PEMBERIAN AUDIO VISUAL RECORDEDGUIDED · PDF filedengan demam berdarah dengue ... 41 C dan...
-
Upload
nguyenthuy -
Category
Documents
-
view
226 -
download
1
Transcript of PEMBERIAN AUDIO VISUAL RECORDEDGUIDED · PDF filedengan demam berdarah dengue ... 41 C dan...
PEMBERIAN AUDIO VISUAL RECORDEDGUIDED IMAGERY
THERAPY TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI
PADA ASUHAN KEPERAWATAN An. L DENGAN
DENGUEHAEMORRAGIC FEVER DI RUANG
MELATI 2 RS Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
DI SUSUN OLEH :
SAWITRI
NIM.P.11050
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
i
PEMBERIAN AUDIO VISUAL RECORDEDGUIDED IMAGERY
THERAPY TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI
PADA ASUHAN KEPERAWATAN An. L DENGAN
DENGUEHAEMORRAGIC FEVER DI RUANG
MELATI 2 RS Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH:
SAWITRI
NIM.P.11050
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2014
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena
berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “PEMBERIAN AUDIO VISUAL
RECORDEDGUIDED IMAGERY THERAPY TERHADAP PENURUNAN
INTENSITAS NYERI PADA ASUHAN KEPERAWATAN An. L DENGAN
DENGUE HAEMORRAGIC FEVER DI RUANG MELATI 2 RS Dr.
MOEWARDI SURAKARTA.”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat
bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada yang terhormat:
1. Atiek Murharyati, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba
ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
2. Meri Oktariani, S.Kep., Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program
studi DIII Keperawatan dan selaku penguji 1 yang telah memberikan
kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada
Surakarta, membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan
serta inspirasi demi sempurnanya Karya Tulis Ilmiah ini.
3. Noor Fitriyani,S.Kep., Ns, selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi,
vi
perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya
Karya Tulis Ilmiah ini.
4. Siti Mardiyah S.Kep., Ns, selaku dosen penguji 2 yang
telahmembimbingdengancermat, memberikanmasukan-masukan,
inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi
sempurnanya Karya Tulis Ilmiah ini.
5. Semua dosen Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma
Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan
wawasannya, serta ilmu yang bermanfaat.
6. Kedua orang tua saya, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan
semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
7. Kakak, adik, dan saudara-saudaraku yang telah memberikan semangat
dan dukungan untuk menyelesaikan tugas akhir Karya Tulis Ilmiah.
8. Teman-teman Mahasiswa Program Studi DIII Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat
disebutkan satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan
spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan
ilmu keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, Mei 2014
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME .................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Tujuan Penulisan ......................................................................... 3
C. Manfaat Penulisan ....................................................................... 4
BAB II LANDASAN TEORI
A. Dengue Haemorragic Fever (DHF) ............................................ 6
B. TerapiGuided Imagery ................................................................ 27
C. Nyeri ............................................................................................ 30
BAB III LAPORAN KASUS
A. Pengkajian ................................................................................... 34
B. Analisa Data danPerumusan Masalah ......................................... 41
C. PrioritasDiagnosaKeperawatan ................................................... 42
D. Intervensi ..................................................................................... 43
E. Implementasi ............................................................................... 45
F. Evaluasi ....................................................................................... 48
BAB IV PEMBAHASAN
A. Pengkajian ................................................................................... 52
B. Diagnosa Keperawatan................................................................ 58
C. Intervensi ..................................................................................... 63
D. Implementasi ............................................................................... 67
viii
E. Evaluasi ....................................................................................... 72
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ……………………………………………………. 75
B. Saran .......................................................................................... .. 78
Daftar Pustaka
Lampiran
Daftar Riwayat Hidup
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 : Log Book
Lampiran 3 : Lembar Konsultasi Karya Tulis Ilmiah
Lampiarn 4 : Pendelegasian
Lampiran 5 : Jurnal
Lampiran 6: Asuhan Keperawatan
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Gambar 2.1 Skala Deskripsi Intensitas Nyeri Sederhan …………….. 31
2. Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik …………………………. 31
3. Gambar 2.3 Skala Analog Visual ……………………………………... 32
4. Gambar 2.4 Skala Nyeri Muka (Wong Baker Facial Gremace) ………. 32
5. Gambar 3.1 Genogram An. L …………………………………………... 36
6. Gambar 4.1 Skala Nyeri Muka (Wong Baker Facial Gremace) ………. 56
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyakit dengue hemorrhagic fever (DHF) atau yang biasa disebut
dengan demam berdarah dengue (DBD) menjadi suatu penyakit endemik yang
saat ini masih menjadi masalah utama yang belum teratasi di negara – negara
tropis, seperti di Asia Tenggara (Widoyono, 2008: 59). Penyakit tersebut
menjadi penyebab kematian utama yang terjadi pada anak-anak (Novel, 2011:
6).
Menurut data dari Departemen Kesehatan RI (2004) dalam Widiyanto
(2007: 13), selama bulan Januari dan Februari, pada 25% provinsi di Indonesia
tercatat 17.707 orang terkena DBD dengan angka kematian 322 penderita dan
telah terjadi kejadian luar biasa (KLB) (Widoyono, 2008: 60). Kasus DBD di
Jawa Tengah dari tahun 2002 sampai tahun 2006 sebanyak 6.483 menjadi
9670 penderita dengan angka kematian 1,5 % menjadi 2,28.
Dengue Hemorragic Fever (DHF) merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue,ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes
aegypti. Adanya infeksi virus dengue mengakibatkan manifestasi klinis yang
muncul pada penderita DHF seperti demam tinggi yang mendadak dengan
suhu mencapai 40� C atau lebih, terkadang disertai kejang,sakit kepala,
anoreksia, muntah – muntah (vomitting), discomfort, perdarahan, serta nyeri
perut dikanan atas atau seluruh bagian perut. Nyeri yang dirasakan penderita
2
DBD disebabkan karena adanya viremia,sehingga tubuh mengeluarkan zat
anafilaktoksin sebagai reaksi terhadap infeksi (Nursalam et al., 2005: 159).
Nyeri yang dirasakan cukup bervariasi mulai dari nyeri ringan sampai
nyeri berat. Nyeri merupakan suatu bentuk ketidaknyamanan yang dapat
disebabkan oleh banyak hal, seperti efek dari penyakit atau akibat dari suatu
cidera. Nyeri yang dirasakan pasien dapat mempengaruhi berbagai komponen
dalam tubuh seperti fisik, perilaku, dan aktivitas, sehingga perlu penanganan
yang tepat baik manajemen nyeri secara farmakologis dengan obat - obatan
maupun nonfarmakologis. Manajemen nyeri nonfarmakologis sangat
beranekaragam antara lain, terapi es dan panas atau kompres panas dingin,
stimulasi saraf elektris transkutan(TENS), distraksi, akupuntur, umpan balik
biologis, masase, hipnosis, relaksasi, dan imajinasi terbimbing atau guided
imagery (Andarmoyo, 2013: 84).
Menurut Hart (2008) dalam Mariyam dan Widodo (2012: 229),Guided
imageryadalah suatu teknik yang memanfaatkan cerita atau narasi untuk
mempengaruhi pikiran, sering dikombinasi dengan latar belakang musik.
Mekanisme imajinasi positif dapat melemahkan psikoneuroimmunologiyang
mempengaruhi respon stres, melepaskan endorphin yang melemahkan respon
rasa sakit,dan mengurangi rasa sakit atau meningkatkan ambang nyeri.Hasil
penelitian tentang penggunaan audio recordedguided imagery therapyefektif
dalam mengurangi nyeri abdominal fungsional pada anak (Anggraini, 2012).
Hasil pengelolaan asuhan keperawatan pada An. L dengan DHF Grade II
yang sudah dilakukan penulisdi bangsal Melati 2, Rumah Sakit Dr. Moewardi
3
Surakarta pada An.L mengalami nyeri pada perut, nyeri diperberat setelah
makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri di ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang
timbul, ekspresi wajah tampak nyengir dan menunjukkan lokasi yang
sakit.Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk menyusun
karya tulis ilmiah dengan aplikasi riset yang berjudul “ Pemberian Audio
Visual RecordedGuided Imagery Therapyterhadap Penurunan IntensitasNyeri
pada Asuhan Keperawatan An. L dengan Dengue Haemorragic Fever di
Ruang Melati 2 Rumah Sakit Dr.Moewardi Surakarta.”
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Melaporkanpengaruh pemberianaudio visual recordedguided
imagery therapyterhadap penurunanintensitas nyeri pada An. L dengan
Dengue Haemorragic Feverdi Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.
2. Tujuan Khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada An. L dengan Dengue
Haemorragic Fever (DHF).
b. Penulis mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada An. L dengan
Dengue Haemorragic Fever (DHF).
c. Penulis mampu menyusun rencana Asuhan Keperawatan pada An. L
Dengue Haemorragic Fever (DHF).
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada An. L dengan Dengue
Haemorragic Fever (DHF).
4
e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada An. L dengan Dengue
Haemorragic Fever (DHF).
f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberianpemberian audio visual
recorded guided imagery therapy terhadap penurunan intensitas nyeri
pada asuhan keperawatan An. L dengan Dengue Haemorragic Fever
(DHF).
C. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Sebagai tambahan informasi, ilmu pengetahuan dan pengalaman
tentang efektifitas pemberian guided imagery therapy terhadap nyeri
pasien dengan Dengue Haemorragic Fever (DHF).
2. Bagi Perawat
Sebagai tambahan referensi untuk meningkatkan mutu pelayanan
asuhan keperawatann secara mandiri pada pasien dengan Dengue
Haemorragic Fever (DHF) dengan terapi nonfarmakologi guided imagery
therapy.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai salah satu wacana dan tambahan informasi tentang salah
satu tindakan mandiri perawat dalam pemberian terapi nonfarmakologi
untuk mengatasi nyeri dengan guided imagery therapy yang bisa
diaplikasikan di rumah sakit.
5
4. Bagi Masyarakat
Sebagai tambahan informasi pada masyarakat luas tentang cara
mengurangi nyeri pada anak dengan manajemen nyeri nonfarmakologi
guided imagery therapy yang bisadiaplikasikan secara mandiri, efektif
dan efisien.
6
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Dengue Haemorragic Fever (DHF)
1. Konsep Penyakit
a. Definisi
Dengue Haemorragic Fever (DHF) atau demam berdarah dengue
adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan
ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (Nursalam et al., 2005:
159).
Demam berdarah dengue (DBD) didefinisikan sebagai penyakit
demam akut yang disebabkan oleh salah satu dari empat serotipe virus
dari genus Flavivirus dikenal dengan nama virus dengue (Novel, 2011:
6).
Demam berdarah dengue adalah suatu penyakit yang disebabkan
oleh virus dengue (arbovirus) yang masuk ke dalam tubuh melalui gigitan
nyamuk Aedes Aegypti (Suriadi dan Yuliani, 2010: 57).
b. Klasifikasi DHF
Menurut Firdaus (2011: 47), DHF dapat diklasifikasikan menjadi
empat tingkatan, yaitu :
a. Derajat I
Pada derajat I terjadi demam diikuti gejala yang spesifik. Satu-
satunya cara untuk mengetahui manifestasi pendarahan adalah melalui
7
tes tourniquet yang menunjukkan hasil positif atau kulit mudah
memar.
b. Derajat II
Setelah yang ada pada tingkat I, kemudian berlanjut pada
peristiwa perdarahan spontan yang timbul pada kulit atau tempat lain.
c. Derajat III
Pada derajat ini terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai oleh
denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah,
kulit yang lembab, dan penderita gelisah.
d. Derajat IV
Pada derajat IV penderita akan mengalami syok berat dengan
nadi yang tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diperiksa. Fase
kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam. Setelah
penderita DHF mengalami demam selama 2 – 7 hari, penurunan suhu
biasanya disertai tanda-tanda gangguan sirkulasi darah, seperti
berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin, serta mengalami
perubahan tekanan darah ataupun denyut nadi.
c. Etiologi
Dengue haemorragic fever (DHF) disebabkan oleh virus dengue
(Firdaus, 2011). Virus dengue terbagi menjadi 4 serotipe yang termasuk
dalam grup B dari artropedi borne viruses(arboviruses) yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. DEN-2 dan DEN-3 merupakan serotipe
yang menjadi penyebab terbanyak (Nursalam et al., 2005: 160).
8
d. Manifestasi Klinis
Menurut Firdaus (2011: 46),manifestasi klinis dari penyakit
demam berdarah dengue antara lain :
1) Perdarahan pada hidung, mulut, gusi, atau memar pada kulit.
2) Muntah secara terus-menerus, terkadang disertai dengan darah.
3) Kotoran feces yang berwarna kehitaman, akibat terjadinya pendarahan
pada organ dalam.
4) Rasa haus yang berlebihan.
5) Kulit pucat dan dingin.
6) Penurunan kesadaran ataupun mengantuk.
7) Demam tinggi mendadak, disertai nyeri kepala, nyeri pada bagian
kepala belakang bola mata, terkadang juga nyeri perut.
8) Tidak disertai dengan batuk atau sakit pada tenggorokan.
9) Trombositdan leukosit turun (kurang dari 100.000).
10) Terjadi peningkatan hematokrit (naik 20 % dari jumlah normal).
11) Terjadi perembesan plasma, sehingga jika semakin bocor dapat
menyebabkan syok.
12) Terkadang demam bisa mencapai 40� C - 41� C dan terjadi kejang
demam pada bayi.
e. Patofisiologi
Infeksi oleh salah satu serotipe dari virus dengue menimbulkan
antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan, tetapi tidak ada
perlindungan terhadap serotipe lain. Mekanisme mengenai patofisiologi,
9
hemodinamika, dan biokimia DHF hingga saat ini belum diketahui secara
pasti. Patofisiologi utama yang menentukakan beratnya penyakit adalah
meningkatnya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya
volume plasma serta terjadinya hipotensi trombositopeni, dan diastesis
haemorragic. Pada kasus berat, renjatan terjadi secara akut dan nilai
hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui
endotel dinding pembuluh darah. Renjatan terjadi sebagai akibat dari
kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler melalui kapiler yang rusak,
sehingga mengakibatkan menurunya volume plasma dan meningkatnya
nilai hematokrit(Nursalam et al., 2005: 159).Hilangnya plasma dapat
mengakibatkan hipovolemik(Suriadi dan Yuliani, 2010: 57).
Trombositopenia yang hebat, gangguan fungsi trombosit, dan
kelainan fungsi koagulasi (protrombin, faktor V, VII, IX, X dan
fibrinogen) merupakan penyebab utama terjadinya perdarahan hebat,
terutama perdarahan saluran gastrointestinal (Suriadi dan Yuliani, 2010:
57). Perdarahan kulit umumnya disebabkan oleh faktor kapiler dan
trombositopeni, sedangkan perdarahan masif disebabkan oleh kelainan
yang lebih kompleks, yaitu trombositopeni, gangguan faktor pembekuan,
dll.
Menurut Sugianto D (1994) dalam Soegijanto (2012: 81),
trombositopenia pada penderita DHF diduga terjadi akibat peningkatan
destruksi terombosit oleh sistem retikuloendothelial, agregasi trombosit,
akibat endotel vaskuler yang rusak serta penurunan produksi trombosit
10
oleh sumsum tulang. Patogenesis DHF berkaitan dengan sistem
komplemen, yaitu sistem dalam sirkulasi darah yang terdiri dari 11
komponen protein dengan bentuk tidak aktif dan labil terhadap panas.
Sebagai reaksi terhadap infeksi, terjadi aktivasi komplemen sehingga
dilepaskan anafilaktoksin C3 dan C5a yang mampu membebaskan
histamin sebagai mediator kuat dalam peningkatan permeabilitas dinding
pembuluh darah dan berperan dalam renjatan (Nursalam et al., 2005:
159).
f. Penatalaksanaan
Menurut Nugroho (2011: 63), terapi pada penderita DHF antara lain :
1) Tanpa Renjatan
a) Minum banyak 1,2 – 2 liter per hari.
b) Bila muntah terus dipasang IVFD.
c) Antipiretik
d) Antikonvulsi untuk kejang demam
2) Dengan Renjatan
a) IVFD
b) Plasma ekspander
c) Pemberian komponen darah
d) Oksigen
e) Koresi basa bila asidosis
f) Evaluasi keadaan umum, tanda vital, perdarahan, deurisis,
hemoglobin, hematokrit, trombosit.
11
Menurut Firdaus (2011: 54), tahap penanganan pasien dengan
demam dengue dan demam berdarah dengue difasilitas kesehatan antara
lain :
a. Jika penderita mengalami dehidrasi yang signifikan (> 10 % berat
badan normal), maka diperlukan segera diberikan penggantian cairan
secara intravena. Contoh cairan pengganti yang bisa diberikan adalah
ringer laktat atau ringer asetat, larutan garam fisiologis dan glukosa 5
%, serta plasma dan plasma substitute.
b. Pemberian cairan pengganti harus diawasi selama 24-48 jam dan
dihentikan setelah penderita terrehidrasi, yang ditandai dengan jumlah
urin yang cukup, denyut nadi yang kuat, dan perbaikan tekanan darah.
Infus juga harus diberikan bila kadar hematokrit turun sampai 40%.
c. Bila pemberian cairan intravena diteruskan setelah tanda-tanda
tersebut tercapai, maka akan terjadi overhidrasi, sehingga jumlah
cairan dalam pembuluh darah menjadi berlebih dan dapat
mengakibatkan edema paru-paru ataupun gagal jantung.
d. Oksigen diberikan pada penderita dalam keadaan syok.
e. Transfusi darah hanya diberikan pada penderita dengan tanda-tanda
perdarahan yang signifikan (Firdaus, 2011: 54).
g. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Nursalam et al.(2005:163),pada pemeriksaan darah
pasien DHF akan ditemukan :
1) Hemoglobin dan PCV meningkat (≥ 20 %).
12
2) Trombositopenia (≤ 100.000/ml).
3) Leukopenia (mungkin normal atau leukositosis).
4) Ig. D dengue positif.
5) Hasil pemeriksaaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia,
hipokloremia, dan hiponatremia.
6) Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
7) Asidosis metabolik : pCO�< 35 – 45 mmHg, dan HCO rendah.
8) SGOT atau SGPT mungkin meningkat.
h. Komplikasi
Menurut Soedarto (2012: 94), komplikasi yang terjadi pada penderita
demam berdarah dengue antara lain:
1) Komplikasi susunan saraf pusat
Komplikasi pada SSP dapat berbentuk konvulsi, kaku kuduk,
perubahan kesadaran dan paresis. Kejang-kejang kadang terlihat
waktu fase demam pada bayi. Keadaan ini mungkin akibat tingginya
demam, karena pada pemeriksaan cairan cerebrospinal tidak terjadi
kelainan.
2) Ensefalopati
Komplikasi neurologik ini terjadi akibat pemberian cairan hipotonik
yang berlebihan pada waktu dilakukan pengobatan, penderita
mengalami hiponatremia. Selain itu ensefalopati juga dapat
disebabkan oleh terjadinya koagulasi intravskuler.
13
3) Infeksi
Pneumonia, sepsis atau flebitis akibat pencemaran bakteri Gram-
negatif pada alat-alat yang digunakan pada waktu pengobatan,
misalnya pada waktu tranfusi atau pemberian cairan infus.
4) Overhidrasi
Pemberian cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
gagal pernapasan maupun gagal jantung.
5) Gagal hati
Komplikasi gagal hati biasanya dijumpai bersama terjadinya
ensefalopati.
2. Konsep Asuhan Keperawatan
Menurut Yura (1983) dalam Setiadi (2012: 1), proses keperawatan
adalah tindakan yang berurutan yang dilakukan secara sistemik untuk
menentukan masalah klien dengan membuat perencanaan untuk
mengatasinya, melaksanakan rencana itu atau menugaskan orang lain untuk
melaksanakannya dan mengevaluasi keberhasilan secara efektif terhadap
masalah yang diatasinya tersebut.
Proses keperawatan profesional di Indonesia menurut PPNI (2000)
dalam Setiadi (2012: 4), terdiri dari 5 standart yaitu pengkajian, diagnosis
keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi.
14
a. Pengkajian
Menurut Lyer et al. (1996) dalam Setiadi (2012: 10), pengkajian
adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam pengumpulan data
dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi
status kesehatan klien.
Menurut Nursalam et al. (2005:163), fokus pengkajian pada pasien
DHF antara lain :
1) Identitas pasien
Nama, umur (pada DHF sering menyerang anak-anak dengan usia
kurang dari 15 tahun), jenis kelamin, alamat, pendidikan, nama orang
tua, pendidikan orang tua, dan pekerjaan orang tua.
2) Keluhan utama
Alasan atau keluhan yang menonjol pada pasien DHF untuk datang ke
Rumah Sakit adalah panas tinggi dan anak lemah.
3) Riwayat peyakit sekarang
Didapatkan adanya keluhan panas mendadak yang disertai menggigil
dan saat demam kesadaran composmentis. Turunnya panas terjadi
antara hari ke-3 dan ke-7, dan anak semakin lemah. Kadang-kadang
disertai dengan keluhan batuk, pilek, nyeri telan, mual, muntah,
anoreksia, diare atau konstipasi, sakit kepala, nyeri otot dan
persendian, nyeri ulu hati dan pergerakan bola mata terasa pegal, serta
adanya manifestasi perdarahan pada kulit, gusi (grade III, IV),
melena, atau hematemesis.
15
4) Riwayat penyakit yang pernah diderita
Penyakit apa saja yang pernah diderita. Pada DHF, anak biasanya
mengalami serangan ulang DHF dengan tipe virus yang lain.
5) Riwayat imunisasi
Apabila anak mempunyai kekebalan yang baik, maka kemungkinan
timbulnya komplikasi dapat dihindarkan.
6) Riwayat gizi
Status gizi anak yang menderita DHF dapat bervariasi. Semua anak
dengan status gizi baik maupun buruk dapat beresiko, apabila terdapat
faktor presdiposisinya. Anak yang menderita DHF sering mengalami
keluhan mual, muntah, dan nafsu makan menurun. Apabila kondisi ini
berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhan nutrisi yang
mencukupi, maka anak dapat mengalami penurunan berat badan
sehingga status gizinya menjadi kurang.
7) Kondisi lingkungan
Sering terjadi di daerah yang padat penduduknya dan lingkungan yang
kurang bersih (seperti air yang menggenang, dan gantungan baju di
kamar).
8) Pola Kebiasaan
a) Nutrisi dan metabolisme: frekuensi, jenis, pantangan, nafsu makan
berkurang, dan nafsu makan menurun.
16
b) Eliminasi alvi (buang air besar): kadang-kadang anak mengalami
diare maupun konstipasi. Sementara DHF grade III-IV bisa terjadi
melena.
c) Eliminasi urin ( buang air kecil): perlu dikaji apakah sering
kencing, sedikit atau banyak, sakit atau tidak. Pada DHF grade IV
sering terjadi hematuria.
d) Tidur dan istirahat : anak sering mengalami kurang tidur karena
mengalami sakit atau nyeri otot dan persendian, sehingga
kuantitas dan kualitas tidur kurang.
e) Kebersihan : upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan
lingkungan cenderung kurang, terutama untuk membersihkan
tempat sarang nyamuk Aedes Aegypti.
f) Perilaku dan tanggapan bila ada keluarga yang sakit serta upaya
untuk menjaga kesehatan.
9) Pemeriksaaan fisik
Pemeriksaaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi
dari ujung rambut sampai ujung kaki. Berdasarkan tingkatan (grade)
DHF, keadaan fisik anak adalah sebagai berikut :
a) Grade I : kesadaran composmentis, keadaan umum lemah, tanda-
tanda vital dan nadi lemah.
b) Grade II : kesadaran composmentis, keadaan umum lemah, ada
perdarahan spontan ptekie, perdarahan gusi dan telinga, serta nadi
lemah, kecil dan tidak teratur.
17
c) Grade III : kesadaran apatis,somnolen, keadaan umum lemah,
nadi lemah kecil, dan tidak teratur, serta tensi menurun.
d) Grade IV : kesadaran koma, tanda-tanda vital : nadi tidak teraba,
tensi tidak terukur, pernapasan tidak teratur, ekstremitas dingin,
berkeringat, dan kulit tampak biru.
10) Sistem integumen
a) Adanya ptekie pada kulit, turgor kulit menurun, dan muncul
keringat dingin, serta lembab.
b) Kuku sianosis atau tidak.
c) Kepala dan leher
Kepala terasa nyeri, muka tampak kemerahan karena demam
(flusy), mata anemis, hidung kadang mengalami perdarahan
(epistaksis), pada grade II, III, IV. Pada mulut didapatkan bahwa
mukosa mulut kering, terjadi perdarahan gusi dan nyeri telan.
Tenggorokan mengalami hyperemia pharing dan terjadi
perdarahan telinga (pada grade II, III, IV).
d) Dada
Bentuk simetris dan kadang-kadang terasa sesak. Pada foto
thoraxterdapat adanya cairan yang tertimbun pada paru sebelah
kanan (efusi pleura), rales positif, ronchi positif yang biasanya
terdapat pada grade III dan IV.
18
e) Abdomen
Mengalami nyeri tekan, pembesaran hati (hepatomegali), dan
ascites.
f) Ekstremitas
Akral dingin, serta nyeri otot, sendi, dan tulang.
11) Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan darah pasien DHF akan ditemukan :
a) Hemoglobin dan PCV meningkat (≥ 20 %).
b) Trombositopenia (≤ 100.000/ml).
c) Leukopenia (mungkin normal atau leukositosis).
d) Ig. D dengue positif.
e) Hasil pemeriksaan kimia darah menunjukkan hipoproteinemia,
hipokloremia, dan hiponatremia.
f) Ureum dan pH darah mungkin meningkat.
g) Asidosis metabolik : pCO�< 35 – 45 mmHg, dan HCO rendah.
h) SGOT atau SGPT mungkin meningkat.
b. Diagnosa Keperawatan
Menurut Herdman et al. (2011) dalam Setiadi (2012: 33), diagnosa
keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon individu, keluarga,
dan masyarakat tentang masalah kesehatan, sebagai dasar seleksi
intervensi keperawatan untuk mencapai tujuan asuhan keperawatan sesuai
dengan kewenangan perawat. Diagnosa keperawatan biasanya terdiri dari
19
tiga komponen yaitu respon manusia (masalah), faktor yang berhubungan,
tanda dan gejala.
Langkah-langkah menentukan diagnosa keperawatan dapat
dibedakan menjadi empat, yaitu klasifikasi dan analisis data, interpretasi
data, validasi data, dan perumusan diagnosa keperawatan (Setiadi, 2012:
37). Menurut Nurarif dan Hardi (2013), diagnosa yang muncul pada
pasien DHF antara lain :
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis (viremia).
b. Hipertermia berhubungan dengan penyakit (proses infeksi virus
dengue).
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif (pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler).
d. Resiko syok berhubungan dengan hipovolemia.
e. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan
yang menurun.
f. Resiko perdarahan berhubungan dengan koagulopati inheren
(trombositopeni).
c. Intervensi
Perencanaan adalah suatu proses didalam pemecahan masalah
yang merupakan keputusan awal tentang sesuatu, apa yang akan
dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan dilakukan, siapa yang melakukan
dari semua tindakan keperawatan (Dermawan, 2012: 84).
20
Proses perencanaan antara lain, membuat tujuan dan penetapan
kriteria hasil, memilih intervensi, dan membuat rasionalisasi dari
intervensi yang dipilih. Penetapan tujuan dan kriteria hasil berdasarkan
pada SMART (spesifik, measurable, achievable, rasional, time)
(Dermawan, 2012: 84).
Perencanaan asuhan keperawatan pada pasien dengan DHF antara lain :
1) Nyeri akut berhubungan dengan age cidera biologis (viremia).
a) NOC :
(1) Pain Level,
(2) Pain control,
(3) Comfort level
b) Kriteria hasil :
(1) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan).
(2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri.
(3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri).
(4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
21
c) NIC :
(1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk
lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor
presipitasi.
(2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
(3) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi.
(4) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan
dukungan.
(5) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan .
(6) Kurangi faktor presipitasi nyeri.
(7) Tingkatkan istirahat.
(8) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non
farmokologi dan inter personal).
(9) Ajarkan tentang teknik non farmokologi.
(10) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
(11) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil.
2) Hipertermia berhubungan dengan penyakit (proses infeksi virus
dengue).
a) NOC: Termoregulation
b) Kriteria hasil :
(1) Suhu tubuh dalam rentang normal (36,5 – 37,5�C).
22
(2) Nadi dan Respiratory Rate dalam rentang normal (nadi 70-120
x/menit, RR : 18-30 x/menit).
(3) Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing.
c) NIC :
(1) Monitor suhu sesering mungkin.
(2) Monitor warna dan suhu kulit.
(3) Monitor tekanan darah, nadi, dan respiratory rate.
(4) Berikan antipiretik.
(5) Lakukan tapid sponge.
(6) Kompres pasien pada lipat paha dan aksila.
(7) Diskusikan tentang pentingnya pengaturan suhu dan
kemungkinan efek negative dari kedinginan.
(8) Beritahukan tentang indikasi terjadinya keletihan dan
penanganan emergency yang dilakukan.
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif (pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler).
a) NOC :
(1) Fluid balance
(2) Hydration
b) Kriteria hasil :
(1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia, berat badan,
berat jenis urin, hematokrit normal (35-45%).
23
(2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal (Tekanan
darah: 110/82 mmHg, nadi: 70-120 kali per menit, suhu
(36,5 – 37,5�C)).
(3) Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitasturgor kulit baik,
membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang
berlebihan.
c) NIC :
(1) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi
adekuat, tekanan darah ortostatik), jika diperlukan.
(2) Monitor vital sign.
(3) Monitor masukan makanan atau cairan dan hitung intake
kalori harian.
(4) Dorong masukan oral.
(5) Kolaborasi pemberian cairan intravena.
4) Resiko syok berhubungan dengan hipovolemia
a) NOC :
(1) Syok prevention
(2) Syok managemen
b) Kriteria hasil :
(1) Nadi dalam batas yang diharapkan (70-120 x/menit).
(2) Frekuensi nafas dalam batas yang diharapkan (18-30 x/menit).
(3) Tekanan darah dalam batas normal (systolik : 80-110 mmHg,
diastolik : 55-82 mmHg).
24
(4) Hematokrit dalam batas normal (35-45%).
c) NIC :
(1) Monitor suhu dan pernafasan.
(2) Monitor tanda awal syok.
(3) Berikan cairan intravena atau oral yang tepat.
(4) Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan gejala
datangnya syok.
5) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat mual dan nafsu makan
yang menurun.
a) NOC :
(1) Nutritional status
(2) Nutrional Status food and Fluid Intake
(3) Nutrional Status nutrient Intake
(4) Weigh control
b) Kriteria Hasil :
(1) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan.
(2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan.
(3) Mempumengidentifikasi kebutuhan nutrisi.
(4) Tidak ada tanda tanda malnutrisi.
(5) Menunjukan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan.
(6) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti.
25
c) NIC :
(1) Kaji adanya alergi makanan.
(2) Monitor kalori dan intake nutrisi.
(3) Monitor adanya penurunan berat badan.
(4) Monitor mual dan muntah.
(5) Monitor kadar albumin; total protein, Hemoglobin, dan kadar
Hematokrit.
(6) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vitamin C
(7) Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan
ahli gizi)
(8) Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
(9) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan nutrisi yang di butuhkan pasien
6) Resiko perdarahan berhubungan dengan Koagulopati inheren
(trombositopenia).
a) NOC :
(1) Blood lose severity
(2) Blood coagulation
b) Kriteria hasil :
(1) Tidak ada hematuria dan hematemesis.
(2) Kehilangan darah yang terlihat.
(3) Tekanan darah dalam batas normal (sistolik : 80-110 mmHg,
diastolik : 55-82 mmHg)
26
(4) Tidak ada perdarahan pervagiana.
(5) Hemoglobin dan hematokrit dalam batas normal (Hemoglobin:
10-16 gr/dl, Hematokrit: 53-45 %).
c) NIC :
(1) Monitor ketat tanda-tanda pendarahan.
(2) Monitor nilai laboratorium atau koagulasi yang meliputi: PT,
PTT, trombosit.
(3) Pertahankan bedrest selama perdarahan aktif.
(4) Lindungi pasien dari trauma yang dapat mengakibatkan
perdarahan.
(5) Kolaborasi pemberian cairan intravena.
d. Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Ada tiga tahap
dalam tindakan keperawatan, yaitu tahap persiapan, tahap intervensi dan
tahap dokumentasi (Setiadi, 2012: 54).
Implementasi perencanaan berupa penyelesaian tindakan yang
diperlukan untuk memenuhi, kriteria hasil seperti yang digambarkan
dalam rencana tindakan. Tindakan dapat dilaksanakan oleh perawat,
klien, anggota keluarga, anggota tim kesehatan lain, atau kombinasi dari
yang disebutkan diatas (Dermawan, 2012: 118).
27
e. Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana,
tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan
dengan cara bersinambungan dengan melibatkan klien, keluarga, dan
tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk melihat
kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan
kriteria hasil pada tahap perencanaan (Setiadi, 2012: 57)
Evaluasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu : evaluasi berjalan
(formatif) dan evaluasi akhir (sumatif). Evaluasi berjalan (formatif),
adalah evaluasi yang dikerjakan dalam bentuk pengisisan format catatan
perkembangan dengan berorientasi kepada masalah yang dialami oleh
klien. Format yang dipakai adalah SOAP (data subyektif, data obyektif,
analisis, dan perencanaan). Evaluasi akhir (sumatif) merupakan evaluasi
yang dikerjakan dengan cara membandingkan antara tujuan yang akan
dicapai. Format yang dipakai adalah format SOAPIER (data subyektif,
data obyektif, analisis, perencanaan, implementasi, evaluasi,
reassessment) (Setiadi, 2012: 60).
B. Terapi Guided Imagery
1. Definisi
Menurut Hart (2008) dalam Mariyam dan Widodo (2012: 229),
Guided imagery adalah suatu teknik yang memanfaatkan cerita atau narasi
28
untuk mempengaruhi pikiran, sering dikombinasi dengan latar belakang
musik.
Smeltzer dan Bare (2002) dalam Andarmoyo (2013: 90), Imajinasi
terbimbing atau guided imagery merupakan manajemen nyeri non
farmakologi yang menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang
dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu.
2. Jenis
Menurut Andarmoyo (2013: 87) distraksi ada dua jenis,yaitu :
a. Distraksi visual atau penglihatan
Distraksi visual atau penglihatan adalah pengalihan perhatian selain
nyeri yang diarahkan kedalam tindakan-tindakan visual atau melalui
pengamatan. Misalnya melihat pertandingan olahraga, menonton televisi,
membaca koran, melihat pemandangan/gambar yang indah.
b. Distraksi Audio atau Pendengaran
Pengalihan perhatian selama nyeri yang diarahkan ke dalam
tindakan-tindakan melalui organ pendengaran. Misalnya, mendengarkan
kicauan burung, gemercik air, musik yang disukai.
3. Mekanisme Guided Imagery
Menurut Jacobson (2006) dalam Mariyam dan Widodo (2012: 233),
mekanisme guided imagery dapat melemahkan psikoneuroimunologi yang
mempengaruhi respon stres, dan berkaitan dengan teori Gate Control yang
menyatakan bahwa hanya satu impuls saja yang dapat berjalan sampai
sumsum tulang ke otak pada satu waktu, dan jika impuls ini diisi dengan
29
pikiran lain maka sensasi rasa sakit tidak dapat dikirim ke otak oleh karena
itu rasa sakit berkurang.
4. Standart Operasional Prosedur Guided Imagery
Menurut Kusayati (2006: 197), standart operasional prosedur guided imagery
atau imajinasi terbimbing sebagai berikut:
1. Bina hubungan saling percaya
2. Jelaskan prosedur: tujuan, posisi, waktu, dan peran perawat sebagai
pembimbing.
3. Anjurkan klien mencari posisi yang nyaman menurut klien.
4. Duduk dengan klien tetapi tidak mengganggu.
5. Lakukan pembimbingan dengan baik terhadap klien.
6. Minta klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau
pengalaman yang membantu penggunaan semua indra dengn suara yang
lembut.
a. Ketika klien rileks, klien berfokus pada bayangannya dan saat itu
perawat tidak perlu bicara lagi.
b. Jika klien menunjukkan gejala agitasi atau tidak nyaman, perawat
harus menghentikan latihan dan memulainya lagi ketika klien telah
siap.
c. Relaksasi akan mengenai seluruh tubuh. Setelah 15 menit, klien harus
memperhatikan tubuhnya, lalu catat daerah yng tegang dan daerah ini
akan digantikan dengan relaksasi. Biasanya klien rileks setelah
30
menutup mata atau mendengarkan musik yang lembut sebagai
background yang membantu.
d. Catat hal-hal yang digambarkan klien dalam pikiran untuk digunakan
pada latihan selanjutnya dengan menggunakan informasi spesifik
yang diberikan klien dan tidak membuat perubahan pernyataan klien.
C. Nyeri
1. Definisi
Nyeri merupakan suatu bentuk ketidaknyamanan yang dapat
disebabkan oleh banyak hal, seperti efek dari penyakit atau akibat dari suatu
cidera (Andarmoyo, 2013: 7).
Menurut Smeltzer and Bare (2002) dalam Judha et al. (2012: 1), nyeri
adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat
kerusakan jaringan yang aktual dan potensial.
2. Klasifikasi
Menurut Andarmoyo (2013: 36), nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan
durasinya menjadi dua ,yaitu :
a. Nyeri Akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cidera akut, penyakit,
atau intervensi bedah dan memiliki awitan yang cepat, dengan intensitas
yang bervariasi (ringan sampai berat) dan berlangsung untuk waktu
singkat ( Minhart dan Mc Cattery, 1983: NIH, 1986 dalam Smeltzer, 2002
dalam Andarmoyo, 2013).
31
b. Nyeri Kronik
Menurut McCaffery (1986) dalam Potter dan Pery (2005) dalam
Andarmoyo (2013: 37), nyeri kronik adalah nyeri konstan atau
intermitten yang menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri kronik
berlangsung lama, intensitas yang bervariasi, dan biasanya berlangsung
lebih dari 6 bulan.
3. Skala atau Pengukuran Nyeri
Menurut Judha et al. (2012: 35), skala nyeri dapat diukur dengan
menggunakan beberapa skala, antara lain :
a. Skala deskripsi intensitas nyeri sederhana
Gambar 2.1
Skala Deskripsi Intensitas Nyeri Sederhana
b. Skala peringkat nyeri secara verbal
0 = no pain 0 = no pain
10 = worst possible pain 100 = worst possible pain
c. Skala intensitas nyeri numerik
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
No Pain Moderate pain Worst
Possible pain
Gambar 2.2
Skala Intensitas Nyeri Numerik
Tidak
Nyeri
Nyeri
Ringan
Nyeri
Sedang
Nyeri
Hebat
Nyeri
Sangat
Nyeri
Tidak Terkontrol
32
d. Skala Analog Visual (VAS)
No Pain Pain as bed as
it could possibly be
Gambar 2.3
Skala Analog Visual
e. Skala nyeri muka (Wong Baker Facial Gremace)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
No mild moderate moderate severe worst
Pain pain pain pain pain pain
possible
Gambar 2.4
Skala Nyeri Muka(Wong Baker Facial Gremace)
4. Strategi penatalaksanaan nyeri
Menurut Andarmoyo (2013: 84), strategi penatalaksanaan nyeri adalah
suatu tindakan untuk mengurangi nyeri yang terbagi menjadi dua yaitu :
a. Strategi penatalaksanaan nyeri non farmakologis
1) Bimbingan antisipasi
2) Terapi es dan panas atau kompres panas dingin
3) Stimulasi saraf elektris transkutan atau TENS (trancutaneous
electrical nerve stimulation)
4) Distraksi
5) Relaksasi
33
6) Imajinasi terbimbing atau guided imagery
7) Hipnosis
8) Akupuntur
9) Umpan balik biologis
10) Masase
b. Strategi penatalaksanaan nyeri farmakologis
Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi
nyeri. Ada tiga jenis analgesik yaitu non narkotik dan obat anti inflamasi
nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik atau opiat, dan obat tambahan.
34
BAB III
LAPORAN KASUS
Pada bab ini berisi tentang laporan asuhan keperawatan yang dilakukan
pada An. L dengan demam berdarah dengue grade II selama 2 hari mulai tanggal
10 – 11 April 2014 di bangsal Melati 2 Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta.
Adapun laporan kasus yang akan dikemukakan pada bab ini adalah proses
keperawatan yang meliputi, pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi
keperawatan, implementasi keperawatan dan evaluasi keperawatan.
A. Pengkajian
1. Identitas klien
Klien bernama An. L, tanggal lahir 6 September 2005, An. L
berumur 8 tahun 7 bulan, orang tua An. L bernama Tn. M berusia 37
tahun, pendidikan terakhir SD memiliki pekerjaan swasta yang bertempat
tinggal di Kalijambe Boyolali. Hubungan dengan klien adalah seorang
ayah. An. L masuk rumah sakit Dr. Moewardi pada tanggal 9 April 2014
jam 00.31 dengan diagnosa medis DHF grade II. Pengkajian pada An.L
dilakukan pada tanggal 10 April 2014 pukul 13.00 WIB dengan
menggunakan metode alloanamnesa dan autoanamnesa.
2. Riwayat kesehatan klien
An . L masuk kerumah sakit dengan keluhan utama lemas. Pada
tanggal 3 April 2014 An. L mengeluh badannya panas, kemudian oleh
orang tuanya diperiksakan ke Puskesmas Kalijambe, oleh dokter yang
35
memeriksa An. L didiagnosa demam typoid. An. L diberi obat 2 macam
oleh dokter (orang tua tidak tahu nama obatnya apa) dan yang satu lagi
diberi obat penurun panas. Demamnya bisa turun kalau diberi obat
penurun panas saja.
Pada tanggal 5 April 2014, An. L mengatakan badanya lemas,
tidak demam, kemudian oleh orang tuanya diperiksakan lagi ke RSUD
Gemolong, di rumah sakit pasien dirawat inap dan dilakukan pemeriksaan
laboratorium didapatkan hasil trombositnya menurun, kemudian An. L
dirujuk ke rumah sakit swasta, karena rumah sakit swasta penuh kemudian
An. L dirujuk ke rumah sakit Dr. Moewardi. Saat di IGD RSDM An. L
mimisan kurang lebih ½ cc, kemudian dilakukan pemeriksaan tanda-tanda
vital didapatkan nadi 72 kali per menit, suhu 36,5� C, tekanan darah
100/70 mmHg, respirtoryi rate 24 kali per menit. Oleh dokter dianjurkan
untuk rawat inap dan diberi terapi infus RL 140 cc per jam, diit tinggi
kalori tinggi protein 200 kilo kalori per hari, paracetamol 500 mg,
kemudian An. L dipindah ke bangsal Melati 2.
Pada riwayat penyakit sebelumya, saat An. L berumur 2 tahun
pernah di opname di RSUD Gemolong kurang lebih 1 minggu karena
diare. An. L tidak memiliki riwayat alergi makanan maupun obat-obatan.
Keluarga An. L juga mengatakan imunisasi dasar pada An. L lengkap
sesuai jadwal imunisasi.
36
Gambar 3.1
Genogram An. L
Keterangan :
: laki-laki : tinggal serumah
: perempuan : garis keturunan
: meninggal : garis perkawinan
: pasien
Dikeluarga An. L tidak ada riwayat penyakit menurun dianggota
keluarganya seperti darah tinggi (hipertensi), penyakit gula (diabetes
melitus), serta penyakit yang menular lainnya seperti penyakit kulit.
Pada waktu lahir An. L memiliki berat lahir 2800 gram, berat badan
sekarang 16 kilogram, sebelum sakit 18 kilogram, dengan tinggi badan
122 centimeter, lingkar kepala 51 centimeter, lingkar dada 54 centimeter,
dan lingkar lengan atas 16 centimeter. Hasil pengukuran z-score WAZ
didapatkan hasil -2,73 yang termasuk kategori status gizi kurang, pada
intepretasi NCHS HAZ hasilnya -1,23 dalam kategori normal, sedangkan
An. L
37
pada perhitungan IMT didapatkan hasil 10,73 dengan kategori berat badan
kurang.
Sebelum sakit pasien mengatakan makan 3 kali per hari, makan
teratur, dengan porsi cukup, habis satu porsi makan, makan dengan nasi,
lauk sayur, tidak ada keluhan mual muntah, minum kurang lebih 6-7 gelas
kecil sehari, minum air putih dan teh. Selama sakit pasien dan keluarga
mengatakan makan 3 kali sehari menghabiskan 1/3 porsi makan yang
disediakan rumah sakit, makan dengan nasi, lauk, sayur, tidak mual
muntah, minum 5-6 kali sehari masing-masing 1/3 gelas kecil, minum air
putih dan teh hangat.
Sebelum sakit pasien mengatakan buang air besar kurang lebih 1-2
kali sehari, feces lunak, tidak ada darah, bau khas tinja, warna kuning,
buang air kecil kurang lebih 4-5 kali sehari, warna kuning, jernih, bau
khas, tidak sakit saat buang air kecil. Selama sakit pasien mengatakan 2
hari belum bisa buang air besar dengan lancar, hanya sedikit (untuk
pemeriksaan laboratorium), warna kuning bau khas tinja, tidak ada darah,
feces lembek, buang air kecil 5-6 kali sehari, warna kuning jernih, bau
khas, tidak sakit saat buang air kecil, tidak ada darah, perasaan lega setelah
berkemih.
Kebutuhan cairan perhari pada An. L yaitu 1800 cc dalam satu hari.
Pada pengkajian balance cairan pada tanggal 10 April 2014 jam 13.00
sampai tanggal 11 April 2013 jam 13.00 WIB, didapatkan data minum
pasien 500 cc, infus 650 cc, makan 150 cc dengan total input 1300 cc, urin
38
348 cc, feces 200 cc, IWL 336 cc, muntah 200 cc dengan total output 1120
cc, sehingga dianalisa balance cairan pada An. L 1300 cc – 1120 = + 180
cc.
Saat dilakukan pengkajian pasien dapat berbicara dengan lancar,
tidak ada gangguan pendengaran. Pada pengkajian kognitif dan perceptual,
pada nyeri pasien didapatkan hasil, nyeri diperberat setelah makan, nyeri
seperti diiris-iris, nyeri disekitar ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang
timbul, dengan durasi waktu kurang lebih 10 detik. Ekspresi wajah tampak
nyengir saat dilakukan palpasi diperut, pasien juga melaporkan adanya
nyeri diperut, dan menunjukkan daerah yang sakit.
3. Hasil Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien, keadaan umum pasien baik, kesadaran
composmentis, suhu 37� C, pernafasan teratur 24 kali per menit, denyut
nadi 80x/menit, nadi lemah dengan irama regular, tekanan darah 100/70
mmHg. Pada pemeriksaan head to toe didapatkan hasil bentuk kepala
mesochepal, sutura dan fontanel paten, rambut hitam panjang, bersih tidak
ada ketombe dan kutu kepala. Sklera tidak ikterik, pupil isokor 2mm,
reflek pupil positif (mengecil saat diberi rangsang cahaya), konjungtiva
tidak anemis, palpebra tidak oedema, tidak ada kantung mata.
Pemeriksaan pada telinga bersih, kanan kiri simetris, pendengaran
tajam, ada sedikit serumen. Hidung simetris, tidak ada polip, septum
terletak ditengah, tidak ada gangguan penciuman. Pemeriksaan mulut,
warna bibir tampak merah, kurang lembab (sedikit kering), gigi lengkap,
39
lidah bersih, tidak ada stomatitis. Leher pasien tidak mengalami kaku
kuduk, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada distensi vena
jugularis.
Pemeriksaan fisik paru saat diinspeksi tidak ada jejas, kanan kiri
simetris, perkusi sonor, palpasivocal fremitus kanan kiri sama, auskultasi
vesikuler diseluruh lapang paru. Pemeriksaan fisik jantung hasil inspeksi
ictus cordis tidak tampak, palpasiictus cordis teraba di SIC V, perkusi
pekak, auskultasi regular BJ I - BJ II, “lup dup”, tidak ada suara bising
atau suara tambahan.
Pemeriksaan abdomen hasil inspeksi tidak ada jejas, perut tampak
cekung, auskultasi bising usus 8 kali per menit, perkusi timpani, palpasi
nyeri tekan di ulu hati, cubitan di perut kembali kurang dari 2 detik.
Genitalia pasien tampak bersih, tidak ada kelainan. Di anus tidak ada
hemoroid, anus paten, tidak ada kelainan. Di ekstremitas kekuatan otot
pasien 5, dengan pergerakan bebas, tangan kiri terpasang infus.
4. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium pada An. L pada tanggal 10 April
2014 pukul 5.38 didapatkan hasil hemoglobin 13,0 gr/dl (N: 11,5 – 15,5),
hematokrit 41 % (N: 35 - 45), leukosit 5,6 ribu/ul (N: 4,5 – 14,5),
trombosit 55 ribu/ul (N: 150 – 450), eritrosit 5,00 juta/ul (N: 4,00 – 5,00),
MCV 80,0 um (N: 80 – 96,0), MCH 28 pg (N: 28,0 – 33), MCHC 33,0
g/dl (N: 33,0 – 36), RDW 11,9 % (N: 11,6 – 14,6), MPV 7,2 fl (N: 7,2 –
11,1), PDW 26 % (N: 25 – 65), eosinofil 2,260 % (N: 0,00 – 4,00), basofil
40
0,50 % (N: 0,00 – 1,00), netrofil 50,80 (N: 29,00 – 72,00), limfosit 37,10
% (N: 30,00 – 48,00), monosit 9,00 % (N: 0,00 – 5,00), golongan darah B.
Pemeriksaan laboratorium, sekresi pukul 10.00 warna urin yellow,
kejernihan jernih, berat jenis 1,007, pH 8,0 (N: 4,5 – 8,0), leukosit negatif,
nitrit negatif, protein urin negatif, glukosa negatif, keton negatif,
urobilinogen normal, bilirubun negatif, eritrosit negatif, mikroskopis
eritrosit 4,1/uL (N: 0 – 8,0), leukosit 0,2/LPB (N: 0 – 12), epitel squamosa
negatif, epitel transisional negatif, epitel bulat negatif, silinder 0,00/Ul (N:
0,00 – 0,47), hyline 0/LPK (N: 0 – 3), granulatet negatif, leukosit negatif.
Pemeriksaan pukul 11.00 WIB, dengue blot Ig M positif, dengue blot Ig G
positif.
Pemeriksaan laboratorium tanggal 11 April 2014 jm 5.07 WIB
didapatkan hasil Hemoglobin 13 g/dl (N: 11,5 – 15,5), trombosit 85 ribu/ul
(N: 150 – 450) , hematokrit 40% (N: 35 - 45), eritrosit 5,01 juta/ul (N:
4,00 – 5,00), MCV 80,1 um (N: 80 – 96,0), MCH 28,1 pg (N: 28,0 – 33),
MCHC 33,3 g/dl (N: 33,0 – 36), RDW 11,9 % (N: 11,6 – 14,6), MPV 8,3
fl (N: 7,2 – 11,1), PDW 26 % (N: 25 – 65), hitung jenis eosinofil 3,60 %
(N: 0,00 – 4,00), basofil 0,40 % (N: 0,00 – 1,00), netrofil 50,10 % (N:
29,00 – 72,00), limfosit 38,90% (N: 30,00 – 48,00), monosit 7,00 % (N:
0,00 – 5,00).
5. Terapi
Tanggal 10 April 2014 An. L mendapatkan terapi dari dokter infus
RL 15 tetes per menit, paracetamol tablet 500mg jika suhu di atas 37,5�,
41
diit tinggi kalori tinggi protein 200 kilo kalori. Tanggal 11 April 2014 An.
L mendapat terapi infus RL 15 tetes per menit dan diit tinggi kalori tinggi
protein 200 kilo kalori. Infus RL termasuk golongan elektrolit nutrisi
parenteral, yang berfungsi untuk pengobatan kekurangan cairan dimana
rehidrasi secara oral tidak mungkin dilakukan. Parasetamol merupakan
golongan analgesik non narkotik, yang berfungsi meringankan rasa sakit
pada sakit kepala, sakit ggi, serta menurunkan demam.
B. Analisa Data dan Perumusan Masalah
Dari hasil pengkajian yang penulis lakukan tanggal 10 April 2014 pukul
13.05 WIB, didapatkan data subyektif pasien mengatakan nyeri perut, nyeri
diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri di ulu hati, skala nyeri
4, nyeri hilang timbul, data obyektif saat dilakukan palpasi daerah abdomen
ada nyeri tekan diulu hati, pasien tampak nyengir saat dilakukan palpasi di
perut, pasien menunjukkan daerah yang sakit, sehingga dapat ditegakkan
diagnosa keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
(viremia).
Pukul 13.10 WIB didapatkan data subyektif pasien mengatakan
badannya vlemas, data obyektif pasien minum 5-6 kali sehari masing – masing
1/3 gelas kecil, minum air putih dan teh hangat, pasien tampak lemas, mukosa
bibir kurang lembab (sedikit kering), cubitan di perut kembali kurang dari 2
detik, balance cairan tanggal 11 April 2014 jam 13.00, +180 cc sehingga
42
dapat ditegakkan masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan
berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif (kebocoran plasma).
Pukul 13.15 WIB, data subyektif pasien mengatakan tidak nafsu makan,
data obyektif pasien makan 3 kali sehari, habis 1/3 porsi makan yang
disediakan rumah sakit, berat badan 16 kilogram, WAZ -2,73 status gizi
kurang, IMT 10,73 berat badan kurang, sehingga dapat ditegakkan diagnosa
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan faktor biologis.
Pukul 13.20 data subyektif pasien mengatakan lemes, data obyektif
pasien tampak lemah, trombosit 55 ribu/ul, sehingga dapat ditegakkan
diagnosa keperawatan resiko perdarahan berhubungan dengan koagulopati
inheren (trombositopenia).
C. Prioritas Diagnosa Keperawatan
Dari analisa data yang sudah dirumuskan, penulis memprioritaskan
diagnosa keperawatan yang pertama, nyeri akut berhubungan dengan agen
cidera biologis (viremia), yang kedua ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis, yang ketiga resiko
kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
aktif (kebocoran plasma), yang keempat resiko perdarahan berhubungan
dengan koagulopati inheren (trombositopenia).
43
D. Intervensi
Setelah penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan, penulis
menentukan intervensi yang akan dilakukan pada diagnosa keperawatan yang
pertama, tujuan yang dibuat penulis setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 1x24 jam diharapkan nyeri pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil
pasien mampu mengntrol nyeri (mengetahui penyebab, mampu menggunakan
teknik non farmakologi), melaporkan nyeri berkurang skala 1-2, menyatakan
nyaman setelah nyeri berkurang, ekspresi wajah rileks, TD sistolik (80-110
mmHg), diastolik (55-82), nadi (70-120 kali per menit).
Intervensi atau tindakan keperawatan yang akan dilakukan observasi
reaksi verbal dan nonverbal, lakukan pengkajian nyeri provocate, kualitas,
lokasi, skala, dan waktu nyeri, monitor tanda-tanda vital, tingkatkan istirahat,
gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien, ajarkan teknik non farmakologi (guided imagery), kolaborasi
pemberian analgetik (parasetamol).
Intervensi yang akan dilakukan penulis pada diagnosa keperawatan
kedua, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tujuan yang
akan dicapai penulis berat badan pasien terkontrol, dengan kriteria hasil
mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak ada tanda-tanda malnutrisi,
tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti, berat badan stabil 16 kg,
menghabiskan 1 porsi makan yang disediakan. Intervensi yang akan dilakukan
perawat, monitor intake nutrisi, monitor mual muntah, monitor adanya
penurunan berat badan, monitor kadar hemoglobin, albumin, hematokrit,
44
anjurkan makan selagi masih hangat, anjurkan pasien meningkatkan makanan
protein, berikan informasi tentang kebutuhan (pentingnya) nutrisi, kolaborasi
dengan ahli gizi dalam menentukan jumlah kalori dan nutrisi.
Intervensi yang akan dilakukan penulis pada diagnosa keperawatan yang
ketiga, tujuan yang hendak dicapai penulis setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam diharapkan balance cairan seimbang ± 200 cc,
dengan kriteria hasil pasien mampu mempertahankan urin output sesuai
dengan usia dan berat badan, berat jenis urin normal (4,5 – 8,0), hematokrit
normal (35-45 %), tekanan darah normal (sistolik 80-110 mmHg, diastolik 55-
82 mmHg), suhu normal (36,5 - 37,5�), nadi normal (70-120 kali per menit),
tidak ada tanda-tanda dehidrasi (membran mukosa lembab, elastisitas turgor
kulit baik). Intervensi yang akan dilakukan monitor tanda-tanda vital, monitor
status cairan, monitor intake cairan, monitor hemoglobin dan hematokrit,
monitor status hidrasi, pertahankan catatan intake dan output yang adekuat,
dorong masukan oral (minum) yang adekuat, jelaskan pentingnya minum,
kolaborasi pemberian cairan intravena.
Intervensi yang akan dilakukan penulis pada diagnosa keperawatan yang
keempat, setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam tujuan
yang ingin dicapai tidak terjadi perdarahan, dengan kriteria hasil tekanan
darah normal (sistolik 80-110 mmHg, diastolik 55-82 mmHg), tidak ada
perdarahan, trombosit (150-450 ribu/ul), hematokrit normal (35 - 45 %), tidak
ada hematuria, tidak ada perdarahan pervaginam.
45
Intervensi yang akan dilakukan penulis monitor adanya tanda-tanda
perdarahan, monitor nilai laboratorium (trombosit), monitor statuscairan,
lindungi pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan, pertahankan
bedrest total dan pasang pengaman tempat tidur, anjurkan pasien
meningkatkan makanan yang mengandung vitamin K, kolaborasi pemberian
cairan intra vena, kolaborasi pemeriksaan laboraturium (trombombosit) secara
rutin.
E. Implementasi
Penyusunan rencana keperawatan yang telah dilakukan, penulis
kemudian melakukan tindakan keperawatan pada An. L, yang dilakukan
tanggal 10 April 2014 pada jam 13.05 pada diagnosa keperawatan yang
pertama, memonitor tanda-tanda vital, respon subyektif pasien, pasien
mengatakan bersedia, respon obyektif tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 74
kali per menit, respiratory rate 24 kali per menit, suhu 37� C.
Pada pukul 13.08 WIB, penulis melakukan pengkajian nyeri pasien
secara komprehensif dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia,
pasien mengatakan nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris,
nyeri di ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul dengan durasi kurang lebih
10 detik, respon obyektif pasien tampak nyengir, menunjukkan daerah yang
sakit atau yang nyeri.
46
Pada pukul 13.45 WIB, penulis mengajarkan teknik non farmakologi
(guided imagery), dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, dan
respon obyektif pasien tampak nyengir dan melaporkan skala nyeri 3.
Penulis melakukan implementasi pada diagnosa keperawatan yang
ketiga, pukul 13.10 penulis mengkaji intake cairan pasien dengan respon
subyektif, pasien mengatakan bersedia, respon obyektif pasien terpasang infus
RL 15 tetes per menit, pasien minum 1/3 gelas kecil. Pada pukul 13.30 WIB,
penulis menganjurkan untuk minum yang adekuat, dengan respon subyektif
pasien mengatakan bersedia, sedangkan respon obyektif pasien minum
kurang dari 1/3 gelas kecil.
Penulis mengobservasi tanda-tanda perdarahan pada diagnosa
keperawatan yang keempat pada pukul 13.25 WIB, dengan respon subyektif
pasien mengatakan bersedia, dan respon obyetif tidak ada tanda-tanda
perdarahan seperti mimisan, ptekie. Pada pukul 13.35 WIB, penulis
mengnjurkan untuk bedrest dan memasang pengaman tempat tidur, dengan
respon subyektif pasien mengatakan bersedia, dan respon obyektif pasien
tampak tiduran di tempat tidur.
Pada diagnosa keperawatan yang kedua, penulis mengkaji intake nutrisi
dan berat badan pasien pada pukul 13.15 WIB dengan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia, dengan respon obyektif pasien makan 1/3 porsi yang
disediakan rumah sakit, berat badan mengalami penurunan sebelum sakit 18
kg selama sakit menjadi 16 kg.Pada pukul 13.55 WIB, penulis
47
menginformasikan pentingnya nutrisi, dengan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia, respon obyektif pasien dan keluarga tampak mengerti.
Pada hari Jumat, tanggal 11 April 2014, pukul 09.00 WIB penulis
melakukan tindakan keperawatan pada diagnosa keperawatan yang pertama
dengan memonitor tanda-tanda vital, respon subyektif pasien mengatakan
bersedia, dan respon obyektif tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 78 kali per
menit, respiratory rate 26 kali per menit, suhu 36,8�C.
Pada pukul 09.15 penulis melakukan pengkajian skala nyeri pada pasien
dengan respon subyektif, pasien mengatakan bersedia , respon obyektif pasien
menunjukkan skala nyeri diangka 3. Pada pukul 09.20 penulis mengajarkan
teknik non farmakologis guided imagery, dengan respon pasien mengatakan
bersedia, respon obyektif menunjukkan skala nyeri 2, tampak rileks, dan
tersenyum.
Implementasi diagnosa keperawatan yang ketiga, pada pukul 09.25 WIB,
penulis menganjurkan banyak minum, dengan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia, dengan respon obyektif pasien minum air putih 1/3
gelas.
Pada pukul 13.00 WIB, penulis memonitor balance cairan, dengan
respon subyektif pasien mengatakan bersedia, respon obektif balance cairan +
180 cc. Pukul 13.10 WIB, penulis menjelaskan pentingnya minum, dengan
respon subyektif pasien mengatakan bersedia, dan respon obyektif keluarga
dan pasien tampak memperhatikan dan mengungkapkan pentingnya minum.
48
Penulis melakukan implementasi pada diagnosa keperawatan yang
keempat pada pukul 09.10 WIB dengan memonitor jumlah trombosit, dengan
respon subyektif pasien mengatakan bersedia, respon obyektif trombosit
pasien 85 ribu/ul.
Pada diagnosa keperawatan kedua, penulis mengajurkan pasien untuk
meningkatkan protein pada pukul 09.05 WIB, dengan respon subyektif pasien
mengatakan bersedia, respon obyektif pasien tampak makan dengan lauk
daging ayam dan menghabiskan kurang lebih 1/3 porsi makan yang
disediakan. Pada pukul 11.30 WIB, penulis menganjurkan makan selagi masih
hangat dengan respon subyektif pasien mengatakan bersedia, respon obyektif
pasien tampak makan makanan yang disediakan rumah sakit dalam keadaan
hangat.
F. Evaluasi
Evaluasi dilakukan pada hari Kamis, 10 April 2014 diperoleh hasil data
subyektif An. L mengatakan nyeri, nyeri dirasakan setelah makan, nyeri
seperti diiris-iris, nyeri disekitar ulu hati, skala nyeri 3, nyeri hilang timbul
dengan durasi 5-10 detik. Berdasarkan pengamatan secara obyektif pasien
tampak menunjukkan area yang nyeri, tampak nyengir saat dipalpasi. Analisa
masalah keperawatan nyeri akut pada An. L belum teratasi, intervensi
dilanjutkan, kaji nyeri secara komperhensif (P, Q, R, S, T), ajarkan teknik non
farmakologi (guided imagery), tingkatkan istirahat, berikan informasi tentang
nyeri, kolaborasi pemberian analgetik (parasetamol).
49
Adapun evaluasi pada masalah keperawatan resiko kekurangan volume
cairan yang dilakukan penulis pada pukul 14.10 WIB, diperoleh hasil An.L
mengatakan lemas, berdasarkan hasil pengamatan An. L tampak lesu, lemah,
membran mukosa sedikit kering, cubitan di perut kembali kurang dari 2 detik.
Analisa masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan pada An. L
belum teratasi, intrervensi dilanjutkan monitor intake output, kaji balance
cairan, anjurkan banyak minum, jelaskan pentingnya minum, pertahankan
kolaborasi pemberian cairan intravena.
Adapun hasil evaluasi pada masalah keperawatan ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang dilakukan penulis pada pukul 14.20
WIB pasien mengatakan tidak nafsu makan, dari hasil pengamatan penulis An.
L tampak menghabiskan 1/3 porsi makan yang disediakan rumah sakit.
Masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
belum teratasi, intervensi dilanjutkan kaji intake nutrisi, monitor status nutrisi,
anjurkan makan selagi masih hangat, jelaskan pentingnya nutrisi, kolaborasi
dengan ahli gizi pemberian diit tinggi kalori tinggi protein.
Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan resiko perdarahan
yang dilakukan penulis pada pukul 14.15 WIB, diperoleh hasil pasien
mengatakan tidak mimisan, tidak ada darah yang keluar. Dari hasil
pengamatan penulis, tidak ada tanda-tanda perdarahan (ptekie, mimisan,
perdarahan pervagina), trombosit 55 ribu/ul, tampak lemas. Masalah
keperawatan resiko perdarahan belum teratasi, intervensi dilanjutkan kaji atau
monitor tanda perdarahan dan kadar trombosit, anjurkan banyak istirahat,
50
jelaskan pengaruh trombositopenia pada pasien, kolaborasi pemerikasaan
laboratorium (trombosit) secara rutin.
Evaluasi pada hari Jumat, 11 April 2014 pukul 14.30 dengan masalah
keperawatan nyeri akut, An. L mengatakan nyeri perut berkurang nyeri
dirasakan setelah makan, nyeri diiris-iris, nyeri di ulu hati, nyeri kadang-
kadang. Berdasarkan pengamatan pasien tampak rileks, melaporkan skala
nyeri 2, TD 100/80 mmHg, nadi 80 kali per menit, respiratory rate 26 kali per
menit. Masalah keperawatan nyeri akut teratasi, intervensi dihentikan.
Adapun hasil evaluasi pada masalah keperawatan ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang dilakukan penulis pada pukul 14.45
WIB, An. L mengatakan tidak nafsu makan. Berdasarkan hasil pengamatan
berat badan An. L 16 kilogram, hemoglobin 13 g/dl, tampak menghabiskan
1/3 porsi makan dari rumah sakit. Masalah keperawatan ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi, intervensi dilanjutkan kaji
status nutrisi, anjurkan makan sedikit tapi sering, jelaskan pentingnya nutrisi,
kolaborasi pemberian obat nafsu makan (apialys).
Evaluasi pada masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan
yang dilakukan penulis pada pukul 14.35 WIB, pasien mengatakan tidak
lemas lagi, dengan hasil pengamatandidapatkan balance cairan + 180 cc, TD
100/80 mmHg, hematokrit 40%, pH urin 8,0, membran mukosa lembab,
cubitan diperut kurang dari 2 detik. Masalah keperawatan resiko kekurangan
volume cairan teratasi, sehingga intrervensi dihentikan.
51
Evaluasi yang dilakukan pada 14.40 WIB, dengan masalah keperawatan
resiko perdarahan, didapatkan hasil An. L mengatakan tidak ada darah yang
keluar dari tubuhnya. Berdasarkan hasil pengamatan penulis tidak ada tanda-
tanda perdarahan, trombosit 85 ribu/ul, tidak pucat. Masalah keperawatan
resiko perdarahan belum teratasi, intervensi dilanjutkan monitor tanda
perdarahan, anjurkan banyak minum, anjurkan banyak istirahat, jelaskan
pengaruh trombositopenia pada pasien, kolaborasi pemeriksaaan laboratorium
(trombosit) secara rutin.
52
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang tindakan aplikasi riset
pemberian audio visual recorded guided imagery therapypada asuhan
keperawatan An. L dengan Dengue Haemorragic Fever (DHF) yang sudah
dilakukan penulis di bangsal Melati 2, Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta pada
tanggal 10 – 11 April 2014.
A. Pengkajian
Penulis melakukan pengkajian pada tanggal 10 April 2014 dengan
alloanamnesa dan autoanamnesa. Keluhan utama yang dirasakan klien
mengatakan lemas. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan
berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi,
hipoproteinemia, efusi dan renjatan (syok) (Wijayaningsih, 2013: 235).
Renjatan terjadi sebagai akibat dari kebocoran plasma ke daerah
ekstravaskuler melalui kapiler yang rusak, sehingga mengakibatkan
menurunnya volume plasma dan meningkatnya nilai hematokrit (Nursalam et
al. 2005: 159). Hilangnya plasma dapat mengakibatkan hipovolemik (Suriadi
dan yuliani, 2010: 57).
Pada tanggal 3 April 2014 An. L mengeluh badannya panas, lemas.
Pada tanggal 5 April 2014, An. L mengatakan badanya lemas, tidak demam,
pemeriksaan laboratorium didapatkan trombositnya menurun. Tanggal 9 April
2014, An. L mimisan kurang lebih ½ cc. Manifestasi klinis pada kasus DHF
53
ditandai dengan demam tinggi yang mendadak, yang dapat mencapai 40� C
atau lebih, terkadang disertai kejang, sakit kepala, anoreksia, muntah-muntah
(vomiting), nyeri perut kanan atas atau seluruh bagian perut dan perdarahan,
terutama perdarahan kulit, walaupun hanya berupa uji tourniquet positif
(Nursalam et al. 2005: 163).
Virus dengue yang masuk ke tubuh penderita akan mengalami keluhan
dan gejala karena viremia, seperti demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal
seluruh tubuh, hiperemia di tenggorok, timbulnya ruam, dan kelainan yang
mungkin terjadi pada sistem retikuloendothelial seperti pembesaran kelenjar-
kelenjar getah bening, hati, dan limpa (Wijayaningsih, 2013: 235).
Menurut Sutaryo (1997) dalam Soegijanto (2012: 54), pada infeksi
virus dengue, setelah masa inkubasi akan terjadi viremia, yaitu adanya virus di
dalam darah. Viremia ini akan berjalan singkat mulai 2 hari sebelum panas,
dan mencapai puncaknya pada 1 atau 2 hari pertama panas, dan menghilang
setelah 6 atau 7 hari bersamaan dengan timbulnya antibodi.
Menurut Wang et al. (1995) dalam Soegijanto dan Nasiruddin (2012)
dalam Soegijanto (2012: 81), penurunan trombosit atau trombositopeni
disebabkan karena terjadinya ikatan antara virus dengue tipe 2 dengan
trombosit manusia, trombositopenia juga dikarenakan terjadinya
immunemediated clearance of platelet. Menurut Sugianto (1994) dalam
Soegijanto dan Nasiruddin (2012) dalam Soegijanto (2012: 81),
trombositopenia pada penderita DBD diduga terjadi akibat peningkatan
destruksi trombosit oleh sistem retikuloendotelial, agregasi trombosit akibat
54
endotel vaskuler yang rusak serta penurunan produksi trombosit oleh sumsum
tulang.
Trombositopenia yang hebat, gangguan fungsi trombosit, dan kelainan
fungsi koagulasi merupakan penyebab utama terjadinya perdarahan (Nursalam
et al. 2005: 160).
Terapi yang diberikan pada An. L saat di IGD, infus RL 140 cc/jam,
diit tinggi kalori tinggi protein (TKTP) 200 kilo kalori per hari, paracetamol
500 mg. Jika penderita mengalami dehidrasi yang signifikan (> 10 % berat
badan normal), maka diperlukan segera untuk diberikan penggantian cairan
secara intravena. Contoh cairan pengganti yang bisa diberikan adalah ringer
laktat atau ringer asetat, larutan garam fisiologis dan glukosa 5 %, serta
plasma dan plasma substitute (Firdaus, 2011: 54). Infus ringer laktat berfungsi
mengembalikan keseimbangan elektrolit (ISO, 2011: 401). Dukungan nutrisi
diperlukan pada penderita sepsis, karena mempunyai kebutuhan kalori dan
protein yang sangat tinggi (Soegijanto, 2012: 144). Pada tahap gejala awal
DBD, diit ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan fungsi kekebalan tubuh.
Menu yang diberikan berupa makanan yang berkalori dan berprotein tinggi.
Pada tingkat lanjut, pemberian nutrisi ditujukan untuk meningkatkan sistem
kekebalan dan mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk (Satari, 2004:
60). Terapi antipiretik diberikan pada penderita DHF tanpa adanya renjatan
(Nugroho, 2011: 63). Parasetamol berfungsi menghilangkan demam dan nyeri
(Ikatan Apoteker Indonesia, 2011: 38).
55
Pada pertumbuhan dan perkembangan An. L mengalami perubahan
berat badan sebelum sakit 18 kg, selama sakit menjadi 16 kg. Perhitungan Z-
score WAZ dengan hasil -2,73 ( status gizi kurang), dan IMT 10,73 (berat
badan kurang). Pertumbuhan An. L tidak mengalami gangguan hal tersebut
dapat diketahui dari hasil HAZ -1,23 (normal).
Status nutrisi dan cairan An. L mengalami gangguan selama sakit,
berdasarkan data pengkajian yang diperoleh pada An. L sebelum sakit dapat
menghabiskan 1 porsi makan dan minum habis kurang lebih 6 – 7 gelas kecil
per hari, tetapi selama sakit An. L hanya menghabiskan 1/3 porsi makan yang
disediakan dan minum 5-6 gelas per hari masing-masing 1/3 gelas kecil.
Semua anak dengan status gizi baik maupun buruk dapat beresiko,
apabila terdapat faktor predisposisinya. Anak yang menderita DHF sering
mengalami keluhan mual, muntah dan nafsu makan menurun.Apabila kondisi
ini berlanjut dan tidak disertai dengan pemenuhan nutrisi yang mencukupi,
maka anak dapat mengalami penurunan berat badan sehingga status gizinya
menjadi kurang (Nursalam et al. 2005: 163).
Pola eliminasi saat dikaji pasien belum bisa buang air besar (BAB)
dengan lancar. Eliminasi alvi (buang air besar) pada anak yang menderita
DHF kadang-kadang mengalami diare maupun konstipasi, sementara pada
DHF grade III-IV bisa terjadi melena (Nursalam et al. 2005: 164).
Pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan hasil tekanan darah 100/70
mmHg, suhu 37� C, respiratory rate 24 kali per menit, nadi 80 kali per menit.
56
Pada pemeriksaan palpasi abdomen pada An. L mengalami nyeri tekan
di ulu hati. Nyeri tekan sering kali ditemukan tanpa ikterus maupun kegagalan
peredaran darah (circulatory failure) (Nursalam et al. 2005: 161).
Pola kognitif dan perceptual pada An. L mengalami nyeri perut, nyeri
diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri disekitar ulu hati, skala
nyeri 4, nyeri hilang timbul dengan durasi 10 detik. Ekspresi wajah tampak
nyengir saat dilakukan palpasi di perut, pasien juga melaporkan adanya nyeri
diperut dan menunjukkan area yang sakit. Penulis menggunakan alat ukur
nyeri Wong dan Beker untuk mengetahui skala nyeri pada An. L.
Menurut Wong dan Beker (1988) dalam Potter dan Perry (2006) dalam
Andarmoyo (2013: 78), telah mengembangkan skala wajah untuk mengkaji
nyeri pada anak-anak.Skala tersebut terdiri dari enam wajah dengan profil
kartun yang menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum (“tidak
merasa nyeri”), kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang
bahagia, wajah wajah yang sangat sedih, sampai wajah yang sangat ketakutan
(“nyeri yang sangat”).
Menurut Hockenberry dan Wilson (2009) dalam Mariyam dan Sri
Widodo (2012), kelebihan dari skala wajah ini yaitu anak dapat menunjukkan
sendiri rasa nyeri yang baru saja dialaminya sesuai dengan gambar yang telah
ada dan skala wajah ini direkomendasikan untuk anak-anak.
57
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
No mild moderate moderate severe worst
Pain pain pain pain pain pain
possible
Gambar 4.1
Skala Nyeri Muka (Wong Baker Facial Gremace)
Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 10 April 2013,
didapatkan hasil adanya penurunan kadar trombosit (55 ribu/ul) dan monosit
9,00 %. Menurut Ariyati dalam Soegijanto (2012), penurunan jumlah
trombosit (trombositopenia) pada umumnya terjadi sebelum ada peningkatan
hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Dikatakan trombositopenia apabila
jumlah trombosit dibawah 100.000/UI, biasanya dapat dijumpai antara hari
sakit ketiga dan ketujuh. Peningkatan kadar monosit disebabkan karena
penyakit yang disebabkan karena viral. Virus dengue menginfeksi sel monosit
atau makrofag dan sel dendrite untuk membentuk respon imun yang sesuai
terhadap infeksi. Monosit akan terjadi penigkatan apabila terinfeksi oleh virus
DENV-2 (Garna, 2012: 343).
Pemeriksaan serologi pada pukul 11.00 WIB, didapatkan dengue blot
Ig M dan dengue blot Ig G positif. Menurut Gubler et al. (1994) dalam
Soegijanto (2012: 66), setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus
berkemabang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti
dengan viremia yang berlangsung 5 hari. Akibat infeksi virus ini muncul
respon imun baik humoral maupun selular, antar lain antinetralisasi,
58
antihemaglutinin, antikomplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya
adalah Ig G dan Ig M. Pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbetuk, dan
pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster
effect).
Menurut Gubler et al. (1994) dalam Soegijanto (2012: 66), antibodi
terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah sekitar demam hari ke
5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan ketiga, dan menghilang
setelah 60 – 90 hari. Kinetik kadar Ig G berbeda dengan kinetik kadar antibodi
Ig M, oleh karena itu kinetik kadar antibodi Ig G harus dibedakan antara
infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer antibodi Ig G meningkat
sekitar demam hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder antibodi Ig G
meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu, diagnosis dini infeksi primer
hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi Ig M setelah hari sakit ke
lima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih dini dengan adanya
peningkatan antibodi Ig G dan Ig M yang cepat.
Terapi yang diberikan saat di bangsal, melanjutkan terapi yang
diberikan di IGD, tetapi pemberian terapi parasetamol diberikan jika suhu
pasien di atas 37,5� C.
B. Diagnosa Keperawatan
Penulis melakukan perumusan diagnosa keperawatan yang pertama,
nyeri akut berhubungan agen cidera biologis (viremia). Berdasarkan data yang
penulis dapat dari hasil pengkajian didapatkan data subyektif An. L
59
mengatakan nyeri perut, nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-
iris, nyeri disekitar ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul dengan durasi
10 detik. Ekspresi wajah tampak nyengir saat dilakukan palpasi di perut,
pasien juga melaporkan adanya nyeri diperut dan menunjukkkan area yang
sakit.
Nyeri akut merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan, yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau
potensial atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa
(International Association for the study of Pain): awitan yang tiba-tiba atau
lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi
atau diprediksi dan berlangsung kurang dari 6 bulan. Batasan karakteristik
pada nyeri akut antara lain: masker wajah tampak meringis, nyengir,
melaporkan nyeri secara verbal dan non verbal, sikap melindungi area nyeri
(Nurarif dan Hardi , 2013).
Penulis juga merumuskan diagnosa keperawatan yang kedua
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis. Penulis mencantumkan masalah ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh mengacu pada data pengkajian yaitu data
subyektif klien mengatakan tidak nafsu makan. Data obyektif pasien makan 3
kali sehari, habis 1 3� porsi makan yang disediakan rumah sakit, berat badan
16 kilogram, Z-skore -2,73 kategori status gizi kurang, IMT 10,73 kategori
berat badan kurang.
60
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh merupakan
asupan nutrisi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik. Batasan
karakteristik antara lain: kurang makan, mengeluh asupan makan kurang,
kurang minat pada makan, berat badan 20 % atau lebih dibawah berat badan
ideal (Nurarif dan Hardi , 2013).
Penulis merumuskan diagnosa keperawatan yang ketiga, resiko
kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
aktif. Penulis mencantumkan masalah resiko kekurangan volume cairan
dengan alasan mengacu pada data pengkajian yaitu data subyektif antara lain
klien mengatakan lemas. Data obyektif diperoleh klien tampak lemas ,
membran mukosa sedikit kering (kurang lembab), cubitan diperut kurang dari
2 detik.
Resiko kekurangan volume cairan adalah beresiko mengalami
dehidrasi vaskuler, selular, atau intraselular. Faktor resiko antara lain:
kehilangan volume cairan aktif, penyimpangan yang mempengaruhi absorbs
cairan, kehilangan berlebih melalui rute abnormal (Nurarif dan Hardi , 2013).
Diagnosa keperawatan yang keempat yang ditegakkan penulis, resiko
perdarahan berhubungan dengan trombositopenia. Perumusan masalah
keperawatan yang diambil penulis telah disesuaikan dengan diagnosa
keperawatan. Penulis mencantumkan masalah resiko perdarahandengan alasan
mengacu pada data pengkajian yaitu data subjektif klien mengatakan lemas.
Data obyektif yang diperoleh trombosit 55 ribu/ul.
61
Resiko perdarahan adalah beresiko mengalami penurunan volume
darah yang dapat menggangu kesehatan. Faktor resiko: Koagulopati inheren:
trombositopenia (Nurarif dan Hardi , 2013). Penulis menegakkan diagnosa
keperawatan resiko karena masalah tersebut dapat timbul pada seseorang atau
kelompok yang rentan dan ditunjang dengan faktor resiko yang memberi
kontribusi pada peningkatan kerentanan. Diagnosa keperawatan resiko adalah
keputusan klinis tentang individu, keluarga atau komunitas, yang sangat rentan
untuk mengalami masalah dibanding individu atau kelompok lain pada situasi
yang sama atau hampir sama (Setiadi, 2012: 41).
Penulis merumuskan diagnosa keperawatan sesuai dengan kebutuhan
klien. Penentuan prioritas tergantung dari status kesehatan dan masalah klien
saat itu. Prioritas diagnosa adalah diagnosa keperawatan dan masalah
kolaboratif dimana sumber keperawatan akan diarahkan untuk pencapaian
tujuan. Pada situasi perawatan akut, diagnosa prioritas adalah diagnosa
keperawatan dengan masalah kolaboratif yang berkaitan dengan kondisi
medis. Bila tidak diatasi sekarang akan mengganggu kemajuan atau
mempengaruhi status fungsional secara negatif (Setiadi, 2012: 39).
Perumusan prioritas diagnosa keperawatan bisa juga sesuai dengan
Hirarki Maslow yaitu dengan membagi kebutuhan manusia dalam lima tahap
yaitu: fisiologis, rasa aman dan nyaman, sosial, harga diri, aktualisasi diri
(Setiadi, 2012: 40).
Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera biologis (viremia) dan ketidakseimbangan
62
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis,
sebagai diagnosa keperawatan yang aktual. Diagnosa keperawatan yang aktual
menyajikan keadaan yang secara klinis telah tervalidasi melalui batasan
karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi. Berdasarkan Hirarki Maslow
prioritas diagnosa keperawatan yang pertama dan kedua yang dibuat penulis
yaitu berdasarkan kebutuhan fisiologis yang didalamnya terdapat nyeri dan
nutrisi (Setiadi, 2012: 40).
Penulis memprioritaskan diagnosa keperawatan resiko kekurangan
volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif sebagai
diagnosa yang ketiga, sesuai dengan hasil pengkajian yang didapatkan penulis
balance cairan + 180 cc, pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda dehirasi.
Pada penderita DHF bisa terjadi syok atau renjatan sebagai akibat dari
kebocoran plasma ke daerah ekstravaskuler melalui kapiler yang rusak
(Nursalam et al, 2005: 159). Hilangnya plasma dapat mengakibatkan
hipovolemik (Suriadi dan Yuliani, 2010: 57).Masalah tersebut dapat timbul
pada seseorang atau kelompok yang rentan dan ditunjang dengan faktor resiko
yang member kontribusi pada peningkatan kerentanan (Setiadi, 2012: 41).
Penulis menegakkan diagnosa keperawatan yang ketempat resiko
perdarahan berhubungan dengan trombositopenia, karena masalah tersebut
akan terjadi jika tidak dilakukan intervensi (Setiadi, 2012: 41).
Menurut Menurut Nurarif dan Hardi (2013), diagnosa yang muncul
pada pasien DHF antara lain : nyeri akut berhubungan dengan agen cidera
biologis (viremia), hipertermia berhubungan dengan penyakit (proses infeksi
63
virus dengue), kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan
cairan aktif (pindahnya cairan intravaskuler ke ekstravaskuler), resiko syok
berhubungan dengan hipovolemia, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake nutrisi yang tidak adekuat akibat
mual dan nafsu makan yang menurun, resiko perdarahan berhubungan dengan
koagulopati inheren (trombositopeni).
Penulis tidak merumuskan diagnosa keperawatan hipertermia
berhubungan dengan penyakit (proses infeksi virus dengue) dan resiko syok
berhubungan dengan hipovolemia, karena pada saat dilakukan pengkajian
tidak didapatkan data yang sesuai dengan batasan karakteristik yang mengacu
diagnosa keperawatan tersebut.
C. Intervensi
Intervensi atau rencana keperawatan adalah fase ketiga dalam proses
keperawatan, yang berarti merancang dasar bagaiman sesuatu dapat dicapai
dan diselesaikan dengan cara tertentu, waktu tertentu dan menggunakan alat
tertentu (Slevin, 2006).
Penentuan tujuan rencana tindakan seharusnya didasarkan pada prinsip
SMART yaitu S : Spesific atau tidak menimbulkan arti ganda, M : Measurable
atau dapat diukur, A : Achievable atau dapat dicapai, R : Rational atau sesuai
akaal sehat, T : Time atau ada kriteria waktu pencapaian (Nursalam, 2008).
Intervensi atau rencana yang akan dilakukan oleh penulis pada diagnosa
keperawatan yang pertama pada kasus An. L dengan tujuan dan kriteria hasil
64
yang sudah ditetapkan. Tujuan yang dibuat penulis diharapkan nyeri pasien
dapat teratasi dengan kriteria hasil pasien mampu mengontrol nyeri
(mengetahui penyebab, mampu menggunakan teknik non farmakologi),
melaporkan nyeri berkurang skala 1-2, menyatakan nyaman setelah nyeri
berkurang, ekspresi wajah rileks, TD sistolik (80-110 mmHg), diastolik (55-
82), nadi (70-120 kali per menit).
Intervensi yang akan dilakukan observasi reaksi nonverbal karena untuk
mengetahui perilaku yang menunjukkan adanya ketidaknyamanan; lakukan
pengkajian nyeri provocate, kualitas, lokasi, skala, dan waktu nyeri karena
dengan mengetahui penyebab, kualitas, lokasi skala dan waktu nyeri dapat
membantu klien untuk memilih cara yang nyaman untuk mengurangi nyeri;
monitor tanda-tanda vital dengan pemeriksaan tanda-tanda vital dapat
digunakan sebagai salah satu indikator adanya ketidaknyamanan pada klien;
tingkatkan istirahat, dengan istirahat dapat mengurangi keteganagan sehingga
nyeri bisa berkurang; gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien, dengan komunikasi terapeutik dapat memberikan
ketenangan dan kenyamanan pada pasien sehingga pasien mampu
mengungkapakan perasaan nyeri yang dialami; ajarkan teknik non
farmakologi (guided imagery) untuk mengalihkan perhatian selama nyeri,
kolaborasi pemberian analgetik, dengan analgetik dapat menurunkan nyeri
secara optimal (Wijayaningsih, 2012: 237).
Intervensi pada diagnosa keperawatan yang kedua yang akan
dilakukan penulis, dengan tujuan yang akan dicapai penulis berat badan pasien
65
terkontrol, dan kriteria hasil mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi, tidak
ada tanda-tanda malnutrisi, tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti,
berat badan stabil 16 kg, menghabiskan 1 porsi makan yang disediakan yang
monitor intake nutrisi untuk mengetahui kecukuan nutrisi, monitor mual
muntah untuk mengetahui penyebab mual muntah. Intervensi yang akan
dilakukan monitor adanya penurunan berat badan untuk mengetahui status
nutrisi pada klien. Monitor kadar hemoglobin, albumin, dengan mengetahui
kadar hemoglobin, albumin, dapat digunakan untuk mengetahui status nutrisi.
Anjurkan makan selagi masih hangat, makanan yang masih hangat dapat
meningkatkan nafsu makan. Anjurkan pasien meningkatkan makanan protein
dengan makan makanan tinggi protein bisa mempercepat penyembuhan luka.
Berikan informasi tentang kebutuhan (pentingnya) nutrisi menambah
pengetahuan tentang pentingnya nutrisi. Kolaborasi dengan ahli gizi dalam
menentukan jumlah kalori dan nutrisi untuk menentukan diit yang tepat
(Wijayaningsih, 2012: 239).
Intervensi pada diagnosa keperawatan yang ketiga, sesuai tujuan yang
diharapkan balance cairan seimbang ± 200 cc, dengan kriteria hasil pasien
mampu mempertahankan urin output sesuai dengan usia dan berat badan, berat
jenis urin normal (4,5 – 8,0), hematokrit normal (35-45 %), tekanan darah
normal (sistolik 80-110 mmHg, diastolik 55-82 mmHg), suhu normal (36,5 -
37,5�), nadi normal (70-120 kali per menit), tidak ada tanda-tanda dehidrasi
(membran mukosa lembab, elastisitas turgor kulit baik).
66
Intervensi yang akan dilakukan, monitor tanda-tanda vital dengan
memonitor tanda-tanda vital dapat digunakan untuk menetapkan data dasar
klien untuk mengetahui dengan cepat penyimpangan dari keadaan normal.
Monitor status cairan untuk mengetahui status cairan pada pasien, monitor
intake cairan. Monitor hemoglobin dan hematokrit karena untuk mengetahui
status cairan yang ada pada tubuh klien. Monitor status hidrasi yang berguna
untuk mengetahui status hidrasi pada pasien. Pertahankan catatan intake dan
output yang adekuat, dorong masukan oral (minum) yang adekuat karena
asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.
Jelaskan pentingnya minum yang berguna untuk memotivasi klien
meningkatkan intake cairan agar tidak terjadi dehidrasi. Kolaborasi pemberian
cairan intra vena dengan pemberian cairan intravena sangat penting karena
langsung masuk ke pembuluh darah (vaskuler) (Wijayaningsih, 2013: 239).
Intervensi diagnosa keperawatan yang keempat yang akan dilakukan
penulis, sesuai tujuan yang diharapkan tidak terjadi perdarahan, dengan
kriteria hasil tekanan darah normal (sistolik 80-110 mmHg, diastolik 55-82
mmHg), tidak ada perdarahan, trombosit (150-450 ribu/ul), hematokrit normal
(35 - 45 %), tidak ada hematuria, tidak ada perdarahan pervaginam.
Intervensi yang akan dilakukan monitor adanya tanda-tanda
perdarahan untuk mengetahui adanya tanda-tanda perdarahan. Monitor nilai
laboratorium (trombosit), adanya penurunan trombosit meningkatkan resiko
terjadinya perdarahan, untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah
dan sebagai dasar untuk menentukan tindakan lebih lanjut. Monitor status
67
cairan, untuk mengetahui status cairan pada tubuh pasien. Lindungi pasien
dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan untuk meminimalisir
terjadinya trauma yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan.
Pertahankan bedrest total dengan tirah baring dapat mengurangi resiko
terjadinya cidera sehingga perdarahan resiko perdarahan dapat terkontrol.
Anjurkan pasien meningkatkan makanan yang mengndung vitamin K, dengan
mengkonsumsi vitamin K dapat membantu meningkatkan faktor pembekuan
darah. Kolaborasi pemberian cairan intravena, kolaborasi pemeriksaan
laboratorium (trombosit) secara rutin, yang berfungsi mengganti cairan yang
hilang akibat perdarahan dan mengetahui jumlah trombosit (Wijayaningsih,
2012: 239).
D. Implementasi
Penulis melakukan tindakan keperawatan berdasarkan diagnosa
keperawatan yang muncul pada klien sesuai dengan tujuan, kriteria hasil dan
rencana yang ditetapkan. Pada hari pertama penulis melakukan tindakan
keperawatan pada masalah nyeri akut, memonitor tanda-tanda vital hasil
tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 74 kali per menit, respiratory rate 24 kali
per menit, suhu 37� C. Melakukan pengkajian nyeri pasien secara
komperhensif, mengajarkan teknik non farmakologi (guided imagery), pasien
mengatakan nyeri diperberat setelah makan, nyeri seperti diiris-iris, nyeri di
ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang timbul dengan durasi kurang lebih 10
68
detik, pasien tampak nyengir, menunjukkan daerah yang sakit atau yang nyeri.
Setelah diajarkan teknik guided imagery An. L melaporkan skala nyeri 3.
Pada hari kedua penulis memonitor tanda-tanda vital pada An. L,
melakukan pengkajian skala nyeri, mengajarkan teknik non farmakologis
guided imagery, hasil tekanan darah 100/70 mmHg, nadi 78 kali per menit,
respiratory rate 26 kali per menit, suhu 36,8� C, setelah diajarkan teknik
guided imagery terjadi penurunan skala nyeri dari 3 menjadi 2, tampak rileks,
dan tersenyum.
Menurut Potter (1996) dalam Setiadi (2012: 116) pengukuran tanda vital
dilakukan untuk menentukan status kesehatan pasien sebagai data dasar untuk
menguji respon klien terhadap stress fisiologis atau psikologis terhadap terapi
medik atau keperawatan.Pengkajian nyeri dengan PQRST, meliputi kejadian,
awitan, durasi nyeri, kualitas dan memberikan metode untuk mengatasi nyeri
yang digunakan oleh perawat dan klien (Andarmoyo, 2013 : 85).
Nyeri merupakan kejadian ketidaknyamanan yang dalam
perkembangannya akan mempengaruhi berbagai komponen dalam tubuh. Efek
nyeri dapat berpengaruh terhadap fisik, perilaku, dan pengaruhnya pada
aktifitas sehari-hari (Andarmoyo, 2013: 42).
Manajemen nyeri non farmakolagis merupakan tindakan menurunkan
respon nyeri tanpa menggunakan agen farmakologis. Dalam melakukan
intervensi keperawatan, manajemen nyeri non farmakologis merupakan
tindakan independen dari seorang perawat dalam menguasai respons nyeri
klien (Andarmoyo, 2013: 84).
69
Pemberian terapi non farmakologis relatif praktis selain tindakan
mandiri dari perawat, terapi non farmakologis juga sangat efektif untuk
mengurangi respon nyeri salah satunya adalah degan teknik guided
imageryatauimajinasi terbimbing.
Menurut Smeltzer dan Bare (2002) dalam Andarmoyo (2013: 90),
imajinasi terbimbing adalah penggunaan imajinasi seseorang dalam suatu cara
yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu.
Menurut Hart (2008) dalam Mariyam dan Widodo (2012: 230),
mekanisme imajinasi positif dapat melemahkan psikoneuroimmunologi yang
mempengaruhi respon stress, selain itu juga dapat melepaskan endorphin yang
melemahkan respon rasa sakit dan dapat mengurangi rasa sakit atau
meningkatkan ambang nyeri.
Menurut Potter dan Perry (2009) dalam Novarenta (2013: 181), tujuan
dari guided imagery yaitu menimbulkan respon psikofisiologis yang kuat
seperti perubahan dalam fungsi imun. Menurut Smeltzer dan Bare (2002)
dalam Novareta (2013: 181), imajinasi terbimbing dapat mengurangi tekanan
dan berpengaruh pada respon fisiologis seperti menurunkan tekanan darah,
nadi, dan respirasi, hal itu karena teknik imajinasi terbimbing dapat
mengaktivasi sistem saraf parasimpatis.
Pelaksanaan imajinasi terbimbing yang dilakukan penulis, membina
hubungan saling percaya dengan An. L, menjelaskan prosedur: tujuan, posisi,
waktu, dan peran perawat sebagai pembimbing, menganjurkan klien mencari
posisi yang nyaman menurut klien, duduk dengan klien tetapi tidak
70
mengganggu, melakukan pembimbingan dengan baik terhadap klien, meminta
klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau pengalaman yang
membantu penggunaan semua indra dengan suara yang lembut dan meberikan
rekaman video tentang hal yang menyenangkan. Ketika klien rileks, klien
berfokus pada bayangannya dan saat itu perawat tidak perlu bicara lagi.
Pelaksanaan imajinasi terbimbing atau guided imagery membutuhkan
lingkungan yang tenang dan konsentrasi penuh.
Penulis merumuskan intervensi kolaborasi pemberian analgetik
(parasetamol) namun tidak diberikan, karena tidak adanya advis dari dokter.
Pemberian obat-obatan sesuai dengan intruksi dokter, sehingga jenis, dosis,
dan efek samping menjadi tanggung jawab dokter (Setiadi, 2012: 560. Nyeri
yang dialami pada pasien merupakan nyeri sedang yang dapat dikontrol
dengan terapi non farmakologis.
Implementasi pada diagnosa kedua yang penulis lakukan, mengkaji
intake nutrisi dan berat badan, menginformasikan pentingnya nutrisi,
menganjurkan pasien untuk meningkatkan protein, menganjurkan makan
selagi masih hangat, didapatkan hasil terjadi penurunan berat badan, sebelum
sakit 18 kg selama sakit menjadi 16 kg, tampak makan dengan lauk daging
ayam dan menghabiskan kurang lebih 1/3 porsi. Untuk mendukung perawatan
medis yang dilakukan dokter, penderita DBD juga membutuhkan diit yang
dapat mempercepat kesembuhannya. Penanganan diit penderita DBD harus
mengikuti manifestasi yang muncul. Menu yang diberikan berupa makanan
yang berkalori dan berprotein tinggi (Satari, 2004: 60).
71
Implementasi yang dilakukan penulis selama dua hari, pada diagnosa
keperawatan yang ketiga, mengkaji intake cairan, menganjurkan banyak
minum, memonitor balance cairan, menjelaskan pentingnya minum, dengan
hasil terpasang infus RL 15 tetes per menit, pasien minum air putih 1/3 gelas,
balance cairan + 180 cc. Pengukuran akurat terhadap masukan dan
pengeluaran cairan merupakan hal vital dalam pengkajian dehidrasi. Hal ini
meliputi masukan oral dan parenteral dan kehilangan cairan melalui urine,
feses, muntah, dan keringat (Wong, 2004: 382). Pada penderita DBD tingkat
lanjut, terjadi mual, nyeri perut, muntah, sakit kepala hebat, dan terjadi
kebocoran plasma yang terdeteksi melalui hasil laboratorium. Keadaan ini
diantisipasi dengan pemberian cairan yang cukup melalui oral (minum) dan
infus, utamanya ringer laktat atau ringer asetat (Satari, 2004: 60). Pemberian
cairan intravena dengan ringer laktat segera dilakukan untuk memperbaiki dan
mempertahankan kebutuhan cairan yang adekuat (Widagdo, 2012: 125).
Implementasi pada diagnosa keperawatan yang keempat, mengobservasi
tanda-tanda perdarahan, menganjurkan untuk bedrest dan memasang
pengaman tempat tidur, memonitor jumlah trombosit dan hematokrit,
didapatkan hasil trombosit pasien 85 ribu/ul, hematokrit 41 %, tidak ada
tanda-tanda perdarahan, tampak tiduran di tempat tidur. Hematokrit perlu terus
menerus dimonitor untuk mengetahui bila saatnya syok mulai mengancam.
Terjadinya syok memunculkan perdarahan juga (Hendrawan, 2007: 7).
Perdarahan perlu dimonitor dengan ketat. Perdarahan dapat timbul pada
beberapa tempat, selain kulit juga dapat timbul pada mukosa eksternal maupun
72
internal. Perdarahan umumnya terjadi pada hari kelima sampai kedelapan.
Perdarahan masif dapat menyebabkan syok yang memanjang dan asidosis
metabolik, hal ini yang menjadi penyebab langsung kematian (Garna, 2012:
351).
E. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan penulis pada hari pertama pada diagnosa
pertama, masalah keperawatan nyeri akut pada An. L belum teratasi karena
belum sesuai tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan, skala nyeri 3,
menunjukkan area yang nyeri, tampak nyengir saat dipalpasi.Adapun hasil
evaluasi pada masalah keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh yang dilakukan penulis, belum teratasi karena belum sesuai
dengan tujuan dan kriteria hasil, pasien tidak nafsu makan, menghabiskan 1/3
porsi makan yang disediakan rumah sakit.
Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan resiko kekurangan
volume cairan yang dilakukan penulis belum teratasi karena belum sesuai
dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan, pasien mengatakan lemas,
lesu, membran mukosa sedikit kering. Evaluasi yang dilakukan pada masalah
keperawatan resiko perdarahan yang dilakukan penulis didapatkan masalah
belum teratasi, karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil, tidak ada
tanda-tanda perdarahan (ptekie, mimisan, perdarahan pervagina), trombosit 55
ribu/ul, tampak lemas.
73
Evaluasi pada hari kedua, tanggal 11 April 2014 pukul 14.30 pada
masalah keperawatan nyeri akutteratasi dan sesuai dengan tujuan dan kriteria
hasil yang diharapkan. Hasil evaluasi pada masalah keperawatan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang dilakukan
penulis belum teratasi, karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil,
berat badan 16 kg, Hb 13 gr/dl, menghabiskan 1/3 porsi makan yang
disediakan.
Evaluasi pada masalah keperawatan resiko kekurangan volume cairan
teratasi, karena sudah sesuai dengan tujuan dan kriteria hasil yang diharapkan.
Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan resiko perdarahan,
didapatkan hasil belum teratasi karena belum sesuai dengan tujuan dan kriteria
hasil yang diharapkan, trombosit 85 ribu/ul, tidak pucat, tidak ada tanda
perdarahan.
Belum teratasinya masalah keperawatan resiko perdarahan dan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh pada An. L
dikarenakan, keterbatasanwaktu pengelolaan.
Waktu pemberian terapi guided imagery yang diberilkan penulis pada
An. L sesuai dengan jurnal. Dalam penelitian Maryam dan Widodo pemberian
Guided imagery menggunakan audio (MP4) yang diberikan selama prosedur
pemasangan infus sampai selesai. Rekaman yang diberikan berdurasi 10
menit.
Dalam penelitian Anggraini (2012), pemberian terapi guided imagery
yang digunakan untuk mengurangi nyeri abdominal fungsional pada anak.
74
Berdasarkan laporan dari orang tua 63,1 % anak-anak dikelompok standart
medical care + guided imagery merasakan adanya penurunan nyeri dan
dikelompok yang hanya mendapat standart medical care sebesar 26.7 %
merasakan adanya penurunan nyeri. Berdasarkan laporan dari anak 52,6 %,
anak-anak dikelompok standar medical care + guided imagery merasakan
adanya penurunan nyeri dan dikelompok standart medical care 33,3 %.
Pemberian guided imagery pada An. L dilakukan selama 2 hari, waktu
yang diperlukan kurang lebih 10 menit, karena durasi vidio yang diberikan
selama 6 menit, dan penjelasan prosedur membutuhkan waktu kurang lebih 4
menit.
75
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Setelah penulis melakukan pengkajian, penentuan diagnosa,
perencanaan, implementasi dan evaluasi tentang pemberian audio visual
recordedguided imagery therapy terhadap penurunannyeri pada asuhan
keperawatan An. L dengan Dengue Haemorragic Fever di ruang Melati 2
rumah sakit Dr. Moewardi Surakarta maka dapat ditarik kesimpulan :
a. Pengkajian
Pasien mengatakan nyeri, nyeri diperberat setelah makan, nyeri
seperti diiris-iris, nyeri disekitar ulu hati, skala nyeri 4, nyeri hilang
timbul, dengan durasi waktu kurang lebih 10 detik, ekspresi wajah
tampak nyengir saat dilakukan palpasi diperut, pasien juga melaporkan
adanya nyeri diperut, dan menunjukkan daerah yang sakit.
Pasien mengatakan badannya lemas, minum 5-6 kali sehari
masing-masing 1/3 gelas kecil, minum air putih dan teh hangat, pasien
tampak lemas, mukosa bibir kurang lembab (sedikit kering), cubitan di
perut kembali kurang dari 2 detik, balance cairan tanggal 11 April
2014 jam 13.00, +180 cc.
Pasien mengatakan tidak nafsu makan, makan 3 kali sehari, habis
1/3 porsi makan yang disediakan rumah sakit, berat badan 16
76
kilogram, WAZ -2,73 status gizi kurang, IMT 10,73 berat badan
kurang. Pasien mengatakan lemes, data obyektif pasien tampak lemah,
trombosit 55 ribu/ul.
b. Diagnosa Keperawatan
Dari data pengkajian, penulis merumuskan diagnosa dan
membuat pioritas diagnosa keperawatan yang pertama nyeri akut
berhubungan dengan agen cidera biologis (viremia). Diagnosa
keperawatan yang kedua, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis.
Diagnosa keperawatan yang ketiga resiko kekurangan volume
cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif (kebocoran
plasma). Diagnosa keperawatan yang keempat resiko perdarahan
berhubungan dengan koagulopati inheren (trombositopenia)
c. Intervensi
Intervensi yang dibuat oleh penulis pada diagnosa yang pertama,
observasi reaksi nonverbal; lakukan pengkajian nyeri provocate,
kualitas, lokasi, skala, dan waktu nyeri; monitor tanda-tanda vital;
tingkatkan istirahat; gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk
mengetahui pengalaman nyeri pasien, ajarkan teknik non farmakologi
(guided imagery); kolaborasi pemberian analgetik.
Intervensi yang akan dilakukan penulis pada diagnosa
keperawatan yang kedua, monitor intake nutrisi, monitor mual muntah,
monitor adanya penurunan berat badan, monitor kadar hemoglobin,
77
albumin, hematokrit, anjurkan makan selagi masih hangat, anjurkan
pasien meningkatkan makanan protein, berikan informasi tentang
kebutuhan (pentingnya) nutrisi, kolaborasi dengan ahli gizi dalam
menentukan jumlah kalori dan nutrisi.
Intervensi yang akan dilakukan penulis pada diagnosa
keperawatan yang ketiga, Intervensi yang akan dilakukan monitor
tanda-tanda vital, monitor status cairan, monitor intake cairan, monitor
hemoglobin dan hematokrit, monitor status hidrasi, pertahankan
catatan intake dan output yang adekuat, dorong masukan oral (minum)
yang adekuat, jelaskan pentingnya minum, kolaborasi pemberian
cairan intravena.
Intervensi yang akan dilakukan penulis pada diagnosa
keperawatan yang ke empat, monitor adanya tanda-tanda perdarahan,
monitor nilai laboratorium (trombosit), monitor statuscairan, lindungi
pasien dari trauma yang dapat menyebabkan perdarahan, pertahankan
bedrest total, anjurkan pasien meningkatkan makanan yang
mengndung vitamin K, kolaborasi pemberian cairan intra vena,
kolaborasi pemeriksaan laboratorium (trombosit) secara rutin.
d. Implementasi
Penulis melakukan implementasi berdasarkan perencanaan yang
penulis tetapkan sebelumnya. Namun pada masalah nyeri akut, penulis
tidak melakukan intervensi kolaborasi pemberian analgetik
(parasetamol), karena tidak diadanya advis dari dokter.
78
e. Evaluasi
Setelah penulis melakukan implementasi, penulis melakukan
evaluasi selama 2 kali 24 jam didapatkan hasil, masalah keperwatan
nyeri akut teratasi, masalah keperawatan resiko kekurangan volume
cairan teratasi, masalah keperawatan resiko perdarahan dan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh belum teratasi.
f. Analisa
Pemberian tindakan keperawatan terapi audio visual
recordedguided imageryyang diberikan selama dua hari, mampu
menurunkan intensitas nyeri pada An. L, dengan skala nyeri 4 menjadi
2.
2. Saran
Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan
DHF penulis akan memberikan usulan dam masukan yang positif
khususnya dibidang kesehatan antara lain :
a. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan (Rumah Sakit)
Rumah sakit dapat memberikan pelayanan kesehatan dan
mempertahankan hubungan kerjasama baik antara tim kesehatan
maupun dengan klien, sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan
asuhan keperawatan yang optimal pada umumnya dan khususnya bagi
klien yang memngalami nyeri dengan DHF.
79
b. Bagi Tenaga Kesehatan Khususnya Perawat
Hendaknya para perawat memiliki tanggung jawab dan
ketrampilan yang baik dan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan
yang lain dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada
klien DHF, keluarga, perawat dan tim kesehatan lain mampu
membantu dalam kesembuhan klien serta memenuhi kebutuhan
dasarnya.
c. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih
berkualitas sehingga dapat mengasilkan perawat yang profesional,
terampil, inovatif dan bermutu dalam memberika asuhan keperawatan
secara komprehensif berdasarkan ilmu dan kode etik keperawatan.
80
Daftar Pustaka
Andarmoyo, S. (2013). Konsep Dan Proses Keperawatan Nyeri. Jogjakarta: AR-
Ruzz Media.
Anggraini, Temmy L. (2012). Penggunaan Audio Recorded Guided Imagery
Therapy Untuk Mengurangi Nyeri Abdominal Fungsional Pada Anak.
Tesis. Program Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Anak Universitas
Indonesia.Jakarta.http://pkko.fik.ui.ac.id/files/Penggunaan%20audio%20re
corded%20guided%20imagery%20untuk%20mengurangi%20nyeri%20ab
domen%20fungsional%20pada%20anak.pdf . Diakses tanggal 9 April
2014 jam 20.00 WIB.
Anies. (2006). Manajemen Berbasis Lingkungan. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Firdaus, A. (2011). Piawai Jadi Dokter Anak Untuk Keluarga. Jogjakarta: DIVA
Pres.
Grana, H. (2012). Buku Ajar Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis. Jakarta: CV
Sagung Seto.
Handarwan, Nadesul. (2007). Cara Mudah Mengalahkan Demam Berdarah.
Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Ikatan Apoteker Indonesia. (2010). Informasi Spesialis Obat Indonesia. Jakarta:
PT. ISFI.
Judha, M., Sudarti, dan A. Fauziah. 2012. Teori Pengukuran Nyeri dan Nyeri
Persalinan. Yokyakarta: Nuha Medika.
Kusyati, Eni. (2006). Ketrampilan Dan Prosedur Laboratorium Keperawatan
Dasar. Jakarta: EGC.
Mariyam dan S. Widodo. (2012). Pengaruh Guided Imagery Terhadap Tigkat
Nyeri Anak Usia 7-13 Tahun Saat Dilakukan Pemasangan Infus di RSUD
Kota Semarang. Seminar Hasil-Hasil Penelitian. LPPM UNIMUS
Semarang.
81
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/psn12012010/article/view/515/564.Di
akses tanggal 09 April 2014 jam 19.00 WIB.
Novarenta, A. (2013). Guided Imagery untuk Mengurangi Rasa Nyeri Saat
Menstruasi. Vol. 01. Jurnal. Fakultas Psikologi Universitas
MuhammadiyahMalang.
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/viewFile/1575/1671.
Diakses pada tanggal 20 April 2014, jam 13.10 WIB.
Novel, Sinta S. (2011). Ensiklopedi Penyakit Menular dan Infeksi. Yogyakarta:
Familia.
Nugroho, T. (2011). Asuhan Keperawatan Maternitas Anak Bedah Penykit
Dalam. Yogyakarta: Nuha Media.
Nurarif, Amin dan Hardi, K. (2013). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA ( North American Nursing Diagnosis) NIC
NOC. Jilid 1. Jakarta: Media Action Publishing .
Nursalam, R. Susilaningrum, dan S. Utami. (2005). Asuhan Keperawatan Bayi
dan Anak (untuk Perawat dan Bidan). Jakarta: Salemba Medika.
Rahayu, M., T. Baskoro, dan B. Wahyudi. (2010). Studi Kohort Kejadian Demam
Berdarah Dengue. Volume 26, No 4. Jurnal. Berita Kedokteran
Masyarakat.http://ejournal.umm.ac.id/index.php/jipt/article/viewFile/1575/
1671. Diakses tanggal 20 April 2014, jam 13.00.
Ricwanto, F., R. Hestiningsih dan L D. Saraswati. (2013). Hubungan Kejadian
Keberadaan Tempat Perindukan Nyamuk Aedes Aegypti dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue di Tiga Kelurahan Endemis Kota Palangkaraya
Tahun 2012. Volume 2, Nomor 2. Jurnal kesehatan Masyarakat.FKM
UNDIP. http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm. Diakses tanggal 13
April 2013 jam 10.00 WIB.
Sayono, D. Syafrudin, dan D. Sumanto. (2012). Distribusi Resistensi Nyamuk
Aedes Aegypti terhadap Insektisida Sipermetrin di Semarang. Seminar
Hasil-hasil Penelitian. LPPM UNIMUS Semarang.
http://jurnal.unimus.ac.id. Diakses tanggal 12 April 2014 jam 10.20 WIB.
82
Setiadi. (2012). Konsep & Penulisan Dokumentasi Asuhan KeperawatanTeori dan
Praktek. Edisi Pertama. Yogyakarta: Cetakan Pertama. Graha Ilmu.
Soedarto. (2012). Demam Berdarah Dengue Dengue Haemorrhagic Fever.
Jakarta: CV Sagung Seto.
Soegijanto, S. (2012). Demam Berdarah Dengue. Edisi Kedua. Surabaya:
Airlangga University Press.
Suriadi dan R. Yuliani. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak. Jakarta: CV
Sagung Seto.
Widagdo. (2012). Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Demam.
Jakarta: CV Sagung Seto.
Widiyanto, T. (2007). Kajian Manajemen Ligkungan Terhadap Kejadian Demam
Berdarah Dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa Tengah. Tesis.
Magister Kesehatan Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro Semarang.
http://eprints.undip.ac.id/17910/1/TEGUH_WIDIYANTO.pdf. Diakses
tanggal 20 April 2014, jam 13.00 WIB.
Widoyono. (2008). Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Semarang: Erlangga.
Wijayaningsih, Kartika S. (2013). Standar Asuhan Keperawatan. Jakarta: CV
Trans Info Media.
Wong, Donna L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.