Msp Translate 2

35
EKOSISTEM AKUAKULTUR BERBASIS PEDESAAN SEBAGAI MODEL UNTUK PENGEMBANGAN AKUAKULTUR SECARA BERKELANJUATAN DI SUB-SAHARA AFRIKA Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Sumberdaya Perairan Disusun oleh : Aninda Nurfadhilah P 230110110027 Wildan Nururfan A 230110120014 Dea Larissa 230110110013 Namira A.R 230110120048 Achmad Affan Usman 230110120010 Mochammad Nofhan T.P 230110120030 Luthfy Wulandari 230110110062 Satria Ramadhan 230110120017 Kelas: Perikanan A / Kelompok 5

description

msp translte

Transcript of Msp Translate 2

EKOSISTEM AKUAKULTUR BERBASIS PEDESAAN SEBAGAI MODEL UNTUK PENGEMBANGAN AKUAKULTUR SECARA BERKELANJUATAN DI SUB-SAHARA AFRIKA

Disusun sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Sumberdaya Perairan

Disusun oleh :Aninda Nurfadhilah P230110110027Wildan Nururfan A230110120014Dea Larissa230110110013Namira A.R230110120048Achmad Affan Usman230110120010Mochammad Nofhan T.P230110120030Luthfy Wulandari230110110062Satria Ramadhan230110120017

Kelas:Perikanan A / Kelompok 5

UNIVERSITAS PADJADJARANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTANPROGRAM STUDI PERIKANANSUMEDANG

2015PendahuluanAkuakultur di selatan Afrika tumbuh dengan mengambil bagian pendekatan baru dalam perencanaan dan penerapan yang dimulai pada akhir 1980-an oleh: The Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) proyek Manajemen Akuakultur untuk Komunitas Lokal, didanai oleh Swedia dan Belgia; The German Agency for Technical Coorperation proyek Pengembangan Perikanan dan Akuakultur Malawi-Jerman; dan Penelitian ICLARM untuk Pengembangan Akuakultur Tropis di Malawi, dan Penelitian untuk Pengembangan Masa Depan Akuakultur di Ghana.Proyek tersebut secara umum mengikuti pedoman FAO yang dideskripsikan dalam Thematic Evaluation of Aquaculture (FAO/NORAD/UNDP, 1987) untuk mengembangkan teknologi, meningkatkan kepedulian, dan untuk reorientasi perpanjangan untuk membuat mereka lebih berpartisipasi. Kami melaporkan perkembangan dalam pengembangan ekosistem akuakultur berbasis pedesaan dengan kolam ikan sebagai fokus utama untuk mendaur ulang produk yang dihasillkan dari kegiatan pertanian lainnya. Pendekatan tersebut berpotensi sangat penting dalam pengembangan sistem akuakultur yang berkelanjutan, dapat diterapkan sesuai masyarakat, situasi lingkungan dan ekonomi di pedesaan Afrika (Tabel 7.1).Village aquaculture ecosystems (VAEs) telah terbukti memperbaiki produktivitas (Smalling et al., 1996), menambah keberlanjutan (Lightfoot et al., 1993), menurunkan limbah, dan bahkan merehabilitasi lahan pedesaan yang terdegradasi (Pullin & Perrin, 1995). Jika diterapkan di area yang lebih luas, VAEs memiliki potensi untuk mengurangi kemiskinan dan ketidakamanan pangan di pedesaan dengan menawarkan kesempatan yang realistis untuk diversifikasi dan menambah efisiensi untuk petani Afrika yang mengalami penyusutan lahan (Dalsgaard et al., 1995; Hoque, 1995; Alacron & Carls, 1996; Harris, 1996; Smalling et al., 1996).Potensi pengaruh dari VAE pada keamanan makanan di afrika sangat besar. Pertanian kecil menyumbang sebagian besar dari produksi akuakultur di Sub-Sahara, Afrika (King, 1993). Berdasarkan penelitian FAO, Ada sekitar 9,2 juta km2 , atau setara dengan 31% dari dataran Afrika, merupakan daerah yang cocok untuk budidaya ikan air hangat. Dari 48 negara, 40 nya memiliki setidaknya sebagian lahan yang cocok untuk penggunaan tersebut. (Kapetsky, 1994).Percobaan pertanian di Malawi menunjukkan bahwa hasil ikan pada VAE berkisar antara 1000 sampai 3000 kg/ha/tahun (Costa-Pierce et al., 1991; Chikafumbwa et al., 1993; Brummet & Noble, 1995a, b). Jika produksi ini dapat ditiru pada 1% saja tanah yang sesuai, 9,2 sampai 27,6 juta ikan pertahun dapat diproduksi. Hasil ini sama dengan dua sampai enam kali hasil dari perikanan tangkap Afrika (FAO, 1989). Namun, perkiraan tentang lahan yang mungkin cocok untuk budidaya ikan yang memiliki potensi ekonomis dan dampak terhadap lingkungan dari budidaya terintegrasi pada pertanian kecil harus diperhatikan secara hati-hati.Meskipun pertumbuhannya tetap, sulit menyadari potensi penuh dari budidaya perikanan pada lahan Afrika yang sesuai. Beberapa proyek pengembangan bergantung pada modul atau paket teknologi seperti unit produksi pada ikan-bebek atau ayam-babi-ikan. Teknologi tersebut dikembangkan dan diuji untuk efisiensi ekonomis pada lingkungan percobaan, lalu diperkenalkan di antara agen penyebar untuk disebarkan ke petani. Teknologi tersebut ditemukan untuk mendapatkan keuntungan yang tinggi hanya jika diberlakukan seluruhnya, dan biasanya diluar kemampuan finansial dari grup target pada umumnya. Kurangnya modal untuk memberlakukan sistem menuntun pada situasi dimana agen penyebaran harus pergi pada jarak yang jauh untuk bertemu dengan beberapa petani yang mampu menggunakan pendekatan stasiun eksperimen tersebut.Kenyataan bahwa kepemilikan lahan petani perdesaan yang kecil (pemilik kecil) membuat keputusan mengenai adopsi teknologi menjadi kompleks (Brummet & Haight, 1996). Selain itu, terdapat keragaman dengan tingkat yang besar diantara agroekosistem pertanian pemilik kecil (ICLARM & GTZ, 1991). Untuk mengatasi keberagaman ini, paket teknologi harus diatur agar cocok pada situasi pertanian secara individu. Konsultan ahli budidaya perikanan pada pertanian desa skala kecil (Martinez-Espinoza, 1996) menemukan bahwa, daripada sebuah modul, dibutuhkan kemunculan dari solusi baru terhadap permasalahan yang ada. Penelitian ICLARM di Malawi telah menunjukkan bahwa VAE mungkin untuk dikembangkan dengan cara yang fleksibel untuk mendapatkan potensi penuh dari budidaya ikan perdesaan di Afrika.Penelitian Untuk Mengembangkan Vae Di AfrikaPenelitian pertanian yang terintegrasi di Afrika telah berkembang dari hewan atau tanaman yang mudah ditambah modul perikanan yang dimodifikasi dari permodelan orang asia untuk menganalisis holistik mengenai sistem pertanian secara lengkap (ICLARM & GTZ, 1991; Noble & Costa-Pierce, 1992; Brummet, 1994). ICLARM telah mengembangkan sebuah pendekatan penelitian kerjasama petani dan ilmuan (FSRP). (Gambar 7.1) (Brummet & Noble, 1995a). FSRP tersebut dapat diringkas sebagai berikut:1. Data pada sumberdaya pertanian didapat pada latihan pemetaan sumberdaya secara partisipasif.2. Data pengelolaan kolam secara mingguan digunakan untuk membuat percobaan kontrol paralel dan treatmen pada stasiun percobaan dan pada pertanian untuk memberikan dasar data untuk petani dan peneliti.3. Percobaan potensi teknologi baru sedang dikembangkan pada stasiun penelitian dengan menggunaan sumberdaya dan manajemen pertanian yang sebenarnya sebagai kontrol pada percobaan.4. Hasil pada pertanian dan pada stasiun dibandingkan pada sesi interaktif bersama petani di akhir siklus produksi.5. Petani membandingkan hasil dari poin 2 dan 3 diatas untuk merencanakan percobaan tahap selanjutnya.

Pendekatan FSRP digunakan untuk mengembangkan teknologi yang seluruhnya melibatkan petani dengan menggunakan kondisi dan kendala pada pertanian sebenarnya untuk merancang teknologi baru, karena itu ia mampu meniadakan perlunyaex post factoadaptasi hasil penelitian-stasiun kondisi pertanian.FSRP juga menetapkan informasi dasar yang diperlukan pada ekosistem pertanian dan loop umpan balik bagi petani dan peneliti untuk saling percaya dan bekerja sama secara efektif pada masalah diidentifikasi secara kolektif.

Gambar 7.1 Pendekatan Penelitian Kerjasama Petani-Peneliti (FSRP) ICLARM untuk pengembangan teknologi akuakultur-agrikultur terintegrasi (IAA). PondSlim adalah paket lembar kerja yang dirancang oleh ICLARM untuk menghitung nilai kesetaraan bahan kering, bahan organik, nitrogen, dan phospor pada input kolam yang digunakan oleh petani sebagai alat untuk mengatur kondisi pada pertanian selama percobaan stasiun eksperimen.

Dampak terhadap produktivitas pertanianDi Malawi, produktivitas ikan rata-rata di Vaes adalah 1.350 kg / ha / tahun di daerah tadah hujan dan 1650 kg / ha / tahun di daerah semi-makan (Brummett & Noble, 1995a).Ini adalah dibandingkan dengan rata-rata sekitar 900 kg / ha / tahun untuk 48 paling produktif, non peternakan ikan yang terintegrasi di Southern Malawi (Scholz & Chimatiro, 1996).Perbedaan berasal dari berbagai masukan kolam yang tersedia, dan lokasi tambak relative perusahaan pertanian lainnya dalam rumah tangga. Pada peternakan terpadu, kolam umumnya terletak di kebun sayur, atau kebun sayur developaround kolam ikan untuk mengambil keuntungan dari darurat air irigasi, dan limbah dari kebun yang digunakan untuk memberi makan ikan (Noble & Chimatiro, 1991;Chimatiro & Costa-Pierce, 1996).Biasanya, on-farm limbah berjumlah beberapa 3700 kg bahan kering per tahun dan bahan yang dihasilkan di menutup dekat dengan kolam, meminimalkan pekerjaan yang terlibat dalam transportasi.Untuk benar makan khas pertanian tambak, perlu petani sekitar 522 kg bahan kering (Brummett, 1998).Peternakan non-terintegrasi, di sisi lain, menggunakan jagung dedak eksklusif, seperti direkomendasikan oleh ekstensi, sebagai `terbaik 'makanan ikan (Kadongola, 1990).Jagung dedak rata-rata produksi sekitar 192 kg bahan kering, hanya 37% dari jumlah yang dibutuhkan untuk memberi makan tambak benar (Noble, 1996).Selain itu, di sebuah peternakan Malawi khas, jagung dedak diproduksi di rumah, sering jauh dari kolam, dan juga merupakan musim kemarau. Darurat makanan 'bagi manusia (Mills, 1991).Sebaliknya, limbah kebun sayur yang biasanya hanya dibakar jika mereka tidak digunakan di kolam.Tambak terintegrasi memiliki potensi untuk sangat mempengaruhi ekonomi dan keberlanjutan ekologis pertanian kecil.Semua peternakan yang terlibat dalam penelitian yang dipengaruhi oleh kekeringan dari tahun 1991 sampai 1995. Namun dalam semua kasus, meskipun tanaman jagung gagal dan petani menderita kerugian ekonomi, kolam terintegrasi, sistem sayuran terus yang beroperasi melalui kekeringan.Mempertahankan air pada tanah, kolam diaktifkan peternakan untuk mempertahankan produksi pangan mereka dan menyeimbangkan kerugian mereka di lahan pertanian musiman.Untuk Misalnya, di musim 1993-1994 kekeringan, ketika hanya 60% dari hujan yang normal jatuh, yang pendapatan tunai bersih rata-rata sebuah studi groupof tadah hujan pertanian terpadu adalah 18% lebih tinggi dari peternakan non-terpadu;dan ini terjadi di daerah dengan beberapa Malawi kemiskinan parah (Brummett & Chikafumbwa, 1995).

Adopsi teknologi dan transmisiHampir semua ICLARM bekerja sama petani yang memiliki akses ke permanen persediaan air terus tumbuh ikan dan meningkatkan produksi mereka (Gambar. 7.2).Antara para petani dengan hanya kolam ikan tadah hujan, 36% putus untuk satu alasan atau lain.Empat puluh persen dari mereka putus melakukannya karena kematian keluarga atau penyakit bukan untuk alasan pertanian.Mereka yang tersisa telah meningkat mereka rata-rata ukuran kolam 64-88 m2. dan kebun baru sedang ditanam di sekitar kolam (Brummett & Chikafumbwa, 1995). Petani Malawi yang telah terkena teknologi Vae melalui berbagai mekanisme partisipatif, 86% telah mengadopsi setidaknya salah satu setan- teknologi didemonstrasikan, 76% diadopsi setidaknya dua, dan 24% mengadopsi empat (Noble & Rashidi, 1990).Menariknya, di tindak upinterviews ditemukan bahwa pengadopsi tidak hanya menyalin apa yang mereka lihat, melainkan mengambil ide dasar dan dimodifikasi agar sesuai kondisi masing-masing dan sistem pertanian (Brummett & Noble, 1995b).Setelah di masyarakat pedesaan, teknologi Vae menyebar dan berkembang tanpa Fur-dukungan ekstensi ther.Sebuah survei menemukan bahwa, dalam waktu enam bulan dari hari terbuka diadakan di stasiun percobaan pada Mei 1990, 46% dari pengadopsi di daerah sasaran memiliki belajar tentang terintegrasi akuakultur dari petani lain.Sepertiga dari petani telah mengadopsi dua atau lebih teknologi dari tetangga mereka.Pada akhir tahun 1992, hampir 80% dari petani mempraktikkan padi budidaya ikan di Zomba Dis- terintegrasi trict belum pernah menyaksikan langsung demonstrasi ekstensi (Chikafumbwa, 1994).Dalam Zomba Timur, di mana ICLARM bekerja dengan 34 petani dari 1991 sampai 1995 (ICLARM & GTZ, 1991), sekarang ada 225 petani berlatih ikan (Scholzet al.,1997).

Gambar.7.2kolam produktivitas dari waktu ke waktu di terintegrasi vs tambak non-terpadu di Southern Malawi. Target produksi 2500 kg / ha tiba di dengan ekstrapolasi dari ikan nasional kebutuhan produksi Malawi dengan luas lahan yang tersedia untuk budidaya.Teknologi dipromosikan terlalu rumit bagi kebanyakan petani untuk memahami dan / atau mengadopsi, sehingga penurunan produksi dukungan ekstensi berkurang.IAA entry teknologi tingkat jauh lebih sederhana dan kurang produktif awalnya, tetapi berkembang pada pertanian sebagai petani yang memahami teknologi dapat lebih efisien memanipulasinya agar sesuai dengan situasi masing-masing (Brummett & Williams, 2000)

Jejak EkologiBerg et al. (1996) ulasan lingkungan hidup berkelanjutan berbagai jenis pengembangan budidaya berdasarkan perbandingan VAE dengan kandang pakan pellet yang terletak di danau kariba, Zimbabwe. Berdasarkan konsep dari jejak ekologi (Tabel 7.1). Perkiraan mereka ekosistem pendukung (atau jejak ekologi) dibutuhkan untuk produksi makanan dan oksigen dan untuk asimilasi limbah nutrisi sebagai pendukung 1 m2 kandang yang menghasilkan 380 g nila/hari. Berdasarkan asumsi bahwa tepung ikan yang dibutuhkan yang akan diproduksi secara local dari kapenta ( Limnothrissa miodon, pelagis clupeoid), produksi 1 kg dari kandang nila membutuhkan 4,3 kg kapenta dan 0,9 kg gandum. Tepung ikan itu sendiri yang dibutuhkan untuk menghasilkan 2000 mt nila dalam kandang demikian sesuai dengan daerah yang berukuran 21.000 kali dari wilayah kandangnya sendiri. Memproduksi 2000 mt untuk ikan dalam kandang akan membutuhkan lebih 8000 mt dari kapenta, sesuai dengan 40% dari total tangkapan tahunan di danau Kariba dan net loss in available fish protein for the human population.

Walaupun relatif kecil dibandingkan dengan area yang dibutuhkan untuk produksi makanan, area pendukung untuk produksi oksigen dan asimilasi nutrisi sudah signifikan. Daerah permukaan dari produksi primer yang dibutuhkan untuk memproduksi oksigen yang dikonsumsi langsung oleh ikan dalam kandang dan oleh limbah organik diproduksi di peternakan (kotoran ikan dan sisa-sisa makanan), 160 kali lebih besar dibandingkan daerah kandang. Asimilasi nutrisi yang dilepas ke lingkugan sebagai hasil dari makanan dan metabolisme ikan yang diperlukan pada daerah 115 kali lebih besar dibandingkan dengan kandang.Sebaliknya, jejak ekologi dari VAEs sangat kecil. Asupan makanan ke tambak yang berdasarkan sepenuhnya pada limbah pertanian. Relatif produksi ikan rendah tiap unit dari area tambak tersebut yang berarti jejak ekologi membutuhkan produki oksigen dan asimilasi nutrisi agar dapat berkelanjutan dalam sistem tambak itu sendiri. Oleh karena itu minimal dari faktor eksternal atau asupan makanan yang dibutuhkan untuk peternakan nila dapat terintergrasi di pertambakan pedesaan.Analisis perbandingan ini menunjukkan bahwa resiko parah terjadi pada lahan budidaya akan digantikan dan tidak melengkapi perikanan yang ada di danau Kariba. Di sisi lain, limbah pertanian hanya dari makanan, VAEs melengkapi tidak menghabiskan perikanan kapenta.Lingkungan Hidup, Ekonomi dan Keamanan makananKeuntungan dari VAEs adalah jelas jika satu-satunya mempertimbangkan dampak jangka panjang lingkungan hidup dan secara keseluruhan efisien dari sumber yang digunakan. Bagaimanapun ekonomi jangka pendek untuk kandang sering menguntungkan untuk sistem intensif lebih lanjut, setidaknya pada kertas. Ini karena skala ekonomi untuk pengolahan makanan, penyimpanan, dan pemasaran menguntungkan bagi penghasil yang terintergrasi. Di sisi lain, masalah di pedesaan afrika seperti pasokan tidak teratur dari masukan dan suku cadang, kekuasaan tidak dapat diandalkan dan produksi tidak dapat di prediksi dan kondisi pemasaran dapat menghantam penghasil skala besar menurut perbandingan sulit dibandingkan dengan skala kecil.Studi kasus danau kariba dilustrasikan batasan keamanan makanan pada budidaya ketika dipahami terutama produksi ikan komersial berdasarkan teori model cash flow. Pada kasusnya dari kandang yang diusulkan, peternakan ikan komersial, meskipun menguntungkan untuk investor, akan menghasilkan rugi bersih dari protein ikan yang tersedia untuk di konsumsi manusia.Untuk memperuncing permasalahan ini, banyak perusahaan budidaya komersil tropis cenderung mengekspor hasil produksi mereka untuk mendapatkan mendapatkan laba yang lebih tinggi yang mungkin pada orang kaya amerika, pasar eropa atau jepang (fitzsimmons & posadas, 1997). Semua inventasi komersil skala besar di budidaya afrika selatan yang penulis ketahui, termasuk proyek di republik afrika selatan, Namibia, Tanzania, Swaziland dan Zimbabwe berorientasi pada ekspor. Banyak yang berfokus pada nilai tinggi spesies seperti udang dan tiram atau pada spesies yang ada sedikit atau pasar bukan local (seperti udang karang rawa merah, Procambarus clarki).Sementara menyediakan kesempatan investasi yang penting, perusahaan makanan ini tidak memperhatikan kualitas dan kuantitas masalah keamanan makanan tersebut. Ketika bahan lokal tersedia yang digunakan pada pembuatan makanan ikan, orientasi ekspor budidaya komersil langsung mentransfer makanan dari negara miskin kesalah satu orang kaya. Pada kasus yang terbaik (i.e. dimana pajak untuk ekspor digunakan secara efisien oleh pemerintah untuk pembelian jumlah yang besar dari makanan paling murah agar lebih terjangkau kepada konsumen miskin) makanan berkualitas rendah merupakan pengganti dari makanan kualitas terbaik.Terintergrasinya ladang kecil berdasarkan sistem, sebaliknya, menghasilkan kesempatan langsung untuk rumah tangga dimana ketidakamanan makanan mereka sendiri. Lading kecil hanya menjual porsi hasil panen secara tunai, pemeliharaan bagian yang cukup besar untuk konsumsi rumah tangga (Brummett & Chikafumbwa, 1995). Porsi tersebut yang terjual biasanya ditransfer ke sesama petani kecil disekitarnya yang bermasalah juga dengan kuantits makanan dan kualitas (Brummet,2000). Peningkatan pada semua produktivitas makanan terkait dengan intergrasi budidaya dapat menghasilkan kemajuan yang pesat kepada rumah tangga produksi makanan dan pendapatan untuk ke depannya (Ruddle, 1996).VAE dengan jelas merupakan yang paling ramah secara lingkungan, efisien secara ekologi, dan secara sosial merupakan pendekatan budidaya yang sesuai pada hampir seluruh pedesaan Afrika. Jika jejak kaki secara ekologi untuk kedua sistem dibalikkan, salah satunya menemukan bahwa sangkar tersebut memproduksi 6 gram ikan per m2 jejak kaki dibandingkan dengan 264 gram untuk VAE. Selain itu, mempunyai produsen produsen kecil yang secara luas tersebar dengan jumlah yang lebih besar memastikan bahwa keuntungan mikroekonomi akan bertambah untuk komunitas secara langsung dan akan lebih tersebar secara merata. Memproduksi ikan dalam kolam kecil dan dalam komunitas kecil juga menyingkirkan banyak dari masalah pemasaran yang lebih mensentralisasikan muka produsen. Dan juga menurunkan resiko secara keseluruhan. Bagaimanapun, tersisa satu pertanyaan penting: Bisakah produsen skala kecil menumbuhkan cukup ikan untuk membuat perubahan yang nyata dalam standar hidup?Secara ekonomi, pertanian VAE memproduksi hampir enam kali lipat dari pendapatan yang dihasilkan oleh petani kecil Malawi pada umumnya (Scholz & Chimatiro, 1996). Kebun kolam-sayuran terpadu merupakan mesin ekonomi pada pertanian ini, menghasilkan hampir tiga kali lipat dari pemasukan bersih tahunan yang berasal dari panen tanaman jagung pokok dan penginapan. Komponen sayuran-ikan berkontribusi pada rata-rata 72% dari pemasukan uang tahunan (Brummett & Noble, 1995b). Pada sebuah basis/dasar per daerah, sistem sumberdaya kolam/ kebun sayuran menghasilkan sekitar $14.00 per 100 m2 lahan per tahun dibandingkan dengan $1.00-$2.00 untuk pendapatan masing-masing dari tanaman jagung dan penginapan.Realisasi PotensiPada tingkat kebijakan nasional, pemanfaatan sumberdaya untuk pengembangan budidaya yang berdampak baik terhadap populasi manusia yang lebih besar harus diutamakan dalam menyediakan saran investasi kepada para pengusaha perorangan yang tertarik dalam pengembangan budidaya intensif (Costa-Pierce & Pullin, 1992). Untuk memaksimalkan dampak baik dari penggunaan sumberdaya pada tingkat nasional, kita harus membandingkan tidak hanya ekonomi jangka pendek dari kedua sistem, tetapi juga bagaimana implementasi mereka akan mempengaruhi distribusi kekayaan, penggunaan berkelanjutan dan ketamanan pangan (ICLARM & GTZ, 1991). Jumlah waktu dan energi yang digunakan dalam usaha penelitian ICLARM telah terhitung besar jika dibandingkan dengan jumlah kecil dari petani yang terlibat. Menggandakan usaha semacam itu pada skala yang cukup besar untuk disebarkan dan berdampak sampai ke daerah kemungkinan tidak akan efektif secara biaya dan oleh karena itu tidak akan bekekelanjutan secara institusional (van der Mheen, 1996). Bagaimanapun, dari pengalaman yang didapatkan dari perkuliahan tentang berbagai macam proyek ini, ICLARM telah mengekstrasi apa yang kami rasakan merupakan komponen utama dari sebuah pendekatan baru kepada evolusi pengembangan budidaya berkelanjutan di pedesaan Afrika. Perencanaan pengembangan dari bawah ke atas: mengetahui sosial-ekonomi, jenis kelamin, dan konteks kebudayaan dari rumah tangga pertanian dan kebijakan nasional yang mempengaruhi mereka pertama kali, sebelum adanya beberapa intervensi (ICLARM & GTZ, 1991). Transfer informasi: pesan sederhana untuk para petani yang dihasilkan dari penelitian dalam konsultasi dinamis dengan penyuluhan. Adopsi berkelanjutan: partisipasi penuh para petani dalam penelitian dan proses pengembangan. Kemampuan berkembang secara ekologis: menggabungkan dan memanfaatkan sebuah visi ekosistem dari pertanian. Kemampuan berkembang secara ekonomi: bertahap, meningkat secara evolusioner dalam produktivitas pendapatan untuk melalu kendala arus kas berulang.Setiap dari komponen ini mempunyai dimensi sosial dan teknis. Dimensi teknis melibatkan ketentuan seberapa produktif sebuah teknologi baru yang mungkin berada dibawah seperangkat keadaan agroekologis yang diberikan. Dimensi sosial melibatkan komunikasi penelitian-penyuluhan-petani dan pembuatan keputusan yang mengacu kepada adopsi berkelanjutan dan transformasi kepada ekosistem pertanian yang berkelanjutan.Transfer Informasi dan Adopsi BerkelanjutanPengalaman ICLARM di Malawi yaitu adalah paket teknologi yang kompleks yang diharapkan untuk mengatasi semua aspek dari produksi ikan terpadu tidak efektif dalam menyampaikan informasi kepada para petani. Ada dua alasan untuk ini (Brummett & Haight, 1996):1) Para agen penyuluhan jarang sekali yang cukup mahir dalam teknologi itu sendiri untuk mengkomunikasikannya dengan jelas kepada nelayan.2) Para petani yang pada umumnya kurang berpendidikan dan beroperasi pada tingkat bertahan hidup lebih tertarik kepada manajemen resiko dibandingkan analisis ekonomi yang memperhatikan komponen tunggal dari ekosistem pertanian mereka yang multi-dimensi dan bervariasi tinggi.Untuk melewati masalah-masalah ini, diperlukan untuk menyaring dari karakterisasi sawah dan sebuah pemahaman yang mendalam tentang teknologi budidaya seperti beberapa teknik sederhana yang lebih rendah resiko dalam hal yang memerlukan modal dan derajat modifikasi dari praktek pertanian yang ada, tetapi yang bisa secara signifikan mengatasi kebutuhan yang dirasakan dari komunitas pertanian. Contohnya, dibandingkan dengan menganjurkan konstruksi dari sebuah kolam ikan ideal yang mengalir, ICLARM secara sukses telah menganjurkan konstruksi galian lubang kecil yang menjadi titik berawa yang ada dalam lahan pertanian. Kolam semacam itu sederhana untuk dibuat, mudah terisi oleh hujan atau air tanah, dan hanya membutuhkan biaya yang setara dengan kehilangan produksi beberapa tanaman jagung yang juga sudah kurang baik produksinya dikarenakan genangan air; begitu juga, dengan teknologi panen (hook and line), sistem produksi (panen sebagian ikan berukuran menengah untuk memaksimalkan biomassa), dan strategi pemberian pakan kolam (fokus pada nilai kesuburan dari gulma dan hasil tambahan yang dapat di daur ulang)Ini tidak praktis secara ekonomi atau secara institusi bagi sebuah tim peneliti untuk menjadi penggerak utama untuk menjangkau para petani. Sayangnya, banyak jasa penyuluhan yang kurang terlatih dan kurang didukung yang akhirnya tidak sepenuhnya mampu memilih dan menjelaskan kepada petani teknologi yang baik dalam sebuah keadaan tertentu. Masalah ini didiskusikan secara mendalam pada Konsultasi Teknis FAO baru-baru ini (van der Mheen, 1996) dan beberapa saran untuk pengentasan mereka yang dikedepankan: Peneliti harus menyediakan sebuah fasilitas promosi yang berinteraksi dengan penyuluhan untuk menganalisis informasi yang datang dari lapangan, dan stasiun eksperimen untuk mencari pencocokan yang baik diantara kebutuhan (baik yang dirasakan atau tidak dirasakan) dan solusi yang memungkinkan. Untuk mencapai sejumlah besar petani, teknologi sederharna harus diterjemahkan ke dalam pesan penyuluh yang mana penyuluh dan petani dapat memahami dengan mudah. Materi penyuluhan harus dihasilkan oleh penelitian dan terarah kepada petani daripada agen penyuluhan. Berdasarkan pengalaman lapangan mereka, agen penyuluhan harus memberikan sedikitnya tinjauan kritis awal pada teknologi yang diusulkan oleh ilmuwan.Permasalahan dalam rangkaian kesatuan penelitian penyuluhan petani telah melanda usaha pengembangan selama bertahun-tahun. Tindakan berkerja sama untuk mengidentifikasi masalah dan rancangan solusi dan pesan penyuluh adalah cara yang lebih baik untuk penelitian dan penyuluh untuk mengatasi perbedaan yang sudah berjalan lama untuk kepentingan produktivitas pertanian dan pertumbuhan ekonomi pedesaan.Jika diimplementasikan, pengaturan ini akan, dalam efek, membubarkan identitas terpisah dari penyuluh dan jasa penyuluh (Brummett & Haight, 1996). Dengan demikian, Itu akan membawa penelitian dan bersama penyuluh dengan satu tujuan: untuk meningkatkan pengelolaan perkebunan melalui pengenalan VAEs dimanapun layak. Integrasi penyuluh dan fungsi penelitian akan membutuhkan tingkat yang lebih tinggi dari masukan petani untuk program penelitian, maupun tingkat lebih tinggi dari teknis fleksibilitas dalam penyuluhan.Peneliti bekerja sama dengan petani dan agen penyuluhan harus meningkatkan sensitivitas mereka untuk masalah-masalah nyata yang dihadapi dalam lapangan. Setelah agen penyuluhan bekerja sama di stasiun percobaan dalam proyek penelitian harus memfasilitasi peningkatan ketrampilan praktis mereka dan pemahaman tentang prinsip-prinsip akuakultur. Petani harus menjadi penerima manfaat terbesar dari kerjasama ini dengan menerima informasi berkualitas tinggi dan mampu untuk memiliki pertanyaan teoritis yang segera diatasi oleh penelitian.Peningkatan ProduktvitasTeknologi sederhana mungkin lebih mudah untuk mendapatkan ke peternakan daripada rumit, tetapi mereka juga cenderung kurang produktif. Untuk mengatasi masalah ini, ICLARM memanfaatkan pendekatan evolusi, FSRP, untuk meningkatkan produktivitas pertanian secara keseluruhan. Percobaan di Malawi telah menunjukkan bahwa bekerja dengan, bukan untuk, petani menumbuhkan pemahaman yang lebih mendalam tentang teknologi dari buku yang paling jelas ditulis.Misalnya, penyuluhan di Malawi telah lama dipromosikan seperangkat teknologi yang dapat dikembangkan di stasiun penelitian, jika digunakan dengan benar, menghasilkan ikan dengan rata-rata 2500 kg/ha. Teknologi ini telah mengalami adaptasi yang buruk dengan peternakaan lokal dan kesalahpahaman dari kedua agen penyuluh dan petani. Hasilnya adalah produksi rata-rata 900 kg/ha yang dilaporkan oleh penyuluh dibantu petani dan tingkat putus sekolah tinggi yang disaksikan oleh banyak proyek (Brummett & Haight, 1996).Sebaliknya, ICLARM mengusulkan teknologi yang awalnya diproduksi hanya 800 kg/ha, tetapi ditetapkan pendekatan partisipatif baru dimana petani dan personil penelitian belajar bersama-sama bagaimana cara terbaik untuk ikan tumbuh di bawah satu set tertentu dari keadaan lingkungan dan sosial. Perkembangan dari pendekatan-pendekatan baru difasilitasi evolusi pertumbuhan dari kolam dan produktivitas pertanian dan meningkatkan jumlah petani yang terlibat. Dengan pendekatan ini, produktivitas kolam di Malawi telah berkembang dari waktu ke waktu untuk rata-rata 1500 kg/ha (Gambar 7.2). Selain itu , pengertian antara petani bahwa pertumbuhan dan perbaikan ini adalah sesuatu yang mereka sendiri telah capai. Petani juga telah kunci informan dalam meningkatkan laju peningkatan transfer teknologi dari petani ke petani.Secara sistematis dokumen evolusi ini dan hubungan baru, ICLARM telah mengembangkan alat penelitian untuk pengelolaan sumberdaya alam dan evaluasi (RESTORE), metode partisipatif untuk pengelolaan sumberdaya, pemantauan dan evaluasi. Berdasarkan 4 indikator ketahanan (keragaman, daur ulang, kapasitas dan efisiensi ekonomi), RESTORE menangkap informasi penting tentang bagaimana sistem pertanian menghasilkan makanan dan kekayaan dalam konteks lingkungan internal dan eksternal mereka (Lightfoot & Pullin, 1995). Pengujian perangkat di Ghana, Malawi dan Philipina telah menunjukkan RESTORE untuk menjadi efektif dalam membantu petani untuk memahami potensi sinergisme dalam pertanian kompleks (Lightfoot & Noble, 1993). Untuk mengatasi dimensi sosial, kerjasama penelitian ilmuwan-petani (FSRP) telah mengembangkan hubungan baru antara petani, agen penyuluh dan peneliti.Ambang Ekonomi untuk Transformasi SosialDengan pendapatan tunai tahunan rata-rata kurang dari $10.00 per tahun, 80% petani penggarap di Malawi tidak dapat dianggap sebagai bagian dari perekonomian tunai (World Bank, 1996). Perubahan kebijakan makroekonomi akan, sebagai akibat, tidak berpengaruh pada produktivitas pertanian kecil kecuali mungkin dengan membuat tanah layak begitu banyak petani yang akan dipaksa untuk menjual ke investor perkotaan yang mampu investasi modal yang dibutuhkan untuk membuat tanah produktif.Dengan pilihan tidak realistis untuk pekerjaan, pengungsi miskin dari pedesaan menambah krisis sosial yang sekarang disaksikan di kota-kota di banyak negara berkembang. Perubahan dari kemiskinan di pedesaan ke kemiskinan di daerah perkotaan tidak dapat dianggap banyak perbaikan dalam orang-orang ini. Proyeksi biaya tambahan jutaan polisi dari pengungsi dan petani yang menganggur harus mendorong kebijakan untuk menjaga orang-orang yang bergerak produktif di atas tanah.Karena mereka didasarkan pada input eksternal yang mahal, Teknologi pertanian dari revolusi hijau dan pabrik-pabrik industri budidaya akhir abad kedua puluh belum mampu menimbulkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan pada pertanian Afrika kecil yang miskin. Maupun teknologi ini akan membantu dalam berkembangnya solusi untuk mempertahankan ribuan petani pedesaan di abad ke-21. Tanpa infus besar-besaran dari uang tunai eksternal, peningkatan produktivitas ekonomi harus didasarkan pada sumber daya yang tersedia.Reardon & Vosti (1995) menunjukkan pentingnya dari apa yang mereka sebut investasi kemiskinan dalam transformasi pedesaan. Ketika uang mengalir ke sebuah rumah tangga pertanian, kebutuhan mendesak seperti biaya rumah sakit atau biaya sekolah mendapat perhatian pertama. Aliran uang tambahan dapat digunakan untuk membeli komponen untuk perbaikan perumahan (misalnya plastik liner untukatap jerami) atau beberapa barang lain yang didambakan seperti radio. Hanya setelah tuntutan tunai berulang terpenuhi kehendak modal maka dibebaskan untuk kembali berinvestasi dalam produksi pertanian di masa depan. Karena peran penting mereka dalam meningkatkan kinerja ekonomi dari sistem pertanian atas dasar bahan sudah tersedia di pertanian, dan berkembang mode baru keberlanjutan ekonomi dan masyarakat, ekosistem budidaya desa mungkin memiliki peran penting untuk bermain dalam transisi dari pertanian dari 'subsisten' ke 'komersial'. Ini masih harus dibuktikan, melalui dipromosikan secara luas program mengembangkan VAEs dan swasembada pedesaan, bahwa tidak terlambat untuk menyelamatkan ratusan juta pedesaan miskin di Afrika dari kemiskinan perkotaan dan kerusakan kehidupan sosial.

DAFTAR PUSTAKAAlarcon, E. & Canis, J. (1996) Integration of conservation and sustainable use of biodiversity into international research. In: Agricultural Research and Sustainable Management of Natural Resources (ed. H.-J.A. Preuss), Schriften 66. Zentrum fiir Regionale Entwicklungsforschung der Justus-Liebig-Universitat Giessen, Germany. Berg, H., Michelsen, P., Troell, M., Folke, C. & Kautsky, N. (1996) Managing aquaculture for sustainability in tropical Lake Kariba, Zimbabwe. Ecological Economics, 18,141-159. Brummett, R.E. (1994) The context of smallholding integrated aquaculture in Malawi. In: Aquaculture Policy Options for Integrated Resource Management in SubSaharan Africa (ed. R.E. Brummett), pp. 3-5. ICLARM Conference Proceedings 46. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines. Brummett, R.E. (1998) Making experiment station results more useful to African fish farmers. Naga, The ICLARM Quarterly, 21(2), 19-24. Brummett, R.E. (2000) Factors affecting fish prices in southern Malawi. Aquaculture, 186, 243-251. Brummett, R.E. & Chikafumbwa, F.J.K. (1995) Management of rainfed aquaculture on Malawian smallholdings. In: Sustainable Aquaculture '95, pp. 47-56. Pacific Congress on Marine Science and Technology, Honolulu, Hawaii, USA. Brummett, R.E. & Noble, R.P. (1995a) Farmerscientist research partnerships and smallholder integrated aquaculture in Malawi. In: The Management of Integrated Agro-Piscicultural Ecosystems in Tropical Areas (eds J.J. Symoens & J-C. Micha), pp. 443-464. Belgian Royal Academy of Overseas Sciences, Technical Center for Agricultural and Rural Cooperation, Brussels, Belgium. Brummett, R.E. & Noble, R.P. (1995b) Aquaculture for African Smallholders. ICLARM Tech. Rep. 46. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, and Deutsche Gesellschaft far Technische Zusammenarbeit, Eschborn, Germany. Brummett, R.E. & Haight, B.A. (1996) Researchdevelopment linkages. In: Report of the Expert Consultation on Small-Scale Rural Aquaculture (ed. M. Martinez-Espinoza). FAO Fisheries Report 548. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Brummett, R.E. & Williams, M.J. (2000) Aquaculture in African rural and economic devel-opment. Ecological Economics, 33, 193-203Chikafumbwa, F.J.K (1994) Farmer participation in technology development and transfer in Malawi: a rice-fish example. In: Aquaculture Policy Options for Integrated Resource Management (ed. R.E. Brummett). ICLARM Conference Proceedings 46. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines. Chikafumbwa, F.J.K, Costa-Pierce, B.A., Kadongola, W., Jamu, D.M. & Balarin, J.D. (1993) Investigations on the use of on-farm resources as pond inputs to culture Tilapia rendalli and Oreochromis shiranus on smallholder farms in rural Malawi. Aquaculture, 117, 261-271. Chimatiro, S.K. & Costa-Pierce, B.A. (1996) Waste vegetable leaves as feeds for juvenile Oreochromis shiranus and Tilapia rendalli in monoculture and polyculture. In: The Third International Symposium on Tilapia in Aquaculture (eds R.S.V. Pullin, J. Lazard, M. Legendre, J.B. Amon Kothias & D. Pauly), pp. 183-192. ICLARM, Manila, Philippines. Costa-Pierce, B.A., Lightfoot, C., Ruddle, K. & Pullin, R.S.V. (1991) Aquaculture Research and Development in Rural Africa. ICLARM Conference Proceedings 27. ICLARM, Manila, Philippines. Costa-Pierce, B.A. & Pullin, R.S.V. (1992) Development of smallholder aquaculture in Malawi. World Aquaculture, 23, 43-48. Dalsgaard, J.P.T., Lightfoot, C. & Christensen, V. (1995) Towards quantification of ecological sustainability in farming systems analysis. Ecological Engineering, 4, 181-189. FAO (1989) Fishery Statistics: Catches and Landings, Vol. 68. FAO Statistics Series 98. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. FAO/NORAD/UNDP (1987) Thematic Evaluation of Aquaculture. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Norwegian Ministry of Development Cooperation and United Nations Development Program. FAO, Rome, Italy.Fitzsimmons, K. & Posadas, B.C. (1997) Consumer demand for tilapia products in the U.S. and the effects on local markets in developing countries. In: Tilapia Aquaculture: Proceedings from the Fourth International Symposium on Tilapia in Aquaculture (ed. K. Fitzsimmons), pp. 613-632. NRAES-106. Northeast Regional Agricultural Engineering Service, Coopera-tive Extension, Ithaca, NY. Harris, F. (1996) Intensification of Agriculture in Semi-Arid Areas: Lessons from the Kano Close-Settled Zone, Nigeria. Gatekeeper Series 59. International Institute for Environment and Development, London, UK. Hogue, M.T. (1995) Sustainable agriculture: a perspective on fish culture for the small-scale resource-poor farmers of Bangladesh. Journal of Sustainable Agriculture, 5(3), 97-113. ICLARM & GTZ (1991) The Context of Small-Scale Integrated AgricultureAquaculture Systems in Africa: A Case Study of Malawi. ICLARM Studies and Reviews 18. International Center for Living Aquatic Resources Management, Manila, Philippines and Deutsche Gesellschaft far Technische Zusammenarbeit (GTZ), Eschborn, Germany. Kadongola, W.K. (1990) Maize (Zea mays) Bran as a Supplemental Feed in the Culture of Tilapia rendalli (Boulenger) and Oreochromis shiranus (Boulenger). MSc Thesis, University of Malawi. Kapetsky, J.M. (1994) A Strategic Assessment of Warm-Water Fish Farming Potential in Africa. CIFA Technical Paper 27. Food and Agricultural Organization of the United Nations, Rome. King, H. (1993) Aquaculture development and environmental issues in Africa. In: Environment and Aquaculture in Developing Countries (eds R.S.V. Pullin, H. Rosenthal & J.L. Maclean), pp. 116-124. ICLARM Conference Proceedings 31, International Center for Living Aquatic Resources anagement, Penang, Malaysia.