MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28...

30
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA JAWABAN PEMERINTAH TERHADAP PEMANDANGAN UMUM FRAKSI-FRAKSI DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN AGAMA Assalamu'alaikum W. W. Saudara Pimpinan dan para Anggota Dewan yang terhormat. Pertama-tama marilah terlebih dahulu kita selaku hamba Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa berupaya untuk bertaqwa kepada-Nya, memanjatkan puji syukur atas segala rahmat, nikrnat dan sehingga pada pagi hari ini kita mendapatkan kesempatan yang sangat berharga dalam kehidupan kita yakni meningkatkan pen.gabdian kita dalam pembangunan bangsa dan negara pada umumnya serta pembangunan hukum pada khususnya, dalam Negara berdasar Pancasila dengan ridha Allah SWT. Selanjutnya izinkanlah kami atas nama Pemerintah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat, atas Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi di DPRI-RI mengenai RUU tentang Peradilan Agama yang telah disampaikan pada Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 12 Juni 1989. Dari Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi, kami mendapat kesan positif bahwa Fraksi-Fraksi menunjukkan' usaha yang sungguh- sungguh untuk menelaah dan menyempurnakan RUU tersebutG Diantara fraksi juga terdapat kesamaan mengenai pokok pikiran yang melandasi RUO Peradilan Agama ini, yang dijadikan titik tolak pernbahasan dan sekaligus menjadi tolok ukur untuk melihat sejauh mana RUU Peradilan Agama ini memenuhi jiwa dan semangat Pancjisila, UUD 1945, GBHN dan Repelita. Pemandangan Umum yang diberikan fraksi-fraksi'berupa saran- saran, pertanyaan-pertanyaan dan perubahan serta perbaikan atas berbagai masalah, sangat berrnanfaat sebagai bahan untuk menyempurnakan RUU ini.

Transcript of MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28...

Page 1: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA

JAWABAN PEMERINTAH TERHADAP PEMANDANGAN UMUM FRAKSI-FRAKSI

DI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ATAS RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN AGAMA

Assalamu'alaikum W. W. Saudara Pimpinan dan para Anggota Dewan yang terhormat.

Pertama-tama marilah terlebih dahulu kita selaku hamba Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa berupaya untuk bertaqwa kepada-Nya, memanjatkan puji syukur atas segala rahmat, nikrnat dan karunia~Nya, sehingga pada pagi hari ini kita mendapatkan kesempatan yang sangat berharga dalam kehidupan kita yakni meningkatkan pen.gabdian kita dalam pembangunan bangsa dan negara pada umumnya serta pembangunan hukum pada khususnya, dalam Negara berdasar Pancasila dengan ridha Allah SWT.

Selanjutnya izinkanlah kami atas nama Pemerintah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat, atas Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi di DPRI-RI mengenai RUU tentang Peradilan Agama yang telah disampaikan pada Rapat Paripurna DPR-RI tanggal 12 Juni 1989.

Dari Pemandangan Umum Fraksi-Fraksi, kami mendapat kesan positif bahwa Fraksi-Fraksi menunjukkan' usaha yang sungguh­sungguh untuk menelaah dan menyempurnakan RUU tersebutG Diantara fraksi juga terdapat kesamaan mengenai pokok pikiran yang melandasi RUO Peradilan Agama ini, yang dijadikan titik tolak pernbahasan dan sekaligus menjadi tolok ukur untuk melihat sejauh mana RUU Peradilan Agama ini memenuhi jiwa dan semangat Pancjisila, UUD 1945, GBHN dan Repelita.

Pemandangan Umum yang diberikan fraksi-fraksi'berupa saran­saran, pertanyaan-pertanyaan dan ususl-usu~ perubahan serta perbaikan atas berbagai masalah, sangat berrnanfaat sebagai bahan untuk menyempurnakan RUU ini.

Page 2: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

2

Pemerintah sangat·berterima kasih kepada Fraksi-Fraksi yang telah menyampaikan penghargaan dan menyambut penyampaian Rancangan Undang-Undang ini dengan perasaan bahagia dan lega serta dengan suatu tekad untuk dengan sungguh-sungguh menyelesaikan Rancangan Undang-Undang ini. Pemerintah juga menyambut dengan perasaan bahagia dan lega pandangan-pandangan Fraksi-Fraksi yang banyak mendukung prinsip-prinsip dan dasar pemikiran yang terkandung dalam Rancangan Undang-Undang. Hal ini pertanda awal yang baik untuk menyelesaikan tugas yang mulia ini dan semoga kita bersama dapat mengakhirinya pula dengan baik.

Banyak masalah yang perlu Pemerintah jawab dan jelaskari dari perrnasalahan yang terdapat dalam Pemandangan Urnum Fraksi­Fraksi. Oleh karena itu pada kesempatan ini, kami mohon kesabaran Saudara Pimpinan dan para anggota Dewan yang terhormat untuk~ mengikuti dan mendengarkan jawaban atau penjelasan Pemerintah ini

Pemerintah berharap Jawaban Pemerintah ini dapat memuaskan anggota Dewan yang terhormat; Tapi apabila masih terdapat hal-hal yang dianggap perlu disempurnakan, dapat kita bahas pada pernbicaraan tingkat selanjutnya.

Saudara Pirnpinan dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat.

Sebelum memasuki permasalahan yang dikemukakan oleh Fraksi-Fraksi di dalam pemandangan umumnya, terlebih dahulu Pemerintah ingin menjelaskan kembali bahwa Peradilan Agama telah tumbuh dan melembaga di bumi Nusantara ini 'sejak Agama Islam dianut oleh penduduk yang berada di wilayah ini, berabad-abad sebelum kehadiran penjajah. Tumbuh dan berkembangnya Peradilan Agama itu adalah karena kebutuhan dan kesadaran hukum sesuai dengan keyakinan mereka.

Dari kepustakaan yang ada diperoleh catatan bahwa sebelum Peradilan.Agama diresmikan pada tahun 1882 Pemerintah kolonial telah mengakui keberadaan dan berjalannya Peradilan Agama di

i

masyarakat Islam Indonesia.

Page 3: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

3

Diantaranya adalah :

1. Pada bulan September 1808 ada suatu instruksi dari Pemerintah Hindia Belanda kepada para Bupati yang berbunyi: "Terhadap urusan-urusan Agama orang Jawa tidak akan dilakukan gangguan­gangguan, sedangkan pernuka-pemuka agama rnereka dibiarkan untuk memutuskan perkara-perkara tertentu dalam bidang perkawinan . dan kewarisan, dengan syarat bahwa tidak akan ada penyalah­gunaan, dan banding dapat dimintakan pada hakim banding"

2. Pada tahun 1820 melalui 5tbl. No. 22 Pasal 13 ditentukanbahwa Bupati wajib memperhatikan soal-soal Agama. Islam dan untuk menjaga supaya para pernuka agama dapat rnelakukan tugas rnerek;l· sesuai dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal Perkawinan, pembagian pusaka dan yang sejenis itu. Dil~i

istilah "Bupati" da1am ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa Peradilan Agarna, telah ada diseluruh pulau Jawa.

3. Pada tahun 1823 dengan resolusi Gubernur Jenderal tanggal 3 Juni 1823 No. 12 diresrnikan Pengadilan Agama di kota Palernbang

.yang diketuai oleh Pangeran Penghulu sedang banding dapat". dimintakan kepada Sultan. Wewenang Pengadilan Agama Palembang meliputi: a. Perkawinan b. Perceraian c. Pembagian harta d. Pada siapa diserahkan anak apabila orang tua bercerai e. Apa hak masing-masing orang tua terhadap anak tersebut f. Pusaka dan wasiat g. Perwalian h. Perkara-perkara lainnya yang rnenyangkut agama.

4. Pada tahun 1835 melalui resolusi tangga~ 7 Desernber 1835 yang dirnuat dalam 5tbl. 1835 ·No. 58 Pemerintah dimasa itu menge­luarkan penjeiasan tentang Pasal 13 5tbl. 1820 No. 20 yang isinya-sebagai berikut:

"Apabila :terjadi sengketa antara orang-orang Jawa satu' sarna lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta dan sengketa-sengketa yang sejenis, .yang ha~us diputus menu rut 'hukum Islam, rnaka para pernuka Agama memberi keputusan, akan

Page 4: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

4

tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul dari keputusan para pemuka agama itu, harus dimajukan kepada pengadilan-pengadilan biasa".

5. Pada tahun 1854 melalui Pasal 78 Regeeringsreglement (RR) 1854 (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan Agama tidak berwenang dalam perkara pidana; b. Apabila menuruthukum-hukum agama atau adat-adatlama

perkara itu 'harus diputus oleh mereka (para penghulu/ peradilan agama).

5elanjutnya dalam Pasal 109 RR 1854 tersebut disebutkan pula bahwa selain berwenang memutuskan perkara antara orang Bumiputera yang beragama Islam, Pengadilan Agama juga berweang

--memutuskan perkara orang Arab dengan orang Arab, orang Moor dengan orang Moor, orang Cina dengan orang Cina, orang India dengan orang India, orang Malaya dengan orang Malaya dan sebagainya yang beragama Islam. Ketentuan-ketentuan dalam RR 1854 tersebut menegaskan kewenangan Pengadilan Agama yang telah ada pada masa sebelumnya diperluas terhadap orang-orang bukan Indonesia tapi beragama Islam seperti tersebut di atas.

Peresmian Pengadilan Agama di Jawa Madura pada tahun 1882 itu terjadi pada saat berkembangnya pendapat dikalangan orang Belanda sendiri bahwa hukum yang berlaku bagi orang-c" !I\tJ

Indonesia asli adalah Undang-Undang Agama mereka yakni hukum Islam. Mereka mengikuti teori yang terkenal. dengan Teori Receptio in Complexu, yang sejak tahun 1855 lelah memperoleh landasan 'peraturan perundang-undangan Hindia Belanda mel~' 1 ui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 '(5tbl. 1855 N'o.2). Sementara itu dikalangan Pemerintah Belanda sendiri tumbuh keinginan untuk memberlakukan di Hindia Belanda kodifikasi hukurn perdata yang terjadi di negeri Belanda pada_ tahun 1838 berdasarkan asas konkordansi. Keinginan ini didorong oleh,anggapan bahwa hukum Eropa, jauh lebih baik dari hukum yang telah ada di Indonesia.

Akari tetapi dalam rangka pelaksanaan hukum Barat (Eropa) itu, Mr. Scholten van Oud Haarlem yang menjadi Ketua Kornisi

Page 5: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

5

penyesuaian undang-undang Belanda dengan keadaan istimewa di Hindia Belanda membuat sebuah nota kepada Pemerintahnya. Dalam nota itu dikatakan bahwa "untuk mencegah timbulnya keadaan yang tidak menyenangkan, mungkin juga perlawanan jika diada­kan pelanggaran terhadap agama orang Bumiputera, maka hatus diikhtiarkan sedapat-dapatnya agar mereka itu dapat tinggal tetap dalam lingkungan (hukum) agama serta adat istiadat mereka".

Lodewijk Willem Christian Van Den Berg berpendapat bahwa, hukurn mengikuti agarna yang dianut seseorang, Jika orang itu beragama Islam, hukum Islamlah yang berlaku baginya. Menurut Van Den Berg, orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai kesatuan.

Kernudian ada peralihan sikap pada pembuat dan penentu kebijakan hukum dan penjajahan di negeri Belanda terhadap jajahannya Hindia Belanda dalarn hal fni mengenai hukurn perdata/ huk:um kekeluargaan. Perubahan sikap ini antara lain dianjurkan oleh Cornelis van Vollenhoven (1874-1933) yang mulai mengeritik dan menyerang Pasal 75 dan 109 RR stbl. 1855: 2 itu. Cornelis van Vollenhoven itu sebenarnya adalah ahli hukum adat, disebut sebagai orang yang memperkenalkan het Indische Adatrecht, hukum adat Indonesia. Dan yang lebih terkenal lagi dalam golongan ini adalah Christian Snouck Hurgronye (1857~1936)~ Dia adal~h penasehat pemerintah Hindi~ Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri. Malahan dia '

sebagai penasehat pertarna pada tahun 1898. Dia bahkan rnenda~ lami hukum dan agama Islam yang ada di Indonesia secara

,khusus.

Christian Snouck Hurgronye yang dikalangan Umat Islam di Indonesia dikenal sangat anti Islam, rnenentang pendapat L.W.C. Van den Berg dan ahli lain sebelum itu yang dikenal dengan teori Receptio in _ Cornplexu itu. Snouck mulai dengan jalan pikiran yang berlawanan sekali, yang kemudian pendapat ini dikenal 'orang dengan sebutan Teori Resepsi. P'enganut al iran Teori Resepsi ini mengemukakan bahwa sebenarnya yang b~rlaku di Indonesia bukan Hukum Islam rnelainkan hukum Adat. Kedalam h4kum adat itu memang masuk Hukum Islam. Hukum Islam baru mernpunyai kekuatan berlaku kalau sudah diterima sebagai hukum Adat.

Page 6: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

6

Politik hukum Hindia Belanda tersebut di atas hanya menyuburkan politik divide et empera dari pemerintah kolonial. Politik hukum tersebut bukan saja merupakan hambatan, bahkan merupakan suatu kemunduran. Dari sudut pandangan inilah dapat dipahami, bahwa tujuan politik hukum Pemerintah kolonial sejak tahun 1906 adalah untuk menghambat dan menghentikan meluasnya hukum Islam dan membentuk konsep hukum tandingan yang mendukung politik ,pecah belah pemerintah kolonial Belanda. Kalau tadinya pemerintah Belanda melancarkan pol i tik hukum yang tidak men'pertahankan hukum Adat, maka se jak itu mereka mulai mengarahkan langkah-Iangkah politik pemerintahannya ke arah seolah-olah menggunakan hukum adat.

Melalui usaha yang terus menerus dan sistematis itu akhirnya mereka berhasil merobah atau menggantikan Teori Receptio in Complexu yang terkandung dalam Pa~al 78 (2) RR Stbl. 1855 nomar 2 yang kemudian menjadi Pasal 134 (2) 1.5. dengan Teori Resepsi, bersamaan dengan adanya penggantian nama Undang-Undang Dasar Hindia Belanda itu dari Regeering­sregl~ment/RR menjadi Indische Staatsreg~ling/I.5. pada tahun 1919, Pasal 134 ayat (2) 1.5. yang baru ini berbunyi: "Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam aka.n diselesaikan oleh Hakim Agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh Hukum Adat mer'eka dan sejauh tidak ditentukan lain aleh ardonansi". Arti pasal ini ialah bahwa hukum Islam yang berlaku hanyalah ,kalau telah diresepsi oleh Hukum Adat. Perobahan tersebut terjadi pada tahun 1929·' melalui 5tbl. 1929 Nomor 221.

Atas dasar perobahan Pasal 134 ayat (2) I.S. itu maka pada tahun 1937 kewenangan Pengadilan 1\g'ama di Jawa-Madura oleh pemerintah,Hindia Belanda diperkecil dan dibatasi melalui Pasal 2a Ordonansi Peradilan di Jawa-Madura 5tbl. 1937 No. 116, yaitu hanya mengenai masalah perkawinan saja. 5edang perkara waris yang selama berabad-abad ini menjadi wewenang Pengadilan Agama dicabut oleh Pemerintah Hindia Belanda dan diserahkan pada Pengadilan Umum. Demikian pula di Kalimantan Selatan d~dirikan Kerapatan Qadli dan Kerapatan Qadli Besar dengan 5tbl. 1937 No. 638 dan 639 yang wewenangnya seperti Pengadilan Agama Jawa-Madura. Perkara Waris di kedua daerah ini diserahkan kepada Pengadilan Umum. Di zaman Jepang tidak terjadi perobahan, kecuali namanya saja.

Page 7: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

7

Setelah Indonesia merdeka langkah pertama yang ditempuh oleh Pemerintah ialah menyerahkan pembinaan Peradilan Agama dari Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama melalui Peraturan Pernerintah No. 5/SD/1946. Kemudianpada tahun 1948 keluar Undang-Undang No. 19 tahun 1948 yang memasukan Peradilan Agama ke Peradilan Umum. Namun sebagaimana kita ketahui, karena Undang-Undang tersebut tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia sendiri, Undang­Undang tersebut tidak pernah dinyatakan berlaku.

Sebagaimana kita maklurni, Pasal 72 Undang-Undang itu menya takan I bahwa mul ai berl akunya Undang-Undang terse,but akan dttetapkan oleh Menteri Kehakiman. Namun sampai ditetapkannya Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951, Penetapan Menteri Kehakiman dimaksud tidak pernah ada, dan Peradilan Agama tetap berjalan sebagaimana adanya. Fakta tersebut membuktikan, bahwa dalam melahirkan suatu Undang-Undang kita harus selalu memperhatikan kesadaran hukum masyarakat sendiri ..

Setelah pengakuan kedaulatan, tanggal 27 Desember 1949 melalui Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 Pemerintah Republik Indonesia menegaskan pendiriannya untui tetap mempertahankan Peradi 1 an Agama, sernentara Peradi 1 an S:wapraja dan Peradilan 'Adat dinyatakan dihapuskan oleh Undang-Undang Darura t tersebut. Sebagai pel aksanaan dari Undang;-Undang Darurat ini, maka pada tahun 1957 Pernerintah Republik Indo­nesia mengatur Pernbentukan Peradil~n Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan ~elalui Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1957.

Kewenangan Pengadilan Agama di luar Jawa~Madura dan Kali­mantan S~latan itu meliputi perkara~perkara: a. Nikah b. Thalaq c. Ruju' d. Fasakh e. Nafaqah f • Maskawin (mahar) g. Tempat kediaman h. Mut'ah 1. • Hadonah

Page 8: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

8

j . Perkara waris malwaris k. Wakaf 1 . Hibah m. Shodaqoh n. Baitulmal

Mulai saat itu terdapat tiga bentuk peraturan perundang­undangan yang mengatur Peradilan Agama di Indonesia, yaitu:

a. stbl. 1882 No. 152 jo 8tbl. 1937 No. 116 dan 610 yang mengatur Peradilan Agama di Jawa dan Madura.

b. stbl. 1937 No. 638 dan 639 yang mengatur Peradilan Agama di Kalimantan Selatan, dan

c. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun1957 yang mengatur Pera­dilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan.

Ketiga Peraturan tersebut hingga saat ini masih berlak~.

Maka mulai tahun 1958 dibentuklah diberbagai tempat yang memerlukan Pengadilan Agama dan Pengadilan, Tinggi. Agarna. Sekarang ini seluruhnya berjumlah 303 Pengadilan Agama dan 18 Pengadilan Tinggi Agarna yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan personil sebanyak + 6.753 orang dan tenaga hakim sebanyak 1.400 orang. Balai Sidang Pengadilan Agarna dan Pengadilan Tinggi Agarna seluruhnya telah dibangun rnelalui anggaran Repelita sejak era pembangunan Orde Baru. Sementara itu perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agarna sekarang ini sekitar 220.000 perkara setiap tahun.

Saudara Pimpihan dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat terhormat.

Maksud Pemerintah mengungkapkan agak panjang lebar sejarah Peradilan Agarna tersebut adalah untuk meluruskan latar b'elakang sejarah dan memberi gambaran bahwa penyiapan RUU tentang Peradil,an Agama bukanlah merupakan hal yang harus dianggap luar bias a dan karena itu jartganlah disalahtafsirkan seolah-olah akan rnerusak persatuan dan kesatuan bangsa. Tujuan'

\

penylapan RUU tentang Peradilan Agama ini semata-mata untuk lebih menyernpurnakan pengaturan hukum Peradilan Agama' yang dibutuhkandalam pembangunan bangsa sesuai dengan kehendak UUD 1945, GBHN, Undang-Undang No~ 14 tahun'l~70 dan Repelita IV

Page 9: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

9

sebagaimana telah dikemukakan dalam keterangan Pemerintah tanggal 28 Januari 1989. Bahkan Pemerintah dapat memahami apabila Fraksi ABRI dalam Pemandangan Umumnya rnenyatakan, bahwa penyampaian RUU tentang Peradilan Agama ini sebenarnya sudah agak terlarnbat apabila kita rnemperhatikan kehendak Repelita IV yang merupakan amanat dari GBHN tahun 1983. Dengan penjelesan tersebut rnaka Pernerintah tidak pernah merasa adanya ataupun akan timbulnya presepsi yang salah terhadap RUU Peradilan Agama sebagaimana dipertanyakan oleh Fraksi PDI· dalam problematiknya nomor 1, karena eksistensi Peradilan· Agama itu sendiri telah diterima oleh rnasyarakat Indonesia· khususnya yang beragama Islam lebih seratus tahun yang lalu dan diturnbuh-kernbangkan oleh Pemerintah bersarna DPR seperti uraian sejarah tersebut di atas.

Saudara Pimpinan dan anggota Dewan yang terhorrnat.

Perkenankanlah Pemerintah memulai memasuki permasalahan yang dikemukakan oleh fraksi-fraksi dalam pemandanganumumnya.

Pemerintah menggaris bawahi ajakan yang dikemukakan oleh Fraksi ABRI dalarn pemandangan umumnya agar semua pihak rnenyadari kebhinekaan dan sifat majernuk bangs a Indonesia. Hal itu sangat berkaitan erat dengan perlunya pemahaman kita untuk rnenyadari realit~ kebhinekaan dan sifat rnajernuk bangsa Indonesia. Ti.dak rnenyadari kernajemukan dalam Negara Pancasila akan sangat rnerugikan persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhineka tunggal ika dan berdasarkan asas kekeluargaan. Tidak rnenyadari kemajemukan akan melah{rkan dorninasi mayoritas atau sebaliknya tyrani rninoritas.

Pemerintah sangat menghargai dan berterima kasih atas surnbangan pikiran dari fraksi-fraksi yang dimaksudkan untuk dapat dipergunakan dalam menyempurnakan RUU Peradilan Agarna, yang pada das,arnya telah diterirna dengan beberapa It'~lll

penyernpurnaan oleh Fraksi ABRI, Fraksi Karya pernbangunan, dan Fraksi Persatuan Pembangunan, serta yang tampaknya tidak ditolak oleh Fraksi PDI.

Untuk dapat digunakan sebagai bahan penyempurnaan RUU Peradilan Agarna~ bahan masukan dari Fraksi PDI tersebut,

Page 10: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

10

terlebih dahulu perlu diolah dan dikaji dengan mempergunakan penalaran atau pola pikir integralistik sebagaimana dituntunkan oleh Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, (P4). Pola pikir tersebut merupakan pala pikir yang selaras, serasi, serta seimbang dan dalam m~mecahkan perrnasalahan kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat yang majemuk rnelihatnya secara integral dan mempertirnbangkan segala seglhya.

Dalarn kaitan itu sikap dasar sebagai landasan pokok pemikiran bagi, arahan politik hukum nasional yang diusull.1T1 itu, pemerintah mengajak untuk menyempurnakannya menjadi :

1. Landasan idiil Pancasila

2 • Landasan konstitusional UUD 1945

3 . Landasan operasional GBHN 4. Program Repelita

1. Landasan Pancasila Dengan tidak bermaksud mengulang-ulang apa yang dike­

mukakan oleh Presiden Soeharto tentang Pancasila .sebagai ideologi terbuka, namun dalam kaitannya dengan hal yang sedang kita bicarakan ini terdapat pandangan beliau yang mencerminkan suatu kedinamisan, ialah ajakannya untuk tidak menafsirkan Pancasila secara beku. Sebab apabila. ditafsir­kan secara demikian, maka Pancasila akan kehilangan maknanya,· akan kehilangan jiwanya, dan tidak akan mampu menuntun bangsa Indone~~a dalam menjawab tantangan zaman yang terus berubah dan bertambah maju. Dalarn kerangka pemahaman tersebut,i Pancasi 1 a sebagai Ci ta Hukurn (Rechtsidee) adal~h juga suatu perangkat cita yang harus mampu menyaring perkembangan hukum, dengan nilai-nilai intrinsik dan dikandungnya dan mana yang tidak.

mana yang yang sesuai niIai-niiai dasar yang

Maka dalam pembangunan hukum Nasional, Pancasila telah dan akan tetap merupakan perangkat penyaring dari berbagai asas dan ketentuan-ketentuan hukum, baik yang berasal dari asas dan kaidah hukum barat, hukum Islam, maup~n yang berasal dari asas dan kaidah hukurn Adat. Khususnya yang berasal dari hukum Islam, adalah asas dan kaidahyang telah dihayati dan hidup di kalangan bangsa Indonesia yang

Page 11: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

11

beragama Islam "dan karenanya telah menjadi milik bangsa Indonesia yang telah berproses selama ratusan tahun dan telah menyatu menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia.

Dalam kerangka ~emahaman yang demikian itu kita juga dapat melihat kebenaran apa yang pernah diucapkan Bapak Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden RI dikala itu, dalarn suatu Peringatan Isra' dan Mi'raj Nabi "Besar Muhammad SAW di Mesjid Istiqlal, bahwa Pancasila adalah tempat subur bagi pertumbuhan agama. Tanpa agama maka Pancasila akan kehilangan makna dan nilainya. Dan Pancasila tanpa agarna, tidak dapat disebut Pancasila.

Dari Uraian bersumber pada

tersebut diatas, hukum Islam itu

jelas bahwa hukum yang dapat dijadikan hukurn

nasional sepanjang tidak Pancasila dan Undang-Undang

bertentangan dengan niIai-niiai Dasar 1945, sebagaimana kita

menemukannya dalam hibah, wakaf dan kehidupan masyarakat mencapai kebahagiaan

hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, sodaqoh, yakni hukurn yang rnengatur agar menjadi tertib dan teratur untuk hidup lahir dan batin.

2. Landasan Konstitusional UUD 1945.

Jalan pikiran Fraksi PDI tentang landasan Konstitusi­onal UUD 1945 kiranya periu dilengkapi dan disempurnakan. UUD 1945 rnemberikan arahan isi dari hukurn nasional tidak hanya pada pasal 27 melainkan juga tertuang dalam Pasal-pasal lainnya, seperti pasal 24, 25, 27, 28, 29 dan 30.

Dalam Pemandangan Umurn, Fraksi PDI mempertanyakan RUU tentang Peradilan Agama sebagai Undang-Undang yang akan berlaku terhadap ~olongan tertentu dalam masyarakat yang, dikaitkan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, dengan sistim hukum nasional dan dengan Wawasan khawatirkan kemungkinan timbulnya ps~kologis bagi golongan lain.

Nusantara, serta Dleng­akibat politis dan

Page 12: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

12

Pemerintah ingin mengajak semua pihak agar dalam memahami Pas~l-Pasal dalam UUD 1945 tidak terlepas dari kaitan dengan Pasal-pasal lainnya. Dalam hubungannya dengan RUU-PA, pasal 27 ayat (i) perlu dik~itkan dengan pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". Kedua Pasal tersebut menjamin hak-hak warga negara sebagai syarat essensial yang diperlukan oleh suatu masyarakat yang berada dalam negara yang berdasar atas hukum.

Maksud dari Pasal 27 ayat (1) tersebut ialah bahwa setiap orang dalarn negara Republik Indonesia rnempunyai kedudukan yang sarna di depan hukurn (equality before the law) dan mempunyai kedudukan yang sarna dalam mengabdi kepada negara di bidang pemerintahan serta harus rnendapatkan pelayanan hukum yang sarna sesuai dengan kebutuhan hukumnya, dan mendapatkan perlakuan dan pelayanan yang sarna pula oleh aparatur pemerintah.

Maksud Pasal 29 ayat (2) tersebut ialah bahwa Negara rnemberikan jaminan kemerdekaan dan kebebasan kepada tiap­tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-mazing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu, sehingga karena itu hukum yang berlaku tidak boleh menghalangi pelaksanaan agama oleh tiap-tiap pemeluknya, Bapak Presiden Soeharto dalam sambutannya pada upacara pembukaan Rapat Kerja Departernen Agama tanggal 25 Mei 1981 menyatakan "Berdasarkan ketentuan Undang-undang Dasar tadi (pasal 29 ayat 2) maka yang harus dijal~nkan oleh Pemerintah melayani hajat dan kepentingan bangsa kita dalarn kehidupan beragama dalarn rangka rnenjamin pelaksanaan ibadah agama menurut keyakinan masing-masing. Kewajiban ini sangat penting, sebab bagi kita, pembangunan kehidupan aganla adalah bagian yang tak terpisahkan dari keseltiruhan pembangunan nasional bangsa kita". Kata-kata "negara menjarnin" tidak ~apat

diartikan secara sekuler, karena apabila demikian Negara atau Pemerintah harus "hands of.f" dari segala pengaturan kebutuhan hukum bagi para pemeluk agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Di negara sekuler Pemerintah tidak akan mendirikan tempat-tempat ibadah.

Page 13: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

13 Bahkan di negara sekuler tertentu pengucapan do'a di sekolah negeri pun tidak dibolehkan. Tetapi dalam negara yang berdasarkan Pancasila yang penduduknya mempunyai pedoman penghayatan pehgamalan Pancasila (P4) sebagai penuntun dan pegangan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara hal itu tidak holeh terjadi.

Menteri Kehakiman RI, Prof. Oemar Senoadji,SH dalam jawaban Pemerintah terhadap Pemandangan Umurn fraksi-fraksi DPR-RI atas RUU tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman . tanggal 31 Oktober 1968 rnengatakan: "Prinsip "equality before the law" adalah merupakan salah satu hak azasi manusia dimana setiap orang berhak atasnya. Meskipun. demikian, tidak akan mungkin serta tidak·.akan adil apabila prinsip ini akan diterapkan kepada semua warga negara tanpa pembedaan dan dalarn semua perundang-undangan, sebab tanpa memperkecil arti dari prinsip "equality before the law" ini, perbedaan-perbedaan yang azasi yang ada di antara warga negara-warga n~gara kita yang bertalian dengan usia, jenis kelarnin, jabatan, agama, dan kondisi-kondisi lainnya, , .

dapat dan seharusnya mendapatkan peraturan-peraturan yang berlainan dalam hukwn. Bukanlah· ti'ap "legal distinction" i tu harus dipandang sebagai "inequali ty before the I a \<1 " •

Sebaliknya tidak dapat pula dikatakan balHITa azas "equali ty before the lat-l" itu hanya dianggap sah apabila "factual conditions" - sarna secara keseluruhan. Karena itu selalu .. dapat dipikirkan suatu pengaturan hukum yang mengenai sesuatu golon~an.

Pada hakekatnya prinsip "equality before the law" ini mengandurig suatu nilai yang esensial yan~ meletakan kewa­jiban pada pembuat undang-;-undang untuk menjauhkan diri dari tindakan diskriminatif, yang menguntungkan atau merugikan suatu moral

golongan, atau secara umum meremehkan nilai-nilai yang berlaku umum. Perundang-undangan khusus yang

melayani kepentingan golongan-golongan agama itu bukanlah dimaksudkan sebagai suatu pengaturan materi secara diskriminatif sewenang-wenang, ataupun bermaksud untuk mengurangi martabat manusia. Dengan adanya ciri-ciri yang karakteristik yang ada pada golongan agama yang bersangkutan, ia menimbulkan "1 eg.al distincion" , bukan suatu diskriminasi sewenang-wenang, sehingga ia tida dapat dipandang sebagai suatu "inequality before the law".

Page 14: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

14

3. Landasan operasional GBHN.

Menanggapi pemikiran Fraksi PDI tentang GBHN dan Wawasan Nusantara, Pemerintah menunjuk beberapa beberapa butir dalam GBHN 1988, Bab II, huruf E tentang wawasan Nusantara khususnya, antara lain angka 1 huruf b yang tertulis sebagai berikut :

"Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan berbicara dalam berbagai bahasa daerah, memeluk dan meyakini ,berbagai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, harus merupakan satti kesatuan bangsa yang bulat dalam arti yang seluas-luasnya". Demikian pula dalam angka 1 huruf c tertulis sebagai berikut :

"Bahwa secara psikologis bangsa Indonesia harus merasa satu, senasib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air serta mempunyaisatu tekad mencapai eita-eita bangsa".

Mengingat bahwa hukum itu merupakan juga pencerminan kebudayaan, maka perIu pula diperhatikan yang tersebut angka 2 huruf b, yang menyatakan: "Bahwa budaya Indonesia pada hakekatnya adalah satu, sedangkan corak ragam budaya yang ada menggarnbarkan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal dan landasan pengembangan budaya bangsa seluruhnya, yang hasil-hasilnya dapat dinikmali oleh bangsa".

Dari apa yang terurai dalam GBHN 1988 tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa dalam mewujudkan Wawasan Nusan­tara di bidang hukum terkandung di dalamnya perwujudan wawasan Nusantara dan Wawasan Kebhinekaan Tunggal Ikaa-an. Oleh karena itu hendaknya kita semua tidak boIeh terlaiu sempit rnengartikan kalimat "Satu kesatuan hukum dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasionaI".

Satu hukum nasional haruslah diartikan satu sistem hukum nasional. Di dalam sistem hukum nasional tersebut terdapat berbagai sub-sistem hukum nasional. Dalam lingkup hukum yang tertulis kit;]. mendapatkan misalnya hukum yang khu.sus berlaku bagi anggota ABRI, hukum Keprotokolan yang ~husu.s berlaku bagi para pejabat negara dan tokoh

Page 15: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

15

masyarakat tertentu yang disebut dalam Undang-undang Protokol, dan lain-lain sebagainya. Dalam lingkup hukum yang tidak tertulis kita mendapatkan hukum.adat Minangkabau yang khusus berlaku bagi masyarakat hukum yang bersang­kutan, hukurn adat Batak, hukurn adat Jawa, dan seterusnya. Kesemuanya itu memang harus berada dalam satu sistem hukum nasional Indonesia.

Pengertian kepentingan nasi anal tentu tidak dapat dilepaskan dari realitas adanya kebhineka Tunggal Ika-an sebagaimana digambarkan dalam CEHN diatas. Tentu akan berbeda apabila pengertian kepentingan nasional tidak dikaitkan dengan apa yang terdapat dalam Wawasan Nusantara, seperti rnisalnya apabila pengertian nasional tersebut mempunyai arti sempit, yang hanya terdiri dari satu atau dua suku dengan menganut agama tertentu.

Pandangan. ini searah dengan ~andangan Sdr. Ismail Saleh,SH, Menteri Kehakiman, yang me~yatakan bahwa Wawasan Pembangunan Hukum Nasional itu har~s berlandaskan pada tiga wawasan yang terdiri tiga segi . yang berSama~sama merupakan Tri. Tunggal yang tidak d~pat dip{sahkan s~tu dari lainnya, ialah Wawasan Kebangsaan, Wawasan Nusantara, dan wawasan Bhineka Tunggal Ika.

Dengan .demikian dalam ~engartikan kalimat "Satu kesatuan hukurn dalam arti bahwa hanya ada satu hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan. nasional", titik berat hendaknya tidak diletakan hanya pada kesatuan hukum dalarn artisatu hukum yang diunifikasikan yang berlaku untuk seluruh bangsa Indonesia, karena jika demikian itu yang diterapkan maka akan terjadi pemaksaan-pemaksaan hukum kepada golongan-golongan dalarn masyarakat hal mana pasti akan menirnbulkan ketidak adilan bagi golongan-golongan yang bersangkutan.

Hal tersebut telah dikemukakan pula oleh salah seorang founding father negara Republik Indonesia khususnya dalam ketatanegaraan dalam hal ini Prof.Dr. Soepomo,SH, antara lain sebagai berikut " persamaan hukum hanyalah bisa diterima, jikalau didasarkan kepada persamaan keadaan dan

. ,

Page 16: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

16

kebutuhan; jika tidak, keseragaman hukum yang menyakitkan". sebagai ketidak adilan

Adat, hal. 13).

akan dirasakan (Bab-bab Hukum

Kita semua berorientasi menyadari akan dengan tetap

hendaknya menyadari bahwa pada kepentingan bangsa,

keragaman bangsa itu sendiri, menyadari akan adanya keragaman

hukum haruslah dengan tetap

sekali lagi bangsa itu

sendiri.

Bertolak dari adanya keragarnan bangs a dan keragaman beragama dan kepercayaan yang dianut itulah, maka hendaknya kita sernua mengingat bahwa pengembangan hukurn tidak hanya tertuju pada satu kesatuan hukum saja, akan tetapi juga harus mernperhatikan pula pada adanya kebutuhan-kebutuhan hukum yang khusus dari golongan rakyat tertentu yang ada dalarn rnasyarakat, sehingga kelompok 'masyarakat tersebut mendapat perlakuan yang seadil-adilnya, sebagaimana dikemukakan oleh Sdr. Ismail Saleh,SH, di atas.

"

Dengan menggunakan Wawasan Nusantara, yang di dalamnya mengandung pengertian wawasan Kebangsaandan Wawasan Kebhineka Tunggal Ika-an, sebagai dikemukakan tadi, atau dengari meminjarn istilah Sdr. Ismail .Saleh, SH, menggunakan ketiga Wawasan' secara terpadu, maka semua asas dan kaidah hukum yang asli maupun yang berasal dari luar, dengan sarat yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, ,dapat diterima dan dituangkan dalam Hukum Nasional. Berbagai asas dan kaidah Hukurn Adat, Hukum Islam, Hukum Barat yang telah ada di Indonesia, setelah dikaji dan disaring rnelalui nilai-nilai yang terkandung dalam eita hukum (Reehtsidee) Paneasila dan UUD 1945 dapat rnenjadi bagian yang integral dari Hukum Nasional, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Hal ini sesuai deng~n apa yang ditegaskan dalam GBHN bahwa untuk ,meningkatkan dan rnen.i'ernpurnakan Pernbinaan Hukurn Nasional dal am rangka pemba­harpan hukum, antara lain mengadakan kodifikasi serta unifikasi hukurn pada bidang-bidang tertentu qeugan memperhatikan kesadaran hukurn yang berkernbang dalam masyarakat ... ". Dengan penjelasan iui sekaligus terjawab problematik Domor 3 dan 6 yang diajukan oleh Fraksi PDI.

Page 17: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

17

4. Repelita.

Dalam sikap dasar yang dikemukakan oleh Fraksi PDI dimuka perlu dilengkapi dengan dasar program Pelita IV sebagai penjabaran GBHN tahun 1983 yang rnenetapkan bahwa Peradilan Agama harus disempurnakan dan menjadi program Damar satu dari Bab Hukum r maka RUU tentang Peradilan Agama pada hakekatnya pelakanaan salah satu program pernbangunan

Hukurn dan Pelita IV.

Saudara Pimpinan dan para Anggota Dewan yang terhormat.

Pernerintah bergernbira atas pernyataan Fraksi Karya

Pembangunan bahwa RUU tentang Peradilan Agama akan mengukuhkan Peradilan Agama yang sebenarnya telah ada dalam tatanan kehidupan masyarakat selama ini. Apabila kita memahami pola pikir dan kesadaran seperti telah diuraikan diatas, maka kemungkinan akibat politis, psikologis, dari golongan lain dapat dihindari seperti yang dipertanyukan d~lam problematik

PDI nomer 5.

Kendatipun_demikiaD, Fraksi PDI dala~ masalah Damar 3

masih tnempertanyakan lingkup wewenang Peradilan Agama yang berhubungan dengan- Hukum Agama (Islam), kaitannya dengan

Piagam Jakarta dan jaminan tetap terbatasny~ kewenangan Peradilan Agama serta adanya pilihan hukum dan prinsip

kesukarelaan bagi pencari keadilan untuk memilih perkara sel ain di Peradi 1 an Agarna ..

Sebenarnya dengan pcrnyataan Bapak Presiden Soeharta kepada delegasi Muhanunadiyah pada tanggal 29 Mei 1989 yang

lalu hal yang dipertanyakan tersebut sudah terjawab. Bapak

Presiden Soeharto menyatakan l RUU tentang Peradilan Agarna adalah sesuai dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan RUU ini sebagai suatu arnanat dari pada Undang-Undang Nomar 14 tahun

1970, dimana dinyatakan bahwa Kekuasaan Kehakiman di Negara

Republik Indonesia dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: . a. Peradilan UmuHl; h. Peradilan Agama; c. Peradilan Militcr; dan d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Page 18: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

18

Apabila dilihat dari Susunan, Kekuasaan dan acara, ser~a dihubungkan d~ngan pendapat Prof. Oemar ,Senoadji dalam kesernpatan "dengar pendapat" dengan FraksiPDI tanggal 29 Mei 1989 sebagaimana dirnuat dalam Mass Media, RUU ini hanya berwenang dalam Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf yang dilakukan, berd~sarkan hukum Islam, artinya jangankan hukum Syari'at secara utuh, hukum Perdata pun sangat sernpit, sehingga sebenarnya lebih sempit ruang lingkupnya, dan selama ini juga tidak menyinggung hukum Pidana.

Peradilan Agama hanya merupakan Peradilan (alat Kekuasaan Kehakiman) bagi perkara-perkara hukum Keluarga antara orang-orang Islam. Hukum Keluarga tersebut merupakan hukum Perdata yang tidak mungkin dipisahkan darikeyakinan seorang Muslim. Jadi titik beratnya bukan pada negara, tapi pada sengketa-sengketa Perdata (Hukurn Keluarga) dari perseorangan. Hal diatas terbukti dengan berfungsinya Peradilan Agama dari dulu sampai sekarang.

Pemerintah sangat menghargai dan terirna kasih atas pernyataan Fraksi ABRI, bahwa kita sernua periu waspada namun waspada bukaniah curiga,karena dala~ kewaspadaan tetap ada perhitungan secara obyektif berbagai kemungkinan yang akan terjadi serta m~mpersiapkan sekaligus day a penangkalnya. Dalam kaitannya dengan.ini, Fraksi ABRI selanjutnya menyatakan bahwa apabila memang terbukti ada usaha untuk mengubah Negara berdasarkan Pancasila, ABRI lall. yan'g pertarna-tama akan menghadapinya baik dalam fungsiny~ sebagai kekuatan Hankarn maupun sebagai kekuatan Sosial politik, karena memang in~ termasuktugas pokok ABRI dan' diamanatkan' pula. oleh SAPTA MARGA. Kita yakin, sebagairnana keyakinan ABRI, bah~la seluruh rakyat akan ikut bersama ABRI apabila benar .ada usaha untuk menguhah Negara ~ita yang berdasarkan Pancasila ini.

Selanjutnya terhadap pertanyaan Fraksi 'PDI, apabila RUU tentang Peradilan Agarna telah diterima sebagai Undang-Undang, bagaimanakah pelaksanaan berlakunya Hukum Adat yang telah berakar dan rnasih hidup di dalam masyarakat untuk rnelakukan pilihan hukum, dalam hal ini Pemerintah menjelaskan; bahwa ap,l yang ditanyakan oleh Fraksi PDI telah terjawab dalam penjelasan Pasal 49 ayat (1) RUU tentang Peradilan Agarna ini.

Page 19: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

19

• Penjelasan tersehut berbunyi "Kewarisan yang atas kehendak ahli wariz pembagiannya dilakukan berdasarkan hukum Islam maka kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang timbul dari paaanya berada pada Pengadilan Agama".

Tentang bagaimana asas-asas kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dan jaminan atas reali~asi hak asasi Ioanusia rnaka Pemerintah menjawab bahwa justru dengan RUU tentang Peradilan Agama tersaebut telah terjamin asas-asas kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dan hak-hak asasi rnanusia.

Mengenai masalah bahwa puncak kekuasan kehakiman harus tetap berada pada Mahkamah Agun~ seperti yang dikemukakan oleh Fraksi PDI dalarn rnasalah-rnasalah namar 1 rnaka Pemerintah mempersilakan untuk melihat pasal 3 ayat (2) RUU PA ini.

Ada pandangan dari Fraksi PDI agar Peradilan Agama tidak berada di bawah Menteri Agama tetapi di bawah Mahkamah Agung, kiranya dapat dilihat~ kembali Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 Pasal 11 yang menyatakan bahwa Badan-Badan yang melakukan Peradilan tersebut pada Pasal 10 ayat (1) organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing­masing Departemen yang bersangkutan.

Pemerintah tidak sependapat dengan pendirian Fraksi PDI yang menginginkan pengurusan dan pernbinaan para hakim dilakukan secara monistis, karena secara konsisten Pemerintah ingin tetap melaksanakan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 11 ayat (I)' Undang-Undang Narnor 14 tahun 1970 beserta penjelasannya, khususnya butir ke 6.

Berkenaan dengan pernyataan Fraksi PDI mengenai perlunya Undang-Undang Narnor 14 tahun 1970 ditin~au kembali, maka Pemerintah berpendapat bahwa pada hakekatnya Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 sudah merupakan bagian atau arahan dari sistem hukum Nasional yang berwawasan Nusantara, karena sebagai yang tcrmaktub dalam GBllN ~988 Bah II huruf E butir 1 e yang berbunyi : "Bahwa selHruh kepulauan Nusantara merupaka'Il satu kesatuan Hukum dalam arti bahwa hanya' .ada satu hukum Nasianal yang rnengabdi kepentingan Nasional".

Page 20: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

20

Demikian pula ada angka 1 c sebagai berikut :' "Dahwa secara psychologi~, bangsa Indonesia harus merasa satu, senazib sepenanggungan, sebangsa dan setanah air serta mempunyai tekad dalam mencapai cita-cita bangsa".

Oleh karena itu Pemerintah berpendapat, bahwa perwujudan Wawas"an Nusantara di bidang hukum tertampung di dalarnnya WaW\lsan Kebangsaan dan Hawasan I\.ebhineka Tunggal Ikaan. 01 eh karena itu hendaknya kita semua tidak terlalu sernpit mengartikan kata-kata "satu hukum Nasional yang mengabdi kepada kepentingan Nasional". Pengertian kepentingan Nasional tentu tidak dapat dilepaskan dari kenyataan riil adanya Bhineka Tungga Ika sebagaimana dijabarkan dalam GBHN di atas.

Dengan demikian, maka Pemerintah berpendapat lain dari a~a yang telah dikernukakan olch Fraksi PDI, bahwa Undang­Undang Nomar 14 tahun 1970 perlu ditinjau terlebih dahulu, yang kemudian baru dibicarakan kemungkinan adanya alat-alat kelembagaan hukum lainnya, karena sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tersebut, jiwa konsepsi Wawasan Nusantara itu mulai tumbuh sejak tanggal 13 Desember 1957 dengan keluarnya Pengumuman Penlerintah mengenai wilayah perairan negara Republik Indonesia, yang lazim dikenal sebagai "Deklarasi Juanda".

De~gan lahirnya TAP MPR No. IV/1973, Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 itu secara implisit telah diakuioleh GBHN dan secara eksplisit menjadi ·dasar bagi Undang-Undang nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Undang-Undang norner 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, danUndang-Undang Nemor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara~

Selanjutnya meskipun pertanyaan masalah-masalah pokok nomar 1 dari Fraksi PDI kurang jelas, Pemerintah rnencoba sejauh mungkin rnenangkap arah pertanyaan itu.

Pemerintah memberikan penjela~an sesuai dengan Undang­Undang Nornor 14 tahun 1970 :

"Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan 'Negara yang ,;. ,

merdeka un t uk men}rel enggarakan" Peradi 1 an gu~a menegakan hukum dan keadilan be~dasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia".

Page 21: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

21

Dan Pasal 2 ayat ( , , ....... )

~ "Penyel engg~raan Kcl~uasaan Kehakiman tercantwn dalam Pasal 1 diserahkan kepada Badan-badan Peradilan dan ditetapkan dcngan Undang-Undang dengan tugas pokok untuk menerima, memriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan"kepadanya".

Pasal-pasal ter~ebut mcnegaskan pengertian Kekuasaan Kehakiman dan Badan-badan apa yang melaksClIlaktinnya, dalam hal ini ant~ra lain Peradilan ng~ma.

Tentang bagaimana J.:cbi jaJ:,Sanaan Pemerintah dan 1 angkah­langkah yang dapat dilakukan agar ~rinsip-prinsip konsti­tusional: harus tetap dapat melandasi we\>lenang, kelembagaan dan tata cara Peradilan Agama (mungkin dimaksud acara Peradilan Agama) I malta dal am hal ini Pemerintah / menjawab bahwa justru sistcm RUU-PA ini merupakan perwujudan kebijaksanaan dan langkah-langkah Pemerintah agar prinsip-prinsip"konstitusional tctap melandasi t-lewenang, kelembagaan dan acara Peradilan Agama.

Saudara Pimpinan dan para Anggota Dewan. yang terhormat.

Selanjutnya Pemerintah akan menanggapi dan memberikan penjelasan terhada~ yang diajukan oleh

permasalahan serta pertanyaan-pertanyaan Fraksi-fraksi b~rkenaan dengan materi RUU

tentang Peradilan Agama.

Permasalahan dan pertanyaan tersebut dapat dikategorikan pada empat hal

1. Judul.

Pemerintah berterima kasih kepada F'raksi ABRI I Fraksi Karya Pembangunan dan Fraksi Persatuan Pembangunan yang telah menyatakan bahwa pada dasarnya sependapat dengan jud~l yang ada yakni Rancangan Uudang-Undang tentang Peradilan .ngama. Hal ini melllang sesual dengan kete~tuan Pasal 10 ayat (1) Undang- Und~ng Nomor 14 tahun 1970, Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 tahun 1985 dan berbagai

Page 22: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

22

perat~ran perundang-undangan lainnya. Terhadap usul dari Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan agar dicantumkan muatan bahwa Peradilan Agama ini hanya u'ntuk golongan yang beragama Islam dan muatan ter~cbut dicantumkan pada Pasal-pasal pertarna atau pada penjelesannya, Pemerintah menghargai usul simpatik tersebut dan hal itu dapat dibicarakan pada tingkat pembahasan selanjutnya.

2. Susunan Peradilan Agama.

Fraksi ABRI merigu~ulkan agar persyaratan "tidak bekas anggota organisasi terlarang". Juga berlaku terhadap pejabat di luar hakim. Pemerintah mcnyarnbut baik usul tersebut dan dapat dibicarakan dalam pembahasan lebih lanjut.

ABRI dan Fraksi Karya 39 dan 45 RUU-PA agar pejabat di lingkungan saja, ~edangkan untuk

Pemerintah- berpendapat

Mengenaiusul dari Fraksi Pembangunan terhadap isi Pasal persyaratan agama Islam bagi Peradilan Agama hanya untuk Hakim para karyawan tidak diperlukan, bahwa, persyaratan beragama Islam unluk para Hakim dan juga para Pejabat di Iingkungan Peradilan Agama ialah karena bagi para pencari keadilanyang beragama Islam akan merasa mantap kalau Hakim dan para Pejabat di lingkungan Peradilan Agama, beragama Islam~ Disisi lain dalam rangka meningkat­kan karir, terhuka kesempatan khususnya bagi para Pejabat di lingkungan Peradilan Agama unluk menjadi Hakim. Pelaksanaan tugas-tugas di lingkungan Peradilan Agarna baik

yang bersifat administratif maupUll justisial ditekankan pada dua kriteria, yaitu agama dan keahlian.

Fraksi ABRI memperlll'a takall kctent uan pasal 18 aya t (2) RUU Peradilan Agama ini Iang mencntukan bahwa Ketua, Wakil Ketua dan Hakim yang meninggalkan dunia diberhentikan dengan sendirinya alch Presiden sebagai Kepala Negara dihubungkan dCIlgan pasal 15 ayat (2) yang menentukan bahwa Kctua dan Wakil Ketua diangkal oleh Hcr~tcri -1\gama dcngan persetujuan Ketua Mahkarnah Agung, apakah hal tersebut tidak mcnyirnpang dari kelazirnan hukum dal am hal ini. berpenuapa t bahwa

J~cpegawaian. Pemerintah ketentuan tersebut tidak

Page 23: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

...

23

InE'Ilyimpang dZlri kelaziman hukum kepega';~(lian pazal 31 Undang-undang Nomor 11 tahun 1970 Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiclen scbagai ICe2ala rIegara. Sedallgkan Ketull, Hakil I:etua adalah jabatan str.uktural yang rnenjadi kewenangan pihak eksekutif (Benteri Agama). Hamun demikian apabila Ketuu, Wa~il Xetua tersebut rneninggal dunia dengan sendirinya dia berhenti dari jabatan Hakimnya dan 01 eh karenan:i~a menjadi kewenangan Presiden.

Sehubungan dengan pasal 39 ayal (2) butir b RUU Peradilan Agama ini tentang periyaratan juruzita yang harus zudah berpengalaman lima tahun Frakzi Karya Pembangunan mempertanyakan apakah Pernerintah zudah siap dengan aparatnya. Dalarn hal ini Pemerintah telah ~iap dengan aparatnya, ·dan bahkan scb~gian besar tugas-tugas kejuru sitaan sudah berjalan dalam mendukung dan melaksankan tugas-tugas pengadilan.

Fraksi ABRI meminta gambaran tentang klasifikasi dan formasi Pengadilan Agama sehubungan dengan disampaikannya padanan susunan/tempat kedudukan Pengadilan Agamadengan susunan/tempat kedudukan pengadilan dalam lingkungan pengadilan umum (sesuai dengan ketentuan pasal 4 RUU Peradilan Agama).

Dalam hal ini Pemerintal1 ingin mcnjelaskan bahwa padanan susunan/tempat kedudukan Pengadilan, Agama dengan tempat kedudukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum didasarkan pada Peraturan Perudang-undangan yang telah ada 3ebelumnya, ,raitu staatsblad 1382 rlornor,152 jo S·taatsblad 1937 Nomor 116, 610 pasal 1, Staatsblad 1931, Nomor 638, 639, pazal 1 dan Peraturan Pemerintah Nemor 45 tahun 1957 pasal I, yang menyatakan bahwa disetiap ·tempat yang ada Pengadilan Negeri ada ~ebuah Pengadilan Agama yang daerah hukurnnya sarna dengan daerah hukurn Pcngadilan Negeri Selanjutnya Pemerintah berpenda~at bahwa dalam rangka pernb~ntukan Pengadilan Agama tidak semata-mata didasarkan pada volume perkara dan jumlah dan kebutuhan hukum masyarakat

I \

p~nduduk tetapi keber~daan dan pencari keadilan yang

Page 24: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

24

perlu dilayani. Sementara itu Pemerintah ingin menjelaskan pula bahwa klasifikasi di lingkungan Badan Peradilan Aga~a telah dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 71 tahlli'1. 1983.

Selanjutnya Fraksi Karya Pembangunan mempertanyakan apakah Pemerintah sependapat dengan Fraksi Karya pembangunan bah!>la pembela/penasehat hukum di lignkungan Peradilan Agama" tidak mesti beragama Islam, yang penting menguasai hukum islam. Dalarn hal ini Pemerintah sependapat dengan Fraksi Karya Pembangunan, dimana antara Henteri Kehakiman, Menteri Agama dan Ketua Hahkamah Agung telah ada kesepakatan bahwa pembela/penasehat hukum untuk semua lingkungan peradilan hanya diangkat oleh Menteri Kehakiman sesuai

--perundang-undangan yang berlaku. dengan peraturan

Fraksi Karya langkah-langkah apa

Pembangunan selanjutnya yang telah diarnbil

mempertanyakan dalam rangka"

mempersiapkan aparatur Peradilan Agama dalam melaksanakan Undang-undang Peradilan Ag.ama. Pemerintah dapat mengemukakan bahwa selama ini Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman telah" banyak memberikan bimbingan dan kerjasama dalam bentuk rapat kerja, penatarau, lokakarya, dan pembinaan teknis hukum lainnya terhadap para hakim dan tenaga teknis lainnya di lingkungan Peradilan Agama.

Pemerintah menghargai dan memperhatikan usul dari Fraksi Persatuan Pembangunan agar hakim yang belum sarjana di lingkungan Peradilan Agama diberi kesempatan untuk bertugas belajar. Hal ini sejalan dengan upayu Pemerintah dalam rangka meningkatkan mutu kewibaaan para hakim di Pengadilan Agama.

3. Kekuasaan dan wewcnang Badan Peradilan Agama :

Mengenai kewenangan Peradilan Agama dalam pasal 49 RUU ini Fraksi ABRI mempertanyakan tent<;lng kriteria utama a.pa bagi penyelesaian perkara, apakah dilihat dari hukum per]~winan yang dipakai pada saat "diJangsungkan perkawinan atau dilihat dari orangnya yang beragama Islam. Terliadap pertanyaan ini Pemeriritah menunj~k pada bUIlyl pasal 49 al'at (1) ROU beserta penjelasap.nya ya"kni kriterianya adalah orang yang beragama Islam."

Page 25: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

25

f1a~ih dalam pasal 49 Fraksi Karya pembangurian

mempertanyakan tentang prinsip kesukarelaan bagi pe?ca!i keadilan terhadap bidang-bidang yang akan rnenjadi

kompetensi Peradilan Agama, kecuali bidang perkawinan dan.

perwilkafan. Pemerintah berpendapat bahwa hal tersebut telah

cukup terumusJ~an dalam pasal 49 beserta penjelasannya yang

mengandung prinsip adanya pilihan hukum. Jawaban ini

kiranya juga sekaligus menjawab pertanyaan Fraksi PDI

rneskipun diungkapkan secara urnum, mengenai kesukarelaan

yang seluas-luasnya~

Masih berkenaan dengan pazal 49 Fr~ksi Persatuan

pembangunan berpendapat bahwa pasal 236 a HIR atau RIB

(Reglernent Indonesia yang diperbaharui) sebaiknya

dinyatakan tidak berlaku lagi bagi orang-orang yang

rnengajukan perk~ranya kc~ada Peradilan ngama.

Pasal yang dimaksud rnenyatakan bah~-1a "Atas permintaan sernua ahli waris atau bekas isteri orang yang meninggal dunia, Pengadilan

pernisahan akan rnemberi bantuan untuk mengadakan Negeri

budel diantar.a orang-or~ng Indonesia yang

serta mcrnbuat aktanya, walaupun tidak ada

Pemerintah dapat rnemahami pendapat dan

Persatuan Pembangunan alell kareria pasal

RIB tersebut memang dapat mcnyulitkan

bs·ragama apapun I

perselisihan". keinginan Fraksi 236 HIr. at au

kewenangan Pengadi 1 an Agama dal am mel2..k:::;u.nal:an tugasnya.

Namun demikian, karena pasal tersebut berkaitan juga dengan

peng~nut ag~~a lain, maka Pemerintah perlu mepelajarinya

lebih mendalam dalarn rangka merneriuhi keinginan Fraksi

Persatuan Pembanguna tersebut.

Fraksi Ka.rya Pembansru.nan dal am menyoroti masalah

!.:aris I menyatakan bahwa dal am pembagian harta waris

menurut hukum Islam ada harta waris yang tidak habis

terbagi, baik karena tidak adartya ahli waris atau karena

tidaJt adanya alll i tvaris ashabah.

Kemudian Fraksi Karya Pembangunan ber,tanya sampai scberapa jauh apakah akan

Pcmerintah monangani masalih tersebut, dan

dibel1tuk in.stituzi oleh 'Pemerintah untuk

mengelolanya? Dan apakah masih ada lagi institusi-institusi

lainnya yang akan dibentuk sehubungan dengan akan lahirnya

Undang-undang Peradilan Ag~ma?

Page 26: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

26

Pernerihtah dengan. ini menjelaskan 'bahwa sejauh iIii tiuak terpikirkan untuk membentuk institusi-institusi baru untuk mengelola harta tersebut, alch karena harta yang tidak dibagi sebagai peninggalan seorang warga negara, dan benar-benar tidak seorangpun yang menuntut sebagai ahli warisnya, rnaka harta peninggalannya tersebut tentu akan jatuh kepada negara akan diserahkan/diurus oleh negara.

Sehubungan dengan ketentuan pasal 50 yang menentukan bahwa bila terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain, sengketanya harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan umum, oleh Fraksi Persatuan Pembangunan ditanyakan apakah ketentuan pasal 50 ini tidak menghilangkan arti kewenangan Peradilan Agama yang diatur dalam pasal 49?

Pemerintah menghargai pertanyaan yang diajukan oleh Fraksi Partai Persatuan tersebut, dan hal ini dapat dibicarakan dalam pernbahasan lebih lanjut.

Kernudian Fraksi ABRI menanyaktln apakah pernah dan bagimana penyelesaiannya jika terjadi perselisihan kompetensi antara Pengadilan Agama dengan Pengadilan Umum. Atas pertanyaan tersebut Pemerintah ~enunjuk pada ketentuan pasal 38 ayat (1) jo pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 tahun 1985, dalam hal tersebut akan diselesaikan oleh Mahkamah Agung, dan hal tersebut pernah terjadi dalam praktek.

Fraksi Karya Pembangunan mempertanyakan uimaksud dengan tugas dlln kewenangan lain berdasarkan Undang-undang pada pasal 52 RUU l\gama.

apa yang oleh atau Peradilan

Mengenai hal ini Pemerintah menjelaskan bahwa pada asas-nya tugas pokok hakim atau pengadilan adalah mengadili suatu ,sengl~eta sepcrti tel ah di tegaskan pasal 2

I

Undang~undang Nomar 14 tahun 1970.' Namun demikian suatu Sc:l<l t negara akan rnemberikan . t ugas' 1 ai~ yang bukan merupaltan tugas mengadili su.atu sengketa dan pernbebanan tugas yang seperti itu haru~ berda~arkan U~dang-undang~

Page 27: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

27

4. Acara Peradilan ~gama.

Fraksi ~BRI mengusul~~n ~gar kctentuan Pasal 57 tidak menimbulkan salah tafsir maka perlu permnusan kembali karena menurut Fr~ksi ABRI hal tersebut dapat ditafsirkan bah~va yang dicantwnkan dalam putusan dan penetapan Pengadilan Agama hanya yang terscbut ayat (2) saja, sedangkan yang tertuan<] dalam ayat (1) tidak dicantumkan.

Pernerintah menerima baik usul tcrsebut, karena memang maksud Pemerilltah bahwa d~lam setiap putusan dan penetapan pengadilan Agama kedua kalimat itu dicantumkan dan diucapkan cleh hakim sebagaimana yang sekarang telah berjalan.

Pasal 58 ayat (1) RUU-PA menentukan "Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang". Ketentuan pazal ini dipandang oleh Praksi Karya Pembangunan rnempunyai makna yang hampir sarna dengan pasal 2 RUU Peradilan Agama yang berbunyi "Peradilan Agama adalah suatu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya". Kemudian Frakzi Karya l?embanguna meminta penjelesan tentang relevansi pasal 58 ayat (1) dcng~n pasal 5 ayat (1) Undang~undang Nomor 14 tahun 1970 yang menyatakan "Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak mernbedakan orang".

Menurut Pemerintah relevanzinya adalah bahwa RUU ini tctap berpegang teguh pada prinsip menjamin perlindungan dan pengayom~n bagi para pencari keadilan di Pengadilan Agama dengan tidak membeda-bedakan status sosial dan kedudukan seseorang dalam masyar~kat.\

Kemudian dalam hubungannya :den9an pasal 85 RUU ini Fraksi ABRI mempertanyakan tentang sanksi'terhad~p panitera yang lalai mengiri~{an salinan putusan pengadilan sehingga . rneng-akibatk.:ln kerugian bagi zuami-izteri 2.tau kedua-du~nya. Menurut hemat Pemerint~h hal ini termasuk kelaiaian melaksanak~n iugas dan tcpadariya dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Peru:p.dang-undangan di bidang kepegawaian. Selain itu dapat juga dilakukan tuntutan perdata dari pihak yang merasa dirugikan.

Page 28: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

23

Sel anjutnya Fraksi Karya Pembangun~n meinpertanyakan apakah masalah Li'an sebagai sal~h satu syarat perceraian masih dianggap perlu untuk dicantwnkan dalam pasal-pasal RUU Peradilan Agama (pasul 87 dan 88) mengingat syarat-syarat perceraian telah diatur secara jelas dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1971.

Terhadap pertanyaan ini Pemerintah menjelaskan bahwa memasukan ketentuan dan prosedur Li'an dalam pasal 87 dan 88 RUD ini bermaksud menampung prosedur perceraian yang terjadi dengan alasan salah satu pihak berbuat zina sebagairnana ditentukan dalam penjelasan pasal 39 ayat (2)

Undang-undang Nemer 1 tahun 1974 dan pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975.

Fraksi ABRI m,inta pejelasan pasal 89 tentang biaya perkara yang dibebankan-pada pihak pemohon atau penggugat. Dal~m hal ini dapat pemerintah jelazkan bahwa berdasarkan pada kenyutaan kebanyakan perkara yang .diselesaikan oleh Pengadilan Agama adalah sengketa keluarga/perkawinan yang pada umumnya pihak wanita lah yang menanggung beban psykologis yang berat. Adalah kurang adil apabila kemudian biaya perkara dibebankan juga kepadanya bak pepatah mengatakan "Sudah jatuh tertimpa tangga". nkan tetapi dalarn hal tertentu hakim dapat memutuskan lain.

Saudara Pimpinan- dan Anggota Dewan yang terhormat,

Sebelum mengakhiri jClwnban Pemerintah ini ingin kami mengulangi penegasan dan ajakan yang .sudah disampaikan dalam keterangan Pemerintah tanggal 28 Januari 1989

hendaknya kehadiran RUU Peradilan 1\gama ini kita terima dengan lapang dada. Kehadiran RUU-PA ini semata-mata kehendak sejarah dan tidak akan mengganggu kezatuan dan persatuan bangsa.

Demikianlah jawaban Pemerintah Frak!3i-fraksi . di Dewan Perwakilan jawaban dan penjelasan Pemerintah

atas pemandangan umum Rakyat ini. Semoga

ini telah memenuhi

Page 29: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

----~------ ---~---------~~~~~~~~~--I"'"

29

harapandari Fraksi-fraksi, dan dapat digunakan sebagai. bahan untuk pembahasan berikutnya.

Akhirul kalam atas nama Pemerintah sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kesabaran dan ketekunan Saudara Pimpinan dan segenap Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat mengikuti jalannya Jawaban Pemerintah ini.

Semoga Tuhan Yang Haha Esa memberkati kita semua.

Wassalamu'alaikum W. W.

Jakarta, 19 Juni 1989

Atas nama Pemerintah Republik Indonesia

~---~r~t~RI AGAMA REPUBLIK INDENESIA

---

SJADZALI

Page 30: MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIAberkas.dpr.go.id/armus/file/Lampiran/leg_1-20191028...2019/10/28  · (5tbl. 1855 No.2) ditentukan batas kewenangan Peradilan Agama, yaitu: a. Peradilan

halaman

1

4

5

6

7

8

11

12

13

14

15

16

22

23

26

28

Baris

3 d.b.

13 d.a.

5 d.a.

16 d.a

10 d.a

:; a.a 6 d.b

8 d.b

1~ d.b

13 d.b

10 d.b

8 d.b

2 d.L

10 d.a

9 d.b

1 d.a

7 d.a

8 d.a

R A L AT.

Tertulis

usus1-usu1

berweang

hatus

Hindia Belanda dalarn

Betu1nya

usul-usul

berwenang

harus

hindia Belanda, da1arn

rnernpertahankan hu- rnenghiraukan hukum kum

memasukan

1uar biasa dan

24,25,27,28,29

mernasukkan

luar Liasa, dan

24,25,28,29

Pernerintah me1aya: Pernerintah adalah rnelayani ni

rneletakan meletakkan

tidak boleh ter- tidak terla1u lalu

rnasyarakat hal masyarakat, hal

masyarakat .... " rnasyarakat.

terlarang".Juga terlarang", juga

mempernyatakan rnernpertanyakan

kepegawaian pasal kepegawaian.Menurut pasa131 31

negara akan dise- negara. rahkan/diurus 0-leh negara

mernasukan rnernasukkan