MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E …balitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/Dra....

114
1 LAPORAN AKHIR SKIM HIBAH BERSAING MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E-PROCUREMENT DALAM MEWUJUDKAN TRANSPARANSI PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA Tahun Ke 1 (Satu) Dari Rencana 2 (Dua) Tahun Ketua : Dra. Februati Trimurni, M.Si NIDN : 0012026602 Anggota : Dra. Asima Yanti Sylvania Siahaan, M.A, Ph.D NIDN : 0026016404 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA NOVEMBER 2014

Transcript of MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E …balitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/Dra....

1

LAPORAN AKHIR

SKIM HIBAH BERSAING

MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN E-PROCUREMENT DALAM MEWUJUDKAN TRANSPARANSI PENGADAAN

BARANG/JASA PEMERINTAH DI SUMATERA UTARA

Tahun Ke 1 (Satu) Dari Rencana 2 (Dua) Tahun

Ketua : Dra. Februati Trimurni, M.Si NIDN : 0012026602 Anggota : Dra. Asima Yanti Sylvania Siahaan, M.A, Ph.D NIDN : 0026016404

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

NOVEMBER 2014

ii

iii

RINGKASAN

Kebijakan e-procurement di Indonesia merupakan salah satu bentuk reformasi di

bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan

transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat,

memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit

dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang tepat waktu guna mewujudkan

kepemerintahan yang baik dan bersih dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Kajian

mengenai model implementasi kebijakan e-procurement dalam mewujudkan transparansi

pengadaan barang dan jasa pemerintah di Sumatera Utara menjadi semakin mendesak dan

relevan sehubungan dengan karakteristik Pemerintah Daerah Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai yang ditandai dengan regulasi, infrastruktur, kapasitas dan

kapabilitas sumberdaya manusia serta dinamika birokrasi lokal yang terbatas namun harus

melayani tuntutan dan kebutuhan pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik

yang terus meningkat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan model implementasi kebijakan e-

procurement yang tepat dengan kondisi real dalam mewujudkan transparansi pengadaan

barang/jasa di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Selain itu untuk menganalisis pelaksanaan dan hambatan model implementasi kebijakan e-

procurement tersebut di tiga lokasi penelitian. Wawancara mendalam telah dilakukan

dengan LPSE, ULP dan Kelompok Kerja (Pokja) sebagai penyelenggara e-procurement

dan observasi langsung terhadap infrastruktur dan proses dalam penyelenggaraan sistem e-

procurement serta analisis konten website institusi terkait.

Capaian hasil penelitian menunjukkan bahwa model kebijakan e-procurement di

Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari tiga faktor yaitu

landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia. Regulasi yang senantiasa

berubah dan tidak sinkron antar berbagai lembaga merupakan tantangan dan hambatan

yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam mengimplementasikan e-procurement.

Sumber daya manusia masih perlu ditingkatkan terlebih dalam penguasaan teknologi

informasi serta penerimaan atas penggunaan e-procurement. Keberadaan infrastruktur juga

belum cukup memadai untuk melaksanakan kebijakan e-procurement.

Ketiga faktor dari model kebijakan e-procurement di Kota Medan, Kota Binjai

dan Kabupaten Serdang Bedagai saling keterkaitan satu dengan lainnya dalam

mempengaruhi transparansi dan kinerja penyelenggara e-procurement. Pemanfaatan

teknologi yang canggih belum diimbangi oleh kemampuan sumber daya manusia

penyelenggara. Namun disisi lain ketidaktersediaan atau keterbatasan infrastruktur

mengakibatkan kesulitan bagi sumber daya manusia penyelenggara menghadapi penyedia.

Selanjutnya sumber daya manusia dan infrastruktur yang belum optimal menjadi salah satu

penyebab peraturan mengenai e-procurement belum dapat dilaksanakan secara utuh.

Ketidaksiapan dan ketidakoptimalan ketiga faktor dari model kebijakan e-procurement di

tiga lokasi penelitian menghasilkan proses yang hibryd dalam pengimplementasian e-

procurement yang mencakup hibriditas dalam strategi (sentralisasi-desentralisasi)

pemaketan, sistem (manual – on line), struktur (pemerintah provinsi, kabupaten dan kota –

kecamatan, desa).

Political will dari Kepala Pemerintahan Daerah Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai yang ditunjukkan dalam komitmen terhadap regulasi,

infrastruktur dan SDM merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan

implementasi e-procurement menuju pada terwujudnya Good Governance dalam

pelayanan publik.

iv

P R A K A T A

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat

dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Model

Implementasi Kebijakan e-Procurement Dalam Mewujudkan Transparansi

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah di Sumatera Utara”.

Penelitian ini merupakan salah satu tugas dari Tri Dharma Perguruan Tinggi

disamping pengajaran dan pengabdian kepada masyarakat. Sumber dana penelitian ini

berasal dari DIPA Universitas Sumatera Utara Tahun Anggaran 2014, sesuai dengan Surat

Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah Bersaing Nomor;

1082/UN5.1.R/KEU/2014, tanggal 17 Pebruari 2014.

Dalam menyelesaikan penelitian ini penulis mendapat bantuan dari berbagai

pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada:

1. Bapak Prof.Dr.Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Dr.Ir. Harmein Nasution, MSIE selaku Ketua LP3M Bidang Penelitian USU

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari

kesempurnaan baik dari isi maupun teknik penyusunannya. Akhir kata penulis berharap

semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, November 2014

Penulis,

Dra Februati Trimurni, M.Si

Dra Asima Yanty Sylvania Siahaan, M.A., Ph.D

v

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ………………………………………………………….................. i

HALAMAN PENGESAHAN…...…………………………………………………………. ii

RINGKASAN…………………………………………………………………………….… iii

PRAKATA…………………………………………………………………………………. iv

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….. v

DAFTAR TABEL………………………………………………………………………….. vii

DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………. viii

DAFTAR FOTO……………………………………………………………………………. ix

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………….. x

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………. 1

1.1 Latar Belakang Penelitian…………………………………………………………….. 1

1.2 Perumusan Masalah…………………………………………………………………... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA….………………………………………………………. 6

2.1 Pengertian Model Implementasi Kebijakan................................................................... 6

2.2 Model Implementasi....................................................................................................... 6

2.3 Pengertian Electronic Government (e-Government)...................................................... 7

2.4 Pengertian Electronic Procurement (e-Procurement).................................................... 12

2.5 Transparansi Dalam Pelayanan Publik........................................................................... 16

2.6 Peta Jalan Penelitian....................................................................................................... 17

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN…………………………………….. 19

3.1 Tujuan Penelitian........................................................................................................... 19

3.2 Manfaat Penelitian......................................................................................................... 19

BAB IV METODE PENELITIAN………………………………………………………... 20

4.1 Bentuk Penelitian ……………………………………………………………..……... 20

4.2 Informan Penelitian ………………………………………………………………….. 20

4.3 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………………..…..... 20

4.4 Teknik Analisa Data ……………………………………………………………..… ... 21

BAB V HASIL YANG DICAPAI.................................................... …………………….. 23

5.1 Pemerintah Kota Medan………………………………………………....................... 23

5.1.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kota Medan................................................. 23

5.1.2 Visi dan Misi Kota Medan ...........…………..................................................... 23

5.1.3 Struktur Organisasi Kota Medan....................................................................... 26

5.1.4 Deskripsi Lembaga Pelaksana e-Procurement Kota Medan............................. 28

5.1.3.1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Kota Medan ……….. 28

5.1.3.2 Layanan Pengadaan Barang/Jasa Elektronik (LPSE) Kota Medan … 31

5.2 Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai .................................................................... 32

5.2.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai ...................... 32

5.2.2 Visi dan Misi Kabupaten Serdang Bedagai ...................................................... 33

5.2.3 Struktur Organisasi Kabupaten Serdang Bedagai……………………………... 35

5.2.4 Deskripsi Lembaga Pelaksana e-Procurement Kabupaten Serdang Bedagai … 37

5.2.4.1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Kabupaten

vi

Serdang Bedagai …………………………………………………… 37

5.2.4.2 Layanan Pengadaan Barang/Jasa Elektronik (LPSE)

Kabupaten Serdang Bedagai ………………………………………... 37

5.3 Pemerintah Kota Binjai ……………………………………………….......................... 37

5.3.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kota Binjai ................................................... 38

5.1.2 Visi dan Misi Kota Binjai ...........…………........................................................ 39

5.1.3 Struktur Organisasi Kota Binjai ......................................................................... 42

5.1.4 Deskripsi Lembaga Pelaksana e-Procurement Kota Binjai ................................ 42

5.1.3.1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Kota Binjai ………….. 42

5.1.3.2 Layanan Pengadaan Barang/Jasa Elektronik (LPSE) Kota Binjai ...... 42

5.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan e-Procurement di Propinsi

Sumatera Utara ……………………………………………………………………..… 42

5.5 Implementasi Model Kebijakan e-Procurement di Propinsi Sumatera Utara ...………... 60

5.6 Transparansi dalam Implementasi e-Procurement …………………………………… 68

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...………………………...................................... 84

6.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………….. 84

6.2 Saran…………………………………………………………………………………… 98

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………… 100

LAMPIRAN

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 E-Government Attributes……………………………………… 8

Tabel 2.2 Peta Jalan Penelitian…………………………………………… 18

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Tahapan Penelitian Tahun Pertama……………………………… 23

Gambar 5.1 Struktur Organisasi Pemerintah Kota Medan…………………… 27

Gambar 5.2 Struktur Organisasi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai….. 37

ix

DAFTAR FOTO

Foto 5.1 Suasana Pelatihan Panitia Pengadaan oleh LPSE Kota Medan… 48

Foto 5.2 Ruang LPSE Kota Binjai……………………………………….. 51

Foto 5.3 Server di LPSE Kota Binjai…………………………………….. 52

Foto 5.4 Ruangan POKJA Serdang Bedagai…………………………….. 56

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Walter B.Wriston dalam Garson (2000: 113)1 mengatakan “We are now living in

the midst of the third great revolution in history, the information age… ushered in by

marriage of computers and telecommunications, which has demolished time and distance”.

Pernyataan Wriston diatas mengenai perkembangan teknologi baru yakni gabungan antara

komputer dan telekomunikasi mengakibatkan terjadinya transformasi di lingkungan

organisasi pemerintahan dan swasta serta kualitas kehidupan individu dan masyarakat.

Teknologi baru ini menjanjikan pekerjaan menjadi lebih efisien dan efektif karena

berkurangnya waktu pengerjaan dan tidak adanya jarak antara penyedia barang dan jasa

dengan masyarakat atau pelanggan.

Salah satu bentuk dari teknologi baru itu adalah e-government (pemerintahan

elektronik atau disingkat dengan e-Govt). Bekkers dan Hamburg (2006, 1)2 mengatakan

“E-government is one of the innovations proposed in discussions about modernizing public

administration. E-government merupakan salah satu innovasi yang diusulkan atau diajukan

dalam diskusi-diskusi tentang modernisasi administrasi publik. Sejalan dengan pendapat di

atas, OECD (2003: 63)3 mengatakan e-government is defined as a capacity to transform

public administration through the use of ICTs or indeed is used to describe a new form of

government built around ICTs. Jadi e-government sebagai sebuah kapasitas atau kekuatan

untuk mengubah administrasi publik melalui penggunaan Telekomunikasi Informasi dan

Komunikasi (TIK) atau digunakan untuk menggambarkan suatu bentuk pemerintahan baru

yang dibangun melalui penggunaan TIK.

Di awal tahun 1990-an di Amerika Serikat dan Inggris muncul berbagai bentuk

pelayanan yang menggunakan e-government baik untuk melayani warga negara maupun

sektor swasta. Baru sekitar akhir tahun 1990-an, e-government digunakan di banyak

pemerintahan di dunia baik di negara maju maupun sedang berkembang sebagai salah satu

cara untuk memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. Layanan seperti rekening

1 Lynn, Dahlia Bradshaw,. 2000. Technology Launch in Government. Dalam Handbook of Public

Information System. Edited by Garson, G. David. Marcel Dekker, Inc. USA. 2 Bekkers, Victor, and Homburg, Vincent,. 2005. E-Government as an Information Ecology: Backgrounds

and Cocepts. Dalam The Information Ecology of E-government: E-Government as Institutional and

Technological Innovation in Public Administration. Edited by Bekkers and Homburg. IOS Press Netherlands. 3 OECD E-Government Task Force. 2003. The Case for E-Government:Excerpts from the OECD

Report“The E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting – Vol. 3, No. 1.

2

pembayaran, informasi tentang pelayanan pemerintah, formulir lamaran, identitas diri dan

dokumen-dokumen pemerintahan disediakan dengan fasilitas e-government. Penggunaan

e-government ini secara umum bertujuan untuk mencegah terjadinya masalah yang

berkaitan dengan keterlambatan dalam proses, ketidakpastian, kurang transparan dan

praktek korupsi4.

Di Indonesia penggunaan e-government diperkuat dengan keluarnya Inpres

Nomor 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-

Government. Kebijakan ini merupakan upaya mengembangkan penyelenggaraan

pemerintahan yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik

secara efektif, efisien, terbuka dan bersaing, transparan, adil, serta akuntabel.

Kebijakan e-government di Indonesia hingga saat ini sudah merambah ke berbagai

fungsi penyelenggaraan pemerintah dan salah satu diantaranya adalah pada pengelolaan

pengadaan barang dan jasa (e-procurement). Seperti yang dikatakan Turban dkk (2006)5

bahwa “e-procurement refers to the purchase of goods and services for organizations”.

Pengadaan barang dan jasa merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan pemerintah

dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik seperti tercantum dalam pasal 5 UU

Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Jika pengelolaan pengadaan barang dan

jasa pemerintah ini dilakukan dengan baik maka dapat menciptakan good governance.

Pengadaan barang dan jasa milik pemerintah berbeda dengan pengadaan barang

dan jasa di perusahaan swasta. Di instansi pemerintah proses pengadaan barang dan jasa

lebih rumit karena membutuhkan alokasi dana yang besar serta berhubungan dengan

perhitungan APBN/APBD yang digunakan untuk membayar barang atau jasa tersebut. Di

lembaga-lembaga pemerintah jumlah pengadaan barang dan jasa rata-rata mencapai 15%-

30% dari Gross Domestic Product (GDP).

Persentase yang besar dari pengadaan barang dan jasa ini tidak dapat dihindari

menjadi peluang terjadinya korupsi yang diperkirakan mencapai 10%-25% pada skala

normal. Bahkan dalam beberapa kasus, kerugian yang ditimbulkan mencapai 40%-50%

dari nilai kontrak6. Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas

mengatakan, proses pengadaan barang dan jasa merupakan kasus dugaan korupsi yang

4 Bekkers, Victor, and Homburg, Vincent,. 2005. E-Government as an Information Ecology: Backgrounds

and Cocepts. Dalam The Information Ecology of E-government: E-Government as Institutional and

Technological Innovation in Public Administration. Edited by Bekkers and Homburg. IOS Press Netherlands. 5 Turban, E., King, D., Lee, J. and Viehland, D. 2006. Electronic Commerce: A Managerial Perspective.

Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ. 6 Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006 dalam 25.-Korupsi-

dalam-Proses-Pengadaan-Barang-dan-Jasa.pdf. Diakses 19 April 2013 Jam 19.30.

3

paling banyak diusut dan ditangani institusi KPK. Sejak tahun 2004 hingga 2011, KPK

telah menangani 96 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa. Secara prosentase mencapai

40,9 persen7. Sehingga tidak berlebihan jika pengadaan barang dan jasa merupakan fokus

dari kerja KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini8.

Mengatasi kebocoran pengadaan barang dan jasa ini maka kebijakan e-

procurement memegang peranan yang strategis dengan memanfaatkan teknologi informasi

dan komunikasi seperti termuat dalam pasal 4 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik. Kebijakan tatacara pengadaan barang dan jasa pemerintah ini

diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan

Jasa Pemerintah yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Presiden No.70 Tahun 2012.

Kebijakan ini lahir sebagai koreksi atas kelemahan pengadaan dengan sistem konvensional

yang dilakukan dengan langsung mempertemukan pihak-pihak yang terkait pengadaan.

Banyak faktor yang menyebabkan masih minimnya best practices pengembangan

e-government di Indonesia, seperti belum memadainya kapasitas SDM pengelola teknis,

keterbatasan infrastruktur pendukung, masih lemahnya regulasi dan kelembagaan,

terbatasnya dukungan anggaran pemerintah, serta masih rendahnya komitmen dan

keseriusan dari para pemimpin di berbagai level pemerintahan9. Masalah yang hampir

sama juga ditemukan pada implementasi e-procurement di Indonesia, seperti belum adanya

ketegasan tentang peraturan hukum yang memayungi proses e-procurement. Akibatnya

belum ada standar baku mengenai tata kelola proses e-procurement baik dari segi rantai

birokrasi, waktu, penggunaan standar teknologi informasi dan sumber daya manusia.

Selain itu, kurangnya komitmen pimpinan tertinggi maupun jajaran di tingkat menengah

yang mangakibatkan kurangnya dukungan politis sehingga memicu merebaknya korupsi.

Kemudian, tantangan dari panitia maupun penyedia dan bahkan dari legislatif serta

infrastruktur yang sangat terbatas, seperti mahalnya biaya internet10

.

Kota dan kabupaten di Sumatera Utara termasuk daerah yang terlambat

menerapkan kebijakan e-procurement di Indonesia. Di lingkungan Provinsi Sumatera

Utara, Kota Medan yang pertama menerapkan kebijakan e-procurement dengan

7 http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/. Diakses 19 April 2013,

Jam 21.00. 8 http://www.centroone.com/news/2013/03/2y/kpk-siap-aktif-awasi-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah

/Diakses 19 April 2013, Jam 20.00. 9 Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. 2009. Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan Pelayanan

Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Penerbit Gava Media, Jian-UGM, MAP-

UGM. Yogyakarta. 10

http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi-pelayanan publik-

541293.html. Diakses 21 April 2013, Jam 20.15.

4

dibentuknya Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), sementara Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai menyusul menerapkan kebijakan ini. Namun penerapan

kebijakan e-procurement di Kota Binjai11

dan Kabupaten Serdang Bedagai 12

masih belum

maksimal. Hal ini ditandai dengan masih sedikitnya jumlah pengadaan barang dan jasa

yang dilakukan secara elektronik.

Meskipun belum terlalu banyak karena kebijakan e-procurement di Indonesia

baru keluar pada tahun 2010, beberapa penelitian mengenai e-procurement sudah

dilakukan seperti implementasi kebijakan e-procurement dalam mewujudkan akuntabilitas

di Kota Yogyakarta (Jurnal Studi Pemerintah 2012) dan persepsi pengguna layanan

pengadaan barang dan jasa terhadap sistem e-procurement di Kota Yogyakarta (Jurnal

Siasat Bisnis, 2009) serta beberapa penelitian sistem e-procurement yang fokus kajiannya

pada teknologi informasi.

Pada umumnya penelitian yang berfokus pada implementasi kebijakan e-

procurement melihat implementasi kebijakan dari faktor-faktor atau variabel-variabel

seperti regulatif, teknokratis dan administratif, politik, kebutuhan masyarakat dan lain-lain

atau berdasarkan model-model implementasi kebijakan publik dari literature barat, yang

menurut pengamatan peneliti belum tentu sesuai dengan kondisi real di pemerintah

kabupaten dan kota di Sumatera Utara. Karena itu dalam penelitian ini, peneliti ingin

melihat bagaimana model implementasi kebijakan e-procurement yang tepat dengan

kondisi real di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai

sehingga kebijakan ini dapat mewujudkan prinsip tranparansi sebagaimana diamanatkan

pasal 4 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah bagaimana model implementasi kebijakan e-procurement di

Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai dalam

mewujudkan prinsip transparansi? Untuk menjawab pertanyaan diatas, dirumuskan

pertanyaan dibawah ini:

1.2.1 Faktor-faktor apa saja dari implementasi e-procurement di Pemerintah Kota

Medan, Pemerintah Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai?

11

www.lpse.binjaikota.go.id 12

www.lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/

5

1.2.2 Bagaimana implementasi model kebijakan e-procurement tersebut dalam

mewujudkan transparansi di Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai?

1.2.3 Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dari model implementasai e-

procurement di Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Kota Binjai dan Kabupaten

Serdang Bedagai?

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Model Implementasi Kebijakan

Salah satu komponen penting dari proses kebijakan publik adalah implementasi

dari kebijakan tersebut. Implementasi merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk

mencapai suatu tujuan. Pada tahap implementasi ini, keberhasilan atau kegagalan suatu

kebijakan dapat dilihat dengan jelas. Betapapun baiknya suatu kebijakan diatas kertas

tanpa implementasi yang benar, kebijakan tersebut tidak akan berarti. Dengan kata lain,

suatu kebijakan yang baik akan tetap menjadi sebuah rencana, jika tidak dapat diterapkan

dengan tepat.

2.2 Model Implementasi Kebijakan

Tidak mudah mengimplementasikan sebuah kebijakan, karena pada tahap ini

masalah-masalah yang tidak dijumpai dalam konsep, bisa muncul di lapangan serta

konsistensi kebijakan tersebut ketika diimplementasikan. Oleh karena ada banyak variabel

atau model yang dikembangkan untuk membantu sehingga suatu kebijakan dapat berhasil

ketika diimplementasikan. Varibel-variabel atau faktor-faktor ini berpengaruh pada

keberhasilan dan pencapaian implementasi kebijakan baik di tingkat individu maupun

institusi. Faktor-faktor ini saling berinteraksi satu sama lain sehingga semakin

kompleksnya implementasi suatu kebijakan.

Beberapa model implementasi kebijakan dapat dikemukakan disini, seperti model

George C. Edwards III (1980)13

mengatakan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi

oleh empat variabel yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi. Dalam

rangka keberhasilan pelaksanaan kebijakan di lapangan, keempat variable ini saling

berhubungan. Sementara Gerston14

(2002) berpendapat bahwa ada empat faktor yang

mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan, meliputi: 1. translation ability yang

dicirikan oleh kemampuan implementasi staf untuk menterjemahkan putusan; 2. resources

yang berkaitan dengan sumber daya manusia, keuangan dan sumber daya lainnya; 3.

limited number, yaitu jumlah pelaksana kebijakan dibatasi untuk menghindari ambiguitas

dan persaingan tidak sehat; 4. accountability, yaitu pertanggungjawaban dari pelaksana

13

Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. ”Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi Pikiran George

Edwards”. Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia: Yogyakarta. 14

Gerston dalam AG. Subarsono. 2009. “Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi”. Pustaka

Pelajar: Yogyakarta.

7

kebijakan terhadap apa yang telah dikerjakan. Selanjutnya Meter dan Horn15

menyebutkan

bahwa ada enam variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan

sasaran kebijakan, sumberdaya, hubungan antar-organisasi, karakteristik agen pelaksana,

kondisi sosial, politik dan ekonomi, serta disposisi dari pelaksana.

Sebenarnya masih banyak ahli kebijakan publik yang menawarkan model

implementasi kebijakan, dimana setiap model terdiri dari beberapa variabel atau faktor,

yang satu dengan lain dapat sama namun banyak juga yang berbeda-beda.

Pengimplementasiannya juga berbeda bila dilihat dari rumusan kebijakan yang dibuat

apakah top-down atau buttom-up. Dari begitu banyak pilihan model implementasi

kebijakan, tidak ada model yang terbaik. Kita hanya memiliki pilihan-pilihan model yang

harus dipilih secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan dari kebijakan itu sendiri16

.

2.3 Pengertian Electronic Government (e-Government)

New Public Management (NPM) dan e-government sering dilihat sebagai dua sisi

dari mata uang yang sama, karena keduanya berangkat dari kritik terhadap paradigma

administrasi publik klasik yang dipengaruhi oleh ide-ide birokrasi Weberian (Homburg dan

Bekkers, 2006: 155)17

. Paradigma baru ini menyebabkan terjadinya transformasi di dalam

tubuh sektor publik di negara-negara maju dan berkembang yaitu suatu perubahan bentuk

administrasi publik dari yang kaku, hirarkis dan birokratis menjadi bentuk manajemen

publik yang lebih fleksibel dan berbasis pasar.

Munculnya e-government merupakan salah satu perkembangan penting di dalam

administrasi publik pada beberapa tahun belakangan ini. Salah satu pemicunya adalah

perkembangan sektor swasta dalam menyediakan barang dan jasa kepada pelanggan

dengan menggunakan e-commerce dan e-business yang membuat pemerintah berpikir

ulang untuk mencari cara meningkatkan pelayanan kepada masyarakat (Ndou, 2004)18

.

Melalui penggunaan e-government, pelayanan kepada masyarakat dapat diperbaiki

sehingga dapat bersaing dengan sektor swasta dalam menyediakan pelayanan yang lebih

efisien dan efektif.

15

Ibid. 2009. 16

Nugroho, Riant. 2006. “Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang (Model-Model Perumusan,

Implementasi dan Evaluasi)”. PT. Elex Media Komputindo: Jakarta. 17

Homburg, Vincent, and Bekkers, Victor,. 2005. E-Government and NPA: A Perfect Marriage? Dalam

“The Information Ecology of E-government: E-Government as Institutional and Technological Innovation in

Public Administration”. Edited by Bekkers and Homburg. IOS Press Netherlands. 18

Ndou, V. 2004. “E-Government for Developing Countries: Opportunities and Challenges. The Electronic”

Journal on Information System in Developing Countries (EJISDC). 18 (1), 1-24. http://www.ejisdc.org

8

Selain dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan, penggunaan

e-government juga dapat mencegah terjadinya praktek korupsi karena dilakukan secara

transparan serta dapat memperluas partisipasi masyarakat karena masyarakat maupun

sektor swasta dapat berhubungan dengan pemerintah tanpa harus bertatap muka.

Sebagaimana dikatakan Affisco and Soliman (2006)19

banyak negara menyadari bahwa e-

government merupakan sebuah potensi untuk memperbaiki pelayanan, meningkatkan

transparansi, menekan terjadinya korupsi dan memperluas partisipasi masyarakat sebagai

wujud demokrasi. Lips dkk (2005)20

bahkan mengatakan bahwa penggunaan teknologi

informasi dan komunikasi memberikan dampak positif untuk menumbuhkan kepercayaan

publik pada pemerintah. Sementara Tapscott (1996)21

menambahkan bahwa pemerintah

dapat menggunakan sistem elektronik untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, lebih

cepat, lebih efektif serta harga yang sesuai (convenient).

Ruang lingkup dari e-government itu sendiri sangat luas sehingga melahirkan

banyak atribut. Atribut-atribut ini dapat dilihat sebagai fokus yang dibahas dalam e-

government, seperti teknologi, demokrasi, penghematan dan transparansi dalam pelayanan

dan lain-lain. Dibawah ini dirangkum pengertian dari e-government sebagai berikut:

Tabel 2.1

E-Government Attributes

Attributes Description

Use of ICT (Internet Computer

Technology)

E-Government is the use of information and

communication technology so it is just an

extension of the government.

Information and Service Delivery The initiative should be able to disseminate all

information and services to citizens.

Transparency and Accountability An e-government initiative should be transparent

and accountable to internal as well as stakeholders

to infuse trustworthiness.

Organizational and Structural

Transformation

E-government initiatives often require the

organization to undergo transformation so the

objectives of those initiatives can be met.

Integration Integration of different government departments

and agency websites to give the user a single a

point of access.

Effective Governance An effective governance model for the initiative is

19

Affisco, J., dan Karahanna, E. 1998. “E-Government: a Strategic Operations Management Framework

For Service Delivery”. Busines Process Management Journal. 12 (1), 13-21. 20

Lips, Miriam., Taylor, John A., Banister, Frank,. 2005. “Public Administration in the Information Society:

Essays on Risk and Trust”. IOS Press. The Netherlands. 21

Tapscott, D,. 1996. “The Digital Economy-Promise and Peril in the Age of Networked Intelligence”. New

York: Mc Grraw-Hill.

9

important so that all above-mentioned attributes

are efficiently and effectively managed.

Sumber: Sahu dkk, 200922

Pembahasan mengenai e-government dapat difokuskan pada teknologi informasi

dan komunikasi yang digunakan dalam pemberian pelayanan kepada publik. E-government

juga dapat dilihat sebagai penghantar semua informasi dan layanan kepada masyarakat.

Pembahasan juga dapat difokuskan pada prinsip yang dianut oleh e-government seperti

transparan dan bertanggung jawab kepada internal maupun pemangku kepentingan untuk

menanamkan kepercayaan kepada publik. E-government juga dapat difokuskan pada

organisasi dimana kebijakan ini diterapkan sehingga tujuan dari penggunaan e-government

dapat terwujud. Selain itu integrasi antar departemen pemerintah yang berbeda dan

lembaga website diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna mengakses dari

satu titik, juga menjadi fokus dari e-government. Pembahasan e-government juga dapat

dilihat dari terwujudnya pemerintahan yang efektif, bila semua atribut yang disebutkan di

atas diatur secara efisien dan efektif.

Selain memiliki perspektif yang berbeda-beda, pengguna e-government juga

cukup luas, hal ini dapat dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam pelayanan yang

diberikan oleh pemerintah. Pelayanan yang menggunakan e-government dapat

dikategorikan dalam hubungan internal dan eksternal. Adanya hubungan ini

memungkinkan pemerintah memperbaiki interaksinya termasuk dengan warga negara

ataupun sektor swasta. Hubungan internal yakni Government to Government (G2G) dan

Government to Emplyoee (G2E), sedang untuk kepentingan eksternal yakni Government to

Business (G2B) dan Government to Citizen (G2Z). E-government dengan hubungan

eksternal yakni G2B dan G2C memungkinkan baik warga negara maupun sektor swasta

dapat langsung menerima pelayanan dari pemerintah dari mana saja tanpa harus bertatap

muka atau melalui prosedur birokrasi yang selama ini digunakan23

.

Berbeda dengan cara pelayanan yang tradisional dimana interaksi antara warga

negara dan sektor bisnis dengan instansi pemerintah terjadi di kantor pemerintah,

sementara pelayanan dengan menggunakan e-government dapat dilakukan di pusat-pusat

pelayanan yang lebih dekat kepada masyarakat. Pusat tersebut dapat terdiri dari kios tanpa

pengawasan di dalam atau luar instansi pemerintah atau penggunaan komputer pribadi di

rumah atau kantor. Penggunaan e-government juga tidak memiliki hirarki dan komunikasi

22

Sahu, Ganesh P., Dwivedi, Yogesh K., Weerakkody, Vishanth,. “E-Government Development and

Diffusion: Inhibitors and Facilitators of Digital Democracy”. Information Science Reference. New York. 23

Rocheleau, Bruce. 2006. “Public Management Information Systems”. Idea Group Publishing. USA.

10

dua arah namun tersedia dalam 24/7/365 yaitu 24 jam, 7 hari dalam satu minggu dan 365

hari dalam satu tahun. Dengan demikian warga negara atau sektor bisnis dapat

berhubungan dengan pemerintah meskipun jam kantor sudah tutup (West, 2004)24

.

Sebagaimana dikatakan diatas e-government telah mengubah cara pemerintah

bekerja dalam memberikan layanan kepada warga negara dan sektor bisnis melalui

pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Beberapa manfaat penggunaan e-

government dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat juga sudah dijelaskan di

atas. Namun dari beberapa studi menunjukkan bahwa manfaat ini tidak semata-mata

didapat hanya dari hasil penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Jadi

implementasi e-government harus dilihat sebagai salah satu bagian dari reformasi yang

lebih luas dalam meningkatkan kinerja sektor publik25

.

E-government telah muncul sebagai alat yang ampuh untuk memodernisasi

pemerintah dan mencapai tujuan yang ditetapkan dalam agenda reformasi pemerintah.

Namun pelaksanaannya telah menimbulkan sejumlah tantangan maupun hambatan.

Pelaksanaan e-government di negara-negara OECD (Organization for Economic

Cooperation and Development) menunjukkan bahwa hambatan ini misalnya terjadi karena

kurangnya fleksibilitas dalam kerangka kerja pemerintah secara luas. Selain itu hambatan

bisa berasal dari pihak legislatif dalam penyusunan peraturan, keuangan dan kesenjangan

digital dalam penggunaan e-government26

. Tantangan juga datang dari pekerja dalam

bentuk resistensi terhadap penggunaan teknologi baru seperti e-government27

.

Pendekatan yang digunakan dalam pengaplikasian e-government berbeda baik di

negara-negara industri maupun berkembang. Di negara-negara industri penggunaan e-

government dilakukan secara self-service melalui internet, sementara di negara-negara

berkembang dilakukan dengan hybrid of automatic and manual processes yakni gabungan

dari beberapa proses yang dilakukan secara otomatik dan manual28

. Selanjutnya dalam

World Bank (2004) disebutkan salah satu hal penting dalam pelaksanaan e-government

adalah kesiapan elemen-elemen seperti disebut dibawah ini. Elemen-elemen ini tergantung

pada lingkungan dimana kebijakan e-government diterapkan, meliputi:

24

West, D.M,. 2004. “E-Government and The Transformation of Service Delivery and Citizen Attitudes”.

Public Administrative Review. 64 (1). 15-27. 25

The World Bank. 2004. “Building Blocks of E-Government: Lessons from Developing Countries”. August

2004. Number 91. 26

“Implementing E-government in OECD Countries: Experiences and Challenges”.

http://www.oecd.org/mena/governance/36853121.pdf 27

Lynn, Dahlia Bradshaw., 2000. Technology Launch in Government. Dalam “Handbook of Public

Information System”. Edited by Garson, G. David. Marcel Dekker, Inc. USA. 28

Loc.cit. The World Bank. 2004.

11

1. Infrastruktur teknis yang baik di berbagai departemen pemerintah.

2. Keinginan melayani, berbagi informasi, dan memperlakukan warga negara

sebagai pelanggan.

3. Penetrasi atau kehadiran internet dari banyak titik yang dapat diakses publik.

4. Kerangka hukum yang menumbuhkan kepercayaan publik dan mendukung

mandat pemerintah untuk melakukan transaksi online.

5. Komitmen politik dari departemen dan manajer.

6. Kesadaran warga negara atas haknya serta bersedia mengungkapkannya dalam

hal ketidakefisienan pelayanan dan lainnya.

Beberapa negara benar-benar siap dengan semua dimensi di atas. Namun tidak

berarti ketidaksiapan beberapa elemen ini menjadi penghalang bagi pemerintah untuk

menggunakan e-government. Karena itu penggunaan e-governemnt dapat dimulai dari

ruang lingkup yang kecil yakni melalui proyek percontohan yang digunakan untuk

membawa perubahan dalam kinerja sektor publik. Selain itu, penggunaan e-government

dapat dilakukan secara otomatik dan manual (hybrid of automatic and manual processes)

yakni beberapa proses dilakukan dengan menggunakan elektronik dan proses lainnya

dilakukan secara manual.

Di Indonesia penggunaan e-government sudah dikenal cukup lama, bahkan pada

saat ini sudah dilaksanakan di banyak fungsi pemerintahan dan daerah di Indonesia.

Meskipun kebijakan e-government dilaksanakan secara bertahap mulai dari pemerintahan

pusat, propinsi serta kabupaten dan kota. Tujuannya adalah untuk mencapai efisiensi,

efektifitas, transparansi dan nilai ekonomis dari praktek layanan pemerintah ke masyarakat.

Karena cakupannya yang luas, pelayanan e-government dibagi ke dalam 3 kategori yaitu

publish, interact, transact dan pelayanan e-procurement termasuk pada kategori interact.

2.4 Pengertian Electronic Procurement (e-Procurement)

Lebih dari lima belas tahun terakhir, sistem pengadaan (procurement) di

lingkungan pemerintahan telah mengalami perubahan radikal. Perubahan ini disebabkan

oleh pengembangan teknologi baru seperti internet, perubahan dalam hukum dan aturan

mengenai pengadaan serta perubahan filosofi dalam memandang pembelian atau

pengadaan yang dilakukan pemerintah. Singkatnya, perubahan telah bergerak dari

pembelian dengan proses yang lambat dan legalistik yang menekankan biaya terendah

menjadi proses yang lebih fleksibel menekankan pada nilai terbaik (Rocheleau, 2000)29

.

Banyak organisasi baik pemerintah maupun swasta pada saat sekarang ini

menggunakan e-procurement dalam pelayanannya dengan tujuan untuk dapat menghemat

29

Rocheleau, Bruce. 2006. “Public Management Information Systems”. Idea Group Publishing. USA.

12

biaya. Keuntungan dari pengadaan dengan menggunakan online juga dapat dilihat dari

waktu pengerjaan yang berkurang serta dapat memperluas jumlah vendor yang terlibat

(Wood dalam Rocheleau, 2006)30

. Selain itu proses perampingan jumlah pegawai serta

peningkatan kepatuhan kontrak merupakan manfaat lain yang dapat diambil dari

penggunaan e-procurement31

. Penggunaan e-procurement juga memberikan pengaruh yang

singnifikan terhadap pemberantasan korupsi khususnya dalam hal pengadaan barang dan

jasa publik di negara-negara sedang berkembang seperti Nepal32

.

Terlepas dari manfaatnya yang singnifikan dalam pelayanan publik, namun

penggunaan e-procurement di negara-negara sedang berkembang masih belum menjadi

prioritas. Penyebabnya negara-negara sedang berkembang (negara Dunia Ketiga) masih

memiliki karakteristik seperti tingkat industrialisasi yang rendah, infrastruktur yang buruk,

modal investasi rendah, teknologi yang tidak canggih, buta huruf yang meyebar dan

standar hidup yang buruk atau rendah (Asian Development Bank, 2004).

Penggunaan e-procurement di birokrasi pemerintahan semakin berkembang

karena adanya tuntutan pada manajemen sektor publik untuk transparan, efisien dan efektif

dalam memberikan pelayanan (Vaidya dkk, 2006)33

. Selain itu e-procurement telah

menjadi tema umum dari banyak organisasi di negara maju dan berkembang untuk

mempromosikan transparansi dan good governance34

. Sehingga tidak mengherankan

bahwa e-procuremant telah dijadikan sebagai sebuah instrument dari reformasi sektor

publik. Namun perubahan di sektor publik hanya efektif apabila dikaitkan dengan tujuan

pengelolaan publik yang lebih luas dan digunakan sebagai bagian dari strategi manajemen

perubahan secara keseluruhan seperti yang terjadi di Italia, Skotlandia dan Australia

Barat35

.

Salah satu definisi yang paling sederhana dari e-procurement dikemukakan oleh

Van Weele (1994)36

yaitu “The use the Internet Tecnology in the process of providing, that

30

Ibid. 2006. 31

Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through Online Buying. 32

Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. “Evaluating The Anti-Corruption Capabilities of

Public e-Procurement in Developing Country”. EJISDC (2012) 55, 2, 1-17 The Electronic Journal on

Information Systems in Developing Countries. 33

Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006. “Critical Factors that Influence e-Procurement

Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public Procurement, 6 (1&3), 70-99. 34

E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery. Report of the Expert

Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations

Headquarters, New York. 35

Case Studies on E-procurement Implementations: Italy, New South Wales, New Zealand Scotland,

Western Australia. 2005. Commonwealth of Australia. 2005. 36

Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”. London. UK:

Chapman & Hall.

13

is, buying and selling of goods and sevices”. Pengertian e-procurement disini difokuskan

pada penggunaan Teknologi Internet (TI) yang digunakan dalam proses penyediaan,

membeli dan menjual barang dan jasa. Sejalan dengan definisi di atas “e-procurement

refers to the use of electronic communications and transaction processing by government

institutions and other public sector organisations when buying supplies and services or

tendering public works”.37

Jadi e-procurement mengacu pada penggunaan komunikasi

elektronik dan pemrosesan transaksi oleh lembaga pemerintah dan organisasi sektor publik

lainnya ketika membeli persediaan atau barang dan jasa atau tender pada pekerjaan umum.

Sementara Mitchell (2000)38

mendefinisikan e-procurement dengan

membandingkannya dengan metode pengadaan yang tradisional sebagai berikut:

“Traditional procurement is a paper-based process that is characterized by fragmented

purchasing, off-contract buying, and lack of control over expenditure…e-procurement

facilities, integrates and streamlines the entire supply chain process (from consumer to

supplier and back again) in aseamless, real time and iterative manner”. Jadi pengadaan

secara tradisional adalah proses berbasis kertas yang ditandai dengan pembelian yang

terpisah-pisah, pembelian dengan kontrak tertutup, dan kurangnya kontrol atas

pengeluaran. Sementara pengadaan secara elektronik atau e-procurement,

mengintegrasikan proses dari rantai pasokan yang masuk (dari konsumen ke pemasok dan

kembali lagi konsumen) dengan lancar, waktu yang tepat dan dapat dilakukan secara

berulang-ulang.

Menurut Kelman (1990)39

ada tiga karakteristik dalam sistem pengadaan barang

dan jasa di organisasi pemerintah yakni equity, integrity, economi and efficiency. Equity -

to provide fair acces to bidders incompeting for government business; integrity - to reduce

chances for corruption in the procurement process; economy and efficiency - to procure at

the lowest possible price for goods or services of the quality desired. Ekuitas yakni

menyediakan akses yang adil bagi penawar dalam bersaing untuk urusan pemerintahan;

integritas yakni mengurangi kesempatan melakukan korupsi dalam proses pengadaan;

ekonomi dan efisiensi yakni mendapatkan harga terendah untuk barang atau jasa dari

37

E-Procurement of Golden Book and Good Practice, Final Report. 2013. This report was prepared for DG

MARKT by PwC EU Services EESV Contract reference: MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3

Project 38

Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”. Government Finance Review. 16 (1),

9-12. 39

Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and the Quality of

Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.

14

kualitas yang diinginkan. Lebih lengkapnya di bawah ini beberapa prinsip dasar untuk

melaksanakan public e-procurement40

:

1. E-procurement bukan hanya persoalan menempatkan "E" di depan praktek

sistem pengadaan yang tradisional; melainkan sebagai tugas pemerintahan

yang harus melampaui aspek Teknologi Informasi dan Komunikasi.

2. E-procurement tidak akan menjamin penghapusan total praktek korupsi, tetapi

dapat berfungsi sebagai pencegah dan sebagai instrumen terhadap administrasi

publik yang efektif dan efisien.

3. E-procurement bukan tentang digitalisasi informasi dan menggunakan

Teknologi Informasi dan Komunikasi, tetapi kesempatan yang holistik untuk

memodernisasi sistem keuangan publik yang terkait dengan pembelian.

4. Menerapkan e-procurement di negara yang sedang berkembang dan kurang

maju memerlukan pertimbangan untuk menggunakan pendekatan hybrid yaitu

menggabungkan pendekatan on-line dan off-line.

5. Kondisi untuk melaksanakan e-procurement lebih terkait pada pemerintahan

dan pembangunan kapasitas daripada ketersediaan teknologi.

Di Indonesia pengadaan barang dan jasa secara elektronik atau e-procurement

mengikuti ketentuan Peraturan Presiden tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah dan

dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai

dengan aturan perundang-undangan41

. Untuk mendukung aktivitas pelayanan barang dan

jasa ini maka instansi pemerintah atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) mendirikan

unit kerja yaitu Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang bertugas untuk

menyelenggarakan e-procurement atau memfasilitasi Unit Layanan Pengadaan

(ULP)/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan e-procurement. LPSE berada dibawah

pengawasan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang

bertanggungjawab atas pengelolaan dan pengembangan kebijakan e-procurement termasuk

pengadaan aplikasi yang disebut dengan Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE).

Kebijakan e-procurement di Indonesia merupakan salah satu bentuk reformasi di

bidang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Tujuan kebijakan ini untuk meningkatkan

transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat,

memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit

dan memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time guna mewujudkan clean and

good government dalam pengadaan barang/jasa pemerintah (Perpres No.54 Tahun 2010

40

E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery. Report of the Expert

Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs. 4-5 October 2011. United Nations

Headquarters, New York. 41

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintaha (LKPP) No.2 Tahun 2010

tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Pasal 1.

15

pasal 107). Sementara Ballard (2011: 2)42

mengatakan: “In public procurement the goals of

fairness, competition and economic value are paramount. To achieve these goals, effective

and efficient procurement process must be established. This includes incorporating

adequate controls to promote competition and minimize the risk of fraud, corruption,

waste, and mismanagement of public fund. In this context, transparency is considered to be

one of the most effective tools to deter corruption and ensure value for money”. Jadi dalam

pengadaan barang dan jasa untuk publik, tujuan yang terpenting adalah keadilan,

persaingan dan nilai ekonomi. Untuk mencapai tujuan ini, proses pengadaan yang efektif

dan efisien harus ditetapkan. Ini termasuk menggabungkan kontrol yang memadai untuk

mempromosikan kompetisi dan meminimalkan risiko penipuan, korupsi dan salah urus dari

dana publik. Dalam konteks ini, transparansi dianggap sebagai salah satu alat yang paling

efektif untuk mencegah korupsi dan memastikan bernilainya sebuah harga.

2.5 Transparansi Dalam Pelayanan Publik

Pelayanan publik merupakan kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa,

dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik

sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut UU No. 25 Tahun 2009 pasal 4,

transparansi merupakan salah satu asas penyelenggaraan pelayanan publik. Sementara

dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dikatakan

siapa saja yang menjalankan tugas dan fungsi dengan dana yang bersumber dari

APBN/APBD dan sumbangan dana publik diwajibkan untuk menyampaikan informasi

secara terbuka kepada masyarakat kecuali informasi yang dikecualikan seperti misalnya

informasi strategi dan rahasia bisnis yang menjadi hak perusahaan, informasi rahasia

negara, informasi intelijen, dan informasi yang bersifat pribadi. Ini artinya setiap informasi

publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik.

Transparansi (transparency) dapat diartikan sebagai keterbukaan pemerintah

dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya

publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Dengan demikian transparansi

merupakan salah satu tujuan penting yang hendak dicapai dalam pelaksanaan kebijakan e-

procurement. Secara khusus, transparansi disini diartikan sebagai semua ketentuan dan

informasi, baik teknis maupun administratif termasuk tata cara peninjauan, hasil

42

Ballard, Therese,. 2011. “Transparancy and Public Procurement”. Supplement to the 2011 Annual

Statistical Report on United Nations Procurement.UNOPS.

16

peninjauan, dan penetapan penyedia barang/jasa harus bersifat terbuka bagi penyedia

barang/jasa yang berminat dan mampu tanpa diskriminasi.

Sementara menurut Clem (2010: 4)43

transparansi diartikan sebagai “Government

should provide citizens with information about what their government is doing so that

government can be held accountable”. Pemerintah harus menyediakan informasi kepada

warga negara tentang apa yang pemerintah lakukan sehingga dapat dipertanggung

jawabkan. Berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa ada beberapa pertanyaaan yang

perlu diajukan ketika berbicara mengenai tranparansi, yaitu: What is being procured? Who

is eligible to bid? How to bid? What are the evaluation criteria? Who has got the award?

At What cost? What is the quality of work/product/service?44

Dari pengertian transparansi di atas, ruang lingkup pembahasan berkaitan dengan

e-transparansi dalam pelaksanaan e-procurement cukup luas, sehingga Heald (dalam

Bannister dan Connoly, 2011)45

mengkategorikannya dalam tiga kategori yakni

transparansi data, transparansi proses dan transparansi keputusan/kebijakan. Transparansi

data berhubungan dengan angka dan fakta-fakta pemerintah, seperti biaya penyediaan

(memproses data hingga mudah diakses dan dipahami masyarakat); misinterpretasi

data/informasi; resiko terhadap masyarakat/anonimitas. Transparansi proses berkaitan

dengan ketersediaan informasi dari berbagai proses pemerintahan, mulai dari pembuatan

keputusan hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam

proses jelas, menunjukkan dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan

menjelaskan mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Transparansi

keputusan/kebijakan menguraikan alasan (rasionalitas) dari keputusan-keputusan, dan/atau

tindakan-tindakan dan kebijakan pemerintah.

Studi terhadap transparansi e-procurement dalam beberapa negara EU

menunjukkan permasalahan sebagai berikut: data diterbitkan dalam bentuk pdf dan html

tetapi bukan dalam bentuk database dalam arti data tersedia dalam berbagai volume

buletin yang terpisah sehingga sulit untuk menelusuri fase-fase dalam procurement

(Lederer, 2012). Di Hungaria publik harus membuka setiap buletin jika ingin mengetahui

berapa tender yang dimenangkan dan nilai tender dan apakah telah sesuai dengan kontrak

43

Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging Communities”. Ark in

Association with Inside Knowledge. 44

http://himachaldit.gov.in/file.axd?file=2010%2F5%2Fe-ProcurementConcepts.pdf. Diakses 22 April 2013.

Jam 20.00. 45

Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of

Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization.

http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8

17

harus membuka setiap buletin. Sementara di Czechs keterbatasan dalam transparansi e-

procurement dapat dilihat dari ketiadaan statistik dan ringkasan dari procurement dan

informasi mengenai justifikasi pemenang tidak tersedia di web tetapi harus diminta secara

individual. Baik di Polandia maupun di Czech modifikasi kontrak tidak diterbitkan di

kedua negara ini walaupun dapat diminta oleh siapa saja yang ingin mengetahui.

Selanjutnya menurut Lederer (2012) Slovakia merupakan negara yang menyelenggarakan

e-procurement sangat transparan yaitu dengan menayangkan update data dalam format

yang mudah untuk diproses. Tersedia juga database online yang menyediakan informasi

mengenai seluruh kontrak yang telah disepakati.

Sementara di Indonesia tepatnya di Kota Yogyakarta, studi yang dilakukan oleh

Wahid (dalam Udoyono 2012: 128) mengungkapkan masih berlangsungnya sisi negatif

dalam pelaksanaan e-procurement: Pertama, pelaksanaan proyek yang selalu terlambat

karena instansi yang berwenang dalam pengadaan barang dan jasa lebih memahami pola

manual daripada e-procurement. Kedua, harga kontrak relatif sama atau lebih mahal

dibandingkan dengan harga dipasar atau toko menjadi bentuk rent seeking baru bagi

penyelenggara pengadaan barang dan jasa.

Dari uraian diatas, kebebasan masyarakat untuk memperoleh informasi

merupakan salah satu prasyarat menciptakan pemerintah yang terbuka. Maksud dari

pemerintah yang terbuka adalah penyelenggaraan pemerintahan dalam mengelola sumber

daya publiknya dilakukan secara transparan. Tidak mungkin tercipta pemerintah yang baik,

bila masyarakat tidak diberi kebebasan untuk memperoleh atau mendapat informasi dari

apa yang dilakukan pemerintah. Dengan demikian penyediaan kesempatan bagi warga

untuk memperoleh informasi publik bukan saja menjadi kepentingan warga masyarakat

sendiri, tetapi juga untuk para penyelenggara negara.

2.6 Peta Jalan Penelitian

Kebijakan e-procurement di Indonesia masih baru tetapi sangat urgent sehingga

perlu diteliti dari berbagai perspektif. Beberapa penelitian mengenai e-procurement sudah

dilakukan baik di dalam maupun luar negeri, diantaranya:

18

Tabel 2.2

Peta Jalan Penelitian

Tahun Judul/Peneliti Hasil

2006 Critical Factors That Influence E-

procurement Implementation

Success in The Public Sector

(Vaidya, Kishor; Sajeev, A. S.

M.; Callender, Guy ; Journal of

Public Procurement, Volume 6,

Issues 1 & 3, 70-99)

Implementation Perspectives: Organization

& Management, Practices & Processes,

Systems & Technology.

2009 Studi Penerapan E-procurement

Pada Proses Pengadaan di

Pemerintah Kota Surabaya

(Wahyu Hary Wijaya; Retno

Indryani; Yusronia Eka Putri;

Master Paper ITS)

Ada pengaruh antara variabel pemusatan

manajemen yang lebih baik, menciptakan

proses pengadan yang bersih transparan dan

dapat diterima, dan meningkatkan kepuasan

klien dan variabel mengurangi biaya per

tender dan mengurangi waktu proses

pengadaan.

2009 Persepsi Pengguna Layanan

Pengadaan Barang dan Jasa Pada

Pemerintah Kota Yogyakarta

Terhadap Implementasi Sistem E-

procurement.

(Ika Akyuna Nightisabha; Djoko

Suhardjanto; Bayu Tri Cahya;

Jurnal Siasat Bisnis).

Ada perbedaan persepsi antara panitia

pengadaan barang/jasa dan penyedia

barang/jasa. Sehingga e-procurement

dikatakan tidak berhasil.

2012 E-procurement: Myth or Reality?

(Clifford McCue and Alexandru

V. Roman; Journal of Public

Procurement, Volume 12, Issue 2,

212-238)

Public procurement has not yet led to

significant transformative changes.

Unsuitability of software platforms,

organizational resistance, lack of strategic

systems‟ integration and failure to involve

public procurement professionals in the

design of e-procurement systems were

identified as the primary obstacles of

effectively implementing digital

Procurement.

2012 E-procurement Dalam Pengadaan

Barang dan Jasa Untuk

Mewujudkan Akuntabilitas di

kota Yogyakarta

(Kodar Udoyono; Jurnal Studi

Pemerintahan

Volume 3 Nomor 1 Februari)

Dimensi pertama fisibilitas dalam pengadaan

barang/jasa: regulatif, teknokratis dan

administratif, politik, dan kebutuhan

masyarakat. Kedua, dimensi akuntabilitas

dalam pengadaan barang/jasa: regulatif,

politik, dan keuangan. Jadi,

implementasi E-procurement di kota

Yogyakarta fisibel tapi tidak akuntabel.

2014 Model Implementasi Kebijakan

E-procurement Dalam

Mewujudkan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah di

Provinsi Sumatera Utara.

Variabel-variabel atau faktor-faktor

implementasi kebijakan e-procurement di

Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai.

Implementasi model kebijakan e-

19

procurement tersebut dalam mewujudkan

transparansi di Pemerintah Kota Medan,

Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai.

Hambatan pelaksanaan model kebijakan e-

procurement di Pemerintah Kota Medan,

Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai.

2015 Model Implementasi Kebijakan

E-procurement Dalam

Mewujudkan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah di

Provinsi Sumatera Utara.

Pengaruh model kebijakan e-procurement

terhadap transparansi pelayanan publik di

Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai .

2016 Model Implementasi Kebijakan

E-procurement Dalam

Mewujudkan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah di

Provinsi Sumatera Utara.

Evaluasi dari model implementasi

kebijakan e-procurement di Pemerintah

Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten

Serdang Bedagai.

Perbandingan model implementasi

kebijakan e-procurement di tiga lokasi

penelitian.

Catatan: Kolom yang diarsir abu-abu (2014-2015) merupakan peta penelitian yang akan diteliti

sedangkan tahun 2016 adalah peta yang direncanakan untuk diteliti.

20

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

3.1.1 Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor implementasi kebijakan e-

procurement di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai.

3.1.2 Pelaksanaan model implementasi kebijakan e-procurement di Pemerintah Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai dalam mewujudkan transparansi.

3.1.3 Menemukan dan menganalisis faktor-faktor penghambat implementasi kebijakan e-

procurement tersebut di Pemerintah Kota Medan, Pemerintah Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai.

3.2 Manfaat Penelitian

3.2.1 Secara subyektif sebagai saranan untuk mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah,

sistematis dan kemampuan untuk menuliskannya dalam bentuk karaya ilmiah

berdasarkan kajian Ilmu Administrasi Publik.

3.2.2 Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan menjadfi masukan atau sumbangan

pemikiran bagi pemerintah daerah (Kabupaten dan Kota) dalam mengimplementasikan

kebijakan e-procurement.

3.2.3 Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Ilmu

Administrasi Publik.

21

BAB IV

METODE PENELITIAN

Penelitian ini direncanakan selama dua tahun. Metode penelitian yang digunakan

adalah kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan secara terpisah. Pada penelitian tahun

pertama digunakan pendekatan kualitatif, sedangkan pada tahun kedua digunakan

pendekatan kuantitatif.

4.1 Penelitian Tahun I

4.1.1 Bentuk Penelitian

Metode yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan

kualitatif. Penelitian ini berlokasi di Kantor Walikota Medan, Kantor Walikota Binjai dan

Kantor Bupati Serdang Bedagai.

4.1.2 Informan Penelitian

Informan penelitian adalah orang-orang yang memberikan informasi yang

diperlukan selama proses penelitian, meliputi informan kunci dan informan biasa.

Informan kunci adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok

yang diperlukan dalam penelitian atau informan yang mengetahui secara mendalam

permasalahan yang diteliti. Sedangkan informan biasa adalah informan yang ditentukan

dengan dasar pertimbangan mengetahui dan berhubungan dengan permasalahan.

Atas dasar penjelasan di atas, maka dalam penelitian ini yang menjadi informan

(partisipan) penelitian adalah: Kepala LPSE Kota Medan, Sekretaris LPSE Kota Medan,

Wakil Kepala ULP Kota Medan, Anggota Pokja Kota Medan, Staf Helpdesk Kota Medan;

Kepala LPSE Kota Binjai, Kepala ULP Kota Binjai, Sekretaris ULP Kota Binjai, Pokja

Kota Binjai; Anggota LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, Wakil Kepala ULP dan Pokja

Kabupaten Serdang Bedagai, Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai.

4.1.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Teknik Pengumpulan Data Primer yaitu teknik pengumpulan data yang langsung

diperoleh dari lapangan atau lokasi penelitian dan dilakukan melalui wawancara secara

mendalam (in depth interview).

22

b. Teknik Pengumpulan Data Sekunder yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh

melalui bahan kepustakaan untuk mendukung kelengkapan dari data primer yang

dilakukan dengan cara studi kepustakaan dan studi dokumentasi.

4.1.4 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa

data kualitatif. Dimana analisa data dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung

baik dengan cara wawancara (dengan menggunakan pedoman wawancara) maupun setelah

selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Data yang dianalisis diperkuat dengan

data kepustakaan melalui buku-buku dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan

permasalahan dalam penelitian ini.

Secara ringkas tahapan pelaksanaan kegiatan penelitian ini dapat dilihat pada tabel

dibawah ini. Sebagai catatan, baru kegiatan pertama (penyusunan outline) dan kedua

(penulisan proposal) saja yang sudah dilakukan oleh peneliti.

23

Gambar 4.1

Tahapan Penelitian Tahun Pertama

Tahapan Kegiatan Keluaran

Setelah didapat model implementasi kebijakan e-procurement dengan menggunakan

pendekatan kualitatif maka tahap selanjutnya (tahun kedua) mencari seberapa besar

pengaruh model implementasi tersebut terhadap transparansi pelayanan publik, dengan

menggunakan pendekatan kuantitatif.

Penulisan Proposal

Penyusunan Outline

Identifikasi Faktor

Implementasi Kebijakan

Outline

Proposal Penelitian

Faktor Implementasi

Kebijkan

Draft Pedoman

Wawancara

Pedoman

Wawancara

Draft

Temuan Lapangan

Hasil Temuan

Lapangan

Draft Analisis Hasil

Temuan

Hasil Penelitian: Model

Implementasi

Pelaksanaan Model

tersebut serta hambatan

Penulisan Jurnal Jurnal 1

24

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai yang merupakan bagian dari Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari

25 kabupaten, 8 kota, 325 kecamatan dan 5.456 kelurahan/desa.

Pemaparan berikut ini merupakan gambaran ketiga lokasi penelitian yang lebih

mendalam mengenai karakteristik geografis, demografis dan secara khusus struktur

pemerintahan daerah dan institusi-institusi yang terkait dengan implementasi e-

procurement yang dirujuk dari data hasil sekunder, berupa dokumen statistik dan laporan-

laporan dan juga data primer baik yang berasal dari observasi maupun wawancara

mendalam dengan partisipan penelitian.

5.1.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kota Medan

Luas wilayah Kota Medan adalah 265.10 km2 atau 3.6 persen dari total luas

wilayah Provinsi Sumatera Utara. Secara administratif, Kota Medan berbatasan dengan

Selat Malaka di sebelah Utara dan Kabupaten Deli Serdang di sebelah Timur, Barat serta

Selatan. Kota Medan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara memiliki posisi

strategis baik secara regional maupun nasional. Posisi ini menjadi modal dasar dalam

pembangunan kota.

Kota Medan sebagai salah satu pusat perekonomian regional terpenting di pulau

Sumatera dan salah satu dari tiga kota metropolitan terbesar di Indonesia. Hal ini

disebabkan karena Kota Medan memiliki kedudukan, fungsi dan peranan strategis sebagai

pintu gerbang utama bagi kegiatan jasa perdagangan dan keuangan secara

regional/internasional di kawasan barat Indonesia, yang didukung oleh ketersediaan

Bandara Polonia dan Pelabuhan Laut Belawan serta infrastruktur dan utilitas kota lainnya.

Secara administratif Pemerintahan Kota Medan terdiri dari 21 kecamatan dengan

151 kelurahan, yang terbagi atas 2.001 lingkungan. Berdasarkan batas wilayah

administratif, Kota Medan relatif kecil dibanding kota lainnya, tetapi posisi secara

ekonomi regional sangat penting karena berada dalam wilayah hinterland dengan basis

ekonomi sumberdaya alam yang relatif besar dan beragam serta dukungan kepelabuhanan.

25

5.1.2 Visi dan Misi Kota Medan

Visi pembangunan Kota Medan Tahun 2011–2015 adalah: Kota Medan menjadi

kota metropolitan yang berdaya saing, nyaman, peduli dan sejahtera. Makna utama visi

pembangunan kota tahun 2011-2015 dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Kota Metropolitan

Bermakna bahwa Kota Medan menjadi kota yang berfungsi sebagai pusat kegiatan

nasional terutama pusat penyelengaraan pemerintahan; pusat kehidupan politik lokal; pusat

pertumbuhan kegiatan perdagangan dan jasa; pusat kegiatan sosial, seni dan budaya

masyarakat; serta pusat permukiman maju yang ditandai oleh semakin terpadunya kegiatan

sosial ekonomi; terciptanya ketenteraman, ketertiban dan kenyamanan; tersedianya

prasarana dan sarana yang maju, bermutu, dan terpadu; tertatanya ruang dan lingkungan

hidup, sebagai ciri utama kota metropolitan baru.

2. Berdaya saing

Bermakna bahwa Kota Medan mempunyai keunggulan kompetitif, komparatif dan

koperatif secara regional, nasional dan global yang ditandai oleh tingginya produktivitas

sumberdaya manusia; berkembangnya industri, perdagangan dan jasa keuangan;

tersedianya infrastruktur sosial ekonomi yang lengkap; terjaganya stabilitas keamanan,

sosial, dan politik; terwujudnya tata pemerintahan yang profesional; serta berkembangnya

ilmu pengetahuan dan teknologi.

3. Nyaman

Bermakna bahwa Kota Medan menjadi kota layak huni bagi seluruh warga kota dan warga

asing dalam mengekspresikan dan menjalankan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya yang

ditandai oleh suasana aman, tenang, damai, tertib, beradab, bersahaja, serta bebas dari rasa

takut dan khawatir.

4. Peduli

Bermakna bahwa Kota Medan menjadi kota yang memberikan pelayanan dan perhatian

yang tulus, empati, adil, dan merata bagi seluruh warga kota tanpa membedakan suku, ras,

agama, asal-usul, dan golongan yang ditandai oleh sikap warga kota yang disiplin, suka

bekerja keras, terbuka, toleran, berpikir positif, kebersamaan, keteladanan dan kearifan.

5. Sejahtera

Bermakna utama bahwa Kota Medan menjadi kota dengan masyarakat yang terpenuhi dan

terfasilitasi hak-hak dasarnya, baik hak atas pendidikan, kesehatan, sandang, pangan,

lingkungan, perumahan, kehidupan keagamaan, keamanan, berkurangnya angka

26

kemiskinan absolut dan pengangguran serta semakin meningkatnya pendapatan

masyarakat.

Dalam rangka mewujudkan visi pembangunan kota yang ditetapkan dan sekaligus

mempertegas tugas, fungsi dan dan tanggungjawab seluruh pelaku pembangunan, baik oleh

penyelenggara pemerintahan daerah maupun masyarakat selama lima tahun ke depan,

maka misi pembangunan kota tahun 2011-2015 adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas kepemerintahan yang demokratis, berkeadilan, transparan dan

akuntabel.

Meningkatkan kualitas kepemerintahan yang demokratis, berkeadilan, transparan dan

akuntabel berarti dan dimaknai membangun suatu pemerintahan yang beretos kerja

memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan prinsip-prinsip pokok 10

kepemerintahan yang baik. Pemerintahan daerah yang baik merupakan dasar bagi

pelaksanaan pembangunan kota yang berdaya guna dan berhasil guna serta memiliki daya

saing. Oleh karena itu, membangun pemerintahan daerah yang baik merupakan misi utama

yang dijalankan 5 tahun ke depan.

2. Meningkatkan penataan prasarana dan sarana perkotaan yang serasi dan seimbang

untuk semua kawasan kota.

Hal ini dimaknai sebagai membangun dalam rangka kegiatan masyarakat yang bersifat

sosial maupun ekonomi. Pembangunan dilakukan secara serasi dan seimbang berarti tetap

memperhatikan prinsip efisiensi dalam rangka meningkatkan produktivitas, juga tetap

memperhatikan keserasian antara kawasan misalnya kawasan pusat kota dan kawasan

lingkar luar maupun kawasan lainnya yang tertinggal. Daya saing ekonomi kota akan

sangat berarti bila didukung oleh sarana dan prasarana kota yang modern. Hadirnya sarana

dan prasarana kota yang modern, handal dan asri merupakan syarat perlu bagi

pembangunan kota secara keseluruhan.

3. Meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi kota yang merata dan berkelanjutan.

Meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi kota dimaknai sebagai percepatan

pertumbuhan perekonomian kota yang memiliki kualitas dan mampu menciptakan

kesempatan kerja sekaligus mengentaskan kemiskinan kota secara berkelanjutan, serta

upaya memberikan perkuatan terhadap sektor unggulan ekonomi kota, terutama UKMK.

4. Mewujudkan penataan lingkungan perkotaan yang bersih, sehat, nyaman dan religius.

Lingkungan perkotaan baik permukiman, perdagangan dan industri harus bersih, sehat,

nyaman dan religius serta terhindar dari bahaya seperti banjir, kebakaran, dan konflik

sosial. Ini dimakna lingkungan yang akan diciptakan harus dapat memberikan rasa nyaman

27

dan menunjang peningkatan kesehatan, serta harus berkelanjutan dan menjamin masa

depan pembangunan kota.

5. Meningkatkan kualitas masyarakat kota.

Misi ini dimaknai untuk membangun masyarakat yang sejahtera melalui upaya

peningkatan derajat pendidikan dan kesehatan masyarakat, penanggulangan kemiskinan

dan pengangguran, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pelayanan publik,

keamanan dan ketertiban, religius dan partisipatif serta dalam suasana kehidupan yang

harmonis dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing, serta peningkatan

kualitas sumber daya masyarakat.

5.1.3 Struktur Organisasi Kota Medan

Organisasi dan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang menyelenggarakan tugas-

tugas umum pemerintahan, kewenangan desentralisasi serta membantu kelancaran

pelaksanaan tugas-tugas Kepala Daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah,

Lembaga Teknis Daerah, Unit Pelaksana Daerah, Kecamatan dan Kelurahan. Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Gambar 5.1

Struktur Organisasi Pemerintah Kota Medan

Sumber: Pemerintah Kota Medan, 2014

28

1. Sekretariat Daerah

Sekretariat Daerah dibentuk dengan Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2002

tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kota Medan dan

Sekretariat DPRD Kota Medan. Sekretariat Daerah merupakan unsur staf Pemerintah

Daerah yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah yang berada di bawah dan

bertanggung jawab kepada Walikota. Tugas pokok Sekretariat Daerah adalah membantu

Walikota dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, administrasi, organisasi dan

tatalaksana serta memberikan pelayanan administratif kepada seluruh perangkat daerah.

Sementara itu, untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, fungsi dari Sekretariat Daerah ini

mencakup: (1) pengkoordinasian perumusan kebijakan Pemerintah Daerah, (2)

penyelenggaraan administrasi pemerintahan, (3) pengelolaan sumber daya aparatur;

keuangan; prasarana dan sarana Pemerintah Daerah serta (4) pelaksanaan tugas lain yang

diberikan oleh Walikota sesuai dengan fungsinya. Susunan organisasi Sekretariat Daerah

terdiri dari 1 orang Sekretaris Daerah, 4 orang Asisten dan 11 orang Kepala Bagian, 1

Sekretaris Dewan dan 3 Bagian.

2. Dinas Daerah

Dinas Daerah dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 35 Tahun 2002

tentang Perubahan atas Perda Kota Medan No. 4 Tahun 2001 tentang Pembentukan

Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah di lingkungan Pemerintah Kota Medan

yang terdiri dari 21 Dinas. Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah

yang dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab

kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Dinas Daerah ini melaksanakan tugas dan

fungsi operasional untuk bidang-bidang tertentu seperti pendidikan, pariwisata dan

kebudayaan, kesehatan, perhubungan, informasi, telekomunikasi dan pengolahan data

elektronik, pertanian dan lain-lain.

3. Lembaga Teknis Daerah

Lembaga Teknis Daerah merupakan badan/kantor yang dikepalai oleh seorang

Kepala Badan/Kepala Kantor sebagai unsur penunjang yang membantu Walikota dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk bidang-bidang tertentu. Kepala Badan/Kepala

Kantor berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris

Daerah. Pembentukannya didasarkan pada Peraturan Daerah Nomor 36 Tahun 2002

tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kota Medan

yang terdiri dari 8 Badan dan 5 Kantor. Beberapa lembaga teknis yang terdapat dalam

pemerintah Kota Medan antara lain Badan Pengawas, Badan Perencanaan Pembangunan

29

Daerah, Badan Kepegawaian Daerah, Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan

Masyarakat, Kantor Polisi Pamong Praja dan Kantor Penanaman Modal Daerah, dan lain-

lain.

4. Unit Pelaksana Daerah

Unit Pelaksana Daerah berkedudukan sebagai pelaksana daerah yang membantu

Walikota di bidang tertentu, dipimpin oleh Kepala Unit yang berada dibawah dan

bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah.

5. Kecamatan

Pemerintah Kecamatan merupakan perangkat daerah yang dipimpin oleh seorang

camat yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Walikota melalui Sekretaris

Daerah. Organisasi Kecamatan terdiri dari camat, sekretariat kecamatan, dan 5 seksi.

Pemerintah Kota Medan dibantu oleh 21 Kecamatan, 151 Kelurahan dan 105 Seksi.

5.1.4 Deskripsi Lembaga Pelaksana e-Procurement Kota Medan

5.1.4.1 Unit Layanan Pengadan (ULP) Barang /Jasa Pemerintah Kota Medan

Berdasarkan Peraturan Walikota Medan Nomor 52 Tahun 2012 tentang

Pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Unit Layanan Pengadaan (ULP)

Pemerintah Kota Medan susunan organisasi ULP Kota Medan terdiri dari:

a. Kepala

b. Wakil Kepala

c. Sekretaris

d. Kelompok kerja (Pokja) meliputi pengadaan barang, pekerjaan kontruksi, jasa

konsultasi dan jasa lainnya

e. Staf Pendukung

Adapun ULP bertujuan untuk:

a. Menjamin pelaksanaan pengadaan barang/jasa lebih baik terintegrasi atau terpadu

efektif, efisien, akuntabel

b. Meningkatkan efktifitas dan efisiensi dalam pelaksanan tugas fungsi unit/satuan kerja

teknis di masing-masing SKPD

c. Pelaksananaan pengelolaan pengadaan barang/jasa dilakukan oleh aparatur

professional bagi penyedia barang/jasa

d. Memberikan persamaan kesempatan, akses dan hak agar tercipta persaingan usaha

yang sehat

Kewenangan ULP sesuai dengan dengan tujuan dibentuknya ULP adalah:

30

a. Menetapkan dokumen pengadaan

b. Menetapkan besaran nominal jaminan penawaran

c. Menetapkan pemenang

d. Mengusulkan penetapan pemenang kepada walikota

e. Mengusulkan kepada PA/KPA agar penyedia barang jasa melakukan perbuatan dan

tindakan seperti penipuan, pemalsuan dan pelanggaran lainnya untuk dikenakan sanksi

kepada pencantuman dalam daftar hitam

f. Memberikan sanksi administrasi kepada penyedia barang/jasa yang melakukan

pelanggran atau tindakan sebagaimana yang berlaku dalam Peraturan Presiden Nomor

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannnya.

Ruang Lingkup Tugas Perangkat ULP adalah sebagai berikut:

a. Kepala ULP

- Memonitoring pelaksanaan kegiatan ULP

- Mengirimkan dokumen lelang Pokja yang telah diverifikasi oleh wakil kepala ULP

kepada PA/KPA dan/atau PPK yang memiliki pekerjaan

- Mengevaluasi kegiatan ULP

- Membuat laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan pengadaan barang dan jasa

kepada walikota secara berkala setiap bulan

b. Wakil Kepala ULP

- Menetapkan dan menunjuk Pokja guna melaksanakan pemilihan penyedia barang

dan jasa

- Menunjuk staf pendukung guna membantu kelancaran pelaksanaan tugas-tugas

kesekretariatan

- Mendistribusikan usulan pelaksanaan penyedia barang/jasa yang dilakukan Pokja

- Menunjuk tenaga ahli dalam hal pengadaan barang/jasa yang bersifat khusus

dan/atau memerlukan keahlian khusus yang berasal dari pegawai negeri sipil atau

non PNS tetapi tidak ikut terlibat dalam penentuan pemenang

- Memonitoring pelaksanaan penyedia barang/jasa yang dilakukan Pokja

- Membuat laporan secara berkala atas hasil pelaksanaan hasil pelelangan yang

dilaksanakan oleh ULP kepada walikota melalui kepala ULP

c. Sekretariat ULP

- Melaksanakan pengelolaan urusan keuangan, kepegawaian, ketatausahaan,

perlengkapan rumah tangga ULP

- Menginventarisasi paket-paket yang akan dilelang/diseleksi

31

- Menyiapkan dokumen-dokumen pendukung informasi yang dibutuhkan Pokja ULP

- Mengagendakan dan mengkordinasikan sanggahan yang disampaikan oleh

penyedia barang/jasa

- Mengelola sistem pengadaan dan sistem informasi data manajemen pengadaan

untuk mendukung pelaksanaan barang/jasa

- Mengelola dokumen pengadaan barang/jasa

- Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan pengadaan dan menyusun laporan

- Menyiapkan dan mengkordinasikan tim teknis dan staf pendukung ULP dalam

proses pengadaan barang/jasa

- Mengagendakan dan mengkoordinasikan sanggahan yang disampaikan penyedia

barang/jasa

- Memantau harga barang/jasa dipasaran

- Menyiapkan dan mengkoordinasikan tim ahli pengadaan barang/jasa dalam

membantu rangkaian proses pengadaan

d. Pokja ULP

- Melakukan kaji ulang terhadap spesifikasi dan Harga Perkiraan Sendiri (HPS)

paket-paket yang akan dilelang/seleksi

- Mengusulkan perubahan harga perkiraan sendiri, Kerangka Acuan Kerja

(KAK)/spesifikasi teknis pengerjaan dan rancangan kontrak kepada PPK

- Menyusun rencana pemilihan penyedia barang/jasa dan menetapkan dokumen

pengadaan

- Melakukan pemilihan penyedia barang/jasa mulai dari pengumuman kualifikasi

atau pelelangan sampai dengan menjawab sanggahan

- Mengusulkan penetapan pemenang kepada walikota untuk penyedia

barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bernilai diatas Rp 100.000.000.000.

(Seratus Miliar Rupiah) dan penyedia jasa konsultasi yang bernilai diatas Rp

10.000.000.000 (Sepuluh Miliar Rupiah) melalui kepala ULP

- Menetapkan pemenang untuk:

- Pelelangan atau penunjukan langsung untuk paket pengadaan barang/pekerjaan

kontruksi/jasa lainnya yang bernilai paling tinggi Rp100.000.000.000 (Seratus

Miliar Rupiah) atau

- Seleksi atau penunjukan langsung untuk paket pengadaan jasa konsultasi yang

bernilai paling tinggi Rp 10.000.000.000 (Sepuluh Miliar Rupiah)

- Menyampaikan berita acara hasil pelelangan kepada PPK melalui kepala ULP

32

- Membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadan barang/jasa kepada kepala

ULP

e. Staf Pendukung

- Melaksanakan survey harga barang/jasa

- Melaksanakan penyususunan harga satuan kerja

- Melaksanakan pendampingan dalam penjelasan teknis pekerjaan selaku aanwijer

kepada pokja pengadaan

- Memberikan masukan dan pertimbangan teknis terhadap perubahan HPS dan

perubahan spesifikasi teknis pekerjaan

- Memberikan masukan, saran, rekomendasi dibidang hukum berkaitan dengan

penyusunan jawaban sanggahan

- Melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada kepala ULP

5.1.4.2 Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Kota Medan

Pembentukan lembaga pelaksana e-procurement kota Medan didasarkan pada

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2007 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah

dimana didalamnya perlu salah satunya adalah sistem eprocurement. Untuk

mengimplementasikan kebijakan ini maka LPSE Kota Medan resmi launching pada

tanggal 7 Desember 2011.

Berdasarkan Peraturan Walikota Medan Nomor 33 Tahun 2013, susunan

organisasi LPSE terdiri dari:

a. Pembina

b. Pengarah

c. Ketua

d. Sekretaris

e. Bidang administrasi sistem informasi

f. Bidang Registrasi dan Verifikasi

g. Bidang layanan pengguna

h. Bidang pelatihan dan sosialisasi

Sedangkan tugas LPSE adalah melaksanakan pengadaan barang/jasa secara

elektronik dan proses pengadaan barang/jasa secara elektronik. Untuk melaksanakan tugas

tersebut fungsi dari LPSE adalah sebagai berikut:

a. Administrator secara elektronik

b. Unit registrasi dan verifikasi penggunaan

c. Unit layanan pengguna

33

d. Mengoperasionalkan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik

e. Melakukan registrasi dan verifikasi penyedia barang/jasa untuk memastikan penyedia

memenuhi persyaratan berlaku

f. Melakukan pelatihan/training kepada panitia lelang dan penyedia barang/jasa untuk

menguasai aplikasi sistem pelelangan secara elektronik

g. Sebagai Helpdesk yang menyediakan layanan sistem pengadaan barang/jasa secara

elektronik pada penyedia barang/jasa yang memerlukan panduan untuk mengikuti

tahapan lelang secara elektronik

Masing-masing jabatan mempunyai tugas sebagai berikut:

a. Pengarah

- Mengarahkan dan memantau pelaksanaan tugas LPSE

- Memberikan petunjuk teknis dan pedoman kerja bagi LPSE

- Memantau dan mengevaluasi program kerja LPSE

- Memberikan arah kebijakan untuk pelaksanaan tugas kebijakan

b. Ketua LPSE mempunyai tugas memimpin LPSE dalam menjalankan tugas dan fungsi

LPSE

c. Sekretaris mempunyai tugas melaksanakan kordinasi, ketatausahaan, pembinaan dan

pengendalian terhadap program, kegiatan administrasi dan sumber daya di lingkungan

kerja LPSE

d. Bidang administrasi sistem informasi mempunyai tugas

- Penyiapan dan pemeliharaan perangkat lunak, perangkat keras dan jaringan

- Penanganan permasalahan teknis yang terjadi untuk menjamin kehandalan dan

ketersedian layanan

- Pemberian informasi kepada LKPP tentang keandalan teknis yang terjadi di LPSE

- Pelaksanaan instruksi teknis dari LKPP

e. Bidang registrasi dan verifikasi mempunyai tugas dan fungsi:

- Pelayanan pendaftaran pengguna SPSE

- Penyampaian informasi kepada calon pengguna LPSE tentang kelengkapan dokumen

yang dipersyaratkan

- Verifikasi seluruh dokumen dan informasi sebagai syarat pendaftaran penggunaan

SPSE

- Menyetujui dan menolak permohonan pendafatran pengguna unit LPSE berdasarkan

hasil verifikasi

34

- Melakukan konfirmasi kepada unit pengguna LPSE tentang persetujuan dan

penolakan pendaftaran berdasarkan hasil verifikasi

- Pengelolaan arsip dan dokumen pengguna SPSE

f. Bidang layanan Pengguna

- Pemberian layanan konsultasi mengenai proses pengadaan barang/jasa secara

elektronik baik melalui internet, telepon maupun hadir langsung di LPSE

- Pemberian informasi tentang fasilitas dan fitur aplikasi SPSE

- Penanganan keluhan tentang pelayanan LPSE

- Pelayanan pelatihan pengguna aplikasi SPSE

g. Bidang pelatihan dan sosialisasi

- Memberikan pelatihan bagi pengguna LPSE

- Memberikan sosialisasi terkait peraturan serta prosedur pengadaan sistem elektronik

5.2 Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai

5.2.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kabupaten Serdang Bedagai

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu kabupaten yang berada di

kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Serdang

Bedagai Nomor 06 dan Nomor 10 Tahun 2006, Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 17

Kecamatan, 243 Desa/Kelurahan definitif. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Dolok

Masihul dengan luas 237.417 Km2 dan Kecamatan terkecil adalah Kecamatan Serbajadi

dengan luas 50.690 Km2.

Batasan wilayah administrasi Kabupaten Serdang Bedagai adalah disebelah Utara

terletak Selat Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Simalungun, sebelah

Barat berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang, serta sebelah Timur berbatasan dengan

Kabupaten Batubara dan Kabupaten Simalungun

Elevasi atau ketinggian tempat suatu daerah sangat mempengaruhi jenis budidaya

yang dapat dilakukan diatas sebidang lahan. Elevasi daerah kabupaten dimulai dari pantai

hingga ketinggian 500 meter dari permukaan laut. Namun sebagian besar daerah ini berada

pada ketinggian 11 hingga 50 meter dari permukaan laut seluas 117,522.74 ha atau 61,20%

dari luas daerah Serdang Bedagai, menyusul daerah berketinggian antara 2-10 meter dari

permukaan laut dengan luas 66,506.75 ha atau 34,63%.

Kecamatan yang memiliki wilayah berketinggian 500 meter hanyalah Kecamatan

Sipispis serta kecamatan berketinggian 51-300 meter adalah Kecamatan Kotarih.

Sedangkan kecamatan yang hanya memiliki satu kelas ketinggian adalah Kecamatan

35

Bintang Bayu yang seluruh wilayahnya berada pada ketinggian 11-50 meter dari

permukaan laut.

5.2.1 Visi dan Misi Kabupaten Serdang Berdagai

Visi adalah suatu gambaran atau suatu kondisi yang diyakini dapat diwujudkan di

masa depan. Adapun visi pembangunan Kabupaten Serdang Bedagai 2010-2015 adalah

Mewujudkan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai Kabupaten terbaik dengan masyarakat

yang Pancasilais, Religius, Modern, Kompetitif dan Berwawasan Lingkungan. Penjabaran

dari Visi Kabupaten Serdang Bedagai adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat Pancasilais adalah masyarakat yang beradab dan agamis yang tercermin

dalam cara berpikir, bersikap, dan berprilaku yang berbudaya, menghargai ilmu

pengetahuan, terbuka, mengakui kemajemukan, toleransi, berkeadilan, dan demokratis

sesuai yang tercantum dalam Pancasila.

2. Masyarakat Religius adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai

kepercayaan yang dianutnya dan saling menghargai antar sesama. Bertindak atas dasar

kebaikan dan toleransi yang tinggi, bekerja atas dasar keikhlasan dan prinsip-prinsip

kemanusiaan sehingga akan tercipta kerukunan antar umat beragama secara rasional.

3. Masyarakat Modern adalah masyarakat yang berpikir dan bertindak secara positif serta

mampu menerima nilai-nilai baru yang dinamis, inovatif, berpandangan luas dan

berorientasi ke masa depan serta memiliki toleransi yang tinggi terhadap perbedaan

dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan budaya.

4. Masyarakat Kompetitif adalah masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhannya

(need for achievement) untuk lebih maju dengan mengandalkan kemampuan dan

kekuatan sendiri serta mempunyai motivasi dan prakarsa yang tinggi sehingga mampu

mengelola dan mengembangkan potensi yang dimiliki dengan berpijak pada

lingkungan budaya dan sosialnya. Sehingga mampu memberikan apresiasi kepada

pihak lain yang benar-benar berkerja atas dasar kemampuannya.

5. Berwawasan Lingkungan yaitu selalu mengupayakan dan menjaga keseimbangan

antara kelestarian sumber daya alam dan daya dukung lingkungan dalam mengisi

pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).

Untuk mewujudkan visi tersebut perlu adanya kerjasama antara pemerintah dan

masyarakat serta dukungan dari DPRD Kabupaten Serdang Bedagai dalam melanjutkan

tiga tugas pokok dan fungsi yaitu pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan.

36

Sehingga misi Kabupaten Serdang Bedagai yang akan dicapai tahun 2010–2015 sebagai

berikut:

1. Mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih dan partisipatif berdasarkan prinsip-

prinsip keterbukaan (transparansi) dan pertanggungjawaban (akuntabilitas).

2. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang religius, berdaya saing, inovatif dan

profesional.

3. Mengembangkan perekonomian dalam wilayah pembangunan berdasarkan potensi

sumber daya alam (SDA) yang berwawasan lingkungan.

4. Meningkatkan pembangunan pedesaan dengan pola partisipatif melalui gerakan

pembangunan swadaya rakyat.

5. Mendorong terciptanya stabilitas keamanan dan ketertiban guna mewujudkan

ketentraman masyarakat yang dinamis dengan menjunjung hak asasi manusia dan

demokrasi.

Selanjutnya penetapan tujuan dan sasaran organisasi didasarkan pada faktor-faktor

kunci keberhasilan yang dilakukan setelah penetapan visi dan misi. Tujuan dan sasaran

dirumuskan dalam bentuk yang lebih tepat dan terarah dalam rangka mencapai visi dan

misi.

Tujuan strategis merupakan penjabaran atau implementasi dari pernyataan misi

yang akan dicapai atau dihasilkan dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 5 (lima) tahun.

Dengan diformulasikannya tujuan strategis ini maka Kabupaten Serdang Bedagai dapat

secara tepat mengetahui apa yang harus dilaksanakan dalam memenuhi visi dan misinya

untuk kurun waktu satu sampai lima tahun ke depan dengan mempertimbangkan sumber

daya daerah dan kemampuan yang dimiliki baik aktual maupun potensial.

Berdasarkan urgensi dimaksud maka tujuan Kabupaten Serdang Bedagai yang

akan diwujudkan pada tahun 2010 - 2015 mendatang, dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.

2. Menciptakan Sumber Daya Manusia (SDM) Kabupaten Serdang Bedagai yang

pancasilais, religius, berdaya saing, inovatif dan profesional.

3. Menciptakan kemandirian dan pemberdayaan ekonomi masyarakat berbasiskan

sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan berkeadilan bagi masyarakat

Kabupaten Serdang Bedagai.

4. Menciptakan pembangunan pedesaan dengan partisipasi dan swadaya masyarakat.

5. Menciptakan stabilitas keamanan, ketertiban dan ketentraman masyarakat yang

demokratis dan menjunjung hak asasi manusia.

37

Untuk mendukung pencapaian tujuan maka tersebut di atas maka ditetapkan

sasaran pembangunan sebagai berikut:

1. Meningkatnya kualitas tata kelola pemerintahan yang baik.

2. Meningkatnya kualitas pelayanan kepada masyarakat dalam rangka penyelenggaraan

otonomi daerah.

3. Meningkatknya kualitas SDM di semua strata masyarakat.

4. Meningkatnya kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan dan pemberdayaan

ekonomi kerakyatan yang berbasis potensi sumber daya lokal dan berwawasan

lingkungan.

5. Meningkatnya kesadaran dan ketaatan hukum di setiap lapisan masyarakat.

5.2.3 Struktur Organisasi Kabupaten Serdang Bedagai

Struktur organisasi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dan 2 (dua)

Sekretariat, yakni Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD, 16 (enam belas) Dinas, 5

(lima) Badan, 6 (enam) Kantor, 1 (satu) RSUD, dan 17 (tujuh belas) Kecamatan. Struktur

organisasi tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 5.2

Struktur Organisasi Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai

Sumber: Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, 2014

38

Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai melakukan pengembangan secara terus

menerus (continuous improvement) agar dapat lebih mengoptimalkan fungsi alokasi dan

distribusi aset, regulasi penyederhanaan sistem, dan pelayanan serta perlindungan

masyarakat.

Berdasarkan informasi kelembagaan pemerintah di Kabupaten Serdang Bedagai

sudah baik yang mencakup pelaksanaan urusan wajib (sebanyak 26 urusan). Hal ini telah

memenuhi amanah Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan

Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara dan sesuai

dengan Perda No. 5 Tahun 2009 tentang Struktur Organisasi Pemerintah Daerah

Kabupaten Serdang Bedagai.

Selain itu kelengkapan organisasi kelembagaan daerah yang telah dibentuk untuk

menangani urusan pilihan sebanyak 6 (enam) institusi yang mencakup: Dinas Pengelolaan

Sumber Daya Air Kabupaten Serdang Bedagai, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan

Koperasi Kabupaten Serdang Bedagai, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Serdang

Bedagai, Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Serdang Bedagai, Dinas Kehutanan

dan Perkebunan Kabupaten Serdang Bedagai serta Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

Kabupaten Serdang Bedagai. Dengan demikian dalam hal prospek kemandirian daerah

dalam kerangka pembangunan, Kabupaten Serdang Bedagai telah memiliki berbagai

kekuatan yang cukup bervariasi dan menjanjikan.

5.2.4 Deskripsi Lembaga Pelaksana e-Procurement Kabupaten Serdang Bedagai

5.2.4.1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Barang/Jasa Kabupaten Serdang Bedagai

ULP di Kabupaten Serdang Bedagai diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 6

Tahun 2011 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Serdang Bedagai. Adapun

susunan organisasi, tugas dan fungsi ULP Barang/Jasa Kabupaten Serdang Bedagai sama

dengan ULP di Kota Medan.

5.2.4.2 Layanan Pengadaan Barang/Jasa Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten

Serdang Bedagai

Keputusan Bupati Serdang Bedagai Nomor 312/810/Tahun 2014 tentang

Pembentukan Tim Layanan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik (LPSE)

Kabupaten Serdang Bedagai. Susunan organisasi, tugas dan fungsi LPSE ini sama dengan

susunan organisasi LPSE Kota Medan, seperti telah diuraikan di atas.

39

5.3 Pemerintah Kota Binjai

5.3.1 Karakteristik Lokasi dan Wilayah Kota Binjai

Kota Binjai memiliki luas lebih kurang 90.23 km2. Secara administratif

Pemerintah Kota Binjai terdiri dari 5 (lima) Kecamatan dan 37 (tiga puluh tujuh)

Kelurahan. Wilayah Kota Binjai sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Binjai,

Kabupaten Langkat dan Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang. Sebelah

Timur berbatasan dengan Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang dan sebelah

Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sei Bingei, Kabupaten Langkat dan Kecamatan

Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang serta sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan

Selesai, Kabupaten Langkat

Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Binjai,

jumlah penduduk Kota Binjai sebanyak 285.530 orang, yang terdiri atas 145.423 laki-laki

dan 140.107 perempuan. Penyebaran penduduk Kota Binjai tertinggi di Kecamatan Binjai

Utara yakni sebesar 29,51 persen, diikuti Binjai Timur sebesar 21,79 persen, Binjai Selatan

sebesar 19,22 persen, Binjai Barat sebesar 16,81 persen, dan yang terendah Kecamatan

Binjai Kota yakni sebesar 12.66 persen. Kecamatan Binjai Utara merupakan Kecamatan

yang memiliki jumlah penduduk terbanyak yakni 84.252 orang dan Kecamatan yang paling

sedikit jumlah penduduknya adalah Kecamatan Binjai Kota yaitu sebanyak 36.154 orang.

Dengan luas wilayah Kota Binjai 90.23 km2 yang didiami oleh 285.530 orang maka rata-

rata kepadatan penduduk Kota Binjai adalah 3.164 orang/km2 Kecamatan yang paling

tinggi kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Binjai Kota yakni sebanyak 9.354

orang/km2 sedangkan yang paling rendah/ jarang adalah Kecamatan Binjai Selatan yakni

sebanyak 1.968 /km2.

5.3.2 Visi Dan Misi Kota Binjai

Visi merupakan pandangan jauh ke depan, kemana dan bagaimana Instansi

Pemerintah harus dibawa dan berkarya agar konsisten dan dapat eksis, antisipatif, inovatif

serta produktif. Dengan kata lain visi adalah suatu gambaran tentang keadaan masa depan

berisikan cita-cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh Instansi Pemerintah. Mengacu

pada batasan tersebut serta Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Binjai

Tahun 2011-2015 maka Visi Pembangunan Daerah Kota Binjai adalah Terwujudnya Binjai

Sebagai Kota Idaman yang Dinamis, Berdaya Saing, dan Nyaman Dalam Kebersamaan.

Makna dari visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kota Binjai 2011-2015

adalah sebagai berikut

40

a. Idaman artinya Kota Binjai memiliki trademark/image sesuai perkembangan kota

dengan pembangunan yang berkelanjutan;

b. Dinamis artinya Kota Binjai mampu mengikuti dan menyesuaikan diri dengan

perkembangan zaman;

c. Berdaya Saing artinya Kota Binjai memiliki daya saing (Pemerintahan, Pendidikan,

Kesehatan, Industri, Jasa);

d. Nyaman artinya Kota Binjai sebagai kota yang nyaman bagi semua stakeholder untuk

melaksanakan aktivitas kehidupan (bertempat tinggal, bekerja, dan beribadah);

e. Kebersamaan artinya menghidupkan suasana kebersamaan antara pemerintah dan

masyarakat dalam pembangunan dengan semangat “Binjai Kotaku, Kotamu, dan Kota

Kita Semua”.

Misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh Instansi

Pemerintah, sesuai dengan visi yang ditetapkan. Agar tujuan organisasi dapat terwujud dan

berhasil dengan baik, diharapkan seluruh aparatur dan pihak-pihak yang berkepentingan

dapat mengenal Instansi Pemerintah Kotanya dan mengetahui fungsi pokok serta program-

programnya serta hasil yang akan diperoleh di waktu yang akan datang. Pemerintah Kota

Binjai mempunyai misi sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan dalam rangka mencapai

agenda/tujuan pembangunan kota, yang dasarnya merupakan tonggak dari rencana strategis

yang disusun untuk 5 lima tahun ke depan, yang secara eksplisit menggambarkan kondisi

Kota Binjai yang harus dicapai termasuk landasan kerjayang dipedomani. Untuk

memenuhi visi tersebut, Pemerintah Kota Binjai menjabarkannya ke dalam misi

pembangunan sebagai berikut:

1. Membangun dan meningkatkan sarana dan prasarana dalam menunjang dan

meningkatkan perekonomian;

2. Membangun masyarakat sehat, cerdas, dan berbudaya;

3. Peningkatan pelayanan publik yang berkualitas;

4. Membangun tata kelola pemerintahan yang baik;

5. Membangun dan membina kerukunan hidup beragama;

6. Meningkatkan perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan.

5.3.3 Struktur Organisasi Kota Binjai

Organisasi dan Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang menyelenggarakan tugas-

tugas umum pemerintahan, kewenangan desentralisasi serta membantu kelancaran

41

pelaksanaan tugas-tugas Kepala Daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah,

Lembaga Teknis Daerah, Unit Pelaksana Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.

1. Sekretariat Daerah

Sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 15 Tahun 2011 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kota dan Sekretariat Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kota Binjai, Sekretariat Daerah merupakan unsur staf Pemerintah Daerah

yang dipimpin oleh seorang Sekretaris Daerah yang berada di bawah dan

bertanggungjawab kepada Walikota. Tugas pokok Sekretaris Daerah adalah membantu

Walikota dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan, administrasi, organisasi dan

tatalaksana serta memberikan pelayanan administratif kepada seluruh perangkat daerah.

Sementara itu, untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, fungsi dari Sekretaris Daerah ini

mencakup:

a. penyusunan kebijakan pemerintah daerah;

b. pengkoordinasian pelaksanaan tugas Dinas Daerah dan LembagaTeknis Daerah;

c. pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah;

d. pembinaan administrasi dan aparatur pemerintahan daerah;

e. pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan tugas dan

fungsinya.

Susunan organisasi Sekretariat Daerah Kota Binjai terdiri dari:

a. Asisten Pemerintahan terdiri dari:

- Bagian Tata Pemerintahan

- Bagian Hukum

- Bagian Organisasi

b. Asisten Perekonomian, Pembangunan, dan Kesejahteraan Rakyat terdiri dari:

- Bagian Perekonomian

- Bagian Administrasi Pembangunan

- Bagian Kesejahteraan Rakyat

c. Asisten Administrasi Umum terdiri dari:

- Bagian Umum

- Bagian Hubungan Masyarakat

2. Sekretariat DPRD

Sekretariat DPRD merupakan unsur pelayanan terhadap Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah, dipimpin oleh seorang Sekretaris yang secara teknis operasional berada di

bawah dan bertanggung jawab kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

42

(DPRD) dan secara administratif bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris

Daerah. Sekretaris DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi

kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan menyediakan serta mengkoordinasikan tenaga ahli

yang diperlukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan kemampuan

keuangan daerah. Susunan Organisasi Sekretariat DPRD terdiri dari:

a. Bagian Umum

b. Bagian Keuangan

c. Bagian Risalah dan Persidangan

d. Bagian Hukum dan Perundang-undangan

e. Kelompok Jabatan Fungsional

3. Staf Ahli

Staf Ahli mempunyai tugas memberikan telaahan dan masukan mengenai masalah

pemerintahan daerah sesuai dengan bidang tugasnya kepada Walikota. Staf Ahli dibagi

menjadi 4 (empat) jabatan terdiri dari:

a. Staf Ahli di bidang Pemerintahan, Hukum dan Politik

b. Staf Ahli di bidang Pembangunan

c. Staf Ahli di bidang Kemasyarakatan dan SDM

d. Staf Ahli di bidang Ekonomi dan Keuangan

4. Dinas Daerah

Dinas Daerah merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah yang dipimpin oleh

seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota

melalui Sekretaris Daerah. Dinas Daerah dibentuk berdasarkan Perda Kota Binjai Nomor

17 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas-Dinas Daerah Kota Binjai. Dinas

Daerah Kota Binjai terdiri dari:

a. Dinas Pendidikan;

b. Dinas Kesehatan;

c. Dinas Pekerjaan Umum;

d. Dinas Tata Ruang, Perumahan dan Permukiman;

e. Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga;

f. Dinas Koperasi, UKM dan Perindag;

g. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

h. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja;

i. Dinas Perhubungan;

43

j. Dinas Pertanian dan Perikanan;

k. Dinas Pendapatan Daerah;

l. Dinas Kebersihan dan Pertamanan.

5. Lembaga Teknis Daerah

Lembaga Teknis Daerah merupakan badan/kantor yang dipimpin oleh seorang

Kepala Badan/Kepala Kantor sebagai unsur penunjang yang membantu Walikota dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk bidang-bidang tertentu. Kepala Badan/Kepala

Kantor berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris

Daerah. Pembentukannya didasarkan pada Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 16 Tahun

2011 tentang Organisasi dan Tata Laksana Lembaga Teknis Daerah Kota Binjai. Lembaga

Teknis Daerah Kota Binjai terdiri dari:

a. Inspektorat;

b. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah;

c. Badan Kepegawaian Daerah;

d. Badan Lingkungan Hidup;

e. Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan;

f. Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dan Linmas;

g. Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah;

h. Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Kelurahan;

i. Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah;

j. Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu;

k. Rumah Sakit Umum Daerah DR. R.M. Djoelham Binjai;

l. Satuan Polisi Pamong Praja.

6. Kecamatan

Pemerintahan Kecamatan merupakan perangkat daerah yang dipimpin oleh Camat

yang mempunyai wilayah kerja tertentu. Camat berkedudukan sebagai koordinator

penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kerjanya dan bertanggungjawab kepada

Walikota melalui Sekretaris Daerah. Adapun struktur organisasi kecamatan sebagaimana

diatur dalam Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 20 Tahun 2007 tentang Organisasi

Kecamatan Pemerintah Kota Binjai terdiri atas:

a. Camat

b. Sekretaris Kecamatan

c. Seksi Pemerintahan

d. Seksi Pemberdayaan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial

44

e. Seksi Ketentraman dan Ketertiban Pelayanan Umum

f. Seksi Pembinaan Pemuda dan Olah Raga

g. Seksi Pendapatan

h. Kelompok Jabatan Fungsional

5.3.4 Deskripsi Lembaga Pelaksanaan e-Procurement Kota Binjai

5.3.4.1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kota Binjai

ULP di Kota Binjai disusunan berdasarkan Peraturan Walikota Binjai Nomor 21

Tahun 2013 tentang Unit Layanan Pengadaan (ULP) Pemerintah Kota Binjai. Susunan

organisasi, tugas dan fungsi ULP Kota Binjai hampir sama dengan ULP Kota Medan

seperti telah dijelaskan di atas.

5.3.4.2 Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kota Binjai

Keputusan Walikota Binjai Nomor 816-367/K/2014 tentang Tim Layanan

Pengadaan Secara Elektronik Kota Binjai. Susunan organisasi, tugas dan fungsinya sama

dengan LPSE Kota Medan sebagaimana dijelaskan di atas.

5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi e-Procurement di Provinsi

Sumatera Utara

5.4.1 Landasan Hukum

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah dinyatakan oleh partisipan penelitian sebagai latar belakang dan landasan

pembentukan lembaga yang berkaitan dengan e-procurement yaitu LPSE dan ULP di

ketiga lokasi penelitian di Provinsi Sumatera Utara. Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun

2010 mewajibkan Pemerintah Daerah untuk membentuk ULP paling lambat pada tahun

anggaran 2014. Perubahan radikal terhadap pihak yang bertanggungjawab terhadap

pelaksanaan barang dan jasa dinyatakan dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012

yang merubah bentuk organisasi pelaksana Pengadaan Barang/Jasa dari panitia yang

bersifat ad hoc menjadi unit kerja permanen dan mandiri yang diberi nama ULP. Peraturan

ini memperkuat wewenang ULP untuk melaksanakan seluruh proses pengadaan sampai

penunjukan pemenang. Sebelumnya penunjukan pemenang menjadi kewenangan Pejabat

Pembuat Komitmen (PPK) kecuali penetapan pemenang untuk kegiatan dengan nilai

Rp100.000.000.000,- keatas.

Selain dari kebijakan nasional, partisipan juga merujuk pada peraturan Gubsu

No.8 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

45

Secara Elektronik di lingkungan pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hal ini

menunjukkan telah terdapat pemahaman yang sama mengenai kewajiban bagi pemerintah

daerah bahwa seluruh pengeluaran pemerintah diatur dan tunduk pada prosedur pengadaan

barang/jasa yang diatur dalam regulasi-regulasi diatas.

Pemaparan mengenai struktur institusi-institusi yang terkait dengan e-

procurement di Kota Medan, Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai menunjukkan

kesamaan struktural yaitu institusi-institusi teknis yang secara spesifik berkaitan langsung

dengan e-procurement berada pada Bagian Administrasi Pembangunan. Untuk

mengimplementasikan Perpres No.54 Tahun 2010, melalui Peraturan Bupati Serdang

Bedagai No. 6 Tahun 2011, LPSE dan ULP dibentuk bersamaan di tahun 2011. LPSE

sebagai lembaga yang menangani proses pengadaan barang dan jasa secara elektonik dan

ULP yang merupakan unit pelaksana yang menangani pengadaan barang dan jasa secara

elektronik. Secara struktural LPSE dan ULP Kota Medan terpisah tapi melekat pada

Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Medan. Sebagai konsekwensi

struktur ini maka Ketua LPSE Kota Medan sekaligus juga merupakan Kepala Bagian di

Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah Kota Medan. Demikian pula

dengan Kota Binjai, pada awal dibentuk LPSE di tahun 2012 dalam bentuk tim/agensi oleh

karena masih menumpang pada server LPSE Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. LPSE

sendiri resmi berdiri di tahun 2013. Hingga sekarang LPSE dan ULP masih melekat pada

bagian Administrasi Pembangunan (Interview dengan Kawaruddin, Sekretaris LPSE Kota

Binjai, 12 Mei 2014).

Berdasarkan wawancara mendalam dengan partisipan penelitian diketahui

beberapa alasan utama mengenai dipilihnya struktur LPSE dan ULP yang melekat pada

Bagian Administrasi Pembangunan yaitu pengalaman, kompetensi dan relevansi tupoksi

Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah, akomodasi kebijakan/peraturan,

kemampuan pemerintah daerah, serta belum adanya ketentuan teknis tentang pembentukan

ULP (Interview dengan Nirwansyah, Kepala ULP Kota Binjai tanggal 7 Mei 2014; Cipta

Depari, Kepala ULP Kota Binjai tanggal 8 Mei 2014; Drs. Ahmad Basarudin, M.Si,

Kepala LPSE Kota Medan 17 Mei 2014; Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan 19 Mei

2014).

Penempatan kepala bagian di Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat

Daerah juga sekaligus sebagai Kepala LPSE Kota Medan dianggap sangat relevan karena

pengalaman dan kompetensi yang berkaitan erat dengan pengadaan barang dan jasa

pemerintah sebelum dilaksanakannya e-procurment adalah juga merupakan tupoksi dari

46

bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah (Interview dengan Ahmad

Basarudin Kepala LPSE Kota Medan; Maisarah Nasution, M.Si, Sekretaris LPSE Kota

Medan, 17 Mei 2014).

Secara kebijakan, struktur ULP dan LPSE yang masih melekat pada unit

Administrasi Pembangunan juga diperbolehkan sebagaimana termaktub dalam Peraturan

Presiden No.54 Tahun 2010 dalam Pasal 1 angka 8 yang menyebutkan bahwa Unit

Layanan Pengadaan yang selanjutnya disebut ULP adalah unit organisasi pemerintah yang

berfungsi melaksanakan Pengadaan Barang/Jasadi K/L/D/I yang bersifat permanen, dapat

berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada.

Kesulitan pemerintah daerah dalam memenuhi PP No. 41 Tahun 2007 yang

mengamanatkan perubahan struktural lembaga pemerintah daerah harus disikapi dengan

peraturan daerah juga merupakan hambatan untuk membentuk lembaga e-procurement

yang mempunyai struktur terpisah dari bagian Administrasi Pembangunan. Sebagaimana

yang dinyatakan oleh Kepala ULP Kota Binjai ULP:

“Berdasarkan amanat Perpres seharusnya harus dibentuk struktural namun

untuk membentuk sebuah lembaga yang struktural terdapat banyak hambatan

yang harus diselesaikan, diantaranya adalah PP 41/2007. Pihak ULP sudah

mengkomunikasikan hal ini, dan kalau memang ULP ini akan dibentuk struktural

berarti harus disikapi dengan Perda, sesuai dengan amanat yang terdapat dalam PP

41/2007. Makanya di bulan Februari lalu ULP telah berkoordinasi dengan Biro

Organisasi dan Tata Laksana di Kementerian Dalam Negeri, dan sudah

mempertanyakan ini. Namun pembahasan mengenai pembentukan ULP secara

struktural masih alot dalam pembahasannya. Hasil rapat koordinasi ULP se-

Indonesia pada bulan Desember kemarin di Jakarta itu ada beberapa daerah sudah

membentuk ULP secara struktural tersendiri di antaranya Kabupaten Bogor,

Kabupaten Tanah Datar.” (Interview dengan Cipta Depari, Kepala ULP Kota

Binjai, 15 Mei 2014).

Terbatasnya kemampuan pemerintah daerah untuk memenuhi kriteria

sebagaimana termaktub dalam Perpres No 70 juga disebutkan sebagai menghambat

Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai dalam membentuk struktur lembaga e-

procurement yang terpisah dari bagian Administrasi Pembangunan (Wawancara dengan

Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan anggota Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30

Mei 2014 ). Pasal 14 Perpres Nomor 70 Tahun 2012 disebutkan bahwa jumlah ULP di

masing-masing K/L/D/I disesuaikan dengan rentang kendali dan kebutuhan. ULP dapat

dibentuk setara dengan eselon II, eselon III, atau eselon IV sesuai dengan kebutuhan

K/L/D/I dalam mengelola pengadaan barang/jasa.

47

Walaupun Perpres No.54 Tahun 2010 dan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun

2012 telah memperkuat ULP dengan memberikan kewenangan melaksanakan seluruh

proses pengadaan sampai penunjukan pemenang namun dalam implementasinya partisipan

penelitian menyebutkan mengenai keterbatasan wewenang lembaga e-procurement ini.

Adapun yang menjadi fungsi ULP dan LPSE dalam rangka pengerjaan kebijakan e-

procurement disebutkan oleh partisipan penelitian sebagai „penampung proyek‟ yang

dikerjakan oleh SKPD.

“Fungsi dari LPSE dan ULP hanya menampung proyek yang dikerjakan

oleh SKPD. Dimana LPSE berfungsi sebagai media publikasi yang berperan

mengumumkan adanya lelang juga mengumumkan siapa yang menjadi pemenang

dalam pengadaan yang dibuat oleh SKPD. Sementara ULP menjadi alat untuk

mencari siapa yang menjadi pemenang dalam tender.” (Interview dengan Cipta

Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 17 Mei 2014).

Struktur LPSE dan ULP yang bersifat garis koordinasi membatasi kewenangan

mereka untuk memaksa unit kerja lain. LPSE dan ULP dipandang hanya sebagai wadah

untuk menentukan atau mencari siapa penyedia untuk sebuah paket lelang.

“Misalnya, ULP kan menerima permintaan dari masing-masing SKPD, ULP

tolong dong ini dipilih penyedianya, kriterianya seperti ini, HPS-nya seperti ini,

ini foto kopi DPA-nya.” Nah kita hanya menampung, sebenarnya enak-tidak

enaknya saya rasa sama aja toh ULP tidak bisa memaksa SKPD.” (Interview

dengan Kawaruddin, Sekretaris ULP, Kota Binjai 12 Mei 2014).

Dalam proses e-procurement, LPSE merupakan media komunikasi antara

penyedia dengan Pokja dimana penyedia mendaftar lewat LPSE untuk mendapat Account

sebagai penyedia. Demikian pula Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SiRUP)

tidak ditentukan oleh LPSE tetapi SKPD terkait dan LPSE hanya sebagai media yang

dipakai oleh pemerintah untuk berkomunikasi antara penyedia dan panitia pengadaan

lelang (Interview dengan Ahmad Basarudin, Ketua LPSE Kota Medan, 17 Mei 2014).

LPSE berperan sebagai „costumer service‟ dari SKPD yang ada di daerah dalam

rangka pengadaan barang dan jasa. Dalam hal ini LPSE bertugas hanya memberi informasi

yang diijinkan oleh SKPD lewat ULP kepada masyarakat umum khususnya kepada

penyedia barang dan jasa (Interview dengan Dian M. Manurung, S.Si, Staf Helpdesk Kota

Medan, 12 Mei 2014). Pihak yang menjadi pemangku peran dalam pengadaan barang dan

jasa terdiri dari penyedia barang, penyedia pekerjaan konstruksi, penyedia konsultan dan

jasa lainnya. Peran LPSE adalah sebagai „warung internet‟ yang menjadi perantara dan

menyediakan sistem untuk pertemuan antara Pokja dan penyedia. Kehadiran LPSE

berperan dalam mengelola SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) dimana sistem e-

48

procurement dirancang dan merupakan milik dari LKPP dan ULP hanya memakai aplikasi

yang tersedia dan dikelola oleh LPSE. Sistem e-procurement yang disediakan dan

dikembangkan oleh LKPP bersifat kode sumber terbuka (open source), bebas lisensi

(freelicense) dan bebas biaya (free of charge).

Disisi lain LPSE juga berperan dalam peningkatan kapasitas sumber daya manusia

dengan menyediakan pendidikan dan pelatihan serta bantuan teknis dalam mengoperasikan

sistem e-procurement bagi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) / panitita dan penyedia yang

terlibat dalam pengadaan dan rekanan dalam proses pengadaan lewat internet. Pelatihan

dilakukan secara regular dengan mengundang narasumber dari luar daerah yang dipandang

berkeahlian dalam pengadaan barang dan jasa elektronik (Interview dengan Sihol Marito

Simbolon, Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014).

Foto 5.1

Suasana Pelatihan Panitia Pengadaan oleh LPSE Kota Medan

Sumber: Dokumentasi LPSE Kota Medan

Walaupun LPSE dan ULP masih melekat pada Bagian Administrasi

Pembangunan, namun secara struktural LPSE dan ULP di Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai telah merupakan unit terpisah. Dalam wawancara penelitian

seluruh partisipan penelitian dari ketiga lokasi penelitian menyebutkan bahwa keterpisahan

LPSE dengan ULP merupakan salah satu faktor pendukung untuk transparansi dan

kejelasan pembagian beban kerja antara LPSE dan ULP dalam melaksanakan e-

procurement. Menurut Kepala LPSE Kota Medan LPSE hanya menangani sistem dalam

49

batasan menerbitkan pengumuman dan ULP secara teknis dan operasional yang mengelola

proses e-procurement selanjutnya (Interview dengan Drs. Ahmad Basarudin, M.Si, Kepala

LPSE Kota Medan 17 Mei 2014). Secara tegas Wakil Kepala ULP Kota Medan

menyatakan:

“LPSE dengan ULP harus terpisah agar lebih transparan, dengan demikian

tidak ada lagi pertemuan-pertemuan yang nantinya dicurigai dapat menimbulkan

permainan-permainan. LPSE hanya sebagai fasilitator antara Penyedia dengan

Pokja.” (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014).

Regulasi yang senantiasa berubah dan tidak sinkron antar berbagai lembaga

merupakan tantangan dan hambatan terbesar yang dihadapi oleh pemerintah daerah dalam

mengimplementasikan e-procurement. Peraturan yang datang dari induk ULP dan LPSE

yaitu LKPP ataupun dari asosiasi penyedia cepat berubah. Menurut partisipan penelitian

diketiga lokasi penelitian selain Perpres 54 Tahun 2010 dan Perpres 70 Tahun 2012 setiap

tahun sejak pembentukan LPSE dan ULP, Peraturan Gubernur yang diterbitkan juga selalu

membuat peraturan baru sehingga ULP harus selalu menyesuaikan apabila ada perubahan

dari LKPP sehingga peraturan ULP selalu disesuaikan dan mengadopsi perubahan-

perubahan yang ada di dalam LKPP juga Perpres terbaru (Interview dengan Sortawati

Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei 2014).

Ketidaksinkronan kebijakan berbagai lembaga pemerintahan pusat juga dijelaskan

secara mendetail oleh Wakil Kepala UPL Medan sebagai berikut:

“Kemarin ada tentang jaminan, yang dikeluarkan oleh OJK, dengan

penawaran yang diatur oleh OJK sehingga asuransi tidak boleh dipakai, karena

ada dua konsul yang ada sehingga kita harus minta ijin dari bank. kemudian kalau

dikonstrukusi itu ada yang namanya ketidaksinkronan peraturan yang dibuat oleh

Kemenkeu dengan yang dibuat OJK, jadi kadang-kadang disitu letak kendalanya.

Sekarang kita misalnya kalau Pokja itu mau bekerja, harus sesuai aturan kita

sudah ada SBDnya (Standard Bidding Document), tapi terkadang ada aturan baru

yang harus kita adopsi. LKPP dan Permenkeu itu selalu menyesuaikan keadaan,

sehingga peraturan cepat berubah.” (Interview dengan Fadli, 19 Mei 2014).

Strategi Pokja Kota Medan dalam menghadapi ketidaksinkronan peraturan yang

dibuat oleh OJK dengan Kementrian Keuangan mengenai jaminan dalam e-procurement

adalah dengan mengadopsi peraturan dari kedua lembaga tersebut dan menyesuaikan

dengan kesanggupan dari penyedia untuk memenuhi persyaratan yang ada. Disamping itu

sekretariat ULP mempunyai bagian yang selalu memonitor perubahan-perubahan yang

terkait proses lelang dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah

yang terlibat dalam penyelenggaraan e-procurement dan pihak asosiasi penyedia. Dengan

pemanfaatan IT, peraturan-peraturan mengenai e-procurement sudah dapat langsung

50

disosialisasikan secara online melalui website lembaga terkait sehingga sangat mendukung

LPSE dan ULP dalam diseminasi informasi dan update peraturan-peraturan dan kebijakan-

kebijakan yang dapat langsung diakses oleh publik. Namun, staff ULP dan LPSE di ketiga

lokasi penelitian mengakui lebih sering mengakses situs LKPP dibandingkan dengan situs

Kemenkeu dan asosiasi-asosiasi bisnis dengan alasan LKPP merupakan induk organisasi

LPSE dan ULP.

5.4.2 Infrastruktur

Ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu faktor pendukung dalam

mewujudkan transparansi dalam pelaksanaan e-procurement. Infrastruktur mencakup

perangkat keras seperti: server, SDM untuk menangani kegiatan administrasi yang

berkaitan dengan e-procurement mulai dari pendaftaran penyedia, pengumuman paket

pengadaan dan keperluan bidding lainnya, serta piranti lunak dalam bentuk sistem

electronic telah disediakan oleh LKPP dan jaringan komunikasi. Studi di beberapa negara

sedang berkembang menunjukan kapabilitas infrastrutur organisasi khususnya konektivitas

network sangat menentukan dan mempunyai pengaruh langsung terhadap kinerja sistem e-

procurement (Croom & Brandon dkk 2009).

Ketersediaan dan kualitas infrastruktur dalam menyelenggarakan e-procurement

menentukan bentuk LPSE. Berdasarkan Perpres No.54 Tahun 2010 terdapat 3 bentuk

LPSE yaitu:

1. LPSE provider: memiliki fasilitas perangkat keras yang tidak terbatas pada

perlengkapan/alat jaringan dan server yang telah menginstalasi SPSE (Sistem

Pengadaan Secara Elektronik). LPSE ini juga mempunyai fungsi administratif lain

seperti: sosialisasi terhadap PPK dan penyedia, pelatihan untuk PPK dan penyedia,

melayani PPK dalam mendapatkan kode akses, memverifikasi dokumen (SIUP, TDP,

ijin usaha, ID card pemilik usaha, dan lain-lain).

2. LPSE service provider: memiliki dan mengatur website sendiri

3. LSPE mandiri

Pada awal LPSE Kota Binjai dibentuk, server untuk sistem pengadaan secara e-

procurement masih menumpang atau memakai server LPSE Pemerintah Provinsi Sumatera

Utara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Perpres No.54/2010 bahwa apabila fasilitas LPSE

terkait belum memadai atau mengalami gangguan dapat memakai atau menumpang pada

LPSE terdekat.

51

Pada tahun 2013 LPSE Kota Binjai telah memiliki server tersendiri dan

berdasarkan observasi dapat dikatakan telah memiliki fasilitas yang memadai oleh karena

telah disesuaikan dengan apa yang telah ditentukan oleh LKPP. Server memiliki ruangan

khusus dan sudah memenuhi standar yang dikemukakan pada Perpres No.70 Tahun 2012.

Kecepatan internet yang tinggi untuk memudahkan proses verifikasi dan kepentingan

lelang lainnya. Server juga memiliki „back up‟ sehingga ketika terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan data masih tetap tersimpan. Selain itu server memiliki baterai dengan daya

tahan delapan jam, sehingga walaupun ada kendala dari listrik padam, server tetap bisa

diakses dan tidak ada gangguan.

Foto 5.2

Ruang LPSE Kota Binjai

Sumber: Hasil Penelitian, Mei 2014

Pada awal pembentukan LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, fasilitas server dan

web masih menumpang pada LPSE Provinsi Sumatera Utara. Pemerintah Kabupaten

Serdang Bedagai baru mempunyai server dan website tersendiri pada tahun 2013 yang

memungkinkan Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai untuk sepenuhnya melaksanakan

e-procurement untuk setiap pengadaan yang diatas 200 juta dan untuk jasa diatas 50 juta

(Interview dengan Sihol Marito Simbolon, Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang

Bedagai, 31 Mei 2014).

Sebagai lembaga pelaksana e-procurement yang pertama sekali terbentuk di

Provinsi Sumatera Utara LPSE Kota Medan telah menyediakan ruang bidding dengan

fasilitas koneksi jaringan secara lokal ke server sehingga data lebih cepat terunggah. Untuk

52

keamanan data, LPSE Kota Medan dan LKPP sudah bekerja sama dengan Lembaga Sandi

Negara.

Foto 5.3

Server di LPSE Kota Binjai

Sumber: Hasil Penelitian: Mei 2014

Walaupun terdapat perbedaan kualitas dan kapasitas perangkat keras khususnya

server yang tersedia di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai, namun

secara umum di ketiga lokasi penelitian seringnya listrik padam dan keterbatasan jaringan

internet merupakan tantangan dalam melaksanakan e-procurement secara efektif. Masalah

jaringan internet ini juga dapat dilihat pada website LPSE masing-masing pemerintah

daerah sebagaimana contoh dibawah ini:

12 November 2013 13:46

GANGGUAN KONEKSI INTERNET LPSE KOTA BINJAI

SEHUBUNGAN DENGAN TERGANGGUNYA KONEKSI INTERNET DARI

PROVIDER PADA HARI INI SENIN TANGGAL 11 NOPEMBER , SEJAK PUKUL

13.30-23.00 (WAKTU SERVER), LPSE KOTA BINJAI TIDAK DAPAT DIAKSES

MELALUI AKSES PUBLIK (INTERNET) DAN HANYA BISA MENGGUNAKAN

AKSES PRIVATE (LAN) DI RUANG BIDDING.

DEMIKIAN DISAMPAIKAN UNTUK DAPAT DIMAKLUMI, TERIMA KASIH.

ttd

LPSE KOTA BINJA

53

Gangguan Domain Situs LPSE Kota Medan (http://www.pemkomedan.go.id)

Diinformasikan bahwa domain situs LPSE Kota Medan (http://www.pemkomedan.go.id)

sedang mengalami gangguan sehingga hanya dapat diakses melaui http://114.57.36.194 .

Demikian diberitahukan untuk dapat dimaklumi.

Seringnya terjadi pemadaman listrik dan jaringan yang disebutkan oleh partisipan

penelitian sebagai penyebab utama terganggunya server yang menghambat

penyelenggaraan e-procurement. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah Kota Binjai

membeli generator yang mampu bertahan delapan jam, dan meyediakan bidding room

(ruang lelang), dimana calon penyedia bisa mengunggah sendiri dokumen mereka dengan

cepat (Interview Donny Siahaan, Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10 Juni 2014).

Bahkan pada saat LPSE Kabupaten Langkat pernah mengalami gangguan pada sistem,

LPSE tersebut menumpang di LPSE Kota Binjai (Interview dengan Nizwansyah, Kepala

LPSE Kota Binjai, 7 Mei 2014).

Penggunaan internet dalam pelaksanaan e-procurement walaupun memberikan

kesempatan untuk terbukanya informasi dan pertukaran informasi, namun tidak dengan

sendirinya membangun kepercayaan diantara stakeholders: pemerintah, swasta dan

masyarakat. Gangguan koneksi internet yang sering terjadi di ketiga lokasi penelitian

bukan hanya membatasi akses publik untuk berpartisipasi dalam e-procurement tetapi juga

menimbulkan kecurigaan terhadap penyelenggara e-procurement. Transparansi e-

procurement dipandang juga dapat menimbulkan dugaan-dugaan negatif dimana beberapa

pihak yang selalu beranggapan negatif pada setiap program yang ditayangkan secara online

(Interview dengan Kaharudin, Sekretaris Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai, 4 Juni

2014).

Kecurigaan publik juga terlihat pada pernyataan-pernyataan yang disampaikan

melalui website LPSE Kabupaten Serdang Bedagai sebagaimana contoh berikut ini:

Ada apa sebenarnya dengan Webbsite LPSE Serdang Bedagai ?? Login baru bisa

dilakukan pada tgl 18 Juni 2013 sore hari. Sementara pemasukan penawaran tgl 19 Juni

2013. Ada apa ???

trimakasih pak, dengan tanggapannya… tidak ada apa-apa dgn lpse pemkab serdang

bedagai pak… selasa, tgl 18 juni 2013, dari pagi emng ada gangguan jaringan pak… silah

kan bapak datang kembali ke kantor lpse.pemkab serdang bedagai. saat ini jaringan sudah

aktif kembali.

54

trimakasih pak.

maaf nama cv. bapak apa? biar kami chek apa sudah aktif apa belum.

Selain itu terdapat kecurigaan bahwa proyek yang ditawarkan secara terbuka

tersebut sudah diarahkan untuk memenangkan pihak-pihak tertentu. Kecurigaan ini

dibantah oleh penyelenggara e-procurement dengan menunjuk bahwa mereka bekerja

dalam sistem yang tidak dapat diintervensi. Hal ini ditegaskan oleh seorang anggota Pokja:

“Dalam e-procurement Pokja diangkat oleh Kepala Daerah itu artinya

pertanggungjawaban Pokja langsung kepada Kepala Daerah. Apa yang dikerjakan

oleh SKPD khusus pada bagian menentukan pemenang diketahui oleh kepala

daerah selain oleh pejabat SKPD. Mengingat sistem evaluasi lewat internet publik

dan penyedia masing-masing mempunyai akses yang sama untuk mengetahui

proses tender. Dengan demikian pertanggungjawaban Pokja ada kepada kepala

daerah, pejabat SKPD, Penyedia yang ikut tender dan juga publik. Ini artinya

proyek tidak bisa lagi diarahkan.” (Interview dengan Hendra Sihotang, ST, Pokja

Kota Binjai, 13 Mei 2014).

Hal ini juga mungkin terjadi karena penyedia tidak berusaha membandingkan

hasil evaluasi yang dicantumkan lewat LPSE karena dalam website telah sangat jelas

dicantumkan bagaimana evaluasi setiap tahapan tender (Interview dengan Donny Siahaan,

Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10 Juni 2014).

Berdasarkan pengamatan terhadap website LPSE dapat diketahui bahwa

kecurigaan bukan hanya ditujukan pada penyelenggara tetapi juga terhadap sistem yang

digunakan dalam e-procurement sebagaimana yang dapat dilihat pada website LPSE Kota

Medan:

LPSE programnya sangat bagus sekali, kami mengharapkan segera di Lounching di Pemko

Medan Bagaimana jika nantinya jaringan jeblok, bagaimana kami dapat melakukan

kegiatan pengadaan barang dan jasa ? Jika nantinya akan diaplikasikan, mmg kita tidak

menjaga warung tetapi bagaimana nantinya jika ada kesalahan dan kekeliruan sementara

kita tidak ketemu face to face pemenang lelangnya, karena dikemudian hari setelah

kegiatan berjalan ternyata yang bersangkutan sakit parah atau meninggal. Bagaimana

solusinya? Apakah sudah dipikirkan sejauh mana safe nya sistem ini, melihat sekarang ini

banyak sekali masalah pencurian pulsa elektronik, masalah penggelapan rekening bank dan

pencurian dana dari penjeblokan kartu kredit, nah… bagaimana nantinya dengan

kerahasiaan dan keamanan pengaliran dananya?”

55

Kurangnya pengetahuan dan penguasaan publik khususnya penyedia atas sistem

e-procurement serta sikap penyedia yang kurang dewasa disebutkan penyelenggara sebagai

penyebab utama timbulnya kecurigaan-kecurigaan publik. Menurut LPSE, dalam sistem e-

procurement keamanan data sudah terjamin oleh karena dalam penyelenggaraannya LPSE

dan LKPP sudah bekerjasama dengan Lembaga Sandi Negara. Selain pengamanan dari sisi

perangkat keras seperti firewall, dan proxy server, LKPP juga telah mengembangkan

penggunaan password yang bersifat rahasia sebagai salah satu mekanisme pengamanan

yang umum.

Dalam penyelenggaraan e-procurement yang ideal, penggunaan teknologi serta

sistem dan prosedur yang sudah baku, pengaturan jadwal dan waktu yang ketat seharusnya

tidak dapat lagi mentolerir keterlambatan dan perubahan-perubahan yang dilakukan secara

mendadak. Namun observasi peneliti terhadap komunikasi on-line antara penyedia dengan

penyelenggara e-procurement menunjukkan singkatnya waktu penawaran sebagai keluhan

yang ditanggapi dengan perpanjangan waktu penawaran. Juga terganggunya sistem internet

yang disebabkan penyelenggara e-procurement harus melakukan toleransi dan perubahan

terhadap jadwal e-procurement yang telah ditetapkan.

Gangguan Koneksi Internet LPSE Kota Medan

Saat ini sedang terjadi gangguan koneksi (koneksi tidak stabil) dari pihak internet provider

sehingga situs LPSE Kota Medan tidak dapat diakses melalui internet. Diinformasikan

kepada seluruh panitia yang sedang dalam masa lelang untuk memperhatikan dan

mengubah jadwal apabila diperlukan. Demikian diberitahukan untuk dapat dimaklumi.

14 April 2014 17:02

Kurangnya pemahaman dan kedewasaan penyedia dalam menggunakan fasilitas

dan menyikapi peraturan yang berkaitan dengan e-procurement dipandang masih kurang.

Salah seorang partisipan penelitian menyebutkan sebagai berikut:

“Sebagai contoh di peraturan disebutkan bahwa setiap pengaduan yang

datang harus ditanggapi, cuma sekarang ini, misalnya jika ada surat kaleng tanpa

nama saja kita sudah kewalahan menghadapi. Jadi memang kedewasaan penyedia

masih kurang. Kita juga menemukan file yang bervirus, kemudian dokumen

itukan sangat banyak, berhalaman-halaman, jadi ada penyedia yang mengirimkan

secara terpisah dan namanya acak sehingga sangat merepotkan saat kita

mengevaluasi lembar demi lembar. Jadi belum ada peraturan untuk hal-hal seperti

ini. Tapi memang semua inikan berproses, kalau sistemnya semua sudah

sempurna tentu tidak ada lagi nanti pekerjaan dari pihak LKPP”. (Interview

dengan Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7 Mei 2014).

56

Pertanyaan yang diajukan publik juga dipandang sering tidak relevan dan

cenderung menuduh serta ada kata-kata yang mengganggu dan berupa ancaman. Untuk

mengatasi permasalahan ini LPSE Kota Binjai telah mengusulkan kepada LKPP sistem

pengawasan yang telah diterapkan dalam Menkominfo dimana pihak-pihak yang tidak etis

dan mengancam agar langsung di block dan dikenakan sanksi yaitu dikeluarkan dari proses

aanwizjing yang berarti secara otomatis orang tersebut akan gugur dalam tahapan

selanjutnya (Interview dengan Donny Siahaan, Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10

Juni 2014).

Ketersediaan ruangan yang memadai juga mempengaruhi transparansi dalam

penyelenggaraan e-procurement. Kondisi kantor LSPE Kota Medan sudah dilengkapi oleh

prasarana yang baik seperti komputer, meja-kursi, printer/scanner yang merupakan faktor

yang mendukung peningkatan kinerja para pegawai. LPSE menyediakan ruang bidding

dengan fasilitas koneksi jaringan secara lokal ke server sehingga data lebih cepat

terunggah. Pokja punya ruangan khusus untuk melakukan proses pelelangan, yang

ditujukan untuk meminimalisir gangguan-gangguan dari luar yang memungkinkan dapat

mempengaruhi hasil dari proses pelelangan tersebut. Seluruh ruangan dilengkapi oleh

CCTV, baik di ruangan tamu, sekretariat, ruang wakil kepala ULP dan juga ruang Pokja.

Hal ini juga sangat membantu dalam mempermudah monitoring dan evaluasi dalam

penyelenggaraan e-procurement.

Foto 5.4

Ruangan Pokja Serdang Bedagai

Sumber: Hasil Penelitian, Mei 2014

57

Ruangan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai sudah terpisah dari ruangan ULP dan

LPSE dan didalam setiap komputer yang digunakan dalam verifikasi sudah pakai sekat-

sekat. Kondisi ini memungkinkan masing-masing pihak dapat bekerja dengan fokus

kepada pekerjaan masing-masing. Ruangan Pokja juga dilengkapi dengan fax. Kegiatan

pada masa evaluasi dilakukan di suau tempat khusus dimana tidak ada yang tahu kecuali

Pokja. Dana penyediaan tempat khusus yang sudah dianggarkan dalam APBD

menunjukkan komitmen Kepala Daerah untuk mewujudkan transparansi dalam e-

procurement.

Sejak tahun 2013 LPSE Kota Binjai memiliki “biding room” yang dapat

digunakan oleh calon penyedia/umum apabila mereka kesulitan mengakses LPSE di

rumah. Bidding room ini, biasanya digunakan untuk mengunduh dokumen untuk

kepentingan mendaftar ikut lelang. Saat penyedia memakai biding room, setiap orang tidak

berkepentingan yang ada diruangan tersebut terlebih dahulu keluar, dikarenakan ruangan

tersebut belum memakai sekat-sekat antara komputer satu dengan komputer lain.

Infrastruktur dan fasilitas LPSE Pemko Binjai yang sekarang sudah memadai

bukan hanya mendukung kelancaran proses e-procurement Kota Binjai tetapi juga telah

dapat dimanfaatkan oleh penyedia barang/jasa dari daerah lain.

“Jadi jika ada penyedia yang kesulitan, Pokja akan mempersilahkan

penyedia tersebut untuk datang. Jadi setiap penyedia yang kesulitan, yang datang

ke sini kita akan bantu dengan fasilitas yang ada. Ada juga penyedia yang ingin

ikut tender di Tarutung, itu juga kita layani, kita persilahkan untuk menggunakan

bidding room. Termasuk daerah yang servernya down atau perlu bantuan koneksi

nah ketika kita adalah LPSE terdekat mereka, kita ladeni.” (Interview dengan

Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7 Mei 2014).

5.4.3 Sumber Daya Manusia

Sistem e-procurement yang dibangun tidak secara otomatis mengubah budaya

kerja para pengelola e-procurement. Agar transparansi berhasil diwujudkan melalui e-

procurement maka mental manusia yang menyelenggarakan sistem e-procurement ini

harus dibangun agar kapabel dan mempunyai komitmen serta integritas dalam

mengimplementasikan e-procurement sebagaimana yang diamanahkan dalam kebijakan

dan peraturan-peraturan (Interview dengan Drs. Ahmad Basarudin, M.Si, Kepala LPSE

Kota Medan, 17 Mei 2014).

Berdasarkan pengamatan peneliti pada ULP Kota Medan dapat dikatakan staf

ULP telah bekerja dengan cukup profesional. Proses pelayanan terhadap SKPD yang

menghantarkan dokumen paket lelang ke ULP dilakukan sesuai tahap yang seharusnya

58

(dari meja satu ke meja lain) dan dilakukan dengan cepat dan ramah. Profesionalitas

pegawai dalam melaksanakan transparansi juga dapat dilihat dari cara mereka merespons

pertanyaan-pertanyaan publik mengenai e-procurement secara jelas dan mendetail

sebagaimana dapat dilihat dalam kolom tanya jawab dalam web LPSE Kota Medan.

Pengabaian terhadap pertanyaan-pertanyaan publik melalui situs yang dianggap

tidak wajar, dan dapat memancing emosi merupakan strategi yang digunakan oleh LPSE

Kabupaten Serdang Bedagai untuk menghindarkan konflik dengan publik (Interview

dengan Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7 Mei 2014; Interview Dian M. Manurung,

S.Si, Staf Helpdesk Kota Medan, 17 Mei 2014; Interview Sihol Marito Simbolon, Bagian

Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014).

Pegawai sekretariat baik di ULP maupun LPSE Kota Binjai juga bersikap ramah

dan pelayanan yang diberikan kepada tamu cukup baik dan praktis dalam surat menyurat.

Dipihak lain, sebagian pegawai sekretariat belum sepenuhnya paham akan LPSE/ULP, hal

tersebut terlihat ketika pegawai tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dari tim

peneliti, mengenai ruangan LPSE, serta struktur LPSE/ULP.

Namun pada tingkat pengelolaan data, pengelola juga sering mengalami kesulitan

dalam mengurutkan data, karena data yang diserahkan oleh penyedia terkadang masih

belum tersusun rapih dan masih harus diurutkan oleh penyelenggara. Kesulitan ini timbul

oleh karena sampai sekarang belum ada aturan yang mengatur bagaimana prosedur dalam

penyampaian data dari penyedia.

Keterbatasan SDM dalam bidang informasi dan teknologi (IT) juga merupakan

permasalahan yang sering dihadapi dalam menyelenggarakan e-procurement (Hendra

Sihotang, ST, Pokja Kota Binjai, 13 Mei 2014). Keterbatasan kapabilitas dalam IT ini

mengakibatkan e-procurement tidak dapat sepenuhnya dijalankan dan juga sering

menimbulkan permasalahan mengenai ID penyedia yang sangat penting agar penyedia

dapat berpartisipasi dalam e-procurement yang telah dicantumkan di situs penyelenggara.

ULP sebagai pelaksana teknis e-procurement masih kekurangan tenaga teknis untuk paket

konstruksi, seperti paket konstruksi bangunan sehingga tenaga non teknis juga digunakan

(Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014).

Untuk mengatasi tantangan ini, LPSE banyak melakukan pelatihan sebagai upaya

transfer of knowledge dari LPSE ke Pokja. Sebelum ULP melaksanakan tugas pada awal

dibentuk, pihak LPSE membantu dengan mengadakan pelatihan cara-cara pelelangan

secara online sesuai dengan jenis paket dan proses aanwizjing/penjelasan. Metode

pelatihan yang dilakukan adalah dengan metode simulasi pelelangan secara nyata yaitu

59

bagaimana mengelola paket dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah secara

elektronik (Interview dengan Kawaruddin, Sekretaris ULP Kota Binjai, 12 Mei 2014;

Hendra Sihotang, ST, Pokja Kota Binjai, 13 Mei 2014).

Kinerja Pokja dalam melaksanakan e-procurement juga ditentukan oleh jumlah

SDM yang ada dibandingkan dengan jumlah total e-procurement yang harus

diselenggarakan. Berdasarkan peraturan, anggota tetap Pokja harus berjumlah ganjil.

Adapun jumlah Pokja ditentukan dengan biaya paket apabila paketnya dibawah Rp 500

juta maka Pokja berjumlah tiga orang, dan diatas Rp 500 juta Pokja berjumlah lima orang.

Alasan jumlah ganjil adalah untuk menghindari apabila dalam menentukan pemenang ada

voting sehingga keputusan mudah ditetapkan karena menutup kemungkinan suara

berimbang (Interview dengan Halim, anggota Pokja Kota Medan, 20 Mei 2014). Jika

kekurangan SDM untuk Pokja maka ULP mengirim surat ke dinas dan melakukan

verifikasi terhadap calon anggota Pokja tersebut. Jika calon tersebut dipandang sudah layak

maka akan di SK kan oleh Bupati. Setelah itu di beri SPT (Surat Perintah Tugas) kepada

Pokja yang ditugaskan melayani pelelangan paket tersebut. Dengan adanya SPT maka

Pokja yang diambil dari dinas-dinas lain bisa meluangkan waktunya setengah hari bekerja

di ULP dan setangah hari bekerja di dinas dimana ia bekerja sebagai PNS. Pokja harus

menandatangani fakta integritas dan komitmen apabila melakukan kesalahan maka siap

untuk di evaluasi (Interview Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten

Serdang Bedagai, 30 Mei 2014).

Pokja merupakan tulang punggung operasional pelaksanaan e-procurement. ULP

melalui Pokja mempunyai tugas menyusun rencana pemilihan penyedia barang/jasa,

menetapkan dokumen pengadaan, menetapkan besaran nominal jaminan penawaran,

mengumumkan pelaksanaan pengadaan barang/jasa, menilai kualifikasi penyedia

barang/jasa, melakukan evaluasi administrasi, teknis, dan harga, menjawab sanggahan,

menetapkan penyedia barang/jasa untuk pelelangan atau penunjukan langsung untuk

pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya yang bernilai paling tinggi Rp

100.000.000.000,-, menetapkan penyedia barang/jasa untuk seleksi atau penunjukan

langsung untuk pengadaan jasa konsultasi yang bernilai paling tinggi Rp 10.000.000.000,-

menyampaikan hasil pemilihan dan salinan dokumen pemilihan penyedia barang/jasa

kepada PPK, menyimpan dokumen asli pemilihan penyedia barang/jasa, membuat laporan

proses pengadaan kepada Kepala ULP, dan memberikan pertanggungjawaban atas

pelaksanaan kegiatan pengadaan barang/jasa kepada PA/KPA.

60

Sesuai dengan apa yang tertuang didalam Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010,

Pokja bekerja mulai dari sejak dikeluarkannya SK penunjukan bagi Pokja, selanjutnya

Pokja membuat dokumen-dokumen sehubungan dengan pengadaan barang dan jasa yang

disesuaikan dengan Standard Bidding Document (SBD) yang telah ditetapkan dilanjutkan

dengan menentukan jadwal proses selama proses lelang, kemudian menaikkan

pengumuman lewat situs yang dikelola oleh LPSE. Setelah pengumuman dilakukan, pihak

penyedia mendaftarkan perusahaan sebagai penyedia lewat LPSE, selanjutnya penyedia

bisa mengunduh dokumen-dokumen yang telah dibuat oleh Pokja sebagai panduan bagi

penyedia untuk memasukkan penawaran yang dilakukan lewat internet. Penyedia

melakukan penawaran lewat internet dilanjutkan dengan Pokja mengumpulkan semua

penawaran yang telah dibuat di internet. Dokumen penawaran ini akan menjadi bahan

pertimbangan Pokja dalam melakukan evaluasi yang telah ditetapkan didalam Perpres

yaitu Evaluasi Administrasi, Teknis dan Kualifikasi sampai pada akhirnya ditentukan

pemenang (Interview dengan Cipta Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 15 Mei 2014; Dian

M. Manurung, S.Si, Staf Helpdesk Kota Medan, 17 Mei 2014).

Terdapat perbedaan pendapat mengenai kesesuaian jumlah anggota Pokja diantara

ketiga lokasi penelitian. Pokja ULP Medan terdiri dari 12 orang staf tetap dan yang tidak

tetap ada sekitar 40 orang diambil dari SKPD. Anggota Pokja yang tidak tetap dipakai

tergantung kepada paket lelang yang ada. Apabila tidak ada paket yang dilelangkan maka

anggota yang berasal dari SKPD terkait tetap bekerja di SKPD asal mereka masing-

masing. Jika Pokja yang tetap tidak memadai maka anggota Pokja yang tidak tetap

dipanggil bertugas dalam Pokja. Dalam menjalankan tugas mereka dalam Pokja, anggota

tidak tetap ini setengah hari kerja di SKPD masing-masing dan setengah hari di ULP

(Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014). Dibandingkan

dengan jumlah paket yang harus dilelangkan, ULP Kota Medan beranggapan bahwa

jumlah pegawai Pokja tidak memadai. Keterbatasan jumlah anggota Pokja ini, khususnya

dalam tahap evaluasi administrasi disebabkan oleh begitu banyak dokumen-dokumen yang

masuk. Pokja sesuai dengan tupoksinya bertanggung jawab untuk membaca satu persatu

dokumen dengan teliti sehingga anggota Pokja sering mengeluh kelelahan khususnya pada

mata mereka oleh karena dalam menjalankan tugas mereka harus berhadapan langsung

dengan monitor komputer selama berjam-jam (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP

Kota Medan, 19 Mei 2014).

Bagi Pemerintah Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai jumlah SDM yang

ada sudah cukup untuk mengerjakan semua tender. Hal ini disebabkan jumlah tender di

61

kedua lokasi penelitian ini tidak sebanyak jumlah tender yang ada di Kota Medan

(Interview Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei

2014; Hendra Sihotang, ST, Pokja Kota Binjai, 13 Mei 2014).

Selain keterbatasan jumlah staf, di Pokja juga terdapat isu jender dimana

keanggotaan Pokja masih didominasi oleh laki-laki. Anggota Pokja Kabupaten Serdang

Bedagai pada tahun 2013 terdiri dari 2 orang perempuan dan 18 orang laki-laki, sementara

pada tahun 2014 hanya terdapat 1 orang perempuan dan selebihnya laki-laki. Walaupun

menurut partisipan penelitian, komposisi ini bukan disebabkan oleh diskriminasi jender

namun alasan ketahanan fisik perempuan yang dipandang lebih lemah dari laki-laki dan

juga alasan pekerjaan sebagai Pokja terkadang harus diselesaikan hingga larut malam

sehingga dipandang menimbulkan rasa kurang aman bagi seorang perempuan.

Secara regulatif, sebagaimana tercantum dalam Perpres No.54 Tahun 2010 pasal

17 f standardisasi keahlian penyelenggara e-procurement cukup tinggi dimana semua

pejabat pengadaan, anggota Pokja baik tetap maupun tidak tetap, dan PPK (kecuali eselon

II) diwajibkan lulus sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. LKPP menargetkan

tingkat kelulusan ujian sertifikasi pengadaan barang/jasa pemerintah meningkat hingga

70% seiring diberlakukannya Peraturan Kepala LKPP Nomor 9 Tahun 2014 tentang

Petunjuk Teknis Operasional Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Untuk itu LKPP menyelenggarakan ujian sertifikasi setiap tahun dan bisa diikuti oleh

semua pegawai negeri.

Peraturan Gubsu No. 8 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan

Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera

Utara mewajibkan pegawai ULP harus memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa.

Kebijakan ini juga diadopsi oleh pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten

Serdang Bedagai.

LPSE Kota Medan belum memfasilitasi kegiatan diatas namun kantor Diklat

Pemerintah Kota Medan yang menjadi penyelenggara diklat dalam pengadaan barang dan

jasa elektronik. Disamping mengadakan training untuk sertifikasi, LPSE dan ULP diketiga

lokasi penelitian juga mensosialisasikan kewajiban sertifikasi ini keseluruh dinas-dinas,

agar tidak ada PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) yang tidak memiliki sertifikat.

Pendidikan dan pelatihan ini diawasi langsung oleh Bapenas dan pertanggungjawabannya

diserahkan ke LKPP. Namun persentase kelulusan dari sertifikasi sangat minim dimana

terkadang yang lulus hanya 19 orang dari 150 peserta (Interview dengan Sortawati

62

Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei 2014; Sihol

Marito Simbolon, anggota LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014).

Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana yang dinyatakan dalam

Perpres No.54 Tahun 2010 Pasal 4 terdapat empat jenis kegiatan barang/jasa pemerintah

yaitu pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Dalam

peraturan ini juga disebutkan bahwa anggota Pokja dan PPK harus paham mengenai jenis

pekerjaan tertentu dan memiliki integritas. Walaupun seluruh anggota Pokja diketiga lokasi

penelitian telah memiliki sertifikasi sesuai dengan standar yang ditetapkan, namun

sertifikasi ini terbatas hanya sebagai ahli dalam pengadaan barang dan jasa. Kapasitas dari

peserta yang mendapat sertifikat hanya pada batasan peraturan dan bersifat umum

(Interview dengan Nizwansyah, Kepala LPSE, Kota Binjai, 7 Mei 2014; Cipta Depari,

Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP Kabupaten

Serdang Bedagai, 30 Mei 2014). Kelemahan dari ujian sertifikasi sebagaimana yang

diwajibkan peraturan adalah tidak dibedakannya sertifikasi berdasarkan jenis lelang

sementara jenis paket yang diadakan melalui e-procurement terdiri dari berbagai jenis

paket yang membutuhkan keahlian yang berbeda untuk setiap jenis paket yang berbeda

seperti pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultasi dan jasa lainnya. Kajian

akademis terhadap Pokja di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan oleh LKPP

(2013) juga menemukan hal yang sama yaitu sertifikasi dalam pelaksanaan pemilihan

barang/jasa yang dilakukan oleh Pokja hanya mencakup satu jenis keahlian yaitu ahli

pengadaan barang/jasa pemerintah. Dengan demikian belum terdapat spesialisiasi tugas

berdasarkan produk, pelanggan maupun wilayah yang sangat menentukan profesionalitas

SDM khususnya dalam melakukan evaluasi proses dan kualitas e-procurement.

Disamping manfaat pelaksanaan e-procurement bagi terwujudnya transparansi

dan berbagai hambatan regulasi, institusi dan teknis sebagaimana paparan diatas,

penyelenggaraan e-procurement mengalamai resistensi internal yang berasal dari

penyelenggara e-procurement. Studi terhadap implementasi e-procurement di negara-

negara OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) masih

mengalami berbagai hambatan yang mencakup kurangnya fleksibilitas dalam kerangka

kerja pemerintah secara luas, aspek legislatif dalam penyusunan peraturan, keuangan dan

kesenjangan digital dalam penggunaan e-government hingga resistensi terhadap

penggunaan teknologi baru (Lynn, Dahlia Bradshaw, 2000).

Resistensi terhadap penyelengaraan e-procurement di ketiga lokasi penelitian

tercermin dalam adanya keengganan untuk mendapatkan sertifikasi sebagaimana yang

63

diwajibkan oleh Perpres No.54 Tahun 2010. Pada saat sertifikasi banyak pegawai

pemerintah daerah yang tidak ingin diluluskan untuk menjadi Pejabat Pembuat Komitmen

(PPK). Karena tanggung jawab yang besar yang akhirnya membawa kesulitan tersendiri

bagi PPK. Seperti misalnya pelaksanaan dimana barang/jasa tidak sesuai dengan saat yang

ditawarkan, dalam hal ini yang harus bertanggung jawab adalah PPK dan bukan ULP.

(Interview Donny Siahaan, Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10 Juni 2014;

Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei

2014; Kawaruddin, Sekretaris ULP Kota Binjai, 12 Mei 2014). Seorang anggota Pokja

mengatakan:

“Banyak yang tidak mau menang karena takut ditunjuk jadi PPK.

Mengingat seandainya ada kesalahan, sanksi yang sangat berat akan dikenakan

karena berurusan dengan kasus korupsi. Karena dalam proses pengadaan yang

berurusan langsung dengan penyedia adalah PPK. Dalam kenyataannnya sering

terjadi ketidaksesuaian antara spesifikasi pengadaaan yang direncanakan dengan

yang ditawarkan oleh penyedia. Adapun hal ini bisa terjadi karena perubahan

harga pasar yang tiba-tiba. Sementara kontrak sudah ditandangani target

penyelesaian mendesak. Sedikit saja kesalahan dalam pengadaan PPK bisa masuk

penjara.” (Interview dengan Donny Siahaan, Pokja ULP Kabupaten Serdang

Bedagai, 10 Juni 2014).

Resistensi dalam bentuk keengganan dan ketakutan untuk mendapat sertifikasi merupakan

tantangan tersendiri dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia anggota Pokja.

5.5 Implementasi Model e-Procurement di Provinsi Sumatera Utara

Sesuai dengan Perpres No.50 Tahun 2010 siklus manajemen pengadaan

barang/jasa melalui penyedia barang/jasa sudah terstandarisasi dan terdiri dari penyusunan

rencana umum pengadaan barang/jasa, pengumuman rencana umum, penyusunan rencana

pelaksanaan pengadaan, pengumuman seleksi/lelang penyedia barang/jasa, pendaftaran

peserta seleksi/lelang, evaluasi kualifikasi peserta lelang/seleksi (prakualifikasi),

penjelasan pelaksanaan seleksi/lelang penyedia barang/jasa, pemasukan penawaran,

evaluasi penawaran (administrasi, teknis dan harga), evaluasi kualifikasi peserta (pasca

kualifikasi), penetapan pemenang, penunjukan penyedia barang/jasa, penandatanganan

kontrak, pelaksanaan kontrak dan penyelesaian kontrak.

Secara umum, proses implementasi e-procurement di ketiga lokasi penelitian di

Provinsi Sumatera Utara ini secara ketat telah mengikuti standarisasi siklus manajemen

yang didasarkan pada Perpres No. 50 Tahun 2010. Proses pengadaan dimulai sejak

ditetapkannya anggaran dan rencana kerja tahunan, pada saat itu SKPD menentukan HPS

64

(Harga Perkiraan Sendiri) dan spesifikasi pengadaaan oleh PPK (Pejabat Pembuat

Komitmen). Adapun PPK ini adalah orang yang lulus ujian dan mempunyai sertifikat yang

berasal dari LKPP sama seperti Pokja dan tidak merupakan Pokja pada paket yang sama.

Dalam hal ini PPK tidak bisa jadi Pokja sekalian dalam dinas/SKPD tersebut tapi bisa jadi

jika itu berada di dinas lain. Sesuai dengan kebijakan mengenai e-procurement setiap

pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap SKPD dengan

anggaran diatas 200 juta wajib lewat ULP sementara dibawah 200 juta dan kegiatan yang

bersifat urgent dapat dilakukan dengan penunjukan langsung dari SKPD terkait.

Setelah menentukan HPS, PPK membuat surat permohonan ke ULP. Selanjutnya

PPK memohon ke ULP yang kemudian melakukan seleksi anggota Pokja dan

mengeluarkan SPT (Surat Perintah Tugas). Setelah SK pengangkatan dari Kepala Daerah

diterbitkan, ULP menyusun dokumen dan jadwal lelang yang selanjutnya ditayangkan oleh

LPSE. Dengan demikian LPSE hanya menayangkan apa yang telah di proses oleh ULP.

LPSE juga memperbaiki masalah yang terjadi pada sistem dan internet seperti masalah

dalam akses, memberikan informasi kepada stakeholder. Berita acara yang diunggah di

situs merupakan pedoman bagi penyedia dalam melakukan penawaran secara online.

Prosedur agar penyedia bisa ikut dalam proses tender adalah dengan mendaftarkan

perusahaan atau usaha dengan cara datang ke LPSE terdekat dengan membawa berkas

yang telah ditentukan. Pihak LPSE akan menseleksi berdasarkan syarat yang telah

ditentukan. Kemudian apabila lulus berkas maka penyedia akan mendapat user ID.

Helpdesk berperan dalam rangka menyaring pendaftar peserta tender lewat pemeriksaan

kelayakan data dan dalam rangka memberikan informasi seputar pendaftaran peserta

penyedia yang ingin ikut tender. Melalui Helpdesk, LPSE melayani calon penyedia dengan

memberikan penjelasan prosedur pendaftaran melalui situs. Tanya jawab seputar e-

procurement melalui internet ini dapat diakses oleh publik sehingga mendukung

transparansi dalam penyelenggaraan e-procurement (Interview dengan Dian M. Manurung

M.Si, Staf Helpdesk Kota Medan, 17 Mei 2014).

Setelah penyedia mendapat user ID, penyedia berhak mengikuti lelang yang

diadakan LPSE diseluruh Indonesia dengan catatan ID harus aktif secara terintegrasi.

Dengan adanya ID ini penyedia berhak mengikuti setiap lelang yang diumumkan oleh

LPSE di seluruh Indonesia. Account ini sendiri berfungsi selama pengguna masih

menginginkannya. Namun berdasarkan tanya jawab dalam situs LPSE Pemerintah Kota

Medan diketahui bahwa ternyata penyedia yang ada di Kota Medan belum bisa mengkases

lelang yang diselenggarakan di luar Provinsi Sumatera Utara. Selanjutnya penyedia

65

melakukan penawaran dengan mengunggah ke media LPSE selama masa penawaran yang

telah ditentukan oleh Pokja. Penyedia juga memberikan jaminan penawaran berupa katalog

dan bukti fisik yang lain.

Setelah habis masa penawaran, Pokja mengunduh semua penawaran yang telah

diunggah oleh penyedia untuk dievaluasi oleh Pokja. Adapun hal-hal yang dievaluasi oleh

Pokja adalah dimulai dari koreksi aritmetik yaitu menyangkut perhitungan-perhitungan

angka penawaran. Selanjutnya evaluasi administrasi ini menyangkut surat dan jaminan

penawaran yang diberikan oleh penyedia. Surat penawaran tersebut akan diperiksa masa

berlaku penawaran dan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan. Evaluasi berikutnya adalah

masalah teknis yaitu spesifikasi yang ditawarkan dan kemampuan dalam mengerjakan

penawaran. Kemudian dilakukan evaluasi kualifikasi yaitu mengevalusai keberadaan

NPWP, SPT, SSP, Ijin Usaha dan pengalaman. Khusus dalam poin pengalaman

perusahaan yang berdiri dibawah tiga tahun tidak diminta pengalaman. Berdasarkan

Perpres mengenai e-procurement, pengalaman perusahaan hanya berlaku bagi perusahaan

yang telah beroperasi diatas empat tahun. Evalusi terakhir menyangkut kewajaran harga

yaitu berkaitan harga terkoreksi. Dalam evaluasi harga terkoreksi ini, penyedia yang

mengajukan penawaran jika melebihi HPS akan otomatis gugur oleh karena yang dicari

adalah penawaran harga terendah. Jika dianggap perlu, maka anggota Pokja akan

melakukan monitoring dan evaluasi kelapangan terhadap barang/jasa dan harga yang

ditawarkan.

Setelah klarifikasi selesai, dilakukan penetapan pemenang tender. SKPD

mengajukan draft kontrak kepada ULP sebagai bahan pertimbangan bagi Pokja dalam

menentukan siapa pemenang tender. Draft kontrak ini sendiri harus mendapat verifikasi

dari ULP. Selanjutnya dilakukan penentuan masa sanggah. Dalam masa sanggah banding

dilakukan sepenuhnya melalui internet. Dengan demikian tidak ada pertemuan langsung

antara penyelenggara dan penyedia. Jaminan sanggah banding adalah sebesar 1% dari

HPS. Setelah lewat masa sanggah ULP menyerahkan pemengan kepada PPK dan nantinya

PPK akan menerbitkan SPPBJ yang dilanjutkan dengan penandatanganan kontrak.

Tandatangan kontrak antara SKPD dengan penyedia tidak ada kaitannya lagi dengan ULP.

Dengan demikian proses e-procurement ini menjamin transparansi, menghilangkan

intervensi dan meningkatkan akuntabilitas.

Implementasi e-procurement sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor geografis,

struktural, infrastruktur dan tatakelola kepemerintahan. Kondisi geografis Indonesia yang

terdiri dari ribuan pulau, kondisi infrastruktur TI yang tidak merata, dan masih adanya

66

masalah kesenjangan digital, serta kondisi politik di Indonesia, membuat LKPP memilih

strategi implementasi e-procurement secara tersebar-dan-otonom (LKPP 2009). Pilihan

strategi tersebar-dan-otonom juga mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas SDM,

registrasi dan manajemen vendor serta biaya investasi bertahap. Strategi ini ditujukan

untuk mendorong pemerintah daerah untuk secara terus menerus meningkatkan

kompetensi dan kapasitas SDM dalam mengelola sistem pengadaan barang dan jasa secara

elektronik. Strategi tersebar ini juga memungkinkan penyedia barang/jasa untuk dapat

melakukan registrasi di LPSE yang lokasinya dekat dengan domisili penyedia (LKPP

2009). UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan

kewenangan kepada pemerintahan daerah dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan menurut asas otonomi untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan

masyarakat termasuk memberi pelayanan sedekat-dekatnya kepada masyarakat, maka

setiap pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pelayanan pengadaan barang/jasa

pemerintah secara elektronik.

Secara prosedural, implementasi Perpres No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan

Barang dan Jasa Pemerintah dan ketetapan-ketetapan lain mengenai e-procurement yang

merupakan dasar bagi implementasi e-procurement barang dan jasa di Indonesia telah

dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Namun pembahasan yang lebih mendalam mengenai implementasi e-procurement

menunjukkan hibriditas dalam pengimplementasian e-procurement di ketiga lokasi

penelitian yang mencakup hibriditas dalam strategi (sentralisasi-desentralisasi) pemaketan,

sistem (manual–on line), struktur (pemerintah provinsi, kabupaten dan kota–kecamatan,

desa). Pendekatan yang digunakan dalam pengaplikasian e-government berbeda baik di

negara-negara industri maupun berkembang. Di negara-negara industri penggunaan e-

government dilakukan secara self-service melalui internet, sementara di negara-negara

berkembang dilakukan dengan sekaligus menggunakan gabungan dari beberapa proses

yang dilakukan secara otomatik dan manual (World Bank, 2004).

Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 beserta perubahannya melalui Peraturan

Presiden No. 70 Tahun 2012 mewajibkan pemerintah daerah untuk membentuk ULP yang

bertugas melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah daerah. Berdasarkan ketentuan

ini maka proses pemilihan penyedia barang/jasa seharusnya bersifat sentralisasi yaitu

terintegrasi pada unit kerja yang secara khusus bertugas melakukan pemilihan penyedia

barang/jasa untuk pemerintah daerah yaitu LPSE dan ULP. Walaupun ULP telah dibentuk

di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai, namun sebagian dari

67

pengadaan barang dan jasa pemerintah khususnya untuk paket yang bernilai dibawah Rp

50 juta masih dilaksanakan langsung oleh unit kerja khususnya pada tingkat pemerintahan

kecamatan dan desa (Interview dengan Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7 Mei

2014; Cipta Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Fadli, Wakil Kepala ULP Kota

Medan, 19 Mei 2014; Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang

Bedagai, 30 Mei 2014). Kajian akademis mengenai ULP pada beberapa ULP di Indonesia

juga menunjukkan hal yang sama dimana pengadaan langsung masih dilakukan oleh

pejabat pengadaan yang ditetapkan oleh masing-masing PA/KPA pada setiap unit kerja

PA/KPA (LKPP, 2013).

Walaupun secara struktural kebijakan pemerintah yang menginstruksikan bahwa

pengadaan barang/jasa pemerintah harus dilakukan secara elektronik sudah diterapkan oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten Serdang Bedagai dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati

No. 6 Tahun 2011 namun pada awalnya proses pengadaan barang/jasa masih dilakukan

secara hibrid yaitu masih menggunakan sistem on-line secara parsial yaitu terbatas pada

pengumuman lelang dan pegumuman pemenang lelang. Pada tahun 2013 Kabupaten

Serdang Bedagai sudah 100% menyelenggarakan e-procurement untuk paket yang bernilai

Rp 200 juta keatas untuk barang dan fisik, dan Rp 50 juta keatas untuk konsultan. Untuk

paket bernilai dibawah Rp 50 juta masih dilakukan dengan pengadaan langsung oleh

SKPD terkait tanpa e-procurement.

Pengadaan barang dan jasa pemerintah diselenggarakan dengan sistem yang

berbeda antara berbagai tingkatan institusi pemerintahan daerah. Pada umumnya dinas,

badan dan kantor mengimplementasikan e-procurement sementara pemerintah kecamatan,

kelurahan dan desa masih melakukan pengadaan barang dan jasa secara manual. Pemohon

paket masih ada yang tidak ingin paketnya diproses oleh ULP dengan itu mereka memecah

paket sehingga menjadi bernilai dibawah Rp 200 juta. Dengan demikian, lelang dapat

dikelola langsung oleh pemohon paket secara manual dikarenakan nilai paket masih

dibawah Rp 200 juta (Interview dengan Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja

Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei 2014; Kawaruddin, Sekretaris ULP Kota Binjai, 12

Mei 2014).

Proses hibrid yang didasarkan pada nilai paket ini membatasi dalam

penyelenggaraan e-procurement. Untuk mewujudkan tranparansi yang menyeluruh maka

seharusnya pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik dilakukan oleh seluruh

instansi pemerintah daerah sebagaimana dinyatakan oleh seorang partisipan penelitian:

68

“Kita mengharapkan kegiatan pemerintah diseluruh lapisan benar-benar

transparan. Sementara kegiatan pemerintah yang dibawah Rp 200 juta tidak

terbuka. Kegiatan pengadaan yang dikerjakan oleh pemerintah dibawah Rp 200

juta mungkin lebih banyak jumlahnya daripada yang diatas 200 juta. Namun

dengan sistem ini kita hanya bisa melihat transparan sebagian kecil saja dari

jumlah pengadaan barang dan jasa pemerintah.” (Interview Sortawati Tarigan,

Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei 2014).

Ketiadaan software yang seharusnya disediakan oleh LKPP untuk menangani

lelang secara elektronik dengan nilai dibawah Rp 50 juta untuk jasa konsultan dan Rp 200

juta untuk barang dan fisik merupakan alasan untuk tetap berlangsungnya pengadaan

barang dan jasa pemerintah secara langsung dan manual (Interview Sihol Marito Simbolon,

Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014). Pemerintah

Kabupaten Serdang Bedagai sangat mengharapkan adanya software untuk seluruh

pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik karena dianggap lebih transparan.

Dalam proses pedaftaran, penawaran dan evaluasi penyedia dilakukan secara

manual. Procurement yang bersifat parsial ini disebabkan oleh keterbatasan perangkat

untuk melakukan e-procurement yang masih belum memadai dalam arti belum memiliki

situs tersendiri sehingga pada saat itu Pemerintah Daerah Serdang Bedagai menumpang

atau masih menggunakan fasilitas yang tersedia di LPSE Propinsi Sumatera Utara dalam

melakukan pelayanan procument yang masih parsial. (Interview dengan Sihol Marito,

Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014). Dengan demikian,

walaupun e-procurement di Kabupaten Serdang Bedagai sudah dilakukan sejak tahun 2012

namun dapat dikatakan sebagai semi e-procurement. Dengan menggunakan proses hybrid

ini, selama tahun 2014 ULP Kabupaten Serdang Bedagai telah menangani 6 paket

konsultan dan 3 paket barang.

Salah satu tujuan e-procurement adalah untuk mengurangi intensitas pertemuan

langsung antara penyelenggara dan penyedia. Penggunaan teknologi dalam e-procurement

merubah cara berinteraksi dimana frekuensi komunikasi melalui sistem e-procurement

meningkat sedangkan frekuensi tatap muka menjadi jauh berkurang. Impersonalitas dan

diskriminasi yang sering terjadi dalam interaksi langsung dalam pengadaan barang dan jasa

dapat dihindari oleh karena informasi, penetapan dan proses pengadaan barang telah dapat

diakses secara langsung melalui website (on-line) tanpa perlu bertemu langsung dengan

penyelenggara pengadaan barang dan jasa. Namun dalam implementasi e-procurement di

ketiga lokasi penelitian masih terjadi interaksi langsung antara penyedia dengan

penyelenggara e-procurement khususnya dalam proses lelang yaitu pada saat pembuktian

69

kualifikasi dimana panitia penyelenggara ternyata masih tetap bertemu secara langsung

dengan penyedia.

Walaupun disebutkan bahwa sejak 2013 dengan adanya perbaikan dan

peningkatan dalam ketersediaan infrastruktur yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten

Serdang Bedagai dalam melakukan e-procurement, ternyata masih ada ruang untuk

pertemuan atau interaksi langsung antara penyedia dengan petugas yang berkaitan dengan

pelayanan e-procurement. Interaksi langsung yang tidak bisa dilihat oleh publik: penyedia

datang ke LPSE untuk pengesahan password, verifikator LPSE bertemu dengan rekanan

untuk pembuktian dokumen.

Hibriditas sistem juga didapati untuk pengesahan account facebook (User ID)

provider. Walaupun untuk mendapatkan user ID penyedia cukup mendaftar lewat website

LPSE, namun penyedia perlu datang ke Kantor LPSE untuk mensahkan account agar

terhubung kesemua LPSE di Indonesia.

Observasi website LPSE Kabupaten Serdang Bedagai menunjukkan bahwa tanya

jawab tidak berlangsung dengan baik. Banyak pertanyaan yang dijawab dengan saran agar

datang dan bertanya langsung ke LPSE sebagai contoh yang terdapat dalam situs LPSE

dibawah ini:

“Untuk mendaftar, ada 2 tahap yang perlu dilakukan. Yang pertama

mendaftar secara online, dan selanjutnya bapak datang ke LPSE dengan

membawa 2 formulir yang telah di download saat mendaftar, serta berkas-berkas

pelengkap yang asli dan fotocopy untuk melakukan verifikasi”.

Dokumen petunjuk pengoperasian aplikasi Layanan Pengadaan Secara Elektronik

untuk penyedia sebenarnya telah diterbitkan oleh LKPP. Namun penelusuran situs LPSE di

ke tiga lokasi penelitian menunjukkan masih banyak penyedia yang bertanya mengenai

teknis e-procurement (login, password, user ID, aktivasi) dan pada umumnya

jawaban/saran LPSE adalah dengan menyarankan penyedia untuk datang langsung ke

LPSE.

Sistem hibrid ini juga digunakan sebagai strategi dalam menanggulangi

keterbatasan infrastruktur teknologi dan SDM. Keterbatasan pemahaman penyedia

mengenai sistem dan teknologi yang digunakan dalam e-procurement sehingga perlu

dibimbing/dibantu oleh petugas e-procurement agar dapat berpartisipasi secara efektif

dalam e-procurement. Observasi dan analisis terhadap komunikasi antara penyelenggara

dan penyedia dalam kolom tanya jawab menunjukkan kebingungan dan kurangnya

pemahaman penyedia mengenai akses untuk mengunggah dokumen dan juga bagaimana

70

mendapatkan dan menggunakan password yang sangat penting untuk dapat menunggah

dan melakukan pendaftaran yang berkaitan dengan pelelangan barang dan jasa secara

elektronik. Dalam hal ini, pertemuan langsung antara penyelenggara dan penyedia sangat

penting dalam proses e-procurement sebagaimana dinyatakan oleh seorang staf LPSE

Kabupaten Serdang Bedagai:

“Verifikator di LPSE Kabupaten Serdang Bedagai harus bertemu dengan

rekanan dengan demikian setiap masalah yang dihadapi oleh rekanan bisa lebih

cepat selesai dan rekanan bisa langsung tau apa kesalahannya saat terjadi

gangguan akses ke LPSE. Dan walaupun ada pertemuan antara verifikator dengan

rekanan itu tidak mempengaruhi transparansi LPSE sebagai fasilitator. LPSE juga

membuat rekanan mengerti akan pengadaan barang dan jasa.” (Sihol Marito

Simbolon, Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai, 31 Mei 2014).

Keterbatasan infrastruktur juga mengakibatkan interaksi langsung antara

penyelenggara dan penyedia menjadi strategi dan pilihan yang rasional dalam

mengimplementasikan e-procurement. Terkadang para penyedia yang bermasalah dalam

hal sinyal internet juga sering datang ke LPSE untuk membantu penyedia dalam

pengiriman data yang diperlukan sehubungan dengan tender yang ditawarkan pada situs.

LPSE menyediakan bidding room dimana penyedia dapat menggunakan layanan internet

lebih cepat karena langsung terhubung dengan LPSE diseluruh Indonesia. Mengingat

betapa pentingnya monitoring dalam pelelangan tersebut, demi kelancaran server maka

LPSE Kabupaten Serdang Bedagai menyediakan genset yang punya kapasitas cepat dan

otomatis agar internet dapat selalu berjalan dan server tidak mati. Pelayanan ini ditujukan

agar tidak ada alasan lagi bagi penyedia untuk tidak bisa mengakses, mengunggah, atau

mendaftar ke server seperti yang berlangsung sebelumnya (Interview dengan Cipta Depari,

Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014).

Pertemuan langsung juga terjadi antara ULP dengan penyedia. Penyedia masih

sering datang ke ULP bertanya langsung tentang pengadaan yang sedang dikerjakan oleh

pemerintah. Alasan penyedia untuk datang langsung ke ULP berkaitan dengan kurangnya

pemahaman penyedia atas pelelangan dengan cara elektronik. Selain keterbatasan SDM

penyedia dalam menggunakan e-procurement, kebiasaan para penyedia lama yang selalu

datang dan berusaha mencari peluang untuk melobi tender merupakan alasan lain yang

mengakibatkan terjadinya pertemuan langsung antara penyedia dan penyelenggara

pelelangan secara elektronik (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19

Mei 2014). Pada tahap pembuktian kualifikasi, penyedia yang lulus proses evaluasi

diwajibkan datang langsung ke ULP untuk membuktikan keaslian dokumen yang telah

71

diunggah dengan membawa seluruh dokumen asli yang sebelumnya telah di unggah oleh

penyedia dalam bentuk scan softcopy (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota

Medan, 19 Mei 2014; Hendra Sihotang, Pokja Kota Binjai, 13 Mei 2014).

Pendekatan yang digunakan dalam pengaplikasian e-government berbeda baik di

negara-negara industri maupun berkembang. Di negara-negara industri penggunaan e-

government dilakukan secara self-service melalui internet, sementara di negara-negara

berkembang dilakukan dengan sekaligus menggunakan gabungan dari beberapa proses

yang dilakukan secara otomatik dan manual (The World Bank. 2004). Prinsip dalam

menerapkan e-procurement di negara yang sedang berkembang dan kurang maju

memerlukan pertimbangan untuk menggunakan pendekatan hybrid yaitu menggabungkan

pendekatan on-line dan off-line (Kelman 1990). Implementasi e-procurement dengan

model hibrid yang menggabungkan manual dan on line dan ditandai masih adanya ruang

untuk interaksi langsung antara penyedia dengan penyelenggara dianggap relevan dan

merupakan pilihan model yang strategis untuk diterapkan di ketiga lokasi penelitian.

Dengan menggunakan sistem hibrid dalam proses e-procurement, hingga tanggal

1 Agustus 2014, Kota Medan telah menyelenggarakan pelelangan terhadap 1246 paket.

Secara tertutup tanpa sepengetahuan pihak ULP Kota Medan, KPK telah melakukan

pemeriksaan dan penilaian pada tahun 2013. Berdasarkan surat yang ULP terima sebagai

laporan atas penilaian tersebut, KPK memberikan nilai 7,15. Nilai tersebut diterangkan

sudah berada di atas nilai rata-rata nasional. Jadi berdasarkan nilai tersebut dapat diberikan

gambaran bahwa di ULP Kota Medan tidak ada „permainan‟ (Interview dengan Fadli,

Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014). Implementasi proses lelang telah

dilakukan sesuai dengan ketetapan LKPP yang seharusnya dimana penyedia yang

memenuhi syarat yang ada dalam semua proses evaluasilah yang ditetapkan menjadi

pemenang lelang. Partisipan penelitian menunjuk pada hasil proses lelang pada Dinas

Pendidikan pada bulan April 2014, dimana yang menjadi pemenang lelang adalah penyedia

yang berasal dari Semarang. Prinsip integrasi tercermin dari tawaran lelang yang dapat

diakses oleh penyedia dari seluruh daerah di Indonesia dan terpilihnya pemenang tidak

ditentukan oleh asal daerah penyedia melainkan didasarkan pada keberhasilan penyedia

dalam memenuhi seluruh kriteria yang diwajibkan.

5.6 Transparansi dalam Implementasi e-Procurement

Transparansi merupakan prinsip penting dalam penyelenggaraan pelayanan

publik. Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

72

siapa saja yang menjalankan tugas dan fungsi dengan dana yang bersumber dari

APBN/APBD dan sumbangan dana publik diwajibkan untuk menyampaikan informasi

secara terbuka kepada masyarakat kecuali informasi yang dikecualikan seperti misalnya

informasi strategi dan rahasia bisnis yang menjadi hak perusahaan, informasi rahasia

negara, informasi intelijen, dan informasi yang bersifat pribadi. Hal ini berarti setiap

informasi publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik.

Transparansi berkaitan dengan hak sebagai warganegara.

“At an early stage, e-GP can provide access to a whole range of public

procurement information at low cost and independently of time and location.

Governments achieve a high level of transparency if they use the Internet for the

free disclosure and distribution of public procurement information. Such

information typically include the relevant legislation, policies and guidelines,

procurement plans and notices, bidding documents, minutes of procurement

activities, and contract award results. In reducing the asymmetry of public

procurement information, e-GP contributes to increasing the competition in terms

of quantity (participation) and quality (openness and fairness)” (World Bank,

2014).

Pengadaan barang dan jasa pemerintah secara konvensional tidak memberi

informasi tentang seluruh penyedia potensial kepada unit pengadaan. Campbel (2003)

menyatakan penyebab utama dari ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah

adalah ketidaktersediaan dokumentasi fakutal mengenai pemerintah dan transparansi

proses kinerja pemerintah. Dengan demikian laporan mengenai kinerja pemerintah sangat

penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. E-procurement

dapat mengatasi kelemahan khususnya dalam hal transparansi dalam pengadaan barang

dan jasa pemerintah yang dilakukan secara konvensional. Sebagaimana yang ditegaskan

oleh World Bank (2006):

“Breaking down the physical barriers of space and time, e-GP allows a

more transparent and efficient information flow as well as improved access to

information and services. Beneficiaries include not only governments and

suppliers but also the public at large in having access to transparent information

on the public expenditure of taxpayers‟ money”.

E-procurement merupakan penterjemahan dan strategi e-government yang sering

dikonotasikan dengan terwujudnya good governance yang dapat mencegah terjadinya

korupsi, meningkatkan transparansi, harga yang kompetitif hingga perluasan partisipasi

masyarakat dalam pemerintahan (Lips dkk 2005; Affisco and Soliman (2006). Melalui

pelaksanaan e-procurement pemerintah menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan

oleh kalangan pebisnis untuk bertransaksi dengan pemerintah.

73

Di Indonesia e-procurement ditujukan untuk meningkatkan transparansi,

akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi merupakan strategi dalam mewujudkan good

governance. Dalam Keppres No.80/2003 jelas dinyatakan bahwa yang menjadi sasaran

diterapkannya e-procurement adalah untuk terwujudnya proses pengadaan barang yang

transparan, kompetitif, efektif, efisien, adil, tidak diskriminatif dan akuntabel. Pelaksanaan

e-procurement ini berhasil menghemat anggaran, mengurangi tingkat kebocoran dan

menjamin keterbukaan (LKPP). E-procurement bukanlah sekedar alat bantu, melainkan

memiliki peran strategis dalam mewujudkan reformasi birokrasi. Implementasi e-

procurement di Departemen Keuangan pada tahun 2009 telah memberikan kontribusi

penghematan anggaran sampai 18.4 persen (LKPP 2009: 30).

Partnership for Democratic Local Governance in Southeast Asia (DELGOSEA)

sejak tahun 2003 mengidentifikasi best practices dalam pelayanan publik menempatkan

sistem implementasi e-procurement di Kota Surabaya sebagai best practice yang inovatif

yang bertujuan untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi dan transparansi proses pengadaan

barang dan jasa (DELGOSEA, 2014). Didasarkan pada Keputusan Presiden No.80/2003,

Pemerintah Kota Surabaya telah mengadopsi e-procurement dan hal ini berhasil

menghemat 20-30% dari anggaran untuk pelayanan publik dan pekerjaan umum, serta

meningkatkan efisiensi pelayanan publik.

E-procurement juga meningkatkan efisiensi dalam proses pengadaan barang dan

jasa pemerintah di ketiga lokasi penelitian. Sistem on-line dan penggunaan teknologi

dalam proses e-procurement lebih hemat karena tidak memerlukan banyak kertas, cukup

dengan data yang dapat disimpan dikomputer. E-procurement meminimalisir interaksi

diantara pihak penyelenggara dan penyedia sehingga tidak memerlukan biaya pertemuan

seperti biaya untuk makan, minum dan lain-lain. Tidak seperti sistem terdahulu, dimana

pengadaan barang dan jasa pemerintah diiklankan melalui surat kabar yang harus dibayar,

sementara sistem e-procurement memanfaatkan situs internet sehingga tidak memerlukan

biaya iklan (Interview dengan Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7 Mei 2014; Cipta

Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19

Mei 2014).

Transparansi merupakan tujuan dan manfaat utama dari e-procurement yang

disebutkan oleh partisipan dalam penelitian di ketiga lokasi penelitian di Provinsi Sumatera

Utara. Alasan pemerintah yang dinyatakan oleh partisipan penelitian mengapa

meninggalkan tender secara manual dan mengganti menggunakan sistem elektronik adalah

merupakan usaha untuk mewujudkan transparansi, adil, akuntabel di pemerintahan

74

khususnya dalam pengadaan barang dan jasa. Dalam pengadaan barang dan jasa

pemerintah secara elektronik, kontak antara penyedia dan panitia dikurangi sehingga tidak

ada lagi kolusi yang pada dasarnya dapat menghalangi terwujudnya tranparansi, akuntabel

dan keadilan. E-procurement dipandang jauh lebih transparan daripada proses sebelumnya

yang manual. Dalam proses e-procurement hampir tidak ada tatap muka antara LPSE

dengan penyedia, semua dilakukan secara online. Ketika ada masalah dan penyedia harus

datang ke LPSE, mereka hanya bisa bertemu dan dilayani oleh helpdesk (Interview dengan

Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014). Selain itu, paket yang dikerjakan

tidak disembunyikan dalam artian tidak semua orang dapat melihat, namun sebaliknya

seluruh publik dapat melihat paket yang ditawarkan (Interview dengan Nizwansyah,

Kepala LPSE Kota Binjai; Kawaruddin, Sekretaris ULP Kota Binjai; Donny Siahaan,

Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10 Juni 2014).

Transparan berarti publik mengetahui apa yang telah, sedang dan akan dilakukan

oleh LPSE dan ULP dalam menyelenggarakan pengadaan barang dan jasa pemerintah

secara elektronik. Lebih jauh partisipan menjelaskan bahwa Rencana Umum Pengadaan

(RUP) sekarang tidak seperti RUP dahulu, oleh karena Sistem Informasi Rencana Umum

Pengadaan (SiRUP) sekarang sudah terintegrasi secara online dengan pengadaan atau

lelang. Paket yang dilelangkan hanya yang terdapat dalam SiRUP, karena kode lelang itu

ada setelah RUP ditampilkan. Melalui e-procurement masyarakat lebih tahu dengan apa

yang dilakukan atau dikerjakan oleh masing-masing SKPD dalam pemerintahan. Untuk

mendukung kinerja pemerintah daerah dalam mewujudkan transparansi dalam pelayanan

publik melalui e-procurement, LPSE telah mengadakan pelatihan kepada SKPD

bagaimana cara menampilkan RUP dalam SiRUP (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala

ULP Kota Medan, 19 Mei 2014).

Pengertian transparansi dalam e-procurement berkaitan erat dan sangat

menentukan kualitas akuntabilitas penyelenggaraan e-procurement. Menurut partisipan

penelitian di ke tiga lokasi penelitian, transparansi tidak cukup hanya dengan ketersediaan

data yang dapat diakses oleh publik tetapi juga mencakup keterwujudan akuntabilitas

dalam proses dan anggaran (Interview dengan Nizwansyah, Kepala LPSE Kota Binjai, 7

Mei 2014; Cipta Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Fadli, Wakil Kepala ULP

Kota Medan, 19 Mei 2014; Sortawati Tarigan, Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten

Serdang Bedagai, 30 Mei 2014). E-procurement dibuat untuk transparansi yaitu

menghindari oknum yang tidak bertanggung jawab oleh karena seluruh data yang berkaitan

dengan e-procurement dapat diakses publik, dan dapat dipertanggungjawabkan dalam arti

75

data yang tersedia di situs dapat dijamin kebenarannya sehingga tidak perlu takut untuk di

tayangkan kepada publik. Keterkaitan yang erat antara transparansi dan akuntabilitas

dinyatakan oleh seorang partisipan penelitian mendefenisikan transparansi:

“Transparansi pertama semua kegiatan SKPD diketahui masyarakat, kedua

dapat diakses oleh publik data dapat dipertanggung jawabkan, ketiga dihubungkan

dengan e-procurement perhitungan yang real antara rencana dan penggunaan

APBD artinya setiap detil jumlah dan penggunaan anggaran yang telah ditetapkan

bisa dibandingkan dengan dampak yang terjadi oleh setiap orang.” (Interview

Sihol Marito Simbolon, Bagian Administrasi LPSE Kabupaten Serdang Bedagai,

31 Mei 2014).

Transparansi yang diwujudkan dalam pelaksanaan e-procurement perlu dibedakan

berdasarkan kategori yang menentukan substansi dari transparansi e-procurement.

Pengkategorian e-transparansi yang dibuat oleh Heald (dalam Bannister & Connoly,

2011)46

relevan untuk digunakan dalam pembahasan dan analisis mengenai transparansi

yang faktual terwujud dalam pelaksanaan e-procurement di Provinsi Sumatera Utara.

Heald mengkategorikan e-transparansi dalam transparansi data, transparansi proses dan

transparansi keputusan/kebijakan. Transparansi data berkaitan dengan angka dan fakta-

fakta pemerintah. Masalah utama dalam transparansi data adalah biaya penyediaan

(memproses data hingga mudah diakses dan dipahami masyarakat); misinterpretasi

data/informasi; resiko terhadap masyarakat/anonimitas. Transparansi proses merupakan

ketersediaan informasi berbagai proses pemerintahan, mulai dari pembuatan keputusan

hingga produk keputusan. Transparansi ini menjadikan seluruh tahapan dalam proses jelas,

menunjukkan dimana proses suatu transaksi tertentu dapat ditemukan dan menjelaskan

mengapa langkah-langkah tertentu harus dilaksanakan. Transparansi keputusan/kebijakan

menjelaskan alasan (rasionalitas) dari keputusan-keputusan, dan/atau tindakan-tindakan

dan kebijakan pemerintah.

Berdasarkan observasi atas situs/web LPSE dan ULP diketiga lokasi penelitian

secara umum dapat dikatakan bahwa jika dilihat dari ketersediaan data maka pelaksanaan

e-procurement dapat dikatakan sudah transparan. Informasi lelang telah dilakukan secara

transparan dimana jenis/paket lelang, tahapan, agensi, nilai pagu, nilai HPS, syarat

kualifikasi dan info detil tentang seluruh peserta lelang telah dicantumkan dalam web

sebagaimana contoh pada LPSE Kota Medan dibawah ini:

46

Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical Review of

Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article 8. Policy Studies Organization.

http://www.psocommons.org/ policyandinternet / vol3 / iss1/art8

76

Informasi Lelang

Kode Lelang 1308

Keterangan Pengadaan Komputer dan Perlengkapannya

Tahap Lelang Saat ini Lelang sudah selesai

Agency PEMKO MEDAN

Satuan Kerja SEKRETARIAT DPRD KOTA MEDAN

Kategori Pengadaan Barang

Metode Pengadaan e-Lelang Umum Metode Kualifikasi Pascakualifikasi

Metode Dokumen Satu File Metode Evaluasi Sistem Gugur

Anggaran 2012 – APBD

Nilai Pagu Paket Rp 1.087.000.000,00 Nilai HPS Paket Rp 1.006.170.000,00

Jenis Kontrak Cara Pembayaran Lump Sum

Pembebanan Tahun Anggaran Tahun Tunggalnilai pagu

Sumber Pendanaan Pengadaan Tunggal

Kualifikasi Usaha Perusahaan Kecil

Lokasi Pekerjaan Kota Medan

Kota Medan

Syarat Kualifikasi

* Ijin Usaha

Ijin Usaha Klasifikasi

SIUP Perusahaan yang memiliki usaha di Bidang

Komputer yang masih berlaku.

TDP

Izin Gangguan

(HO)

Akte Pendirian

Perusahaan

NPWP Perusahaan

* Telah melunasi kewajiban pajak tahun terakhir (SPT/PPh) serta

77

memiliki laporan bulanan PPh Pasal 25 atau Pasal 21/Pasal 23 atau

PPN sekurangkurangnya 3 (tiga) bulan yang lalu;

yakni Nopember 2011, Desember 2011,dan Januari 2012 dalam

tahun berjalan. Peserta dapat mengganti persyaratan ini dengan

menyampaikan Surat Keterangan Fiskal (SKF).

* Pengalaman

Berpengalaman paling sedikit 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia

barang dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, kecuali

penyedia barang/jasa yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun

Peserta Lelang 76 peserta [Detil...]

Faktor transparansi data pada situs LPSE di ketiga lokasi penelitian diwujudkan

dengan pemberian informasi yang jelas mengenai tahapan, jenis perijinan, waktu

penyelesaian, dan biaya yang berkaitan dengan proses e-procurement.

Berita Acara Dokumen Pembukaan Dokumen Penawaran (BADPDP) sudah

dicantumkan dan formatnya telah mengikuti standar yang ditetapkan oleh LKPP.

Pemenang dan nilai pemenang juga diumumkan dalam situs sebagaimana contoh yang

dapat dilihat pada situs LPSE Kota Binjai dibawah ini:

Transparansi data bukan hanya mencakup ketersediaan informasi tentang e-

procurement tetapi juga harus mencakup informasi lainnya yang relevan dengan proses e-

procurement seperti peraturan, kebijakan dan pedoman yang merupakan data penting yang

memberikan kejelasan, dasar hukum dan pedoman dalam melakukan pelelangan barang

dan jasa secara elektronik. Namun informasi mengenai peraturan, kebijakan dan pedoman

yang relevan dengan e-procurement belum tercantum pada situs LPSE dan ULP

Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai. Alasan utama yang diajukan mengenai tidak

dicantumkannya peraturan dan kebijakan pada situs adalah disebabkan LPSE diseluruh

Bersama ini kami umumkan Peringkat Teknis untuk Paket “Sinkronisasi RDTR (Rencana

Detail Tata Ruang) di Lima Kecamatan Kota Binjai“.

No. Nama Perusahaan Hasil Evaluasi Nilai Teknis

1. CV. NEFTA CONSULTAN Lulus 91.00

2. PT. GAMMA ARTHA PRIMA LESTARI Lulus 88.50

3. BINA MITRA ARTANAMI Gagal 0.00

78

Indonesia sudah terintegrasi sehingga publik diharapkan langsung mengakses situs LKPP

untuk mendapatkan informasi mengenai kebijakan dan peraturan nasional yang diterbitkan

oleh LKPP. Dalam hal ini e-procurement meningkatkan transparansi publik dan juga

transparansi antar lembaga pemerintah yang terkait dengan implementasi e-procurement

baik antar pemerintah daerah maupun dengan pemerintah pusat. Informasi mengenai

kebijakan, peraturan dan manual yang disediakan pada situs LKPP ini juga digunakan

sebagai pedoman oleh pemerintah daerah dalam menyusun peraturan daerah hingga SOP

(Standard Operating Procedure). Hingga saat penelitian ini dilakukan, kebijakan dan

peraturan ini belum ditayangkan dalam situs. Menurut partisipan penelitian, Bagian

Hukum Pemerintah Daerah Kota Binjai sedang mempersiapkan indeks untuk

menginventaris semua produk hukum daerah yang ada di Pemko Binjai dan akan

menayangkan dalam situs mereka.

Transparansi e-procurement yang ditandai dengan ketersediaan data tidak serta

merta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap informasi yang disediakan.

Campbel (2003) menyatakan penyebab utama dari ketidak percayaan masyaratakat

terhadap pemerintah adalah ketidaktersediaan dokumentasi faktual mengenai pemerintah

dan transparansi proses kinerja pemerintah. Dengan demikian laporan mengenai kinerja

pemerintah sangat penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap

pemerintah. Pentingnya laporan ini sudah disadari oleh penyelenggara e-procurement Kota

Medan. Semua proses pelelangan yang dilakukan di aplikasi atau sistem yang ada di LPSE

Kota Medan telah terekam dalam bentuk summary report (rekaman seluruh kegiatan yang

berlangsung selama proses lelang), yang dapat dibuka kapan saja dan oleh siapa saja

sehingga jika ada oknum yang ‟bermain‟ akan segera diketahui. Summary report tidak bisa

hilang, bahkan ketika layanan internet dimatikan sekalipun. Untuk keamanan, summary

report ini juga punya link langsung ke Badan Sandi Negara, sehingga siapa yang berani

„bermain‟ akan kelihatan dan harus menanggung resiko-resiko yang diperhadapkan

(Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014).

Ketersediaan informasi dalam e-procurement belum menjamin transparansi yang

efektif bagi good governance. Selain dari ketersediaan data yang ditayangkan di website,

kejelasan mengenai data yang tersedia merupakan kriteria penting bagi terwujudnya

transparansi yang substansial dalam implementasi e-procurement. Transparansi proses

tidak terbatas pada hak dan kemampuan warganegara untuk mengakses pemerintah dan

informasi pemerintah, tetapi sebagaimana yang didefinisikan oleh United Nations Public

Administration Network (UNPAN) transparansi merupakan akses warga negara terhadap

79

informasi, memfasilitasi pemahaman warganegara terhadap proses-proses pembuatan

keputusan pemerintah (UNPAN 1999). Kejelasan informasi yang tersedia sangat mendasar

dalam mewujudkan tranparansi substansial dalam pelayanan publik.

Transparansi proses ditandai dengan akses publik terhadap alasan

dimenangkannya tender oleh peserta. Hal ini berarti seluruh peserta mengetahui harga

penawaran dari setiap peyedia dalam rangka tender pengadaan barang dan jasa yang

bersangkutan. Dalam situs Pemerintah Kota Medan telah disebutkan dengan ringkas alasan

keberhasilan dan ketidak berhasilan penyedia dalam pelelangan secara elektronik.

Hasil Evaluasi

No Nama Peserta Administrasi Teknis Harga

Penawaran

Harga

Terkoreksi Pemenang Alasan

1 CV. MITRA

KARYA BERSAMA

Rp

953.315.000,00

Rp

953.315.000,00

2 CV. JAYA

PERKASA

3 CV. SANG SURYA Hasil

Pemindaian

(Scan) Jaminan

Penawaran

Tidak Ada.

4 CV. PONOROGO Hasil

Pemindaian

(Scan) Jaminan

Penawaran

Tidak Ada.

Aanwijzing (proses pemberian penjelasan) merupakan satu tahapan dalam

pelaksanaan e-procurement di Indonesia dimana publik/penyedia mempunyai kesempatan

untuk bertanya segala sesuatu tentang proses lelang melalui chating on-line kepada Pokja.

Dalam proses lelang, setelah pengumuman lelang di website LPSE, hari ke-tiga sampai

hari ke-empat ada penjelasan lelang serta annwijzing (pengungahan) dokumen yang

dibutuhkan untuk proses lelang. Aanwijzing dilakukan sesudah penyedia mengunduh

dokumen lelang dan sebelum mengunggah dokumen kualifikasi dan dokumen penawaran.

Jika penyedia mempunyai kesulitan atau tahapan dalam proses pelelangan yang tidak

80

dimengerti, penyedia bisa langsung menanyakan ke Pokja melalui sistem online dalam

bentuk chating. Dengan demikian tidak ada pertemuan secara langsung antara Pokja

dengan calon penyedia, semua dilakukan secara online kecuali pada pembuktian dokumen

(Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei 2014). Dalam proses ini

individu yang bertanya dan individu yang menjawab sama-sama tidak tahu atau tidak

kenal. Yang diketahui oleh masing-masing pihak adalah bahwa pihak yang bertanya adalah

penyedia dan pihak menjawab adalah Pokja.

Telusur peneliti terhadap situs ketiga lokasi penelitian menunjukkan walaupun

ada tanya jawab seputar proses pelelangan, namun dalam dokumen Anwijzing pada

umumnya menyatakan „tidak ada penjelasan karena tidak ada pertanyaan dari calon

penyedia‟ mengenai dokumen lelang. Dalam hal ini Pokja menilai bahwa semua calon

penyedia memahami isi.

Dalam berita acara pemberian penjelasan (aanwijzing) kantor pengadaan barang

pada Dinas Kebersihan Kota Medan sebanyak 6 paket pekerjaan, tidak ada penjelasan

khusus dari panitia disebabkan tidak ada satupun pertanyaan dari penyedia barang/jasa

sebagaimana hasil screen shot dibawah ini:

Transparansi merupakan alat yang sangat efektif dalam mencegah korupsi

sehingga tujuan e-procurement untuk mewujudkan keadilan, persaingan dan nilai ekonomi

dapat terealisasi (Ballarad 2011). Dengan demikian kejelasan dalam SOP dalam

81

peyelenggaraan e-procurement menjadi sangat penting. Studi yang dilakukan oleh World

Bank dan Kementrian Dalam Negeri Indonesia (dalam Nurmandi, 2014) menunjukkan

ketiadaan Standar Operating Procedure (SOP) yang memungkinkan transparansi dalam

pembuatan keputusan mengenai pemenang tender. Diantara ke tiga lokasi penelitian, hanya

Kota Medan yang telah memiliki SOP mengenai e-procurement. SOP sangat penting untuk

kejelasan prosedur bekerja yang dapat menghindarkan timbulnya kebingungan dan

misinterpretasi dalam melaksanakan kebijakan dan peraturan mengenai e-procurement.

Alasan Kabupaten Serdang Bedagai dan Kota Binjai belum diterjemahkannya

implementasi e-procurement dalam SOP adalah disebabkan kebijakan dan peraturan serta

manual yang telah ditetapkan oleh LKPP pada dasarnya tidak perlu lagi diterjemahkan oleh

daerah dalam bentuk SOP yang baru karena sifatnya mudah diinterpretasikan. Secara

pengelolaan, LPSE dan ULP daerah hanya mengikuti masukan yang diberikan oleh LKPP

(Interview dengan Cipta Depari, Kepala ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Sortawati Tarigan,

Wakil Kepala ULP dan Pokja Kabupaten Serdang Bedagai, 30 Mei 2014).

Transparansi e-procurement menimbulkan kenyamanan dan keamanan bekerja

bagi pegawai pemerintah khususnya yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa

dibandingkan pada waktu pelelangan secara manual. Hal ini dinyatakan dengan gamblang

oleh seluruh partisipan penelitian di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai. Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik diselenggarakan

dengan menggunakan sistem elektronik yang sudah terstandarisasi dengan mengedepankan

transparansi dan akuntabilitas. Sistem elektronik memungkinkan seluruh penyedia

berpartisipasi dan berkompetisi secara terbuka dan adil. Juga dengan sistem website

pemenang bisa dilihat apa yang menjadi alasan menang sehingga peserta yang lain tahu

berapa penawaran dari setiap perusahaan dalam rangka tender pengadaan barang dan jasa

yang bersangkutan. Sementara dengan cara manual tidak bisa diketahui karena

pengumuman di kantor pemerintah dan pengumuman sering langsung dicopot (Interview

dengan Dian M. Manurung, S.Si, Staf Helpdesk Kota Medan, 17 Mei 2014).

Keterbukaan data yang berkaitan dengan proses e-procurement dan kerahasiaan

identitas penyelenggara lelang meminimalisir intimidasi dan teror yang sering dialami oleh

penyelenggara e-procurement, khususnya Pokja di ke tiga lokasi penelitian pada waktu

pengadaan barang dan jasa masih dilakukan secara manual. Dalam sistem e-procurement

panitia penyelenggara tidak mengenal penyedia yang masuk dalam mengikuti tender lelang

karena diseleksi oleh LPSE. Sementara penyedia tidak kenal siapa yang menjadi panitia

pengadaan barang. Untuk penyedia identitasnya tidak akan diketahui oleh Pokja sebelum

82

pemenang lelang ditetapkan, nama yang ada adalah penyedia-1, penyedia-2, penyedia-3

dan seterusnya, dimana dalam sebuah paket lelang bisa sampai 50-an penyedia.

Sebelum e-procurement dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara, penyelenggara

pelelangan barang dan jasa pemerintah sering terancam dan merasa takut pada saat

melakukan tugas mereka. Salah seorang partisipan penelitian mengatakan:

“Kalau dulu saat lelang secara manual seleksi bisa dilakukan oleh sesama

penyedia lewat kekuatan decking dan premanisme. Dimana pada saat lelang di

hari H preman perusahaan tertentu berdiri didepan pintu untuk mengintimidasi

peserta yang mencoba ikut tender. Bagi perusahaan yang takut dan tidak punya

becking dan preman yang kuat akan mundur dengan sendirinya” (Interview

Donny Siahaan, Pokja ULP Kabupaten Serdang Bedagai, 10 Juni 2014).

Sistem e-procurement menghindarkan bukan hanya intimidasi yang berasal dari

penyedia tetapi juga dari internal penyelenggara pelelangan. Dalam sistem pelelangan

barang dan jasa pemerintah secara manual Pokja diangkat oleh SKPD sebagai pengguna

anggaran. Hal ini berarti pertanggungjawaban Pokja adalah kepada pejabat SKPD terkait.

Dengan cara seperti ini proyek dapat diarahkan oleh pejabat pengguna anggaran karena

kurang bisa diakses oleh masyarakat secara umum dan juga karena prosesnya didasarkan

pada kriteria yang ditentukan oleh SKPD terkait (Interview dengan Cipta Depari, Kepala

ULP Kota Binjai, 8 Mei 2014; Interview Fadli, Wakil Kepala ULP Kota Medan, 19 Mei

2014).

Transparansi dalam pelaksanaan e-procurement juga meningkatkan rasa percaya

diri penyelenggara untuk menetapkan pemenang secara objektif berdasarkan kriteria yang

telah ditetapkan sekaligus menurunkan jumlah sanggahan terhadap pelelangan yang

dilakukan.

“Kalau manual dulu itukan pake surat dan harus di datangi, kalau sekarang

tidak ada lagi. Tidak ada lagi yang berani menyanggah kalau sudah kalah, kami

malah ingin ada yang menyanggah, kalau dia kalah dia harus menjamin 1 persen,

itukan ada sanggah banding kalau dia kalah dia harus bayar yang 1 persen dan

uangnya itu menjadi milik Pemko, bertambahlah uang Pemko, tapi sampai saat ini

belum berani karena memang sampai saat ini kita prosesnya jujur, kalau menang-

menang kalau kalah iya kalah” (Interview dengan Fadli, Wakil Kepala ULP Kota

Medan, 19 Mei 2014).

83

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6. 1 Kesimpulan

6.1.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan e-Procurement di

Provinsi Sumatera Utara

Implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan yang penting dalam proses

kebijakan publik yang dilakukan setelah sebuah kebijakan dirumuskan. Setelah

diimplementasikan tahapan berikutnya adalah konsekuensi kebijakan bagi masyarakat

yang dipengaruhinya. Dengan demikian, implementasi sebuah kebijakan tidak mudah,

karena kemungkinan munculnya masalah di masyarakat ketika diimplementasikan yang

tidak dijumpai dalam konsep. Berkaitan dengan hal ini, model kebijakan dapat membantu

menjelaskan suatu kebijakan mengapa berhasil atau tidak ketika diimplementasikan.

Pada dasarnya ada banyak faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kebijakan e-

procurement. Namun dari hasil penelitian di tiga lokasi penelitian (Kota Medan, Kota

Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai) ada tiga faktor yang paling dominan

mempengaruhi pelaksanaan e-procurement yakni landasan hukum, infrastruktur serta

sumber daya manusia. Model kebijakan e-procurement yang terdiri dari tiga faktor tersebut

bekerja secara simultan serta berinteraksi satu sama lain mempengaruhi implementasi

kebijakan e-procurement. Hal ini karena implementasi kebijakan e-procurement

merupakan suatu proses yang dinamis yang mencakup semua interaksi dari ketiga faktor

tersebut. Dengan demikian tidak ada faktor atau variabel tunggal dalam proses

implementasi e-procurement di Provinsi Sumatera Utara, sehingga perlu dijelaskan ketiga

faktor tersebut serta keterkaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya yang

mempengaruhi proses implementasi kebijakan e-procurement.

Faktor pertama, landasan hukum yang menyangkut regulasi dan kelembagaan

pelaksanaan e-procurement. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.54 Tahun 2010

tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pasal 1 ayat (8), institusi yang terkait dengan

pengadaan barang/jasa adalah Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang bersifat permanen,

dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Selanjut di pasal 14 ayat (1)

dikatakan bahwa “K/L/D/I diwajibkan mempunyai Unit Pelayanan Pengadaan (ULP) yang

dapat memberikan pelayanan/pembinaan di bidang pengadaan barang/jasa”. Dengan

demikian pentingnya ULP tidak dapat dihindari sebagai organisasi pengadaaan barang dan

jasa di setiap K/L/D/I sebagai pengganti fungsi dari Panitia Pengadaan.

84

Seperti dikatakan dalam Perpres No. 54 Tahun 2010 pasal 1 ayat (8) di atas, ULP

bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Berdiri

sendiri maksudnya adalah ULP dibentuk dalam unit struktural tersendiri yang

pembentukannya berpedoman kepada Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007 tentang

Organisasi Perangkat Daerah. Sementara ULP yang melekat pada unit yang sudah ada,

diintegrasikan pada unit struktural yang secara fungsional melaksanakan tugas dan fungsi

di bidang pengadaan barang/jasa. Perangkat ULP itu sendiri ditetapkan sesuai kebutuhan,

setidak-tidaknya terdiri atas: kepala, sekretariat, staf pendukung dan kelompok kerja.

Berbeda dengan Panitia Pengadaan yang sifatnya ad hoc, ULP merupakan

organisasi permanen (dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada) yang

fokusnya pada masalah pengadaan barang dan jasa. Namun ada perbedaan ketika ULP

melekat pada unit yang sudah ada, seperti yang terjadi di Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai yakni pada Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat

Daerah. Disini ULP yang terdiri dari beberapa Kelompok Kerja (Pokja) secara struktural

pegawainya masih merupakan bagian dari institusi (SKPD) asalnya. Hal ini mengakibatkan

pegawai tersebut memiliki tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) yang rangkap yaitu sebagai

pegawai dari institusi asalnya dan pegawai ULP. Artinya penugasan pegawai tersebut di

ULP tidak otomatis menghilangkan tanggungjawabnya sebagai pegawai dari institusi

asalnya. Selain itu masih menyatunya ULP dengan unit lainnya kemungkinan besar dapat

diintervensi oleh institusi asalnya. Penyebabnya adalah pegawai ULP secara struktural

masih tunduk pada atasannya yakni pimpinan dari institusi asalnya. Dengan demikian

kepentingan institusi darimana pegawai tersebut berasal sangat mudah masuk kedalam

ULP. Sementara bila ULP dibentuk menjadi unit yang berdiri sendiri, hal yang

dikemukakan di atas dapat dihindari. ULP menjadi sebuah organisasi yang mandiri dimana

para pegawainya memiliki kompetensi tinggi di bidang pengadaan barang/jasa dan

memiliki tupoksi sendiri serta fokus hanya melayani pelaksanaan pengadaan barang/jasa

tanpa dipengaruhi dari pihak atau institusi lain. Dengan demikian, anggota Pokja ULP

hanya tunduk atau terikat pada ketua atau struktur organisasi ULP, tidak terikat dengan

atasan dari institusi lain.

Di tiga lokasi penelitian, ULP sudah dibentuk meskipun masih menyatu dengan

Bagian Administrasi Pembangunan Sekretariat Daerah. Ini disebabkan karena Bagian

Administrasi Pembangunan memiliki pengalaman, kompetensi dan relevansi tupoksi

dengan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Di Kota Medan ULP dibentuk pada tahun

2011, sementara di Kota Binjai dibentuk pada tahun 2013 dan di Kabupaten Serdang

85

Bedagai ULP dibentuk pada tahun 2011. Jadi kalau merujuk pada Perpres No. 54 Tahun

2010 pasal 130 ayat (1) yang mengatakan bahwa Unit Layanan Pengadaan (ULP) wajib

dibentuk paling lambat pada tahun anggaran 2014, maka ditiga lokasi penelitian hal ini

telah terpenuhi bahkan lebih awal dari ketentuan yang ada. Ini juga membuktikan

komitmen Pemkot Medan, Pemkot Binjai dan Pemkab Serdang Berdagai terhadap

pengadaan barang/jasa yang dilakukan secara akuntabel, kompetitif, efisien dan transparan.

Selain juga menciptakan persaingan usaha yang sehat dan meyediakan informasi yang

benar bagi masyarakat.

Selain ULP, Lembaga Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) juga sebagai

organisasi penting bila dikaitkan dengan kegiatan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Menurut Peraturan Presiden No.54 Tahun 2010 pasal 1 ayat (38), LPSE adalah “unit kerja

K/L/D/I yang dibentuk untuk menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa

secara elektronik”. LPSE ini dalam mengimplementasikan kebijakan e-procurement

menggunakan aplikasi yang disebut dengant Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE)

yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

LPSE selain sebagai unit kerja yang menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan

barang/jasa secara elektronik juga berfungsi untuk memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan

dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik. Jadi LPSE berperan sebagai

“warung internet” yang menyediakan softwere/sistem (SPSE) dan menjadi perantara

pertemuan antara Pokja ULP dan penyedia. LPSE juga berperan dalam peningkatan

kapasitas sumber daya manusia dengan menyediakan pendidikan dan pelatihan serta

bantuan teknis dalam mengoperasikan sistem e-procurement bagi Pejabat Pembuat

Komitmen (PPK)/panitita dan penyedia yang terlibat dalam kegiatan e-procurement.

Melihat peran dan fungsinya tersebut di atas, LPSE dapat dikatakan sebagai

tempat atau wadah mempersiapkan segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan

pengadaan barang/jasa secara elektronik di setiap K/L/D/I. Di tiga lokasi penelitian LPSE

sudah terbentuk dan ini menunjukkan adanya semangat untuk melakukan reformasi

pengadaan dari yang sifatnya konvesional ke elektronik di Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai. Bahkan ditiga lokasi penelitian, ketika LPSE belum

terbentuk, sudah dibentuk tim/agensi yang fungsinya untuk melakukan e-procurement

meski pelaksanaannya masih menumpang pada server LPSE Pemerintah Provinsi

Sumatera Utara. Hal ini sesuai dengan ketentuan Perpres No.54 Tahun 2010 bahwa apabila

fasilitas LPSE terkait belum memadai atau mengalami gangguan dapat memakai atau

menumpang pada LPSE terdekat.

86

Meskipun berdasarkan peraturan ULP dan LPSE sudah memiliki wewenang yang

cukup besar dan sudah terbentuk di tiga lokasi penelitian, namun kebijakan e-procurement

belum berjalan efektif. Peraturan yang tidak dijalankan dengan konsisten dan selalu

berganti-ganti, kurangnya komitmen dari institusi (Satuan Kerja Perangkat Daerah atau

SKPD) sebagai pengusul paket pengadaan lelang dan resistensi terhadap kebijakan e-

procurement dengan strategi memecah paket barang dan jasa membuat proses pengadaan

barang dan jasa tidak berjalan mulus.

Berdasarkan peraturan yang ada, SKPD mengusulkan paket pengadaan lelang

barang dan jasa ke ULP dengan cara memasukkan Rencana Umum Pengadaan (RUP). Hal

ini sesuai dengan Perpres No.70 Tahun 2012 pasal 112 ayat (2) “K/L/D/I wajib

menayangkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan pengumuman pengadaan di website

K/L/D/I masing-masing dan Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE”. Tujuannya agar

masyarakat dan ULP dapat melihat berapa paket yang akan dibelanjakan oleh

Pemda/Pemkot. Masalah muncul ketika SKPD tidak memasukkan RUP, seperti yang

terjadi di Kabupaten Serdang Bedagai. Masalah lain yang juga terjadi adalah ketika SKPD

tidak membuat spesifikasi teknis, harga perkiraan sementara (HPS) dan rancangan kontrak

dengan benar dan lengkap. Bila sampai batas yang ditentukan dokumen dari SKPD belum

masuk atau belum diperbaiki ke Pokja ULP maka tender tidak bisa dilakukan.

Permasalahan yang juga ditemui dilokasi penelitian adalah pemecahan paket pengadaan

oleh SKPD tanpa ada alasan yang jelas. Sebelum ULP terbentuk, paket lelang pengadaan

dan pembelian barang dan jasa ditangani oleh SKPD sendiri. Namun setelah ULP

terbentuk paket pelelangan dengan batasan nilai diatas 200 juta untuk barang dan 50 juta

untuk jasa konsultansi ditangani oleh Pokja ULP (Perpres No. 70 Tahun 2012, pasal 16

ayat (2)). Untuk menghindari proses pelelangan yang dilaksanakan melalui LPSE dan

Pokja ULP ini maka SKPD memecahkan paket pengadaan sehingga memiliki batas di

bawah 200 juta untuk paket pengadaan barang/pekerjaan konstruksi/jasa lainnya dan di

bawah 50 juta untuk paket pengadaan jasa konsultasi. Dengan demikian SKPD

menggunakan penunjukkan langsung sebagai pemenang lelang.

Konflik-konflik seperti dijelaskan diatas ditemukan di lokasi penelitian. Pokja

ULP merasa mendapat intervensi dan intimidasi dari pejabat SKPD dalam penentuan

pemenang lelang. Sementara pejabat di SKPD mengatakan bahwa Pokja ULP mengubah

spesifikasi barang yang diminta sehingga mereka enggan memasukkan paket pengadaan

lelang. Padahal kalau SKPD tidak memasukkan paket pengadaan lelang ini ke ULP maka

anggaran tidak keluar dan ini akan mempengaruhi penyerapan anggaran dan performance

87

dari SKPD. Hubungan antar lembaga yang kurang harmonis ini disampaikan oleh salah

seorang informan yang tertuang dalam kalimat berikut ini. “Fungsi dari LPSE dan ULP

hanya menampung proyek yang dikerjakan oleh SKPD. Dimana LPSE berfungsi sebagai

media publikasi yang berperan mengumumkan adanya lelang juga mengumumkan siapa

yang menjadi pemenang dalam pengadaan yang dibuat oleh SKPD. Sementara ULP

menjadi alat untuk mencari siapa yang menjadi pemenang dalam tender.”

Kurangnya komitmen pegawai terhadap pengadaan yang dilakukan secara

elektronik dapat menghambat reformasi pengadaan yang salah satu tujuannnya adalah

menciptakan transparansi pengadaan barang/jasa pemerintah. Transparansi tidak akan

tercipta bila K/L/D/I tidak menayangkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan

mengumumkan pengadaan di website K/L/D/I masing-masing dan Portal Pengadaan

Nasional melalui LPSE. Transparansi juga sulit terwujud bila K/L/D/I melakukan

pemecahan paket pengadaan tanpa ada kejelasan maksud dan tujuannya.

Faktor kedua, infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur merupakan salah satu

faktor penting dalam pelaksanaan e-procurement di Propinsi Sumatera Utara. Infrastruktur

disini mencakup perangkat keras seperti: server, SDM untuk menangani kegiatan

administrasi yang berkaitan dengan e-procurement mulai dari pendaftaran penyedia,

pengumuman paket pengadaan dan keperluan bidding lainnya, jaringan komunikasi serta

piranti lunak dalam bentuk sistem electronic yang disediakan oleh LKPP. Namun pada

kenyataannya di tiga lokasi penelitian infrastruktur yang tersedia belum maksimal, selain

itu baik penyelenggara maupun penyedia belum memiliki pemahaman dan kemampuan

yang cukup dalam menggunakan teknologi dan informasi dalam pelaksanaan e-

procurement.

Pada awal berdirinya LPSE di tiga lokasi penelitian, sistem pengadaan secara e-

procurement masih menggunakan server LPSE Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hal

ini sesuai dengan ketentuan Perpres No.54 Tahun 2010 bahwa apabila fasilitas LPSE

terkait belum memadai atau mengalami gangguan dapat memakai atau menumpang pada

LPSE terdekat. Namun pada saat ini ketiga lokasi penelitian sudah memiliki server

masing-masing, hanya terdapat perbedaan kualitas dan kapasitas server tersebut. Pada

dasarnya setiap server memiliki back up sehingga ketika terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan data masih tetap tersimpan dan memiliki baterai dengan daya tahan delapan

jam, sehingga bila listrik padam, server tetap bisa diakses.

Dalam sistem e-procurement keamanan data sudah terjamin karena dalam

penyelenggaraannya LPSE dan LKPP sudah bekerjasama dengan Lembaga Sandi Negara.

88

Selain pengamanan dari sisi perangkat keras seperti firewall dan proxy server, LKPP juga

telah mengembangkan penggunaan password yang bersifat rahasia sebagai salah satu

mekanisme pengamanan yang umum. Namun karena kurangnya pengetahuan dan

penguasaan publik khususnya penyedia atas sistem e-procurement serta sikap penyedia

yang kurang dewasa menyebabkan timbulnya kecurigaan-kecurigaan terhadap

penyelenggara pengadaan. Kecurigaan juga muncul karena sering terjadi gangguan koneksi

internet di ketiga lokasi penelitian. Padahal penggunaan internet dalam pelaksanaan e-

procurement seharusnya menjadi kesempatan luas bagi pemerintah untuk menerapkan

prinsip transparansi serta membangun kepercayaan diantara stakeholders: pemerintah,

swasta dan masyarakat.

Dalam penyelenggaraan e-procurement penggunaan teknologi, sistem dan

prosedur yang baku, pengaturan jadwal dan waktu yang ketat merupakan hal yang

seharusnya sudah diketahui bersama baik oleh penyedia maupun penyelenggara e-

procurement. Dengan demikian tidak boleh lagi mentolerir keterlambatan dan perubahan-

perubahan yang dilakukan secara mendadak. Namun kenyataannya masih terdapat

keluhan-keluhan dari pihak penyedia terhadap singkatnya waktu penawaran sehingga

akhirnya ditanggapi oleh penyelenggara dengan memperpanjang waktu penawaran. Selain

itu terganggunya sistem internet juga menyebabkan penyelenggara e-procurement harus

melakukan toleransi terhadap perubahan jadwal e-procurement yang telah ditetapkan.

Ketersediaan ruangan yang memadai juga mempengaruhi transparansi dalam

penyelenggaraan e-procurement. LPSE, ULP dan Pokja sudah memiliki ruang masing-

masing sehingga dapat fokus pada pekerjaan masing-masing. Kondisi kantor LSPE di tiga

lokasi penelitian sudah cukup memadai dilengkapi oleh prasarana yang baik seperti

komputer, meja-kursi, printer, scanner, fax yang merupakan faktor pendukung

meningkatnya kinerja para pegawai. Ruangan Pokja terpisah dari ruangan ULP dan LPSE

sehingga memudahkan untuk melakukan proses pelelangan karena dapat meminimalisir

gangguan-gangguan dari luar yang mungkin dapat mempengaruhi hasil dari proses

pelelangan. LPSE menyediakan bidding room dengan fasilitas koneksi jaringan secara

lokal ke server sehingga data lebih cepat terunggah. Bila penyedia kesulitan mengakses

informasi dari rumah maka bidding room ini dapat digunakan. Hampir seluruh ruangan

dilengkapi oleh CCTV sehingga sangat membantu dalam memonitoring dan mengevaluasi

penyelenggaraan e-procurement. Dana untuk kelengkapan fasilitas ini berasal dari APBD

dan ini menunjukkan komitmen Kepala Daerah untuk mewujudkan transparansi dalam e-

procurement.

89

Faktor ketiga, sumber daya manusia termasuk budaya organisasi, kapasitas dan

kapabilitasnya. Agar pelaksanaan e-procurement dapat berhasil dengan baik maka budaya

kerja dan mental manusia yang menyelenggarakan sistem e-procurement harus dibangun

agar kapabel dan mempunyai komitmen serta integritas dalam mengimplementasikan

kebijakan e-procurement.

Keterbatasan SDM dalam bidang informasi dan teknologi (IT) merupakan

permasalahan utama yang dihadapi dalam penyelenggaraan e-procurement. Keterbatasan

kapabilitas dalam IT ini mengakibatkan e-procurement tidak dapat berjalan dengan mulus.

ULP sebagai pelaksana teknis e-procurement masih kekurangan tenaga teknis maupun non

teknis. Untuk mengatasi tantangan ini, LPSE melakukan banyak pelatihan sebagai upaya

transfer of knowledge dari LPSE ke Pokja ULP.

Dari tiga lokasi penelitian, ULP Kota Medan sedikit lebih profesional dibanding

kedua lokasi penelitian lainnya. Proses pelayanan terhadap SKPD yang menghantarkan

dokumen paket lelang ke ULP dilakukan sesuai tahap yang seharusnya (dari meja satu ke

meja lain) dan dilakukan dengan cepat dan ramah. Profesionalitas pegawai dalam

melaksanakan transparansi juga dapat dilihat dari cara mereka merespons pertanyaan-

pertanyaan publik mengenai e-procurement secara jelas dan mendetail sebagaimana dapat

dilihat dalam kolom tanya jawab dalam web LPSE Kota Medan.

Kinerja Pokja dalam melaksanakan e-procurement ditentukan oleh jumlah SDM

yang ada dibandingkan dengan jumlah total e-procurement yang harus diselenggarakan.

Oleh karena itu terdapat perbedaan jumlah anggota Pokja diantara ketiga lokasi penelitian.

Namun bagi Pemerintah Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai jumlah SDM yang

ada sudah cukup untuk mengerjakan semua tender. Hal ini disebabkan jumlah tender di

kedua lokasi penelitian tidak sebanyak jumlah tender yang ada di Kota Medan. Sementara

di Kota Medan, anggota Pokja terdiri dari 12 orang staf tetap dan 40 orang staf yang tidak

tetap yang diambil dari SKPD. Anggota Pokja yang tidak tetap dipakai jika ada paket

lelang. Apabila tidak ada paket yang dilelangkan maka anggota yang berasal dari SKPD

akan kembali bekerja di SKPD asal mereka masing-masing. Namun ULP Kota Medan

beranggapan bahwa jumlah pegawai Pokja tidak memadai, khususnya dalam tahap

evaluasi administrasi karena banyak dokumen-dokumen yang masuk dan harus dibaca satu

persatu dengan teliti.

Secara regulatif, sebagaimana tercantum dalam Perpres No.54 Tahun 2010 pasal

17 f standardisasi keahlian penyelenggara e-procurement cukup tinggi dimana semua

pejabat pengadaan, anggota Pokja baik tetap maupun tidak tetap, dan PPK (kecuali eselon

90

II) diwajibkan lulus sertifikasi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Selanjutnya

peraturan ini ditindaklanjuti dengan keluarnya Peraturan Gubsu No. 8 Tahun 2009 tentang

Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik di lingkungan

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan ini juga diadopsi oleh pemerintah Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana tertuang dalam Perpres

No.54 Tahun 2010 pasal 4 terdapat empat jenis kegiatan barang/jasa pemerintah yaitu

pengadaan barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Seluruh

anggota Pokja diketiga lokasi penelitian telah memiliki sertifikat sesuai dengan standar

yang ditetapkan, namun sertifikat ini terbatas hanya sebagai ahli dalam pengadaan barang

dan jasa yang terbatas pada peraturan dan bersifat umum. Sementara di lapangan ada

beberapa jenis lelang serta berbagai jenis paket seperti pengadaan barang, pekerjaan

konstruksi, jasa konsultansi dan.jasa lainnya yang semuanya membutuhkan keahlian

berbeda-beda.

Masalah lainnya berkaitan dengan SDM adalah penyelenggaraan e-procurement

mengalamai resistensi internal yang berasal dari penyelenggara e-procurement. Resistensi

terhadap penyelengaraan e-procurement di ketiga lokasi penelitian tercermin dari adanya

keengganan untuk mendapat sertifikasi sebagaimana yang diwajibkan oleh Perpres No.54

Tahun 2010. Alasannya karena menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memiliki

tanggung jawab yang besar yang dapat membawa kesulitan tersendiri. Seperti misalnya

pelaksanaan dimana barang/jasa tidak sesuai dengan saat yang ditawarkan, maka yang

harus bertanggung jawab adalah PPK dan bukan ULP. Resistensi dalam bentuk

keengganan dan ketakutan untuk mendapat sertifikasi merupakan tantangan tersendiri

dalam pelaksanaan e-procurement.

Model kebijakan e-procurement yang terdiri dari tiga faktor yakni landasan

hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia sebagaimana disebutkan diatas saling

berinteraksi satu dengan lainnya. Dengan demikian keberhasilan implementasi kebijakan e-

procurement di tiga lokasi penelitian tergantung pada sumberdaya manusia penyelenggara

baik dalam hal kemampuan, kapabilitas maupun budaya kerjanya. Sumber daya manusia

ini penting untuk menggerakkan secara maksimal pemanfaatan kedua faktor lainnya, yakni

infrastruktur dan landasan hukum. Jika dilihat dari faktor sumber daya manusia dan

infrastruktur, Pemerintah Kota Medan sedikit lebih maju dibandingkan Pemerintah Kota

Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Namun secara keseluruhan di tiga lokasi

penelitian keberadaan sumber daya manusia masih perlu ditingkatkan terlebih dalam

91

penguasaan teknologi informasi serta penerimaan atas penggunaan e-procurement.

Keberadaan infrastruktur di tiga lokasi penelitian belum cukup memadai untuk

melaksanakan kebijakan e-procurement. Pemanfaatan teknologi yang canggih belum

diimbangi oleh kemampuan sumber daya manusia penyelenggara. Namun disisi lain

ketidaktersediaan atau keterbatasan infrastruktur mengakibatkan kesulitan bagi sumber

daya manusia penyelenggara menghadapi penyedia. Selanjutnya sumber daya manusia dan

infrastruktur yang belum optimal menjadi salah satu penyebab peraturan mengenai e-

procurement belum dapat dilaksanakan secara utuh.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa ketiga faktor tersebut saling

mempengaruhi dalam pelaksanaan kebijakan e-procurement di Kota Medan, Kota Binjai

dan Kabupaten Serdang Bedagai. Kebijakan ini dapat efektif bila ketiga faktor tersedia dan

bekerja dengan maksimal. Dalam artian sumber daya manusia baik kemampuan,

kapabilitas dan budaya kerja sudah siap menerima keberadaan e-procurement, ketersediaan

infrastruktur dalam menunjang kebijakan e-procurement dan landasan hukum yakni

peraturan dan institusi teknis yang tidak selalu berubah serta jelas sehingga tidak

memberikan pemahaman yang berbeda-beda baik bagi kepala daerah, penyelenggara

(LPSE, ULP dan Pokja) maupun penyedia.

6.1.2 Implementasi Model Kebijakan E-Procurement di Provinsi Sumatera Utara

Model kebijakan e-procurement di Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 3 (tiga) faktor yaitu landasan hukum, infrastruktur

dan sumber daya manusia. Ketiga faktor dari model kebijakan e-procurement ini belum

tersedia atau bekerja secara optimal diketiga lokasi penelitian sehingga kebijakan e-

procurement masih dilaksanakan secara hibrid yang mencakup hibriditas dalam strategi

pemaketan (sentralisasi - desentralisasi), sistem yang digunakan (manual - on line), dan

struktur pemerintahan (provinsi, kabupaten dan kota - kecamatan, desa).

Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang selanjutnya direvisi menjadi

Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 mewajibkan pemerintah daerah termasuk Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai untuk membentuk LPSE dan ULP

yang bertugas melaksanakan pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik di daerah

masing-masing. Atas dasar ini maka proses pemilihan penyedia barang/jasa seharusnya

bersifat sentralisasi yaitu pada LPSE dan ULP. Namun pada kenyataannya, sebagian dari

pengadaan barang dan jasa pemerintah khususnya untuk paket yang bernilai dibawah Rp

92

50 juta masih dilaksanakan langsung oleh unit kerja khususnya pada tingkat pemerintahan

kecamatan dan desa.

Selain hibriditas dalam strategi pemaketan, hibriditas secara manual-on line dalam

pengadaan barang/jasa juga terjadi pada proses lelang di tiga lokasi penelitian. Pada saat

pembuktian kualifikasi, panitia penyelenggara masih bertemu secara langsung dengan

penyedia. Padahal salah satu tujuan e-procurement adalah untuk mengurangi intensitas

pertemuan langsung antara penyelenggara dan penyedia sehingga impersonalitas dan

diskriminasi yang sering terjadi dapat dihindari. Demikian juga dalam pengesahan account

facebook (User ID) penyedia. Walaupun untuk mendapatkan user ID, penyedia cukup

mendaftar lewat website LPSE, namun penyedia masih perlu datang ke kantor LPSE untuk

mensahkan account agar terhubung kesemua LPSE di Indonesia.

Hibriditas dalam sistem pengadaan secara manual-on line dan antar berbagai

tingkatan institusi pemerintahan daerah juga terdapat pada kebijakan e-procurement di tiga

lokasi penelitian. Pada umumnya dinas, badan dan kantor mengimplementasikan

pengadaan barang dan jasa publik secara elektronik (on line) sementara pemerintah

kecamatan, kelurahan dan desa masih melakukan pengadaan barang dan jasa secara

manual.

Proses hibrid dalam pelaksanaan kebijakan e-procurement di tiga lokasi penelitian

pada akhirnya dapat digunakan sebagai peluang untuk melobi tender yang sedang

berlangsung. Meskipun pada awalnya penyedia datang langsung ke ULP berkaitan dengan

kurangnya pemahaman atas pelelangan dengan cara elektronik. Oleh karena itu, untuk

mencegah terjadi kolusi antara penyelenggara dan penyedia maka pada tahap pembuktian

kualifikasi, penyedia yang lulus proses evaluasi diwajibkan datang langsung ke ULP untuk

membuktikan keaslian dokumen yang telah diunggah dengan membawa seluruh dokumen

asli yang sebelumnya telah di unggah oleh penyedia dalam bentuk scan softcopy.

Terlepas dari kelemahan proses pengadaan yang masih hibrid, namun hibriditas

dalam pengadaan ini digunakan sebagai strategi dalam menanggulangi keterbatasan SDM

penyedia, infrastruktur dan teknologi di tiga lokasi penelitian. Keterbatasan pemahaman

penyedia mengenai sistem dan teknologi yang digunakan dalam e-procurement seperti

bagaimana mendapatkan dan menggunakan password, mengunggah dokumen dan

melakukan pendaftaran yang berkaitan dengan pelelangan barang dan jasa secara

elektronik menyebabkan perlu dilakukan bimbingan oleh petugas e-procurement. Dalam

kondisi seperti ini, maka pertemuan langsung antara penyelenggara dan penyedia tidak

dapat dihindari. Selain itu, keterbatasan infrastruktur dalam pelaksanaan e-procurement

93

juga mengakibatkan proses hibrid menjadi pilihan yang rasional. Para penyedia yang

bermasalah dalam hal sinyal internet dapat datang ke LPSE untuk meminta bantuan

pengiriman data yang diperlukan sehubungan dengan tender yang ditawarkan pada situs.

Dalam hal ini LPSE menyediakan bidding room dimana penyedia dapat menggunakan

layanan internet lebih cepat karena langsung terhubung dengan LPSE diseluruh Indonesia.

Sistem hibrid perlu dipertimbangkan dalam penerapan e-procurement di

Indonesia. Sistem hibrid ini ditandai masih adanya ruang untuk interaksi langsung antara

penyelenggara dan penyedia. Namun bila dibandingkan dengan sistem pengadaan barang

dan jasa yang bersifat konvesional, sistem hibrid masih jauh lebih baik terutama dalam

mewujudkan transparansi pengadaan barang dan jasa pemerintah. Meskipun kelemahannya

ada namun untuk saat ini dianggap relevan dan merupakan pilihan yang strategis untuk

diterapkan diketiga lokasi penelitian.

6.1.3 Faktor Penghambat Kebijakan e-Procurement di Provinsi Sumatera Utara

Kebijakan e-procuremant merupakan salah satu instrument dari reformasi sektor

publik. Dimana kebijakan ini akan efektif apabila dikaitkan dengan tujuan pengelolaan

pelayanan publik yang lebih luas dan digunakan sebagai bagian dari strategi manajemen

perubahan secara keseluruhan. Dengan demikian e-procurement bukan hanya persoalan

menempatkan "e" di depan sistem pengadaan yang konvensional melainkan sebagai tugas

pemerintahan yang harusnya melampaui aspek Teknologi Informasi dan Komunikasi.

Penerapan kebijakan e-procurement dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah

tidak serta merta membuat proses pengadaan berjalan dengan baik dan efisien.

Terwujudnya reformasi dalam bidang pengadaan barang dan jasa ini masih berhadapan

dengan berbagai masalah yang menghambat sehingga pelaksanaannya masih kurang

efektif. Di tiga lokasi penelitian (Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang

Bedagai) hambatan tersebut muncul baik dari segi landasan hukum, infrastruktur, sumber

daya manusia maupun proses pelaksanaan kebijakan.

Hambatan pelaksanaan kebijakan e-procurement datang dari pembentukan ULP

yang melakat pada unit yang sudah ada. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No.54

Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pasal 1 ayat (8) dikatakan

institusi yang terkait dengan pengadaan barang/jasa adalah Unit Layanan Pengadaan (ULP)

yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Dari

isi pasal ini ada dua pilihan dimana ULP dapat dibentuk yaitu melekat pada unit yang

94

sudah ada seperti yang terjadi di tiga lokasi penelitian atau berdiri sendiri sebagai sebuah

unit.

Seperti dijelaskan di bagian sebelumnya, ada kelemahan ketika ULP masih

menyatu atau melekat pada unit yang sudah ada. Pertama, rawan intervensi dari instansi

(SKPD) mana pegawai yang merupakan anggota Pokja ULP itu berasal. Kedua,

kemungkinan tidak profesionalnya pegawai Pokja ULP karena selain memiliki tupoksi dari

instansi (SKPD) asalnya juga mempunyai tupoksi di ULP. Kelompok Kerja (Pokja) itu

sendiri merupakan unsur ULP yang diangkat oleh Kepala Daerah dan bertugas

melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa. Pertanggungjawaban Pokja ialah kepada

Kepala Daerah, pejabat SKPD, penyedia yang terlibat tender dan publik. Karena Pokja

yang berperan terhadap pemilihan penyedia barang/jasa, maka proses e-procurement

ditentukan pula oleh keputusan Pokja ULP. Adapun SKPD akan mengajukan draf kontrak

kepada ULP yang harus diverifikasi terlebih dahulu sebagai bahan pertimbangan bagi

Pokja dalam menentukan siapa pemenang tender. Dengan demikian, Pokja memiliki andil

yang cukup besar dalam proses tender karena keputusan ada di tangan Pokja.

Jika pemerintah daerah/kota ingin membentuk ULP yang mandiri atau tidak

melekat pada unit yang sudah ada maka harus mengikuti prosedur yang diatur didalam PP

No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Didalam pasal 2 ayat (1)

disebutkan “Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah ditetapkan dengan peraturan

daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah”. Jadi, pembentukan struktur

lembaga pemerintah daerah menurut PP No. 41 Tahun 2007 harus disikapi melalui

peraturan daerah. Ini artinya harus ada political will dari Bupati/Walikota dan DPRD untuk

membentuk ULP secara mandiri, sehingga wewenang ULP semakin kuat dan mandiri

untuk melaksanakan seluruh proses pengadaan sampai penunjukan pemenang, tanpa ada

campur tangan dari pihak atau institusi lain. Selain itu persoalan SDM yang tidak

berkompeten dapat dihindari karena SDM di ULP hanya fokus pada masalah pengadaan

barang/jasa.

Berkaitan dengan sertifikasi keahlian pengadaan barang dan jasa bagi

penyelenggara pengadaaan juga menjadi permasalahan tersendiri di tiga lokasi penelitian.

Berdasarkan Perpres No. 70 Tahun 2012 pasal 1 ayat (19) dikatakan “Sertifikasi Keahlian

Pengadaan Barang/Jasa adalah tanda bukti pengakuan dari pemerintah atas kompetensi dan

kemampuan profesi di bidang Pengadaan Barang/Jasa”. Namun yang terjadi dilapangan,

kualitas kinerja para peyelenggara pengadaan belum maksimal meski sudah mendapat

sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa. Dengan kata lain, kewajiban yang ditugaskan

95

kepada para penyelenggara untuk memiliki sertifikat keahlian dalam pengadaan tidak bisa

menjamin baik tidaknya kinerja ULP didalam proses pelelangan. Ini disebabkan karena

kapasitas yang diuji terbatas pada peraturan dan tidak mengacu secara mendalam pada

spesialisasi tugas seperti berbagai jenis tender di pemerintahan.

Menurut Perpres No.54 Tahun 2010 pasal 4, pengadaan barang/jasa pemerintah

meliputi barang, pekerjaan konstruksi, jasa konsultansi, dan jasa lainnya. Keempat jenis

pengadaan ini dapat diuraikankan menjadi beberapa jenis tender tergantung dari kebutuhan

setiap pemda/pemkot. Beberapa jenis tender di pemerintahan seperti yang dilakukan oleh

LPSE Kota Medan antara lain pengadaan komponen pemeliharaan traffic light, alat-alat

kedokteran, kebidanan dan penyakit kandungan serta Pengadaan Sarana dan Prasarana

Program Sekolah Adiwiyata (http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang). Bentuk

tender lain yang diadakan di Kabupaten Serdang Bedagai, antara lain pembuatan area

parkir dan drainase gudang, pengadaan peralatan laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam

untuk Sekolah Menengah Kejuruan, pengadaan bibit tanaman mangrove dan bibit tanaman

pantai (http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/lelang). Sementara jenis tender di Kota

Binjai antara lain penyusunan buku profil etnis Kota Binjai, pembuatan taman lalu lintas

dan pengadaan dump truck mini (http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/lelang). Bervariasinya

jenis tender di tiga lokasi penelitian menuntut penyelenggara untuk memiliki kemampuan

yang lebih bervariasi dan spesifik. Jadi tidak cukup hanya dengan memiliki pengetahuan

umum sebagaimana mereka dapat selama ini dalam pelatihan.

Hambatan juga datang dari tidak dipublikasikan Rencana Umum Pengadaan

(RUP) yang merupakan salah satu dokumen yang harus diketahui oleh publik.

Sebagaimana mandat dari Perpres No.70 Tahun 2012 pasal 112 ayat (2) “K/L/D/I wajib

menayangkan Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan pengumuman pengadaan di website

K/L/D/I masing-masing dan Portal Pengadaan Nasional melalui LPSE”. Tujuannya agar

masyarakat dan ULP dapat melihat berapa paket yang akan dibelanjakan oleh

Pemda/Pemkot sebagai wujud keterbukaan informasi publik dalam pengadaan barang/jasa

pemerintah sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan.

Namun di Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai, masing-masing SKPD belum

mengumumkan RUP ke dalam SiRUP sehingga menghambat bekerjanya ULP Kabupaten

Serdang Bedagai. Hal ini menunjukkan bahwa RUP belum merupakan hal yang penting

dalam proses pengadaan. Padahal bila RUP ini dipublikasikan dengan luas ada beberapa

keuntungan yang diperoleh. Masyarakat dapat mengawasi kegiatan pengadaan karena

sumber pendanaan dari pengadaan berasal dari APBN/APBD yang salah satu sumbernya

96

dari pajak. Dengan demikian tidak berlebihan bila masyarakat mengawasi kegiatan

pengadaan. Keuntungan lainnya lembaga pemerintah yang sedang melakukan kegiatan

pengadaan akan dapat menjaring lebih banyak penyedia. Ini artinya akan diperoleh banyak

pesaing sehingga lebih mudah di dapat penyedia yang memenuhi kualifikasi. Sebaliknya

bila RUP tidak dipublikasikan maka kemungkinan proses pengadaan dapat gagal karena

tidak mendapat penawaran yang layak untuk dijadikan pemenang. Sementara dari pihak

penyedia akan lebih dapat mempersiapkan diri ketika akan mengikuti pengadaan yang

dilakukan instansi pemerintah.

Dari segi sumber daya manusia, hambatan terlaksananya e-procurement dengan

efektif datang dari ketidaksiapan mental aparat pemerintah melakukan tender melalui

sistem elektronik. Resistensi aparat terhadap kebijakan e-procurement dapat dilihat dari

keengganan untuk lulus ujian mendapat sertifikasi dalam pengadaan barang dan jasa

pemerintah. Alasannya, karena besarnya tanggungjawab yang dipikul sebagai

penyelenggara pengadaan. Padahal kebijakan ini menggunakan sistem yang baik melalui

pemanfaatan teknologi dan informasi dan diikuti dengan peraturan yang menjadi landasan

kebijakan. Namun pada kenyataannya kebijakan ini tidak dengan mudah dapat mengubah

mindset para aparat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan transparan. Selain

itu di tiga lokasi penelitian kerap berhadapan dengan masalah sumber daya manusia yang

masih minim dalam hal pengelolaan dan penguasaan teknologi. Terbatasnya kemampuan

menyerap perkembangan teknologi dan informasi merupakan halangan tersendiri dalam

pelaksanaan e-procurement.

Proses pelelangan dengan sistem paket dimana dilakukan pembagian atau

pemecahan paket barang/jasa berdasarkan besaran nilai menimbulkan spekulasi negatif

bagi sistem pengadaan secara elektronik. Ketidakjelasan maksud dan tujuan dari

pembagian paket serta rawan unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi alasan

munculnya pikiran negatif tersebut. Pembagian paket lelang ini terbagi menjadi dua yakni

setiap pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilaksanakan oleh SKPD dengan

anggaran diatas 200 juta wajib melalui ULP. Sementara itu, anggaran dibawah 200 juta

dan kegiatan yang sifatnya mendesak dilakukan dengan penunjukan langsung oleh SKPD

terkait. Ini disebabkan karena belum tersedia software dari LKPP untuk menangani lelang

elektronik dengan nilai dibawah 50 juta untuk jasa konsultan dan 200 juta untuk barang

dan fisik. Sebagai akibat ketentuan ini, beberapa SKPD tidak memasukkan paket

pengadaan lelang untuk diproses oleh ULP sehingga lelang dapat dikelola langsung oleh

pemohon paket (SKPD) secara manual. Pembagian proses pelelangan secara terpisah

97

tersebut dipandang kurang mewujudkan prinsip transparansi dan akuntabilitas publik

karena masih saja bisa menguntungkan beberapa pihak

6.2 Saran

Model kebijakan e-procurement yang didapat dari penelitian ini terdiri dari tiga

faktor yakni landasan hukum, infrastruktur dan sumber daya manusia. Ketiga faktor belum

tersedia dan bekerja dengan maksimal sehingga pelaksanaan e-procurement di Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai masih bersifat hybrid. Ini artinya

prinsip transparansi yang menjadi salah satu tujuan dari kebijakan e-procurement belum

sepenuhnya dapat terwujud. Oleh karena itu perlu pembenahan di ketiga faktor ini untuk

lebih mewujudkan transparansi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.

Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, pasal 1

ayat (8) mengatakan bahwa institusi yang terkait dengan pengadaan barang/jasa adalah

Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang bersifat permanen, dapat berdiri sendiri atau melekat

pada unit yang sudah ada. Berdasarkan pasal ini, ULP dapat dibentuk dengan dua cara

yakni berdiri sendiri atau melekat pada unit yang sudah ada. Dari temuan lapangan di tiga

lokasi penelitian bahwa ULP yang dibentuk melekat pada unit yang sudah ada membawa

dampak yang kurang baik bagi kelancaran kebijakan e-procurement. Oleh karena itu sudah

saatnya Pemerintah Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai memiliki

ULP yang bersifat permanen dan dapat berdiri sendiri. Dengan demikian ULP dapat diisi

oleh orang-orang yang profesional dan berkompetensi tinggi karena bekerja sesuai dengan

tupoksinya sehingga proses pengadaan secara elektronik dapat lebih efektif, efesien,

bertanggung jawab dan transparan. Untuk membentuk ULP yang permanen dan berdiri

sendiri ini maka political will dari Bupati/Walikota dan DPRD di tiga lokasi penelitian

sangat diperlukan.

Masih berkaitan dengan cara pembentukan ULP, sudah selayaknya pemerintah

meninjau kembali Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,

pasal 1 ayat (8), yakni ULP dapat dibentuk dengan cara melekatkannya pada unit yang

sudah ada. Hal ini mengingat ULP yang melekat pada unit yang sudah ada rawan dengan

praktek-praktek KKN dan kurang profesional. Selain itu, Perpres ini keluar tahun 2010

maka sudah cukup waktu bagi L/K/D/I berbenah dan mempersiapkan diri berkaitan dengan

kebijakan e-procurement. Oleh karena itu kalimat ULP dapat dibentuk dengan cara

melekatkatnya pada unit yang sudah ada sudah tidak relevan lagi. Kalaupun ada pro dan

kontra berkaitan dengan landasan hukum dalam membentuk ULP dengan cara berdiri

98

sendiri sebagai sebuah unit maka dapat dilakukan terobosan-terobosan di bidang hukum.

Maksud baik untuk mewujudkan transparansi dalam pelayanan seharusnya lebih

dikedepankan untuk menuju reformasi pelayanan yang menyeluruh.

Sertifikasi Keahlian Pengadaan Barang/Jasa sebagai tanda bukti pengakuan dari

pemerintah atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang Pengadaan Barang/Jasa

penting untuk dipertahankan. Namun perlu dievaluasi agar materi pelatihan yang

disampaikan kepada peserta atau calon penyelenggara pengadaan tidak bersifat umum

melainkan lebih spesifik pada jenis-jenis tender pemerintah yang ada sehingga

penyelenggara lebih kompeten mengerjakan tanggung jawab sesuai dengan bidang yang

ditanganinya.

99

DAFTAR PUSTAKA

Buku

AG. Subarsono. 2009. “Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori dan Aplikasi”. Pustaka

Pelajar: Yogyakarta.

Ballard, Therese,. 2011. “Transparancy and Public Procurement”. Supplement to the 2011

Annual Statistical Report on United Nations Procurement. UNOPS.

Bannister, Frank and Connolly, Regina. 2011. "The Trouble with Transparency: A Critical

Review of Openness in e-Government," Policy & Internet: Vol. 3: Iss. 1, Article

8. Policy Studies Organization. http://www.psocommons.org/ policyandinternet /

vol3 / iss1/art8

Bekkers, Victor, dan Homburg, Vincent,. 2005. E-Government as An Information

Ecology: Backgrounds and Concepts. Dalam “The Information Ecology of E-

government: E-Government as Institutional and Technological Innovation in

Public Administration”. Edited by Bekkers and Homburg. IOS Press Netherlands.

Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through Online

Buying.

Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa Publik, TII, 2006

dalam 25.-Korupsi-dalam-Proses-Pengadaan-Barang-dan-Jasa.pdf. Diakses 19

April 2013 Jam 19.30.

Case Studies on E-procurement Implementations: Italy New South Wales New Zealand

Scotland Western Australia. 2005. Commonwealth of Australia. 2005.

Clem, Constance,. 2010. “Government Online: Improving Service and Engaging

Communities”. Ark in Association with Inside Knowledge.

Denzin, Norman K. dan Lincoln, Yvonna S. 2000. “Handbook of Qualitative Research”.

Sage Publication. Thousand Oaks. London. New Delhi.

E-Procurement of Golden Book and Good Practice, Final Report. 2013. This report was

prepared for DG MARKT by PwC EU Services EESV Contract reference:

MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project

E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery. Report

of the Expert Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs. 4-5

October 2011. United Nations Headquarters, New York.

Grindle, Merilee S. 1980. “Politics and Policy Implementation in the Third World”.

Princeton University Press. Princeton. New Jersey.

100

Heald, D. 2006. “Varieties of Transparency.” In Transparency, The Key to Better

Governance, eds. C. Hood, and D. Heald. Proceedings of the British Academy.

Oxford: Oxford University Press, 25-43.

Homburg, Vincent, and Bekkers, Victor,. 2005. E-Government and NPA: A Perfect

Marriage? Dalam “The Information Ecology of E-government: E-Government as

Institutional and Technological Innovation in Public Administration”. Edited by

Bekkers and Homburg. IOS Press Netherlands.

Implementing E-government in OECD Countries: Experiences and Challenges.

http://www.oecd.org/mena/governance/36853121.pdf

Jeppesen, Rasmus. 2010. Capacity is Development. Accountability in Public Procurement

transparency and the role of civil society. United Nations Procurement Capacity

Development Centre September. www.unpcdc.org

Kelman, S. 1990. “Procurement and Public Management: The Fear of Discretion and the

Quality of Government Performance”. Washington, DC. The AEI Press.

Lips, Miriam., Taylor, John A., Banister, Frank,. 2005. “Public Administration in the

Information Society: Essays on Risk and Trust”. IOS Press. The Netherlands.

LKPP. 2009. Implementasi e-procurment sebagai Inovasi Pelayanan Publik. LKPP:Jakarta.

Lynn, Dahlia Bradshaw,. 2000. Technology Launch in Government. Dalam “Handbook of

Public Information System”. Edited by Garson, G. David. Marcel Dekker, Inc.

USA.

Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A, 1983. “Implementation and Public Policy”.

Scott, Foresmant and Company. New Jersey.

Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. Evaluating The Anti-Corruption

Capabilities of Public e-Procurement in Developing Country. EJISDC (2012) 55,

2, 1-17 The Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries.

Nugroho, Riant. 2006. “Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang (Model-

Model Perumusan, Implementasi dan Evaluasi)”. PT. Elex Media Komputindo:

Jakarta.

Nurmandi, Achmad. 2013. E-procurement in Indonesia: Policy and its Implementation.

Research Project of International Scholar Exchange Program 2013/2014. Korean

Foundation for Advance Studies.

OECD E-Government Task Force. 2003. The Case for E-Government:Excerpts from the

OECD Report“The E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting –

Vol. 3, No. 1.

Pramusinto, Agus dan Erwan Agus Purwanto. Editor. 2009. “Reformasi Birokrasi,

Kepemimpinan dan Pelayanan Publik: Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi

101

Daerah di Indonesia”. Penerbit: Gava Media, Jian-UGM dan MAP-UGM.

Yogyakarta.

Rocheleau, Bruce. 2006. “Public Management Information Systems”. Idea Group

Publishing. USA.

Sahu, Ganesh P., Dwivedi, Yogesh K., Weerakkody, Vishanth,. E-Government

Development and Diffusion: Inhibitors and Facilitators of Digital Democracy.

Information Science Reference. New York.

Santosa, Pandji. 2008. “Administrasi Publik (Teori dan Aplikasi Good Governance)”. PT.

Refika Aditama: Bandung.

Sherman, Laura B & Nadgrodkiewicz (eds). 2011. APEC Procurement Transparency

Standards in Indonesia. A Work in Progress. Transparency International- USA

and Center for International Private Enterprise:USA.

Solichin, H Abdul Wahab. 2008. “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”. UMM Press:

Malang.

Sugiyono. 2007. “Penelitian Administrasi Negara”. Bandung: Alfabeta

Tangkilisan, Hessel Nogi S. 2003. ”Implementasi Kebijakan Publik, Transformasi Pikiran

George Edwards”. Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan Administrasi Publik

Indonesia. Yogyakarta.

Tapscott, D,. 1996. “The Digital Economy-Promise and Peril in the Age of Networked

Intelligence”. New York: Mc Grraw-Hill.

The World Bank. 2004. Building Blocks of E-government: Lessons from Developing

Countries. August 2004. Nomber 91.

Turban, E., King, D., Lee, J. dan Viehland, D. 2006. “Electronic Commerce: A Managerial

Perspective”. Pearson/Prentice-Hall, Englewood Cliffs. NJ.

UNDP. 2010. Public Procurement Capacity Development Guide http:// www.unpcdc.org/

key resources /searchlib.aspx?docid=10093

Van Weele, A., 1994. “Purchasing Management: Analysis, Planning and Practice”.

London. UK: Chapman & Hall.

Wahid, Fathul. Institutionalization of Public Systems in Developing Countries: A Case

Study of eProcurement in Indonesian Local Government. May 8th – 9th 2012,

Brunel University, University Kingdom

Jurnal/Artikel

Affisco, J., dan Karahanna, E. 1998. “E-Government: a Strategic Operations Management

Framework For Service Delivery”. Busines Process Management Journal. 12 (1),

13-21.

102

“Best Practices in E-Procurement: Reducing Costs and Increasing Value through Online

Buying”. Diakses 1 Juli 2014, Jam 10.00.

“Case Studies on E-procurement Implementations: Italy, New South Wales, New Zealand,

Scotland, Western Australia”. 2005. Commonwealth of Australia. 2005. Diakses 3

Juli 2014, Jam 12.00.

“E-Procurement: Towards Transparency and Efficiency in Public Service Delivery”.

Report of the Expert Group Meeting. Department of Economic and Social Affairs.

4-5 October 2011. United Nations Headquarters, New York.

“E-Procurement of Golden Book and Good Practice”. 2013. This report was prepared for

DG MARKT by PwC EU Services EESV Contract Reference:

MARKT/2011/097/C4/OP LOT2 Version: v1.3 Project. Final Report. Diakses 1

Juli 2014, Jam 15.00.

“Implementing E-government in OECD Countries: Experiences and Challenges”.

http://www.oecd.org/mena/governance/36853121.pdf. Diakses 3 Juli 2014, Jam

16.00.

McCue, Clifford dan Roman, Alexandru V., 2009. “E-Procurement: Myth or Reallity?”

Journal of Public Procurement, Volume 12, Issue 2, 212-238.

Mitchell, K. 2000. “Instituting E-Procurement in the Public Sector”. Government Finance

Review. 16 (1), 9-12.

Ndou, V. 2004. “E-Government for Developing Countries: Opportunities and Challenges”.

The Electronic Journal on Information System in Developing Countries

(EJISDC). 18 (1), 1-24. http://www.ejisdc.org

Neupane, Arjun., Soar, Jeffrey., Vaidya, Kishor., 2012. “Evaluating The Anti-Corruption

Capabilities of Public e-Procurement in Developing Country”. EJISDC (2012)

55, 2, 1-17 The Electronic Journal on Information Systems in Developing

Countries.

Nightisabha, Ika Akyuna., Suhardjanto, Djoko,. Cahya, Bayu Tri,. 2009. “Persepsi

pengguna Layanan Pengadaan Barang dan Jasa Pada Pemerintah Kota Yogyakarta

Terhadap Implementasi Sistem “e-Procurement”. Jurnal Siasat Bisnis.

OECD E-Government Task Force. 2003. “The Case for E-Government: Excerpts from the

OECD Report the E-Government Imperative”. OECD Journal on Budgeting –

Vol. 3, No. 1.

The World Bank. 2004. “Building Blocks of E-government: Lessons from Developing

Countries”. August 2004. Number 91.

Udoyono, Kodar. 2012. E-Procurement Dalam pengadaan barang dan Jasa Untuk

mewujudkan Akuntabilitas di Kota Yogyakarta. Jurnal Studi Pemerintahan

Volume 3 Nomor 1 Februari.

103

Vaidya, K., Sajeev, A.S.M. & Callender, G. 2006. “Critical Factors that Influence e-

Procurement Implementation Success in the Public Sector”. Journal of Public

Procurement, Volume 6, Issues (1&3), 70-99.

West, D.M,. 2004. “E-Government and the Transformation of Service Delivery and Citizen

Attitudes”. Public Administrative Review. 64 (1). 15-27.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah.

Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan

Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Peraturan Pemerinta Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi

Elektronik

Inpres No 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun

2012.

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasa

Korupsi tahun 2013

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintaha (LKPP) No.2

Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang Jasa Pemerintah No.1 Tahun

2011 Tentang Tata Cara E-Tendering

Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pelaksanaan

Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Secara Elektronik di Lingkungan Pemerintah

Provinsi Sumatera Utara.

Peraturan Walikota Medan No 38 Tahun 2011 tentang Layanan Pengadaan Secara

Elektronik (LPSE).

Website dan Sumber Lainnya

http://beritasore.com/2012/04/10/korupsi-pengadaan-paling-banyak-ditangani-kpk/.

Diakses 19 April 2013, Jam 21.00.

104

http://www.centroone.com/news/2013/03/2y/kpk-siap-aktif-awasi-pengadaan-barang-dan-

jasa- pemerintah. Diakses 19 April 2013, Jam 20.00.

http://politik.kompasiana.com/2013/03/09/implementasi-e-procurement-sebagai-inovasi

pelayanan-publik-- 541293.html. Diakses 21 April 2013, Jam 20.15.

http://himachaldit.gov.in/file.axd?file=2010%2F5%2Fe-ProcurementConcepts.pdf.

Diakses 22 April 2013. Jam 20.00

www.lpse.pemkomedan.go.id/

www.lpse.binjaikota.go.id

www.lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/

http://www.lpse.pemkomedan.go.id/eproc/lelang

http://lpse.binjaikota.go.id/eproc/lelang

http://lpse.serdangbedagaikab.go.id/eproc/lelang

1