Pbl Blok 29 - Skenario 5
Click here to load reader
-
Upload
fifi-lovalola -
Category
Documents
-
view
37 -
download
23
description
Transcript of Pbl Blok 29 - Skenario 5
Asma Persisten Berat Dengan Eksaserbasi Akut Berat
Lukfintia Filia
102010080
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Pendahuluan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak.
Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara sedang
berkembang. Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tatalaksana pada saat serangan
asma (eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tatalaksana jangka panjang (aspek kronis). Pada
asma episodik sering dan asma persisten, selain penanganan pada saat serangan, diperlukan obat
pengendali (controller) yang diberikan sebagai pencegahan terhadap serangan asma.
Pada makalah ini akan dijelaskan klasifikasi asma, tatalaksana asma akut, pemberian
terapi jangka panjang dan pencegahan pada asma anak.
Anamnesis
Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan wawancara. Anamnesis terbagi
menjadi dua tipe, yang pertama autoanamnesis yaitu wawancara yang ditujukan langsung kepada
pasien, yang kedua alloanamnesis yaitu wawancara yang ditujukan kepada pihak keluarga, orang
tua, atau kerabat selain pasien. Yang termasuk didalam alloanamnesis adalah semua keterangan
dokter yang merujuk, catatan rekam medik, dan semua keterangan yang diperoleh selain dari
pasiennya sendiri.Yang perlu dilakukan pada anamnesis adalah sebagai berikut: 1
a. Identitas : nama lengkap, umur, jenis kelamin, alamat
b. Riwayat penyakit / keluhan : keluhan/ gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat
c. Riwayat perjalanan penyakit :
Cerita kronologis, rinci, jelas tentang keadaan pasien sebelum ada keluhan sampai
dibawa berobat
Pengobatan yang pernah dipakai sebelumnya
Reaksi alergi
Riwayat penyakit pada anggota keluarga
Perkembangan penyakit 1
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Inspeksi dilakukan untuk mengetahui adanya lesi pada dinding dada, kelainan bentuk
dada, menilai frekuensi, sifat dan pola pernafasan.
1. Kelainan dinding dada
Kelainan-kelainan yang bisa didapatkan pada dinding dada yaitu parut bekas operasi,
pelebaran vena-vena superfisial akibat bendungan vena, spider nevi, ginekomastia tumor,
luka operasi, retraksi otot-otot interkostal dan lain-lain.
2. Kelainan bentuk dada.
Dada yang normal mempunyai diameter latero-lateral yang lebih besar dari diameter
anteroposterior. Kelainan bentuk dada yang bisa didapatkan yaitu:
Dada paralitikum dengan ciri-ciri dada kecil, diameter sagital pendek; sela iga sempit, iga
lebih miring, angulus costae <900, terdapat pasien dengan malnutrisi.
Dada emfisema (barrel shape) yaitu dada menggembung, diameter anteroposterior lebih
besar dari diameter latero-lateral; tulang punggung melengkung (kifosis), angulus costae
>900, terdapat pada pasien dengan bronkitis kronis, PPOK.
Kifosis dengan ciri-cirinya kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah
anterior. Kelainan ini akan terlihat jelas bila pemeriksaan dilakukan dari arah lateral pasien.
Skoliosis cirinya kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah lateral. Kelainan
ini terlihat jelas pada pemeriksaan dari posterior.
Pectus excavatum cirinya dada dengan tulang sternum yang mencekung.
Pectus carinatum (pigeon chest atau dada burung) cirinya dada dengan tulang sternum
menonjol ke depan.
3. Frekuensi pernapasan
Frekuensi pernapasan normal 14-20 kali per menit. Pernapasan kurang dari 14 kali per menit
disebut bradipneu, misalnya akibat pemakaian obat-obat narkotik, kelainan serebral. Pernapasan
lebih dari 20 kali per menit disebut takipneu, misalnya pada pneumonia, anksietas, asidosis.
4. Jenis pernapasan : torakal misalnya pada pasien sakit tumor abdomen, peritonitis umum.
5. Pola pernapasan
- Pernapasan normal: irama pernapasan yang berlangsung secara teratur ditandai
dengan adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi yang silih berganti.
- Takipnea: napas cepat dan dangkal.
- Hiperpnea/hiperventilasi: napas cepat dan dalam.
- Pernapasan cheyne stokes: irama pernapasan yang ditandai dengan adanya periode
apnea (berhentinya gerakan pernapasan) kemudian disusul periode hiperpnea
(pernafasan mula-mula kecil amplitudonya kemudian cepat membesar dan kemudian
mengecil lagi).2
Palpasi
Palpasi dinding dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis.
1. Palpasi dalam keadaan statis.
Pemeriksaan palpasi yang dilakukan pada keadaan ini adalah:
- Pemeriksaan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang membesar di daerah
supraklavikula dapat memberikan petunjuk adanya proses di daerah paru seperti
kanker paru. Pemeriksaan kelenjar getah bening ini dapat diteruskan ke daerah
submandibula dan kedua aksila.
- Pemeriksaan untuk menentukan posisi mediastinum. Posisi mediastinum dapat
ditentukan dengan melakukan pemeriksaan trakea dan apeks jantung.
- Pemeriksaan palpasi selanjutnya diteruskan ke daerah dada depan dengan jari tangan
untuk mengetahui adanya kelainan dinding dada misalnya tremor, nyeri tekan pada
dinding dada, krepitasi akibat emfisema subkutis, dan lain-lain.
2. Palpasi dalam keadaan dinamis.
Pada keadaan ini dapat dilakukan pemeriksaan unutk menilai ekspansi paru serta
pemeriksaan vokal fremitus.
- Pemeriksaan ekspansi paru. Dalam keadaan normal kedua sisi dada harus sama-sama
mengembang selama inspirasi biasa maupun dengan inspirasi maksimal.
Berkurangnya gerakan pada salah satu sisi menunjukan adanya kelainan pada sisi
tersebut. untuk menilai pengembangan paru bagian bawah dilakukan pemeriksaan
dengan meletakkan kedua telapak tangan dan ibu jari secara simetris pada masing-
masing tepi iga, sedangkan jari-jari lain menjulur sepanjang sisi lateral lengkung iga.
- Pemeriksaan vokal fremitus. Fremitus yang melemah didapatkan pada penyakit
empiema, hidrotoraks, atelektasis. Fremitus yang mengeras terjadi karena adanya
infiltrat pada parenkim paru (misalnya pada pneumonia, tuberkulosis paru aktif).2
Perkusi
Berdasarkan patogenesisnya, bunyi ketokan yang terdengar dapat bermacam-macam yaitu:
- Sonor (resonant): terjadi bila udara dalam paru (alveoli) cukup banyak, terdapat pada
paru yang normal
- Hipersonor (hiperresonant): terjadi bila udara dalam paru /dada menjadi jauh lebih
banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas besar yang letaknya superfisial,
pneumotoraks, dan bula yang besar
- Redup (dull): bila bagian yang padat lebih banyak daripada udara misalnya adanya
infiltrat/konsolidasi3
Dalam keadaan normal didapatkan hasil perkusi yang sonor pada kedua paru.
Auskultasi
Auskultasi merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menilai aliran udara melalui
sitem trakeobronkial.
Suara napas pokok yang normal terdiri dari:
- Vesikular
- Bronkovesikular
- Bronkial
- Trakeal
Dalam keadaan normal suara napas vesikular yang berasal dari alveoli dapat didengar pada
hampir seluruh lapangan paru. Sebaliknya suara napas bronkial tidak akan terdengar karena
getaran suara yang berasal dari bronkus tersebut tidak dapat dihantarkan ke dinding dada
karena dihambat oleh udara yang terdapat dalam alveoli.3,4
Suara nafas tambahan terdiri dari:
- Ronki basah (crakels atau rales): suara nafas yang terputus-putus, bersifat nonmusical,
dan biasanya terdengar pada saat inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam
saluran napas. Ronki basah lebih lanjut dibagi menjadi ronki basah halus dan kasar
tergantung besarnya bronkus yang terkena. Ronki basah halus terjadi karena adanya
cairan pada bronkiolus, sedangkann yang halus lagi berasal dari alveoli yang disebut
krepitasi, akibat terbukanya alveoli pada akhir inspirasi. Krepitasi terutama dapat
didengar fibrosis paru. Sifat ronki basah ini dapat bersifat nyaring (bila ada infiltrat
misalnya pada pneumonia) ataupun tidak nyaring (pada edema paru).
- Rongki kering: suara napas kontinyu, yang bersifat musical, dengan frekuensi yang relatif
rendah, terjadi karena udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit, misalnya
akibat adanya sekret yang kental. Wheezing adalah ronki kering yang frekuensinya tinggi
dan panjang yang biasanya terdengar pada serangan asma.3
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiologi
- Foto toraks pada bronkitis kronik memperlihatkan tubular shadow berupa bayangan
garis-garis paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah.
- Pada emfisema paru, foto toraks menunjukan adanya overinflasi dengan gambaran
diafragma yang rendah dan datar, penciutan pembuluh darah pulmonal, dan penambahan
corakan ke distal.
2. Pemeriksaan fungsi paru
Menunjukan obstruksi aliran napas dan menurunnya pertukaran udara akibat destruksi
jaringan paru. Kapasitas total paru bisa normal atau meningkat akibat udara yang
terperangkap. Dilakukan pemeriksaan reversibilitas karena 20% pasien negalami perbaikan
dengan pemberian bronkodilator.
3. Pemeriksaan gas darah
Analisa gas darah harus dilakukan jika ada kecurigaan gagal napas. Pada hipoksemia kronis
kadar hemoglobin bisa meningkat.3,5
Definisi Asma
GINA (Global Initiative for Asthma) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi
kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T.
Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas,
rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak
sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.3
Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk kepentingan
klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan
operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai
berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman,
adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan
maupun denganpengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.4
Diagnosis Asma
Pada anak dengan gejala dan tanda asma yang jelas, serta respons terhadap pemberian
obat bronkodilator baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut. Bila
respons terhadap obat asma tidak baik, sebelum memikirkan diagnosis lain, maka perlu dinilai
dahulu beberapa hal. Hal yang perlu dievaluasi adalah apakah penghindaran terhadap pencetus
sudah dilakukan, apakah dosis obat sudah adekuat, cara dan waktu pemberiannya sudah benar,
serta ketaatan pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar.
Maka perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis bukan asma.4
Pada pasien dengan batuk produktif, infeksi respiratorik berulang, gejala respiratorik
sejak masa neonatus, muntah dan tersedak, gagal tumbuh, atau kelainan fokal paru dan
diperlukan pemeriksaan lebih lanjut. Pemeriksaan yangperlu dilakukan adalah foto Rontgen
paru, uji fungsi paru, dan uji provokasi. Selain itu mungkin juga perlu diperiksa foto Rontgen
sinus paranasalis, ujikeringat, uji imunologis, uji defisiensi imun, pemeriksaan refluks, uji
mukosilier, bahkan tindakan bronkoskopi.5
Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma pada Anak Menurut PNAA
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Asma pada Anak Menurut GINA
Working Diagnosis
Asma persisten berat dengan eksaserbasi akut
Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
asma bronkhial.
1. Faktor predisposisi
a. Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alerg biasanya mempunyai
keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita
sangat mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus.
Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.6
2. Faktor presipitasi
a. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan ex: debu, bulu binatang, serbuk
bunga, spora jamur, bakteri dan polusi
Ingestan, yang masuk melalui mulut ex: makanan dan obat-obatan
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit ex: perhiasan, logam dan jam
tangan
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma. Atmosfir
yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang
serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga.
Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress/ gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus segera
diobati penderita asma yang mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya
belum bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan
dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil,
pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani
atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma. Serangan asma
karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.6
Epidemiologi
Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada
anak sekitar 10% pada usia sekolah dasar,5 dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah
pertama.6 Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada
anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di Negara berkembang
dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada
anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan
laporan National Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia
0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewasa > 18 tahun adalah
38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3
kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja prevalensinya hampir sama dan
pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita.7
Manifestasi Klinis
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak yang
lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas dada terasaberat gejala biasanya
akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan inhalasi alergen.
Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat
lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat
menunjang penegakan diagnosis. GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan
diagnosis asma didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme
kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang
berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi
pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atautanda yang patut diduga suatu asma.
Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil.,khususnya anak di bawah 3
tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan
penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar
(>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan
peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan
histamin,metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis,
sangat menunjang diagnosis.7
Patofisiologi
Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang
mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran napas pasien asma
ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi
hiperreaktivitas saluran napas sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi
respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang
tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas
fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas
menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan.
Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa,
kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas
mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan,
pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah
karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan bayi dan anak kecil terhadap
peningkatan risiko obstruksi saluran napas antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil,
recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil,
hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar
alveolus.7
Penatalaksanaan
Tatalaksana serangan
a. Tatalaksana dirumah
Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin. Bila
tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek samping
sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI
dengan atau tanpa spacer atau nebulizer. Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada
perbaikan atau bahkan terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit.8
b. Tatalaksana emergensi
Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat serangannya.
Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat
ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit.
Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus
berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat
secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas. Berikut ini pentalaksanaan
serangan asma sesuai derajat serangan:
Serangan asma ringan
Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat menunjukkan respon yang
baik. Pasien dengan derajat serangan asma ringan diobservasi 1-2 jam, jika respon tersebut
bertahan pasien dapat dipulangkan dan jika setelah observasi selama 2 jam gejala
timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma derajat sedang. Sebelum pulang
pasien dibekali obat ß2-agonis (hirupan atau oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika
pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek selama
3-5 hari. Pasien juga dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam
untuk evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat
pengendali, obat tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat jalan.
Serangan asma sedang
Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya
menunjukkan respon parsial (incomplete response) dan pasien perlu diobservasi di ruang rawat
sehari (One day care) dan walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat,
pasien yang akan diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak di
unit gawat darurat (UGD). Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik oral
metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari.8
Serangan asma berat
Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan
respon yait gejala dan tanda serangan masih ada. Pada keadaan ini pasien harus dirawat inap dan
jika pasien menunjukkan gejala dan ancaman henti napas pasien harus langsung dirawat diruang
intensif. Pasien diberikan oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk saat dilakukan nebulisasi,
dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi
dengan pemberian cairan intravena dan koreksi terhadap asidosis dan pada pasien dengan
serangan berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi
kemungkinan pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pada ancaman henti napas hipoksemia
tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadarPaO2<60 mmHg dan atau PaCO2>45 mmHg).
Pada ancaman henti napas diperlukan ventilasi mekanik. Nebulisasi dengan β-
agonis+antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian
mulai terjadi perbaikan klinis jarak pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam. Pasien juga
diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari perbolus setiap 6-8 jam dan aminofilin
intravena dengan beberapa ketentuan sebagai berikut: Jika pasien belum mendapat minofilin
sebelumnya, diberikan aminofilindosis awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstros 5%
atau garam fisiologis sebanyak 20 ml diberikan dalm 20-30 menit. Jika pasien telah mendapat
aminofilin sebelumnya (kurang dari 4 jam), dosis yang diberikan adalah setengah dari dosis
inisial. Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar10-20μ/ml.
Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1mg/kgBB/jam. Jika terjadi
perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jamdan pemberian aminofilin dan
kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam stabil pasien dapat dipulangkan dengan dibekali
β2-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral
dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evalasi ulang
tatalaksana.7,8
Pencegahan
Tujuan utama pengobatan asma pada anak adalah:
1. Mencegah anak mengalami gejala yang lebih berat dan berkepanjangan.
2. Memelihara fungsi paru-paru senormal mungkin
3. Agar anak dapat beraktifitas normal.
4. Mencegah serangan asma berulang
5. Mengurangi jumlah kunjungan darurat ke rumah sakit, dan
6. Memberikan pengobatan dengan hasil terbaik dan efek samping seminimal mungkin.7
Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah : status asmatikus, atelectasis,
hipoksemia, pneumothoraks, emfisema, deformitas thoraks, gagal nafas.8
Prognosis
Jika didiagnosis secara tepat, penyakit asma dapat sembuh total. Prognosis buruk jika
pasien datang ke dokter sudah dalam kondisi asma berat.6
Kesimpulan
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang ditandai adanya proses inflamasi
yang disertai proses remodeling. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu yang
berhubungan dengan pola hidup dan polusi. Klasifikasi asma adalah asma episodik jarang, asma
episodik sering, dan asma persisten. Pada asma episodik jarang hanya diberikan obat reliever
saja tanpa controller, sedangkan pada asma episodik sering dan persisten diperlukan terapi
jangka panjang (controller). Pada terapi jangka panjang setelah diberikan kortikosteroid dosis
rendah kurang memuaskan dapat diberikan terapi kombinasi kortiksteroid dosis rendah dan
LABA, atau TSR, atau antileukotrien. Terapi kombinasi tersebut dapat memperbaiki uji fungsi
paru, gejala asma, dan aktivitas sehari-hari yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup
anak asma. Dengan kombinasi di atas, dosis kortikosteroid dapat diturunkan sehingga efek
samping terhadap tumbuh kembang anak dapat dikurangi. Terapi kombinasi tersebut merupakan
suatu harapan baru dalam tatalaksana asma.
Daftar Pustaka
1. Gleadle J.Pengambilan anamnesis. At a glance Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Penerbit
Erlangga. 2005. Jakarta.
2. Subekti I, Setiyohadi B. Pemeriksaan fisis umum. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
Publishing. 2009. Jakarta.
3. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004.
4. Ward J, Leach R, Wiener C. Asma. Et A Glance system respirasi. ED II. Erlangga.
Jakarta.2008
5. TePas E, Umetsu D. imunologi dan alergi. Nelson esensi pediatric.ED IV.EGC. 2002.
Jakarta. hal 341-350
6. Supriyatno B. Tatalaksana Serangan Asma Pada Anak. Bagian IlmuKesehatan Anak FKUI-
RSCM, Jakarta.
7. Riyanto B, Hisyam B. Obstruksi saluran pernapasan akut. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Ed. V. Jakarta. 2009.
8. Dacre Jane, Kopelman Peter. Buku saku keterampilan klinis. Jakarta: EGC; 2004