PBL Blok 12 Infeksi Dan Imunitas (Leptospirosis)

download PBL Blok 12 Infeksi Dan Imunitas (Leptospirosis)

of 20

description

makalah pbl blok 12 leptospirosis

Transcript of PBL Blok 12 Infeksi Dan Imunitas (Leptospirosis)

Your User Name

1

Leptospirosis Sebagai Infeksi Tropik Adnan Firdaus102012105/B9

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jakarta

Jalan Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk Jakarta Barat

[email protected]/[email protected]

A. PendahuluanLeptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme Leptospira interogans tanpa memandang bentuk spesifik serotipnya. Penyakit ini pertama sekali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang disertai dengan ikterus ini dengan penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk yang beratnya dikenal sebagai Weil disease. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever, slime fever, swamp fever, autumnal fever, infectious jaundice, cane cutter fever dan lain-lain.1,2Leptospira menyebabkan penyakit yang dikarakterisasi oleh stadium klinik yang disertai remisi dan eksaserbasi. Organisme leptospira merupakan bakteri spirochaeta yang sangat halus, berlilit padat (ketat) dan bersifat obligat aerob, yang ditandai oleh gerakan bertipe fleksuosa yang unik. Genus ini dibagi menajdi dua spesies, leptospira interrogans yang patogenik dan leptospira biflexa yang hidup bebas.1Serotipe L. interrogans merupakan penyebab penyakit leptospirosis, yang merupakan penyakit zoonis. Hospes utama penyakit ini adalah mamalia liar maupun mamalia peliharaan, dan penyakitnya menyebabkan kerugian ekonomis pada industri pengolahan daging dan susu. Manusia merupakan hospes aksidental yang penyakitnya tersebar di seluruh tubuh, dan beratnya berbeda-beda, mulai dari subklinik hingga fatal.1Leptospirosis acapkali luput didiagnosa karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosa tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious disease.1B. Skenario KasusSeorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke poliklinik karena demam tinggi sampai menggigil sejak 5 hari yang lalu, panas terus-menerus terutama siang sampai malam hari. Demam juga disertai nyeri kepala, mual dan muntah 2-3 x/hari. Pasien juga merasa nyeri jika betisnya ditekan. KU: lemah, Suhu: 39oC, RR: 18 x/menit, Nadi: 100 x/menit, TD: 100/70 mmHg, congjungtiva anemis, sklera ikterik, subconjungtival injection (+), hepar 2 jari di bawah arcus costa, nyeri tekan (+). C. Epidemiologi

Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, disemua benua kecuali benua antartika, namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat pada binatang piaraan seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, atau binatang-binatang pengerat lainnya seperti tupai, musang, kelalawar, dan lain sebagainya. Di dalam tubuh binatang tersebut, leptospira hidup di dalam ginjal/air kemihnya. Tikus merupakan vektor yang utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus, leprosira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus-menerus dan ikut mengalir dalam filtrat urin. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa puncak insidens dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di daerah tropis insidens tertinggi terjadi selama musim hujan.1Leptospirosis mengenai paling kurang 160 spesies mamalia. Ada berbagai penjamu dari leptospira, dari mamalia yang berukuran kecil di mana manusia dapat kontak dengannya, misalnya landak, kelinci, tikus sawah, tikus rumah, tupai, musang, sampai dengan reptil (berbagai jenis katak dan ular), babi, sapi, kucing, dan anjing. Binatang pengerat terutama tikus merupakan reservoir yang paling banyak. Leptospira membentuk hubungan simbiosis dengan penjamunya dan dapat menetap dalam tubulus renalis selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Beberapa serovar berhubungan dengan binatang tertentu, seperti L. icterohaemoragicae/copenhageni dengana tikus, L. grippotyphosa dengan voles (sejenis tikus), L. hardjo dengan sapi, L. canicola dengan anjing dan L. pomona dengan babi.1International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga di dunia untuk mortalitas.1Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. Pada kejadian banjir besar di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari seratus kasus leptospirosis dengan 20 kematian.1Salah satu kendala dalam menangani leptospirosis berupa kesulitan dalam melakukan diagnostik awal. Sementara dengan pemeriksaan sederhana memakai mikroskop biasa dideteksi adanya gerakan leptospira dalam urin. Diagnostik pasti ditegakkan dengan ditemukannya leptospira pada daerah atau urin atau ditemukannya hasil serologi positif. Untuk dapat berkembang biaknya leptospira memerlukan lingkungan optimal serta tergantung pada suhu yang lembab, hangat, pH air/tanah yang netral, di mana kondisi ini ditemukan sepanjang tahun di daerah tropis.1 D. Anamnesis

Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah pasien termasuk orang dengan kelompok risiko tinggi, seperti berpergian ke hutan belantara, rawa, sungai, sawah, atau pasien selesai membersihkan got atau saluran air. Biasanya didapati adanya gejala/keluhan demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama dibagian frontal, nyeri otot, mata merah, fotofobia, mual, muntah.3E. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya demam, bradikardia relatif, nyeri tekan otot, ikterik, hepatomegali, limfadenopati, dan lain-lain.3F. Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, famili tropenemataceae, suatu mikroorganisme spirochaeta. Ciri khas mikroorganisme ini yakni berbelit, tipis, fleksibel, panjangnya 5-15 um, dengan spiral yang sangat halus, lebarnya 0,1-0,2 um. Salah satu ujung organisme sering membengkak, membentuk suatu kail. Terdapat gerak rotasi aktif, tetapi tidak ditemukan adanya flagella. Spirochaeta ini demikian halus sehingga tidak dalam mikroskop lapangan gelap hanya dapat terlihat sebagai rantai kokus kecil-kecil. Dengan pemeriksaan lapangan redup pada mikroskop biasa morfologi leptospira secara umum dapat dilihat. Untuk mengamati lebih jelas gerakan leptospira digunakan mikroskop lapangan gelap. Leptospira membutuhkan media dan kondisi yang khusus untuk tumbuh dan mungkin membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk membuat kultur yang positif. Dengan medium Fletchers dapat tumbuh dengan baik sebagai obligat aerob.1Secara sederhana, genus leptospira terdiri atas dua spesies: L. Interrogans yang patogen dan L. Biflexa yang nonpatogen/saprofit. Tujuh spesies dari leptospira patogen sekarang ini telah diketahui dasar ikatan DNA-nya, namun lebih praktis dalam klinik dan epidemiologi menggunakan klasifikasi yang didasarkan atas perbedaan serologis. Spesies L. Interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Saat ini telah ditemukan lebih dari 250 serovar yang tergabung dalam 23 serogrup. Beberapa serovar L. Interrogans yang dapat menginfeksi manusia di antaranya: L. Icterohaemorrhagie, L. Canicola, L. pomona, L. Grippothyphosa, L. Javanica, L. Celledeoni, L. Ballum, L. Pyrogenes, L. Automnalis, L. Hebdomadis. L. Bataviae. L. Tarassovi, L. Panama, L. Andamana, L. Sherinani, L. Ranarum, L. Bufonis, L. Copenhageni, L. Australis, L. Cynopteri, dan lain-lain.1Menurut beberapa peneliti, yang tersering menginfeksi manusia ialah L. Icterohaemorrhagica dengan reservoir tikus, L. Canicola dengan reservoir anjing dan L. Pomona dengan reservoir sapi dan babi.1G. PatogenesisLeptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, memasuki aliran darah dan berkembang, lalu menyebar secara luas ke jaringan tubuh. Kemudian terjadi respon imunologik baik secara selular maupun humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk antibodi spesifik. Walaupun demikian beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi seperti di dalam ginjal di mana sebagian mikroorganisme akan mencapai convoluted tubules, bertahan di sana dan dilepaskan melalui urin. Leptospira dapat dijumpai dalam air kemih sekitar 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun kemudian. Leptospira dapat dihilangan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentunya aglutinin. Setelah fase leptospremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan ginjal dan okuler. Leptospiruria berlangsung 1-4 minggu. Tiga mekanisme yang terlibat pada patogenese leptospirosis: invansi bakteri berlangsung, faktor inflamasi nonspesifik, dan reaksi imunologi.1H. PatologiDalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada leptospirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan kerusakan secara histologis. Pada leptospirosis lesi histologis yang ringan ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari organ tersebut. Perbedaan ini menunjukkan bahwa kerusakan bukan pada struktur organ. Lesi inflamasi menunjukkan edema dan ilfiltrasi sel monosit, limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang erat terjadi kerusakan kapiler dengan perdarahan yang luas dan disfungsi hepatiseluler dengan retensi bile. Selain di ginjal, leptospirosis juga bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk ke dalam cairan serebrospinal pada fase leptospiremia. Hal ini akan menyebabakan meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai komplikasi leptosirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah ginjal, hati, otot, dan pembuluh darah. Kelainan spesifik pada organ ialah:1 1. Gunjal. Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.2. Hati. Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini terdapat di antara sel-sel parenkim.3. Jantung. Epikardium, endokardium, dan miokardium dapat terlibat. Kelainan miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi sel mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endokarditis.4. Otot rangka. Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa lokal nekrosis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen leptospira pada otot.5. Mata. Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia dan bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Hal ini akan menyebabkan uveitis.6. Pembuluh darah. Terjadi perubahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/pteki pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.7. Susunan saraf pusat. Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal dan dikaitkan dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi, tidak pada saat memasuki CCS. Diduga bahwa terjadinya meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuklear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya paling sering disebabkan oleh L. Canicola.

I. Manifestasi KlinisInfeksi leptospirosis bisa tanpa gejala klinis. Oleh karena itu, amatlah penting untuk menggali dari pasien mengenai riwayat paparan terhadap material yang terkontaminasi oleh leptospira. Bukti serologi menunjukkan bahwa terdapat 15-40% individu yang pernah terpapar dengan leptospira, namun tidak menjadi sakit. Pada kasus yang simtomatik, manifestasi klinis bervariasi dan ringan sampai berat, bahkan fatal. Lebih dari 90% individu yang simtomatik menunjukkan bahwa leptospirosis yang ringan dan anikterik, dengan atau tanpa meningitis. Sisanya, sekitar 5-10% dengan bentuk leptospirosis yang berat (sindrom Weil).4-5Masa inkubasi biasanya 1-2 minggu, tetapi bekisar 2-16 hari. Perjalanan penyakitnya khas, terdiri dari 2 fase, yakni fase leptospiremia (5-7 hari) yang kemudian diikuti oleh fase imun (4-30 hari). Pertama antara fase pertama dan kedua tidaklah selalu jelas. Pada kasus yang ringan tidak ada selalu fase kedua, sedangkan pada sindrom Weil, kedua fase penyakit seringkali berkelanjutan dan sulit dibedakan. Fase leptospiremia ditandai oleh adanya leptospira di dalam darah dan cairan serebrospinal, sedangkan fase imun ditandai oleh peningkatan kadar IgM dalam sirkulasi dan adanya leptospira dalam urin.51. Leptospira AnikterikLeptospirosis tampak sebagai penyakit yang menyerupai influenza akut dengan demam, menggigil, sakit kepala hebat, mual, muntah, dan mialgia. Nyeri otot terutama pada betis, punggung dan abdomen, merupakan gejala yang penting pada leptospirosis. Gejala lain yang kurang sering adalah nyeri menelan dan timbul ruam pada kulit. Pasien biasanya mengalami sakit kepala berat (frontal atau retroorbital) dan terkadang timbul fotofobia. Perubahan status mental juga bisa terjadi. Bila paru juga terlibat, maka sebagian besar kasus terjadi batuk dna nyeri dada, serta tidak jarang juga terlihat hemoptisis.4,6 Temuan yang paling sering dijumpai pada pemeriksaan fisik adalah demam dengan injeksi silier pada konjungtiva, sedangkan yang jarang ditemukan adalah nyeri tekan otot, limfadenopati, injeksi faringeal, ruam, hepatomegali dan splenomegali. Ruam pada kulit bisa berbentuk makular, makulopapular, eritematosa, urtikarial atau hemoragik. Ikterus ringan juga dapat terjadi.6Sebagian besar pasien menjadi asimtomatik dalam 1 minggu. Sesudah interval bebas demam selama 1-3 hari, akan timbul demam kembali dan masuk ke fase kedua (imun) pada sejumlah kasus. Fase imum dimulai bersamaan dengan terbentuknya antibodi. Gejala klinisnya lebih bervariasi dibandingkan dengan fase pertama (leptospiremia). Biasanya gejala berlangsung hanya selama beberapa hari, namun terkadang dapat menetap selama berminggu-minggu. Demam seringkali kurang jelas (tidak begitu tinggi) dan mialgia lebih ringan bila dibandingkan pada saat fase leptospiremia. Hal penting yang bisa terjadi pada fase imun adalah timbulnya meningitis aseptik. Walaupun gejala dan tanda meningitis hanya dijumpai pada tidak lebih dari 15% pasien, akan tetapi banyak pasien mengalami pleositosis pada cairan serebrospinalnya. Gejala meningeal biasanya hilang dalam beberapa hari, namun juga bisa menetap selama bermingggu-minggu. Hal yang salam, pleositosis umumnya menghilang selama 2 minggu tetapi terkadang menetap sampai berbulan-bulan. Iritis, iridosiklitis dan korioretinitis merupakan komplikasi lanjut yang bisa menetap selama bertahun-tahun. Biasanya timbul minimal sesudah 3 minggu, akan tetapi sering juga setelah beberpa bulan dari permulaan sakit.62. Leptospirosis Berat (sindrom Weil)Sindrom Weil adalah bentuk yang paling berat dari leptospirosis, yang ditandai oleh ikterus, disfungsi ginjal dan diathesis hemoragik, serta mempunyai angka mortalitas yang tinggi. Sindrom ini seringkali terjadi pada infeksi oleh serovar icterohaemorrhagiae. Pada awal sakit, klinisnya tidak berbeda dengan leptopsirosis yang ringan, akan tetapi sesudah 4-9 hari umumnya timbul ikterik disertai disfungsi ginjal dan vaskuler. Walaupun telah dilaporkan terdapat perbaikan dalam beberapa hal sesudah minggu pertama sakit, namun pola penyakit yang bifasik, seperti yang terlihat pada leptospirosis anikterik, kurang jelas terlihat. Biasanya tidak terjadi nekrosis hati berat. Kematian jarang disebabkan oleh kegagalan hati. Hepatomegali dan nyeri tekan pada abdomen kuadran kanan atas sering dijumpai. Splenomegali ditemukan pada 20% kasus.5,7Gagal ginjal sering sekali terjadi pada minggu kedua sakit. Hipovolemia dan penurunan perfusi renal berkontribusi terhadap terjadinya nekrosis tubular akut dengan oliguria atau anuria. Dialisis terkadang diperlukan, walaupun pada cukup banyak kasus fungsi kasus fungsi ginjal dapat normal kembali tanpa dialisis. Keterlibatan paru sering terjadi. Manifestasi klinisnya berupa batuk, dispnu, nyeri dada dan sputum bercak darah, serta terkadang hemoptisis atau bahkan kegagalan respirasi. Manifestasi perdarahan pada sindrom Weil umumnya berupa epistaksis, petekie, purpura dan ekimosis, sedangkan perdarahan gastrointestinal berat serta perdarahan adrenal atau subaraknoid jarang dijumpai. Rabdomiolisis, hemolisis, disseminated intravascular coagulation (DIC), pankreatitis, miokarditis, perikarditis, gagal jantung kongestif, syok kardiogenik, acute respiratory distress syndrom (ARDS), serta kegagalan multiorgan, juga dapat terjadi pada leptospirosis berat.4,6J. DiagnosisDiagnosis leptospirosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada umumnya, tidak mudah untuk menegakkan diagnosis awal leptospirosis karena pasien biasanya datang dengan meningitis, hepatitis, nefritis, pneumonia, influenza, sindrom syok toksik, demam yang tidak diketahui asalnya dan diatesis hemoragik, bahkan pada beberapa kasus datang dengan pankreatitis.8Pada anamnesis, penting diketahui tentang riwayat pekerjaan pasien, apakah pasien termasuk orang dengan kelompok risiko tinggi, seperti berpergian ke hutan belantara, rawa, sungai, sawah, atau pasien selesai membersihkan got atau saluran air. Biasanya didapati adanya gejala/keluhan demam yang muncul mendadak, sakit kepala terutama dibagian frontal, nyeri otot, mata merah, fotofobia, mual, muntah. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai adanya demam, bradikardia relatif, nyeri tekan otot, ikterik, hepatomegali, limfadenopati, dan lain-lain.8Laju endap darah (LED) biasanya meningkat. Pada leptospirosis anikterik, jumlah leukosit darah berkisar antara 3.000-26.000/mm3 dengan pergeseran ke kiri. Pada sindrom Weil leukositosis seringkali lebih nyata. Trombositopenia ringan terjadi pada 50% pasien, dengan jumlah trombosit berkisar antara 80.000-150.000/mm3.8Ginjal merupakan organ yang selalu terlibat pada leptospirosis. Dapat ditemukan adanya sedimen urin (leukosit, eritrosit, hialin, dan granular) serta proteinuria ringan pada leptospirosis anikterik hingga gagal ginjal dan azotemia pada penyakit yang berat.8Organ hati dapat juga terlibat. Kadar bilirubin darah, alkali fosfatase dan transaminase dapat meningkat. Namun, berbeda dengan hepatitis akut, peningkatan bilirubin pada pasien leptospirosis tidak sebanding dengan peningkatan kadar transaminasenya, baik SGOT maupun SGPT. Pada leptosiposis, transaminase hanya meningkat ringan (sampai 200 U/L). Pada sindrom Weil , masa protombin dapat memanjang tetapi masih bisa dikoreksi dengan pemberian vitamin K. Kadar CPK meningkat pada 50% pasien leptospirosis pada minggu pertama sakit, hal ini juga dapat membantu membedakannya dengan hepatitis viral. Pada beberapa kasus, amilase dan lipase serum juga meningkat.8,9Bila terjadi meningitis, maka pada pemeriksaan cairanserebrospinal, leukosit polimorfonuklear akan mendominasi pada awalnya, sedangkan jumlah sel mononuklear baru akan meningkat kemudian. Kadar protein dapat meningkat dengan kadar glukosa normal.8Pada leptospirosis berat, kalainan radiologis paru lebih sering melebihi dari dugaan kita pada saat pemeriksaan fisik. Kelainan tersebut paling sering terjadi sesudah 3-9 hari sakit. Temuan radiologis yang paling sering adalah suatu patchy alveolar pattern yang menandakan adanya perdarahan alveolar yang tersebat. Kelainan ini paling sering dijumpai pada bagian perifer dari lobus bawah paru.8,10Berbagai kelainan EKG juga dapat dijumpai pada pasien leptospirosis, antara lain aritmia yang bisa berupa atrial fibrillation, atrial flutter, atrial tachycardia dan premature ventricular contractions. Kelainan lain yang bisa ditemukan adalah perikarditis, efusi perkardial ringan, heart block dan miokarditis.9Diagnosis pasti dari leptospirosis dapat diperoleh melalui isolasi leptopsira dari darah/cairan tubuh dngan kultur, pemeriksaan PCR pada stadium awal penyakit, atau pemeriksaan serologi dengan microscopic agglutination test (MAT) maupun enzym linked immunosorbent (ELISA).91. Kriteria DiagnosisThe Informal Expert Consultation on Suveillance, Diagnosis and Risk Reduction of Leptospirosis (WHO, SEARO, 2009), telah menetapkan kriteria diagnosis baru untuk leptospirosis yang dapat diaplikasikan dengan mudah, baik pada pelayanan kesehatan primer maupun pada tingkat yang lebih tinggi, dengan kriteria sebagai berikut:a. Suspect Case1) Demam akut (> 38,5oC) dan/atau nyeri kepala hebat dengan:a) Mialgiab) Kelemahan tubuh (prostration) dan/atauc) Injeksi konjungtiva (conjungtival suffusion), dand) Riwayat paparan terhadap lingkunganyang terkontaminasi oleh leptospira

b. Probable Case1) Pada pelayanan kesehatan primer, suspect case dengan dua dari berikut ini:a) Nyeri tekan pada betisb) Batuk dengan atau tanpa hemoptisisc) Ikterikd) Manifestasi perdarahane) Iritasi meningealf) Anuria/oliguria/proteinuriag) Sesak napash) Aritmia jantungi) Ruam kulit

2) Pelayanan kesehatan sekunder/tertiera) berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium maka suatu probable case adalah suatu suspect case dengan pemeriksaan rapid IgM positifb) temuan serologik mendukung (misalnya titer MAT sama dengan 200 pada sampel tunggal)c) temuan urin: proteinuria, sel-sel pus, darahd) neutropilia relatif (>80%) dengan limfopeniae) trombosit 2 mg%, enzim-enzim hati (fosfatase alkali serum, amilase serum, CPK) meningkat moderat.

c. Confirmed CaseSuatu confirmed case dari leptospirosis adalah suspect atau probable case dengan salah satu dari berikut ini:1) isolasi leptospira dari spesimen klinik2) hasil PCR positif3) serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali titer MAT4) titer MAT 400 atau lebih pada sampel tunggalPada keadaaan di mana kapasitas laboratorium tidak memadai: hasil positif dari dua pemeriksaan diagnostik cepat yang berbeda dapat dianggap sebagai confirmed case secara laboratoris.

2. Diagnosis Banding

Influenza yang sporadik, meningitis aseptik viral, riketsiosis, semua penyakit dengan ikterus (hepatitis, demam kuning dll), glandular fever, bruselosis, pneumonia atipik, demam berdarah dengue, penyakit susunan saraf yang akut, dan fever of unknown origin (FUO).2K. Komplikasi

Pada leptospirosis, komplikasi yang terjadi ialah iridoksiklitis, gagal ginjal, miokarditis, meningitis aseptik, dan hepatitis. Perdarahan masif jarang ditemui dan bila terjadi selalu menyebabkan kematian.2L. Pemeriksaan Penunjang

1. Spesimen/Kultur

Spesimen terdiri dari darah yang diambil secara aseptik dalam tabung heparin, cairan serebrospinal, atau jaringan untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan segera pada awal gejala. Dianjurkan untuk melakukan kultur ganda dan mengambil spesimen pada fase leptospiremia serta belum diberi antibiotik. Kultur urin harus dikumpulkan setelah 2-4 minggu onset penyakit dengan sangat hati-hati untuk menghindari kontaminasi. Serum dikumpulkan untuk uji aglutinasi.1,112. Inokulasi Binatang

Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira terdiri dari inokulasi intraperitoneum hamster muda atau marmot dengan plasma segar atau urin. Dalam waktu beberapa hari, spiroketa menjadi terlihat dalam rongga peritoneum, pada binatang yang mati (8-14 hari), lesi hemoragik dengan spiroketa ditemukan pada banyak organ.11 3. Pemeriksaan Mikroskopik

Pemeriksaan lapangan gelap atau sediaan apus yang diwarnai dengan teknik Giemsa kadang-kadang menunjukkan leptospira pada darah segar dari infeksi dini. Pemeriksaan lapangan gelap pada urin yang disentrifugasi juga dapat memberikan hasil yang positif. Antibodi konjugasi-fluoresensi atau teknik imunohistokimia lainnya juga dapat digunakan.114. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah rutin bisa dijumpai lekositosis, normal, atau sedikit menurun disertai gambaran neutrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Pada urin dijumpai proteinuria, leukosituria, dan torak (cast). Bila organ hati terlibat, bilirubin direk meningkat tanpa peningkatan transaminase. BUN, ureum dan kreatinin juga bisa meninggi bila terjadi komplikasi pada ginjal. Trombositopenia terdapat pada 50% kasus.115. Serologi

Pemeriksaan untuk mendeteksi adanya leptospira dengan cepat adalah dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), silver strain atau fluroscent antibody strain, dan mikroskop lapangan gelap.1Tabel 1.2 Jenis Uji Serologi pada Leptospirosis

Microscopic Agglutination Test

(MAT)Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT)

Uji carik celup:

Lepto dipsttick

Leptotek lateral flow

Aglutinasi lateks kering (Leptotek dry dot)

Indirect flourescent antibody test (IFAT)

Indirect haemagglutination test (IHA)

Uji aglutinasi lateks

Complement fixation test (CFT)Enzym linked immunosorbant assay (ELISA)

Microcapsule agglutination test

Patoc-slide agglutination test (PSAT)

Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)

Counter immune electrophoresis (CIE)

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV

M. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa

Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mendeteksi dan mengatasi keadaan dehidrasi, hipotensi, dan gagal ginjal sangat penting pada leptospirosis. Gangguan fungsi ginjal pada umumnya dengan spontan akan membaik dengan membaiknya kondisi pasien. Namun pada beberapa pasien membutuhkan tindakan hemodialisis temporer.1Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari setelah onset cukup efektif. Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian penicillin G amoxicillin, ampisillin atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, streptomisin, klorafenikol, siprofloksasin, ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosporin.1Sampai saat ini penicillin masih merupakan antibiotik pilihan utama, namun perlu diingat bahwa antibiotik bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase leptospiremia). Pada pemberian penisillin G 1,5 juta unit setiap 6 jam selama 57 hari. Dalam 4-6 jam setelah pemberian intravena dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer yang menunjukkan adanya aktivitas antileptospira. Tindakan suportif ini diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan komplikasi yang timbul. Obat-obat ini efektif pada pemberian hari 1-3 namun kurang manfaat bila diberikan setelah fase imun da tidak efektif jika terdapat ikterus, gagal ginjal, daan meningitis. Keseimbangan cairan, elektrolit, dan asama basa diatur sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.1,2 Meskipun tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mengendalikan leptospirosis pada hewan liar, penyakit ini pada hewan peliharaan dapat dikendalikan melalui vaksinasi dengan sel bakteri yang utuh yang dilemahkan atau dengan sediaan membran luar. Bila vaksin tidak memiliki masa imunogenik yang memadai, respons imun yang timbul akan melindungi hospes terhadap penyakit klinis, tetapi tidak melindungi terhadap timbulnya pengerluaran bakteri melalui ginjal (renal shedder state).12Karena kemungkinan terdapatnya berbagai serotipe pada suatu wilayah gerografik tertentu, sedangkan perlindungan yang diberikan oleh vaksin bakteri yang dilemahkan bersifat spesifik untuk serotipe, maka dianjurkan untuk menggunakan vaksin polivalen. Vaksin untuk digunakan pada manusia belum tersedia di Amerika Serikat. Struktur selular pada leptospira menyebabkan bakteri ini mudah dimatikan oleh keadaan buruk, misalnya dehidrasi, pemaparan terhadap detergen, dan suhi di atas 50oC.12Pencegahan leptospirosis pada manusia sangat sulit karena tidak mungkin menghilangkan reservoir infeksi yang besar pada hewan. Vaksinasi hewan ternak dan hewan peliharaan dilakukans ecara luas di Amerika Serikat dan telah banyak mengurangi insidens infeksi pada beberapa spesies. Infeksi pada ginjal masih tetap dapat terjadi pada anjing yang divaksinasi, dan manusia dapat terinfeksi dengan anjing yang telah diimunisasi secara adekuat.12Tabel 1.1 Pengobatan & Kemoprofilaksis Leptospirosis

IndikasiRegimenDosis

Leptospirosis ringanDoksisiklin2 x 100 mg

Ampisilin4 x 500-750 mg

Amoksisilin 4 x 500 mg

Leptospirosis sedang/beratPenisillin G1,5 juta unit/6 jam (IV)

Ampisillin1 gram/6 jam (IV)

Amoksisilin1 gram/6 jam (IV)

KemoprofilaksisDoksisiklin200 mg/minggu

Sumber: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV

2. Non-Medikamentosa

Pencegahan leptospirosis khususnya di daerah tropis sangat sulit. Banyaknya hospes perantara dan jenis serotipe sulit untuk dihapuskan. Begi mereka yang mempunyai risiko tinggi untuk tertular leptospirosis harus diberikan perlindungan berupa pakaian khusus yang dapat melindungi dari kontak dengan bahan-bahan yang telah terkontaminasi dengan kemih binatang reservoar.1

Orang yang paling sering berkontak dengan air yang terkontaminasi dengan tikus (misalnya pekerja pertambangan, tukang jahit, petani, dan nelayan) mempunyai risiko terkena infeksi yang paling besar. Anak-anak lebih sering terkena infeksi dari anjing daripada orang dewasa. Tindakan pengendalian terdiri dari pencegahan terhadap pajanan air yang terkontaminasi dan mengurangi kontaminasi dengan pengendalian binatang pengerat. Pada daerah tertentu, pengendalian tikus, disinfeksi daerah kerja yang tercemar, dan larangan berenang pada perairan tercemar, telah mengurangi insidens penyakit secara efektif.11N. Prognosis

Tergantung keadaan umum pasien, umur, virulensi leptospira, dan ada tidaknya kekebalan yang didapat. Kematian juga biasanya terjadi akibat sekunder dari faktor pemberat seperti gagal ginjal, atau perdarahan dan terlambatnya pasien mendapat pengobatan. Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%.2O. Diagnosa Banding pada Kasus Leptospirosis1. Malaria

Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabakan oleh protozoa genus plasmodium detandai dengan demam, anemia, dan splenomegali.13 a. Manifestasi Klinis

Pada anamnesis ditanyakan gejala penyakit dan riwayat berpergian ke daerah endemik malaria. gejala dan tanda yang dapat ditemukan adalah:1) Demam

Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporulasi). Pada malaria tertian, pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan malaria kuartana pematangannya tiap 72 jam dan peridiositas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan ditandai dengan beberapa serangan demam periodik. Demam khas malarian terdiri atas 3 stadium, yaitu mengigil (15 menit-1 jam), puncak demam (2-6 jam), dan berkeringan (2-4 jam). Demam akan mereda secara bertahap karena tubuh dapat beradaptasi terhadap parasite dalam tubuh da nada respons imun.13 2) SplenomegaliSplenomegali merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam, dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat yang bertambah.13 3) AnemiaDerajat anemia tergantung pada spesies penyebab yang paling berat adalah anemia karena P. falciparum. Anemia disebabkan oleh pengancuran eritrosit yang berlebih, eritrosit normal tidak dapat hidup lama, gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang.13 4) IkterusIkterus disebakan karena hemolisis dan gangguan hepar.13 b. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah tepi, pembuatan preparat darah tebal dan tipis dilakukan untuk melihat keberadaan parasit dalam darah tepi, seperti tropozoit yang berbentuk cincin.13 2. Demam Tifoid

Demam tifoid dan paratifoid merupakan penyakit infeksi akut usus halus. Sinonim dari demam tifoid dan paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, tifus, dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid menunjukkan manifestasi yang sama dengan tifoid, namun biasanya lebih ringan.13 a. Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul bervariasi. Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis, pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan peningkatan suhu badan.13 Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah tifoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan kesadaran berupa somnolen sampai koma, sedangkan roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.13 3. Hepatitis Akut

Penyakit infeksi akut dengan gejala utama berhubungan erat dengan adanya nekrosis pada hati. Biasanya disebabkan oleh virus yaitu hepatitis A, virus hepatitis B, virus hepatitis C, dan virus lain.13

a. Manifestasi Klinis

1) Stadium praikterik

Berlangsung selama 4-7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, mual, muntah, demam, nyeri pada otot, dan nyeri di perut kanan atas. Urin menjadi lebih cokelat.13 2) Stadium Ikterik

Berlangsung selama 3-6 minggu. Ikterus mula-mula terlihat pada sclera, kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan-keluhan berkurang, tetapi pasien masih lemah, anoreksia, dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.13 3) Stadium Pascaikterik

Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi. Penyembuhan pada anak-anak lebih cepat dari orang dewasa, yaitu pada akhir bulan kedua, karena penyebab yang biasanya berbeda.13 P. Kesimpulan

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan leptospira. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan leptospira secara insidental. Gejala klinis yang timbul mulai dari ringan sampai berat bahkan kematian, bila terlambat mendapat pengobatan. Diagnosis dini yang tepat dan penatalaksanaan yang cepat akan mencegah perjalanan penyakit menjadi berat. Pencegahan dini terhadap mereka yang terekspos diharapkan dapat melindungi mereka dari serangan leptospirosis. Daftar Pustaka

1. Zein Umar. Leptospirosis. Dalam: Sudoyo AW dkk, penyunting. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi Ke-4. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2006. hal. 1845-1847.

2. Mansjoer, A dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke-3 Jilid 1. Jakarta: Media Aesculapius; 2005. hal. 425-427.

3. Zulkarnain I. Management of Leptospirosis, Recent Development. Dalam: Atmakusuma D dkk, penyunting. Prosiding Simposium Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2003. Jakarta; Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2003. hal. 76-81.

4. Spleeman P. Leptospirosis. In: Kasper DL et al, editors. Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th Edition. New York; Mc Graw Hill: 2005. p. 988-991.

5. Markum HMS. Renal Involvement in Leptospirosis at Dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan Hospitals. Indonesia J Intern Med 2004; 36(3): 148-152.

6. Kandel N, Thakur GD, Andjaparidze A. Leptospirosis in Nepal. J Nepal Med Assoc 2012; 52(187): 151-153.

7. Pohan HT. Kasus Leptospirosis di Jakarta. Dalam: Atmakusuma D dkk, penyunting. Prosiding Simposium Current Diagnosis and Treatment in Internal Medicine 2003. Jakarta; Pusat Penerbit Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2003. hal. 68-75.

8. Maroun E, Kushawosa A at al. Fulminant Leptospirosis (Weils diasease) Man Urban Setting as an Overload Cause of Multiorgan Failure Case Report. Jurnal of Medical Case Report. 2011. 7: 2-4.

9. Zavitsanou A, Babatsikou F. Leptospirosis, Epidemiology and Preventive Measure. Vol.2; 2008: 75-82.

10. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Lecture Notes Kedokteran Klinis Edisi Kedokteran. Rahmalia A, penerjemah. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama; 2007. hal. 380-382.

11. Brooks GF, Butel JS, Morse SAM. Mikrobiologi Kedokteran (Jawetz, Melnick, Adelbergs Medical Microbiology), Edisi 23. Hartanto H dkk, penerjemah. Jakarta: EGC; 2008. hal. 347-348.

12. Muliawan SY. Seri Mikrobiologi dalam Praktikum Klinik Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan Borrelia). Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama; 2008. hal. 68-72.

13. Mansjoer, A dkk. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke-3 Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius; 2005. hal. 76-83.

Fakultas Kedokteran Ukrida