Menurut Terbanding

32
Putusan Nomor : PUT-111633.16/2013/PP/M.IIA Tahun 2018 Jenis Pajak : PPN Tahun Pajak : 2013 Pokok Sengketa : bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah: 1. Koreksi DPP PPN sebesar Rp77.405.650.596,00 2. Koreksi Pajak Masukan Yang Dapat Diperhitungkan sebesar Rp1.324.707.374,00, yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding; bahwa pembahasan mengenai pokok sengketa diatas adalah sebagai berikut: 1. Koreksi atas Penyerahan yang Tidak Terutang PPN yang Dilaporkan Wajib Pajak Menjadi Penyerahan yang Terutang PPN Sebesar Rp77.405.650.596,00 Menurut Terbanding: bahwa berdasarkan penelitian terhadap LPP, KKP, dan Surat Keberatan Pemohon Banding diketahui bahwa koreksi pemeriksa yang menjadi sengketa untuk Masa Pajak Desember 2013 adalah koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp10.780.431.207,00 berdasarkan hasil penghitungan kembali Pajak Masukan sesuai aturan Pasal 9 ayat (6) UU PPN jo. PMK Nomor 78/PMK.03/2010 stdtd PMK Nomor 135/PMK.011/2014; bahwa koreksi atas DPP Penyerahan Barang dan Jasa yang Tidak terutang PPN, sebesar Rp77.405.650.596,00 dilakukan karena berdasarkan equalisasi ditemukan adanya pendapatan atas Jasa Incoming Call yang belum dilaporkan oleh Pemohon Banding sebagai penghasilan dalam SPT Masa PPN. Pemeriksa berpendapat bahwa Jasa Incoming Call termasuk jasa yang tidak terutang PPN; bahwa atas dasar koreksi DPP Penyerahan Barang dan Jasa yang Tidak terutang PPN tersebut maka Pemeriksa melakukan koreksi Pajak Masukan dengan penghitungan kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagai berikut: 77,405,650,596 x 275,616,430,309 = 10,780,431,207 1,978,981,053,077 bahwa berdasarkan penelitian atas SPT Masa PPN Masa Pajak Desember 2013, diketahui bahwa Pemohon Banding tidak melaporkan adanya penyerahan atas Jasa Incoming Call; bahwa berdasarkan penelitian atas LPP, KKP dan Risalah Pembahasan diketahui bahwa Pemohon Banding setuju bahwa penyerahan jasa incoming call tidak terutang PPN berdasarkan Pasal 4 (1) c UU PPN; bahwa namun demikian Pemohon Banding tidak setuju jika jasa a quo termasuk dalam penyerahan yang tidak terutang PPN sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 9 (5) UU PPN dan Pasal 1 angka 7 PMK Nomor 78/PMK.03/2010 stdtd PMK Nomor 135/PMK.011/2014; bahwa berdasarkan Surat Keberatan diketahui bahwa Pemohon Banding tetap tidak mengakui adanya koreksi Penyerahan yang Tidak Terutang PPN sesuai dengan hasil Pembahasan Akhir; bahwa berdasarkan penelitian administrasi diketahui bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan yang ruang lingkup usahanya menyelenggarakan jaringan dan/atau jasa telekomunikasi serta usaha teknologi informasi, yang dalam kegiatannya antara lain melakukan jasa interkoneksi; bahwa berdasarkan dokumen Perjanjian (Agreement) antara Pemohon Banding dengan Singapore Telecommunication Ltd (Singtel) diketahui jenis-jenis traffic (Traffic Type), Rate per minutes, dan Dialling Codes; SEKRETARIAT PENGADILAN PAJAK

Transcript of Menurut Terbanding

Page 1: Menurut Terbanding

Putusan Nomor : PUT-111633.16/2013/PP/M.IIA Tahun 2018

Jenis Pajak : PPN

Tahun Pajak : 2013

Pokok Sengketa : bahwa nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah:1. Koreksi DPP PPN sebesar Rp77.405.650.596,002. Koreksi Pajak Masukan Yang Dapat Diperhitungkan sebesar

Rp1.324.707.374,00, yang tidak disetujui oleh PemohonBanding;

bahwa pembahasan mengenai pokok sengketa diatas adalah sebagai berikut:

1. Koreksi atas Penyerahan yang Tidak Terutang PPN yang Dilaporkan Wajib PajakMenjadi Penyerahan yang Terutang PPN Sebesar Rp77.405.650.596,00

Menurut Terbanding:

bahwa berdasarkan penelitian terhadap LPP, KKP, dan Surat Keberatan Pemohon Bandingdiketahui bahwa koreksi pemeriksa yang menjadi sengketa untuk Masa Pajak Desember 2013adalah koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp10.780.431.207,00berdasarkan hasil penghitungan kembali Pajak Masukan sesuai aturan Pasal 9 ayat (6) UUPPN jo. PMK Nomor 78/PMK.03/2010 stdtd PMK Nomor 135/PMK.011/2014;

bahwa koreksi atas DPP Penyerahan Barang dan Jasa yang Tidak terutang PPN, sebesarRp77.405.650.596,00 dilakukan karena berdasarkan equalisasi ditemukan adanya pendapatanatas Jasa Incoming Call yang belum dilaporkan oleh Pemohon Banding sebagai penghasilandalam SPT Masa PPN. Pemeriksa berpendapat bahwa Jasa Incoming Call termasuk jasa yangtidak terutang PPN;

bahwa atas dasar koreksi DPP Penyerahan Barang dan Jasa yang Tidak terutang PPNtersebut maka Pemeriksa melakukan koreksi Pajak Masukan dengan penghitungan kembaliPajak Masukan yang telah dikreditkan sebagai berikut:

77,405,650,596 x 275,616,430,309 = 10,780,431,2071,978,981,053,077

bahwa berdasarkan penelitian atas SPT Masa PPN Masa Pajak Desember 2013, diketahuibahwa Pemohon Banding tidak melaporkan adanya penyerahan atas Jasa Incoming Call;

bahwa berdasarkan penelitian atas LPP, KKP dan Risalah Pembahasan diketahui bahwaPemohon Banding setuju bahwa penyerahan jasa incoming call tidak terutang PPNberdasarkan Pasal 4 (1) c UU PPN;

bahwa namun demikian Pemohon Banding tidak setuju jika jasa a quo termasuk dalampenyerahan yang tidak terutang PPN sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 9 (5) UUPPN dan Pasal 1 angka 7 PMK Nomor 78/PMK.03/2010 stdtd PMK Nomor 135/PMK.011/2014;

bahwa berdasarkan Surat Keberatan diketahui bahwa Pemohon Banding tetap tidak mengakuiadanya koreksi Penyerahan yang Tidak Terutang PPN sesuai dengan hasil Pembahasan Akhir;

bahwa berdasarkan penelitian administrasi diketahui bahwa Pemohon Banding adalahperusahaan yang ruang lingkup usahanya menyelenggarakan jaringan dan/atau jasatelekomunikasi serta usaha teknologi informasi, yang dalam kegiatannya antara lain melakukanjasa interkoneksi;

bahwa berdasarkan dokumen Perjanjian (Agreement) antara Pemohon Banding denganSingapore Telecommunication Ltd (Singtel) diketahui jenis-jenis traffic (Traffic Type), Rate perminutes, dan Dialling Codes;

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 2: Menurut Terbanding

bahwa berdasarkan penelitian terhadap Invoice Penagihan Jasa Incoming Call diketahuisebagai berikut: bahwa jenis tagihan yang tercantum dalam kolom “Description” adalah “Telephone for ....

(mmmm yyyy)” atau "Telephone Traffic For ... (mmmm yyyy)". Contoh : “Telephone ForAugust 2013” atau “Telephone Traffic For June 2013”;

Invoice diterbitkan kepada Operator di luar negeri berdasarkan periode tertentu. Terdapat kolom Jenis layanan atau “Service” seperti Pemohon Banding Mobile, Non

Pemohon Banding Mobile, ISDN, Satellite, dll; Dasar penghitungan adalah Jenis Layanan, Jumlah Menit dan Rate per Minutes

bahwa berdasarkan Invoice tersebut, Terbanding berpendapat bahwa Pemohon Bandingmelakukan tagihan ke operator di luar negeri atas penyediaan Jasa atau Layanan Telepon atauLalu Lintas Telepon (Telephone Traffic) dari Luar Negeri ke Dalam Negeri;

bahwa besarnya Penghasilan yang diterima Pemohon Banding atas tagihan kepada operatorluar negeri ditentukan berdasarkan:a) jenis jasa atau layanan yang dimanfaatkan oleh operator luar negeri, atau dengan kata lain

jenis layanan yang disediakan oleh Pemohon Banding;b) durasi yang dihitung berdasarkan satuan menit;c) rate per minutes atau tarif per menit sesuai jenis layanan (jenis jasa) yang digunakan;

bahwa sesuai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor :08/Per/M.KOMINF/02/2006, diketahui hal-hal sebagai berikut :

a) Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggarajaringan telekomunikasi yang berbeda;

b) Titik interkoneksi (Point of Interconnection) adalah titik atau lokasi dimana terjadiInterkoneksi secara fisik, dan merupakan batas bagian yang menjadi milik penyelenggarajaringan yang satu dari bagian yang menjadi milik penyelenggara jaringan dan ataupenyelenggara jasa yang lain, yang merupakan titik batas wewenang dan tanggung jawabmengenai penyediaan, pengelolaan dan pemeliharaan jaringan;

bahwa dengan demikian, interkoneksi terjadi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi, baikantara penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal (dalam negeri) dan lokasl, maupun antarapenyelenggara jaringan telekomunikasi dalam negeri dengan penyelenggara jaringantelekomunikasi luar negeri (internasional);

bahwa menurut Pemohon Banding Dalam penyerahan jasa internasional incoming call yangmengakses jasa telekomunikasi International incoming call sesungguhnya adalah pengguna(pelanggan operator luar negeri) yang berada di luar negeri. Agar pelanggan operator luarnegeri dapat menghubungi pelanggan di Indonesia maka Pemohon Banding wajibmelaksanakan interkoneksi di titik interkoneksi dengan operator luar negeri untuk memberijaminan kepada pengguna/pelanggan luar negeri untuk mengakses jasa telekomunikasi.lnterkoneksi antara Pemohon Banding dengan Operator Luar Negeri terjadi di Luar DaerahPabean, yaitu di Singapura dan Hongkong;

bahwa menurut Pemohon Banding, Penyerahan Jasa Interkoneksi Incoming Call, merupakanpenyerahan Jasa ke Luar Daerah Pabean dengan penjelasan bahwa titik interkonektiinternational incoming call yang merupakan tempat terjadinya interkoneksi antara PemohonBanding dengan operator luar negeri berada di Luar Daerah Pabean, yaitu di Singapura danHongkong;

bahwa berdasarkan informasi dan penjelasan Pemohon Banding diketahui bahwa asetPemohon Banding di POI adalah berupa server yang dioperasikan secara otomatis;

Skema Jasa lnterkoneksi menurut Pemohon Banding:SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 3: Menurut Terbanding

bahwa Terbanding berpendapat bahwa dalam Percakapan Internasional dari Luar Negeri keDalam Negeri (Incoming Call), ketika seorang pelanggan sebuah operator Luar Negeri hendakmenghubungi pelanggan operator di Indonesia, maka ia akan menggunakan fasilitas Operatordi Luar Negeri untuk kemudian diteruskan ke jaringan telekomunikasi yang dimiliki olehPemohon Banding yang membentang di seluruh Nusantara dan diteruskan lagi ke pelangganyang dituju, baik langsung oleh Pemohon Banding maupun melalui operator dalam negerilainnya;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa dalam Jasa Incoming Call yang disediakan olehPemohon Banding, POI berfungsi sebagai pintu masuk terjadinya komunikasi antara pelanggandi luar negeri dan di Indonesia, namun bukan berarti penyerahan jasa telah dilakukanmengingat kewajiban Pemohon Banding masih harus melanjutkan percakapan tersebut keoperator lain atau pelanggan Pemohon Banding di Indonesia;

bahwa berdasarkan invoice diketahui bahwa penagihan dilakukan oleh Pemohon Banding dialamat kedudukan Pemohon Banding di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 21, GambirJakarta Pusat. Di dalam invoice juga tidak disebutkan titik POI berada di Singapura atauHongkong;

Analisa Data, Fakta, dan Ketentuan

bahwa yang menjadi sengketa adalah koreksi Pemeriksa atas Pendapatan Jasa Incoming Call;

bahwa berdasarkan invoice diketahui bahwa penghasilan yang diterima Pemohon Bandingtermasuk dalam penghasilan penyediaan jasa telekomunikasi internasional incoming call;

bahwa berdasarkan skema Internasional Incoming Call, diperlukan jaringan telekomunikasiyang dapat menghubungakan provider telekomunikasi Luar Negeri dengan PelangganPemohon Banding di Dalam Negeri atau Pelanggan Provider Telekomunikasi Dalam Negerilainnya;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa penyerahan jasa telekomunikasi internasional incomingcall dapat terwujud melalui penyediaan jaringan telekomunikasi yang pada kasus ini dimilikioleh Pemohon Banding, yang tersebar di seluruh nusantara;

bahwa berdasarkan invoice diketahui bahwa tarif jasa internasinal incoming call dapat dihitungberdasarkan durasi percakapan. Artinya jasa internasional incoming call harus memperhatikankeseluruhan jaringan yang digunakan oleh Pemohon Banding dan provider dalam negeriIainnya untuk melakukan komunikasi internasional mulai awal hingga akhir percakapan;

bahwa dengan demikian argumen Pemohon Banding yang menyatakan titik POI sebagai titikpenyerahan jasa, tidak dapat diterima mengingat penyelenggaraan jasa internasional incomingcall belum terwujud sepenuhnya jika hanya memperhatikan POI saja. Jasa internasionalincoming call akan terwujud jika komunikasi yang dimulai dari Provider Luar Negeri diteruskanmelalui perangkat-perangkat atau jaringan telekomunikasi hingga diterima oleh pelanggan di

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 4: Menurut Terbanding

dalam negeri. Dengan demikian, Pemohon Banding dapat menghitung berapa penghasilanyang diterimanya dari penyediaan jasa telekomunikasi internasional incoming call;

bahwa Penyediaan Jasa Internasional Incoming Call harus sejalan dengan pengertian Jasasebagaimana Pasal 1 Angka 5 UU PPN yang mengatur bahwa:

“Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatanhukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai,termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaandengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.”

bahwa dengan demikian berdasarkan pengertian Jasa sesuai dengan UU PPN tersebut, jasainternasional incoming call harus memperhatikan keseluruhan jaringan dan perangkat yangdigunakan oleh Pemohon Banding dan Provider Iainnya di dalam negeri agar fasilitas tersebutdapat dipakai, dimanfaatkan atau dinikmati oleh seluruh pelanggan provider telekomunikasibaik di luar negeri maupun di dalam negeri;bahwa POI merupakan titik awal terjadinya hubungan komunikasi internasional incoming call,namun penghitungan penghasilan berdasarkan durasi percakapan menunjukkan bahwapenyerahan jasa internasional incoming call harus memperhatikan penggunaan jaringantelekomunikasi hingga percakapan tersebut diterima dan diakhiri oleh pelanggan di luar negeridan di dalam negeri;

bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilaidikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan olehPengusaha. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN menyatakan antara lain bahwapenyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:1. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;2. penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan3. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;

bahwa ketentuan tersebut sejalan dengan Pasal 6 PP 1 Tahun 2012 yang merupakan peraturanpelaksana atas UU PPN yang menyatakan bahwa:

“Pajak pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerahpabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang dimanfaatkan didalam atau diluar DaerahPabean”;

Memori penjelasan Pasal 6 PP No. 1 tahun 2012 menjelaskan bahwa:Sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilaiyang menyatakan bahwa penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagaiberikut:1) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan3) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;

maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah jasa harus dikonsumsiatau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak;

Contoh 1.A Corp. yang berdomisili di Jepang mengirimkan lagu kepada PT B di Indonesia untukdibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirimkembali ke Jepang. Atas jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PT B tersebut terutangPajak Pertambahan Nilai;

Contoh 2:Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia.Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar diIndonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.

bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN jo PP Nomor 1 Tahun 2012 tersebut,maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah jasa harus dikonsumsi

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 5: Menurut Terbanding

atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak;

bahwa berdasarkan penelitian atas surat-surat penegasan terkait perlakuan perpajakan atasjasa interkoneksi, diketahui bahwa :

1) bahwa Terbanding menerbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-01/PJ.54/2000 tanggal19 Januari 2000, dimana Surat Edaran tersebut menegaskan bahwa:

Penyerahan jasa interkoneksi adalah merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak yangterutang PPN. Untuk keseragaman pelaksanaan di lapangan serta agar dapatmemberikan perlakuan yang sama terhadap semua Penyelenggara Jaringan*Telekomunikasi, penyerahan jasa ini dikenakan PPN sejak 1 Januari 2000.

Dengan diberlakukannya penegasan ini, maka sejak 1 Januari 2000 seluruhPenyelenggara Jaringan Telekomunikasi yang melakukan penyerahan Jasa Interkoneksiwajib memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang ataspenyerahan Jasa Interkoneksi tersebut, serta melaksanakan kewajiban lainnya sesuaidengan ketentuan yang berlaku.

2) bahwa Surat Terbanding Nomor S-963/PJ.53/2005 tanggal 16 November 2005 tentangPenegasan Perlakuan PPN atas Percakapan SLI, menjawab surat Pemohon Banding yangmemohon penegasan terkait S-56/PJ.322/1998, menegaskan bahwa : Penyerahan jasa interkoneksi merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak karena tidak

termasuk dalam kelompok jasa yang tidak terutang PPN. Atas tagihan/pembayaran jasa interkoneksi dalam jalur internasional (trafik incoming dan

trafik outgoing) yang meliputi tagihan operator lokal kepada operator di luar negerimaupun tagihan operator luar negeri kepada operator lokal dan penerusan penagihanjasa interkoneksi internasional antar operator lokal, sepanjang penagihan tersebut untukpemberian jasa interkoneksi yang dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean Indonesia,maka atas tagihan/pembayaran tersebut dikenakan PPN;

3) bahwa Surat Direktorat Peraturan Perpajakan I Nomor S-14/PJ.02/2012 tanggal 4 Januari2012 kepada Kepala KPP BUMN sebagai jawaban atas pertanyaan Kepala KPP BUMNterkait himbauan kepada Pemohon Banding, antara lain menegaskan bahwa atas jasainterkoneksi incoming call yang diserahkan oleh Pemohon Banding kepada pihak operatordiluar daerah pabean, sepanjang jasa interkoneksi incoming call tersebut dilakukan olehPemohon Banding didalam daerah pabean, dikenai PPN karena merupakan penyerahanJasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean;

4) Surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-1258/PJ.02/2012 tanggal 21 Desember 2012kepada Kepala KPP Wajib Pajak Besar Empat hal Perlakuan PPN atas Jasa Interkoneksimenegaskan bahwa dalam transaksi interkoneksi internasional untuk incoming call,sepanjang operator dalam negeri melakukan jasa interkoneksi internasional tersebut didalam daerah pabean, terjadi penyerahan jasa interkoneksi internasional yang merupakanpenyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean, di mana atas penyerahan jasainterkoneksi internasional tersebut dikenai PPN dengan tarif 10% (sepuluh persen);

bahwa dengan demikian berdasarkan uraian tersebut di atas maka Terbanding berpendapatbahwa:1) Penyelenggaraan jasa internasional incoming call secara prinsip merupakan pemberian

akses terhadap fasiiltas penting berupa peralatan dan jaringan telekomunikasi yang beradadi dalam daerah pabean hingga komunikasi internasional incoming call dapat dimanfaatkanoleh pelanggan atau provider di luar negeri dan diterima oleh pelanggan Pemohon Bandingatau pelanggan provider lainnya di dalam negeri;

2) bahwa titik interkoneksi hanyalah saluran yang meneruskan permintaan jasa internasionalincoming call dari luar negeri ke dalam negeri. Penyelenggaraan jasa internasional incomingcall dapat terwujud dengan menggunakan seluruh peralatan dan jaringan telekomunikasiyang berada di dalam daerah pabean yang penghitungan penghasilannya dihitungberdasarkan rate per minutes;

3) Incoming Call merupakan jasa telekomunikasi yang diselenggarakan dengan menggunakanperalatan telekomunikasi dan jaringan telekomunikasi yang berada di dalam daerah pabean,sehingga terutang PPN;

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 6: Menurut Terbanding

4) Berdasarkan penjelasan di atas, maka seharusnya seluruh penyerahan jasa internasionalincoming call yang dilakukan oleh Pemohon Banding dilaporkan sebagai penyerahan yangterutang PPN. Dengan demikian, Terbanding menghitung kembali jumlah penyerahan yangterutang pajak, Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan dan PPN terutang;

bahwa berdasarkan uraian diatas, maka disampaikan simpulan sebagai berikut :a. mengabulkan seluruh keberatan Pemohon Banding atas pos Penghitungan Kembali Pajak

Masukan;b. melakukan koreksi atas penyerahan tidak terutang PPN yang dilaporkan Pemohon Banding

menjadi penyerahan yang terutang PPN;c. menghitung ulang besarnya PPN yang seharusnya terutang dan yang masih harus dibayar

oleh Pemohon Banding;

bahwa dalam persidangan tanggal 19 Desember 2017 Terbanding menyerahkan closingstatement dalam Surat Nomor: S-8041/PJ.07/2017 tanggal 12 Desember 2017 dengan isisebagai berikut;

Penjelasan Koreksi:

bahwa yang menjadi sengketa adalah koreksi Pemeriksa atas Pendapatan Jasa Incoming CaII.Bahwa berdasarkan invoice diketahui bahwa penghasilan yang diterima In termasuk dalampenghasilan penyediaan jasa telekomunikasi internasional incoming call;

bahwa dalam proses keberatan alasan keberatan Pemohon Banding adalah:1) Penyerahan Jasa lnterkoneksi Incoming CaII, merupakan penyerahan Jasa ke Luar Daerah

Pabean dengan penjelasan bahwa titik interkoneksi international incoming call yangmerupakan tempat terjadinya interkoneksi antara In dengan operator luar negeri berada diLuar Daerah Pabean, yaitu di Singapura dan Hongkong;

2) Jasa lnterkoneksi Incoming Call, dimanfaatkan oleh Pelanggan dan Provider Luar Negeriyang berada di luar daerah pabean;

3) Penyerahan Jasa lnterkoneksi Incoming Call adalah penyerahan yang tidak terutang PPNkarena tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) c UU PPN;

4) Penyerahan Jasa lnterkoneksi Incoming Call tidak termasuk dalam jenis penyerahan jasasebagaimana dimaksud Pasal 4A UU PPN;

5) Penyerahan Jasa lnterkoneksi Incoming Call tidak termasuk dalam jenis penyerahan jasasebagaimana dimaksud Pasal 16B UU PPN;

bahwa berdasarkan penelitian administrasi diketahui bahwa Pemohon Banding adalahperusahaan yang ruang lingkup usahanya menyelenggarakan jaringan dan/atau jasatelekomunikasi serta usaha teknologi lnformasi, yang dalam kegiatannya antara lain melakukanjasa interkoneksi;

bahwa berdasarkan dokumen Perjanjian (Agreement) antara Pemohon Banding denganSingapore Telecommunication Ltd (SingteI) diketahui jenis-jenis traffic (Traffic Type), Rate perminutes, dan Dialling Codes;

bahwa berdasarkan penelitian terhadap Invoice Penagihan Jasa Incoming Call diketahuisebagai berikut:1) Jenis tagihan yang tercantum dalam kolom “Description” adalah “Telephone for .... (mmmm

yyyy)” atau “Telephone Traffic For ... (mmmm yyyy)”. Contoh : “Telephone For August 2013”atau “Telephone Traffic For June 2013”.

2) Invoice diterbitkan kepada Operator di luar negeri berdasarkan periode tertentu.3) Terdapat kolom Jenis layanan atau “Service” seperti In Mobile, Non In Mobile, ISDN,

Satellite, dll.4) Dasar penghitungan adalah Jenis Layanan, Jumlah Menit dan Rate per Minutes

bahwa berdasarkan Invoice tersebut, Terbanding berpendapat bahwa Pemohon Bandingmelakukan tagihan ke operator di luar negeri atas penyediaan Jasa atau Layanan Telepon atauLalu Lintas Telepon (Telephone Traffic) dari Luar Negeri ke Dalam Negeri;

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 7: Menurut Terbanding

bahwa besarnya Penghasilan yang diterima Pemohon Banding atas tagihan kepada operatorluar negeri ditentukan berdasarkan:1) jenis jasa atau layanan yang dimanfaatkan oleh operator luar negeri, atau dengan kata lain

jenis layanan yang disediakan oleh In;2) durasi yang dihitung berdasarkan satuan menit;3) rate per minutes atau tarif per menit sesuai jenis tayanan (jenis jasa) yang digunakan.

bahwa sesuai Peraturan Menteri Komunikasi dan lnformatika Nomor8/PER/M.KOMINF/02/2006, diketahui hal-hal sebagai berikut:1) lnterkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara

jaringan telekomunikasi yang berbeda.2) Titik interkoneksi (Point of Interconnection) adalah titik atau Iokasi dimana terjadi

Interkoneksi secara fisik, dan merupakan batas bagian yang menjadi milik penyelenggarajaringan yang satu dari bagian yang menjadi milik penyeleggara jaringan dan ataupenyelenggara jasa yang lain, yang merupakan titik batas wewenang dan tanggung jawabmengenai penyediaan, pengelolaan dan pemeliharaan jaringan.

bahwa dengan demikian, interkoneksi terjadi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi, baikantara penyelenggara jaringan telekomunikasi lokal (dalam negeri) dan lokal, maupun antarapenyelenggara jaringan telekomunikasi dalam negeri/ lokal dengan penyelenggara jaringantelekomunikasi luar negeri (internasional);

bahwa menurut Pemohon Banding dalam penyerahan jasa internasional incoming call yangmengakses jasa telekomunikasi lnternational incoming call sesungguhnya adalah pengguna(pelanggan operator luar negeri) yang berada di luar negeri. Agar pelanggan operator luarnegeri dapat menghubungi pelanggan di lndonesia PT. In wajib melaksanakan interkoneksi dititik interkoneksi dengan operator luar negeri untuk memberi jaminan kepadapengguna/pelanggan luar negeri untuk mengakses jasa telekomunikasi. lnterkoneksi antaraPemohon Banding dengan Operator Luar Negeri terjadi di Luar Daerah Pabean yaitu diSingapura dan Hongkong;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa dalam Percakapan internasional dari Luar Negeri keDalam Negeri (Incoming Call), ketika seorang pelanggan sebuah operator Luar Negeri hendakmenghubungi pelanggan operator Indonesia maka ia akan menggunakan fasilitas operator diluar negeri untuk kemudian diteruskan ke jaringan komunikasi yang dimilki oleh PemohonBanding yang membentang di seluruh Nusantara dan diteruskan lagi ke pelanggan yang dituju,baik langsung oleh Pemohon Banding maupun melalui operator dalam negeri lainnya;

bahwa Terbanding berpendapat bahwa dalam Jasa Incoming Call yang disediakan olehPemohon Banding, Point of Interconnection (POI) berfungsi sebagai pintu masuk terjadinyakomunikasi antara pelanggan di luar negeri dan di Indonesia, namun bukan berarti penyerahanjasa telah dilakukan mengingat kewajiban Pemohon Banding masih harus melanjutkanpercakapan tersebut ke operator lain atau pelanggan In di Indonesia;

bahwa dengan demikian argumen Pemohon Banding yang menyatakan titik POI sebagai titikpenyerahan jasa, tidak dapat diterima mengingat penyelenggaraan jasa internasional incomingcall belum terwujud sepenuhnya jika hanya memperiiatikan POI saja. Jasa internasionalincoming call akan terwujud jika komunikasi yang dimulai dari Provider Luar Negeri diteruskanmelalui perangkat-perangkat atau jaringan telekomunikasi hingga diterima oleh pelanggan didalam negeri. Dengan demikian, In dapat menghilung berapa penghasilan yang diterimanyadari penyediaan jasa telekomunikasi inlernasional incoming call;

bahwa POI merupakan titik awal terjadinya hubungan komunikasi internasional incoming call,namun penghitungan penghasilan berdasarkan durasi percakapan menunjukkan bahwapenyerahan jasa internasional incoming call harus memperhatikan penggunaan jaringantelekomunikasi hingga percakapan tersebut diterima dan diakhiri oleh pelanggan di luar negeridan di dalam negeri;

bahwa penyediaan Jasa lnternasional Incoming Call harus sejalan dengan pengertian Jasasebagaimana Pasal 1 Angka 5 UU PPN yang mengatur bahwa “Jasa adalah setiap Kegiatanpelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatubarang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, temasuk jasa yang dilakukan

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 8: Menurut Terbanding

untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjukdari pemesan.”;

bahwa dengan demikian berdasarkan pengertian Jasa sesuai dengan UU PPN tersebut, Jasainternasional incoming call harus memperhatikan keseluruhan jaringan dan perangkat yangdigunakan oleh Pemohon Banding dan provider lainnya di dalam negeri agar fasilitas tersebutdapat dipakai, dimanfaatkan atau dinikmati oleh seluruh pelanggan provider telekomunikasibaik di luar maupun di dalam negeri;

bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilaidikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan olehPengusaha. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN menyatakan antara lain bahwapenyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :1) jasa yang diserahkan merupakan Jasa kena Pajak;2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan3) penyerahannya dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.

bahwa ketentuan tersebut sejalan dengan Pasal 6 PP No. 1 Tahun 2012 yang merupakanperaturan pelaksanaan atas UU PPN yang menyatakan bahwa :

“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerahpabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang dimanfaatkan di dalam atau di luar DaerahPabean “

bahwa memori penjelasan Pasal 6 PP No. 1 tahun 2012 menjelaskan bahwa:

“Sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-undang Pajak Pertambahan NilaiBarang dan Jasa yang menyatakan bahwa penyerahan jasa yang terutang pajak harusmemenuhi syart sebagai berikut :1) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak2) penyerahannya dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan3) penyerahannya dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya,maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah jasa harus dikonsumsiatau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak

Contoh 1:A Corp. yang berdomisili di Jepang mengirimkan lagu kepada PT B di Indonesia untukdibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirimkembali ke ke Jepang. Atas jasa penuliasan not balok yang dilalakukan oleh PT. B tersebutterutang Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh 2:Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia.Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar diIndonesia. Jasa survei yang dillakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak PertambahanNilai.”

bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN jo PP Nomor 1 Tahun 2012 tersebut,maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah jasa harus dikonsumsiatau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak;

bahwa sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak PertambahanNilai yang menyatakan bahwa penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syaratsebagai berikut :1) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah pabean; dan3) penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya,maka terutang Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah jasa harus dikonsumsiatau dimanfaatkan di dalam daerah pabean atau tidak.

bahwa selain itu, terdapat surat-surat penegasan terkait perlakuan perpajakan berupapengenaan PPN atas jasa interkoneksi yaitu:

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 9: Menurut Terbanding

1) Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE - 01/PJ.54/2000 tanggal 19 Januari 2000, SuratEdaran tersebut menegaskan bahwa Penyerahan jasa interkoneksi adalah merupakanpenyerahan Jasa Kena Pajak yang terutang PPN. Unluk keseragaman pelaksanaan dilapangan serta agar dapat memberikan perlakuan yang sama terhadap semuaPenyelenggara Jaringan Telekomunikasi, penyerahan jasa ini dikenakan PPN sejak 1Januari 2000.

2) Surat Dirjen Pajak Nomor S - 963/PJ.53/2005 tanggal 16 November 2005 tentangPenegasan Perlakuan PPN atas Percakapan SLI menjawab surat Wajib Pajak yangmomohon penegasan terkait S-56/FlJ.322/1993, menegaskan bahwa :

(1) Penyerahan jasa interkoneksi merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak karena tidaktermasuk dalam kelompok jasa yang tidak terutang PPN.

(2) Atas tagihan/pembayaran jasa interkoneksi dalam jalur internasional (trafik incoming dantrafik outgoing) yang meliputi tagihan operator lokal kepada operator di luar negerimaupun tagihan operator luar negeri kepada operator lokal dan penerusan penagihanjasa interkoneksi internasional antar operator lokal, sepanjang penagihan tersebut untukpemberian jasa interkoneksi yang dimantaatkan di dalam Daerah Pabean Indonesia,maka atas tagihan/ pembayaran tersebut dikenakan PPN.

3) Surat Direktorat Peraturan Perpajakan I Nomor S-14./PJ.02/2012 tanggal 4 Januari 2012kepada Kepala KPP BUMN sebagai jawaban atas pertanyaan Kepala KPP BUMN terkaithimbauan kepada In, antara lain menegaskan bahwa atas jasa interkoneksi incoming callyang diserahkan oleh In kepada pihak operator diluar daerah pabean, sepanjang jasainterkoneksi incoming call tersebut dilakukan oleh In didalam daerah pabean, dikenai PPNkarena merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean;

4) Surat Direktur Peraturan Pepajakan I Nomor S-1258/PJ.02/2012 tanggal 21 Desember 2012kepada Kepala KPP Wajib Pajak Besar Empat hal Perlakuan PPN atas Jasa lnterkoneksimenegaskan bahwa dalam transaksi interkoneksi internasional untuk incoming call,sepanjang operator dalam negeri melakukan jasa interkoneksi internasional tersebut didalam daerah pabean, terjadi penyerahan jasa interkoneksi internasional yang merupakanpenyerahan jasa kena pajak di dalam daerah pabean, di mana atas penyerahan jasainterkoneksi intemasional tersebut dikenai PPN dengan tarif 10% (sepuluh persen);

Tanggapan Terbanding:

bahwa pada dasarnya, alasan banding Pemohon Banding adalah sama dengan alasankeberatannya, yang telah diterbitkan keputusan yang menolak keberatan Pemohon Bandingdengan alasan-alasan sebagaimana dijelaskan pada bagian I pada halaman sebelumnya;

bahwa untuk menegaskan tanggapan Terbanding, Pemohon Banding sajikan kembali pokok-pokok tanggapan terbanding sebagai berikut;

bahwa menurut Terbanding Penyerahan Jasa Interkoneksi Incoming Call merupakanpenyerahan Jasa Kena Pajak Dalam Daerah Pabean sebagaimana ketentuan Pasal 4 Ayat (1)huruf c UU PPN sehingga terutang PPN sebesar 10%;

bahwa yang menjadi pokok sengketa ada menurut Pemohon Banding Jasa InterkoneksiIncoming Call penyerahannya dilakukan di Luar Daerah Pabean;

bahwa menurut Terbanding, penyerahan Jasa Interkoneksi Incoming Call merupakanpenyerahan Jasa Kena Pajak di Dalam Daerah Pabean sehingga terutang PPN 10%, hal inidapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut;

bahwa berdasarkan hasil penelitian Terbanding pada proses pemeriksaan dan keberatan dapatdiketahui bahwa Pemohon Banding memperoleh Penghasilan dari perusahaan telekomunikasidi Luar Negeri atas Jasa Interkoneksi Incoming Call;

bahwa Jasa Interkoneksi Incoming Call adalah berupa pemberian jasa menghubungkansambungan telepon dari pelanggan di luar negeri kepada pelanggan di dalam negeri;

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 10: Menurut Terbanding

bahwa pelanggan (penelpon) di luar negeri melakukan panggilan telepon melalui perusahaantelekomunikasi di luar negeri yang kemudian menghubungkannya dengan perusahaantelekomunikasi di dalam negeri yaitu Pemohon Banding yang selanjutkan menghbungkansambungan telepon tersebut kepada pelanggan di dalam negeri (penerima telepon);

bahwa menurut Pemohon Banding, terjadinya penyerahan jasa oleh Pemohon Banding padatitik Interkoneksi (Point of Interconection/ POI) yang menurut Pemohon Banding POI tersebutberada di luar negeri yaitu di Singapura atau di Hongkong. Dengan demikian disimpulkan olehPemohon Banding penyerahan jasanya dilakukan di luar daerah pabean;

bahwa menurut Terbanding penyerahan jasa tidak saja terjadi di Point on Interconection (POI)tetapi terjadi dalam rangkaian proses sejak dari POI sampai dengan sambungan telepontersebut diterima oleh pelanggan di dalam negeri;

bahwa menurut Terbanding POI tersebut pada dasarnya tempat terjadinya koneksi antaraperusahaan telekomunikasi di Luar Negeri dengan Pemohon Banding. Namunkoneksi/sambungan telepon tersebut tidak berhenti pada titik interkoneksi (POI) karene dari titikPOI tersebut sambungan telepon akan akan disalurkan melalui saluran/jalur komunikasi yangdimiliki/dikuasi oleh Pemohon Banding;

bahwa menurut Terbanding penyerahan jasa terjadi mulai dari POI kemudian melalui KabelBawah Laut (sebagaimana yang dijelaskan oleh Pemohon Banding sendiri) menuju InfrastrukturTelekomunikasi Pemohon Banding di Indonesia. Proses selanjutnya dari InfrastrukturTelekomunikasi yang umumnya dimiliki oleh perusahaan jasa telekomunikasi (antara lainBTS/Base Transceiver Station, BSC/ Base Station Controler, Network Sub System/NSS),sampai dengan panggailan tersebut diterima oleh perangkat pelanggan (Mobile StationEquipment/ HP) didalam negeri;

bahwa berdasakan penjelasan Pemohon Banding, menurut Terbanding, tidak mungkin terjadikomunikasi langsung dari POI langsung diterima oleh pelanggan di dalam negeri, tanpa melaluiproses yang dijelaskan di atas;

bahwa menurut Terbanding, dari rangkaian proses di atas, dapat disimpulkan bahwapenyerahan Jasa Interkoneksi Incoming Call terjadi di dalam negeri yaitu dari infrastrukturtelekomunikasi Pemohon Banding di dalam negeri sampai dengan panggilan tersebut diterimaoleh pelanggan di dalam negeri;

bahwa menurut Terbanding Prinsip pengenaan PPN atas Jasa adalah pada Penyerahan JasaKena Pajak tersebut, bukan berdasarkan pemanfaatan;

bahwa berdasarkan UU PPN aturan pelaksanannya dapat diketahui bahwa prinsip pengenaanPPN atas Jasa adalah pada saat Penyerahan Jasa Kena Pajak tersebut. Hal tersebut diaturdalam UU dan Peraturan Pemerintah sebagai berikut;

bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN mengatur bahwa Pajak Pertambahan Nilaidikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan olehPengusaha. Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN menyatakan antara lain bahwapenyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut :1) jasa yang diserahkan merupakan Jasa kena Pajak;2) penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan3) penyerahannya dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya

bahwa Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2012 yang merupakan peraturanpelaksanaan atas UU PPN yang menyatakan bahwa :

“Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerahpabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang dimanfaatkan di dalam atau di luar DaerahPabean “

bahwa memori penjelasan Pasal 6 PP No. 1 Tahun 2012 menjelaskan bahwa:

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 11: Menurut Terbanding

“Sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-undang Pajak Pertambahan NilaiBarang dan Jasa yang menyatakan bahwa penyerahan jasa yang terutang pajak harusmemenuhi syarat sebagai berikut :1) jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak2) penyerahannya dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan3) penyerahannya dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya,maka terutangnya Pajak Pertambahan Nilai tidak mensyaratkan apakah jasa harus dikonsumsiatau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean atau tidak”

bahwa berdasarkan penjelasan di atas, ketika jasa diserahkan oleh Pemohon Banding yaitudalam bentuk fasilitas infrastruktur yang menyambungkan panggilan dari luar negeri kepelanggan di dalam negeri, maka telah terjadi penyerahan jasa di dalam daerah pabean;

bahwa penyerahan jasa tersebut juga memenuhi 3 (tiga) kriteria penyerahan Jasa yangterutang PPN yaitu :1) Bahwa jasa yang diserahkan tidak termasuk jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN

sebagaimana di atur dalam Pasal 4A ayat (3) UU PPN, sehingga jasa Interkoneksi IncomingCall merupakan Jasa Kena Pajak

2) Bahwa penyerahannya dilakukan di dalam daerah pabean sebagaimana telah Terbandingjelaskan sebelumnya

3) Bahwa penyerahan Jasa Interkoneksi Incoming Call tersebut merupakan bagian darikegiatan usaha Pemohon Banding

bahwa berdasarkan ketentuan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyerahan Jasa InterkoneksiIncoming Call tersebut terutang PPN sebesar 10%;

bahwa dari dokumen-dokumen transaksi Jasa Interkoneksi Incoming Call dapat diketahuibahwa dokumen-dokumen tersebut mendukung adanya perhitungan pemberian jasa yangdilakukan oleh Pemohon Banding di dalam daerah pabean;

bahwa berdasarkan dokumen Perjanjian (Agreement) antara Pemohon Banding denganSingapore Telecommunication Ltd (SingteI) diketahui jenis-jenis traffic (Traffic Type), Rate perminutes, dan Dialling Codes;

bahwa berdasarkan penelitian terhadap Invoice Penagihan Jasa Incoming Call diketahuisebagai berikut:1) Jenis tagihan yang tercantum dalam kolom “Description” adalah “Telephone for .... (mmmm

yyyy)” atau “Telephone Traffic For ... (mmmm yyyy)”. Contoh : “Telephone For August 2013”atau “Telephone Traffic For June 2013”.

2) Invoice diterbitkan kepada Operator di luar negeri berdasarkan periode tertentu.3) Terdapat kolom Jenis layanan atau “Service” seperti In Mobile, Non In Mobile, ISDN,

Satellite, dll.4) Dasar penghitungan adalah Jenis Layanan, Jumlah Menit dan Rate per Minutes5) Menurut Terbanding, berdasarkan data-data tersebut, pemberian jasa dilakukan kepada

perusahaan telekomunikasi di luar negeri atas pemakaian fasilitas/inftrastruktur yangdigunakan untuk mengakomasi sambungan/panggilan telepon dari luar negeri kepadapenerima panggilan/pelanggan di dalam negeri. Pemakaian/penggunaan fasiltas/infrastrukuttersebut diukur secara matematis untuk menghasilkan berapa nilai penggantian atas jasainterkoneksi incoming call yang telah diserahkan kepada perusahaan telekomunikasi luarnegeri tersebut.

bahwa terkait koreksi Penyerahan yang PPNnya Harus Dipungut Sendiri, menurut Terbanding,pemberian jasa interkoneksi incoming call adalah jasa yang diberikan kepada perusahaantelekomunikasi di luar negeri dalam bentuk pemakaian fasilitas/infrastruktur yang digunakanuntuk mengakomasi sambungan/panggilan telepon dari luar negeri kepada penerimapanggilan/pelanggan di dalam negeri. Menurut Terbanding, jasa interkoneksi incoming callmerupakan penyerahan jasa yang dilakukan di dalam daerah pabean sehingga terutang PPNsebagaimana ketentuan Pasal 4 Ayat (1) huruf c UU PPN jo. Pasal 6 PP Nomor 1 Tahun 2012;

bahwa berdasarkan uraian di atas, Keputusan Terbanding Nomor KEP-00926/KEB/WPJ.19/2017 tanggal 30 Desember 2016 perihal Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak LebihBayar PPN Barang dan Jasa Nomor 00001/407/13/092/16 tanggal 8 Januari 2016 masa pajak

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 12: Menurut Terbanding

Des-Des 2013 telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;

bahwa Terbanding mengusulkan agar Majelis Hakim Yang Mulia menolak permohonan BandingPemohon Banding dan mempertahankan Keputusan Terbanding Nomor KEP-00926/KEB/WPJ.19/2017 tanggal 30 Desember 2016 perihal Keberatan atas Surat KetetapanPajak Lebih Bayar PPN Barang dan Jasa Nomor 00001/407/13/092/16 tanggal 8 Januari 2016masa pajak Des-Des 2013;

Menurut Pemohon Banding:

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan oleh Tim PenelaahKeberatan yang menganggap bahwa Penyerahan Jasa International Incoming Call yangdilakukan Pemohon Banding adalah penyerahan yang terutang PPN. Adapun penjelasan dariPemohon Banding adalah sebagai berikut :

1. Penyerahan Jasa International Incoming Call adalah penyerahan jasa yang tidak terhutangPPN.

bahwa Surat Penegasan tertulis Direktorat Jendral Pajak Nomor S-56/PJ.322/1998 kepadaPemohon Banding secara tegas menegaskan bahwa dalam internasional traffic incoming calldimana penerima jasa berada di luar Daerah Pabean dan jasa tersebut diserahkan secaraserentak oleh penyelenggara telekomunikasi di luar negeri, Pemohon Banding kepadapelanggan di luar negeri maka atas jasa yang diserahkan oleh Pemohon Banding tidak terutangPPN. Dengan demikian, berdasarkan Surat Penegasan tersebut Penyerahan Jasa Interkoneksitrafficincoming call yang sesungguhnya dan nyata-nyata dilakukan di luar daerah pabean dandimanfaatkan diluar daerah pabean oleh pelanggan provider luar negeri adalah tidak terutangPPN. Jasa Interkoneksi trafficincoming call yang dilakukan oleh Pemohon Banding dari dahuluhingga saat ini pun juga sama dan tidak ada perubahan sama sekali;

bahwa perlu untuk diketahui, dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, setiap hubunganyang disalurkan senantiasa menuntut adanya keterhubungan (interkoneksi) jaringan komunikasiyang ada, baik antara jaringan satu penyelenggara dengan jaringan satu atau beberapapenyelenggara lain di dalam negeri maupun antara satu penyelenggara lain di dalam negerimaupun satu penyelenggara di suatu Negara dengan satu atau lebih penyelenggara di negaralain. Interkoneksi dilaksanakan untuk memberikan jaminan kepada pelanggan agar dapatmengakses jasa telekomunikasi. Dalam hal ini Interkoneksi dibedakan atas:

a. Interkoneksi Domestik, yaitu jasa penyediaan sarana telekomunikasi antara penyelenggarajaringan telekomunikasi yang satu dengan yang lainnya di dalam negeri, dan

b. Interkoneksi Internasional, yaitu jasa penyediaan sarana telekomunikasi antarapenyelenggara jaringan telekomunikasi yang berada di dalam negeri dengan yang lainnya diluar negeri.

bahwa secara operasional, jasa interkoneksi internasional dapat dibedakan atas:1. Traffic outgoingcall adalah berasal dari percakapan yang dilakukan oleh pelanggan di dalam

negeri kepada pelanggan di luar negeri. Inisiasi panggilan berasal dari dalam daerahpabean;

2. Traffic incomingcall adalah berasal dari percakapan yang dilakukan oleh pihak luar negerikepada pelanggan di Indonesia.Inisiasi panggilan berasal dari luar daerah pabean (luarnegeri).Dalam hal ini penyelenggara jasa adalah pihak provider telekomunikasi luar negeri(di luar Daerah Pabean Indonesia);

bahwa penghasilan yang diterima Pemohon Banding atas jasa interkoneksi internasional–trafficincoming call adalah penghasilan atas keterhubungan komunikasi/percakapan dari panggilanpelanggan provider telekomunikasi luar negeri yang berada di luar negeri/negaranya kepelanggan provider telekomunikasi di wilayah Indonesia yang dihubungkan melalui penggunaansistem komunikasi kabel laut yang secara serentak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 13: Menurut Terbanding

pelanggan provider di Luar Negeri dalam kegiatan melakukan panggilan ke penerima telepon diwilayah Indonesia. Hal ini adalah jasa interkoneksi internasional traffic incoming call yangdilakukan oleh Pemohon Banding;

bahwa jasa interkoneksi merupakan jasa kena pajak yang terutang PPN. Akan tetapi,berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf c, UU PPN, yaitu ”Pajak Pertambahan Nilai dikenakan ataspenyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.”Pemohon Banding sependapat bahwa jasa interkoneksi adalah jasa kena pajak dan terutangPPN, dan Pemohon Banding juga memungut PPN atas transaksi jasa interkoneksi domestikkarena berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-01/PJ.54/2000, jasa interkoneksiadalah jasa kena pajak di mana penyerahannya terutang PPN. Jasa interkoneksi yang terutangPPN adalah jasa interkoneksi yang penyerahannya dilakukan di dalam daerah pabeansebagaimana dimaksud dengan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN. Oleh karena itu, dalam halpenyerahan jasa interkoneksi di luar daerah pabean adalah bukan penyerahan jasainterkoneksi yang terutang PPN;

bahwa pada dasarnya sifat dari transaksi ini adalah penyerahan jasa telekomunikasi providerluar negeri kepada pelanggannya yang melakukan panggilan saat sedang berada di negaranyake Indonesia dengan menggunakan sistem komunikasi kabel laut atau untuk Pemohon Bandingdisebut dengan traffic incoming call international. Penyerahan jasa ke pelanggan dalamtransaksi ini dilakukan oleh provider telekomunikasi di luar negeri.

bahwa dalam melakukan panggilan ke wilayah Indonesia, provider di luar negeri tersebutbekerjasama dengan Pemohon Banding agar dapat menghubungkan komunikasi danpercakapan dari para pelanggan mereka yang ditujukan ke penerima telepon/komunikasi diwilayah Indonesia. Ketika pelanggan dari provider di luar negeri tersebut melakukan panggilankepada penerima panggilan (penerima telepon/ komunikasi) di wilayah Indonesia, dimanaprovider di luar negeri tersebut menyambungkan dengan menggunakan sistem komunikasikabel laut, maka pelanggan dari provider di luar negeri tersebut akan ditagih oleh provider diluar negeri tersebut sebesar atas seluruh alur panggilan dari pelanggan yang melakukanpanggilan sampai ke penerima panggilan;

bahwa Pelanggan dari provider di luar negeri tersebut akan membayar tagihan tersebut kepadaprovider di luar negeri, atas pembayaran yang diterima oleh provider di luar negeri tersebut,terdapat sharing income yang merupakan hak yang harus diberikan kepada Pemohon Bandingatas keterhubungan panggilan ke wilayah Indonesia yang menggunakan sistem komunikasikabel laut. Oleh karena itu, Pemohon Banding akan menagih hakatas traffic incoming callinternasional kepada provider di luar negeri tersebut. Dalam penagihannya, Pemohon Bandingtidak memungut PPN karena pada dasarnya, penyerahan jasa yang dilakukan oleh PemohonBanding adalah penyerahan di luar daerah pabean sehingga atas penyerahan jasa tersebut,tidak terutang PPN;

bahwa kini sambungan telekomunikasi internasional sebagian besar keterhubungannya melaluiSistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL), yaitu jaringan kabel laut internasional, dimana sistemjaringan kabel laut tersebut merupakan satu kesatuan sistem telekomunikasi yang tidak dapatdipisahkan dengan batas teritorial suatu negara. Sehingga dalam hal traffic incoming callinternasional, maka hak yang akan ditagihkan Pemohon Banding adalah atas keterhubungandengan sistem komunikasi kabel laut yang ditentukan dari lokasi titik interkoneksi (point ofinterconection) yang dimiliki Pemohon Banding di luar negeri (di luar daerah pabean). Olehkarena itu, titik penyerahan atas suatu transaksi interkoneksi traffic incoming callinternationaladalah pada point of interconection dari suatu sistem jaringan telekomunikasi internasional,dimana point of interconnection keterhubungan jaringan provider telekomunikasi dari luar negeridengan jaringan telekomunikasi Pemohon Banding, berada di luar negeri (di luar daerahpabean);

bahwa berkaitan dengan hubungan interkoneksi internasional dengan operator luar negeri,Pemohon Banding membangun jaringan dengan point of interconnection di luar daerah pabeanyaitu di Singapura dan Hongkong. Berikut Pemohon Banding jelaskan dengan gambarmengenai interkoneksi internasional atas traffic incoming call , yaitu panggilan dari luar negerike Indonesia dengan sistem komunikasi kabel laut dalam gambar di bawah ini;

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 14: Menurut Terbanding

Gambar mengenai InterkoneksiInternasional(TrafficIncoming Call)

bahwa berdasarkan gambar di atas, dapat dilihat bahwa point of interconnection beradadi luar daerah pabean. Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) antara jaringan PemohonBanding dan provider di luar negeri keterhubungannya dibentuk dengan media kabelbawah laut. Point of interconnection menjadi titik temu keterhubungan antara jaringanPemohon Banding dan jaringan provider di luar negeri. Titik temu keterhubungan inilahyang merupakan tempat terjadinya penyerahan jasa interkoneksi dari PemohonBanding kepada pelanggan provider di luar negeri. Pemohon Banding akan menagihsesuai dengan adanya keterhubungan pada point of interconnection. Oleh karena itu,Pemohon Banding tidak setuju jika atas sharing incomedari interkoneksi trafficincomingcall international yang diinisiasi oleh pelanggan provider telekomunikasi di luarnegeri kepada pelanggan provider telekomunikasi di Indonesia dikenakan PPN karenamemang pada kenyataannya penyerahan jasa interkoneksi tersebut tidak diserahkan didalam daerah pabean melainkan di luar daerah pabean;

bahwa selain itu, dalam skema traffic incomingcall tersebut, provider di luar negeritelah mengenakan pajak kepada pelanggannya atas seluruh penagihannya baik dalampenggunaan sambungan komunikasi lokal/domestik maupun internasional. Oleh karenaitu, jika Direktur Jendral Pajak juga mengenakan PPN atas transaksi ini, maka transaksiini akan menimbulkan pengenaan pajak berganda. Oleh karena itu, dalam transaksiinterkoneksitraffic incoming call internasional ini, seharusnya tidak terutang PPN;

bahwa sebagai tambahan informasi, Pengadilan Pajak juga telah memutuskansengketa yang sama melalui putusan Nomor 50292/PP/M.II/16/2014 terhadap SuratKeputusan Keberatan Nomor KEP-730/WPJ.19/2012 tentang Keberatan SKPKB PPNMasa Desember 2009 dan Putusan Nomor 60776/PP/M.IIA/16/2015 terhadap SuratKeputusan Keberatan Nomor KEP-1288/WPJ.19/2013 tentang Keberatan atas SKPKBPPN masa Desember 2010, dimana menurut majelis hakim pengadilan pajak atastransaksi interkoneksitraffic incoming call internasional Pemohon Bandig adalah tidakterutang PPN;

bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding di atas, maka seharusnyapenyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri oleh Pemohon Banding adalahsebesar Rp.1.805.960.085.228 (bukan Rp.1.883.365.735.824);

2. Penyerahan Jasa International Incoming Call bukan merupakan penyerahan yangtidak terhutang PPN sebagaimana diatur dalam PMK 78/PMK.03/2010 tanggal 1April 2010

bahwa berdasarkan penjelasan pada butir sebelumnya, Penyerahan Jasa InternationalIncoming Call yang dilakukan oleh Pemohon Banding bukan merupakan penyerahanyang terhutang PPN. Hal ini dikarenakan Jasa International Incoming Call tidak

LuarNegeriIndonesia Providerdiluarnegeri

PemohonBanding

Pelanggandariprovider di luarnegeri

Penagihan +Pajak

Point ofInterconnection

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 15: Menurut Terbanding

memenuhi syarat penyerahan jasa yang terutang PPN sebagaimana dimaksud padaPasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN. Di sisi lain Jasa International Incoming Call jugabukan merupakan penyerahan jasa yang tidak terhutang PPN sebagaimana dimaksuddalam Pasal 4A dan Pasal 16B UU PPN. Dalam hal ini maka pendapat Terbandingpada saat pemeriksaan yang mempergunakan PMK 78/PMK.03/2010 (”PMK 78”) untukmelakukan perhitungan kembali atas Pajak Masukan yang dapat dikreditkan olehPemohon Banding adalah tidak tepat;

bahwa perlu untuk diketahui, pada PMK 78/PMK.03/2010, Perhitungan kembali PajakMasukan yang dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak yang melakukan penyerahanterutang PPN dan tidak terutang PPN dibatasi hanya untuk Wajib Pajak yangmemenuhi definisi melakukan penyerahan terutang PPN dan tidak terutang PPNsebagaimana diatur dalam PMK 78/PMK.03/2010. Adapun definisi penyerahan terutangPPN dan tidak terutang PPN diatur pada Pasal 1 ayat (6) dan (7) PMK 78/PMK.03/2010sebagai berikut :

”Dalam peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :6. Penyerahan yang Terutang Pajak adalah penyerahan barang atau jasa yang dikenai

Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Undang-UndangPajak Pertambahan Nilai, tidak termasuk penyerahan yang dibebaskan daripengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16BUndang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

7. Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak adalah penyerahan barang dan jasayang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan yang dibebaskan daripengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16BUndang-Undang Pajak Pertambahan Nilai”.

bahwa dalam PMK 78/PMK.03/2010 tersebut secara jelas diatur bahwa perhitungankembali pajak masukan hanya diberlakukan bagi Wajib Pajak yang melakukanpenyerahan yang tidak terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 4A dan Pasal 16BUU PPN. Dalam hal ini penyerahan Jasa Interkoneksi/International Incoming Calladalah penyerahan yang tidak terutang pajak karena tidak dipenuhinya persyaratanPasal 4 ayat (1) huruf (c) Undang-Undang PPN yaitu tidak dilakukan di dalam DaerahPabean Indonesia;

bahwa sesuai penjelasan di atas, penggunaan PMK 78 oleh Terbanding untukmenghitung kembali pajak masukan yang dapat dikreditkan oleh Pemohon Bandingpada saat pemeriksaan adalah tidak tepat. Dengan demikian, perhitungan PajakMasukan yang dilakukan oleh Pemohon Banding telah tepat dan atas seluruh PajakMasukan yang dimiliki oleh Pemohon Banding dapat dikreditkan;

bahwa dalam persidangan tanggal 19 Desember 2017 Pemohon Bandingmenyerahkan closing statement dengan isi sebagai berikut;

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang menyatakanbahwa jasa interkoneksi internasional traffic incoming call merupakan penyerahan jasayang PPN-nya harus dipungut sendiri dengan alasan-alasan sebagai berikut;

bahwa Jasa interkoneksi international traffic incoming call terjadi dimulai dari adanyainisiasi panggilan dari pelanggan provider luar negeri di luar negeri kepada pelangganprovider dalam negeri di Indonesia. Untuk dapat menyambungkan panggilan dari luarnegeri sehingga dapat terjadi percakapan diperlukan adanya sambungan dari providerluar negeri dengan Pemohon Banding melalui jasa interkoneksi international incomingcall. Jasa interkoneksi international incoming call terjadi pada saat terjadinyapercakapan antara pelanggan provider luar negeri di luar negeri kepada pelanggan

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 16: Menurut Terbanding

provider dalam negeri di Indonesia, dimana pada saat terjadi percakapan penerima jasa(pihak yang memulai melakukan penggilan) berada di luar daerah pabean dan jasadiserahkan dengan menggunakan fasilitas yang secara fisik berada di luar daerahberupa POI (point of interconnection) yang berada di Singapura dan di Hongkong;

bahwa dari penjelasan di atas, secara jelas dapat dibuktikan baik penyerahan jasainterkoneksi internasional traffic incoming call maupun pemanfaatan jasa tersebutdilakukan di luar daerah pabean. Dengan demikian sesuai dengan ketentuan pasalPasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN jasa interkoneksi internasional traffic incoming calltidak terhutang PPN;

bahwa terkait dengan hal di atas, Pemohon Banding telah menerima Surat KonfirmasiTertulis (tax ruling) dari Direktur Jenderal Pajak Nomor S-56/PJ.322/1998 tertanggal 23Maret 1998 yang ditujukan langsung kepada Pemohon Banding;

bahwa surat konfirmasi tertulis tersebut menegaskan bahwa : “traffic incoming, dimanapenerima jasa berada di luar Daerah Pabean dan jasa tersebut diserahkan secaraserentak oleh penyelenggara teIekomunikasi di luar negeri, Pemohon Banding dan PTTTT kepada pelanggan di luar negeri maka atas jasa yang diserahkan olph PT TTT danPemohon Banding tidak terutang PPN.”

bahwa perlu Pemohon Banding sampaikan bahwa sampai saat ini substansi kegiatanusaha Pemohon Banding terkait pemberian jasa traffic incoming call (interkoneksiinternasional) tidak mengalami perubahan (tetap sama). Dengan demikian SuratKonfirmasi tertulis tersebut seharusnya masih tetap berlaku;

bahwa sehubungan dengan telah diterbitkannya Surat Direktur Jenderal Pajak no. S-963/PJ.53/2015 tanggal 16 November 2015 perihal Penegasan Perlakuan PPN AtasPercakapan SLI yang mengacu pada Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-56/PJ.322/1998 tertanggal 23 Maret 1998, Direktur Jenderal Pajak menegaskan bahwa

“Atas tagihan/pembayaran jasa interkoneksi dalam jalur internasional (trafik incomingdan trafik outgoing) yang meliputi tagihan operator lokal kepada operator di luar negerimaupun tagihan operator luar negeri kepada operator lokal dan penerusan penagihanjasa interkoneksi internasional antar operator lokal, sepanjang penagihan tersebutuntuk pemberian jasa interkoneksi yang dimanfaatkan di dalam Daerah PabeanIndonesia, maka atas tagihan/ pembayaran tersebut dikenakan PPN”;

bahwa dengan demikian jasa interkoneksi internasional traffic incoming call yangdiberikan oleh Pemohon Banding tidak terutang pajak karena baik penyerahan maupunpemanfaatan jasanya dilakukan di luar daerah pabean Indonesia;

bahwa terkait dengan kasus yang sama pada tahun-tahun sebelumnya yaitu tahun2009, 2010, 2011, dan 2012 Pengadilan Pajak telah menerbitkan Putusan BandingNo.Put.50292/PP/M.II/16/2014; Putusan Banding No.Put.60776/PP/M.IIA/16/2015;No.Put.86591/PP/M.IIA/16/2017; dan No.Put.86734/PP/M.IIA/16/2017 yangmemutuskan bahwa atas sengketa jasa interkoneksi internasional traffic incoming call(untuk kasus yang sama) milik Pemohon Banding merupakan penyerahan jasa yangtidak terutang PPN;

bahwa pada Putusan Banding tersebut Majelis berkesimpulan bahwa “jasa interkoneksimemang terutang PPN sepanjang penyerahan jasa a quo dilakukan di dalam daerahpabean”. Bahwa oleh karena jasa a quo dimanfaatkan oleh pelanggan dan provideryang berada di luar daerah pabean, dan biaya interkoneksi juga dikenakan kepadapenyelenggara jaringan asal berada di luar daerah pabean, maka Majelis Hakimberpendapat hanya dalam sengketa ini jasa interkoneksi a quo bukan merupakan obvekPPN. karena tidak terpenuhi unsur-unsur persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 4

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 17: Menurut Terbanding

ayat (1) huruf (c) UU PPN;

bahwa koreksi penyerahan Jasa Interkoneksi Internasional traffic incoming call daripenyerahan yang tidak terutang menjadi penyerahan yang terutang PPN sebesarRp77.405.650.596,00 sudah seharusnya dibatalkan, karena baik penyerahan jasainterkoneksi maupun pemanfaatan jasa tersebut berada di luar daerah pabeansehingga atas jasa tersebut tidak terutang PPN. Hal ini didukung oleh surat konfirmasitertulis no. S-56/PJ.322/1998 tertanggal 23 Maret 1998 dari Direktur Jenderal Pajakyang ditujukan langsung kepada Pemohon Banding dan dipertegas dengan surat no. S-963/PJ.53/2015 tanggal 16 November 2015 yang menyatakan bahwa Jasa InterkoneksiInternasional traffic incoming call tidak terutang PPN;

Menurut Majelis:

bahwa yang menjadi sengketa banding antara Pemohon Banding dengan Terbanding adalahkoreksi DPP PPN Masa Pajak Desember 2013 atas Jasa Interkoneksi Incoming Call sebesarRp.77.405.650.596,00 karena menurut Terbanding Jasa a quo yang diserahkan PemohonBanding kepada pihak operator di luar daerah pabean dilakukan di dalam daerah pabean;

bahwa interkoneksi a quo merupakan bagi hasil (revenue sharing) antara Pemohon Bandingdengan pihak Provider di luar negeri. Pemohon Banding memperoleh sebagian daripendapatan yang ditagihkan dari Provider Luar negeri kepada pelanggannya di luar negeri.Penghasilan yang diterima Pemohon Banding adalah pendapatan atas Jasa InterkoneksiInternational Traffic Incoming Call;

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan oleh Tim PenelaahKeberatan yang menganggap bahwa penghasilan yang diterima Pemohon Banding sebagaibentuk sharing income atas traffic incoming dari Luar Negeri adalah penyerahan yangterutang PPN;

bahwa menurut Terbanding, berdasarkan penelitian administrasi diketahui bahwa PemohonBanding adalah perusahaan yang ruang lingkup usahanya menyelenggarakan jaringandan/atau jasa telekomunikasi serta usaha teknologi informasi, yang dalam kegiatannya antaralain melakukan jasa interkoneksi;

bahwa berdasarkan dokumen Perjanjian (Agreement) antara Pemohon Banding denganSingapore Telecommunication Ltd (Singtel) diketahui jenis-jenis traffic (Traffic Type), Rateper minutes, dan Dialing Codes;

bahwa menurut Terbanding, ketika jasa diserahkan oleh Pemohon Banding yaitu dalam bentukfasilitas infrastruktur yang menyambungkan panggilan dari luar negeri ke pelanggan di dalamnegeri, maka telah terjadi penyerahan jasa di dalam daerah pabean;

bahwa penyerahan jasa tersebut juga memenuhi 3 (tiga) kriteria penyerahan Jasa yangTerutang PPN yaitu:1) Bahwa jasa yang diserahkan tidak termasuk jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN

sebagaimana diatur dalam Pasal 4A ayat (3) Undang-Undang PPN, sehingga jasaInterkoneksi Incoming Call merupakan Jasa Kena Pajak;

2) Bahwa penyerahannya dilakukan di dalam daerah pabean sebagaimana telah dijelaskanoleh Terbanding;

3) Bahwa penyerahan Jasa Interkoneksi Incoming Call tersebut merupakan bagian darikegiatan usaha Pemohon Banding;

bahwa menurut Pemohon Banding, pemberian jasa interkoneksi internasional trafficincoming call, adalah percakapan dari panggilan pelanggan provider telekomunikasi luarnegeri yang berada di luar negeri ke pelanggan provider telekomunikasi di wilayahIndonesia yang dihubungkan melalui penggunaan Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL)yang secara serentak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh pelanggan provider di luar negeridalam kegiatan melakukan panggilan ke penerima telepon di wilayah Indonesia;

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 18: Menurut Terbanding

bahwa dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, setiap hubungan yang disalurkansenantiasa menuntut adanya keterhubungan (interkoneksi) jaringan komunikasi yang ada,baik antara jaringan satu penyelenggara dengan jaringan satu atau beberapa penyelenggaralain di dalam negeri maupun antara satu penyelenggara lain di dalam negeri maupun satupenyelenggara di suatu negara dengan satu atau lebih penyelenggara di negara lain.Interkoneksi dilaksanakan untuk memberikan jaminan kepada pelanggan agar dapatmengakses jasa telekomunikasi. Dalam hal ini Interkoneksi dibedakan atas:

a. Interkoneksi Domestik, yaitu jasa penyediaan sarana telekomunikasi antarapenyelenggara jaringan telekomunikasi yang satu dengan yang lainnya di dalam negeri;dan

b. Interkoneksi Internasional, yaitu jasa penyediaan sarana telekomunikasi antarapenyelenggara jaringan telekomunikasi yang berada di dalam negeri dengan yanglainnya di luar negeri;

bahwa secara operasional, jasa interkoneksi internasional dapat dibedakan atas:1. Traffic outgoing call adalah berasal dari percakapan yang dilakukan oleh pelanggan di

dalam negeri kepada pelanggan di luar negeri. Inisiasi panggilan berasal dari dalamdaerah pabean;

2. Traffic incoming call adalah berasal dari percakapan yang dilakukan oleh pihak luarnegeri kepada pelanggan di Indonesia. Inisiasi panggilan berasal dari luar daerahpabean (luar negeri). Dalam hal ini penyelenggara jasa adalah pihak providertelekomunikasi luar negeri (di luar Daerah Pabean Indonesia);

bahwa Terbanding mendalilkan jasa interkoneksi adalah jasa penyediaan interkoneksi olehPenyelenggara Jaringan Telekomunikasi yang mengakibatkan tersedianya sarana untukberkomunikasi bagi pelanggan Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi yang satu denganyang lainnya. Atas penyerahan jasa interkoneksi a quo terutang Pajak Pertambahan Nilai(PPN) sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf c UU PPN, karena memenuhisyarat:

a. jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;b. penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean;c. penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;

bahwa dalil Terbanding jasa interkoneksi (Traffic Incoming) merupakan obyek yang terutangPPN karena penyerahan jasa a quo dilakukan di dalam daerah pabean;

bahwa argument/penjelasan tertulis Pemohon Banding yang disampaikan dalampersidangan, dinyatakan International Traffic Incoming bukan merupakan obyek PPN,karena:

1. International Traffic incoming, pelanggan provider telekomunikasi luar negeri menelponke pelanggan provider telepon dalam negeri. Dalam hal ini pihak pemberi jasa adalahprovider luar negeri. Jadi pemberi jasa (provider telekomunikasi luar negeri) berada diluar daerah pabean Indonesia, panggilan telepon dilakukan di luar daerah pabeanIndonesia dan yang melakukan panggilan adalah pelanggan provider telekomunikasi diluar daerah pabean. Dengan demikian bahwa International Traffic Incoming bukanmerupakan obyek PPN;

2. Atas jasa interkoneksi dalam jalur internasional (International Traffic Incoming)sebagaimana dimaksud dalam Surat Dirjen Pajak No.S-963/PJ.53/2005 tanggal 16Nopember 2005 dan Surat Direktorat Peraturan Perpajakan I No.S-14/PJ.02/2012tanggal 4 Januari 2012 ditegaskan bahwa International Traffic Incoming merupakanobyek PPN sepanjang jasa incoming call tersebut dilakukan oleh Pemohon Banding didalam daerah pabean Indonesia;

3. Jasa interkoneksi International Incoming Call terjadi pada saat terjadinya percakapanantara pelanggan provider luar negeri di luar negeri kepada pelanggan provider dalamnegeri di Indonesia, di mana pada saat terjadi percakapan penerima jasa (pihak yangmemulai melakukan panggilan) berada di luar daerah pabean dan jasa diserahkan

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 19: Menurut Terbanding

dengan menggunakan fasilitas yang secara fisik berada di luar daerah berupa POI(Point Of Interconnection) yang berada di Singapura dan di Hongkong.

4. bahwa menurut Pemohon Banding secara jelas dapat dibuktikan, bahwa baikpenyerahan jasa interkoneksi international traffic incoming call maupun pemanfaatanjasa tersebut dilakukan di luar daerah pabean. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 4ayat (1) huruf c Undang-Undang PPN sehingga jasa interkoneksi international trafficincoming call tidak terutang PPN;

5. bahwa terkait dengan hal tersebut, Pemohon Banding juga telah menerima SuratKonfirmasi Tertulis (tax ruling) dari Direktur Jenderal Pajak Nomor S-56/PJ.322/1998tanggal 23 Maret 1998 yang ditujukan langsung kepada Pemohon Banding, yangmenegaskan bahwa:“traffic incoming call di mana penerima jasa berada di luar Daerah Pabean dan jasatersebut diserahkan secara serentak oleh penyelenggara telekomunikasi di luar negeri,Pemohon Banding. dan PT. TTT kepada pelanggan di luar negeri maka atas jasa yangdiserahkan oleh PT. TTT dan Pemohon Banding. tidak terutang PPN”;

bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Komunikasi dan InformatikaNo.08/Per/MKOMINF/02/2006 tentang Interkoneksi, dinyatakan interkoneksi adalahketersambungan antar jaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringantelekomunikasi yang berbeda;

bahwa Pasal 4A Undang-Undang Republik Indonesia No.8 Tahun 1983 tentang PajakPertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimanatelah diubah dengan Undang-Undang No.42 Tahun 2009 (UU PPN) menyebutkan, jenis jasayang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah jasa tertentu dalam kelompoksebagai berikut:a. jasa pelayanan kesehatan medis;b. jasa pelayanan sosial;c. jasa pengiriman surat dengan perangko;d. jasa keuangan;e. jasa asuransi;f. jasa keagamaan;g. jasa pendidikan;h. jasa kesenian dan hiburan;i. jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;j. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;k. jasa tenaga kerja;l. jasa perhotelan;m. jasa yang disediakan pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara

umum;n. jasa penyediaan tempat parkir;o. jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;p. jasa pengiriman uang dengan wesel pos;q. jasa boga atau katering;

bahwa dalil Pemohon Banding jasa interkoneksi (International Traffic Incoming) bukanmerupakan obyek PPN, karena pelanggan provider luar negeri berada di luar negerimenelpon pelanggan provider dalam negeri berada di Indonesia. Namun Pemohon Bandingmenyetujui bahwa jasa interkoneksi yang penyerahannya dilakukan di dalam daerah pabeanterutang PPN;

bahwa untuk Interkoneksi Internasional yang merupakan Traffic Outgoing Call penggunajasa adalah pelanggan di dalam negeri dan jasa juga diserahkan di dalam negeri atau didalam Daerah Pabean Indonesia. Oleh karena itu sesuai Pasal 4 ayat (1) huruf c danpenjelasannya, penyerahan jasa ini merupakan obyek PPN dan harus dipungut PPN nyaoleh Pemohon;

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 20: Menurut Terbanding

bahwa untuk Interkoneksi Internasional yang merupakan Traffic Incoming Call, penggunajasa adalah pelanggan di luar negeri dan penyerahan jasanya juga di luar negeri atau diluar Daerah Pabean Indonesia. Oleh karena itu tidak memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (1)huruf c UU PPN a quo dan penjelasannya sehingga penyerahan jasa ini bukan merupakanobyek PPN. Bahwa atas penyambungan dari luar negeri kepada pelanggan di Indonesiatersebut Pemohon juga mendapat bagian pembayaran, namun sifatnya bukanlahpembayaran dari pelanggan atau konsumen melainkan pembayaran antar provider.Konsumsi atau pemanfaatan jasa yang sesungguhnya adalah oleh pelanggan di luar negeridan terjadi di luar negeri atau di luar Daerah Pabean;

bahwa dari uraian tersebut di atas, Majelis berkesimpulan bahwa atas Jasa Interkoneksimemang terutang PPN, sepanjang penyerahan jasa a quo dilakukan di dalam daerahpabean. Dalam kenyataan yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak adalah pelanggan danprovider berada di luar daerah pabean, sedangkan yang menyerahkan Jasa Kena Pajakberada di dalam daerah pabean, sehingga saat terutangnya Pajak tidak lagi dikaitkandengan saat penyerahan tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatannya;

bahwa oleh karena jasa a quo dimanfaatkan oleh pelanggan dan provider berada di luardaerah pabean, dan biaya interkoneksi juga dikenakan kepada Penyelenggara jaringan asalberada di luar daerah pabean, maka Majelis berpendapat hanya dalam sengketa ini jasainterkoneksi a quo bukan merupakan obyek PPN, karena tidak terpenuhi unsur-unsurpersyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang PPN a quo.Dengan demikian koreksi Terbanding atas jasa Traffic Incoming Call sebesarRp77.405.650.596,00 tidak dapat dipertahankan;

2. Koreksi Pajak Masukan yang Dapat Diperhitungkan karena Faktur Pajak MasukanDiterbitkan sebelum Tanggal Nomor Seri Faktur Pajak Rp1.324.707.374,00

Menurut Terbanding:

bahwa Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesarRp 1.324.707.374,00 karena Faktur Pajak digunakan sebelum tanggal Pemberitahuan NomorSeri Faktur Pajak (NSFP);

bahwa koreksi Terbanding dilakukan berdasarkan Pasal 13 ayat (8) dan Pasal 13 ayat (9) UUPPN serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012;

bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentangPajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewahsebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun2009 (selanjutnya disebut UU PPN) diatur bahwa Faktur Pajak harus memenuhi persyaratanformal dan material;

bahwa sesuai penjelasan Pasal 13 ayat (9) UU PPN, Faktur Pajak memenuhi persyaratanformal apabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimanadimaksud pada Pasal 13 ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan DirekturJenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 ayat (6);

bahwa sesuai ketentuan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN, Dalam Faktur Pajak harusdicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan JasaKena Pajak yang paling sedikit memuat:a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau

Jasa Kena Pajak;b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima

Jasa Kena Pajak;c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dang. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 21: Menurut Terbanding

bahwa sesuai Pasal 13 ayat (8) UU PPN, Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatanFaktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atauberdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

bahwa sesuai amanat Pasal 13 ayat (8) UU PPN tersebut diterbitkan Peraturan MenteriKeuangan Nomor 84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulanatau Penggantian Faktur Pajak, yang dalam Pasal 13 diatur bahwa Ketentuan lebih lanjutmengenai bentuk dan ukuran formulir, tata cara pengisian keterangan dalam Faktur Pajakdiatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak;

bahwa Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan DalamRangka Pembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara PembatalanFaktur Pajak diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-24/PJ/2012 sebagaimana telah diubah dengan PER-08/PJ/2013, yang mengatur :a) PKP harus membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

Pajak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini;b) Dalam hal PKP melakukan pengisian Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai

dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, makaFaktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap;

c) PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Tidak Lengkap dikenai sanksi administrasi sesuaidengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

d) PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak tidak dapatmengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalam Faktur Pajak TidakLengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2b) dan ayat (8) huruf f UU PPN;

e) Berdasarkan hal tersebut di atas, pengkreditan Faktur Pajak yang digunakan sebelumtanggal Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) tersebut tidak memenuhi ketentuanPasal 9 ayat (8) dan Pasal 13 ayat (5) UU PPN.

bahwa terkait ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 sebagaimana telah diubah dengan PER-08/PJ/2013, telah diterbitkan Surat EdaranDirektur Jenderal Pajak Nomor SE-26/PJ/2015 tentang Penegasan Penggunaan Nomor SeriFaktur Pajak dan Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak, yang menegaskan bahwa :a) Sesuai dengan Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-

24/PJ/2012 dan perubahannya, Faktur Pajak dengan tanggal mendahului (sebelum) tanggalsurat pemberian Nomor Seri Faktur Pajak merupakan Faktur Pajak yang mencantumkanketerangan yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya, merupakan Faktur Pajak TidakLengkap.

b) PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Tidak Lengkap dikenai sanksi administrasi sesuaidengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.Sedangkan bagi PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak tidakdapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalam Faktur Pajak TidakLengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2b) dan ayat (8) huruf f Undang-UndangPajak Pertambahan Nilai.

bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Faktur Pajak yang digunakan sebelum tanggalPemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) merupakan faktur pajak yang mencantumkanketerangan yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya sehingga merupakan faktur pajaktidak lengkap;

bahwa berdasarkan data dan fakta serta ketentuan perpajakan terkait sebagaimana diuraikan diatas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;

bahwa koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp1.324.707.374,00karena Faktur Pajak digunakan sebelum tanggal Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak(NSFP);

bahwa dasar hukum koreksi adalah Pasal 13 ayat (8) dan Pasal 13 ayat (9) UU PPN sertaPeraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012;

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 22: Menurut Terbanding

bahwa sesuai Pasal 13 ayat (9) UU PPN beserta penjelasannya, Faktur Pajak harus memenuhipersyaratan formal dan material. Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisilengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13ayat (5);

bahwa sesuai Pasal 13 ayat (5) huruf f UU PPN, Faktur Pajak paling sedikit memuat keterangankode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;

bahwa sesuai Pasal 13 ayat (8) UU PPN, Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatanFaktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atauberdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

bahwa sesuai amanat Pasal 13 ayat (8) UU PPN tersebut diterbitkan Peraturan MenteriKeuangan Nomor 84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulanatau Penggantian Faktur Pajak, yang dalam Pasal 13 diatur bahwa Ketentuan lebih lanjutmengenai bentuk dan ukuran formulir, tata cara pengisian keterangan dalam Faktur Pajakdiatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak;

bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur terkait Saat pembuatan, bentuk,ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian dan tata cara pembetulan Faktur Pajak adalahPER-24/PJ/2012 beserta perubahannya;

bahwa sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-24/PJ/2012 sebagaimana telahdiubah dengan PER-08/PJ/2013 diatur bahwa Dalam hal PKP melakukan pengisian Kode danNomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalamPeraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan FakturPajak Tidak Lengkap. PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak tidakdapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalarn Faktur Pajak TidakLengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2b) dan ayat (8) huruf f UU PPN;

bahwa disamping itu, sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-26/PJ/2015tentang Penegasan Penggunaan Nomor Seri Faktur Pajak dan Tata Cara Pembuatan FakturPajak ditegaskan bahwa Faktur Pajak dengan tanggal mendahului (sebelum) tanggal suratpemberian Nomor Seri Faktur Pajak merupakan Faktur Pajak yang mencantumkan keteranganyang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya, sehingga merupakan Faktur Pajak TidakLengkap;

bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, Terbanding berpendapat bahwa Faktur Pajak Masukanyang digunakan sebelum tanggal Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) yangdiberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak merupakan faktur pajak yang mencantumkanketerangan yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya sehingga merupakan faktur pajaktidak lengkap. Pengkreditan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi ketentuan Pasal 9 ayat (8),Pasal 13 ayat (5), Pasal 13 ayat (8) dan Pasal 13 ayat (9) UU PPN, Peraturan MenteriKeuangan Nomor 84/PMK.03/2012, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012sebagaimana telah diubah dengan PER-08/PJ/2013, dan Surat Edaran Direktur Jenderal PajakNomor SE-26/PJ./2015;

bahwa dengan demikian sesuai uraian tersebut di atas, diusulkan untuk menolak bandingPemohon Banding dan tetap mempertahankan koreksi atas Pajak masukan yang dapatdiperhitungkan sebesar Rp 1.324.707.374,00;

bahwa dalam persidangan tanggal 19 Desember 2017 Terbanding menyerahkan closingstatement dalam Surat Nomor: S-8041/PJ.07/2017 tanggal 12 Desember 2017 dengan isisebagai berikut;

Penjelasan Koreksi:

bahwa koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp1.324.707.374,00karena Nomor Faktur Pajak digunakan sebelum tanggal Pemberitahuan Nomor Seri FakturPajak (NSFP);

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 23: Menurut Terbanding

bahwa dasar hukum koreksi adalah Pasal 13 ayat (8) dan Pasal 13 ayat (5) UU PPN sertaPeraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-24/PJ/2012;

bahwa sesuai Pasal 13 ayat (9) UU PPN beserta penjelasannya, Faktur Pajak harus memenuhipersyaratan formal dan material. Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisilengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13ayat (5);

bahwa sesuai Pasal 13 ayat (5) huruf f UU PPN, Faktur Pajak paling sedikit memuat keterangankode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;

bahwa sesuai Pasal 13 ayat (8) UU PPN ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatanFaktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atauberdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

bahwa sesuai amanat Pasal 13 ayat (8) UU PPN tersebut diterbitkan Peraturan MenteriKeuangan Nomor 84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulanatau Penggantian Faktur Pajak, yang dalam Pasal 13 diatur bahwa Ketentuan lebih lanjutmengenai bentuk dan ukuran formulir, tata cara pengisian keterangan dalam Faktur Pajakdiatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak;

bahwa aturan pelaksanaan dari PMK Nomor 84/PMK.03/2012 adalah Peraturan DirekturJenderal Pajak Nomor : PER-24/PJ/2012, yang mengatur terkait Saat pembuatan, bentuk,ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian dan tata cara pembetulan Faktur Pajak;

bahwa sesuai PER-24/PJ/2012 sebagaimana telah diubah dengan PER-08/PJ/2013 pada Pasal6 ayat (2) dan Pasal 17 Ayat (3) diatur bahwa Dalam hal PKP melakukan pengisian Kode danNomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalamPeraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan FakturPajak Tidak Lengkap. PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak tidakdapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalam Faktur Pajak Tidaklengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2b) dan ayat (8) huruf f UU PPN;

Tanggapan Terbanding:

bahwa pada dasarnya, alasan banding Pemohon Banding adalah sama dengan alasankeberatannya, yang telah diterbitkan keputusan yang menolak keberatan Pemohon Bandingdengan alasan-alasan sebagaimana dijelaskan pada bagian I pada halaman sebelumnya;

bahwa untuk menegaskan tanggapan Terbanding, Pemohon Banding sajikan kembali pokok-pokok tanggapan Terbanding sebagai berikut;

bahwa koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp1.324.707.374,00karena Nomor Faktur Pajak digunakan sebelum tanggal Pemberitahuan Nomor Seri FakturPajak (NSFP);

bahwa Pemohon Banding tidak keberatan atas jumlah atau rincian dari pajak masukan yangdikoreksi. Yang diajukan banding adalah aspek yuridis yaitu dasar koreksi dari pajak masukantersebut;

bahwa menurut Terbanding, koreksi atas pajak masukan adalah karena faktur pajak tidakmemenuhi ketentuan formal yaitu dalam hal pengisiannya sehingga faktur pajak tersebuttermasuk faktur pajak tidak lengkap, sehingga atas faktur pajak tidak lengkap tersebut tidakdapat dikreditkan oleh Pemohon Banding;

bahwa menurut Terbanding pemenuhan ketentuan formal mempunyai kedudukan yang samapentingnya dengan pemenuhan ketenttuan material sehingga tidak dipenuhinya ketentuanformal faktur pajak menyebabkan faktur pajak tersebut tidak lengkap dan menjadi tidak dapatdikreditkan oleh pembeli/penerima jasa;

bahwa menurut Terbanding dasar hukum koreksi Terbanding adalah sesuai dengan UU danperaturan pelaksanaannya yaitu :

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 24: Menurut Terbanding

1) Pasal 13 ayat (8) dan Pasal 13 ayat (5) UU PPN serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-24/PJ/2012.

2) Pasal 13 ayat (9) UU PPN beserta. penjelasannya, Faktur Pajak harus memenuhipersyaratan formal dan material. Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisilengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada Pasal 13ayat (5) UUPPN.

3) Pasal 13 ayat (5) huruf f UU PPN, Faktur Pajak paling sedikit memuat keterangan kode,nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.

4) Pasal 13 ayat (8) UU PPN ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan FakturPajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atauberdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

5) Sesuai amanat Pasal 13 ayat (8) UU PPN tersebut diterbitkan Peraturan Menteri KeuanganNomor 84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atauPenggantian Faktur Pajak, yang dalam Pasal 13 diatur bahwa Ketentuan lebih lanjutmengenai bentuk dan ukuran formulir, tata cara pengisian keterangan dalam Faktur Pajakdiatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.

6) Bahwa aturan pelaksanaan dari PMK Nomor 84/PMK.03/2012 adalah Peraturan DirekturJenderal Pajak Nomor : PER-24/PJ/2012, yang mengatur terkait Saat pembuatan, bentuk,ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian dan tata cara pembetulan Faktur Pajak.

7) Sesuai PER-24/PJ/2012 sebagaimana telah diubah dengan PER-08/PJ/2013, Pada Pasal 6ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3) diatur bahwa Dalam hal PKP melakukan pengisian Kode danNomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalamPeraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan FakturPajak Tidak Lengkap. PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajaktidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalam Faktur PajakTidak lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2b) dan ayat (8) huruf f UU PPN.

8) Selain yang dijelaskan pada bukti 7) di atas, dalam PER-08/PJ/2013 sebenarnya juga telahdiatur kapan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut dapat mulai digunakan yaitu sejak tanggalsurat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) dan sanksi apabila ketentuan inidilanggar yaitu :

• Pasal 19 Ayat (2)

Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b kemudianmemperoleh surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dari Direktorat Jenderal Pajak,maka Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib menggunakan Nomor Seri Faktur Pajaksebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 sejaktanggal surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak;

• Pasal 6 ayat (2)

Faktur Pajak yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani olehPKP atau pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh PKP untuk menandatanganinya sesuai dengantata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak inimerupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap;

• Pasal 17 ayat (3)

PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak tidak dapat mengkreditkanPajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalam Faktur Pajak Tidak Lengkap sesuai denganketentuan Pasal 9 ayat (2b) dan ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa berdasakan ketentuan Pasal 19 Ayat (2) PER-08/PJ/2012 dapat disimpulkan bahwaNomor Seri Fakutr Pajak digunakan sejak tanggal surat pemberitahuan Nomor Seri FakturPajak. Berdasarkan pemeriksaan, ditemukan bahwa Faktur Pajak yang dikreditkan oleh

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 25: Menurut Terbanding

Pemohon Banding menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang tanggalnya mendahuluitanggal surat pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut. Dengan demikian faktur pajaktersebut tidak mengikuti tata cara yang diatur dalam PER-08/PJ/2012 yang menyebabkan fakturpajak tersebut menjadi faktur pajak tidak lengkap sebagaimana ketentuan Pasal 6 Ayat (2)PER-08/PJ/2012 dan pada akhirnya faktur pajak masukan tersebut tidak dapat dikreditkan olehPemohon Banding sebagaimana ketentuan Pasal 17 Ayat (3) PER-08/PJ/2012;

bahwa terkait koreksi Pajak Masukan yang Dapat Diperhitungkan, menurut Terbanding, fakturpajak masukan yang tanggalnya mendahului tanggal surat pemberian nomor seri faktur pajaktermasuk dalam pengertian faktur pajak tidak lengkap sehingga tidak dapat dikreditkansebagaimana ketentuan Pasal 1 angka 9, Pasal 6 Ayat (2), Pasal 17 Ayat (3) dan Pasal 19 Ayat(2) PER-08/PJ/2013 jo. Pasal 9 ayat (2b) dan Pasal 9 Ayat (8) huruf f UU PPN;

bahwa berdasarkan uraian di atas, Keputusan Terbanding Nomor KEP-00926/KEB/WPJ.19/2017 tanggal 30 Desember 2016 perihal Keberatan atas Surat KetetapanPajak Lebih Bayar PPN Barang dan Jasa Nomor 00001/407/13/092/16 tanggal 8 Januari 2016masa pajak Des-Des 2013 telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakanyang berlaku;

bahwa Terbanding mengusulkan agar Majelis Hakim menolak permohonan Banding PemohonBanding dan mempertahankan Keputusan Terbanding Nomor KEP-00926/KEB/WPJ.19/2017tanggal 30 Desember 2016 perihal Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar PPNBarang dan Jasa Nomor 00001/407/13/092/16 tanggal 8 Januari 2016 masa pajak Des-Des2013;

Menurut Pemohon Banding:

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan oleh Tim PenelaahKeberatan atas Pajak Masukan yang berasal dari penerbit yang menerbitkan Faktur Pajaksebelum tanggal Nomor Seri Faktur Pajak sebesar Rp1.324.707.374,00, dengan alasansebagai berikut:

bahwa Faktur Pajak yang Pemohon Banding terima adalah terkait dengan perolehan BarangKena Pajak atau Jasa Kena Pajak telah diisi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN. Bahwa Faktur Pajak tersebut juga telah dikreditkan sesuaidengan Pasal 9 ayat (2) UU PPN dan PPnBM, dimana Faktur Pajak tersebut telah memenuhipersyaratan formal dan material yang diatur dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9) UU PPN danPPnBM;

bahwa berikut adalah Pasal-Pasal dalam Undang-Undang PPN yang terkait dengan faktur-faktur pajak:

Pasal 1 Nomor 24 UU PPN dan PPnBMPajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar olehPengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa KenaPajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabeandan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang KenaPajak;

Pasal 9 ayat (2) UU PPN dan PPnBMPajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajakyang sama;

Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU PPN dan PPnBMPembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihakyang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihakyang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, atau pihak yangmemanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak PertambahanNilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 26: Menurut Terbanding

sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli Barang Kena Pajak, penerimaJasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak, pihak yang memanfaatkan Barang KenaPajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean, atau pihak yang memanfaatkan Jasa KenaPajak dariluar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak.Pajak Masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkandengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam Masa Pajak yang sama.

Pasal 13 ayat (5) UU PPN danPPnBM

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajakdan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau

Jasa Kena Pajak;b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima

Jasa Kena Pajak;c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dang. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak;

Penjelasan Pasal 13 ayat (5) UU PPN dan PPnBMFaktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untukmengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara lengkap, jelas, dan benar sertaditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untukmenandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewahhanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas BarangMewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkanPajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai denganketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f;Pasal 13 ayat (9) UU PPN dan PPnBMFaktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material;

Penjelasan Pasal 13 ayat (9) UU PPN dan PPnBMFaktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benarsesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diaturdengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6);Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajakmemenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnyamengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, eksporBarang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa KenaPajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan BarangKena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannyadipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayarPajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak ataudokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengankenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahanJasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak TidakBerwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa KenaPajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalamDaerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakandengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material;

Pasal 16F UU PPN dan PPnBMPembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secararenteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telahdibayar;

Penjelasan Pasal 16F UU PPN dan PPnBM

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 27: Menurut Terbanding

Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasabertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila tenyata bahwa pajakyang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli ataupenerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepadapenjual atau pemberi jasa;

bahwa Pasal 7 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-24/PJ/2012, hanyamengatur mengenai,kode dan nomor seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh DirektoratJenderal,dan tidak ditentukan tanggal dimulainya Nomor Seri Faktur Pajak boleh digunakan.Selain itu Pemohon Banding juga tidakmenemukanadanyaPasalatauayat yang menyebutkanNomor Seri Faktur Pajak berlaku sejak tanggal yang tertera di surat pemberitahuan Nomor SeriFaktur Pajak dari KPP.Dengan demikian,seharusnya Pemohon Banding tetap memiliki hakuntuk dapat mengkreditkan jumlah PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut;

bahwa faktur Pajak Masukan tersebut merupakan transaksi pembelian/pengeluaran WajibPajak yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan produksi Wajib Pajak;

bahwa Wajib Pajak telah membayar PPN tersebut melalui PKP Penjual (tidak secara langsungke Kas Negara) sebagaimana diatur dalam peraturan perpajakan Faktur Pajak tersebut jugatelah dibayar dan dilaporkan oleh PKP Penjual/Lawan Transaksi di SPT Masa PPN Penjualdimana hal ini dibuktikan dengan tidak adanya konfirmasi PPN Masukan yang dijawab “tidakada”.Berdasarkan penjelasan tersebut, apabila Terbanding melakukan koreksi pajak masukanPemohon Banding, maka akan terdapat 2 (dua) kali pemungutan PPN atau terjadi double PPN;

bahwa Surat Pemberitahuan dari KPP terkait dengan pemberian NOMOR SERI Faktur Pajak,bersifat “RAHASIA” dan tidak mungkin surat pemberitahuan tersebut diberikan kepadaPemohon Banding selaku PKP Pembeli. Atas hal tersebut tentu merupakan informasi yang diluar kemampuan Pemohon Banding untuk mengetahui satu-persatu tanggal yang tercantum diFaktur Pajak dari para PKP Penjual/Lawan Transaksi Pemohon Banding, apakah sudah sesuaidengan surat pemberitahuan dari KPP mereka. Dengan demikian, kesalahan yang terjadi padafaktur pajak merupakan tanggung jawabdari PKP Penjualdantidakdibebankankepada PemohonBanding;

bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding di atas, maka seharusnya koreksi pajakmasukan atas faktur pajak yang diterbitkan sebelum tanggal pemberitahuan Nomor Seri FakturPajak (NSFP) yang dilakukan oleh Terbanding harus dibatalkan sebesar Rp.1.324.707.374,00;

bahwa dalam persidangan tanggal 19 Desember 2017 Pemohon Banding menyerahkanclosing statement dengan isi sebagai berikut;

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding yang melakukan koreksiPajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pemohon Banding atas Faktur Pajak yangditerbitkan sebelum tanggal Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak dengan alasan-alasansebagai berikut;

bahwa Faktur Pajak yang menjadi segketa adalah faktur Pajak Masukan, yaitu faktur pajakyang diterima oleh Pemohon Banding dari rekanan/vendor pemberi barang/jasa penjualBKP/JKP;

bahwa Faktur Pajak yang diterima oleh Pemohon Banding dari para vendor tersebut telah diisisesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN tentangcara pembuatan faktur pajak. Selain itu, perolehan Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak danJasa Kena Pajak milik Pemohon Banding berkaitan dengan kegiatan usaha Pemohon Bandingdan telah dikreditkan sesuai dengan pasal 9 ayat (2) dan (9) UU PPN. Dengan demikian, fakturpajak masukan yang telah diterima Pemohon Banding telah memenuhi persyaratan formal danmaterial;

bahwa di samping itu Pemohon Banding juga telah melakukan pembayaran PPN kepada lawantransaksi (PKP Penjual) ketika Pemohon Banding membayar tagihan atas barang/jasa kepadalawan transaksi (PKP Penjual). Oleh karena itu seharusnya faktur pajak masukan tersebutdapat dikreditkan oleh Pemohon Banding;

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 28: Menurut Terbanding

bahwa terkait dengan adanya surat Pemberitahuan dari KPP mengenai pemberian Nomor SeriFaktur Pajak (NSFP) milik lawan transaksi Pemohon Banding merupakan pemberitahuan yangbersifat “RAHASIA” yang hanya diketahui oleh pihak vendor/lawan transaksi. Dalam hal iniPemohon Banding selaku PKP Pembeli tidak mungkin mengetahui isi surat pemberitahuantersebut. Hal tersebut merupakan informasi yang di luar kemampuan/kekuasaan PemohonBanding untuk mengetahui satu-persatu tanggal NFSP dengan tanggal yang tercantum padaFaktur Pajak dari para PKP Penjual/Lawan Transaksi Pemohon Banding. Dengan demikiansangat tidak relevan dan tidak adil jika sanksi terkait pemberitahuan NSFP tersebut dikenakankepada Pemohon Banding selaku Pengguna JKP atau pembeli BKP;

bahwa selain hal di atas, Direktorat Jenderal Pajak hanya mengatur mengenai kode dan nomorseri Faktur Pajak, dan tidak ditentukan tanggal dimulainya Nomor Seri Faktur Pajak, sehinggafaktur pajak tersebut tetap dapat digunakan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2)Peraturan Direktur Jenderal Pajak No.PER-24/PJ/2012. Dengan demikian, seharusnyaPemohon Banding tetap memiliki hak untuk dapat mengkreditkan jumlah PPN yang tercantumdalam Faktur Pajak tersebut;

bahwa koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan atas Faktur Pajak yang diterbitkansebelum tanggal Pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak sebesar Rp1.324.707.374,00 sudahseharusnya dibatalkan karena faktur pajak masukan yang dikreditkan oleh Pemohon bandingtermasuk kategori faktur pajak Iengkap sesuai Pasal 13 ayat (5) UU PPN;

bahwa Pemohon Banding telah membayar PPN terutang ke Negara melalui Vendor/lawantransaksi Pemohon Banding. Dalam hal ini tidak ada kerugian Negara atas transaksi ini;

bahwa informasi terkait NSFP bersifat RAHASIA karena hanya diketahui oleh vendor/lawantrasaksi Pemohon Banding sehingga tidak relevan atau tidak adil jika Pemohon Bandingdikenakan sanksi;

Menurut Majelis:

bahwa menurut Terbanding, koreksi atas Pajak Masukan dilakukan karena terdapat FakturPajak yang digunakan sebelum tanggal pemberitahuan Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP);

bahwa dasar hukum koreksi tersebut adalah Pasal 13 ayat (8) dan ayat (9) Undang-UndangPPN serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012, yang mengatur terkaitsaat pembuatan, bentuk, ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian dan tata cara pembetulanFaktur Pajak;

bahwa sesuai Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN beserta penjelasannya, Faktur Pajakharus memenuhi persyaratan formal dan material. Faktur Pajak memenuhi persyaratan formalapabila diisi lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud padaPasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN, yaitu bahwa Faktur Pajak paling sedikit memuatketerangan kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak;

bahwa sesuai Pasal 13 ayat (8) Undang-Undang PPN, ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diaturdengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

bahwa sesuai amanat Pasal 13 ayat (8) Undang-Undang PPN tersebut diterbitkan PeraturanMenteri Keuangan Nomor 84/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata CaraPembetulan atau Penggantian Faktur Pajak, yang dalam Pasal 13 diatur bahwa Ketentuan lebihlanjut mengenai bentuk dan ukuran formulir, tata cara pengisian keterangan dalam Faktur Pajakdiatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak;

bahwa Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur terkait Saat pembuatan, bentuk,ukuran, pengadaan, tata cara penyampaian dan tata cara pembetulan Faktur Pajak adalahPER-24/PJ/2012 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 29: Menurut Terbanding

PER-08/PJ/2013 yang mengatur bahwa dalam hal Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukanpengisian Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang tidak sesuai dengan ketentuansebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Faktur Pajak yangditerbitkan merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap. PKP pembeli Barang Kena Pajak atauPenerima Jasa Kena Pajak tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yangtercantum di dalam Faktur Pajak Tidak Lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2b) danayat (8) huruf f Undang-Undang PPN;

bahwa di samping hal tersebut, sesuai Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-26/PJ/2015 tentang Penegasan Penggunaan Nomor Seri Faktur Pajak dan Tata CaraPembuatan Faktur Pajak ditegaskan bahwa Faktur Pajak dengan tanggal mendahului(sebelum) tanggal surat pemberian Nomor Seri Faktur Pajak, merupakan Faktur Pajak yangmencantumkan keterangan yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya sehinggamerupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap dan oleh sebab itu tidak dapat dikreditkan;

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan oleh Terbanding atasPajak Masukan yang diterima dari penerbit/rekanan/vendor yang menerbitkan Faktur Pajaktersebut karena Faktur Pajak yang diterima oleh Pemohon Banding dari para vendor tersebuttelah diisi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 13 ayat (5)Undang-Undang PPN tentang Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak;

bahwa menurut Pemohon Banding, perolehan Pajak Masukan atas BKP/JKP milik PemohonBanding berkaitan dengan kegiatan usaha Pemohon Banding dan telah dikreditkan sesuaidengan Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) Undang-Undang PPN sehingga Faktur Pajak yangditerima Pemohon Banding telah memenuhi persyaratan formal dan material;

bahwa menurut Pemohon Banding, terkait adanya Surat Pemberitahuan dari KPP mengenaiNomor Seri Faktur Pajak (NSFP) milik lawan transaksi merupakan pemberitahuan yang bersifat“Rahasia” yang hanya diketahui oleh pihak vendor/lawan transaksi. Pemohon Banding selakuPKP Pembeli tidak mungkin mengetahui isi surat pemberitahuan tersebut dan hal tersebutmerupakan informasi yang berada di luar kemampuan/kekuasaan Pemohon Banding untukmengetahui satu-persatu tanggal NSFP dengan tanggal yang tercantum pada Faktur Pajak dariPKP Penjual/Lawan Transaksi Pemohon Banding;

bahwa faktanya, Pemohon Banding telah membayar PPN Terutang ke Kas Negara melaluiVendor/Lawan Transaksi Pemohon Banding sehingga dalam hal ini tidak ada kerugian Negaraatas transaksi ini dan oleh karena itu tidak relevan atau tidak adil jika Pemohon Bandingdikenakan sanksi;

bahwa menurut Pemohon Banding, tata cara penerbitan Faktur Pajak telah sesuai denganketentuan perpajakan sebagaimana diatur pada Undang-undang PPN, Peraturan Pemerintah,Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, yaitu:

bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan telah sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN; bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan telah sesuai dengan PP No. 1 Tahun 2012; bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan telah sesuai dengan PMK No. 84/PMK.03/2012

tentang Tata Cara Pembuatan dan Tata Cara Pembetulan atau Penggantian Faktur Pajak; bahwa aturan pelaksanaan mengenai Faktur Pajak diatur pada PER-24/PJ/2012 tentang

Bentuk, Ukuran, Tata Cara Pengisian Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam rangkaPembuatan, Tata Cara Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan FakturPajak sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur JenderalPajak Nomor PER-17/PJ/2014;

bahwa pada ketentuan tersebut tidak mengatur secara spesifik bahwa penerbitan FakturPajak oleh PKP Penjual/vendor/lawan transaksi harus mendapatkan kode dan nomor seri dariTerbanding terlebih dahulu;

bahwa pada ketentuan tersebut hanya mengatur bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan antaralain:a. Menggunakan kode dan nomor seri yang diberikan oleh Terbanding.b. Kode dan nomor seri yang diberikan harus digunakan di tahun yang sama.c. Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 30: Menurut Terbanding

d. Penulisan Kode dan Nomor Seri pada Faktur Pajak, harus lengkap sesuai denganbanyaknya digit;

e. Nomor Seri Faktur Pajak digunakan untuk penerbitan Faktur Pajak dalam tahun yangsama dengan 2 (dua) digit tahun penerbitan yang tertera dalam Nomor Seri Faktur Pajak;

bahwa dasar hukum yang digunakan dalam koreksi Pajak Masukan oleh Terbanding adalahPeraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata CaraPembetulan, atau Penggantian dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak sebagaimana telahbeberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2014 sebagaimana ditegaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-26/PJ/2015 tentang Penegasan Penggunaan Nomor Seri dan Tata Cara Pembuatan FakturPajak, sebagai dasar hukum Terbanding untuk mengkategorikan Faktur Pajak tersebut sebagaiFaktur Pajak tidak lengkap;

bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP Penjual/vendor terjadi di tahun 2013 sedangkanSE-26/PJ/2015 terbit 2 (dua) tahun setelah Faktur Pajak diterbitkan sehingga menurut MajelisPajak Masukan tersebut dapat dikreditkan;

bahwa menurut Majelis, berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011), menyatakan:

Pasal 7:(1) Jenis dan hierarkie Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;d. Peraturan Pemerintah;e. Peraturan Presiden;f. Peraturan Daerah Provinsi; dang. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarkie sebagaimanadimaksud pada ayat (1);

Penjelasan ayat (2):

Dalam ketentuan ini yang dimaksud “hierarkie” adalah penjenjangan setiap jenis PeraturanPerundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yanglebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebihtinggi.

bahwa menurut Majelis, dasar hukum Terbanding dalam penentuan Faktur Pajak TidakLengkap adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 dan Surat EdaranDirektur Jenderal Pajak Nomor SE-26/PJ/2015, sedangkan dasar hukum koreksi PajakMasukan adalah Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN dan dengan demikian PER-24/PJ/2012 dan SE-26/PJ/2015 tersebut bertentangan dengan ketentuan yang ada di atasnyadan sekaligus tidak sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentangPembentukan Peraturan Perundang-undangan;

bahwa dengan demikian Majelis berkesimpulan dan berketetapan bahwa alasan Terbandingatas Koreksi Kredit Pajak Masukan sebesar Rp1.324.707.374,00 tidak dapat dipertahankan;

bahwa berdasarkan pemeriksaan dalam persidangan, penjelasan Terbanding dan PemohonBanding dalam persidangan, bukti-bukti yang dilampirkan serta data yang ada dalam berkaspermohonan banding, Majelis berkesimpulan bahwa koreksi Terbanding atas Koreksi DasarPengenaan Pajak (DPP) PPN sebesar Rp77.405.650.596,00 dan Koreksi Kredit PajakMasukan sebesar Rp1.324.707.374,00 tidak dapat dipertahankandan sehingga Majelis mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding;

Menimbang:

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 31: Menurut Terbanding

bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak;

Menimbang:

bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi administrasi,kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;

Menimbang:

bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk mengabulkanseluruhnya banding Pemohon Banding, sehingga Dasar Pengenaan Pajak dan Pajak MasukanMasa Pajak Desember 2013 menjadi sebagai berikut :

DPP PPN menurut Terbanding Rp1.978.981.053.077,00Koreksi yang tidak dapat dipertahankan Rp 77.405.650.596,00DPP PPN menurut Majelis Rp1.901.575.402.481,00

Pajak Masukan menurut Terbanding Rp274.291.722.935,00Koreksi yang tidak dapat dipertahankan Rp 1.324.707.374,00Pajak Masukan menurut Majelis Rp275.616.430.309,00

Mengingat:

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan berkaitan;

Memutuskan:

Menyatakan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding atas Keputusan DirekturJenderal Pajak Nomor KEP-00926/KEB/WPJ.19/2016 tanggal 30 Desember 2016 tentangKeberatan atas Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan JasaMasa Pajak Desember 2013 Nomor: 00001/407/13/092/16 tanggal 8 Januari 2016, atas nama:Pemohon Banding, dengan perhitungan sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak- Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri Rp 1,805,960,085,228 - Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN Rp 94,517,995,130 - Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut Rp 1,081,822,123 - Penyerahan yang dibebaskan dari PPN 15,500,000 - Jumlah Rp 1,901,575,402,481 -Atas Penyerahan Barang dan Jasa yang tidak terutang PPN Rp - Jumlah Seluruhan Penyerahan Rp 1,901,575,402,481 Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri Rp 180,596,008,523 Dikurangi :-Pajak Masukan yang dapat diperhitungkanJumlah Pajak yang dapat diperhitungkan Rp 275,616,430,309 Jumlah perhitungan PPN Kurang (Lebih) Bayar Rp (95,020,421,786)

Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangandicukupkan pada hari Selasa tanggal 19 Desember 2017 oleh Hakim Majelis IIA PengadilanPajak dengan susunan Majelis sebagai berikut:

Drs. Bambang Basuki, M.A., M.P.A., sebagai Hakim Ketua,Ali Hakim, S.E., Ak., M.Si., C.A.,, sebagai Hakim Anggota,Yohanes Silverius Winoto, S.E., M.Si., sebagai Hakim Anggota,dengan dibantu olehLukman Latif, S.E., Ak., M.M., sebagai Panitera Pengganti,

Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K

Page 32: Menurut Terbanding

tanggal 15 Mei 2018 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, dihadirioleh Pemohon Banding dan tidak dihadiri oleh Terbanding.

SEKR

ETAR

IATP

ENGAD

ILAN

PAJA

K