Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin
-
Upload
medhagitta -
Category
Documents
-
view
38 -
download
14
description
Transcript of Patofisiologi Sepsis Dengan Sitokin
PATOFISIOLOGI SEPSIS DENGAN SITOKIN : APAKAH NILAINYA
SEBAGAI PENUNJUK UNTUK TINGKAT KEPARAHAN PENYAKIT?
Fernando A Bozza, Patrícia T Bozza*, Hugo C Castro Faria Neto
Sepsis merupakan masalah yang besar dalam bidang kedokteran. Kondisi
ini merupakan kondisi infeksius yang umum didapatkan dan seringkali berakibat
fatal. Angka kejadian terus meningkat, dengan tingkat kematian yang sangat
tinggi, meskipun telah dilakukan penggunaan antibiotik spesifik, intervensi
operasi yang agresif, dukungan gizi, dan terapi anti-inflamasi. Biasanya, pasien
yang mengalami sepsis akan menunjukkan heterogenitas yang tinggi karena
banyaknya variabel seperti usia, berat badan, jenis kelamin, adanya penyakit
sekunder, keadaan sistem kekebalan tubuh, dan tingkat keparahan infeksi. Kita
sekarang sangat membutuhkan adanya biomarker dan pemeriksaan yang dapat
diandalkan serta diterapkan untuk pengelompokkan risiko pada pasien sepsis yang
akan dengan mudah mengidentifikasi pasien yang berada pada resiko tertinggi
untuk terjadi outcome yang buruk. Penanda tersebut akan amat penting untuk
membuat keputusan bagi terapi intervensi dini atau untuk desain uji klinis septik.
Dalam karya ini, kami akan meninjau biomarker yang telah ada saat ini untuk
mengetahui keparahan sepsis dan terutama penggunaan sitokin sebagai penanda
biologis dengan peran patofisiologi yang penting.
Kata kunci: sepsis - biomarker - sitokin – stratifikasi
Sepsis merupakan salah satu penyebab kematian pasien paling sering di
ruang perawatan intensif di seluruh dunia. Di Amerika Serikat sendiri sekitar
700.000 orang yang terkena setiap tahunnya dan terjadi 210.000 kematian yang
tercatat disebabkan oleh sepsis (Angus & Wax 2001). Dengan demikian, pasien
sepsis umumnya dirawat di rumah sakit untuk waktu yang lebih lama
menghasilkan beban kesehatan yang cukup substansial karena biaya perawatan
pada pasien yang mengalami sepsis dapat menghabiskan biaya sebanyak U$
50,000 perpasien (Chalfin et al. 1993). Meskipun terapi dukungan yang baru dan
dilakukan pemberian antibiotik yang lebih kuat namun sepsis masih seringkali
mematikan, menewaskan 30 sampai 70% dari pasien yang terkena sepsis parah
(Wheeler & Bernard 1999) dan secara signifikan mengurangi kualitas hidup dari
orang-orang yang berhasil bertahan hidup dari sepsis tersebut (Perl et al 1995,.
Heyland et al. 2000). Saat ini definisi sepsis menyatakan bahwa sepsis merupakan
konsekuensi dari kurangnya respon imun bawaan untuk melawan infeksi mikroba
(Glauser 2000). Patofisiologi sepsis sangat kompleks dan walaupun sebagian
besar pengetahuan menegnai sepsis telah terakumulasi selama dekade terakhir,
beberapa aspek penting tetap digunakan.
Aktivasi secara luas dari sel responsif terhadap patogen yang
menghasilkan peradangan sistemik yang tidak terkontrol. Pelepasan dari sejumlah
mediator inflamasi seperti sitokin (Misalnya TNF-α, IL-1, MIF, MCP-1, IL-6, IL-
10), Mediator lipid (Misalnya PAF, prostaglandin), dan spesies oksigen yang
reaktif akan, dalam kombinasi, menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan
peningkatan permeabilitas yang menghasilkan kebocoran komponen plasma, dan
ekstravasasi serta aktivasi dari leukosit kedalam jaringan dan organ. Selain itu,
mediator inflamasi dan komponen patogen juga akan mengaktifkan sistem
koagulasi yang menyebabkan disseminated intravascular coagulation. Secara
bersama-sama, efek-efek tersebut akan mengarah untuk terjadinya hipoperfusi dan
hipoksia jaringan yang ternyata adalah penyebab utama disfungsi organ, yang
merupakan tahap yang paling mematikan dari sepsis (Riedemann dkk. 2003, Van
Amersfoort dkk. 2003).
Mengendalikan atau menyeimbangkan respon inflamasi sistemik dianggap
tidak terlalu penting untuk emempengaruhi outcome dari sepsis. Namun demikian,
meskipun didukung data pra-klinis, sebagian besar uji klinis yang bertujuan untuk
menyeimbangkan mediator inflamasi yang spesifik menunjukkan hasil yang
mengecewakan (Polderman & Girbes 2004). Salah satu penjelasan yang mungkin
untuk kegagalan pada percobaan klinis untuk sepsis adalah bahwa definisi saat ini,
walaupun berlaku dan penting untuk tujuan klinis, masih terlalu luas dan tidak
memungkinkan untuk karakterisasi yang tepat dan melakukan pengelompokan
pada pasien dengan kondisi ini. Sebuah pendekatan yang mungkin untuk masalah
ini adalah penciptaan sistem pengelompokkan yang akan memungkinkan
stratifikasi pasien dengan baik menggunakan resiko dasar mereka terhadap
outcome yang buruk dan potensi mereka untuk memberikan respon terhadap
terapi yang diberikan. Salah satu contoh terbaik dari sistem stratifikasi penyakit
telah berkembang pada bagian onkologi, yaitu sistem TNM, yang dikembangkan
oleh Pierre Denoix (PX 1946). Dengan cara ini, menggunakan sistem yang baru,
PIRO, sedang diusulkan yang dapat dengan lebih baik membedakan sepsis
berdasarkan pada faktor-faktor predisposisi dan kondisi premorbid, sifat dari
infeksi yang ada, karakteristik dari respon host, dan luasnya disfungsi organ yang
terjadi (Levy et al. 2003). Namun demikian, untuk suatu sistem staging tersebut
dapat bekerja dengan memadai, maka sangat penting untuk mengidentifikasi
profil respon untuk biomarker yang mampu mengidentifikasi pasien apakah yang
beresiko untuk terjadinya disfungsi organ, dan intervensi apakah yang dapat
mengurangi tingkat disfungsi organ. Yang penting, pemeriksaan bagi biomarker
tersebut harus hemat waktu dan efektif dalam biaya untuk dapat berguna dalam
pemeriksaan pasien yang mengalami sepsis. Dalam tinjauan ini, kita akan fokus
pada biomarker yang ada saat ini untuk mengetahui tingkat keparahan sepsis dan
terutama pada penggunaan sitokin sebagai penanda biologis dengan peran
patofisiologis yang penting.
Biomarker sangat penting untuk stratifikasi pasien yang mengalami sepsis
Identifikasi pasien berisiko tinggi, berbagi sumber daya yang tepat, dan
intervensi dini adalah beberapa tantangan besar dalam perawatan pasien dengan
sakit yang kritis dalam beebrapa tahun terakhir (Dellinger et al 2004.). Banyak
keputusan yang dibuat mengenai pasien sepsis sering berdasarkan pada
pemeriksaan klinis dan laboratorium dengan sensibilitas atau spesifisitas yang
rendah. Ketersediaan terapi yang lebih spesifik dapat memodifikasi proses
patofisiologi yang terlibat dalam perkembangan sepsis dan meminimalkan
konsekuensi dari sepsis tersebut. Biomarker yang memadai dapat berguna untuk
memeriksa pasien yang mengalami sepsis sehingga dapat mengidentifikasi
mereka yang memenuhi syarat untuk menjalani terapi tertentu. Oleh karena itu
sangat penting untuk mengidentifikasi biomarker yang mampu membedakan
pasien secara lebih homogen kedalam sub-kelompok dengan abnormalitas biologi
tertentu untuk dapat menerima terapi tertentu (Marshall et al. 2003).
Beberapa molekul bioaktif yang berbeda telah diusulkan sebagai
biomarker tingkat keparahan atau outcome bagi pasien yang mengalami sepsis. Di
antara hal tersebut, produk bakteri seperti endotoksin dan DNA bakteri, protein
fase akut (Protein C, procalcitonin, LBP - LPS-binding protein), faktor koagulasi
(fibrin degrading products, antitrombin III, D dimer), penanda sel membran
(HLA-DR, CD-64, Eselectin), proses seluler (apoptose), hormon (Kortisol,
ACTH), reseptor larut (SCD-14, sTNFRI, sTNF-RII) dan sitokin (TNF, IL-6, IL
8, IL-10) adalah yang paling terkenal. Masing-masing biomarker
diharapkan untuk memenuhi setidaknya tiga fungsi utama dalam manajemen
klinis pasien yang mengalami sepsis (Marshall et al. 2003): (i) menetapkan atau
mengkonfirmasi diagnosis sepsis pada pasien dengan sindrom perancu seperti
systemic inflammatory response syndrome (SIRS), (ii) mengukur tingkat
keparahan penyakit dan mengidentifikasi pasien dengan risiko tinggi dari hasil
yang tidak menguntungkan; (iii) berfungsi sebagai cara yang mudah dan dapat
diandalkan untuk mengetahui respon dari pasien untuk terapi tertentu, dan
berfungsi sebagai cara untuk mengukur efek dari terapi tertentu pada respon
pejamu.
Namun demikian, hanya sedikit biomarker yang pada akhirnya dapat
dimasukkan ke dalam praktek klinis, dan di antara mereka yang telah disebutkan
di atas protein C-reaktif (CRP) dan procalcitonin (PCT) adalah biomarker yang
patut dipertimbangkan.
CRP disebutkan pada tahun 1930 oleh Tillet dan Francis, sebagai faktor
yang terdapat dalam serum pasien yang menderita pneumonia yang mampu
menghasilkan fraksi polisakarida (fraksi C) dari S. pneumoniae. CRP adalah
pentamer siklik yang lima subunitnya terikat secara non-kovalen membentuk
struktur yang stabil dan tahan terhadap proteolisis. Pada ikatan terhadap
polisakarida yang terdapat dalam bakteri, jamur atau parasit, CRP dapat
mengaktifkan jalur komplemen klasik dan menyebabkan fagositosis. Sebagai
reaktan fase akut, CRP diproduksi oleh hepatosit dan transkripsinya diinduksi
oleh sitokin termasuk IL-6, IL-1 dan TGF-². Kadar plasma CRP dibawah 10 mg / l
pada 99% orang normal dan biasanya meningkat dalam 4 sampai 6 jam setelah
stimulus infeksius dan pada akhirnya mencapai puncaknya setelah 36-50 jam,
yang bisa setinggi 500 mg / l setelah terjadi stimulus infeksi akut yang intens.
Namun, penyakit inflamasi lainnya dengan latar belakang noninfeksius seperti
penyakit auto-imun, trauma, operasi besar, luka bakar dan penyakit keganasan,
adalah penyebab penting dari tingginya kadar CRP dalam plasma. Yang menarik
adalah, infeksi virus biasanya tidak meningkatkan kadar CRP dalam plasma
secara signifikan (Abbate et al 2003,. Hengst 2003, Willerson & Ridker 2004).
PCT awalnya disebutkan pada tahun 1984 sebagai protein asam amino 116
dengan berat molekul 14,5 kDa. Gen PCT, Calc-1, diterjemahkan ke kromosom
11p15.4, dan promotornya memberikan situs ikatan untuk faktor transkripsi
seperti NF dan AP-1. PCT diekspresikan dalam berbagai sel dan jaringan seperti
neuron, leukosit darah, hati dan otak setelah stimulasi oleh sitokin (TNF e IL-6)
atau LPS. PCT secara cepat dikeluarkan dan dapat diukur dalam kadarnya dalam
plasma paling cepat 2 jam setelah awal infeksi, memuncak dalam 12-24 jam Nilai
normal biasanya dibawah 0,5 ng / ml dan bisa meningkat hingga 2000 kali lipat
selama terjadinya infeksi yang berat. Namun, seperti dilaporkan terhadap CRP,
PCT biasanya tidak meningkat selama terjadinya infeksi virus (Gattas & Cook
2003, Rau et al. 2004).
Beberapa studi klinis bertujuan untuk menetapkan kegunaan
CRP dan PCT dalam mengkonfirmasikan diagnosis dan dalam memprediksi
outcome pasien yang mengalami sepsis. Sebuah metaanalisis terbaru (Simon et al
2004.) Mengevaluasi 12 studi yang secara simultan membandingkan tingkat CRP
dan PCT untuk mendiagnosis infeksi bakteri pada pasien rawat inap,
menunjukkan bahwa kadar PCT lebih sensitif (88 vs 75%) dan juga lebih spesifik
(81 vs 67%) daripada kadar CRP untuk membedakan peradangan bakteri dan non-
bakteri. Namun, beberapa studi mengevaluasi akurasi prognostik penanda
tersebut, dan ketika hal ini dilakukan, kemampuan diskriminatif untuk prognosis
dari PCT dan PCR sangat rendah (Clec'h dkk. 2004). Sebagai kesimpulan umum,
studi-studi menunjukkan bahwa CRP dan PCT adalah biomarker yang berguna
untuk diagnosis pada pasien sepsis tetapi, meskipun mereka dianggap sebagai
tanda peradangan sistemik, tingkat yang lebih tinggi biasanya terlihat pada pasien
dengan infeksi bakteri daripada pasien rawat inap yang mengalami SIRS atau
infeksi virus. Antara CRP dan PCT, PCT menunjukkan sensibilitas dan
spesifisitas yang lebih baik dalam membedakan pasien septik dan non-septik.
Selain itu, PCT tampaknya juga menjadi penanda tingkat keparahan yang baik
pada sepsis dan mungkin dapat berguna dalam memeriksa efektivitas terapi pada
pasien sepsis. klinis.
Mengidentifikasi biomarker dengan peran patofisiologi yang penting
Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada ketertarikan yang berkembang
untuk mengidentifikasi biomarker dengan peran patofisiologis dalam terjadinya
sespsis. Meskipun CRP dan PCT dianggap sebagai biomarker yang berguna pada
sepsis (lihat di atas), peran pasti mereka dalam patofisiologi sepsis dan disfungsi
organ, jika memang ada, maka masih belum jelas. Sitokin merupakan mediator
kunci dalam respon pejamu terhadap infeksi dan peningkatan dalam plasma serta
jaringan dari mediator tersebut terkait dengan intensitas dari respon inflamasi
tersebut. Namun demikian, kegunaan sitokin secara individu sebagai biomarker
prognostik pada akhirnya hingga saat in masih kontroversial.
.Kelompok kami telah bekerja dalam mengidentifikasi biomarker baru
untuk mengetahui tingkat keparahan dan outcome dari pasien yang menderita
sakit kritis. Sebagai strategi utama kami, kami mencari biomarker dengan peran
yang potensial dalam patofisiologi peradangan yang terjadi secara umum dan
tidak seimbang, dan hal tersebut bisa menjadi sasaran untuk intervensi terapeutik
yang baru. Menggunakan teknologi baru untuk kuantifikasi sitokin berbasis
pada fluorescently dyed microspheres yang dihubungkan dengan twolaser flow
cytometry system (Luminex), yang memungkinkan adanya beberapa analisis
berjalan secara bersamaan dalam sampel tunggal, kami telah mampu secara
bersamaan mengukur kadar dari 17 sitokin yang berbeda dalam plasma pasien
yang mngalami sepsis (Bozza et al. unpublished data). Data kami menunjukkan
bahwa di antara 17 sitokin, 9 diantaranya (IL-1, IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10,
IFNγ, GCSF, dan MCP-1) mampu membedakan antara kelompok yang dapat
bertahan hidup dengan kelompok yang tidak dapat bertahan hidup. Sebaliknya
kadar TNF, IL-5, IL-7, IL-12, IL-13, IL-17, MIP-1, dan GM-CSF tidak berbeda
dalam kedua kelompok tersebut. IL-8 dan IL-1 merupakan sitokin yang
mempunyai kinerja terbaik dalam memprediksi outcome yang akan terjadi. Dalam
hal ini, Perlu disebutkan bahwa nilai prediktif dari sitokin tersebut bahkan lebih
baik daripada prototipe skor klinis prognostik yang digunakan pada unit
perawatan intensif, Acute Physiology and Chronic Health Evaluation Score
(APACHE II). Yang Menarik adalah, pendekatan yang sama digunakan untuk
mempelajari pasien dengan infeksi virus dengue yang berat. Dalam kasus ini,
sitokin seperti IL-1β, IL-2, IL-4, IL-10, IL-13 dan GM-CSF meningkat secara
signifikan jika dibandingkan dengan pasien yang mngalami sepsis atau kelompok
kontrol yang sehat (Bozza dkk. Data tidak dipublikasikan).
Secara klasik, IL-6 merupakan sitokin dengan nilai prognostik yang
penting dalam menilai sepsis. Walaupun peran patofisiologis dari IL-6 dalam
sindrom ini masih kontroversial, IL-6 telah diusulkan sebagai biomarker sitokin
yang penting pada sepsis karena kinetikanya yang lambat dan stabil dalam
plasma, yang memungkinkan deteksinya yang mudah dalam sampel darah pasien,
dan korelasinya yang baik dengan intensitas respon inflamasi. Beberapa penelitian
yang berbeda telah menegaskan bahwa mayoritas (64-100%) dari pasien yang
mengalami sepsis mengalami peningkatan kadar IL-6 dalam sirkulasi darahnya,
dan kadar tersebut berkorelasi dengan tingkat keparahan dan outcome yang terjadi
(Gogos et al, 2000, Kox dkk.. 2000). Peningkatan yang menetap dari kadar IL-6
berhubungan dengan kegagalan organ multiple (Pinsky et al 1993.) dan kematian
yang terjadi (Tanaka et al. 1996). Dengan demikian, dalam populasi kami, IL-6
adalah prediktor outcome yang berharga pada pasien yang mengalami sepsis dan
syok septik. Semua pasien memiliki kadar yang dapat terdeteksi dan kadar yang
tinggi ditemukan pada sebagian besar pasien tersebut, namun seperti yang
disebutkan di atas, IL-8 dan IL-1 bahkan bekerja lebih baik sebagai prediktor
outcome yang akan terjadi dalam penelitian kami.
Baru-baru ini, peran penting bagi sitokin lain, macrophage migration
inhibitory factor (MIF), juga telah ditemukan pada terjadinya sepsis. MIF adalah
cikal-bakal protein yang terdapat dalam kelenjar hipofisis, dalam sel - T dan
dalam makrofag dan dilepaskan sebagai respon dalam menanggapi rangsangan
yang berbeda-beda, termasuk infeksi dan stres (Bernhagen et al. 1993, Calandra
dkk. 1994, Bacher dkk. 1996). LPS menginduksi ekspresi MIF pada beberapa
jaringan dan juga pelepasan dalam jumlah yang signifikan kedalam sirkulasi
(Bernhagen dkk. 1993, Bacher dkk. 1997), dan co-injeksi dari MIF dengan LPS
akan memperburuk lethalitas pada tikus (Bacher et al. 1997). Sebuah properti unik
dari MIF adalah sekresinya dari sel imun sebagai respon terhadap kenaikan
fisiologis dari kadar glukokortikoid, dan sekali dilepaskan, MIF dapat menjadi
mekanisme umpan balik efek anti-inflamasi steroid pada produksi sitokin
(Calandra & Bucala 1995). Peran penting yang dimainkan oleh MIF endogen
dalam respon pejamu terhadap toksin gram-negative dan gram-positif itu
ditegaskan oleh pengamatan bahwa pengobatan dengan menetralisir antibodi anti
MIF atau menargetkan gangguan pada gen MIF akan melindungi tikus dari LPS
dan superantigen yang akan mengakibatkan kematian (Calandra et al, 1998, Bozza
et al.. 1999). Peningkatan konsentrasi dari MIF telah terdeteksi dalam rongga
udara alveolar pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
(Donnelly et al, 1997,. Lai et al. 2003) dan kami telah menunjukkan bahwa
semakin tinggi tingkat kadar MIF yang beredar dalam sirkulasi 6 jam pasca
operasi bypass cardiopulmonary dikaitkan dengan outcome buruk pasca operasi
paru (Mendonça Filho et al. 2004). Baru-baru ini, kami juga menunjukkan bahwa
kadar MIF dalam sirkulasi dapat secara dini mendeteksi sepsis dengan kultur yang
positif pada pasien yang akan menjalani operasi jantung (Mendonça Filho et al.
2004).
Selain peran yang penting sebagai sitokin pro-inflamasi, defisiensi gen
MIF akan meningkatkan kemampuan tikus untuk menyingkirkan Pseudomonas
aeruginosa yang berdiam dalam paru-paru (Bozza et al. 1999). Hasil ini telah
dikonfirmasi dan dikembangkan dengan temuan bahwa netralisasi MIF dengan
antibodi akan menyebabkan kelangsungan hidup lebih baik dalam model
percobaan tikus yang mengalami syok septik yang mematikan yang disebabkan
oleh ligasi cecal dan pungsi (CLP) dan infeksi peritoneum dengan menggunakan
E. coli (Calandra et al. 2000). Baru-baru ini, telah ditunjukkan bahwa MIF
mengatur ekspresi Toll-like receptor 4 (TLR4), molekul penghasil sinyal
kompleks molekul reseptor LPS (Roger et al. 2001). Pengurangan ekspresi TLR-4
akibat makrofag yang mengalami defisiensi MIF terkait dengan kurangnya
produksi TNF oleh sel-sel ini jika dirangsang oleh LPS.
Studi klinis sebelumnya telah menunjukkan peningkatan pada kadar MIF
dalam serum pasien yang mengalami SIRS, sepsis dan syok septik (Calandra et al
2000,. Gando et al. 2001). Kadar MIF tidak menunjukkan tingkat keparahan dari
penyakit akut yang kritis pada penelitian yang dilakukan oleh Lehman dkk.
(2001), tapi dua studi yang berbeda menghubungkan kadar yang tinggi dari MIF
dengan outcome yang buruk pada pasien yang mengalami SIRS (Gando et al.
2001) dan pada pasien yang mengalami syok septik (Beishuizen et al. 2001).
Selain itu, kami baru-baru ini menunjukkan bahwa, pada pasien yang mengalami
sepsis, kadar MIF dan IL-6 berbeda secara signifikan antara kelompok yang dapat
bertahan hidup dan kelompok yang tidak dapat bertahan hidup, dan bahwa kadar
MIF menunjukkan kekuatan untuk lebih diskriminatif dalam memprediksi sepsis
yang terkait dengan kematian dibanidngkan IL-6, sebagaimana dinilai receiver
operating characteristic curves analysis. Oleh karena itu, peningkatan konsentrasi
MIF tampaknya menjadi indikator awal dari terjadinya outcome yang buruk dari
pasien yang mengalami sepsis pada ruang perawatan intensif (Bozza dkk. 2004).
Peran yang merugikan dari MIF endogen dalam infeksi bakteri sistemik
menunjukkan bahwa pengobatan anti-MIF mungkin merupakan strategi terapi
yang penting untuk pasien yang mengalami sepsis dan syok septik (Riedemann &
Ward 2003). Jadi dokumentasi dari pengamatan pasien langsung mengenai
peningkatan MIF mungkin dapat menjadi kriteria untuk studi di masa depan
mengenai intervensi terapi yang bertujuan untuk menetralisasi MIF.
Kesimpulan
Saat ini patofisiologi dasar dari sepsis telah dapat dipahami. Namun
demikian, penelitian mengenai sepsis telah mencapai titik yang kritis. Untuk
mengintegrasikan pengetahuan kita menuju teori yangkonsisten dari penyakit
tersebut yang akan memberikan prognosis yang adekuat dan terapi yang efektif
merupakan tugas yang harus diupayakan. Upaya untuk mendapatkan aplikasi
klinis dari hasil penelitian dalam mekanisme dasar penyakit tersebut telah gagal
secara dramatis. Setelah banyak percobaan anti-mediator dengan agen tunggal
gagal, hal itu telah menjadi diterima secara luas bahwa sepsis merupakan proses
yang kompleks dan non-linear. Definisi sepsis yang ada saat ini
mempertimbangkan sifat heterogen dari populasi pasien dalam studi klinis yang
tidak menirukan oleh model eksperimental. Pengembangan alat diagnostik yang
baru dan model klinis yang lebih relevan akan memungkinkan penentuan yang
lebih tepat dari keadaan imun/inflamasi pasien yang mengalami septis, dan dapat
berkontribusi secara signifikan terhadap stratifikasi pasien yang mungkin
mendapat manfaat dari strategi terapeutik tertentu. Menggunakan teknologi baru
seperti Luminex dapat memungkinkan deteksi secara simultan beberapa
biomarker, seperti sitokin, menyediakan "profil biomarker" untuk setiap pasien.
Profil tersebut dapat berguna untuk memprediksi prognosis dan untuk stratifikasi
yang bertujuan untuk melakukan uji klinis atau terapi spesifik. Secara signifikan,
pencarian biomarker dengan peran patofisiologi yang penting dalam sepsis
mungkin mempunyai implikasi penting dalam perawatan pasien dan dalam uji
coba senyawa baru dalam pengembangan klinis.
DAFTAR PUSTAKA
Abbate A, Biondi-Zoccai GG, Brugaletta S, Liuzzo G, Biasucci LM 2003. C-reactive protein and other inflammatory biomarkers as predictors of outcome following acute coronary syndromes. Semin Vasc Med 3: 375-384.
Angus DC, Wax RS 2001. Epidemiology of sepsis: an update. Crit Care Med 29: S109-116.
Bacher M, Meinhardt A, Lan HY, Mu W, Metz CN, Chesney JA et al. 1997. Migration inhibitory factor expression in experimentally induced endotoxemia. Am J Pathol 150: 235-246.
Bacher M, Metz CN, Calandra T, Mayer K, Chesney J, Lohoff M et al. 1996. An essential regulatory role for macrophage migration inhibitory factor in T-cell activation. Proc Natl Acad Sci USA 93: 7849-7854.
Beishuizen A, Thijs LG, Haanen C, Vermes I 2001. Macrophage migration inhibitory factor and hypothalamo-pituitaryadrenal function during critical illness. J Clin Endocrinol Metab 86: 2811-2816.
Bernhagen J, Calandra T, Mitchell RA, Martin SB, Tracey KJ, Voelter W et al. 1993. MIF is a pituitary-derived cytokine that potentiates lethal endotoxaemia. Nature 365: 756-759.
Bozza FA, Gomes RN, Japiassu AM, Soares M, Castro-Faria- Neto HC, Bozza PT et al. 2004. Macrophage migration inhibitory factor levels correlate with fatal outcome in sepsis. Shock 22: 309-313.
Bozza M, Satoskar AR, Lin G, Lu B, Humbles AA, Gerard C et al. 1999. Targeted disruption of migration inhibitory factor gene reveals its critical role in sepsis. J Exp Med 189: 341- 346.
Calandra T, Bucala R 1995. Macrophage migration inhibitory factor: a counter-regulator of glucocorticoid action and critical mediator of septic shock. J Inflamm 47: 39-51.
Calandra T, Bernhagen J, Mitchell RA, Bucala R 1994. The macrophage is an important and previously unrecognized source of macrophage migration inhibitory factor. J Exp Med 179: 1895-1902.
Calandra T, Echtenacher B, Roy DL, Pugin J, Metz CN, Hultner L et al. 2000. Protection from septic shock by neutralization of macrophage migration inhibitory factor. Nat Med 6: 164-170.
Calandra T, Spiegel LA, Metz CN, Bucala R 1998. Macrophage migration inhibitory factor is a critical mediator of the activation of immune cells by exotoxins of gram-positive bacteria. Proc Natl Acad Sci USA 95: 11383-11388.
Chalfin DB, Holbein ME, Fein AM, Carlon GC 1993. Costeffectiveness of monoclonal antibodies to gram-negative endotoxin in the treatment of gram-negative sepsis in ICU patients. Jama 269: 249-254.
Clec’h C, Ferriere F, Karoubi P, Fosse JP, Cupa M, Hoang P et al. 2004. Diagnostic and prognostic value of procalcitonin in patients with septic shock. Crit Care Med 32: 1166- 1169.
Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, Gerlach H, Calandra T, Cohen J et al. 2004. Surviving sepsis campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med 32: 858-873.
Donnelly SC, Haslett C, Reid PT, Grant IS, Wallace WA, Metz CN et al. 1997. Regulatory role for macrophage migration inhibitory factor in acute respiratory distress syndrome. Nat Med 3: 320-323.
Gando S, Nishihira J, Kobayashi S, Morimoto Y, Nanzaki S, Kemmotsu O 2001. Macrophage migration inhibitory factor is a critical mediator of systemic inflammatory response syndrome. Intensive Care Med 27: 1187-1193.\
Gattas DJ, Cook DJ 2003. Procalcitonin as a diagnostic test for sepsis: health technology assessment in the ICU. J Crit Care 18: 52-58.
Glauser MP 2000. Pathophysiologic basis of sepsis: considerations for future strategies of intervention. Crit Care Med 28: S4-8.
Gogos CA, Drosou E, Bassaris HP, Skoutelis A 2000. Proversus anti-inflammatory cytokine profile in patients with severe sepsis: a marker for prognosis and future therapeutic options. J Infect Dis 181: 176-180.
Hengst JM 2003. The role of C-reactive protein in the evaluation and management of infants with suspected sepsis. Adv Neonatal Care 3: 3-13.
Heyland DK, Hopman W, Coo H, Tranmer J, McColl MA 2000. Long-term health-related quality of life in survivors of sepsis. Short Form 36: a valid and reliable measure of health-related quality of life. Crit Care Med 28: 3599-3605.
Kox WJ, Volk T, Kox SN, Volk HD 2000. Immunomodulatory therapies in sepsis. Intensive Care Med 26 (Suppl 1): S124- 128.
Lai KN, Leung JC, Metz CN, Lai FM, Bucala R, Lan HY 2003. Role for macrophage migration inhibitory factor in acute respiratory distress syndrome. J Pathol 199: 496-508.
Lehmann LE, Novender U, Schroeder S, Pietsch T, von Spiegel T, Putensen C et al. 2001. Plasma levels of macrophage migration inhibitory factor are elevated in patients with severe sepsis. Intensive Care Med 27: 1412-1415.
Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D et al. 2003. 2001 SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Intensive Care Med 29: 530-538.
Marshall JC, Vincent JL, Fink MP, Cook DJ, Rubenfeld G, Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro, Vol. 100(Suppl. I), 2005 221 Foster D et al. 2003. Measures, markers, and mediators: toward a staging system for clinical sepsis. A report of the Fifth Toronto Sepsis Roundtable, Toronto, Ontario, Canada, October 25-26, 2000. Crit Care Med 31: 1560-1567.
Mendonça-Filho HTF, Gomes RV, Campos LAA, Tura B, Nunes EM, Gomes RN, Bozza F, Bozza PT, Castro Faria Neto HC 2004. Circulating levels of macrophage migration inhibitory factor are associated with mild pulmonary dysfunction after cardio pulmonary bypass. Shock 22: 533-537.
Perl TM, Dvorak L, Hwang T, Wenzel RP 1995. Long-term survival and function after suspected gram-negative sepsis. Jama 274: 338-345.
Pinsky MR, Vincent JL, Deviere J, Alegre M, Kahn RJ, Dupont E 1993. Serum cytokine levels in human septic shock. Relation to multiple-system organ failure and mortality. Chest 103: 565-575.
Polderman KH, Girbes AR 2004. Drug intervention trials in sepsis: divergent results. Lancet 363: 1721-1723. PX D 1946. Enquete permanent dans les centres anticancereaux Bull Inst Natl Hyg 1: 70-75.
Rau B, Kruger CM, Schilling MK 2004. Procalcitonin: improved biochemical severity stratification and postoperative monitoring in severe abdominal inflammation and sepsis. Langenbecks Arch Surg 389: 134-144.
Riedemann NC, Ward PA 2003. Anti-inflammatory strategies for the treatment of sepsis. Expert Opin Biol Ther 3: 339-350.
Riedemann NC, Guo RF, Ward PA 2003. The enigma of sepsis. J Clin Invest 112: 460-467.
Roger T, David J, Glauser MP, Calandra T 2001. MIF regulates innate immune responses through modulation of Toll-like receptor 4. Nature 414: 920-924.
Simon L, Gauvin F, Amre DK, Saint-Louis P, Lacroix J 2004. Serum procalcitonin and C-reactive protein levels as markers of bacterial infection: a systematic review and metaanalysis. Clin Infect Dis 39: 206-217.
Tanaka H, Ishikawa K, Nishino M, Shimazu T, Yoshioka T 1996. Changes in granulocyte colony-stimulating factor concentration in patients with trauma and sepsis. J Trauma 40: 718-725.
Van Amersfoort ES, Van Berkel TJ, Kuiper J 2003. Receptors, mediators, and mechanisms involved in bacterial sepsis and septic shock. Clin Microbiol Rev 16: 379-414.
Wheeler AP, Bernard GR 1999. Treating patients with severe sepsis. N Engl J Med 340: 207-214.
Willerson JT, Ridker PM 2004. Inflammation as a cardiovascular risk factor. Circulation 109: II2-10.