PATOFISIOLOGI DEMAM

16
A. DEFINISI DEMAM Demam adalah suatu keadaan suhu tubuh diatas normal, yaitu diatas 37,2˚C (99,5˚F) sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Demam sangat berguna sebagai pertanda adanya suatu proses inflamasi, biasanya tingginya demam mencerminkan tingkatan dari proses inflamasinya. Dengan peningkatan suhu tubuh juga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri maupun virus. Suhu tubuh normal adalah berkisar antara 36,6˚C - 37,2˚C. Suhu oral sekitar 0,2 – 0,5˚C lebih rendah dari suhu rektal dan suhu aksila 0,5˚C lebih rendah dari suhu oral. Suhu tubuh terendah pada pagi hari dan meningkat pada siang dan sore hari. Pada cuaca yang panas dapat meningkat hingga 0,5˚C dari suhu normal. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas. Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam hilang sesudah masa yang pendek. Demam pada anak dapat digolongkan sebagai (1) demam yang singkat dengan tanda-tanda yang khas terhadap suatu penyakit sehingga diagnosis dapat ditegakkan melalui riwayat klinis dan pemeriksaan fisik, dengan atau tanpa uji laboratorium; (2) demam tanpa tanda-tanda yang khas terhadap suatu penyakit, sehingga riwayat dan pemeriksaan fisik tidak memberi kesan diagnosis tetapi uji laboratorium dapat menegakkan etiologi; dan (3) demam yang tidak diketahui sebabnya (Fever of Unknown Origin = FUO).

description

PATOFISIOLOGI DEMAM

Transcript of PATOFISIOLOGI DEMAM

A. DEFINISI DEMAM Demam adalah suatu keadaan suhu tubuh diatas normal, yaitu diatas 37,2C (99,5F) sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Demam sangat berguna sebagai pertanda adanya suatu proses inflamasi, biasanya tingginya demam mencerminkan tingkatan dari proses inflamasinya. Dengan peningkatan suhu tubuh juga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri maupun virus. Suhu tubuh normal adalah berkisar antara 36,6C - 37,2C. Suhu oral sekitar 0,2 0,5C lebih rendah dari suhu rektal dan suhu aksila 0,5C lebih rendah dari suhu oral. Suhu tubuh terendah pada pagi hari dan meningkat pada siang dan sore hari. Pada cuaca yang panas dapat meningkat hingga 0,5C dari suhu normal. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas. Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme pertahanan hospes. Pada kebanyakan anak demam disebabkan oleh agen mikrobiologi yang dapat dikenali dan demam hilang sesudah masa yang pendek. Demam pada anak dapat digolongkan sebagai (1) demam yang singkat dengan tanda-tanda yang khas terhadap suatu penyakit sehingga diagnosis dapat ditegakkan melalui riwayat klinis dan pemeriksaan fisik, dengan atau tanpa uji laboratorium; (2) demam tanpa tanda-tanda yang khas terhadap suatu penyakit, sehingga riwayat dan pemeriksaan fisik tidak memberi kesan diagnosis tetapi uji laboratorium dapat menegakkan etiologi; dan (3) demam yang tidak diketahui sebabnya (Fever of Unknown Origin = FUO). B. ETIOLOGI DEMAM Demam terjadi oleh karena perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh infeksi, vaksin, agen biologis (faktor perangsang koloni granulosit-makrofag, interferon dan interleukin), jejas jaringan (infark, emboli pulmonal, trauma, suntikan intramuskular, luka bakar), keganasan (leukemia, limfoma, hepatoma, penyakit metastasis), obat-obatan (demam obat, kokain, amfoterisin B), gangguan imunologik-reumatologik (lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid), penyakit radang (penyakit radang usus), penyakit granulomatosis (sarkoidosis), ganggguan endokrin (tirotoksikosis, feokromositoma), ganggguan metabolik (gout, uremia, penyakit fabry, hiperlipidemia tipe 1), dan wujud-wujud yang belum diketahui atau kurang dimengerti (demam mediterania familial). C. PATOGENESIS DEMAM Tanpa memandang etiologinya, jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung mengubah set-point di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas. Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh seperti toksin, produk-produk bakteri dan bakteri itu sendiri mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), interferon (INF), interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-11 (IL-11). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh. A. PIROGEN EKSOGEN Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar. Umumnya, pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk merangsang sintesis interleukin-1 (IL-1). Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen, misalnya endotoksin, bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu. Radiasi, racun DDT dan racun kalajengking dapat pula menghasilkan demam dengan efek langsung terhadap hipotalamus. Beberapa bakteri memproduksi eksotoksin yang akan merangsang secara langsung makrofag dan monosit untuk melepas IL-1. Mekanisme ini dijumpai pada scarlet fever dan toxin shock syndrome. Pirogen eksogen dapat berasal dari mikroba dan non-mikroba. PIROGEN MIKROBIAL

BAKTERI GRAM-NEGATIF Pirogenitas bakteri Gram-negatif (misalnya Escherichia coli, Salmonela) disebabkan adanya heat-stable factor yaitu endotoksin, yaitu suatu pirogen eksogen yang pertama kali ditemukan. Komponen aktif endotoksin berupa lapisan luar bakteri yaitu lipopolisakarida (LPS). Endotoksin menyebabkan peningkatan suhu yang progresif tergantung dari dosis (dose-related). Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri terdapat dalam jaringan atau dalam darah, keduanya akan difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan dan natural killer cell (NK cell). Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan interleukin-1, kemudian interleukin-1 tersebut mencapai hipotalamus sehingga segera menimbulkan demam. Endotoksin juga dapat mengaktifkan sistem komplemen dan aktifasi faktor hageman. BAKTERI GRAM-POSITIF Pirogen utama bakteri gram-positif (misalnya Stafilokokus) adalah peptidoglikan dinding sel. Bakteri gram-positif mengeluarkan eksotoksin, dimana eksotoksin ini dapat menyebabkan pelepasan daripada sitokin yang berasal dari T-helper dan makrofag yang dapat menginduksi demam. Per unit berat, endotoksin lebih aktif daripada peptidoglikan. Hal ini menerangkan perbedaan prognosis yang lebih buruk berhubungan dengan infeksi bakteri gram-negatif. Mekanisme yang bertanggung jawab terjadinya demam yang disebabkan infeksi pneumokokus diduga proses imunologik. Penyakit yang melibatkan produksi eksotoksin oleh basil gram-positif (misalnya difteri, tetanus, dan botulinum) pada umumnya demam yang ditimbulkan tidak begitu tinggi dibandingkan dengan gram-positif piogenik atau bakteri gram-negatif lainnya. VIRUS Telah diketahui secara klinis bahwa virus dapat menyebabkan demam. Pada tahun 1958, dibuktikan adanya pirogen yang beredar dalam serum kelinci yang mengalami demam setelah disuntik virus influenza. Mekanisme virus memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invasi secara langsung ke dalam makrofag, reaksi imunologis terjadi terhadap komponen virus yang termasuk diantaranya yaitu pembentukan antibodi, induksi oleh interferon dan nekrosis sel akibat virus. Jamur Produk jamur baik yang mati maupun yang hidup, memproduksi pirogen eksogen yang akan merangsang terjadinya demam. Demam pada umumnya timbul ketika produk jamur berada dalam peredaran darah. Anak yang menderita penyakit keganasan (misalnya leukemia) disertai demam yang berhubungan dengan neutropenia sehingga mempunyai resiko tnggi untuk terserang infeksi jamur invasif. Pirogen Non-Mikrobial

FagositosisFagositosis antigen non-mikrobial kemungkinan sangat bertanggung jawab untuk terjadinya demam, seperti dalam proses transfusi darah dan anemia hemolitik imun (immune hemolytic anemia). Kompleks Antigen-antibodi Demam yang disebabkan oleh reaksi hipersensitif dapat timbul baik sebagai akibat reaksi antigen terhadap antibodi yang beredar, yang tersensitisasi (immune fever) atau oleh antigen yang teraktivasi sel-T untuk memproduksi limfokin, dan kemudian akan merangsang monosit dan makrofag untuk melepas interleukin-1 (IL-1). Contoh demam yang disebabkan oleh immunologically mediated diantaranya lupus eritematosus sistemik (SLE) dan reaksi obat yang berat. Demam yang berhubungan dengan hipersensitif terhadap penisilin lebih mungkin disebabkan oleh akibat interaksi kompleks antigen-antibodi dengan leukosit dibandingkan dengan pelepasan IL-1 Steroid Steroid tertentu bersifat pirogenik bagi manusia. Ethiocholanolon dan metabolik androgen diketahui sebagai perangsang pelepasan interleukin-1 (IL-1). Ethiocholanolon dapat menyebabkan demam hanya bila disuntikan secara intramuskular (IM), maka diduga demam tersebut disebabkan oleh pelepasan interleukin-1 (IL-1) oleh jaringan subkutis pada tempat suntikan. Steroid ini diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya demam pada pasien dengan sindrom adrogenital dan demam yang tidak diketahui sebabnya (fever of unknown origin = FUO). Sistem Monosit-Makrofag Sel mononuklear bertanggung jawab terhadap produksi interleukin-1 (IL-1) dan terjadinya demam. Granulosit polimorfonuklear tidak lagi diduga sebagai penanggung jawab dalam memproduksi interleukin-1 (IL-1) oleh karena demam dapat timbul dalam keadaan agranulositosis. Sel mononuklear selain merupakan monosit yang beredar dalam darah perifer juga tersebar di dalam organ seperti paru (makrofag alveolar), nodus limfatik, plasenta, rongga peritoneum dan jaringan subkutan. Monosit dan makrofag berasal dari granulocyte-monocyte colony-forming unit (GM-CFU) dalam sumsum tulang, kemudian memasuki peredaran darah untuk tinggal selama beberapa hari sebagai monosit yang beredar atau bermigrasi ke jaringan yang akan berubah fungsi dan morfologi menjadi makrofag yang berumur beberapa bulan. Sel-sel ini berperan penting dalam pertahanan tubuh termasuk diantaranya merusak dan mengeliminasi mikroba, mengenal antigen dan mempresentasikannya untuk menempel pada limfosit, aktivasi limfosit-T dan destruksi sel tumor (Tabel 1.1). Keadaan yang berhubungan dengan perubahan fungsi sistem monosit-makrofag diantaranya bayi baru lahir, kortikosteroid dan terapi imunosupresif lain, lupus eritematosus sistemik (SLE), sindrom Wiskott-Aldrich dan penyakit granulomatosus kronik. Dua produk utama monosit-makrofag adalah interleukin-1 (IL-1) dan Tumor necroting factor (TNF). B. Pirogen Endogen

Interleukin-1 (IL-1) Interleukin-1 (IL-1) disimpan dalam bentuk inaktif dalam sitoplasma sel sekretori, dengan bantuan enzim diubah menjadi bentuk aktif sebelum dilepas melalui membran sel kedalam sirkulasi. Interleukin-1 (IL-1) dianggap sebagai hormon oleh karena mempengaruhi organ-organ yang jauh. Penghancuran interleukin-1 (IL-1) terutama dilakukan di ginjal. Interleukin-1 (IL-1) terdiri atas 3 struktur polipeptida yang saling berhubungan, yaitu 2 agonis (IL-1 dan IL-1) dan sebuah antagonis (IL-1 reseptor antagonis). Reseptor antagonis IL-1 ini berkompetisi dengan IL-1 dan IL-1 untuk berikatan dengan reseptor IL-1. Jumlah relatif IL-1 dan reseptor antagonis IL-1 dalam suatu keadaan sakit akan mempengaruhi reaksi inflamasi menjadi aktif atau ditekan. Selain makrofag sebagai sumber utama produksi IL-1, sel kupfer di hati, keratinosit, sel langerhans pankreas serta astrosit juga memproduksi IL-1. Pada jaringan otak, produksi IL-1 oleh astrosit diduga berperan dalam respon imun dalam susunan saraf pusat (SSP) dan demam sekunder terhadap perdarahan SSP. Fungsi utama sistem Monosit-Makrofag Interleukin-1 mempunyai banyak fungsi, fungsi primernya yaitu menginduksi demam pada hipotalamus untuk menaikkan suhu. Peran IL-1 diperlukan untuk proliferasi sel-T serta aktivasi sel-B, maka sebelumnya IL-1 dikenal sebagai lymphocyte activating factor (LAF) dan B-cell activating factor (BAF). Interleukin-1 merangsang beberapa protein tertentu di hati, seperti protein fase akut misalnya fibrinogen, haptoglobin, seruloplasmin dan CRP, sedangkan sintesis albumin dan transferin menurun. Secara karakteristik akan terlihat penurunan konsentrasi zat besi (Fe) serta seng (Zn) dan peningkatan konsentrasi tembaga (Cu). Keadaan hipoferimia terjadi sebagai akibat penurunan asimilasi zat besi pada usus dan peningkatan cadangan zat besi dalam hati. Perubahan ini mempengaruhi daya tahan tubuh hospes oleh karena menurunkan daya serang mikroorganisme dengan mengurangi nutrisi esensialnya, seperti zat besi dan seng. Dapat timbul leukositosis, peningkatan kortisol dan laju endap darah Tumor Necrosis Factor (TNF) Tumor necrosis factor ditemukan pada tahun 1968. Sitokin ini selain dihasilkan oleh monosit dan makrofag, limfosit, natural killer cells (sel NK), sel kupffer juga oleh astrosit otak, sebagai respon tubuh terhadap rangsang atau luka yang invasif. Sitokin dalam jumlah yang sedikit mempunyai efek biologik yang menguntungkan. Berbeda dengan IL-1 yang mempunyai aktivitas anti tumor yang rendah, TNF mempunyai efek langsung terhadap sel tumor. Ia mengubah pertahanan tubuh terhadap infeksi dan merangsang pemulihan jaringan menjadi normal, termasuk penyembuhan luka. Tumor necrosis factor juga mempunyai efek untuk merangsang produksi IL-1, menambah aktivitas kemotaksis makrofag dan neutrofil serta meningkatkan fagositosis dan sitotoksik. Meskipun TNF mempunyai efek biologis yang serupa dengan IL-1, TNF tidak mempunyai efek langsung pada aktivasi stem cell dan limfosit. Seperti IL-1, TNF dianggap sebagai pirogen endogen oleh karena efeknya pada hipotalamus dalam menginduksi demam. Tumor necrosis factor identik dengan cachectin, yang menghambat aktivitas lipase lipoprotein dan menyebabkan hipertrigliseridemia serta cachexia, petanda adanya hubungan dengan infeksi kronik. Tingginya kadar TNF dalam serum mempunyai hubungan dengan aktivitas atau prognosis berbagai penyakit infeksi, seperti meningitis bakterialis, leismaniasis, infeksi virus HIV, malaria dan penyakit peradangan usus. Tumor necrosis factor juga diduga berperan dalam kelainan klinis lain, seperti artritis reumatoid, autoimmune disease, dan graft-versus-host disease. Limfosit yang Teraktivasi Dalam sistem imun, limfosit merupakan sel antigen spesifik dan terdiri atas 2 jenis yaitu sel-B yang bertanggung jawab terhadap produksi antibodi dan sel-T yang mengatur sintesis antibodi dan secara tidak langsung berfungsi sebagai sitotoksik, serta memproduksi respon inflamasi hipersensitivit tipe lambat. Interleukin-1 berperan penting dalam aktivasi limfosit (dahulu disebut sebagai LAF). Sel limfosit hanya mengenal antigen dan menjadi aktif setelah antigen diproses dan dipresentasikan kepadanya oleh makrofag. Efek stimulasi IL-1 pada hipotalamus (seperti pirogen endogen menginduksi demam) dan pada limfosit-T (sebagai LAF) merupakan bukti kuat dari manfaat demam. Interferon Interferon dikenal oleh karena kemampuan untuk menekan replikasi virus di dalam sel yang terinfeksi. Berbeda dengan IL-1 dan TNF, interferon diproduksi oleh limfosit-T yang teraktivasi. Terdapat 3 jenis molekul yang berbeda dalam aktivitas biologik dan urutan asam aminonya, yaitu interferon- (INF alfa), interferon- (INF beta) dan interferon-gama (ITNF gama). Interferon alfa dan beta diproduksi oleh hampir semua sel (seperti leukosit, fibroblas dan makrofag) sebagai respon terhadap infeksi virus, sedangkan sintesis interferon gama dibatasi oleh limfosit-T. Meski fungsi sel limfosit-T pada neonatus normal sama efektifnya dengan dewasa, namun interferon (khususnya interferon gama) fungsinya belum memadai, sehingga diduga menyababkan makin beratnya infeksi virus pada bayi baru lahir. Interferon gama dikenal sebagai penginduksi makrofag yang poten dan menstimulasi sel-B untuk meningkatkan produksi antibodi. Fungsi interferon gama sebagai pirogen endogen dapat secara tidak langsung merangsang makrofag untuk melepaskan interleukin-1 (macrophage-activating factor) atau secara langsung pada pusat pengatur suhu di hipotalamus. Interferon mungkin mempengaruhi aktivitas antivirus dan sitolitik TNF, serta meningkatkan efisiensi natural killer cell. Aktivitas antivirus disebabkan penyesuaian dari sistem interferon dengan berbagai jalur biokimia yang mempunyai efek anti virus dan beraksi pada berbagai fase siklus replekasi virus. Interferon juga memperlihatkan aktivitas antitumor baik secara langsung dengan cara mencegah pembelahan sel melalui pemanjangan jalur siklus multiplikasi sel atau secara tidak langsung dengan mengubah respon imun. Aktivitas antivirus dan antitumor interferon terpengaruhi oleh meningkatnya suhu. Interleukin-4 (IL-4), yang menginduksi sintesis imunoglobulin IgE dan IgG4 oleh sel polimorfonuklear, tonsil atau sel limpa dari manusia sehat dan pasien alergi, dihalangi oleh interferon gama dan interferon alfa, berarti limfokin ini beraksi sebagai antagonis IL-4. Interferon melalui kemampuan biologiknya, dapat digunakan sebagai obat pada berbagai penyakit. Interferon alfa semakin sering dipakai dalam pengobatan berbagai infeksi virus, seperti hepatitis B, C dan delta. Efek toksik preparat interferon diantaranya demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri otot, nyeri kepala yang berat, somnolen dan muntah. Demam dapat muncul pada separuh pasien yang mendapat interferon, dan dapat mencapai 40C. Efek samping ini dapat diatasi dengan pemberian parasetamol dan prednisolon. Efek samping berat diantaranya gagal hati, gagal jantung, neuropati dan pansitopenia. Interleukin-2 (IL-2) Interleukin-2 merupakan limfokin penting kedua (setelah interferon) yang dilepas oleh limfosit-T yang terakivasi sebagai respons stimulasi IL-1. Interleukin-2 mempunyai efek penting pada pertumbuhan dan fungsi sel-T, Natural killer cell (sel NK) dan sel-B. Telah dilaporkan adanya kasus defisiensi imun kongenital berat disertai dengan defek spesifik dari produksi IL-2. Interleukin-2 memperlihatkan efek sitotoksik antitumor (terhadap melanoma ginjal, usus besar dan paru) sebagai hasil aktivasi spesifik dari natural killer cell (lymphokine-activated killer cell atau LAK), yang memiliki aktivitas sototoksik terhadap proliferasi sel tumor. Uji klinis dengan IL-2 sedang dilakukan saat ini pada tumor tertentu pada anak. Respon neuroblastoma tampak cukup baik terhadap terapi imun dengan IL-2. Sayangnya, terapi imun dengan IL-2 dapat menyebabkan defek kemotaksis neutrofil yang reversibel, diikuti peningkatan kerentanan terhadap infeksi pada pasien yang menerimanya. Efek samping lainnya diantaranya lemah badan, demam, anoreksia dan nyeri otot. Gejala ini dapat dikontrol dengan parasetamol. Interleukin-2 menstimulasi pelepasan sitokin lain, seperti IL-1, TNF dan INF alfa, yang akan menginduksi aktivitas sel endotel, mendahului bocornya pembuluh darah, sehingga dapat menyebabkan oedem paru dan resistensi cairan yang hebat. Penyakit yang berhubungan dengan defisiensi IL-2 diantaranya SLE (Systemic Lupus Erytematosus), diabetes melitus (DM), luka bakar dan beberapa bentuk keganasan. Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) Dari empat hemopoetic colony-stimulating factor yang berpotensi tinggi menguntungkan adalah eritropoetin, granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF), dan macrophage colony-stimulating factor (M-CSF). Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) adalah limfokin lain yang diproduksi terutama oleh limfosit, meskipun makrofag dan sel mast juga mempunyai kemampuan untuk memproduksinya. Fungsi utama GM-CSF adalah menstimulasi sel progenitor hemopoetik untuk berproliferasi dan berdeferensiasi menjadi granulosit dan makrofag serta mengatur kematangan fungsinya. Penggunaan dalam pengobatan diantaranya digunakan untuk pengobatan mielodisplasia, anemia aplastik dan efek mielotoksik pada pengobatan keganasan serta transplantasi. Pemberian GM-CSF dapat disertai dengan terjadinya demam, yang dapat dihambat dengan pemberian obat anti inflamasi non steroid (Non Steriod Anti Inflamation Drug = NSAID) seperti ibuprofen. D. JENIS DEMAM

E. KESIMPULAN Demam adalah suatu keadaan suhu tubuh diatas normal, yaitu diatas 37,2C (99,5F) sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di area preoptik hipotalamus anterior yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Demam terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme pertahanan hospes. Dimana mekanisme tersebut menyebabkan perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada hipotalamus yang dapat disebabkan antara lain oleh infeksi, vaksin, agen biologis, jejas jaringan, keganasan, obat-obatan, gangguan imunologik-reumatologik, penyakit peradangan, penyakit granulomatosis, ganggguan endokrin, ganggguan metabolik, dan bentuk-bentuk yang belum diketahui atau kurang dimengerti. Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen, yang kemudian secara langsung mengubah set-point di hipotalamus, menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas. Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh yaitu pirogen mikrobial dan pirogen non-mikrobial. Pirogen mikrobial diantaranya seperti bakteri gram positif, bakteri gram negatif, virus maupun jamur; sedangkan pirogen non-mikrobial antara lain proses fagositosis, kompleks antigen-antibodi, steroid dan sistem monosit-makrofag; yang keseluruhannya tersebut mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen yang disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF), limfosit yang teraktivasi, interferon (INF), interleukin-2 (IL-2) dan Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF). Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang kemudian dapat menyebabkan peningkatan suhu tubuh.

Sumber :Guyton C.A., Hall E.J. 1997. Pengaturan Suhu. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta. EGC. Sumarno S.P.S., Herry G., Sri Rezeki S.H. 2002. Demam, Patogenesis dan Pengobatan. Buku Ajar Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. IDAI. Edisi 1. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 27-38.