1 jam kedua, ¼ dalam 1 jam ketiga,

sisanya diberikan cairan maintenance.1 Jadi pada kasus ini diberikan:

Jam 1: ½ x 600 ml + 75 ml = 375 ml

Jam 2: ¼ x 600 ml + 75 ml = 225 ml

Jam 3: ¼ x 600 ml + 75 ml = 225 ml

Jam 4 dan seterusnya: 75 ml

Tapi perlu juga dilihat apakah terjadi kehilangan darah pada saat operasi. Perbandingan

darah yang hilang dengan cairan koloid yang digunakan sebagai pengganti adalah 1:3.1

Jika diperlukan, intubasi dilakukan pada saat stadium Guedel II plana 2 karena reflex

laring telah hilang. Sedangkan insisi mulai dilakukan pada stadium II plana 3. Sebisa mungkin

kedalaman anestesi dipertahankan pada stadium tersebut dan jangan mencapai stadium II plana 4

karena dapat terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan dan kondisi pasien mudah sekali

masuk ke stadium IV yaitu depresi nafas yang dapat menimbulkan kematian.3

Selain itu, juga perlu dilakukan monitor terhadap hemodinamik pasien yang meliputi

denyut nadi, kualitas denyut, tekanan darah, capillary refill, serta warna dan suhu kulit pasien.1,2

Pertama, periksa secara kontinu jalan nafas pasien. Perhatikan bagaimana pola, suara dan

frekuensi pernafasan. Selanjutnya periksa oksigenasi pasien secara kualitatif dengan

memperhatikan warna mukosa pasien dan memeriksa capillary refill time serta secara kuantitatif

dengan menggunakan pulse oxymetri.

10

Page 11: pbl blok 29

Selanjutnya, periksa sirkulasi pasien. Periksa denyut nadi, tekanan darah, dan urine

output secara berkala. Periksa juga suhu tubuh pasien.1,2

Monitoring pasca operasi

Ruang pulih merupakan tempat observasi penderita segera sesudah pembedahan.

Ruangan ini bukanlah tempat untuk rawat inap. Sebaiknya dipilih lokasi yang dekat dengan

kamar bedah sehingga memudahkan dokter anestesi dan dokter bedah keluar masuk untuk

observasi pasien. Setelah pasien tiba di ruang pulih, segera berikan oksigen, bersihkan lendir dari

jalan nafas dan observasi kesadaran, tekanan darah, nadi, output cairan, serta pola dan frekuensi

pernafasan pasien. Pasien boleh keluar dari ruang pulih apabila pasien sadar, tanda vital stabil,

mukosa bibir berwarna merah muda, dan urine output normal. Jika ada masalah yang tidak

teratasi, bawa pasien ke ICU.4,5

Setelah itu lakukan manajemen nyeri dengan pemberian opioid baik secara oral maupun

parenteral. Dosis dapat diatur bergantung pada kebutuhan masing-masing individual. Dapat juga

diberikan obat untuk mengatasi efek dari obat anestesia maupun adjuvantnya yang

berkepanjangan. Untuk mengatasi efek samping opioid dapat diberikan nalokson. Untuk

mengatasi pelumpuh otot dapat diberikan fisostigmin. Untuk mengatasi efek samping

benzodiazepine, terutama pada lansia atau pasien dengan gangguan hati dapat diberikan

flumazenil.3,4,5

Perlu dicek juga keadaan luka bekas operasi dan adanya tanda infeksi seperti demam,

nyeri, eritema, dan munculnya pus. Tiap luka bekas operasi perlu ditutup dengan kasa steril

selama 24 jam. Setelah 24 jam, luka harus diperiksa dua kali sehari. Jika muncul tanda infeksi,

bersihkan luka dan berikan antibiotik sistemik.

Periksa juga urin dan feces output pasien. Retensi urin dan konstipasi dapat terjadi pada

pasien yang mendapat antikolinergik atau opioid. Jika setelah 6-8 jam pasca operasi, masih

terjadi retensi urin dapat dilakukan pemasangan kateter. Untuk mengatasi konstipasi pada pasien

yang bukan merupakan pasien operasi gastrointestinal, dapat diberikan laxative.3,4,5

Penutup

Anestesi secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan

pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Obat yang

11

Page 12: pbl blok 29

digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini

dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Bergantung pada dalamnya pembiusan,

anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi nyeri atau efek

anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya

menimbulkan efek analgesia.

Daftar Pustaka

1. Miller DR, Pardo MC. Basics of anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Elsevier

Saunders.2011.p.78-81, 319-23.

2. Barash PG, Cullen BF. Clinical anesthesia. 6th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins.2009.p.569-72, 670-74.

3. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical anesthesiology. New York: Lange Medical

Books.2006.p.117-23, 1001-5.

4. Dobson MB. Penuntun praktis anestesiologi. Jakarta: Penerbit EGC.2004.h.61-7.

5. Boulton TB, Blogg CE. Anestesiologi. Jakarta: Penerbit EGC.2005.h.94-8.

12