Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

12
Patofisiologi dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik Pendahuluan. Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alerg bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirk pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok d sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu syok anafilak suatu tragedi dalam dunia kedokteran, yang membutuhkan pertolongan cepat Tanpa pertolongan yang cepat dan tepat, keadaan ini dapat menimbulkan malapetaka y berakibat ganda. Disatu pihak penderita dapat meninggal seketika, dilain pihak dok dapat dikenai sanksi hukum yang digolongkan sebagai kelalaian atau malpratice. Tes yang merupakan salah satu upaya guna menghindari kejadian ini tidak dapat diandalk sebab ternyata dengan test kulit yang negatif tidak menjamin 100 % untuk tidak tim reaksi anafilaktik dengan pemberian dosis penuh. Selain itu, test kulit sendiri dapat menimbulkan syok anafilaktik pada penderita yang amat sensitif. Olehnya ituupaya menghindari timbulnya syok anafilaktik ini hampir tertutup bagi profesi dokter yan berhadapan dengan suntikan. Satu-satunya jalan yang dapat menolong kita dari malap ini bukan menghindari penyuntikan, karena itu merupakan senjata ampuh buat kita, t bagaimana kita memberi pertolongan secara lege-artis bila kejadian itu menimpa kit itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik. ini akan memberi petunjuk sederhana tentang usaha-usaha yang harus dilaku mengelola syok anafilaktik. Insidens Insidens syok anafilaktik 40 – 60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 per zat kontras radiografi, dan 10 – 20 persen akibat pemberian obat penicillin. Sanga data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik. Anafila fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun. Di Amerika Serikat insisidens reaksi alergi dan anafilaksis yang dicatat dari bagi darurat rumah sakit didapatkan bahwa 0,5persen (5 per 1000) dan 0,02 persen (2 per kejadian. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian ant seperti penicillin dan bahan zat radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematia 500 kematian akibat reaksi anafilaksis. Secara umum insidens reaksi anafi eksposue di Amerika. Gigitan serangga hymenoptera merupakan penyebab yang terbanya dari syok anafilaktik.(1) Patofisiologi Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik te tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhada alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastos basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni ant histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi i sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Rea segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya

description

good

Transcript of Patofisiologi Dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Patofisiologi dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Pendahuluan.Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga menimbulkan syok disebut sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal. Oleh karena itu syok anafilaktik adalah suatu tragedi dalam dunia kedokteran, yang membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Tanpa pertolongan yang cepat dan tepat, keadaan ini dapat menimbulkan malapetaka yang berakibat ganda. Disatu pihak penderita dapat meninggal seketika, dilain pihak dokternya dapat dikenai sanksi hukum yang digolongkan sebagai kelalaian atau malpratice. Test kulit yang merupakan salah satu upaya guna menghindari kejadian ini tidak dapat diandalkan, sebab ternyata dengan test kulit yang negatif tidak menjamin 100 % untuk tidak timbulnya reaksi anafilaktik dengan pemberian dosis penuh. Selain itu, test kulit sendiri dapat menimbulkan syok anafilaktik pada penderita yang amat sensitif. Olehnya itu upaya menghindari timbulnya syok anafilaktik ini hampir tertutup bagi profesi dokter yang selalu berhadapan dengan suntikan. Satu-satunya jalan yang dapat menolong kita dari malapetaka ini bukan menghindari penyuntikan, karena itu merupakan senjata ampuh buat kita, tapi bagaimana kita memberi pertolongan secara lege-artis bila kejadian itu menimpa kita. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik. Makalah ini akan memberi petunjuk sederhana tentang usaha-usaha yang harus dilakukan dalam mengelola syok anafilaktik.

InsidensInsidens syok anafilaktik 40 60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat zat kontras radiografi, dan 10 20 persen akibat pemberian obat penicillin. Sangat kurang data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun.Di Amerika Serikat insisidens reaksi alergi dan anafilaksis yang dicatat dari bagian gawat darurat rumah sakit didapatkan bahwa 0,5persen (5 per 1000) dan 0,02 persen (2 per 10.000) kejadian. Sebagian besar kasus yang serius anafilaktik adalah akibat pemberian antibiotik seperti penicillin dan bahan zat radiologis. Penicillin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis. Secara umum insidens reaksi anafilakis 0,01 % eksposue di Amerika. Gigitan serangga hymenoptera merupakan penyebab yang terbanyak dari syok anafilaktik.(1)

PatofisiologiReaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni antara lain histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya gejala pernafasan dan syok. (2)Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada permukaan saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner sedangkan stimulasi reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus dijalan nafas. Rasio H1 H2 pada jaringan menentukan efek akhirnya. (2,3)Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler. Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin (meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya mediator.(2,3,4)

Reaksi AnafilaktoidReaksi anafilaktoid adalah reaksi yang menyebabkan timbulnya gejala dan keluhan yang sama dengan reaksi anafilaksis tetapi tanpa adanya mekanisme ikatan antigen antibodi. Pelepasan mediator biokimiawi dari mastosit melewati mekanisme nonimunologik ini belum seluruhnya dapat diterangkan. Zat-zat yang sering menimbulkan reaksi anafilaktoid adalah kontras radiografi (idionated), opiate, tubocurarine, dextran maupun mannitol. Selain itu aspirin maupun NSAID lainnya juga sering menimbulkan reaksi anafilaktoid yang diduga sebagai akibat terhambatnya enzim siklooksgenase.

Manifestasi klinikWalaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita.(4,5,6,7)

Sistem pernafasanGangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok anafilaktik.

Sistem sirkulasi Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan kedua akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif).Gejala hipotensi ini dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.

Gangguan kulit.Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang lebih berat.

Gangguan gastrointestinalPerut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik

Skema perubahan patofisiologi pada syok anafilaktik

Pengelolaan Anafilaksis dan syok AnafilaksisSecara umum terapi anafilaksis bertujuan :1. Mencegah efek mediator

Menghambat sintesis dan pelepasan mediator

Blokade reseptor

2. Mengembalikan fungsi organ dari perubahan patofisiologik akibat efek mediator.

Titik tangkap terapi berdasarkan perubahan patofisiologi

Penanganan syok anafilaktikI. Terapi medikamentosa (7,8,9)Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnose dan pengelolaannya.1.Adrenalin merupakan drug of choice dari syok anafilaktik. Hal ini disebabkan 3 faktor yaitu :

Adrenalin merupakan bronkodilator yang kuat , sehingga penderita dengan cepat terhindar dari hipoksia yang merupakan pembunuh utama.

Adrenalin merupakan vasokonstriktor pembuluh darah dan inotropik yang kuat sehingga tekanan darah dengan cepat naik kembali.

Adrenalin merupakan histamin bloker, melalui peningkatan produksi cyclic AMP sehingga produksi dan pelepasan chemical mediator dapat berkurang atau berhenti.

Dosis dan cara pemberiannya.0,3 0,5 ml adrenalin dari larutan 1 : 1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5 10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1 0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spoit 10 ml dengan NaCl fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lambat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi.

2.Aminofilin

Dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme belum hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg lagi melalui drips infus bila dianggap perlu.

3. Antihistamin dan kortikosteroid.

Merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, sebab keduanya hanya mampu menetralkan chemical mediators yang lepas dan tidak menghentikan produksinya. Dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaik guna mencegah komplikasi selanjutnya berupa serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCl 5 20 mg IV dan untuk golongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5 10 mg IV atau hidrocortison 100 250 mg IV.

Obat obat yang dibutuhkan : Adrenalin

Aminofilin

Antihistamin

Kortikosteroid

II. Terapi supportifTerapi atau tindakan supportif sama pentingnya dengan terapi medikamentosa dan sebaiknya dilakukan secara bersamaan. (10,11,12)1. Pemberian Oksigen

Jika laring atau bronkospasme menyebabkan hipoksi, pemberian O2 3 5 ltr / menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.

2. Posisi Trendelenburg

Posisi trendeleburg atau berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi ) akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.

3.Pemasangan infus.

Jika semua usaha-usaha diatas telah dilakukan tapi tekanan darah masih tetap rendah maka pemasangan infus sebaiknya dilakukan. Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil.

4. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP)

Seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi(Resucitation kit ) untuk memudahkan tindakan secepatnya.

Perangkat yang dibutuhkan : Oksigen

Posisi Trendelenburg (kursi)

Infus set dan cairannya

Resusitation kit

Pencegahan1. Kewaspadaan

Tiap penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin, anestesi lokal dll ) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anfilaktik.Penderita yang tergolong resiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, atau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikan obat yang sama bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih aman.

2. Test kulit

Test kulitmemang sebaiknya dilakukan secara rutin sebelum pemberian obat bagi penderita yang dicurigai. Tindakan ini tak dapat diandalakan dan bukannya tanpa resiko tapi minimal kita dapat terlindung dari sanksi hukum. Pada penderita dengan resiko amat tinggi dapat dicoba dengan stracth test dengan kewaspadaan dan persiapan yang prima.

3. Pemberian antihistamin dan kortikosteroid .

Sebagai pencegahan sebelum penyuntikan obat, juga merupakan tindakan yang aman, selain itu hasilnyapun dapat diandalkan.

4. Pengetahuan, keterampilan dan peralatan.

Early diagnosis dan early treatment secara lege-artis serta tersedianya obata-obatan beserta perangkat resusitasi lainnya merupakan modal utama guna mengelola syok anafilaktik yang mungkin tidak dapat dihindari dalam praktek dunia kodokteran.

Masalah hukumWalaupun test kulit tidak memberi jaminan 100 % namun demi kepentingan, test kulit sebaiknya dilakukan sebelum menyuntikan obat-obatan yang telah pernah dilaporkan sebagai obat yang dapat menimbulkan syok anafilaksis.Seandainya test kulit negatif dan pada pemberian dosis pernah terjadi syok anafilaksis kemudian tak dapat tertolong maka pertanyaannya adalah :

1. Sudahkah kita melakukan tugas kita dengan baik yakni menggunakan standar profesi yang optimal ? Disini dituntut pengetahuan dan keterampilan dalam bertindak.

2. Tersediakah obat-obatan perfection dan peralatan yang lengkap untuk melakukan RKP yang sempurna. Disini dituntut tersedianya obat-obatan perfection dan peralatan yang lengkap untuk bertindak sesuai dengan standar profesi yang muktahir.

Jika semuanya telah kita lakukan dengan sempurna, maka paling tidak beban moril akan jauh lebih rendah dan terhindar dari tuntutan hukum.

Kesimpulan1. Syok anafilaksis merupakan reaksi alergi yang tergolong emergency life-threatening.

2. Reaksi anafilaksis atau anafilaktoid dapat memberi gejala yang sama, walaupun mekanismenya berbeda.

3. Test kulit senantiasa diperlukan, pada penggunaan obat-obat yang sangat dicurigai (untuk kepentingan aspek hukum).

4. Pemberian antihistamin dan steroid pra-exposure dilaporkan sangat bermanfaat.

5. Drug of choise dari syok anafilaktik adalah adrenalin.

6. Keterampilan RKP dan ketersediaan Resusitation kit, emergency drug mutlak pada tempat-tempat dimana penyuntikan banyak dilakukan.

Referensi.

1. HauptMT ,Fujii TK et al (2000) Anaphylactic Reactions. In :Text Book ofCritical care. Eds : Ake Grenvvik,Stephen M.Ayres,Peter R,William C.Shoemaker 4th edWB Saunders companyPhiladelpia-Tokyo.pp246-56

2. Koury SI, Herfel LU . (2000) Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International edition Emergency Medicine.Eds :Tintinalli,Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill New York-Toronto.pp 242-6

3. Martin (2000) In: Fundamentals Anatomy and Physiology,5th ed pp.788-9

4. Rehatta MN.(2000). Syok anafilaktik patofisiologi dan penanganan. In : Update on Shock.Pertemuan Ilmiah Terpadu.Fakultas Kedoketran Universitas Airlangga Surabaya.

5. Sanders,J.H, Anaphylactic Reaction Handbook of Medical Emergencies, Med.Exam. Publ.Co,2 nd Ed.154 : 1978.

6. Austen, K.F, : Systemic Anaphylaxix in Man JAMA, 192 : 2 .1965.

7. Van-Arsdel,P,P ,: Allergic Reaction to Penicillin, JAMA 191 : 3, 1965.

8. Petterson,R and Arbor A. Allergic Energencies. The Journal of the American Medical Association 172 : 4,1960.

9. Shepard, D.A. and Vandam.L,D. Anaphylaxis Assiciated with the use of Dextran Anesthesiology 25: 2, 1964.

10. Currie, TT. Et al, Severe Anaphylactic Reaction to Thiopentone : Case report,British Medical Journal June 1966.

11. Kern R,A. Anphylactic Drug Reaction JAMA 6 :1962.

12. Cook, D.R. Acute Hypersensitivity Reaction to Penicillin During general Anesthesia : Case Report. Anesthesia and Analgesia 50 : 1, 1971.

Penulis :Prof dr A.Husni Tanra, PhD, SpAn, KICBagian Anestesiologi dan Perawatan Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin-Makassar

http://ivan-atjeh.blogspot.com/2012/01/patofisiologi-dan-penatalaksanaan-syok.htmlSurviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock : 2008

KRITERIA DIAGNOSIS UNTUK SEPSISInfection, documented or suspected, and some of the following:General variablesFever (>38.3C)Hypothermia (core temperature < 36C)Heart rate > 90 min_1 or > 2 SD above the normal value for ageTachypneaAltered mental statusSignificant edema or positive fluid balance (> 20 mL/kg over 24 hrs)Hyperglycemia (plasma glucose >140 mg/dL or 7.7 mmol/L) in the absence of diabetesInflammatory variablesLeukocytosis (WBC count > 12,000 L-1)Leukopenia (WBC count < 4000 L-1)Normal WBC count with > 10% immature formsPlasma C-reactive protein > 2 SD above the normal valuePlasma procalcitonin > 2 SD above the normal valueHemodynamic variablesArterial hypotension (SBP < 90 mm Hg; MAP < 70 mm Hg; or an SBP decrease > 40 mm Hg in adults or < 2 SD below normal for age)Organ dysfunction variablesArterial hypoxemia (PaO2/FIO2 < 300)Acute oliguria (urine output < 0.5 mL/Kg hr or 45 mmol/L for at least 2 hrs, despite adequate fluid resuscitation)Creatinine increase > 0.5 mg/dL or 44.2 mol/LCoagulation abnormalities (INR > 1.5 or a PTT > 60 secs)Ileus (absent bowel sounds)Thrombocytopenia (platelet count, < 100,000 L-1)Hyperbilirubinemia (plasma total bilirubin > 4 mg/dL or 70 mol/L)Tissue perfusion variablesHyperlactatemia (> upper limit of lab normal)Decreased capillary refill or mottlingDiagnostic criteria for sepsis in the pediatric population are signs and symptoms of inflammationplus infection with hyper- or hypothermia (rectal temperature > 38.5C or < 35C),tachycardia (may be absent in hypothermic patients), and at least one of the following indications of altered organ function: altered mental status, hypoxemia, increased serumlactate level, or bounding pulses.RESUSITASI AWAL DAN PENANGANAN INFEKSIResusitasi awal (pertama 6 jam) Mulailah segera resusitasi pada pasien dengan hipotensi atau peningkatan serum laktat serum > 4 mmol / L ; jangan tunda tertunda masuk ICU (1C) Tujuan resusitasi (1C) CVP 8 - 12 mmHg Tekanan Arteri rata-rata (MAV) > 65 mmHg. Urin output > 0,5 mL/Kg/Jam.Saturasi oksigen vena sentral (vena cava superior) > 70% atau mixed venous > 65%. Jika target saturasi oksigen vena tidak tercapai (2C) Pertimbangkan lebih lanjut cairan Tranfusi PRC sampai hematokrit > 30% dan / atau mulai infus dobutamin , maksimum 20 mcg/kg/menitDiagnosa Memperoleh antibiotik sesuai cultur sebelum memulai antibiotik yang tersedia ini tidak secara signifikan memperlambat administrasi antimikroba (1C) Mendapatkan dua atau lebih BCs. Satu atau lebih BCs harus perkutan. Satu BC dari setiap tempat perangkat akses vaskuler > 48 jam. Cultur tempat lain dengan indikasi klinis Melakukan pencitraan segera dan melakukan konfirmasi dari setiap sampel sumber infeksi, jika aman untuk melakukannya (1C)

Terapi Antibiotik Mulailah antibiotik intravena seawal mungkin dan selalu dalam jam pertama terdiagnosa dengan sepsis berat (1D) dan syok septik (1B) Broad-spektrum: satu atau lebih agen aktif terhadap bakteri / jamur patogen dan dengan penetrasi yang baik ke sumber infeksi yang dicurigai (1B) Evaluasi regimen antimikroba setiap hari untuk mengoptimalkan efektivitas, mencegah resistensi, menghindari toksisitas, dan meminimalkan biaya (1C) Pertimbangkan terapi kombinasi pada infeksi Pseudomonas (2D) Pertimbangkan terapi kombinasi empiris pada pasien neutropenic (2D) Kombinasi terapi < 3-5 hari dan De-eskalasi mengikuti suseptibilitas (2D) Jangka waktu terapi biasanya terbatas untuk 7-10 hari; lebih lama jika respon lambat atau ada kurangnnya drainase fokus infeksi atau defisiensi imonologik (1D) Stop terapi antimikrobial jika penyebab yang ditemukan adalah noninfeksius (1D) Identifikasi dan kontrol Sumber Tempat anatomi spesipik dari infeksi harus ditetapkan secepat mungkin (1C) dan dalam 6 jam pertama dari pemberian (1D) Evaluasi pasien secara formal untuk fokus infeksi dengan langkah-langkah kontrol sumber (misalnya drainase abses, debridemen jaringan) (1C) Melaksanakan tindakan kontrol sumber sesegera mungkin setelah suksesl resusitasi awal (1C) (pengecualian: infeksi nekrosis pankreas, di mana intervensi bedah yang terbaik tertunda) (2B) Pilih pengukuran kontrol sumber dengan keberhasilan maksimum dan gangguan fisiologis minimal (1D) Buang perangkat akses intravaskuler jika berpotensi terinfeksi (1C)DUKUNGAN HEMODINAMIK DAN TERAPI ADJUNGTIVTerapi Cairan Resusitasi Cairan dengan kristaloid atau koloid (1B) Targetkan CVP sebesar > 8 mmHg (> 12 mmHg jika ventilasi mekanik) (1C) Gunakan teknik fluid challenge yang terkaitan dengan perbaikan hemodinamik (1D) Berikan fluid cgallenge 1000 mL kristaloid atau koloid 300-500 mL lebih dari 30 menit. Lebih cepat dan volume yang lebih besar mungkin diperlukan pada sepsis-induced tissue hypoperfusion (1D) Tingkat pemberian cairan harus dikurangi jika tekanan pengisian jantung meningkat tanpa konkuren perbaikan hemodinamik (1D) Vasopressors Menjaga MAP > 65 mm Hg (1C) Norepinefrin dan dopamin yang diberikan melalui sentral adalah vasopressors pilihan awal (1C) Epinephrine, phenylephrine, atau vasopresin sebaiknya tidak diberikan sebagai awal vasopressor pada renjatan septik (2C). Vasopressin 0,03 unit / menit dapat kemudian ditambahkan ke norepinefrin untuk mengantisipasi efek setara dengan norepinefrin sendirian Gunakan Epinefrin sebagai agen alternatif pertama pada renjatan septik saat tekanan darah kurang responsif terhadap norepinefrin atau dopamin (2B). Jangan gunakan dopamin dosis rendah untuk perlindungan ginjal (1A) Pada pasien yang membutuhkan vasopressors, memasukkan kateter arteri sesegera mungkin (1D)

Inotropic terapi Gunakan dobutamin pada pasien dengan disfungsi miokard yang disertai oleh peningkatan mengisi tekanan jantung dan output jantung yang rendah (1C) Jangan meningkatkan Cardiac indeks ke tingkat supranormal yang telah ditentukan (1B) Steroid Pertimbangkan hidrokortison intravena untuk syok septik dewasa ketika terjadi respon yang buruk pada hipotensi setelah resusitasi cairan dan vasopressors yang adekuat (2C) ACTH stimulation test tidak dianjurkan untuk mengidentifikasi subset dari orang dewasa dengan syok septik siapa yang harus menerima hidrokortison (2B) Hidrokortison lebih disukai dari pada deksametason (2B) Fludrocortisone (50 mcg secara oral sekali sehari) mungkin disertakan jika alternatif untuk hidrokortison sedang digunakan yang tidak memiliki aktivitas mineralokortikoid yang signifikan. Fludrocortisone adalah pilihan jika hidrokortison digunakan (2C) Terapi steroid dapat di weining bila vasopressors tidak lagi diperlukan (2D) Dosis Hidrokortison < 300 mg / hari (1A) Jangan menggunakan kortikosteroid untuk mengobati sepsis tanpa adanya shock kecuali pasien endokrin atau kortikosteroid sejarah waran itu (1D) Recombinant human activated protein C Pertimbangkan rhAPC pada pasien dewasa dengan sepsis-induced disfungsi organ dengan penilaian klinis resiko tinggi kematian (biasanya APACHE II > 25 atau beberapa kegagalan organ) jika idak ada kontraindikasi (2B, 2C untuk pasien pasca operasi). Pasien dewasa dengan sepsis berat dan risiko rendah kematian (biasanya, APACHE II < 20 atau satu kegagalan organ) seharusnya tidak menerima rhAPC (1A)TERAPI SUPORTIF LAIN UNTUK SEPSIS BERATAdministrasi produk darah Berikan sel darah merah pada saat hemoglobin turun < 7,0 g/?dL (70 g/L) untuk target hemoglobin 7,0-9,0 g/dL pada orang dewasa (1B). Kadar hemoglobin yang lebih tinggi mungkin diperlukan dalam keadaan khusus (misalnya, iskemia miokard, hipoksemia berat, perdarahan akut, penyakit jantung sianotic, atau asidosis laktat) Jangan menggunakan erythropoietin untuk mengobati anemia yang berhubungan dengan sepsis. Erythropoietin dapat digunakan untuk alasan lainnya yang dapat diterima (1B) Jangan gunakan fresh frozen plasma untuk memperbaiki kelainan pembekuan dari laboratorium kecuali ada perdarahan atau dirancanakan prosedur invasif (2D) Jangan gunakan terapi antithrombin (1B) Memberikankan platelet ketika (2D) Hitungan < 5000/mm3 (5 x 109 / L) tanpa pendarahan. Hitungan 5000 30.000 / mm3 (50-30 x 109 /L) dan ada risiko pendarahan yang signifikan. Hitung platelet tinggi > 50.000 / mm3 [50 x 109/L]) adalah diperlukan untuk operasi atau prosedur invasifVentilasi mekanik untuk sepsis-induced ALI / ARDS Target tidal volume 6 mL / kg (diprediksi) berat badan pada pasien dengan ALI / ARDS (1B) Target tekanan batas atas tekanan plateu < 30 cm H2O. Pertimbangkan complain dinding dada ketika memberikan tekanan plateau (1C) Biarkan PaCO2 meningkat di atas normal, jika diperlukan, untuk mengurangi tekanan plateau dan tidal volume (1C) Set PEEP untuk menghindari kolaps paru-paru yang luas pada end-ekspiration (1C) Pertimbangkan menggunakan posisi prone untuk pasien ARDS membutuhkan berpotensi injurii tingkat FIO2 atau tekanan plateau, asalkan tidak ada resiko dari perubahan posisi (2C) Maintenet ventilasi mekanis pasien dalam posisi semirecumbent (kepala tempat tidur diangkat hingga 45 ) kecuali ada kontraindikasi (1B), antara 30 dan 45 (2C) Ventilasi noninvasive dapat dipertimbangkan pada sebagian kecil pasien ALI / ARDS dengan kegagalan pernapasan hypoxemic ringan sampai sedang. Pasien harus dengan hemodynamic stabil, nyaman, mampu melindungi / bersihkan jalan napas mereka, dan diharapkan pulih dengan cepat (2B) Gunakan weaning protoko dan SBT (Spontaneous Breathing Trial) secara teratur untuk mengevaluasi potensi menghentikan ventilasi mekanik (1A) Pilihan SBT termasuk low level of pressure support dengan Countinous Positive Airway Pressure (CPAP) 5 cm H2O atau T piece Sebelum SBT, pasien harus Arousable Hemodynamic stabil tanpa vasopressors Tidak memiliki kondisi baru yang berpotensi serius Mempunyai low ventilatory dan tekanan end-expiratory yang memenuhi syarat Memiliki level FIO2 yang dapat dengan aman dirubah dengan pemakaian sungkup muka atau nasal kanul Jangan menggunakan pulmonary artery cateter untuk pemantauan secara rutin terhadap pasien dengan ALI / ARDS (1A) Gunakan strategi cairan konservatif untuk pasien dengan terdiagnosa ALI yang tidak memiliki klinis hypoperfusion jaringan (1C) Sedasi, analgesia, dan blokade neuromuskular pada sepsis Gunakan protokol sedasi dengan tujuan sedasi untuk pasien sakit kritisdengan ventilasi mekanik (1B) Gunakan sedasi bolus intermiten atau infus kontinu untuk hasil akhir yang telah ditentukan (skala sedasi), dengan setiap setiap gangguan ringan dapat menyebabkan bangun. Re-titrasi jika perlu (1B) Hindari neuromuskuler blocker jika mungkin. Monitor kedalaman blok dengan train-of-four saat menggunakan infus kontinu (1B) Glukosa kontrol Gunakan insulin intravena untuk mengontrol hiperglikemia pada pasien dengan sepsis berat dengan stabilisasi di ICU (1B) Bertujuan untuk menjaga glukosa darah < 150 mg / dL (8,3 mmol/L) gunakan protokol yang valid untuk penyesuaian dosis insulin (2C) Sediakan sumber kalori glukosa dan pantau glukosa darah setiap 1-2 jam (4 jam setelah stabil) pada pasien yang menerima insulin intravena (1C) Membaca dengan hati-hati saat memperoleh kadar glukosa rendah with point of care testing, karena teknik ini dapat memberikan taksiran tinggi nilai darah arteri atau plasma glukosa (1B) Renal replacement Intermittent hemodialysis dan CVVH dianggap setara (2B) CVVH menawarkan manajemen lebih mudah pada pasien hemodynamik yang tidak stabil (2D) Terapi bikarbonat Jangan gunakan terapi bikarbonat untuk tujuan memperbaiki hemodinamik atau mengurangi persyaratan vasopressor ketika merawat hypoperfusion-induced lactat acidemia dengan > pH 7,15 (1B) Profilaksis deep vein thrombosis Gunakan dosis rendah UFH atau LMWH, kecuali ada kontraindikasi (1A) Gunakan perangkat mekanikal profilaksis, seperti stoking kompresi atau perangkat kompresi intermitten, ketika heparin merupakan kontraindikasi (1A) Gunakan kombinasi farmakologis dan terapi mekanik untuk pasien yang beresiko sangat tinggii untuk deep vein trombosis (2C) Pada pasien dengan risiko yang sangat tinggi, LMWH harus digunakan daripada UFH (2C)

Stres ulkus profilaksis Berikan profilaksis stres ulcer menggunakan H2 blocker (1A) atau proton pump inhibitor (1B). Manfaat pencegahan perdarahan saluran cerna atas harus menjadi pertimbangan terhadap potensi berkembang menjadi ventilator acuired pneumonia.Pertimbangan pembatasan suport Diskusikan perencanaan perawatan kemuka dengan pasien dan keluarga. Jelaskan kemungkinan hasil dan tetapkan harapan yang realistis (1D)Ket : Rekomendasi kuat (Direkomendasikan) Rekomendasi lemah / disarankan------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Tambahan !!!!!!!!!!! DIAGNOSIS & KRITERIA 1. Inflamatory Respon Syndrome (SIRS). Bila ditemukan 2 tanda atau lebih: Suhu > 38C atau < 36C Nadi > 90 x/menit Pernapasan > 20 x/menit, PaCO2 < 32 x/menit Leukosit > 120 000 atau < 4000 / mm22. Sepsis SIRS dengan fokal infeksi3. Savere Sepsis Sepsis dengan fakta hipoperfusi organ4. Septik SyoksSavere Sepsis dengan hipotensi (SBP = 90 mmHg) walaupun sudah di resusitasi cairan atau menggunakan obat-obat inotropik untuk meningkatkan tekanan darah