Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

23
PATOFISIOLOGI SEPSIS DENGAN SITOKIN : APAKAH NILAINYA SEBAGAI PENUNJUK UNTUK TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT? Fernando A Bozza, Patrícia T Bozza*, Hugo C Castro Faria Neto Sepsis merupakan masalah yang besar dalam bidang kedokteran. Kondisi ini merupakan kondisi infeksius yang umum didapatkan dan seringkali berakibat fatal. Angka kejadian terus meningkat, dengan tingkat kematian yang sangat tinggi, meskipun telah dilakukan penggunaan antibiotik spesifik, intervensi operasi yang agresif, dukungan gizi, dan terapi anti- inflamasi. Biasanya, pasien yang mengalami sepsis akan menunjukkan heterogenitas yang tinggi karena banyaknya variabel seperti usia, berat badan, jenis kelamin, adanya penyakit sekunder, keadaan sistem kekebalan tubuh, dan tingkat keparahan infeksi. Kita sekarang sangat membutuhkan adanya biomarker dan pemeriksaan yang dapat diandalkan serta diterapkan untuk pengelompokkan risiko pada pasien sepsis yang akan dengan mudah mengidentifikasi pasien yang berada pada resiko tertinggi untuk terjadi outcome yang buruk. Penanda tersebut akan amat penting untuk membuat keputusan bagi terapi intervensi dini atau untuk desain uji klinis septik. Dalam karya ini, kami akan meninjau

description

Sepsis merupakan masalah yang besar dalam bidang kedokteran. Kondisi ini merupakan kondisi infeksius yang umum didapatkan dan seringkali berakibat fatal. Angka kejadian terus meningkat, dengan tingkat kematian yang sangat tinggi, meskipun telah dilakukan penggunaan antibiotik spesifik, intervensi operasi yang agresif, dukungan gizi, dan terapi anti-inflamasi. Biasanya, pasien yang mengalami sepsis akan menunjukkan heterogenitas yang tinggi karena banyaknya variabel seperti usia, berat badan, jenis kelamin, adanya penyakit sekunder, keadaan sistem kekebalan tubuh, dan tingkat keparahan infeksi. Kita sekarang sangat membutuhkan adanya biomarker dan pemeriksaan yang dapat diandalkan serta diterapkan untuk pengelompokkan risiko pada pasien sepsis yang akan dengan mudah mengidentifikasi pasien yang berada pada resiko tertinggi untuk terjadi outcome yang buruk. Penanda tersebut akan amat penting untuk membuat keputusan bagi terapi intervensi dini atau untuk desain uji klinis septik. Dalam karya ini, kami akan meninjau biomarker yang telah ada saat ini untuk mengetahui keparahan sepsis dan terutama penggunaan sitokin sebagai penanda biologis dengan peran patofisiologi yang penting.

Transcript of Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

Page 1: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

PATOFISIOLOGI SEPSIS DENGAN SITOKIN : APAKAH NILAINYA

SEBAGAI PENUNJUK UNTUK TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT?

Fernando A Bozza, Patrícia T Bozza*, Hugo C Castro Faria Neto

Sepsis merupakan masalah yang besar dalam bidang kedokteran. Kondisi

ini merupakan kondisi infeksius yang umum didapatkan dan seringkali berakibat

fatal. Angka kejadian terus meningkat, dengan tingkat kematian yang sangat

tinggi, meskipun telah dilakukan penggunaan antibiotik spesifik, intervensi

operasi yang agresif, dukungan gizi, dan terapi anti-inflamasi. Biasanya, pasien

yang mengalami sepsis akan menunjukkan heterogenitas yang tinggi karena

banyaknya variabel seperti usia, berat badan, jenis kelamin, adanya penyakit

sekunder, keadaan sistem kekebalan tubuh, dan tingkat keparahan infeksi. Kita

sekarang sangat membutuhkan adanya biomarker dan pemeriksaan yang dapat

diandalkan serta diterapkan untuk pengelompokkan risiko pada pasien sepsis yang

akan dengan mudah mengidentifikasi pasien yang berada pada resiko tertinggi

untuk terjadi outcome yang buruk. Penanda tersebut akan amat penting untuk

membuat keputusan bagi terapi intervensi dini atau untuk desain uji klinis septik.

Dalam karya ini, kami akan meninjau biomarker yang telah ada saat ini untuk

mengetahui keparahan sepsis dan terutama penggunaan sitokin sebagai penanda

biologis dengan peran patofisiologi yang penting.

Kata kunci: sepsis - biomarker - sitokin – stratifikasi

Sepsis merupakan salah satu penyebab kematian pasien paling sering di

ruang perawatan intensif di seluruh dunia. Di Amerika Serikat sendiri sekitar

700.000 orang yang terkena setiap tahunnya dan terjadi 210.000 kematian yang

tercatat disebabkan oleh sepsis (Angus & Wax 2001). Dengan demikian, pasien

sepsis umumnya dirawat di rumah sakit untuk waktu yang lebih lama

menghasilkan beban kesehatan yang cukup substansial karena biaya perawatan

pada pasien yang mengalami sepsis dapat menghabiskan biaya sebanyak U$

Page 2: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

50,000 perpasien (Chalfin et al. 1993). Meskipun terapi dukungan yang baru dan

dilakukan pemberian antibiotik yang lebih kuat namun sepsis masih seringkali

mematikan, menewaskan 30 sampai 70% dari pasien yang terkena sepsis parah

(Wheeler & Bernard 1999) dan secara signifikan mengurangi kualitas hidup dari

orang-orang yang berhasil bertahan hidup dari sepsis tersebut (Perl et al 1995,.

Heyland et al. 2000). Saat ini definisi sepsis menyatakan bahwa sepsis merupakan

konsekuensi dari kurangnya respon imun bawaan untuk melawan infeksi mikroba

(Glauser 2000). Patofisiologi sepsis sangat kompleks dan walaupun sebagian

besar pengetahuan menegnai sepsis telah terakumulasi selama dekade terakhir,

beberapa aspek penting tetap digunakan.

Aktivasi secara luas dari sel responsif terhadap patogen yang

menghasilkan peradangan sistemik yang tidak terkontrol. Pelepasan dari sejumlah

mediator inflamasi seperti sitokin (Misalnya TNF-α, IL-1, MIF, MCP-1, IL-6, IL-

10), Mediator lipid (Misalnya PAF, prostaglandin), dan spesies oksigen yang

reaktif akan, dalam kombinasi, menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan

peningkatan permeabilitas yang menghasilkan kebocoran komponen plasma, dan

ekstravasasi serta aktivasi dari leukosit kedalam jaringan dan organ. Selain itu,

mediator inflamasi dan komponen patogen juga akan mengaktifkan sistem

koagulasi yang menyebabkan disseminated intravascular coagulation. Secara

bersama-sama, efek-efek tersebut akan mengarah untuk terjadinya hipoperfusi dan

hipoksia jaringan yang ternyata adalah penyebab utama disfungsi organ, yang

merupakan tahap yang paling mematikan dari sepsis (Riedemann dkk. 2003, Van

Amersfoort dkk. 2003).

Mengendalikan atau menyeimbangkan respon inflamasi sistemik dianggap

tidak terlalu penting untuk emempengaruhi outcome dari sepsis. Namun demikian,

meskipun didukung data pra-klinis, sebagian besar uji klinis yang bertujuan untuk

menyeimbangkan mediator inflamasi yang spesifik menunjukkan hasil yang

mengecewakan (Polderman & Girbes 2004). Salah satu penjelasan yang mungkin

untuk kegagalan pada percobaan klinis untuk sepsis adalah bahwa definisi saat ini,

walaupun berlaku dan penting untuk tujuan klinis, masih terlalu luas dan tidak

memungkinkan untuk karakterisasi yang tepat dan melakukan pengelompokan

Page 3: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

pada pasien dengan kondisi ini. Sebuah pendekatan yang mungkin untuk masalah

ini adalah penciptaan sistem pengelompokkan yang akan memungkinkan

stratifikasi pasien dengan baik menggunakan resiko dasar mereka terhadap

outcome yang buruk dan potensi mereka untuk memberikan respon terhadap

terapi yang diberikan. Salah satu contoh terbaik dari sistem stratifikasi penyakit

telah berkembang pada bagian onkologi, yaitu sistem TNM, yang dikembangkan

oleh Pierre Denoix (PX 1946). Dengan cara ini, menggunakan sistem yang baru,

PIRO, sedang diusulkan yang dapat dengan lebih baik membedakan sepsis

berdasarkan pada faktor-faktor predisposisi dan kondisi premorbid, sifat dari

infeksi yang ada, karakteristik dari respon host, dan luasnya disfungsi organ yang

terjadi (Levy et al. 2003). Namun demikian, untuk suatu sistem staging tersebut

dapat bekerja dengan memadai, maka sangat penting untuk mengidentifikasi

profil respon untuk biomarker yang mampu mengidentifikasi pasien apakah yang

beresiko untuk terjadinya disfungsi organ, dan intervensi apakah yang dapat

mengurangi tingkat disfungsi organ. Yang penting, pemeriksaan bagi biomarker

tersebut harus hemat waktu dan efektif dalam biaya untuk dapat berguna dalam

pemeriksaan pasien yang mengalami sepsis. Dalam tinjauan ini, kita akan fokus

pada biomarker yang ada saat ini untuk mengetahui tingkat keparahan sepsis dan

terutama pada penggunaan sitokin sebagai penanda biologis dengan peran

patofisiologis yang penting.

Biomarker sangat penting untuk stratifikasi pasien yang mengalami sepsis

Identifikasi pasien berisiko tinggi, berbagi sumber daya yang tepat, dan

intervensi dini adalah beberapa tantangan besar dalam perawatan pasien dengan

sakit yang kritis dalam beebrapa tahun terakhir (Dellinger et al 2004.). Banyak

keputusan yang dibuat mengenai pasien sepsis sering berdasarkan pada

pemeriksaan klinis dan laboratorium dengan sensibilitas atau spesifisitas yang

rendah. Ketersediaan terapi yang lebih spesifik dapat memodifikasi proses

patofisiologi yang terlibat dalam perkembangan sepsis dan meminimalkan

konsekuensi dari sepsis tersebut. Biomarker yang memadai dapat berguna untuk

Page 4: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

memeriksa pasien yang mengalami sepsis sehingga dapat mengidentifikasi

mereka yang memenuhi syarat untuk menjalani terapi tertentu. Oleh karena itu

sangat penting untuk mengidentifikasi biomarker yang mampu membedakan

pasien secara lebih homogen kedalam sub-kelompok dengan abnormalitas biologi

tertentu untuk dapat menerima terapi tertentu (Marshall et al. 2003).

Beberapa molekul bioaktif yang berbeda telah diusulkan sebagai

biomarker tingkat keparahan atau outcome bagi pasien yang mengalami sepsis. Di

antara hal tersebut, produk bakteri seperti endotoksin dan DNA bakteri, protein

fase akut (Protein C, procalcitonin, LBP - LPS-binding protein), faktor koagulasi

(fibrin degrading products, antitrombin III, D dimer), penanda sel membran

(HLA-DR, CD-64, Eselectin), proses seluler (apoptose), hormon (Kortisol,

ACTH), reseptor larut (SCD-14, sTNFRI, sTNF-RII) dan sitokin (TNF, IL-6, IL

8, IL-10) adalah yang paling terkenal. Masing-masing biomarker

diharapkan untuk memenuhi setidaknya tiga fungsi utama dalam manajemen

klinis pasien yang mengalami sepsis (Marshall et al. 2003): (i) menetapkan atau

mengkonfirmasi diagnosis sepsis pada pasien dengan sindrom perancu seperti

systemic inflammatory response syndrome (SIRS), (ii) mengukur tingkat

keparahan penyakit dan mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi dari hasil

yang tidak menguntungkan; (iii) berfungsi sebagai cara yang mudah dan dapat

diandalkan untuk mengetahui respon dari pasien untuk terapi tertentu, dan

berfungsi sebagai cara untuk mengukur efek dari terapi tertentu pada respon

pejamu.

Namun demikian, hanya sedikit biomarker yang pada akhirnya dapat

dimasukkan ke dalam praktek klinis, dan di antara mereka yang telah disebutkan

di atas protein C-reaktif (CRP) dan procalcitonin (PCT) adalah biomarker yang

patut dipertimbangkan.

CRP disebutkan pada tahun 1930 oleh Tillet dan Francis, sebagai faktor

yang terdapat dalam serum pasien yang menderita pneumonia yang mampu

menghasilkan fraksi polisakarida (fraksi C) dari S. pneumoniae. CRP adalah

pentamer siklik yang lima subunitnya terikat secara non-kovalen membentuk

struktur yang stabil dan tahan terhadap proteolisis. Pada ikatan terhadap

Page 5: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

polisakarida yang terdapat dalam bakteri, jamur atau parasit, CRP dapat

mengaktifkan jalur komplemen klasik dan menyebabkan fagositosis. Sebagai

reaktan fase akut, CRP diproduksi oleh hepatosit dan transkripsinya diinduksi

oleh sitokin termasuk IL-6, IL-1 dan TGF-². Kadar plasma CRP dibawah 10 mg / l

pada 99% orang normal dan biasanya meningkat dalam 4 sampai 6 jam setelah

stimulus infeksius dan pada akhirnya mencapai puncaknya setelah 36-50 jam,

yang bisa setinggi 500 mg / l setelah terjadi stimulus infeksi akut yang intens.

Namun, penyakit inflamasi lainnya dengan latar belakang noninfeksius seperti

penyakit auto-imun, trauma, operasi besar, luka bakar dan penyakit keganasan,

adalah penyebab penting dari tingginya kadar CRP dalam plasma. Yang menarik

adalah, infeksi virus biasanya tidak meningkatkan kadar CRP dalam plasma

secara signifikan (Abbate et al 2003,. Hengst 2003, Willerson & Ridker 2004).

PCT awalnya disebutkan pada tahun 1984 sebagai protein asam amino 116

dengan berat molekul 14,5 kDa. Gen PCT, Calc-1, diterjemahkan ke kromosom

11p15.4, dan promotornya memberikan situs ikatan untuk faktor transkripsi

seperti NF dan AP-1. PCT diekspresikan dalam berbagai sel dan jaringan seperti

neuron, leukosit darah, hati dan otak setelah stimulasi oleh sitokin (TNF e IL-6)

atau LPS. PCT secara cepat dikeluarkan dan dapat diukur dalam kadarnya dalam

plasma paling cepat 2 jam setelah awal infeksi, memuncak dalam 12-24 jam Nilai

normal biasanya dibawah 0,5 ng / ml dan bisa meningkat hingga 2000 kali lipat

selama terjadinya infeksi yang berat. Namun, seperti dilaporkan terhadap CRP,

PCT biasanya tidak meningkat selama terjadinya infeksi virus (Gattas & Cook

2003, Rau et al. 2004).

Beberapa studi klinis bertujuan untuk menetapkan kegunaan

CRP dan PCT dalam mengkonfirmasikan diagnosis dan dalam memprediksi

outcome pasien yang mengalami sepsis. Sebuah metaanalisis terbaru (Simon et al

2004.) Mengevaluasi 12 studi yang secara simultan membandingkan tingkat CRP

dan PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada pasien rawat inap,

menunjukkan bahwa kadar PCT lebih sensitif (88 vs 75%) dan juga lebih spesifik

(81 vs 67%) daripada kadar CRP untuk membedakan peradangan bakteri dan non-

bakteri. Namun, beberapa studi mengevaluasi akurasi prognostik penanda

Page 6: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

tersebut, dan ketika hal ini dilakukan, kemampuan diskriminatif untuk prognosis

dari PCT dan PCR sangat rendah (Clec'h dkk. 2004). Sebagai kesimpulan umum,

studi-studi menunjukkan bahwa CRP dan PCT adalah biomarker yang berguna

untuk diagnosis pada pasien sepsis tetapi, meskipun mereka dianggap sebagai

tanda peradangan sistemik, tingkat yang lebih tinggi biasanya terlihat pada pasien

dengan infeksi bakteri daripada pasien rawat inap yang mengalami SIRS atau

infeksi virus. Antara CRP dan PCT, PCT menunjukkan sensibilitas dan

spesifisitas yang lebih baik dalam membedakan pasien septik dan non-septik.

Selain itu, PCT tampaknya juga menjadi penanda tingkat keparahan yang baik

pada sepsis dan mungkin dapat berguna dalam memeriksa efektivitas terapi pada

pasien sepsis. klinis.

Mengidentifikasi biomarker dengan peran patofisiologi yang penting

Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada ketertarikan yang berkembang

untuk mengidentifikasi biomarker dengan peran patofisiologis dalam terjadinya

sespsis. Meskipun CRP dan PCT dianggap sebagai biomarker yang berguna pada

sepsis (lihat di atas), peran pasti mereka dalam patofisiologi sepsis dan disfungsi

organ, jika memang ada, maka masih belum jelas. Sitokin merupakan mediator

kunci dalam respon pejamu terhadap infeksi dan peningkatan dalam plasma serta

jaringan dari mediator tersebut terkait dengan intensitas dari respon inflamasi

tersebut. Namun demikian, kegunaan sitokin secara individu sebagai biomarker

prognostik pada akhirnya hingga saat in masih kontroversial.

.Kelompok kami telah bekerja dalam mengidentifikasi biomarker baru

untuk mengetahui tingkat keparahan dan outcome dari pasien yang menderita

sakit kritis. Sebagai strategi utama kami, kami mencari biomarker dengan peran

yang potensial dalam patofisiologi peradangan yang terjadi secara umum dan

tidak seimbang, dan hal tersebut bisa menjadi sasaran untuk intervensi terapeutik

yang baru. Menggunakan teknologi baru untuk kuantifikasi sitokin berbasis

pada fluorescently dyed microspheres yang dihubungkan dengan twolaser flow

cytometry system (Luminex), yang memungkinkan adanya beberapa analisis

Page 7: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

berjalan secara bersamaan dalam sampel tunggal, kami telah mampu secara

bersamaan mengukur kadar dari 17 sitokin yang berbeda dalam plasma pasien

yang mngalami sepsis (Bozza et al. unpublished data). Data kami menunjukkan

bahwa di antara 17 sitokin, 9 diantaranya (IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10,

IFNγ, GCSF, dan MCP-1) mampu membedakan antara kelompok yang dapat

bertahan hidup dengan kelompok yang tidak dapat bertahan hidup. Sebaliknya

kadar TNF, IL-5, IL-7, IL-12, IL-13, IL-17, MIP-1, dan GM-CSF tidak berbeda

dalam kedua kelompok tersebut. IL-8 dan IL-1 merupakan sitokin yang

mempunyai kinerja terbaik dalam memprediksi outcome yang akan terjadi. Dalam

hal ini, Perlu disebutkan bahwa nilai prediktif dari sitokin tersebut bahkan lebih

baik daripada prototipe skor klinis prognostik yang digunakan pada unit

perawatan intensif, Acute Physiology and Chronic Health Evaluation Score

(APACHE II). Yang Menarik adalah, pendekatan yang sama digunakan untuk

mempelajari pasien dengan infeksi virus dengue yang berat. Dalam kasus ini,

sitokin seperti IL-1β, IL-2, IL-4, IL-10, IL-13 dan GM-CSF meningkat secara

signifikan jika dibandingkan dengan pasien yang mngalami sepsis atau kelompok

kontrol yang sehat (Bozza dkk. Data tidak dipublikasikan).

Secara klasik, IL-6 merupakan sitokin dengan nilai prognostik yang

penting dalam menilai sepsis. Walaupun peran patofisiologis dari IL-6 dalam

sindrom ini masih kontroversial, IL-6 telah diusulkan sebagai biomarker sitokin

yang penting pada sepsis karena kinetikanya yang lambat dan stabil dalam

plasma, yang memungkinkan deteksinya yang mudah dalam sampel darah pasien,

dan korelasinya yang baik dengan intensitas respon inflamasi. Beberapa penelitian

yang berbeda telah menegaskan bahwa mayoritas (64-100%) dari pasien yang

mengalami sepsis mengalami peningkatan kadar IL-6 dalam sirkulasi darahnya,

dan kadar tersebut berkorelasi dengan tingkat keparahan dan outcome yang terjadi

(Gogos et al, 2000, Kox dkk.. 2000). Peningkatan yang menetap dari kadar IL-6

berhubungan dengan kegagalan organ multiple (Pinsky et al 1993.) dan kematian

yang terjadi (Tanaka et al. 1996). Dengan demikian, dalam populasi kami, IL-6

adalah prediktor outcome yang berharga pada pasien yang mengalami sepsis dan

syok septik. Semua pasien memiliki kadar yang dapat terdeteksi dan kadar yang

Page 8: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

tinggi ditemukan pada sebagian besar pasien tersebut, namun seperti yang

disebutkan di atas, IL-8 dan IL-1 bahkan bekerja lebih baik sebagai prediktor

outcome yang akan terjadi dalam penelitian kami.

Baru-baru ini, peran penting bagi sitokin lain, macrophage migration

inhibitory factor (MIF), juga telah ditemukan pada terjadinya sepsis. MIF adalah

cikal-bakal protein yang terdapat dalam kelenjar hipofisis, dalam sel - T dan

dalam makrofag dan dilepaskan sebagai respon dalam menanggapi rangsangan

yang berbeda-beda, termasuk infeksi dan stres (Bernhagen et al. 1993, Calandra

dkk. 1994, Bacher dkk. 1996). LPS menginduksi ekspresi MIF pada beberapa

jaringan dan juga pelepasan dalam jumlah yang signifikan kedalam sirkulasi

(Bernhagen dkk. 1993, Bacher dkk. 1997), dan co-injeksi dari MIF dengan LPS

akan memperburuk lethalitas pada tikus (Bacher et al. 1997). Sebuah properti unik

dari MIF adalah sekresinya dari sel imun sebagai respon terhadap kenaikan

fisiologis dari kadar glukokortikoid, dan sekali dilepaskan, MIF dapat menjadi

mekanisme umpan balik efek anti-inflamasi steroid pada produksi sitokin

(Calandra & Bucala 1995). Peran penting yang dimainkan oleh MIF endogen

dalam respon pejamu terhadap toksin gram-negative dan gram-positif itu

ditegaskan oleh pengamatan bahwa pengobatan dengan menetralisir antibodi anti

MIF atau menargetkan gangguan pada gen MIF akan melindungi tikus dari LPS

dan superantigen yang akan mengakibatkan kematian (Calandra et al, 1998, Bozza

et al.. 1999). Peningkatan konsentrasi dari MIF telah terdeteksi dalam rongga

udara alveolar pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)

(Donnelly et al, 1997,. Lai et al. 2003) dan kami telah menunjukkan bahwa

semakin tinggi tingkat kadar MIF yang beredar dalam sirkulasi 6 jam pasca

operasi bypass cardiopulmonary dikaitkan dengan outcome buruk pasca operasi

paru (Mendonça Filho et al. 2004). Baru-baru ini, kami juga menunjukkan bahwa

kadar MIF dalam sirkulasi dapat secara dini mendeteksi sepsis dengan kultur yang

positif pada pasien yang akan menjalani operasi jantung (Mendonça Filho et al.

2004).

Selain peran yang penting sebagai sitokin pro-inflamasi, defisiensi gen

MIF akan meningkatkan kemampuan tikus untuk menyingkirkan Pseudomonas

Page 9: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

aeruginosa yang berdiam dalam paru-paru (Bozza et al. 1999). Hasil ini telah

dikonfirmasi dan dikembangkan dengan temuan bahwa netralisasi MIF dengan

antibodi akan menyebabkan kelangsungan hidup lebih baik dalam model

percobaan tikus yang mengalami syok septik yang mematikan yang disebabkan

oleh ligasi cecal dan pungsi (CLP) dan infeksi peritoneum dengan menggunakan

E. coli (Calandra et al. 2000). Baru-baru ini, telah ditunjukkan bahwa MIF

mengatur ekspresi Toll-like receptor 4 (TLR4), molekul penghasil sinyal

kompleks molekul reseptor LPS (Roger et al. 2001). Pengurangan ekspresi TLR-4

akibat makrofag yang mengalami defisiensi MIF terkait dengan kurangnya

produksi TNF oleh sel-sel ini jika dirangsang oleh LPS.

Studi klinis sebelumnya telah menunjukkan peningkatan pada kadar MIF

dalam serum pasien yang mengalami SIRS, sepsis dan syok septik (Calandra et al

2000,. Gando et al. 2001). Kadar MIF tidak menunjukkan tingkat keparahan dari

penyakit akut yang kritis pada penelitian yang dilakukan oleh Lehman dkk.

(2001), tapi dua studi yang berbeda menghubungkan kadar yang tinggi dari MIF

dengan outcome yang buruk pada pasien yang mengalami SIRS (Gando et al.

2001) dan pada pasien yang mengalami syok septik (Beishuizen et al. 2001).

Selain itu, kami baru-baru ini menunjukkan bahwa, pada pasien yang mengalami

sepsis, kadar MIF dan IL-6 berbeda secara signifikan antara kelompok yang dapat

bertahan hidup dan kelompok yang tidak dapat bertahan hidup, dan bahwa kadar

MIF menunjukkan kekuatan untuk lebih diskriminatif dalam memprediksi sepsis

yang terkait dengan kematian dibanidngkan IL-6, sebagaimana dinilai receiver

operating characteristic curves analysis. Oleh karena itu, peningkatan konsentrasi

MIF tampaknya menjadi indikator awal dari terjadinya outcome yang buruk dari

pasien yang mengalami sepsis pada ruang perawatan intensif (Bozza dkk. 2004).

Peran yang merugikan dari MIF endogen dalam infeksi bakteri sistemik

menunjukkan bahwa pengobatan anti-MIF mungkin merupakan strategi terapi

yang penting untuk pasien yang mengalami sepsis dan syok septik (Riedemann &

Ward 2003). Jadi dokumentasi dari pengamatan pasien langsung mengenai

peningkatan MIF mungkin dapat menjadi kriteria untuk studi di masa depan

mengenai intervensi terapi yang bertujuan untuk menetralisasi MIF.

Page 10: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

Kesimpulan

Saat ini patofisiologi dasar dari sepsis telah dapat dipahami. Namun

demikian, penelitian mengenai sepsis telah mencapai titik yang kritis. Untuk

mengintegrasikan pengetahuan kita menuju teori yangkonsisten dari penyakit

tersebut yang akan memberikan prognosis yang adekuat dan terapi yang efektif

merupakan tugas yang harus diupayakan. Upaya untuk mendapatkan aplikasi

klinis dari hasil penelitian dalam mekanisme dasar penyakit tersebut telah gagal

secara dramatis. Setelah banyak percobaan anti-mediator dengan agen tunggal

gagal, hal itu telah menjadi diterima secara luas bahwa sepsis merupakan proses

yang kompleks dan non-linear. Definisi sepsis yang ada saat ini

mempertimbangkan sifat heterogen dari populasi pasien dalam studi klinis yang

tidak menirukan oleh model eksperimental. Pengembangan alat diagnostik yang

baru dan model klinis yang lebih relevan akan memungkinkan penentuan yang

lebih tepat dari keadaan imun/inflamasi pasien yang mengalami septis, dan dapat

berkontribusi secara signifikan terhadap stratifikasi pasien yang mungkin

mendapat manfaat dari strategi terapeutik tertentu. Menggunakan teknologi baru

seperti Luminex dapat memungkinkan deteksi secara simultan beberapa

biomarker, seperti sitokin, menyediakan "profil biomarker" untuk setiap pasien.

Profil tersebut dapat berguna untuk memprediksi prognosis dan untuk stratifikasi

yang bertujuan untuk melakukan uji klinis atau terapi spesifik. Secara signifikan,

pencarian biomarker dengan peran patofisiologi yang penting dalam sepsis

mungkin mempunyai implikasi penting dalam perawatan pasien dan dalam uji

coba senyawa baru dalam pengembangan klinis.

Page 11: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

DAFTAR PUSTAKA

Abbate A, Biondi-Zoccai GG, Brugaletta S, Liuzzo G, Biasucci LM 2003. C-reactive protein and other inflammatory biomarkers as predictors of outcome following acute coronary syndromes. Semin Vasc Med 3: 375-384.

Angus DC, Wax RS 2001. Epidemiology of sepsis: an update. Crit Care Med 29: S109-116.

Bacher M, Meinhardt A, Lan HY, Mu W, Metz CN, Chesney JA et al. 1997. Migration inhibitory factor expression in experimentally induced endotoxemia. Am J Pathol 150: 235-246.

Bacher M, Metz CN, Calandra T, Mayer K, Chesney J, Lohoff M et al. 1996. An essential regulatory role for macrophage migration inhibitory factor in T-cell activation. Proc Natl Acad Sci USA 93: 7849-7854.

Beishuizen A, Thijs LG, Haanen C, Vermes I 2001. Macrophage migration inhibitory factor and hypothalamo-pituitaryadrenal function during critical illness. J Clin Endocrinol Metab 86: 2811-2816.

Bernhagen J, Calandra T, Mitchell RA, Martin SB, Tracey KJ, Voelter W et al. 1993. MIF is a pituitary-derived cytokine that potentiates lethal endotoxaemia. Nature 365: 756-759.

Bozza FA, Gomes RN, Japiassu AM, Soares M, Castro-Faria- Neto HC, Bozza PT et al. 2004. Macrophage migration inhibitory factor levels correlate with fatal outcome in sepsis. Shock 22: 309-313.

Bozza M, Satoskar AR, Lin G, Lu B, Humbles AA, Gerard C et al. 1999. Targeted disruption of migration inhibitory factor gene reveals its critical role in sepsis. J Exp Med 189: 341- 346.

Calandra T, Bucala R 1995. Macrophage migration inhibitory factor: a counter-regulator of glucocorticoid action and critical mediator of septic shock. J Inflamm 47: 39-51.

Calandra T, Bernhagen J, Mitchell RA, Bucala R 1994. The macrophage is an important and previously unrecognized source of macrophage migration inhibitory factor. J Exp Med 179: 1895-1902.

Calandra T, Echtenacher B, Roy DL, Pugin J, Metz CN, Hultner L et al. 2000. Protection from septic shock by neutralization of macrophage migration inhibitory factor. Nat Med 6: 164-170.

Page 12: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

Calandra T, Spiegel LA, Metz CN, Bucala R 1998. Macrophage migration inhibitory factor is a critical mediator of the activation of immune cells by exotoxins of gram-positive bacteria. Proc Natl Acad Sci USA 95: 11383-11388.

Chalfin DB, Holbein ME, Fein AM, Carlon GC 1993. Costeffectiveness of monoclonal antibodies to gram-negative endotoxin in the treatment of gram-negative sepsis in ICU patients. Jama 269: 249-254.

Clec’h C, Ferriere F, Karoubi P, Fosse JP, Cupa M, Hoang P et al. 2004. Diagnostic and prognostic value of procalcitonin in patients with septic shock. Crit Care Med 32: 1166- 1169.

Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J et al. 2004. Surviving sepsis campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med 32: 858-873.

Donnelly SC, Haslett C, Reid PT, Grant IS, Wallace WA, Metz CN et al. 1997. Regulatory role for macrophage migration inhibitory factor in acute respiratory distress syndrome. Nat Med 3: 320-323.

Gando S, Nishihira J, Kobayashi S, Morimoto Y, Nanzaki S, Kemmotsu O 2001. Macrophage migration inhibitory factor is a critical mediator of systemic inflammatory response syndrome. Intensive Care Med 27: 1187-1193.\

Gattas DJ, Cook DJ 2003. Procalcitonin as a diagnostic test for sepsis: health technology assessment in the ICU. J Crit Care 18: 52-58.

Glauser MP 2000. Pathophysiologic basis of sepsis: considerations for future strategies of intervention. Crit Care Med 28: S4-8.

Gogos CA, Drosou E, Bassaris HP, Skoutelis A 2000. Proversus anti-inflammatory cytokine profile in patients with severe sepsis: a marker for prognosis and future therapeutic options. J Infect Dis 181: 176-180.

Hengst JM 2003. The role of C-reactive protein in the evaluation and management of infants with suspected sepsis. Adv Neonatal Care 3: 3-13.

Heyland DK, Hopman W, Coo H, Tranmer J, McColl MA 2000. Long-term health-related quality of life in survivors of sepsis. Short Form 36: a valid and reliable measure of health-related quality of life. Crit Care Med 28: 3599-3605.

Kox WJ, Volk T, Kox SN, Volk HD 2000. Immunomodulatory therapies in sepsis. Intensive Care Med 26 (Suppl 1): S124- 128.

Page 13: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

Lai KN, Leung JC, Metz CN, Lai FM, Bucala R, Lan HY 2003. Role for macrophage migration inhibitory factor in acute respiratory distress syndrome. J Pathol 199: 496-508.

Lehmann LE, Novender U, Schroeder S, Pietsch T, von Spiegel T, Putensen C et al. 2001. Plasma levels of macrophage migration inhibitory factor are elevated in patients with severe sepsis. Intensive Care Med 27: 1412-1415.

Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D et al. 2003. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Intensive Care Med 29: 530-538.

Marshall JC, Vincent JL, Fink MP, Cook DJ, Rubenfeld G, Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, Vol. 100(Suppl. I), 2005 221 Foster D et al. 2003. Measures, markers, and mediators: toward a staging system for clinical sepsis. A report of the Fifth Toronto Sepsis Roundtable, Toronto, Ontario, Canada, October 25-26, 2000. Crit Care Med 31: 1560-1567.

Mendonça-Filho HTF, Gomes RV, Campos LAA, Tura B, Nunes EM, Gomes RN, Bozza F, Bozza PT, Castro Faria Neto HC 2004. Circulating levels of macrophage migration inhibitory factor are associated with mild pulmonary dysfunction after cardio pulmonary bypass. Shock 22: 533-537.

Perl TM, Dvorak L, Hwang T, Wenzel RP 1995. Long-term survival and function after suspected gram-negative sepsis. Jama 274: 338-345.

Pinsky MR, Vincent JL, Deviere J, Alegre M, Kahn RJ, Dupont E 1993. Serum cytokine levels in human septic shock. Relation to multiple-system organ failure and mortality. Chest 103: 565-575.

Polderman KH, Girbes AR 2004. Drug intervention trials in sepsis: divergent results. Lancet 363: 1721-1723. PX D 1946. Enquete permanent dans les centres anticancereaux Bull Inst Natl Hyg 1: 70-75.

Rau B, Kruger CM, Schilling MK 2004. Procalcitonin: improved biochemical severity stratification and postoperative monitoring in severe abdominal inflammation and sepsis. Langenbecks Arch Surg 389: 134-144.

Riedemann NC, Ward PA 2003. Anti-inflammatory strategies for the treatment of sepsis. Expert Opin Biol Ther 3: 339-350.

Riedemann NC, Guo RF, Ward PA 2003. The enigma of sepsis. J Clin Invest 112: 460-467.

Page 14: Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin

Roger T, David J, Glauser MP, Calandra T 2001. MIF regulates innate immune responses through modulation of Toll-like receptor 4. Nature 414: 920-924.

Simon L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J 2004. Serum procalcitonin and C-reactive protein levels as markers of bacterial infection: a systematic review and metaanalysis. Clin Infect Dis 39: 206-217.

Tanaka H, Ishikawa K, Nishino M, Shimazu T, Yoshioka T 1996. Changes in granulocyte colony-stimulating factor concentration in patients with trauma and sepsis. J Trauma 40: 718-725.

Van Amersfoort ES, Van Berkel TJ, Kuiper J 2003. Receptors, mediators, and mechanisms involved in bacterial sepsis and septic shock. Clin Microbiol Rev 16: 379-414.

Wheeler AP, Bernard GR 1999. Treating patients with severe sepsis. N Engl J Med 340: 207-214.

Willerson JT, Ridker PM 2004. Inflammation as a cardiovascular risk factor. Circulation 109: II2-10.