PBL BLOK 13.doc

69
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses menua bukanlah sesuatu yang terjadi hanya pada orang berusia lanjut, melainkan suatu proses normal yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir dengan kematian. Namun, demikian efek penuaan mulai terlihat setelah usia 40 tahun. Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan anatomik (dan fungsional) atas organ-organnya makin besar. Penurunan anatomik dan fungsional dari organ tersebut menyebabkan lebih mudahnya timbul penyakit pada organ tersebut. B. Tujuan Makalah ini dibuat untuk: Untuk mengetahui penyakit demensia, vertigo, parkinson, diabetes mellitus, osteoatrithis, dan hipotensi ortostatik Untuk memperlengkapi tugas PBL mandiri. 1

Transcript of PBL BLOK 13.doc

Page 1: PBL BLOK 13.doc

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses menua bukanlah sesuatu yang terjadi hanya pada orang berusia lanjut,

melainkan suatu proses normal yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir dengan

kematian. Namun, demikian efek penuaan mulai terlihat setelah usia 40 tahun.

Dengan makin lanjutnya usia seseorang maka kemungkinan terjadinya penurunan

anatomik (dan fungsional) atas organ-organnya makin besar. Penurunan anatomik dan

fungsional dari organ tersebut menyebabkan lebih mudahnya timbul penyakit pada

organ tersebut.

B. Tujuan

Makalah ini dibuat untuk:

Untuk mengetahui penyakit demensia, vertigo, parkinson, diabetes mellitus,

osteoatrithis, dan hipotensi ortostatik

Untuk memperlengkapi tugas PBL mandiri.

1

Page 2: PBL BLOK 13.doc

BAB II

ISI

VERTIGO

A. Pemeriksaan

1. Anamnesis

Pada anamnesis ditemukan keluhan yang berupa berputarnya tubuh pasien atau

keadaan di sekelilinginya disertai mual dan muntah. Perasaan tersebut dapat timbul

spontan atau diperberat oleh perubahan posisi tubuh. Serangan dapat berlangsung

konstan atau episodik selama beberapa menit sampai jam. Pada beberapa kasus dapat

ditemukan kehilangan pendengaran atau suara berdenging. Selanjutnya perlu pula

ditelusuri riwayat trauma kepala atau whisplash injury, gangguan penglihatan,

kelemahan tubuh, kesulitan berbicara, kesulitan berjalanan dan penurunan kesadaran.1

2. Pemeriksaan Fisik

Setelah anamnesis selesai, pemeriksaan fisis diawali dengan pemeriksaan obyektif

tentang hal-hal yang terukur yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan dan

Pada pemeriksaan mata perlu diperhatikan adanya nistgamus

Pada pemeriksaan telinga perlu diperhatikan kemungkinan adanya tanda-tanda

infeksi dan gangguan pendengaran.

Pemeriksaan status neurologis sangat diperlukan untuk menilai adanya

kemungkinan defisit neurologis akibat kelainan pada saraf pusat yang dapat

menyebabkan vertigo, salah satu penyebab vertigo adalah pendarah di

serebelum. 1

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan rutin termasuk EKG, gula darah, dan darah rutin. Pemeriksaan

penunjang lain juga diperlukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pemeriksaan

tersebut harus berdasarkan pendekatan sistematis. Audiogram lengkap harus

dilakukan pada paisen dengan gangguan pendengaran disertai vertigo dan terdapat

2

Page 3: PBL BLOK 13.doc

kelainan pada pemeriksaan neurootologik. Elektro- nistamografi (ENG) adalah

pemeriksaan yang dapat membantu membedakan disfungsi vestibular sentral atau

perifer. ENG dilakukan pada pasien dengan keluhan vertigo atau terdapat temuan

dalam pemeriksaan neurootologik seperti nistagmus.

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari tulang temporal sering

dikerjakan pada pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine

angle masses. Computed tomography (CT) dari tulang temporal juga dapat dikerjakan

bila dicurigai terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah.

Rontgen cervical dilakukan pada pasien dengan kecurigaan cervical dizziness.

Pemeriksaan ekokardiogram, dopler karotis, dan arteri vertebral, tilt-table testing, dan

24 jam Holter monitoring dikerjakan bila didiagnosis presinkop. 2

B. Diagnosis

Diagnosis vertigo utamanya terdiri dari sebuah riwayat kesehatan dan pemeriksaan

fisik. Adanya gejala klinis mual, muntah, berkeringat, dan gerakan mata yang abnormal

serta hasil dari pemeriksaan penunjang.3

C. Etiologi

Penyebab Vertigo Perifer

A. Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)

Benign paroxysmal positional vertigo umumnya penyebab tunggal dizziness pada

lansia. BPPV merupakan kondisi episodic, sembuh sendiri, dicetuskan oleh gerakan

kepala mendadak atau karena perubahan pada posisi tubuh seperti berguling di tempat

tidur. BPPV disebabkan oleh akumulasi debris dalam kanal semisirkular. Pergerakan

dari debris menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan symptom pada pasien.

BPPV kadang kadang berkaitan temporer dengan penyakit viral, dan menghasilkan

inflamasi.

B. Labirintitis

3

Page 4: PBL BLOK 13.doc

Labirintitis merupakan penyebab lain dizziness karena vestibular perifer, kelainan ini

sembuh dengan sendirinya. Umumnya kelainan ini akan berakhir pada hitungan hari

atau beberapa minggu. Labirintitis diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada

saraf vestibular.

C. Penyakit Meniere

Sindrom ini biasanya terjadi pada usia muda dan bukan penyebab umum dizziness

pada lanjut usia. Episode penyakit ini biasanya sembuh sendiri, tetapi seringkali

berulang. Pada akhirnya tercapai suatu fase kronik “burned out” yang ditandai oleh

hilangnya pendengaran makin jelas, tetapi episode dizziness berkurang.

Penyebab Vertigo Sentral

Dizziness karena penyebab sentral biasanya jarang, prevalensi pada lanjut usia kurang

dari 10 persen. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin

sering seiring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang mengeluhkan

dizziness sebagai gejala tunggal. Dizziness yang awalnya baru terjadi disertai dengan

symptom lain (sakit kepala, gangguan visus, atau symptom neurologis) harus dipikirkan

kemungkinan gangguan system saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk

pencitraan system saraf pusat biasanya diperlukan. 2

D. Epidemiologi

Dizziness merupakan keluhan yang sering dijumpai pada lanjut usia, prevalensinya

berkisar 30% pada individu yang berusia >65 tahun. Sebanyak 2% konsultasi di

pelayanan primer menyangkut dizziness, dan dizziness merupakan penyebab utama

nomor 14 penderita datang berobat ke spesialis dalam. Prevalensi sedikit, dari 1622 (>60

tahun) di masyarakat didapat Dizziness 29,3% dan dalam 1 tahun prevalensinya 18,2%.

Dizziness dikaitkan dengan perasaan kesehatan yang buruk tetapi tidak dikaitkan dengan

risiko kematian, bahayanya besar, ada hubungan dengan kesehatan menurun. 2

Vertigo merupakan tipe dizziness yang paling banyak ditemukan pada perawatan

primer sebanyak 54 %. Di perawatan primer jenis vertigonya 93% benign paroxysmal

positional vertigo(BPPV), neuronitis vestibular akut, atau penyakit Meniere. 2

4

Page 5: PBL BLOK 13.doc

E. Patofisiologi

Vertigo perifer

a. Beningn Paroxymal Positional Vertigo/ Beningn Positional Vertigo (BPV)

BVP disebabkan oleh akumulasi debris dalam kanal sermikularis dimana

pergerakan dari derbis menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan simptom

pada pasien.

b. Labirintitis, diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada saraf vestibular

c. Penyakit Meniere, sindrom ini biasanya terjadi pada usia muda. 2

Vertigo sentral

Iskemik serebovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin sering seiring

dengan pertambahan usia. 2

F. Gejala Klinis

Pasien merasa bahwa dia ataupun lingkungannya berputar, seringkali terjadi seketika,

kadang-kadang dan ketika beratnya disertai dengan mual, muntah, dan jalan yang

terhuyung-huyung. 2

G. Penatalaksanaan

a. Medikamentosa

Pengobatan yang paripurna dizziness tergantung penyakit dan atau penyakit

yang mendasarinya, sebaiknya secara multi disiplin dan inter disiplin. Langkah

penghentian obat atau penetusnya, dan atau segera merujuk lebih lanjut ke ahli

yang lain yang kompeten dibidangnya. Pengobatan simptomatik dapat

menggunakan sedative (efek sementara). Setiap pemberian medikasi pada usia

lanjut harus dipertimbangkan untung ruginya ( memperhatikan efek samping,

misalnya falls, bingung).

Apabila sebabnya vertigo perifer (BPPV) dapat diberikan terapi simptomatik

seperti antikolinergenik (meclizine atau dehinhidramin) atau benzodiazepine.

Bila dimungkinkan modifikasi maneuver Epley untuk mengatasi stagnasi debris

pada kanalis semisirkularis. 2

b. Non-medikamentosa

Istirahat dan latihan dengan latihan gerakan khusus yang disebut senam vertigo. 2

5

Page 6: PBL BLOK 13.doc

H. Prognosis

Prognosis pasien dengan vertigo vestibular tipe perifer umumnya baik, dapat terjadi

remisi sempurna. Sebaliknya pada tipe sentral, prognosis tergantung dari penyakit yang

mendasarinya. Infark arteri basilar atau vertebral, misalnya, menandakan prognosis yang

buruk. 4

I. Pencegahan

Orang yang keseimbangannya dipengaruhi oleh vertigo, harus mencegah agar tidak

cedera pada saat jatuh.

Orang yang memiliki faktor resiko stroke harus mengontrol tekanan darah tinggi,

kolestrol tinggi, serta berhenti merokok.

Orang dengan penyakit Meniere harus membatasi garam dalam diet mereka. 5

6

Page 7: PBL BLOK 13.doc

Osteoarthritis

A. Pemeriksaan

1. Anamnesis

Anamnesis difokuskan mengenai:

Profile pasien (umur, pekerjaan)

Faktor resiko

Faktor yang memperberat dan meringankan

Onset dan durasinya (akut atau kronik)

Ada tidaknya inflamasi sendi

Lokasi/ distribusi sendi yang terkena

Riwayat trauma

Riwayat penyakit keluarga

Perjalanan keluhan nyeri sendi apakah bersifat akut atau kronik

Karakteristik nyeri apakah termasuk nyeri ringan, sedang atau berat. 6

2. Pemeriksaan Fisik

Hambatan Gerak

Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu

arah gerakan saja).

Krepitasi

Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat

sendi digerakan atau secara pasif di manipulasi.

Pembengkakan Sendi Yang Sering Asimetris

Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak

banyak (lebih dari 100 cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yamg dapat

mengubah permukaan sendi.

Tanda-Tanda Peradangan

Tanda-tanda peradangan pada sendi(nyeri tekan, ganguan gerak, rasa hangat yang

merata dan warna kemerahan) mungkin di jumpai pada OA karena adanya sinovitis.

Biasanya tanda-tanda ini tak meninjol dan timbul belakangan,seringkali dijumpai di

lutut, pergelangan kaki, dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki.

7

Page 8: PBL BLOK 13.doc

Perubahan Bentuk (Deformitas) Sendi Yang Permanen

Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama,perubahan permukaan

sendi,berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan

sendi.

Perubahan Gaya Berjalan

Keadaan ini hamper selalu berhubungan dngan nyeri karena menjadi tumpuan berat

badan. Terutama di jumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan

stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan bahu, siku dan pergelangan

tangan, osteoarthtitis juga menimbulkan gannguan fungsi. 6

3. Pemeriksaan Penunjang

Radiografis

Pada sebagian besar kasus radiografi pada sendi yang terkena osteoarthritis sudah

cukup memberikan gambaran diagnostik yang lebih canggih. Gambaran radiografi

sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :

Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian

yang menggung beban)

Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral

Kista tulang

Oseofut pada pinggir sendi

Perubahan struktur anatomi sendi

Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi diatas, secara radiografi OA

dapat digradasi menjadi ringan samapai berat. Harus diingat bahwa pada awal

penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal. Aspirasi sinovial

mengandung leukosit <100/mm3 dan terutama terdiri dari monosit. 6

Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan pada OA biasanya akan banyak berguna. Darah tepi

(hemoglobin,laju endap darah, leokosit) dalam batas-batas normal, kecuali OA

generalisata yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan

immunologi (ANA, rematoid dan komplemen) juga normal. Pada OA yang disetai

peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai

sedang peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein. 6

8

Page 9: PBL BLOK 13.doc

B. GEJALA KLINIS

Terdapat nyeri sendi , terutama sendi-sendi penyangga tubuh yang diperberat bila

bergerak dan saat hari semakin larut. Juga terdapat rasa kaku, imobilitas, deformitas, dan

kadang-kadang keterlibatan radiks saraf. Sendi bisa menjadi kemerahan dan hangat

disertai nyeri tekan dan bahkan timbul efusi (efusi bisa menimbulkan efusi). Pada fase

lanjut didapatkan keterbatasan gerak dan pada perabaan didapatkan krepitus pada saat

sedi di gerakan. Pada palpasi didapatkan sendi yang membesar disertai kelemahan otot

partikuler. Pada lutut dapat di jumpai genu varus atau valgus. 6

C. DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis OA 7

Klinik Klinik, Laboratorik, radiografi

Lutut

1. Nyeri lutut

2.a. Krepitasi, dan

2.b Kekakuan pagi hari < 30 menit, dan

2.c. Umur 38 tahun

3.a. Krepitasi, dan

3.b. Kekakuan pagi hari < 30 menit, dan

3.c. Krepitasi (-) dan

4.a. Pembesaran tulang

1. Nyeri lutut2. Osteofit3.a. Cairan sinovial dengan 2 atau 3

Temuan : jernih, viscous, Leukosit PMN < 2000/ mm3

3.b. Kekakuan pagi hari < 30 menit3.c. Krepitasi

Pinggul

1. Nyeri pinggul, dan

2. Rotasi internal 15°, dan

3. LED < 45 mm/jam (pengganti fleksi pinggul , 115° atau

3.a Rotasi internal 15°,

3.b. Kekakuan pagi hari < 60 menit

1. Nyeri pinggul, dan minimal 2 dari 3

2.a. LED > 20 mm/jam

2.b. X-foto : osteosit

2.c. X-foto: penyempitan ruang sempit

9

Page 10: PBL BLOK 13.doc

3.c. Umur > 50 tahun

3.d. Nyeri saat rotasi internal

Tangan

1. Nyeri tangan, sakit atau kekakuan dan

2. Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu (*)

3. Pembengkakan MCP pada kurang dari 2 sendi dan

4.a. Pembesaran jaringan keras mengenai 2 atau lebih DIP (DIP ke II dan III dapat dihitung pada kedua Nomor 2 dan 4a), atau

4.b. Deformitas pada 1 atau lebih dari

* IP ke II dan III, PIP ke II dan III dan CMC ke I dari kedua tangan

D. EPIDEMIOLOGI

Masalah osteoartritis di Indonesia lebih besar dibandingakan dengan negara barat

kalau melihat tingginya prevelensi di Malang, yaitu 85%. Di Amerika serikat,

Osteoartritis dengan nyeri yang nyata dijumpai pada 25% masyarakat dengan usia 60

tahun.

E. ETIOLOGI

a) Umur : dengan meningkatnya umur, terjadi peningkatan OA

b) Jenis kelamin : kemungkinan wanita terkena lebih besar dari pada pria

c) Obesitas dan penyakit metabolik

d) Genetik

e) Cedera sendi, pekerjaan, dan olahraga

f) Kelainan kongenital dan di dapat (misal: fraktur)

g) Kepadatan tulang

10

Page 11: PBL BLOK 13.doc

F. PATOGENESIS

Patogenensis pada saat ini masih menjadi perdebatan,dahulunya osteoarthtitis

dianggap suatu proses degeneratif murni. Pada kenyataannnya proses osteoarthitits

didapatkan peran sitokin inflamasi dalam patogenesisnya.

OA merupakan penyakit gangguan homeostatis metabolisme rawan sendi dengan

kerusakan struktur proteoglikan yang penyebabnya diperkirakan multifaktoral anatara

lain karena faktor umur stres mekanis dan khemis, pengunaan sendi yang

berlebihan,defek anatomik, obesitas, genetik humoral dan faktor kebudayaan.

Mikrofaktor pada permukaan rawan sendi maka akan diikuti dengan menurunya sintesis

glikosaminaglikan serta poliferasi kondrosit. Selain berpoliferasi kondrosit merespon

suatu trauma rawan sendi dengan memproduksi sitokin antara lain interleukin

Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA sekunder.

OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak

ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan local pada sendi.

OA sekunder adalah OA yang di dasari oleh adanya kelainan edokrin, inflamasi,

metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu

lama. OA primer lebih sering ditemukan dari pada OA sekunder. 8

G. KOMPLIKASI

Pada umumnya pasien datang dengan keluhan yang brlangsung lama, tetapi

berkembang secara perlahan

Nyeri Sendi

Hambatan Gerakan Sendi

Kaku Pagi

Krepitasi

Pembesaran Sendi (Deformitas)

Perubahan Gaya Berjalan 8

H. PENATALAKSAAN 8

Prinsip penatalaksaan mengontrol nyeri secara kontinu,mempertahankan fungsi sendi

serta memperbaiki kualitas hidup penderita

11

Page 12: PBL BLOK 13.doc

Langkah 1 : Nonfarmakologi

a. penyuluhan penderita

b. bantuan tenaga sosial profesioanl

c. latihan aerobik

d. menurunkan berat badan

e. terapi kerja, proteksi sendi, mengubah pola kebiasaan, pemakaian sepatu yang

nyaman.

f. Diet yang bergizi

Langkah 2 :

Pengunaan analgesik sederhana acetaminofen, dosis acetaminofen tidak boleh lebih dari

4g/hari atau ibuprofen dosis rendah, ibu profen 3 x 400 mg, pemakaian topikal.

Langkah 3:

Bila nyeri tidak terkontrol dengan analgesik sederhana maka digunakan NSAID, hati-hati

pada umur >65, pemakaian steroid, riwayat ulkus peptikum atau pendarahan lambung.

Pada penderita dengan resiko maka dianjurkan memberikan misoprosrol, famotidine atau

Omeperazol. Hati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal, hipertensi pemakaian ACE

inhibitor sebaiknya memakai golongan COX-2 spesifik inhibitor, bila ada kontra-indikasi

pemakaian NSAID ATAU COX-2 maka dianjurkan pemakaian analgesik golongan opiat

dosis 200-300 mg.

Langkah 4 :

Khususnya Pada OA lutut bila ada efusi sendi maka dilakukan aspirasi dan injeksi

steroid intraartikuler (triamcinolon exacetonine 40 mg).

Langkah 5 :

Bila nyeri tidak terkontrol dengan obat sistemik maka dapat diberikan analgesik topikal

misalnya metilsalisilat atau capsaicin.

Langkah 6 : Injeksi intraartikuer steroid atau hyaluronan (khusus pada OA lutut)

Nama generik Nama dagang Dosis harian catatan

Ibuprofen

Ketoprofen

Naproksen

Diklofonak

Anafen,bufect

Profenid,kaltrofen

Naxen,synflex

Voltaren,altranac

5-40mg/kg

150-300mg

1000-2000mg

100-200mg

Aman untuk anak >6th

Dosis ↓ pd gang,hati,ginjal,lansia

Dosis ↓ pd gang,hati,ginjal,lansia

Dapat ↑ enz.tranaminase hati

12

Page 13: PBL BLOK 13.doc

Etodolak

Indometasin

Piroksikam

Meloksikam

Nabumeton

Celecoxib

Etoricoxib

Lodine

Dialon

Rexil,feldene

Atrilox,loxinic

Goflex

Celebrex

Arcoxia

600-1200mg

75-200mg

20mg

7.5-15mg

1000-1500mg

200-800mg

60-120mg

Digunakan untik terapi PDA

Dosis ↓ pd gang hati dan lansia

Lansia: max 1000mg

Kl pada alergi sulfonamid

I. PROGNOSIS

Prognosis osteiartritis kurang baik dalam jangka waktu satu sampai dua tahun. 8

13

Page 14: PBL BLOK 13.doc

PARKINSON

A. Pemeriksaan

1. Anamnesis

Kapan pertama kali memperhatikan kesulitan jalan/tremor dan sebagainya?

Pernahkah pasien jatuh?, pernah kesulitan saat membalikkan badan di tempat

tidur?

Apakah pasien tidak mampu melakukan hal-hal yang mereka inginkan?

Apakah akibat fungsional dari gangguan yang dialami pasien?

Menanyakan riwayat penyakit terdahulu yang terkait (misal: penyakit Wilson

atau penyakit neurologis lainnya)

Pernahkah diberi obat antidopaminergik, seperti neuroleptik? Pernahkah

pasien mendapat terapi misalnya Levodopa? 2

2. Pemeriksaan Fisik

Periksa wajah, postur dan cara berjalan pasien. Adakah tremor?, bradikinesia?,

rigiditas pada batang tubuh dan ekstremitas? 2

3. Pemeriksaan penunjang

Analisis cairan serebrospinalis

Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal

Punksi, Sisternal Punksi atau Lateral Cervical Punksi. Kemungkinan hasil

menunjukkan adanya penurunan kadar dopamin

MRI / CT-scan kepala.

Untuk mengetahui gambaran internal otak. Pada penyakit parkinson

kemungkinan didapatkan gambaran pelebaran ventrikel.

PET ( Positron Emission Tomography )

Pada klien dengan parkinson kemungkinan hasil PET scan menunjukkan

penurunan metabolisme otak, pengurangan cerebral blood flow terutama

sekali di ganglia basalis. 2

B. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan sejumlah kriteria: 1. Klinis, 2. Menurut Koller,

3. Menurut Gelb.

14

Page 15: PBL BLOK 13.doc

Kriteria diagnosis klinis

Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik; tremor, rigiditas,

brakidinesia, atau

Tiga dari 4 tanda motorik; tremor, rigiditas, brakidinesia, ketidakstabilan postural. 2

Kriteria diagnosis klinis modifikasi

Diagnosis possible (mungkin); adanya salah satu gejala: tremor, rigiditas,

brakidinesia, ketidakstabilan postural. Tanda-tanda minor yang membantu ke arah

diagnosis: Myerson sign¸ menghilang atau berkurangnya ayunan lengan, refleks

menggengam.

Diagnosis probale (kemungkinan besar); kombinasi dari dua gejala (termasuk

gangguan refleks prostural), salah satu dari tiga gejala pertama asimetris

Diagnosis definite (pasti): Setiap kombinasi 3 dari 4 gejala; pilihan lain; setiap dua

dengan satu dari tiga gejala pertama terlihat asimetris. 2

Kriteria diagnosis Koller

Didapati 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik; tremor istirahat atau gangguan

refleks prostural, rigiditas, brakidinesia yang berlangsung satu tahun atau lebih.

Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai perbaikan sedang

(minimal 1000 mg/hari selama 1 bulan), dan lama perbaikan 1 tahun atau lebih. 2

Kriteria diagnosis Gelb

Diagnosis possible (mungkin); adanya 2 adri 4 gejala cardinal (resting tremor,

brakidinesia, rigiditas, onset asimetrik).

Tidak ada gambaran yang menuju ke arah diagnosis lain termasuk halusinasi yang

tidak berhubungan dengan obat, demensia, supranuclear gaze plasy atau

disotonom. Mempunyai respons yang baik terhadapa levodopa atau agonis

dopamine.

Diagnosis probale (kemungkinan besar); terdapat 3 dari 4 gejala kardinal, tidak ada

gejala yang mengarah ke diagnosis lain dalam 3 tahun, terdapat respons yang baik

terhadapa levodopa atau agonis dopamine.

Diagnosis definite (pasti): seperti probale disertai dengan pemeriksaan histopatologis

yang positif. 2

15

Page 16: PBL BLOK 13.doc

C. Etiologi

Sampai saat ini penyebab kematian sel-sel SNc belum diketahui dengan pasti.

Beberapa penelitian, menghasilkan beberapa dugaan penyebab Parkinsons seperti

tersebut di bawah:

Faktor genetik

Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab degradasi protein dan

mengakibatkan protein beracun tidak dapat didegradasi di ubiquitin-

proteasomal pathway. Kegagalan degradasi ini menyebabkan peningkatan

apoptosis di sel-sel SNc sehingga meningkatkan kematian sel neuron di SNc.

Faktor Lingkungan

Berbagai penelitian telah dilakukan antara lain peranan Xenobiotik (MPTP),

pestisida/herbisida, terpapar pekerjaan terutama zat kimia seperti bahan-bahan

cat dan logam, kafein, alkohol, diet tinggi protein, merokok, trauma kepala,

depresi dan stress; semuannya menunjukan peranan masing-masing melalui

jalan yang berbeda dapat menyebabkan PP (Penyakit Parkinson) atau Sindrom

Parkinson. Proses stress oksidatif yang terjadi di ganglia basalislah yang saat

ini paling diterima sebagai etiologi PP. 2

D. Epidemiologi

Prevelensi Parkinson di Amerika Serikat berkisar 1% jumlah penduduk, meningkat dari

0,6% pada usia 60-64 tahun menjadi 3,5% pada umur 85-89 tahun. 2

E. Patofisiologi

Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penuruna

kadar dopamine akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta ( SNc )

sebesar 40 – 50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik ( Lewy bodies )

dengan penyebab multifactor.

Substansia nigra ( sering disebut sebagai Black substance ), adalah suatu regio kecil

di otak( brain stem 0 yang terletak sedikit di atas medulla spinalis. Bagian ini menjadi

pusat control/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel – selnya yang menghasilkan

neurotransmitter disebut dopamine, yang berfungsi untuk mengatur seluruh pergerakan

otot dan keseimbangan badan yang dilakukan oleh sistem saraf pusat. Dopamine

diperlukan untuk komun ikasi elektrokimia antara sel – sel neuron di otak terutama

16

Page 17: PBL BLOK 13.doc

dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan reflex postural, serta kelancaran

komunikasi ( bicara ). Pada PP sel – sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga

produksi dopamine menurun ], akibatnya semua fungsi neuron di sistem saraf pusat

menurun dan menghasilkan kelambanan gerak ( bradikinesia ), kelambanan bicara dan

berfikir( bradifrenia ), tremor, dan kekakuan ( rigiditas ).

Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc

adalah Stress Oksidatif. Stress oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal,

seperti dopamine quinon yang dapat beraksi dengan alfa sinuklein ( disebut protofibrils ).

Formasi ini menumpuk, tidak dapat di degradasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway,

sehingga menyebabkan kematian sel – sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu

dipertimbangkan antara lain :

Efek lain dari stress oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal

dengan nitric-oxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric radical.

Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosine trifosfat(

ATP) dan akumulasi electron – electron yang memperburuk stress oksidatif,

akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.

Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang

memicu apoptosis sel – sel SNc. 2

F. Gejala klinis

Umum : 1. Gejala mulai pada satu sisi (hemiparkisonism), 2. Tremor saat istirahat, 3.

Tidak didapatkan gejala neurologis lainnya, 4. Tidak dijumpai kelainan laboratorik

dan radiologis, 5. Perkembangan lambat, 6. Respons terhadap levodopa cepat dan

dramatis, 7. Gangguan refleks postural tidak di jumpai pada pada awal penyakit.

Khusus: gejala motorik pada penyakit Parkinson (TRAP):

Tremor : 1. Laten, 2. Saat istirahat, 3. Bertahan saat istirahat, 4. Saat gerak

disamping adanya tremor saat istirahat.

Rigiditas

Akinesia/ bradikiesia: 1. Kedipan mata berkurang, 2. Wajah seperti topeng, 3.

Hipofonia (suara kecil), 4. Air liur menetes, 5. Akatisia/takikinesia (gerakan

cepat tidak terkontrol), 6. Mikrofagia (tulisan semakin kecil), 7. Cara berjalan:

langkah kecil-kecil, 8. Kegelisahan motorik (sulit duduk atau berdiri).

17

Page 18: PBL BLOK 13.doc

Hilangnya refleks postural. 2

G. Penatalaksanaan

Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada PP dibedakan

menjadi 3 hal yaitu :

- Simtomatis, untuk memperbaiki gejala dan tanda penyakit

- Protektif, dengan cara mempengaruhi patofisiologi penyakit

- Restoratif, mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi sel

neuron yang masih ada.

Pilihan terapi PP dapat dibagi menjadi beberapa pendekatan sebagai berikut :

- Menigkatkan transmisi dopaminergik dengan jalan :

meningkatkan konsentrasi dopamine pada sinap (levodopa ),

memberikan agonis dopamine

meningkatkan pelepasan dopamine

menghambat degradasi dopamine

- Manipulasi neurotrasmiter non – dopaminergik dengan obat – obat antikolinergik

dan obat – obat lain yang dapat memodulasi sistem non – dopaminergik

- Memberikan obat – obat neuroprotektif untuk menghambat progresivitas PP

dengan mencegah kematian sel – sel neuron.

- Terapi pembedahan: ablasi, stimulasi otak dalam, brain grafting ( bertujuan untuk

memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses patologis yang

mendasari).

- Terapi pencegahan/preventif : menghilangkan faktor resiko atau penyebab PP

Tujuan utama terapi PP adalah memulihkan disabilitas fungsional yang disandang

penderita. Biasanya penatalaksanaan dilakukan secara komprehensif baik dengan obat,

perbaikan dengan diet dengan mengurangi asupan protein sampai 0,5 – 0,8 gram/Kg BB

per hari, terapi fisik dengan latihan teratur untuk mempertahankan penderita tetap dapat

berjalan.

Terapi Medikamentosa

Ada 6 macam obat utama yang dipergunakan untuk penatalaksanaan PP, yaitu :

- Obat yang Mengganti Dopamin ( Levodopa, Carbidopa )

- Agonis Dopamin ( bromocriptine, pergolide, pramipexole, ropinirol )

18

Page 19: PBL BLOK 13.doc

obat tunggal pengganti levodopa. Biasanya dipakai sebagai kombinasi utama

dengan levodopa- carbidopa agar dapat menurunkan dosis levodopa,

- Antikolinergik ( Benztropin, Triheksifenidil, Biperiden )

Obat ini membantu mengoreksi keseimbangan antara dopamine dan asetilkolin,

sehingga dapat mengurangi gejala tremor. Sebaiknya obat ini tidak diberikan

pada penderita PP yang di atas 70 tahun; karena dapat menyebabkan penurunan

daya ingat dan retensio urin pada laki – laki.

- Penghambat Monoamin Oxidase/MAO ( selegiline )

Biasa dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan levodopa – carbidopa. Selain

itu obat ini bias berfungsi sebagai antidepresi ringan( merupakan obat pilihan

dengan gejala depresi menonjol ).

- Amantadin

Dapat dipakai sendirian, atau sebagai kombinasi dengan levodopa atau agonis

dopamine.

- Penghambat catechol 0-methyl Transferase/ COMT ( Tolcapone, Entacapone )

Diberikan bersama setiap dosis levodopa.

Selain obat utama tersebut diatas sering juga diberikan obat – obat neuroprotektif

seperti antioksidan dan juga obat – obat yang memperbaiki metabolism otak.

Obat lain yang sering digunakan juga adalah obat anti depresi dan anti ansietas

( berdasarkan indikasi yang tepat)

Terapi Pembedahan

Sebagian besar penderita PP dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan terapi

medikamentosa seperti diatas, tetapi ada juga yang tidak bias dikendalikan oleh obat,

terutama efek fluktuasi motorik ( fenomena on/off ). Ada beberapa tipe prosedur

pembedahan yang dikerjakan untuk penderita PP, yaitu :

- Terapi ablasi di lesi otak. Termasuk dalam kategori ini adalah thalamotomy dan

pallidotomy.

- Terapi stimulasi otak dalam (deep brain stimulation/ DBS). Pada operasi ini

dokter bedah menempatkan semacam elektroda pada beberapa pusat lesi di

otakyang dihubungkan dengan alat pemacunya yang dipasang dibawah kulit dada

seperti alat pacu jantung.

- Transplantasi otak (brain grafting ). Prosedur ini menggunakan graft sel otak

janin atau autologus adrenal.

19

Page 20: PBL BLOK 13.doc

Terapi Rehabilitasi

Rehabilitasi penderita PP sangat penting. Tanpa terapi rehabilitasi penderita PP akan

kehilangan kemampuan aktivitas fungsional kehidupan sehari – hari ( AKS ). Latihan

yang diperlukan bagi penderita PP meliputi latihan fisioterapi, okupasi, dan

psikoterapi.2

H. Komplikasi

Beberapa komplikasi motor dapat mengancam kehidupan.

Banyak orang dengan penyakit Parkinson mengalami konstipasi karena saluran

pencernaan bekerja lebih lambat. Konstipasi juga mungkin merupakan efek samping

obat yang digunakan untuk mengobati penyakit.

Penurunan fungsi otot-otot di tenggorokan menyebabkan kesulitan menelan dan

juga menimbulkan risiko pneumonia aspirasi.

Sekitar setengah dari orang-orang dengan penyakit Parkinson mengalami depresi.

Mengalami kesulitan dalam berpikir, memori, bahasa, dan keterampilan pemecahan

masalah dapat terjadi sejak awal pada pasien yang tidak diobati atau terlambat dalam

perjalanan penyakit.

Demensia terjadi enam kali lebih sering terjadi pada pasien Parkinson tua daripada

rata-rata orang dewasa yang lebih tua. Hal ini paling mungkin terjadi pada pasien

yang lebih tua yang memiliki depresi besar.

Gangguan tidur yang umum di Parkinson, baik dari penyakit itu sendiri dan dari

perawatannya. Secara umum, pasien memiliki risiko lebih tinggi untuk mengantuk dan

tidur di siang hari. Banyak pasien Parkinson, juga menderita dari malam hari karena

kram dan gelisah dan beberapa obatnya menyebabkan halusinasi. 9

I. Prognosis

Pasien yang tidak diterapi biasanya akan mencapai derajat disbilitas yang berat, yaitu

imobilitas, disertai risiko mengancam nyawa seperti bronkopneumonia, septikemia, atau

emboli paru-paru rata-rata setelah 7-10 tahun menderita Parkinson. Terapi saat ini

sebagian bersifat simptomatik, tetapi mungkin dapat memperpanjang harapan hidup rata-

rata. 1

DEMENSIA

20

Page 21: PBL BLOK 13.doc

A. Pemeriksaan

1. Anamnesis

Karena pasien demensia kehilangan daya ingat, daya pikir, rasionalitas, kepandaian

bergaul dan apa yang disebut sebagai reaksi emosi normal,maka anamnesis

dilakukan kepada pemberi informasi (keluarga atau kerabat terdekat). Anamnesis

terdiri dari :

- Menanyakan identitas: nama, umur, jenis kelamin, dokter yang merujuk, pemberi

informasi (misalnya pasien, keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.

- Menanyakan keluhan utama: pernyataan tentang permasalahan yang sedang

dihadapinya. Contoh : sering lupa dan mudah tersinggung

- Riwayat penyakit sekarang (RPS): pastikan gejala dimensia dengan menjelaskan

dimensia berdasarkan kualitas, kuantitas, latar belakang, lokasi anatomi dan

penyebarannya, waktu termasuk kapan penyakitnya dirasakan, faktor-faktor apa

yang membuat penyakitnya membaik, memburuk, tetap, apakah keluhan konstan,

intermitten.

- Riwayat keluarga dan psykososial yang berkaitan dengan keluhan utama atau

masalah kesehatan lainnya.

- Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): pengobatan yang dijalani sekarang, termasuk

OTC, vitamin dan obat herbal.

- Menanyakan tentang pemeliharaan kesehatan pasien atau faktor pemicu dan

keluhan penyerta. 11

2. Pemeriksaan fisis dan neurologis

Pemeriksaaan fisis dan neurologis pada pasien demensia dilakukan untuk mencari

keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan

dengan gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan

gangguan sistem motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian

tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik

lain umumnya timbul pada FTD, DLB atau dementia multi-infark. Penyebab sistemik

seperti defisiensi vitamin B12, intoksikasi logam berat dan hipotiroidisme dapat

menunjukkan gejala-gejala yang khas. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya

gangguan pendengaran dan peglihatan yang menimbulkan kebingungan dan

disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia. Pada usia lanjut,

defisit sensorik seperti ini sering terjadi.

21

Page 22: PBL BLOK 13.doc

3. Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik

Pemeriksaan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini

mental status examination (MMSE) yang dapat pula digunakan untuk memantau

perjalanan penyakit.

4. Pemeriksaan penunjang

Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta pada

semua kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh

terlewat. Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit dan

VDRL direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang

perlu dipertimbangkan adalah piungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan

toksin di urin/ darah, dan Apolipoprotein E. Selain itu pemeriksaan penunjang lain

yang dianjurkan adalah CT/MRI kepala. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi

tumor primer/sekunder, lokasi area infark, hematoma subdural dan memperkirakan

adanya hidrosefalus bertekanan normal atau penyakit white matter yang luas.

Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskuler. SPECT

dan PET scanning dapat menunjukkan hipofungsi atau hipometabolisme temporal-

parietal pada penyakit Alzheimer, namun masih dalam penelitian. 2

B. Diagnosis

Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik yang sesuai dengan

Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke 4 (DSM-IV). Adapun

kriterianya adalah :

- munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan

berikut, 1) gangguan memori, 2) satu atau lebih gangguan kognitif seperti afasia,

apraksia, agnosia, dan gangguan fungsi eksekutif.

- defisit kognitif yang terdapat pada kriteria diatas menyebabkan gangguan

bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang

bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat

timbulnya delirium. 2

C. Etiologi

22

Page 23: PBL BLOK 13.doc

Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala

demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh darah), demensia

Lewy body, demensia frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh

penyakit lain. Penyebab demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah

penyakit Pick, penyakit Creutzfeldt-Jakob, penyakit Parkinson, Human Immunodeficiency

Virus (HIV), dan trauma kepala. 11

D. Epidemiologi

Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah

usia 65 tahun, prevalansi dimensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5

tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada populasi berusia lebih adalah 5,6 %.

Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer

sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular merupakan penyebab tersering

demensia. Tipe demensia lain yang lebih jarang adalah demensia tipe Lewy body,

demensia fronto temporal (FTD) dan demensia pada penyakit Parkinson.

Proporsi perempuan yang mengalami Alzheimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki.

Hal ini disebabkan perempuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena

perempuan lebih mudah menderita penyakit ini. Tingkat pendidikan yang rendah juga

disebutkan berhubungan dengan risiko terjadinya penyakit Alzheimer. Faktor-faktor

risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan Alzheimer adalah

hipertensi, atau diabetes melitus.

Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat pertama

mempunyai resiko dua sampai tiga kali menderita penyakit Alzheimer walaupun sebagian

besrar pasien tidak mempunyai riwaya keluarga yang positif. Walaupun alel e4 Apo E

bukan penyebab timbulnya demensia, namun munculny alel ini merupakan faktor utama

yang mempermudh seseorang menderita Alzheimer. 2

E. Gejala Klinis

Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks, termasuk

gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan kognitif berikut

ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi eksekutif. Defisit kognitif

harus sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi sosial atau okupasional (pergi ke

23

Page 24: PBL BLOK 13.doc

sekolah, bekerja, berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus uang, dan kehidupan sehari-

hari lainnya) serta harus menggambarkan menurunnya fungsi luhur sebelumnya. 2

F. Penatalaksanaan

Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak yang disfungsional

dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan dilakukan tepat pada

waktunya.

Riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium, termasuk

pencitraan otak yang tepat, harus dilakukan segera setelah diagnosis dicurigai. Jika

pasien menderita akibat suatu penyebab demensia yang dapat diobati, terapi diarahkan

untuk mengobati gangguan dasar.

Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia adalah untuk memberikan

perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan keluarganya, dan

pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik, termasuk gejala perilaku yang

mengganggu.

Pemeliharaan kesehatan fisik pasien, lingkungan yang mendukung, dan pengobatan

farmakologis simptomatik diindikasikan dalam pengobatan sebagian besar jenis

demensia. Pengobatan simptomatik termasuk pemeliharaan diet gizi, latihan yang

tepat, terapi rekreasi dan aktivitas, perhatian terhadap masalah visual dan audiotoris,

dan pengobatan masalah medis yang menyertai, seperti infeksi saluran kemih, ulkus

dekubitus, dan disfungsi kardiopulmonal. Perhatian khusus diberikan pada pengasuh

atau anggota keluarga yang menghadapi frustasi, kesedihan, dan masalah psikologis

saat mereka merawat pasien selama periode waktu yang lama.

Jika diagnosis demensia vaskular dibuat, faktor risiko yang berperan pada penyakit

kardiovaskular harus diidentifikasi dan ditanggulangi secara terapetik. Faktor-faktor

tersebut adalah hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, penyakit jantung, diabetes dan

ketergantungan alkohol. Pasien dengan merokok harus diminta untuk berhenti, karena

penghentian merokok disertai dengan perbaikan perfusi serebral dan fungsi kognitif. 2

Medikamentosa

a. Cholinergic-enhancing agents, untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah

banyak dilakukan penelitian.

b. Choline dan lecithin

24

Page 25: PBL BLOK 13.doc

c. Neuropeptide, vasopressin dan ACTH

d. Nootropic agents

e. Dihydropyridine. 2

G. Prognosis

Demensia biasanya progresif. Namun, tingkat perkembangan sangat bervariasi dan

tergantung pada penyebabnya. Demensia memperpendek harapan hidup, tetapi

perkiraan kelangsungan hidup bervariasi. 12

H. Pencegahan

Direkomendasikan kepada masyarakat dalam rangka strategi pencegahan demensia

untuk:

Secara teratur memeriksa tekanan darah dan mengupayakan agar tekanan

darah yang tinggi dan risiko vaskuler yang lain dikendalikan dengan baik.

Pencegahan dan perlindungan terjadinya cedera kepala terutama yang berat

Tetap melakukan kegiatan yang merangsang intelek dan mengupayakan

aktivitas sosial dan aktivitas untuk menghibur diri (leisure activities)

Mencegah paparan medan elektronik dengan jalan menggunakan mesin

elektromagnetik yang berpelindung (ponsel dan computer tidak termasuk).

Mengupayakan diet yang cukup vitamin E, apabila dari diet tidak mencukupi,

dianjurkan suplemen tetapi tidak lebih dari 400 U/hari

Mengupayakan makanan yang sehat, jangan terlalu banyak lemak

Mengupayakan asupan vit B12 dan asam folat yang cukup, dan berikan

suplemen kalau diet tidak mencukupi atau kadar homosistein tinggi

Pada yang minum alkohol dianjurkan terus minum dalam takaran rendah

sampai sedang, akan tetapi kalau bukan peminum lebih baik tidak memulai

minum alkohol

Tidak merokok

Agar tetap selalu aktif secara fisik dan mengupayakan tidur yang cukup

Sedangkan rekomendasi berikut ini diberikan akibat tidak adanya bukti yang

mendukung kegunaannya dalam pencegahan demensia, yaitu:

25

Page 26: PBL BLOK 13.doc

Jangan menggunakan statin untuk pencegahan demensia

Jangan menggunakan obat anti-inflamatorik/NSAID

Jangan menggunakan TSH/HRT/estrogen untuk pencegahan demensia

Jangan menggunakan inhibitor kolesterase (galantamin, donepesil, rivastigmin)

atau memantin untuk pencegahan dementia. 13

DIABETES MELITUS TIPE II TERKONTROL

26

Page 27: PBL BLOK 13.doc

A. Anamnesis

Pada anamnesis diperoleh keluhan bahwa pasien memiliki riwayat kencing manis yang

diketahui sejak 2 tahun lalu.

B. Pemeriksaan

1. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik, pasien diabetes yang timbul pada usia lanjut tidak

diketemukan adanya kelainan-kelainan yang sehubungan dengan diabetes

misalnya kaki diabetes dan tumbuhnya jamur pada tempat-tempat tertentu. 14

2. Pemeriksaan penunjang

- Glukosa plasma atau serum

Konsentrasi glukosa darah puasa, menurut American Diabetes Association

adalah ≥126 mg%, menurut WHO >140 mg%, dan/atau 2 jam sesudah makan

≥200 mg% sehingga pemeriksaan konsentrasi insulin plasma baik pada saat

puasa dan 2 dan 3 jam setelah makan sangat membantu untuk menemukan

penyebab diagnosis tersebut apakah produksi insulin yang menurun atau

resistensi insulin. Hal ini akan lebih mendasar lagi apabila dilakukan

pemeriksaan insulin basal guna mendukung adanya resistensi insulin.

Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis diabetes mellitus:

Gejala klasik + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg%; atau

Gejala klasik + glukosa plasma puasa ≥126 mg%

Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200 mg%

TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) dilakukan dengan standar WHO

menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa

anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3:

<140 mg% normal

140 - <200 mg% GTG

27

Page 28: PBL BLOK 13.doc

≥ 200 mg% diabetes.

- Glukosuria

Menggunakan paper strip dengan glukosa oksidase dan sistem kromogen

(Clinistix, Diastix) yang sensitif terhadap 0,1% glukosa di urine. Kadar

glukosa dilihat dari perubahan warna yang dihasilkan. Pada pemeriksaan ini

diperlukan renal threshold yang normal dan pengosongan vesica urinaria

yang baik untuk membantu interpretasi.

- Ketonuria

Menggunakan tes nitroprusida (Acetest atau Ketostix). Tes ini tidak

mendeteksi asam beta-hidroksibutirat, namun perkiraan ketonuria

semikuantitatif yang diperoleh cukup untuk tujuan klinis.

- Glycated hemoglobin (hemoglobin A1)

Hemoglobin terglikosilasi oleh reaksi ketoamin antara glukosa dan gula lain

dengan grup amino bebas pada rantai alfa dan beta.Hanya glikosilasi dari

ujung-N valine dari rantai beta yang memberikan cukup muatan negatif bagi

hemoglobin untuk berpisah menggunakan teknik charge dependent, secara

kolektif disebut sebagai hemoglobin A1 (HbA1) yang banyak terdapat dalam

bentuk HbA1c yang menggunakan glukosa. Fraksi HbA1 meningkat secara

abnormal pada orang diabetes dengan hiperglikemia kronik. Metode

pengukurannya menggunakan elektroforesis, cation-exchange

chromatography, boronate affinity chromatography, dan immunoassay.

Pengukuran harus dilaksanakan pada pasien dengan interval 3 sampai 4 bulan

sehingga kaliberasi terapi dapat dilaksanakan. 13 Apabila level HbA1c sudah

dibawah 7%, pemeriksaan dilakukan setiap 6 bulan sekali. 15

Keakuratan dari nilai HbA1c dipengaruhi oleh varian atau trait hemoglobin

dan assay spesifik yang dilakukan. Penurunan HbA1c palsu dapat diperoleh

apabila terdapat kondisi di mana umur eritrosit berkurang, dan adanya

penggunaan vitamin C dan E yang dapat menghambat glikosilasi hemoglobin.

28

Page 29: PBL BLOK 13.doc

- Abnormalitas lipoprotein

Pada diabetes tipe 2, “diabetic dyslipidemia” merupakan karakteristik dari

sindrom resistensi insulin. Terdapat gejala tingginya trigliserida serum (300-

400 mg%), kolesterol HDL rendah (<30 mg%), dan perubahan kualitatif pada

partikel LDL, menciptakan partikel kecil yang lebih padat berisi kolesterol

dalam jumlah supranormal. LDL tsb akan lebih mudah teroksidasi sehingga

menjadi aterogenik. Karena kolesterol HDL yang rendah merupakan fitur

utama yang menyebabkan penyakit makrovaskular, istilah “dyslipidemia”

dipergunakan digunakan daripada “hyperlipidemia” yang lebih banyak berarti

peningkatan trigliserida. 16

C. Diagnosis

Dari anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan pasien menderita diabetes mellitus

tipe 2 terkontrol.

D. Epidemiologi

Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 meningkat pesat di seluruh dunia akibat obesitas

dan kurangnya aktivitas akibat industrialisasi. 6 dari 10 negara dengan prevalensi

tertinggi terdapat di Asia. Prevalensi diabetes mellitus tipe 2 dan GTG didapati tertinggi

di pulau-pulau Pasifik, menengah di negara seperti India dan Amerika, dan relatif rendah

di Rusia. Variabilitas ini kemungkinan disebabkan karena genetik, perilaku, dan faktor

lingkungan. Diabetes mellitus tipe 2 juga umumnya lebih banyak ditemui (khususnya

pada usia muda) dari grup-grup etnik lain selain etnik kulit putih non-Hispanik. 16

Kekerapan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia berkisar 1,4-1,6% kecuali di

Pekajangan dekat Semarang (2,3%), kemungkinan akibat banyak perkawinan kerabat, dan

di Manado (6%) yang kemungkinan dipengaruhi oleh letaknya yang dekat Filipina yang

memiliki prevalensi 8,4-12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural. Indonesia

merupakan negara ke-7 prevalensi diabetes mellitus terbanyak. 14

E. Etiologi

Faktor-faktor penyebab diabetes mellitus tipe 2:

29

Page 30: PBL BLOK 13.doc

1. Riwayat keluarga yang diabetes/genetik

2. Obesitas

Obesitas tipe sentral atau apple-shaped memiliki resiko terkena diabetes lebih

tinggi daripada obesitas pada bagian bawah atau pear-shaped. Orang dengan IMT

>25 kg/m2 (standar Amerika) atau lingkar pinggang besar (pria>102 cm dan

wanita>88 cm). 13,16

3. Kurang kerja fisik

4. Ras/etnik

Orang Asia Selatan atau afro Karibia memiliki resiko diabetes lebih besar, dan

resiko terkena diabetes tipe 2 lebih besar pada usia muda. 16,17

5. Usia

Penuaan dapat meningkatkan resiko terkena diabetes. 17

6. Memiliki GTG sebelumnya

7. Riwayat Gestational Diabetes Mellitus/GDM atau pernah melahirkan bayi >4 kg

atau perah keguguran tanpa sebab yang jelas 16,17

8. Hipertensi

9. Tingkat HDL dan trigliserida

10. Sindroma ovarium polikistik atau acanthosis nigricans (hyperkeratosis dan

hiperpigmentasi (aksila, groin, dan leher)

11. Riwayat penyakit vascular 16

F. Patogenesis

Patofisiologi GTG pada lansia sampai saat ini belum jelas atau dapat dikatakan

belum seluruhnya diketahui. Timbulnya GTG oleh beberapa ahli disebutkan

diakibatkan oleh karena menurunnya sekresi insulin oleh sel beta pancreas akibat

perubahan gambaran histologi pancreas, namun ada juga yang menyebutkan bahwa

itu disebabkan oleh karena resistensi insulin. Resistensi insulin dapat timbul oleh

karena menurunnya ukuran massa tubuh dan naiknya lemak tubuh akan

mengakibatkan naiknya kecenderungan timbulnya penurunan aksi insulin pada

jaringan sasaran. Selain itu, timbulnya resistensi insulin juga disebabkan karena

kurangnya aktivitas fisik sehingga jumlah reseptor insulin pun berkurang, dan

perubahan pola makan pada usia lanjut akibat kurangnya gigi geligi dapat

menyebabkan prosentase bahan makanan karbohidrat meningkat. Faktor yang terakhir

30

Page 31: PBL BLOK 13.doc

adalah perubahan neuro-hormonal khususnya insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan

dehydroepandrosteron (DHEAS) plasma yang mengalami penurunan konsentrasi.

Penurunan konsentrasi IGF-1 pada lansia mengakibatkan penurunan ambilan glukosa

karena menurunnya sensitivitas reseptor insulin serta menurunnya aksi insulin.

Sedangkan pengaruh dari menurunnya DHEAS plasma ada kaitannya dengan

kenaikan lemak tubuh serta turunnya aktivitas fisik. 14 Selain itu, disepakati pula dari

berbagai penelitian bahwa ada kenaikan gula darah sesaat (GDS) dengan usia, jadi

toleransi berkurang. 13

Patofisiologi diabetes tipe-2 secara garis besar disebabkan oleh kegagalan kelenjar

pankreas dalam memproduksi insulin dan/atau terjadinya resistensi insulin baik pada

hati maupun jaringan sasaran. Kedua hal tersebut menyebabkan kelainan hati

meregulasi pelepasan glukosa dan menyebabkan ketidak mampuan jaringan otot serta

jaringan lemak dalam tugas ambilan glukosa. A Dapat juga disebabkan karena

produksi glukosa yang bertambah. B Insulin endogen yang bersirkulasi cukup untuk

mencegah ketoasidosis namun tak cukup untuk hiperglikemia yang diperlukan oleh

jaringan yang kurang sensitive (resistensi insulin). 17

G. Gejala dan Tanda Klinis

Gejala khas diabetes secara umum adalah poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat

badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khasnya adalah lemas,

kesemutan, luka sulit sembuh, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi (pria), balanoposthitis

(inflamasi kulit luar dan glans pada pria belum sirkumsisi), dan pruritus vulva (wanita). 14,17 Apabila ditemukan gejala khas, pemeriksaan glukosa abnormal satu kali saja sudah

cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas, maka

diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. A Diabetes mellitus tipe 2

dapat juga asimptomatik pada mulanya.

Apabila penyakit sudah terjadi cukup lama, dapat ditemukan kasus komplikasi

neuropati atau kardiovaskular. Sering pula ditemukan infeksi kulit kronis. Beberapa

pasien mungkin mengalami acanthosis nigricans.

H. Penatalaksanaan

1. Non-medica mentosa

31

Page 32: PBL BLOK 13.doc

- Terapi gizi medis

Sangat direkomendasikan bagi penyandang diabetes. Pada prinsipnya

melakukan pengaturan pola makan dan melakukan modifikasi diet

berdasarkan kebutuhan individu. Tujuan terapi ini adalah:

Kadar glukosa darah menjadi normal

Glukosa darah puasa 90-130 mg% (terkendali)

Glukosa darah 2 pp <180 mg%

Kadar A1c <7%

Tekanan darah <130/80 mmHg

Profil lipid

Kolesterol LDL <100 mg%

Kolesterol HDL >40mg%

Trigliserida <150 mg%

Berat badan senormal mungkin

Jenis bahan makanan:

Karbohidrat

Bagi penderita diabetes tidak boleh lebih dari 55-65% dari total

kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi

dengan pemeberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal. Jumlah serat

20-50 gram per hari, menggunakan pemanis non-kalori (aspartame,

acesulfame, sukralosa), penggunaan alkohol <10 gram per hari.

Protein

Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari

total kalori per hari, di mana pada penderita kelainan ginjal diperlukan

pembatasan asupan protein sampai 40 gram per hari sehingga perlu

ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Pada keadaan glukosa

darah tidak terkontrol, pemberian protein sekitar 0,8-1,0 mg.kg BB/hari.

Jika terdapat komplikasi kardiovaskular, sebaiknya menggunakan protein

nabati.

Lemak

32

Page 33: PBL BLOK 13.doc

Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol dapat memperbaiki profil

lipid tidak normal pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal

merupakan salah satu asam lemak yang memperbaiki kadar glukosa darah

dan profil lipid yaitu dengan meningkatkan kadar trigliserida, kolesterol

total, kolesterol VLDL, dan meningkatkan kolesterol HDL. Asam lemak

tidak jenuh rantai panjang dapat melindungi jantung, menurunkan kadar

trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. Konsumsi makanan yang

mengandung lemak jenuh ≤10% total kebutuhan kalori per hari, asupan

asam lemak jenuh diturunkan hingga maksimal 7% total kalori per hari

pada kolesterol LDL ≥100 mg%, kolesterol maksimal 300 mg/hari (jika

kadar kolesterol LDL ≥100 mg%, hanya boleh 200 mg/hari), batasi asam

lemak bentuk trans, asupan lemak tidak jenuh rantai panjang maksimal

10% asupan kalori per hari.

- Latihan jasmani

Dapat mengurangi resiko kejadian kardiovaskular dan meningkatkan

harapan hidup. Pada latihan jasmani akan menyebabkan peningkatan aliran

darah, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler yang terbuka sehingga

lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif.

Bila insulin disuntikkan pada lengan dan paha, akan memperbesar

kemungkinan terjadi hipoglikemia karena peningkatan hantara insulin melalui

darah akibat pemompaan otot pada saat berkontraksi, sehingga dinajurkan

penyuntikan di daerah abdomen sebelum latihan jasmani. Juga dianjurkan agar

latihan jasmani dilakukan setelah makan yaitu pada saat kadar gula darah

berada pada puncaknya. Namun, pada diabetisi dengan gula darah tak

terkontrol (keadaan metabolic tak terkendali), latihan jasmani akan

menyebabkan terjadi peningkatan kadar glukosa darah dan benda keton yang

dapat berakibat fatal. Jadi sebaiknya bila ingin melakukan latihan jasmani,

seorang diabetisi harus mempunyai kadar glukosa darah tak lebih dari 250 mg

%. 14

Modifikasi senam sederhana perlu diberikan pada diabetes lansia,

misalnya menepuk kedua tangan di atas kepala kemudian di paha, secara

bergantian meletakkan tangan di dada dan di belakang kepala, meregangkan

33

Page 34: PBL BLOK 13.doc

bagian atas dan bawah badan, leher serta paha, membuat gerakan lingkaran

dengan dua lengan secara parallel di depan tubuh. Pada pasien DM gemuk,

resistensi insulin membaik dengan PRT (=Progressive Resistance) dibanding

metoda aerobic exercise sebab di samping perbaikan sensitivitas insulin

densitas tulang, symptom osteoarthritis, gangguan mobilitas, profil lipid juga

membaik. 13

2. Medica mentosa

- Baris pertama

Kebanyakan pasien dan mereka dengan berat badan lebih harus memulai

dengan metformin pada garis awal dengan dosis dimulai dari 500 mg sekali

atau 2 kali sehari dan meningkat setelah 5-7 hari (apabila tidak terdapat

gangguan GIT) menjadi 850 atau 1000 mg sebelum sarapan dan makan

malam.c Metformin merupakan satu-satunya biguanid yang tersedia. Bekerja

menurunkan glukosa darah dengan mengurangi glukoneogenesis hati,

meningkatkan sensitivitas insulin, meningkatkan pemakaian glukosa oleh

perifer, dan mengurangi absorbsi glukosa dari GIT, serta meningkatkan asam

lemak bebas yang bersirkulasi dan level VLDL. 14,15 Metformin tidak memiliki

efek stimulasi pada sel beta pancreas sehingga tidak menyebkan hipoglikemia

dan penambahan berat badan.a Namun, metformin dapat meningkatkan resiko

kardiovaskular dan reduksi dari absorbsi vitamin B12. Kebanyakan pasien

diabetes tipe 2 akan terus menggunakan metformin kecuali jika pasien tsb

tidak dapat mentoleransi ataupun mulai menunjukkan gejala gangguan ginjal. 15

Pasien yang tidak obesitas kemungkinan defisiensi insulin dapat memulai

terapi dengan sulfonylurea, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan

sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin, dan pasien diterapi insulin dulu

sebelumnya bila perlu. 14,15 Dapat meningkatkan atau mempertahankan sekresi

insulin dengan merangsang sel beta pancreas yang masih mampu mensekresi

insulin. Efek samping berupa hipoglikemi karena itu terapi dimulai dengan

dosis rendah. Sulfonylurea dengan masa kerja panjang sebaiknya tidak

dipakai pada lansia. 14

34

Page 35: PBL BLOK 13.doc

- Baris kedua

Jika HbA1c masih belum mencapai target dalam 2-3 bulan, dapat

dipergunakan sulphonylurea, glitazone (thiazolidinediones), atau gliptin.

Glitazone bekerja sebagai regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit,

dan kerja insulin. Glitazone memerlukan 8-12 minggu untuk keefektifannya,

dan dapat ditambahkan pada mereka yang mendapat terapi insulin untuk

meningkatkan kontrol, dan tidak boleh dipergunakan untuk pasien dengan

resiko gagal jantung. 14,15 Glitazone tidak menstimulasi produksi insulin oleh

sel beta pancreas bahkan menurunkan konsentrasi insulin lebih besar daripada

metformin, namun dapat menyebabkan peningkatan berat badan dan oedema.

Rosiglitazone (terdiri dari kemasan 4 dan 8 mg) dan Pioglitazone (kemasan

15 dan 30 mg) saat ini dapat digunakan sebagai monoterapi dan juga sebagai

kombinasi dengan metformin dan sekretagok insulin. 14

Sulphonylurea gliclazide kerja rendah dapat diberikan pada dosis 40-320 mg

per hari (jika digunakan yang pelepasan lambat, 30-120 mg). Dosis di atas

160 mg harus diberikan dengan membaginya ke dalam 2 dosis. Jika pasien

kondisinya kurang baik dan mulai kehilangan berat badan, terapi insulin harus

segera dimulai. Tindakan ini mungkin diperlukan saat HbA1c masih sangat

tinggi (di atas 9%). 15

- Baris ketiga

Pasien yang mendapat terapi insulin dapat meneruskan pemakaian obat

peroral, namun akan lebih baik jika tidak menggunakan lagi sulphonylurea

mengingat terapi insulin memberikan efek yang sama secara eksogen. Pasien

dengan terapi insulin dan masih menggunakan glitazone memiliki resiko lebih

tinggi untuk retensi cairan dan mungkin menyebabkan gagal jantung pada

orang yang rentan. Namun, “triple therapy” menggunakan metformin,

sulphonylurea, dan glitazone atau sitaglipin mungkin menguntungkan karena

meningkatkan sensitivitas insulin

- Lain-lain

35

Page 36: PBL BLOK 13.doc

Termasuk metiglinide (repaglinide atau nateglinide) yang dikonsumsi

sebelum makan untuk merangsang sekresi insulin dan mengurangi

hiperglikemia post-prandial. Repaglinide tidak dianjurkan untuk pasien

berusia di atas 75 tahun. Acarbose (inhibitor alfa-glukosidase) bekerja dengan

menghambat absorbsi glukosa namun kurang dapat ditoleransi karena

memiliki efek samping terhadap saluran pencernaan. 15

I. Pencegahan

Pencegahan primer : mencegah agar tidak timbul penyakit DM dengan mengetahui

faktor yang berpengaruh terjadinya diabetes mellitus antara lain ;

a) Keturunan

b) Kegiatan jasmani yang kurang

c) Kegemukan/distribusi lemak

d) Nutrisi berlebih

e) Faktor lain, obat-obat dann hormone.

Pencegahan sekunder : mencegah agar walaupun sudah timbul penyakit, namun

penyulitnya tidak terjadi

Pencegahan tersier :usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut

walaupun sudah terjadi penyulit.

Usaha pencegahan mencakup :

Pendekatan pada penduduk, berusaha mengubah dan memperbaiki gaya hidup agar

menguntungkan terhadap tidak timbulnya diabetes mellitus atau penyulitnya. (primer

dan sekunder)

Pendekatan perorangan pada mereka yang beresiko tinggi untuk mengidap penyakit

diabetes mellitus dan pada pasien /penyandang diabetes mellitus (primer, sekunder

dan tersier). 18

J. Komplikasi

1. Komplikasi akut

- Diabetic ketoacidosis (DKA)

- Hyperglycemic hyperosmolar state (HHS)

2. Komplikasi kronik

36

Page 37: PBL BLOK 13.doc

- Mikrovaskular

Penyakit mata

Retinopati (nonproliferatif/proliferatif)

Termasuk hemoragia intraretinal, eksudat, infark lapisan serat

saraf, dan macular edema. Retinopati proliferatif diabetes ditandai

dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah baru ada permukaan

retina, menyebabkan kebutaan dari hemoragia vitreus, pemisahan

retina, dan glaucoma.

Neuropati

Biasanya simetrik distal, sensori motor, polineuropati aksonal. Sering

terjadi gabungan dari demielinisasi dan kehilangan aksonal.

- Nefropati

Penyebab tersering sindroma nefrotik. Terdapat proteinuria, hipertensi,

azotemia, dan bakteriuria.

- Makrovaskular

Penyakit arteri koroner

Penyakit arteri perifer

Penyakit cerebrovascular

- Lainnya

Gastrointestinal (gastroparesis, diare)

Genitourinari (uropati/disfungsi seksual)

Dermatologik (ulserasi kaki, penyembuhan luka yang lama, diabetic skin

spot)

Infeksi (mucormycosis rhinocerebral, infeksi enfisema vesica urinaria,

otititis eksterna invasive maligna)

Katarak

Glaucoma

Penyakit periodontal 16

HIPOTENSI ORTOSTATIK

37

Page 38: PBL BLOK 13.doc

A. Pemeriksaan

1. Anamnesis

Anamnesis yaitu pemeriksaan yang pertama kali dilakukan yaitu berupa rekam

medik pasien. Dapat dilakukan pada pasiennya sendiri (auto) atau pada keluarga

terdekat (allo). Rekam medik yang dilakukan meliputi:

a. Identitas: nama, umur, jenis kelamin, pemberi informasi (misalnya pasien,

keluarga,dll), dan keandalan pemberi informasi.

b. Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien tentang permasalahan yang

sedang dihadapinya.

c. Riwayat penyakit sekarang (RPS): cerita kronologis, terinci dan jelas

mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai

pasien datang berobat.

d. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD): bertanya apakah pasien pernah mengalami

hipotensi ortostatik sebelumnya.

e. Riwayat Keluarga: umur, status anggota keluarga (hidup, mati) dan masalah

kesehatan pada anggota keluarga.

f. Riwayat psychosocial (sosial): stressor (lingkungan kerja atau sekolah, tempat

tinggal), faktor resiko gaya hidup.2

2. Pemeriksaan Fisik

Setelah anamnesis selesai, pemeriksaan fisis diawali dengan pemeriksaan obyektif

tentang hal-hal yang terukur yaitu tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, suhu. 19

Pada saat berbaring dan berdiri tekanan darah diukur dengan interval 12 menit

setelah masing-masing berbaring dan berdiri selama 10 menit. Tekanan darah

selama berdiri di ukur setiap 20 menit . 20

Kardiovaskular. Menilai volume fluida dengan pemeriksaan tekanan leher vena. 21

Auskultasi jantung harus dilakukan untuk mengidentifikasi kehadiran aorta

stenosis, murmur, dan aritmia. 21

Neurologis. Pemeriksaan neurologis harus termasuk tes status mental untuk

mengevaluasi untuk demensia, saraf kranial keterlibatan dalam stroke,

pemeriksaan motor untuk stroke, dan evaluasi sensorik untuk neuropati dan

Parkinsonisme fitur seperti bradikinesia, kekakuan, dan tremor. 21

38

Page 39: PBL BLOK 13.doc

Pemeriksaan penunjang

Berikut tes diagnostik direkomendasikan berdasarkan kebutuhan:

CBC untuk anemia

BUN dan kreatinin serum untuk dehidrasi

Tes glukosa darah untuk diabetes

EKG untuk irama tidak teratur

CT atau MRI untuk menyingkirkan gangguan SSP.

Fungsi otonom tes yang dapat dilakukan dalam kasus-kasus pilih meliputi:

mengukur respon denyut jantung untuk mengubah dari telentang menjadi berdiri posisi dan manuver Valsava

Tes ini tidak invasif dan dilakukan di laboratorium pengujian khusus. Tilt-tabel pengujian juga membantu dalam pasien dengan sinkop penyebab tidak diketahui. 21

C. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik. Diagnosis akan

semakin kuat jika tekanan darah menurun secara berarti pada saat penderita berdiri dan

kembali normal jika penderita berbaring. 22

D. Gejala Klinis

Kebanyakan orang dengan penyakit hipotensi ortostatik akan merasa kepalanya terasa

ringan, pusing, kebingungan, atau penglihatan kabur ketika mereka bangun dari tempat

tidur secara tiba-tiba atau berdiri setelah duduk untuk waktu yang lama. Gejala ini akan

lebih buruk jika lelah berolahraga, mengkonsumsi alkohol, atau makan makanan yang

berat. Penurunan aliran darah ke otak yang parah bisa menyebabkan orang tersebut

pingsan dan kejang. 2,20

E. Etiologi

Penurunan tekanan darah yang drastis pada perubahan posisi dapat terjadi oleh

banyak hal.

Gangguan Homeostatis

39

Page 40: PBL BLOK 13.doc

Asthenia, usia lanjut, berdiri terlalu lama,

aktivitas berlebihan, dehidrasi, malnutrisi,

demam, temperatur lingkungan yang terlalu panas.

Obat-obat

Phenothiazine dan neuroleptika lainnya

Monoamine oxidase inhibitor

Tricyclic antidepressant

Antihipertensif

Levodopa

Vasodilator

Penghambat β

Penghambat kalsium

Gangguan sistem saraf pusat

Sindrom Shy-Drager

Lesi batang otak

Penyakit Parkinson

Mielopati

Infark serebral multipel

Neuropati perifer dan otonomik

Diabetes mellitus

Amiloidosis

Tabes dorsalis

Sindroma paraneoplastik

Alkoholik dan penyakit nutrisi

Hipotensi ortostatik idiopatik

Penyakit diabetes melitus dan penggunaan obat berkepanjang merupakan

penyebab yang paling sering ditemukan. 23

F. Epidemiologi

Hipotensi ortostatik terjadi pada 11-30% orang usia lanjut. Penelitian pada 4.436

penduduk Indonesia berusia 40 tahun ke atas mendapat kejadian hipotensi ortostatik

sebesar 12,6%. 2

G. Patofisiologi

40

Page 41: PBL BLOK 13.doc

Pada perubahan posisi tubuh misalnya dari tidur menjadi berdiri, maka tekanan darah

bagian atas tubuh akan menurun karena ada pengaruh grativasi. Gaya gravitasi ini

menyebabkan sejumlah 500-800 ml darah akan berpindah ke daerah abdomen dan

ekstremitas bawah, sehingga berakibat terjadinya penurunan besar volume darah balik

vena secara tiba-tiba ke jantung. Penurunan besar volume ini akan mengakibatkan

penurunan curah jantung dan stimulasi pada aorta, karotis, dan baroreseptor

kardiopulmonal yang akan meningkatkan refleks simpatis. Hasil akhir ditemukan

adalah keadaan dimana terjadi peningkatan denyut jantung, kontraktilitas otot jantung

dan resistensi vaskular untuk mempertahankan tekanan darah sistemik menjadi stabil.

Jika respon kompensasi tersebut gagal atau tidak lancar, akan terjadi hipotensi

ortostatik. 2

H. Penatalaksanaan

a. Nonmedikamentosa

Pemberian obat-obat yang dapat menyebabkan hipotensi ortostatik hendaknya

dikurangi atau diberhentikan sama sekali. Aktivitas fisik yang dilakukan secara

teratur seperti berjalan cukup mampu mengurangi timbulnya gejala. Tidur dengan

posisi kepala terangkat ± 30 cm dan alas tidur dapat memperbaiki hipotensi

ortostatik melalui mekanisme berkurangnya tekanan arteri ginjal yang selanjutnya

akan merangsang pelepasan renin dan meningkatkan volume darah. Pada

penderita yang tidak memiliki penyakit jantung, penambahan garam dalam menu

sangat berguna dengan jumlah terbatas 200 mmol perhari. Menghindari mengejan

saat miksi atau defeksi dan perubahan mendadak dari posisi berbaring ke berdiri

akan menolong mengatasi gejala. Pada penderita hipotensi ortostatik setelah

makan dianjurkan mempersering frekuensi makan makanan ringan selain itu perlu

membatasi aktivitas fisik setelah makan. 20

b. Medikamentosa. 13

Jenis tindakan

/terapi

Titik tangkap-mekanisme

kerja

Dosis/catatan

Pakaian anti-

gravitasi/elastic

Cegah pooling darah akibat

posisi tegak

Tak praktis untuk

lansia: pakaian elastik

41

Page 42: PBL BLOK 13.doc

harus sebadan penuh

dikombinasi dengan

support abdominal

elastik

Fludrokortison Hormone mineralkortikoid,

meretensi cairan dan garam

→ ekspansi darah

0,1 mg tingkatkan

sampai maksimal 1 mg

(dosis besar bisa

hipertensi/gagal

jantung) – efektif hanya

pada jenis ringan

Flurbiprofen Inhibitor prostaglandin

sintase → efek vaso-

kontriksi

50 mg/hari (kombinasi

dengan Fludrokortison)

Pindolol Simpatomimetik 15 mg/ hari →

efektifitas perlu

dikonfirmasi

Dihidro-ergotamin

(DHE)

Efek vasokontriksi pada

pembuluh darah kapasitans

di cadangan vena

3 x 2 mg/hari.

Bioavabilitas rendah

pada pemberian oral

Midodrin Agonis adrenergic 3 x 2,5 – 5 mg/hari

Kafein Vasokonstriktor 200-250 mg sehabis

makan untuk hipotensi

post prandial (setara 2

cangkir kopi)

I. Prognosis

Prognosis untuk seseorang dengan OH tergantung pada penyebabnya. Penderita

diabetes dengan hipertensi serta mengalami hipotensi ortostatik, memiliki prognosis

buruk. 2 Jika penyebabnya adalah volume darah rendah atau obat tertentu, keadaan ini

bisa diatasi dengan segera. 21

42

Page 43: PBL BLOK 13.doc

J. Pencegahan

1. Diet

Meningkatkan konsumsi harian natrium (5- 10 mg/hari) dan air (tidak pada pasiendengan hipertensi dan gagal jantung).

Sering makan makanan kecil yang rendah karbohidrat untuk mencegah perburukan OH postprandia.

Meningkatkan serat makanan untuk mencegah sembelit. Meningkatkan konsumsi kafein, sebagai reseptor adenosin blocker (adenosin

menyebabkan hipotensi postprandial splanknikus); minum kopi setelah makan untukmembantu mencegah OH postprandial.

Minum setidaknya 6 sampai 8 gelas air untuk mencegah dehidrasi, hindari alkohol

Meningkatkan konsumsi garam dan cairan selama masa panas yang ekstrim danpenyakit demam.

2. Aktivitas fisik

Latihan otot betis sebelum duduk, dan duduk di tepi tempat tidur selama beberapa menit sebelum berdiri untuk memberi waktu tubuh untuk menyesuaikan diri dengan perubahan postural dan membantu darah mengalir kembali ke jantung.

Hindari membungkuk di pinggang untuk meraih sesuatu dari lantai atau di rak yang lebih rendah. Jika mungkin, berjongkok di lutut dan menjaga kepala.

Pertimbangkan memakai stoking elastis untuk mencegah bendungan vena di kaki.21

BAB IIIPENUTUPProses penuaan menyebabkan berbagai penyakit dan masalah psikososial. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi ketika memasuki usia lanjut adalah : sistem panca-indra, sistem gastro-intestinal, sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem endokrinologik, sistem hematologik, sistem persendian, sistem urogenital dan tekanan darah , infeksi dan imunologi, sistem saraf pusat dan otonom, sistem kulit dan integumen, otot dan tulang. Pemeriksaan pada lansia hendaklah

dilakukan secara teratur. DAFTAR PUSTAKASoejono HC, Chen K, Nainggolan L, Harimurti K, Dewiasty E, Bawazier LA, et al. Lima puluh masalah kesehatan di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publshing; 2008. h. 27-30

1. Sudoyo AW, et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid I. Ed 5. Jakarta: Interna

Publishing; 2009. h. 26-7, 826-30, 837-44, 851-57.

2. Diagnosis vertigo. Diunduh dari:

http://www.emedicinehealth.com/vertigo/page4_em.htm#Exams%20and%20Tests .

14 Januari 2011

43

Page 44: PBL BLOK 13.doc

3. Prognosis vertigo. Diunduh dari:

http://www.emedicinehealth.com/vertigo/page10_em.htm. 14 Januari 2011

4. Vertigo prevention. Diunduh dari:

http://www.emedicinehealth.com/vertigo/page9_em.htm#Prevention. 14 Januari 2011

5. Tjokroprawin A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Surabaya: Airlangga universitas press; 2007. h.247-53

6. Abrams BW, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jilid II. Jakarta: Binarupa

Aksara; 1997. h. 75-81, 179-181

7. Mubin H. Panduan praktis ilmu penyakit dalam diagnosis dan terapi. Jakarta: Penerbit

buku kedokteran EGC; 2008. h. 645-46

8. Komplikasi Parkinson. Diunduh dari : http neurology.health-cares.net/parkinsons-

disease-complications.php.14 Januari 2011

9. Ginsbreg L. Lecture notes neurologi. Ed. VIII. Jakarta: Erlangga Medical Series;

2008. h. 104

10. Demensia. Diunduh dari: http://www.scribd.com/doc/23549468/ASKEP-

DEMENSIA. 15 Januari 2011

11. Demensia. Diunduh dari:

http://www.merckmanuals.com/professional/sec16/ch213/ch213c.html. 15 Januari

2011

12. Martono HH, Kris P. Buku ajar boedhi-darmojo geriatri (ilmu kesehatan lanjut). Edisi

ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009. h. 217-18, 401, 404, 425

13. Aru WS, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S [editor]. Buku ajar ilmu penyakit

dalam jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing; November 2009. h. 1875, 1881,

1885-9, 1891-5, 1967-9, 1971, 2538, 2541-4, 2546-8

14. Holt T, Sudhesh K. Abc of diabetes. 6th ed. UK: BMJ Books; 2010. P. 1-2, 25, 27

15. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo [editor]. Harrison’s

principles of internal medicine [e-book]. 17th ed. McGraw-Hill; 2008. p. 2158-9,

2163, 2275-7, 2282-93

16. Stephen JM, Maxine AP, Michael WR [editor]. 2011 current medical diagnosis

[Microsoft® HTML Help Executable]. McGraw-Hill Lange; September 2010. P.

unknown. Ch.26, 27, 20

17. Waspadji S. Diabetes mellitus, penyulit kronik dan pencegahannya. Dalam :

Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai

penerbit FKUI 2007: 163-74

44

Page 45: PBL BLOK 13.doc

18. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3.

Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h. 45

19. Hartono M. Hipotensi ortostatik. Diunduh dari:

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/12HipotensiOrtostatik120.pdf/

12HipotensiOrtostatik120.html. 14 Januari 2011

20. http://geriatrics.modernmedicine.com/geriatrics/data/articlestandard//geriatrics/

332004/110551/article.pdf

21. Penyebab hipotensi ortostatik. Diunduh dari: http://www.spesialis.info/?penyebab-

hipotensi-ortostatik-(orthostatic-hypotension): 14 Januari 2011.

22. Abrams BW, Berkow R. The merck manual of geriatrics. Jilid I. Jakarta: Binarupa

Aksara; 1997. h. 530-35

45