PBL blok 17.doc

download PBL blok 17.doc

of 15

Transcript of PBL blok 17.doc

BAB I

PENDAHULUAN

Pada kasus kali ini pasien kita mengeluh kedua matanya tampak kuning sekitar 2 hari yang lalu, pasien juga mengeluhkan adanya demam, nafsu makan menurun, mual, dan buang air kecil yang seperti teh pekat sejak 1 minggu yang lalu. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda-tanda vital normal, namun tampak kuning pada sclera dan kulit, ada pula nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas. Kita dapat merasakan adanya pembesaran hati sebesar 3 jari dibawah arcus costae kanan dan 2 jari dibawah procesus xympoideus. Hati terasa lunak dan nyeri tekan.

Dari gejala yang dikeluhkan pasien, yang menjadi pusat perhatian pertama saya adalah sclera dan kulit yang tampak kuning atau disebut juga ikterus. Ikterus adalah perubahan warna kulit atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan bilirubin yang konsentrasinya meningkat dalam sirkulasi darah.1 Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, penyakitnya pun dapat bersifat kronik maupun akut. Tentunya untuk menunjang diagnosis, kita harus melakukan anamnesis lebih lanjut dan bisa juga melakukan pemeriksaan penunjang (radiologi dan laboratorium).

Selanjutnya, dengan melihat air seni pasien berwarna seperti teh pekat, menandakan adanya penyakit hati atau bilier. Warna teh yang pekat biasanya diakibatkan oleh peningkatan bilirubin direk yang bisa dikarenakan hepatitis infeksiosa atau reaksi obat. Namun bila ikterus tidak disertai dengan buang air kecil seperti teh pekat, dapat dicurigai adanya hiperbilirubinemia indirek yang mungkin disebabkan sindrom Gilbert dan bukan oleh karena penyakit hepatobilier.1Seringkali pasien melihat gejala warna gelap air seni terlebih dahulu dari pada kuning kulit, karenanya warna gelap urin lebih bisa dipakai sebagai ukuran awal mulainya penyakit. Pada kasus pasein kita mengalami mual muntah, keadaan tersebut menandakan ke arah hepatitis akut atau sumbatan duktus koledokus karena batu. Jika ikterus berjalan sangat progresif perlu dipikirkan segera bahwa kolestasis lebih bersifat ke arah sumbatan ekstrahepatik (batu saluran empedu atau keganan caput pankreas). Selanjutnya dalam makalah ini saya akan membahas lebih dalam mengenai hepatitis akut et causa virus, hepatotoksisitas imbas obat, dan kolestasis.

BAB II

ISI

Bilirubin dibentuk metabolisme pemecahan sel darah merah. Ada 3 fase metabolisme bilirubin, yaitu fase prahepatik, meliputi pembentukan bilirubin dan transpor plasma, fase intrahepatik, meliputi liver uptake, konjugasi, serta fase pascahepatik, yaitu ekskresi bilirubin.

Pembentukan bilirubin sekitar 250-350mg setiap harinya di dalam sel sistem retikuloendotheleal (mononuklir fagositosis), 70-80% terbentuk dari pemecahan sel darah merah yang matang dan sisanya dibentuk dari protein hem lainnya yang berasal terutama dari sumsum tulang dan hati. Protein hem akan dipecah menjadi besi dan biliverdin oleh enzim hemoksigenase, selanjutnya enzim biliverdin reduktase akan merubah biliverdin menjadi bilirubin. Selanjutnya, karena bilirubin tidak larut air maka agar dapat ditransport melalui plasma, bilirubin berikatan dengan albumin sehingga bilirubin tidak dapat melalui filtrasi glomerulus.2 Pada beberapa keadaan, seperti asidosis, konsumsi antibiotika tertentu, misalnya salisilat, ikatan albumin dan bilirubin akan melemah.

Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi (bilirubin indirek) oleh hati melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronil transferse membentuk bilirubin konjugasi atau bilirubin direk yang sifatnya larut air. Selanjutnya bilirubin direk akan dikeluarkan kedalam kanalikulis bersama bahan lainnya. Dalam usus, bakteri usus kan mendekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam tinja. Sterkobilinogen inilah yang memberi warna kecoklatan pada tinja. Sebagain lagi diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, serta dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen.2 Seperti sudah saya sebutkan diatas bahwa bilirubin indirek tidak dapat melewati filtrasi glomerulus karena terikat bersama albumin, tetapi bilirubin direk dapat melaluinya. Hal ini menerangkan warna air seni yang gelap khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin indirek bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melalui barier darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin indirek mengalami proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukoronil transferase dan larut dalam empedu cair.

Itu adalah sekilas mengenai metabolisme bilirubin. Ikterus dapat disebabkan oleh adanya gangguan pada metabolisme bilirubin. Ada sangat banyak hal yang menyebabkan ikterus. Salah satu cara memberdakan dalam merumuskan diagnosis banding adalah tentunya dengan melakukan anamnesis yang lebih terperinci.

Contohnya, dapat ditanyakan sudah berapa lama gejala dirasakan dan adakah penyakit lain yang dirasakan sebelum timbul ikterus. Hal ini dapat menunjukkan adanya periode subklinis yang lama sebelum timbulnya ikterus. Ditanyakan pula apakah ada tanda-tanda kolestasis, seperti tinja berwarna pucat, urin gelap, dan pruritis. Adanya nyeri juga harus dianggap adanya kolestasis sampai terbukti bukan. Adanya demam dan kaku (rigor) merupakan tanda khas adanya kolangitis ascendens.3 Perlu juga menanyakan faktor resiko terjadinya penyakit hati, seperti konsumsi alkohol, riwayat yang berpergian, penggunaan obat intravena (dan tanyakan secara spesifik obat intravena yang diberikan) serta tanyakan pula adanya kegagalan hati atau ensefalopati hepatica seperti mengantuk pada siang hari (somnolen), sulit konsentrasi, dan sebagainya.

Namun dalam kasus pasien kita, saya akan lebih berkonsentrasi pada penyakit hepatitis infeksiosa, hepatotoksisitas imbas obat, atau adanya kolestasis karena alasan-alasan yang telah saya jabarkan pada pendahuluan.

HEPATITIS INFEKSIOSA

Kecurigaan saya lebih mengarah pada hepatitis infeksiosa virus akut karena, biasanya pada hepatitis infeksiosa virus kronik tidak didapatkan keluhan maupun gejala dan pemeriksaan tes faal hati biasanya normal. Pemeriksaan laboratorium tidak selalu didapatkan kenaikan konsentrasi ALT dan bilirubin dalam kadar yang normal sehingga kulit dan mukosa pasien tidak menguning atau ikterik.

Hepatitis virus adalah infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Semua virus ini merupakan virus RNA, kecuali hepatitis B virus, yang merupakan virus DNA. Walaupun virus-virus tersebut berbeda-beda dalam sifat molekuler dan antigen, akan tetapi semua virus itu memperlihatkan kesamaan dalam perjalanan penyakitnya.1

Ada beberapa fase pada gejala hepatitis akut. Yang pertama fase inkubasi yang merupakan waktu antara masuknya virus sampai timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya untuk tiap virus hepatitis. Panjang fase ini tergantung dosis inokulum yang ditularkan dan jalur penularan, makin besar dosis inokulum, makin pendek fase inkubasi ini.

Selanjutnya memasuki fase prodormal atau fase pra ikterik, ditandai dengan adanya malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas, dan anoreksia. Mual, muntah, dan anoreksia berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Serum sickness dapat muncul pada awal infeksi hepatitis B akut. Demam derajat rendah umumnya terjadi bila seseorang terinfeksi hepatitis A akut. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang menimbulkan kolesistitis.

Setelah memasuki fase ikterus, gejala-gejala prodormal akan mulai hilang. Biasanya ikterus muncul 5-10 hari gejala prodormal berlangsung, tetapi dapat juga muncul bersamaan dengan munculnya gejala prodormal. Pada fase penyembuhan atau fase konvalesen, ikterus dan keluhan lain mulai menghilang, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada hepatitis A perbaikan klinis dan labolatorium lengkap terjadi dalam 9 minggu, sedangkan pada hepatitis B membutuhkan waktu 16 minggu.

Agen Penyebab Hepatitis VirusSecara umum penyebab hepatitis virus dapat diklasifikasikan ke dalam 2 group, yaitu hepatitis dengan transmisi secara enteric dan transmisi melalui darah. Yang transmisinya secara interik antara lain hepatitis A virus (HAV) dan hepatitis E virus (HEV). Keduanya merupakan virus tanpa selubung, tahan terhadap cairan empedu, ditemukan pada pemeriksaan tinja pasien, tidak dihubungkan dengan penyakit hati kronik, tidak terjadi viremia yang berkepanjangan atau kondisi karier intestinal.

Hepatitis A virus (HAV) digolongkan dalam picorna virus, subklasifikasi sebagai hepatovirus. Virus ini merupakan RNA virus single stranded, berdiameter 27-28 nm dengan kubus simetrik. Pada manusia terdiri satu serotipe dan tiga atau lebih genotipe. HAV bereplikasi pada sitoplasma hepatosit yang terinfeksi, tidak terdapat bukti nyata adanya replikasi di usus. Masa inkubasi virus ini berkisar 15-50 hari (rata-rata 30 hari) dan merupakan endemisitas tertinggi di negara berkembang.1 Transmisi fecal-oral predominan di antara anggota keluarga. Kejadian luar biasa dihubungkan dengan sumber umum yang digunakan bersama, makanan terkontaminasi, dan air. HAV diekskresi di tinja oleh orang yang terinfeksi selama 1-2 minggu sebelum dan 1 minggu setelah awitan penyakit. Viremia muncul singkat (tidak lebih dari 3 minggu), kadang-kadang sampai 90 hari ;ada infeksi yang membandel atau infeksi yang kambuh. Ekskresi feses yang memanjang, dapat sampai berbulan-bulan, dilaporkan pada neonatus yang terinfeksi. Faktor resiko paparan antara lain pada pusat perawatan sehari untuk bayi atau balita, institusi untuk developmentally disadvantage, bepergian ke negara berkembang, perilaku seks oral-anal, serta pemakaian bersama IVDU (intravena drug user). Prevalensi berkolerasi dengan standar sanitasi dan rumah tinggal ukuran besar. Pada ibu hamil tidak perlu khawatir tertularnya bayi mereka bila mereka terkena HAV selama kehamilan, karena tidak terbukti adanya penularan maternal-neonatal, serta penularan melalui transfusi darah juga sangat jarang.4 Berbeda dengan HAV, Hepatitis E virus (HEV) digolongkan pada famili yang berbeda yaitu pada virus yang menyerupai hepatitis E. Namun kesamaannya dengan HAV adalah HEV juga merupakan virus RNA single stranded berukuran 27-34 nm. Pada manusia hanya terdiri satu serotipe dan empat sampai lima genotipe utama. Sama halnya dengan HAV, HEV hanya bereplikasi pada hepatosit. Masa inkubasi virus ini sedikit lebih lama dari HAV, yaitu 40 hari. Distribusinya juga luas, hepatitis sporadic sering pada dewasa muda di negara berkembang. Penyakit endemic dengan sumber penularan melalui air. Berbeda dengan HAV, virus ini dilaporkan adanya transmisi maternal-neonatal. Di negara maju, sering berasal dari orang yang kembali pulang setelah melakukan perjalanan, atau imigran baru dari daerah endemik. Viremia yang memanjang atau penularan di tinja merupakan kondisi yang tidak sering dijumpai.

Selanjutnya saya akan membahas mengenai hepatitis virus akut yang transmisinya melalui darah, Hepatitis B virus (HBV). HBV merupakan satu-satunya hepatitis virus yang merupakan DNA virus. HBV digolongkan dalam hepadnavirus, terdiri dari 6 genotipe (A sampai H), terkait dengan derajat beratnya dan respon terhadap terapi. Masa inkubasi virus ini paling lama dibandingkan dengan HAV dan HEV, yaitu 15-180 hari atau rata-rata 60-90 hari. Viremia berlangsung selama beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah infeksi akut. Sebanyak 1-5% dewasa, 90% neonatus, dan 50% bayi akan berkembang menjadi hepatitis kronis dan viremia yang presisten. Infeksi presisten dihubungkan dengan hepatitis kronik, sirosis hati, dan kanker hati. HBV ditemukan di darah, semen, secret, servikovaginal, saliva, dan juga cairan tubuh lain. Cara transmisinya juga berbeda dengan HAV dan HEV, HBV dapat ditularakan melalui darah seperti menerima produk darah pada transfusi darah, IVDU, pasien hemodialisis, pekerja kesehatan, pekerja yang terpapar darah, transmisi seksual, penetrasi jaringan perkutan atau permukosa, seperti tertusuk jarum, penggunaan ulang peralatan medis yang terkontaminasi, pengguna bersama pisau cukur atau silet, tato, akupuntur, tindik, penggunan sikat gigi bersama, transmisi maternal-neonatal dan maternal-infant juga dapat terjadi, tetapi tidak ada ada bukti penyebaran fecal-oral.1PatofisiologiSistem imun bertanggung jawab untuk terjadinya kerusakan hati, melibatkan respons CD8 dan CD4 sel T dan produksi sitokin di hati dan sistemik. Efek sitopatik langsung dari virus pada pasien imunosupresi dengan replikasi tinggi, akan tetapi tidak ada bukti langsung mengenai hal ini.1Gambaran Klinis

Infeksi yang sembuh spontan antara lain, spectrum penyakit mulai dari asimtomatik, infeksi yang tidak nyata sampai kondisi yang fatal sehingga terjadi gagal ginjal aku. Sindrom klinis yang mirip pada semua virus penyebab mulai dari gejala prodormal yang non spesifik dan gejala gastrointestinal, seperti malaise, anoreksia, mual, muntah, gejala flu, faringitis, batuk, coryza, fotofobia, sakit kepala, mialgia. Awitan gejala cendurung muncul mendadak pada HAV dan HEV. Demam jarang ditemukan kecuali pada HAV. Gejala prodormal menghilang pada saat timbul kuning, tetapi gejala anoreksia, malaise, dan kelemahan dapat menetap. Ikterus didahului dengan kemunculan urin berwarna gelap, pruritus (biasanya ringan dan sementara) dapat timbul saat ikterus meningkat. Pada pemeriksaan fisik umumnya menunjukkan sedikit pembesaran dan sedikit nyeri tekan pada hati. Splenomegali ringan dan limfadenopati dapat ditemukan pada 15-20% pasien.3Diagnosis Secara Serologis

Bila pasien terkena HAV maka akan terdeteksi IgM anti-HAV selama fase akut dan 3-6 bulan setelahnya. Anti HAV yang positif tanpa IgM anti-HAV mengindikasikan infeksi lampau. Untuk HEV, FDA belum menyetujui pemeriksaan komersial. Biasanya deteksi untuk HEV hanya untuk riset saja. IgM HEV bertahan selama 6 minggu setelah puncak penyakit. IgG-anti HEV dapat terdeteksi selama 20 bulan.

Pada virus yang transmisinya melalui darah seperti HBV, diagnosis serologis telah tersedia dengan mendeteksi IgM atibodi terhadap antigen core hepatitis (IgM anti-HBc dan HBsAg). Baik IgM anti-HBc maupun HBsAg akan terdeteksi saat gejala timbul. Biasanya HBsAg akan meningkat lebih dulu, HbsAg merupakan pertanda pertama kali diperiksa secara rutin pada pasien yang dicurigai terinfeksi HBV. HBsAg dapat menghilang biasanya dalam beberapa minggu sampai bulan setelah kemunculannya, sebelum hilangnya IgM anti-HBc. Selain HBsAg, HBV-DNA juga merupakan pertanda pertama yang muncul tetapi tidak rutin diperiksa. Selanjutnya, sebagai pertanda virulensi ada yang disebut dengan HBeAg. HBeAg muncul setelah HBsAg dan sama halnya dengan HBV-DNA, HBeAg akan menghilang dalam beberapa minggu atau bulan pada infeksi yang sembuh sendiri. selanjutnya akan muncul anti-HBs dan anti-HBe yang akan menetap untuk waktu yang lama. Setelah sembuh, pada pemeriksaan laboratorium akan ditemukan IgG anti-HBc dan terakhir muncul anti-HBs yang secara umum mengindikasikan kesembuhan dan kekebalan terhadap reinfeksi. Untuk membedakan dengan kekebalan karena pernah menderita atau karena vaksinasi dapat kita cek IgG anti-HBc. Bila IgG anti-HBc negatif, berarti orang tersebut mendapat kekebalan dari vaksinasi.1,3Pengobatan

Tidak ada pengobatan secara spesifik untuk hepatitis virus akut. Pasien cukup dengan rawat jalan saja, kecuali bila mual atau anoreksia yang berlebihan sehingga menyebabkan dehidrasi atau kekurangan nutrisi. Asupan kalori dan cairan yang adekuat harus dipertahankan serta menghindari alkohol. Selain itu, pasien juga harus beristirahat cukup, menghindari aktivitas fisik berlebihan dan berkepanjangan tergantung derajat kelelahan dan malaise. Obat-obat yang tidak perlu juga harus dihentikan agar hati dapat beristirahat dari fungsinya antara lain memetabolisme obat.

Pencegahan

1. Vaksin HAV yang dilemahkan

Efektifitas tinggi dan memproteksi hingga 50 tahun, serta sangat imunogenik hampir pada 100% orang sehat.

Antibody protektif terbentuk dalam 15 hari.

Aman, toleransi baik, efeksamping hanya nyeri pada tempat penyuntikan.

Yang diindikasikan untuk vaksin ini antara lain pengunjung ke daerah-daerah beresiko tinggi, homoseksual dan biseksual, IVDU, anak yang tinggal di daerah yang angka kejadian HAV lebih tinggi dari angka nasional, pasien rentan penyakit hati kronik, pramusaji, serta pekerja pada bagian pembuangan air.

2. Vaksin HEV

Kemunculan IgG anti-HEV pada kontak denga pasien hepatitis E dapat bersifat proteksi, akan tetapi efektifitas dari immunoglobulin yang mengandung anti-HEV masih belum jelas. Pengembangan immunoglobulin titer tinggi sedang dilakukan juga vaksin HEV masih dalam penelitian klinis pada daerah endemik.

3. Vaksin HBV rekombinan ragi

Mengandung HBsAg sebagai imunogen dan sama halnya dengan vaksin HAV, vaksin HBV juga sangat imunogenik serta efektif. Namun ada beberapa efek samping antara lain, nyeri sementara pada tempat suntikan serta demam ringan dan singkat pada beberapa kasus. Imunisasi HBV diindikasikan bagi semua bayi yang baru lahir. Vaksinasi catch up untuk anak sampai umur 19 tahun bila belum divaksinasi saat setelah lahir. Vaksin HBV juga direkomendasikan bagi orang-orang dengan yang beresiko tinggi seperti pasangan dan anggota keluarga yang kontak dengan karier hepatitis B, pekerja kesehatan dan pekerja yang terpapar darah, IVDU, homoseksual dan biseksual pria, individu dengan banyak pasangan seksual, resipien transfusi darah, pasien hemodialisis, sesama narapidana, individu dengan penyakit hati, misalnya hepatitis C kronik.

HEPATOTKSISITAS IMBAS OBAT

Seperti kita ketahui, hati adalah pusat metabolisme obat. Hepatotoksisitas imbas obat merupakan komplikasi potensial yang hampir selalu ada pada setiap obat yang diberikan, karena hati merupakan pusat metabolik dari obat-obatan dan bahan-bahan asing lain yang masuk ke dalam tubuh.1 Sebagian besar obat bersifat lipofilik sehingga membuat mereka mampu menembus membran sel intestinal. Obat kemudia diubah terlebih dahulu menjadi lebih hidrofilik melalui proses-proses biokimiawi di dalam hepatosit, sehingga dapat diekskresikan ke dalam urin atau empedu. Biotransformasi ini melibatkan jalur oksidatif utamanya melalui sistem enzim sitokrom P-450.

PatofisiologiMekanisme jejas hati imbas obat yang mempengaruhi protein-protein transport pada membran kanalikuli dapat terjadi melalui mekanisme apoptosis hepatosit imbas asam empedu dimana terjadi penumpukan asam-asam empedu di dalam hati karena gangguan transpor pada kanalikuli yang menghasilkan transkolasi fase simptomatik ke membran plasma, dimana reseptor-reseptor ini mengalami pengelompokan sendiri dan memicu kematian sel melalui apoptosis. Disamping itu banyak reaksi hepatoseluler melibatkan sistem sitokrom P-450 yang mengandung heme yang menghasilkan rekasi-reaksi energi tinggi yang dapat membuat ikatan kovalen obat dengan enzim, sehingga menghasilkan ikatan baru yang tak punya peran. Kompleks enzim-obat bermigrasi ke permukaan sel di dalam vesikel-vesikel untuk berperan sebagai imunogen-imunogen sasaran serangan sitolitik sel T, merangsang respons imun multifaset yang melibatkan sel-sel T sitotoksik dan berbagai sitokin. Obat-obat tertentu menghambat fungsi mitokondria dengan efek ganda pada beta-oksidasi dan enzim-enzim rantai respirasi. Metabolit-metabolit toksis yang dikeluarkan dalam empedu dapat merusak epitel saluran empedu.4Gambaran Klinis

Gambaran klinis imbas obat sulit dibedakan secara klinik dengan penyakit hepatitis atau kholestasis. Riwayat pemakaian obat-obatan atau substansi hepatotoksik lain harus dapat diungkap. Onset umumnya cepat, malaise, dan ikterus, serta dapat terjadi gagal hati akut yang berat terutama bila pasien meminum obat tersebut setelah hepatotoksisitas. Apabila jejas hepatosit lebih dominan maka kadar aminotrasferase dapat meningkat hingga paling tidak lima kali batas atas normal, sedangkan kenaikan kadar fosfatase alkali dan bilirubin menonjol pada kholestasis. Mayoritas reaksi obat idiosinkratik melibatkan kerusakan hepatosit seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis bervariasi. Pada kasus ini gejala hepatitis biasanya muncul dalam beberapa hari atau minggu sejak mulai minum obat dan mungkin terus berkembang bahkan sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya.3,4Beberapa obat menunjukkan reaksi alergi yang menonjol seperti phenytoin yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan jejas hepatosit yang berat. Pemulihan reaksi imunoalergik umumnya lambat sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Over dosis asetaminofen (lebih dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh hepatotoksisitas obat tergantung dosis (dose dependent) yang dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit terutama area sentrilobuler. Kadar aminotransferas biasanya sangat tinggi, dapat melebihi 3500 IU/L.5DiagnosisMenurut International Concensus Criteria, maka diagnosis hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan antara lain, 1) Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset reaksi nyata adalah sugestif (5-90 hari dari awal minum obat) atau compatible (kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak mulai minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi hepatoseluler dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat. 2) Dapat dilihat juga dari perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif (penurunan enzim hati paling tidak 50% dari kadar diatas batas atas normal dalam 8 hari) atau sugestif (penurunan kadar enzim hati paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler dan 180 hari untuk reaksi kholestatik) dari reaksi obat. 3) Alternatif sebab lain dari reaksi ini dieksekusi dengan pemeriksaan teliti, termasuk biopsy hati pada tiap kasus. Dijumpai respon positif pada pemaparan ulang dengan obat yang sama (paling tidak dua kali lipat enzim hati) dan dikatakan reaksi drug related jika semua criteria diatas terpenuhi atau jika dua dari criteria pertama terpenuhi dengan respons positif pada pemaparan ulang obat.1Mengidentifikasi rekasi obat dengan pasti adalah hal yang sulit, tetapi kemungkinan sekecil apapun adanya reaksi terhadap obat harus dipertimbangkan pada setiap pasien dengan disfungsi hati. Riwayat pemakaian obat harus diungkap dengan seksama termasuk di dalamnya obat herbal atau obat alternatif lainnya. obat harus selalu menjadi diagnosis diferensial pada setiap abnormalitas tes fungsi hati dan atau histology. Keterlambatan penghentian obat yang menjadi penyebab berhubungan erat dengan risiko tinggi kerusakan hati presisten. Bukti bahwa pasien tidak sakit sebelum minum obat, menjadi sakit selama minum obat tersebut dan membaik secara nyata setelah penghentian obat merupakan hal esensial dalam diagnosais hepatotoksisitas imbas obat.

Pengobatan

Kecuali pengguna N-acetylcystein untuk keracunan asetaminofen, tidak ada antidotum sepesifik terhadap setiap obat.5 Transplantasi hati darurat merupakan pilihan pada kasus toksisitas obat, termasuk pada keracunan asetaminofen, yang berakibat hepatitis fulminan. Terapi efek hepaototksisitas obat terdiri dari penghentian segera obat-obat yang dicurigai. Jika dijumpai alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun belum ada bukti penelitian klinik dengan kontrol. Demikian juga penggunaan ursodiol pada keadaan kholestatik. Pada obat-obat tertentu seperti aminiksisilin-asam klavulanat dan phenytoin berhubungan dengan sindrom dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah obat dihentikan dan perlu waktu berbulan-bulan untuk pulih seperti sedia kala.1,4Prognosis

Hal ini sangat bergantung pada keadaan klinik pasien dan tingkat kerusakan hati. Akibat gagal hati akut ditentukan oleh etiologi, derajat ensefalopati hepatikum saat masuk perawatan dan komplikasi yang timbul, seperti komplikasi.

KOLESTASIS INTRAHEPATIK DAN EKSTRAHEPATIKTidak jarang kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik sukar dibedakan, padahal hal ini sangat penting dan urgent untuk dibedakan. Gejala awal terjadinya kolestasis adalah perubahan warna urin yang menjadi lebih kuning, gelap, tinja pucat, dan gatal (pruritus) yang menyeluruh. Bila kolestasis menjadi kronik dapat mengakibatkan pigmentasi kulit kehitaman, ekskoriasi karena pruritus, pendarahan diatesis, sakit tulang, dan endapan lemak kulit.1 Gambaran seperti diatas tidak tergantung penyebabnya. Penyebab kolestasis intrahepatik antra lain hepatitis virus, keracunan obat, penyakit hati karena alkohol, dan penyakit hepatitis autoimun. Hepatitis A virus contohnya, dapat merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan adanya ikterus yang timbul secara akut. Sedangkan penyebab tersering pada kolestasis ekstrahepatik adalah adanya batu pada duktus koledokus yang menghambat keluarnya empedu ke usus atau adanya kanker pankreas. Keluhan seperti sakit perut, gejala sistemik seperti anoreksia, mual, demam, atau tambahan tanda gejala mencerminkan penyebab penyakit dasarnya daripada kolestasisnya dan karenanya dapat memberi petunjuk etiologinya.

DiagnosisRiwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan fisik yang teliti sangatlah penting. Kolestasis ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau kandung empedu yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan kaput pankreas sering timbul kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut. Kadang bila bilirubin telah mencapai konsentrasi yang lebih tinggi sering warna kuning sclera mata memberi kesan berbeda dimana ikterus lebih memberi kesan hijau dan pada kolestasis ekstrahepatik dan kesan kekuningan pada kolestasis intrahepatik.

Untuk mengetahui lebih lanjut kita dapat melakukan tes labolatorium. Kelainan labolatorium yang khas adalah peninggian nilai fosfatase alkali, yang terutama diakibatkan peningkatan sintesis daripada gangguan ekskresi. Nilai bilirubin juga mencerminkan beratnya tetapi bukan mencari penyebabnya.

Nila aminotransferase bergantung utama pada penyakit dasarnya, namun seringkali meningkat tidak tinggi. Jika peningkatan tinggi sangat mungkin karena proses hepatoselular, namun kadang-kadang terjadi juga pada kolestasis ekstrahepatik, terutama pada sumbatan akut yang diakibatkan oleh adanyya batu di duktus koledokus.

Peningkatan amilse serum menunjukkan sumbatan ekstrahepatik. Perbaikan waktu protrombin setelah pemberian vitamin K mengarah kepada adanya bendungan ekstrahepatik, namun hepatoselular juga dapat berespons.

Selain tes labolatorium kita juga dapat melakukan pencitraan menggunakan sonografi, CT scan, dan MRI untuk memperlihatkan adanya pelebaran saluran bilier yang menunjukkan adanya sumbatan mekanik, walaupun jika tidak ada tidak selalu berarti sumbatan intrahepatik terutama dalam keadaan yang masih akut. Penyebab adanya sumbatan mungkin dapat diperlihatkan, umumnya batu empedu dapat dipastikan dengan ultrasonografi, lesi pankreas dengan CT. kebanyakan mengguanakan terutama ultrasonografi untuk mendiagnosis kolestasis karena alasan biaya.

Endoscopic Retrogard Cholangio-Pancreatography (ERCP) memberikan kemungkinan untuk melihat secara langsung saluran bilier dan sangat bermanfaat untuk menetapkan sebab sumbatan ekstrahepatik. Percutaneous Transhepaic Cholangiography (PTC) dapat pula dipergunakan untuk maksud ini. Kedua cara tersebut diatas mempunyai potensi terapeutik. Pemeriksaan MRCP dapat pula untuk melihat langsung saluran empedu dan mendeteksi batu dan kelainan duktus lainnya serta merupakan cara non-invasif alternatif terhadap ERCP.3,4Biopsy hati juga dapat menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik. Walaupun demikian, kesalah penilaian dapat timbul terutama bila penilaian dilakukan oleh yang kurang berpengalaman. Umumnya, biopsy hati aman dilakukan pada kasus dengan kolestasis, namun berbahaya pada keadaan obstruksi ekstra-intrahepatik yang berkepanjagan, karenanya harus disingkirkan dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsy dilakukan.

Kecuali pasien dalam keadaan kolangitis kolestasis supurativa, bukan keadaan emergensi, diagnosis sebaiknya ditegakkan melalui penilaian klinis dengan bantuan alat penunjang khusus jika ada. Jika diagnosis tidak pasti, ultrasonografi atau CT akan sangat membantu. Obstruksi mekanis dapat juga ditegakkan jika ditemukan tanda pelebaran saluran bilier, terutama pada pasien dengan kolestasis yang progresif. Pemeriksaan lebih lanjut dengan kolangiografi langsung (ERCP, PTC, MRCP) dapat dipertimbangkan. Jika pada pemeriksaan ultrasonografi tidak ditemukan pelebaran saluran empedu, sangat mungkin lebih cenderung ke masalah intrahepatik, dan biopsy sangat dianjurkan. Jika alat penunjang tersebut di atas tidak tersedia, maka laparoskopi diagnosis perlu dipertimbangkan terutama bila pertimbangan klinis lebih menjurus ke sumbatan ekstrahepatik dan kolestasis memburuk progresif.

Pengobatan Pengobatan ikterus sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Beberapa gejala yang cukup mengganggu misalnya gatal pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyakit dasarnya sudah mencukupi. Gatal dalam keadaan irreversible seperti pada sirosis bilier primer, biasanya responsive terhadap kolestramin kecuali jika terjadi kerusakan hati yang berat, hipoprotombinemia dapat membaik setelah pemberian vitamin K1 selama 2-3 hari.1Pemberian suplemen kalsium dan vitamin D dalam keadaan kolestasis yang irreversible, namun pencegahan penyakit tulang metabolik mengecewakan. Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak ini dan steatorea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan medium chain trigliceride.Sumbatan bilier ekstrahepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan, ekstraksi batu empedu diduktus, atau insersi stent, dan drainase via kateter untuk striktur (sering keganasan) atau daerah penyempitan sebagian. Untuk sumbatan maligna yang non-operable, drainase bilier paliatif dapat dilakukan melalui stent yang ditempatkan melalui hati (transhepatik) atau secara endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaran batu di duktus koledokus. Pemecahan batu di saluran empedu mungkin diperlukan untuk membantu pengeluaran batu di saluran empedu.1

BAB III

PENUTUP DAN KESIMPULAN

Keluhan utama pasien adalah ikterus, maka diagnosis kita mengarah pada segala penyakit yang dapat menimbulkan ikterus. Selanjutnya, adanya buang air kecil yang berwarna seperti teh pekat menandakan adanya hepatitis infeksiosa atau sumbatan pada saluran empedu. Adanya keluhan seperti demam, mual, lemas, nafsu makan menurun, menandakan penyakit hepatitis akut, karena pada penyakit hepatitis kronik biasanya tidak didapatkan gejala-gejala ini.

Apabila pada anamnesa lanjutan kita tidak mendapatkan adanya riwayat pemakaian obat namun ditemukan adanya kemungkinan kebiasaan makan yang kurang baik (penularan virus melalui fecal-oral), maka diagnosis saya akan lebih mengarah pada hepatitis virus A atau E dengan kolestasis intrahepatik. Mengapa bukan hepatitis virus B, dikarenakan hepatitis virus B jarang mengalami ikterus pada masa akut. Tentunya hal ini perlu dipastikan dengan tes serologis. Kolestasis ditandai dengan buang air kecil seperti teh pekat yang juga menandakan adanya peningkatan bilirubin direk, karena umumnya peningkatan bilirubin indirek tidak mengakibatkan ikterus. Kita juga dapat melakukan uji kadar bilirubin pasien untuk memastikan hal ini.

Selanjutnya bila kita mendapati adanya riwayat pemakaian obat-obatan yang dicurigai dapat menjadi penyebab sakitnya pasien ini, maka diagnosis akan lebih mengarah pada hepatotoksisitas karena imbas obat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyi AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I Ed.V. Jakarta: Interna Publishing;2009.2. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;2011.

3. Davey P. At glance medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2003.

4. Mitchell RN, Kumar V, Abbas AK, Fautso N. Dasar Patologis Penyakit. Ed.VII. Jakarta: EGC;2009.5. Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru;2007.