PARADIGMA NUSUS SYARIAH

8
Ringkasan “FILSAFAT HUKUM ISLAM” PARADIGMA NUSUS SYARI’AH Dosen Pembimbing: Prof. H. M. Hasbi Umar, MA, Ph.D DISUSUN OLEH: NAMA : YUDHA PRAMANA NIM : SE 110127 FAK/JUR : SYARI’AH / PERBANKAN A (V)

Transcript of PARADIGMA NUSUS SYARIAH

Page 1: PARADIGMA NUSUS SYARIAH

Ringkasan“FILSAFAT HUKUM ISLAM”

PARADIGMA NUSUS SYARI’AH

Dosen Pembimbing:

Prof. H. M. Hasbi Umar, MA, Ph.D

DISUSUN OLEH:

NAMA : YUDHA PRAMANA

NIM : SE 110127

FAK/JUR : SYARI’AH / PERBANKAN A (V)

Page 2: PARADIGMA NUSUS SYARIAH

PARADIGMA NUSUS SYARIAH

A. Fleksibelitas Hukum Islam

Syari’at islam mempunyai karakteristik yang tidak akan pernah berubah. Sebagai syari’at (al-din) yang datang dari allah s.w.t, maka syari’at-Nya memiliki karakter sebagai berikut: a) Rabbaniyah, yakni sebagai ajaran Rabbu al-‘alamin; b) Insaniyah, yakni untuk kepentingan umat manusia serta menjunjung tinggi derajat dan martabat mereka karena Allah adalah Rabbu al-Nas; c) Alamiyah, yakni suatu syari’at yang berlaku secara universal untuk segenap manusia dan selaras dengan hukum-hukum Allah (sunnatullah) pada al-kaun (universum); d) Al-Khulud atau kekal abadi; e) Mutlaq atau absolut, yakni kebenaran ajarannya bersifat pasti dan berlaku sepanjang masa; f) Al-Syumul, yakni memuat suatu doktrin yang kemprehensif, meliputi semua sisi kehidupan; g) Al-Wasat, yakni mengajarkan serta menjamin keseimbangan antara segala kepentingan kehidupan manusia; h) Al-Thabat wa al-tajaddud, artinya dalam keadaan aturan syari’at itu permanen yang tidak berubah, ia memberikan peluang bagi perubahan-perubahan baru atau mengakomodasikan bagi ketentuan-ketentuan yang perlu elastis sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan. Dengan demikian, keterbaharuan (al-tajaddud) sebagai hasil dari tajdid (pembaharuan), merupakan salah satu watak dari syari’at islam dalam hal-hal yang perlu elastis, sebagaimana pula berwatak tsabat dalam aturan-aturan yang ditetapkan untuk dipedomani sepanjang masa.

Berita dari “langit” telah terputus dengan terhentinya wahyu yang disampaikan kepada nabi akhir zaman, muhammad saw. Sedangkan berbagai peristiwa dibumi terus bermunculan dan masih tetap memerlukan bimbingan “langit”hingga hari kiamat. Terhentinya wahyu ini bukan bukan berarti terputusnya bimbingan dari langit, bimbingan dari langit ini direalisasikan oleh Allah swt dengan cara menghadirkan ulama-ulama pilihan pada setiap abad untuk mengadakan tajdid (pembaharuan) guna mengemban tugas para nabi dalam menerjemahkan syari’at islam sesuaidengan konteks zaman yang terus berkembang.

Harus diakui bahwa norma-norma hukum islam pada hakikatnya merupakan hak otoritas Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi persoalan-persoalan baru selalu muncul mengikuti dinamika kehidupan manusia sehingga para ulama, sebagai pewaris, penerus, pengemban tugas mulia yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, dituntut untuk melakukan ijtihad lewat studi dan penelaahan yang intens. Oleh karena itu, saat ini norma-norma hukum tidak hanya tersebar didalam dua sumber ajaran, al-Qur’an dan al-Sunnah, namun juga dalam kitab-kitab fiqh dan putusan-putusan peradilan.

Page 3: PARADIGMA NUSUS SYARIAH

B. Syariah dan Fiqh : Sebuah Format Kontekstual

Jika seseorang ingin mengenal sesuatu atau seseorang yang lain, tidak cukup hanya kenal dengan nama dan asal-usulnya. Pengenalan yang mendalam dan intens meminta seseorang itu untuk mengenali pula karakter dan sifat-sifat khasnya. Tingkat pengenalan yang sedemikian terhadap syari’at islam disebut “fiqh”, artinya faham. Tidak setiap orang yang menganut dan merasa punya hubungan batin dengan islam, memahami dengan mendalam dan benar tentang apa dan bagaimana islam dalam hubungannya dengan kehidupan manusia.

1. Penjelasan Tentang Syari’at

Istilah syari’ah dalam konteks kajian hukum islam lebih menggambarkan kumpulan norma-norma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyri’. Kata syari’ah dan derivasinya digunakan lima kali dalam Al-Qur’an. Dalam islam, syari’ah merujuk kepada ajaran yang terkandung didalam al-Qur’an dan al-Sunnah Rasulullah SAW dalam pengertiannya yang luas. Namun al-Qur’an menggunakan perkataan syara’a, syir’ah dan syari’ah untuk menunjuk beberapa makna, yaitu sebagai berikut:

a. Akidah Tauhid. Argumen ini terlihat dalam firman Allah, yang artinya: “Dia (Allah swt) telah mensyari’atkan bagi kamu sekalian agama, suatu yang telah diwariskan oleh Nuh..” Dalam ayat ini syari’ah menunjuk pengertian akidah tauhid dan bukan hukum-hukum. Karena akidah tauhidlah yang merupakan bagian yang sama-sama disyari’atkan kepada semua Nabi di sepanjang sejarah umat manusia.

b. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan. Pengertian ini antara lain terlihat dalam firman Allah swt yang artinya: “Dan bagi masing-masing dari kamu sekalian, kami telah buat undan-undang dan jalan (peraturan). Ayat ini menggunakan kata yang sama yaitu syari’ah. Namun dalam konteks ini perkataan tersebut tidak dapat diartikan sebagai akidah tauhid, karena pemahaman seperti itu dapat mengakibatkan pemahaman yang keliru, yaitu masing-masing umat memiliki akidahnya sendiri, yang berbeda sama sekali.

c. Adab Dan Akhlak. Dalam hal ini Allah swt berfirman, artinya: “Kemudian kami menjadikan engkau (Muhammad) berada diatas syariah dan urusan agama itu…” ayat ini menegaskan bahwa nilai-nilai kejujuran, amanah, bersikap adil dan sejumlah bentuk akhlak mulia dan abadi itu termasuk contoh pengertian agama yang disyari’atkan.

Ketiga unsur syari’ah diatas merupakan substansi agama itu sendiri. Memang, pada mulanya kata syari’ah meliputi semua aspek ajaran agama; yakni akidah, syari’ah (hukum) dan akhlak. Ini terlihat pada syari’at setiap agama yang diturunkan sebelum islam. Karena bagi setiap umat, Allah swt memberikan syari’at dan jalan yang terang. Namun, karena inti akidah agama-agama yang diturunkan sebelum Muhammad saw adalah tauhid (mengesakan tuhan), dapat dipahami bahwa cakupan syari’ah adalah amaliyah (aturan mengenai perbuatan), sebagai

Page 4: PARADIGMA NUSUS SYARIAH

konsekuensi dari akidah yang diimani setiap umat. Kendatipun demikian, ketika kita menggunakan kata syari’ah, maka pemahaman kita tertuju kepada semua aspek ajaran agama. Oleh karena itu, tidak mengherankan ada sebagian ulama yang menganggap syari’ah ini sama pengertiannya dengan agama.

2. Penjelasan Tentang Fiqh

Kata fiqh dalam al-Qur’an disebut sebanyak 20 kali dalam bentuk kata kerja (fi’l) dan berbagai derivasinya, umumnya digunakan dalam pengertian memahami. Misalnya “Perhatikanlah, betapa kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran kami silih berganti, agar mereka memahaminya”. Kata-kata hukum menjelaskan bahwa hal-hal yang berada di luar cakupan hukum seperti zat dan sifat tidaklah termasuk kedalam pengertian fiqh. Kata hukum disebutkan dalam bentuk jamak untuk menjelaskan bahwa fiqh adalah ilmu tentang seperangkat aturan-aturan yang disebut hukum.

Selanjutnya, penggunaan kata syari’at dalam defenisi menjelaskan bahwa fiqh menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i, sesuatu yang berasal dari kehendak Allah swt, sekaligus menjelaskan bahwa sesuatu yang bukan bersifat syar’I seperti ‘aqli atau hissi (rasional-inderawi semata) bukanlah lapangan ilmu fiqh, seperti ketentuan bahwa dua kali dua adalah empat atau api bersifat membakar.

C. Kontekstualisasi Nusus Syari’ah

Dapat dikatakan bahwa jiwa dan prinsip hukum dalam islam bersifat konstan, permanen dan stabil, tidak berubah, betapapun kemajuan peradaban manusia. Sementara peristiwa hukum, teknis, dan berbagai instrumennya mengalami dinamiasi sejalan dengan perkembangan zaman.

Kajian pada bagian ini akan difokuskan pada pemahaman terhadap nusus syari’ah. Dengan tendensi kepada persoalan tersebut kita akan melihat sampai seberapa jauh ide-ide lama yang telah diformulasikan oleh para ulama terdahulu dapat dipertahankan, bukan saja pada aspek metodologi, implementasi, dan pengalaman historis tasyri’, namun lebih penting lagi dalam aspek epistemologinya, sehingga bahasan ini diharapkan akan lebih utuh dan menyeluruh.

1. Sifat Dasar Nusus Syari’ah

Tidak dapat dinafikan bahwa nusus syari’ah bersifat abadi; kebenarannya sebagai khitab Allah swt, adalah mutlak. Nusus merupakan hidayah yang meliputi semua aspek kehidupan manusia individu atau masyarakat. Selain ciri-ciri ontologi tersebut, nusus juga mencakupi sebagai landasan hukum syara’ sepanjang sejarah, melintasi berbagai level peradaban dan latar belakang sosial budaya, politik dan ekonomi suatu masyarakat.

Page 5: PARADIGMA NUSUS SYARIAH

Namun demikian, sekalipun kita memperluas skop nusus tersebut tetap saja menghasilkan kesimpulan yang sama: yakni pada segi kuantitas nusus tetap terbatas. Konklusi ini tidak berarti bahwa hukum syara’ juga menjadi terbatas. Karena pada segi kualitas ciri khas nusus syari’ah ini bukan saja menyeluruh atau kemperehensif, tetapi juga memiliki ciri universal dan elastis.

2. Integritas Nusus Syari’ah dalam Konteks Perubahan

Sifat-sifat nusus, sebagaimana dijelaskan di atas, dimungkinkan karena islam mengenal istilah, apa yang disebut dengan, tsawabit wa mutaghayyirat (prinsip dan variabel). Dalam sektor ekonomi, misalnya yang merupakan prinsip adalah larangan riba, sistem bagi hasil pengambilan keuntungan, kewajiban zakat, dan lai-lain. Sedangkan contoh variabel adalah instrumen-instrumen untuk melaksanakan prinsip-prinsip tersebut. Di antaranya adalah aplikasi prinsip jual beli dalam modal kerja, penerapan asas mudharabah dalam investasi, atau penerapan ba’I al-salam dalam pembangunan suatu proyek. Tugas para ulama atau cendekiawan muslim sepanjang zaman adalah mengembangkan teknik penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam variabel-variabel yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada setiap masa.

Jadi, dapat dikatakan bahwa sifat-sifat nusus tersebut merupakan kekuatan syari’ah untuk mempertahankan relevansinya dengan gejala perubahan yang sangat mungkin terjadi di sekitar masyarakat pelaksana syari’ah tersebut, dan juga membuka pintu bagi pembaharuan hukum islam. Dalam konsiderasi syari’ah, dalam titik ini, bentuk terperinci mengenai pelaksanaan akan mempersempit ruang syari’ah dan merupakan pembatasan yang tidak diperlukan. Karena boleh jadi, pembatasan “bentuk” ini relevan hanya dalam format sosial tertentu dan akan kehilangan relevansinyaapabila dilaksanakan dalam format sosial yang lain.

3. Aplikasi Faktual Elastisitas Nusus Syari’ah

Untuk melihat lebih jelas relasi antara kelenturan nusus syari’ah dengan persoalan kematangan, keuntungan, kerumitan, dan kemajuan sistem sosial budaya dan politik masyarakat, berikut ini akan dijelaskan prinsip syari’ah yang berhubungan dengan keadilan undang-undang.

Keadilan dan penegakan hukum adalah termasuk salah satu prinsip utama di dalam syari’ah. Bahkan keadilan menduduki posisi bukan sebagai bagian dari mekanisme, prosedur atau pelaksana, namun lebih dari itu kedudukannya adalah sebagai tujuan. Dalam hal ini al-Qur’an dengan tegas dan jelas menekankan bahkan memerintahkan umat islam dan negara untuk berbuat adil. Allah swt berfirman, yang bermaksud: “Sesungguhnya Allah swt menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan hukum itu dengan adil”. Senada dengan itu, pada ayat yang lain ditegaskan: “Sesungguhnya Allah swt menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan”.

Page 6: PARADIGMA NUSUS SYARIAH

Dari keterangan di atas, minimal ada tiga hal yang patut dicatat. Pertama, keadilan merupakan asas islam pada ranah teologi dan hukum. Menyatakan keimanan terhadap islam berarti menegaskan keberpegangteguhan terhadap nilai keadilan. Kedua, keadilan bersifat objektif, yaitu dalam bahasa al-Qur’an tidak mengikuti hawa nafsu. Tetapi untuk mencapai sasaran dan objektif keadilan tidak dapat diserahkan kepada spekulasi manusia semata.

Pada masa awal islam, Rasulullah sawselain sebagai seorang rasul juga melakukan tugas-tugas seorang hakim negara yang memutuskan berbagai perkara yang diajukan oleh masyarakat kepadanya. Tugas ini mendapat legitimasi dari kitab suci, Allah berfirman: “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili di antara manusia apa yang telah Allah wahyukan kepadamu. Dan janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang yang berkhianat”. Dan firman Allah yang artinya: “Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah swt.

Namun demikian, harus diakui bahwa tidak semua nusus bersifat umum dan lentur pemahamannya, seperti nusus tentang tata cara shalat dan ibadah secara umum. Begitu pula dalam soal akidah dan akhlak, nusus bersifat konstan. Namun al-Qardawi menyimpulkan bahwa mayoritas nusus bersifat fleksibel. Nusus tersebut memang dibuat oleh syari’ah agar dapat dipahami lebih dari satu pemahaman. Hal ini merupakan keperluan dasar syari’ah agar senantiasa relevan dan aplikatif dalam merespon arus perubahan sosial yang terus berlangsung.