etika profesi peradilan

72
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekuasaan lembaga peradilan di Indonesia, secara konstitusional diatur dalam undang – undang Dasar 1945 sebagai salah satu pemegang kekuasaan Negara dibidang yudikatif, yang merupakan kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 undang – undang dasar 1945 (amandemen) yang menentukan bahwa : (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan ; (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ; Kedudukan Mahkamah Agung merupakan puncak dari badan – badan peradilan empat lingkungan peradilan, yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, yang masing – masing lingkungan peradilan tersebut terdiri dari peradilan tingkat pertama maupun peradilan tingkat banding.

description

KUALITAS PROFESIONALISME DALAM PROSESPEMBARUAN DAN KONSEKUENSI TERHADAP PENCEDERAANETIKA PROFESI DALAM LEMBAGA PERADILAN

Transcript of etika profesi peradilan

Page 1: etika profesi peradilan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kekuasaan lembaga peradilan di Indonesia, secara konstitusional

diatur dalam undang – undang Dasar 1945 sebagai salah satu pemegang

kekuasaan Negara dibidang yudikatif, yang merupakan kekuasaan untuk

menyelenggarakan peradilan dalam rangka menegakkan hukum dan

keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 undang – undang dasar 1945

(amandemen) yang menentukan bahwa :

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan ;

(2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

Badan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, peradilan tata

usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi ;

Kedudukan Mahkamah Agung merupakan puncak dari badan –

badan peradilan empat lingkungan peradilan, yakni peradilan umum,

peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha Negara, yang

masing – masing lingkungan peradilan tersebut terdiri dari peradilan tingkat

pertama maupun peradilan tingkat banding.

Page 2: etika profesi peradilan

2

Pada Negara – Negara demokrasi yang dijalankan berdasarkan

hukum (democracy under rule of law, democratische rechtsstaat) ada

beberapa pilar utama kekuasaan kehakiman yang harus dihormati dan

dijunjung tinggi, yaitu : independent, impartial, fair, dan competent .1)

Penegakan hukum melalui lembaga pengadilan yang pro keadilan

dan bebas dari intimidasi didalamnya terkandung makna, yaitu :

a. Direktif, sebagai pengarah dalam pembangunan untuk membentuk

masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan

bernegara ;

b. Integratif, sebagai pembinaan kesatuan bangsa ;

c. Stabilitatif, sebagai pemeliharaan dan penjaga keselarasan, keserasian,

dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat ;

d. Prefektif, sebagai penyempurna terhadap tindakan administrasi Negara,

maupun sikap tindak warga Negara dalam kehidupan bernegara dan

bermasyakarakat ;

e. Korektif, baik terhadap warga Negara maupun penyelenggaraan Negara

dalam mendapat keadilan.2)

1)

Bagir Manan, Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim sebagai Penjaga Kekuasaan

Kehakiman Yang Merdeka, dijakarta, 22 April 2009.

2)

Syahran Basah, Fungsi Hukum dalam kehidupan Masyarakat, dalam Tiga Tulisan

tentang Hukum, Amrico, 1986, hlm. 24-25.

Page 3: etika profesi peradilan

3

Hakim sebagai pelaku kekuasaan kehakiman merupakan pejabat

publik yudisial dan karenanya hakim bukan jabatan dibidang eksekutif,

sehingga hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah bersifat

merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah maupun intervensi

dari mana pun atau siapa pun. Namun demikian, hakim sebagai salah satu

penegak hukum dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman tidak dapat

serta merta berbuat semaunya tanpa mendasarkan pada peraturan

perundang – undangan yang berlaku yang memberikan kewenangan dan

menuntun hakim dalam melakasanakan tugas yudisialnya, tetapi hakim

sebagai aktor utama atau figure sentral dalam proses peradilan dituntut

mempunyai profesionalisme dalam menegakkkan hukum dan keadilan.

Sehingga dalam melaksanakan tugas yudisialnya, hakim harus dapat

mempertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa maupun kepada

masyarakat.

Dalam rangka menjaga harkat dan menegakkan kehormatan,

keluhuran, martabat serta perilaku hakim, maka dibentuklah lembaga

komisi yudisial yang bersifat mandiri yang diangkat oleh Presiden dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Vide Pasal 24 B Ayat (1) dan Ayat

(3) Undang – Undang Dasar 1945).

Page 4: etika profesi peradilan

4

Pengawasan yang dilakukan oleh Komisi Yudisial kepada Hakim

merupakan pengawasan yang bersifat eksternal dengan mendasarkan pada

etika profesi (kode etik dan pedoman perilaku hakim), sedangkan

pengawasan internal atas tingkah laku hakim, pelaksanaan tugas

administrasi dan keuangan dilakukan oleh Mahkamah Agung, tetapi dalam

melaksanakan pengawasan tersebut, tidak boleh mengurangi kebebasan

hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, sehingga Mahkamah

Agung dan/atau Komisi Yudisial wajib:

a. Mentaati norma dan peraturan perundang-undangan ;

b. Berpedoman pada kode etik dan pedoman perilaku hakim ;

c. Menjaga kerahasiaan keterangan dan informasi yang diperoleh ;

Pedoman tingkah laku Hakim (code of judicial ethics) sebagai

peraturan etika (rules of ethics) dan secara normative bukan sebuah aturan

hukum, baik ditinjau dari wewenang membuat menetapkan, isi (materi

muatan), cara menetapkan dan cara menegakkan pedoman tingkah laku

hakim tida memenuhi syarat sebagai ketentuan hukum (legal norms).

Pedoman tingkah laku hakim adalah aturan moral (etik) yang

bertujuan untuk membangun dan memperkukuh standar moral (etik)

tingkah laku hakim. Sebagai aturan moral (etik), pedoman Perilaku Hakim

Page 5: etika profesi peradilan

5

–dimanapun-lebih menentukan segi-segi kewajiban yang wajib diemban

dan dipikul oleh hakim baik secara individual maupun secara kolektif.

Oleh karena perilaku profesi hakim merupakan salah satu aspek

yang mendapatkan perhatian masyarakat di masa perubahan (reformasi) ini,

dan berdasarkan pasal 32 A jo. Pasal 81 B Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2009 tentang Perubahan kedua Undang – Undang Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung, maka telah diterbitkan kode etik dan pedoman

perilaku hakim yang merupakan pedoman bagi hakim dalam memberikan

bimbingan terhadap keutamaan moral dalam melaksanakan tugas kedinasan

maupun dalam melakukan hubungan dengan masyakarat, hal mana kode

etik pedoman perilaku hakim dimaksud juga merupakan pedoman bagi

Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI dalam melakukan fungsi

pengawasan internal maupun ekternal, sebagaimana termuat dalam

keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung Rid an Komisi Yudisial RI

Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009

tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Sedangkan dalam era perubahan ini salah satu aspek yang tidak

kalah penting dalam mewujudkan danm meningkatkan profesionalisme

hakim yang dapat memberikan keadilan bagi pencari keadilan adalah aspek

kemampuan atau pengetahuan hakim secara individual, baik kemampuan

Page 6: etika profesi peradilan

6

hukum materiil maupun hukum formal, sehingga untuk merealisasikan hal

tersebut Mahkamah Agung secara berkala mengadakan pelatihan,

bimbingan teknis, temu ilmiah kepada para hakim dan bahkan memberikan

beasiswa kepada para hakim untuk melanjutkan pendidikan formal yang

lebih tinggi (S-2, S-3) agar hakim mempunyai pengetahuan yang memadai

untuk menghadapi perkembangan sosial, politik, budaya maupun teknologi

yang begitu cepat berubah, sehingga hakim mempunyai bekal yang cukup

dalam mengadili perkara.

Namun demikian, meskipun hakim dalam menyelenggarakan

kekuasaan peradilan bersifat merdeka, tetapi apabila hakim tersebut

melakukan pencederaan terhadap etika profesi dan pedoman perilaku

hakim atau peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka hakim

tersebut secara kasuistis dapat dikenakan sanski yang bersifat pidana dan

atau sanksi administrative.

Pencederaan etika profesi hakim dalam lembaga peradilan sangat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah tidak dipenuhinya

sarana dan prasarana bagi hakim selaku penegak hukum maupun sebagai

warga masyarakat, hal tersebut menjadi tanggung jawab Negara untuk

memberikan jaminan keamanan bagi hakim dan pengadilan , kecukupan

kesejahteraan, kelayakan fasilitas, pemberian anggaran yang memadai.

Page 7: etika profesi peradilan

7

Secara realita, apakah perhatian Negara kepada hakim sudah

diberikan secara optimal karena apabila kita mengamati gedung kantor

pengadilan didaerah-daerah, rumah dinas hakim, sarana-sarana perkantoran

dipengadilan serta kesejahteraan hakim sangat memprihatinkan.

Meskipun demikian, Mahkamah Agung dalam era Reformasi

sebagai konsekuensi perkembangan sosial dan budaya, berupaya

melakukan langkah-langkah strategis dalam menghadapi perubahan

paradigma yang ada dalam masyarakat untuk menjadikan lembaga

peradilan yang mandiri, netral, kompeten, transparan, akuntabel, dan

berwibawa yang mampu menegakkan hukum dan keadilan.

Oleh karena itulah menurut penulis sangatlah menarik untuk

ditelusuri, diteliti lebih jauh dan ditulis dalam bentuk skripsi mengenai :

“ KUALITAS PROFESIONALISME DALAM PROSES

PEMBARUAN DAN KONSEKUENSI TERHADAP PENCEDERAAN

ETIKA PROFESI DALAM LEMBAGA PERADILAN”.

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian tersebut, maka permasalahan yang akan dibahas

adalah:

Page 8: etika profesi peradilan

8

1. Apakah masyarakat bangsa Indonesia telah menempatkan lembaga

peradilan dalam posisi yang tepat dalam rangka sistem penyelenggaraan

kehidupan bangsa dan Negara ?

2. Bagaimanakah peradilan Indonesia menjawab tantangan perubahan

sebagai konsekuensi perkembangan global ?

C. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian.

1. Ruang Lingkup

Yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Apakah

masyarakat bangsa Indonesia telah menempatkan lembaga peradilan

dalam posisi yang tepat dalam rangka sistem penyelenggaraan

kehidupan bangsa dan Negara ? Bagaimanakah peradilan Indonesia

menjawab tantangan perubahan sebagai konsekuensi perkembangan

global ?, namun untuk membatasi ruang lingkup pembahasan maka

dalam hal ini penulis hanya meneliti isi daripada Undang – Undang

yang berkenaan dengan hal tersebut dan yang menjadi sangat penting

dalam sorotan masyarakat khususnya dalam penulisan skripsi ini .

Selain itu untuk membatasi objek penelitian maka dalam hal ini penulis

Page 9: etika profesi peradilan

9

hanya akan melakukan penelitian hanya terbatas pada undang – undang

tersebut saja.

2. Tujuan Penelitian

a. Untuk menjelaskan bahwasanya Hakim sebagai pelaksana

kekuasaan kehakiman semakin dituntut mempunyai Integritas tinggi,

dan professional, sehingga hakim memperoleh kepercayaan dari

masyarakat. Dan Hakim sebagai salah satu profesi penegak hukum

harus berbenah dan mengubah pola pikir dan pola budaya yang

selama ini dipahami dalam rangka mempersiapkan dan menghadapi

struktur hukum nasional di era perubahan ini. Sebagai usaha dalam

menegakkan hukum lebih menjanjikan dan dapat dilakukan apabila

hakim benar-benar dibimbing dan dipimpin oleh perangkat peraturan

yang benar-benar berorientasi dan berpihak pada penegakan hukum

dan keadilan. Adapun sikap yang terbaik dalam melakukan

pembenahan hukum di Indonesia adalah dengan menyelenggarakan

reformasi yang terkait perencanaan, legislasi, dan penerapan hukum.

b. Agar para hakim bukannya sama sekali menutup mata terhadap

kritik dari semua lapisan masyarakat, tetapi para hakim benar-benar

Page 10: etika profesi peradilan

10

menyadari bahwa peningkatan kualitas keilmuan, keterampilan

teknis yudisial maupun kualitas integritas moral dan karakter.

c. Untuk menambah ilmu dalam memperkuat tradisi dialektika

akademik yang ditandai dengan dinamika sikap kritis dan sekaligus

inovatif sebagai tanggung jawab sejarahnya untuk menyemai dan

melahirkan sesuatu yang baru yang lengkap dan lebih jelas dalam

Undang – Undang tersebut.

D. Metodelogi.

Sesuai dengan ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini

metodologi yang digunakan dalam penulisan adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian :

- Jenis Penelitian

Jenis Penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis empiris

yang meliputi penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifitas

hukum.

- Sifat Penelitian

Sifat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah bersifat

eksploratoris dalam hal ini penelitian melakukan penelitian terhadap

Page 11: etika profesi peradilan

11

” Kualitas Profesionalisme Dalam Proses Pembaruan Dan

Konsekuensi Terhadap Pencederaan Etika Profesi Dalam Lembaga

Peradilan “.

2. Jenis dan Sumber Data

a ) Jenis Data

Data yang di pergunakan dalam penelitian ini adalah data primer

dan data sekunder.

1) Data Primer, yaitu data yang diperoleh dari penelitian lapangan

(field Research)

2) Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan

(library Research)

b) Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam skripsi ini yaitu :

1. Data primer Yaitu data yang bersumber atau di peroleh dari

penelitian lapangan (field Research). Dengan cara wawancara

dengan para Pejabat yang berwenang di Kantor Pengadilan

Negeri Muara Enim.

2. Data sekunder yaitu data yang bersumber atau di peroleh dari

penelitian Kepustakaan ( library research ) yang berupa :

Page 12: etika profesi peradilan

12

a) Bahan hukum primer yaitu Undang-undang, Peraturan

Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Presiden,

Keputusan Mahkamh Agung.

b) Bahan hukum sekunder yaitu data yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer yang berbentuk

buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan Peran Peradilan

Indonesia dan pengadilan, hasil penelitian dan berbagai

makalah, hasil seminar, majalah jurnal ilmiah dan surat kabar

yang berkaitan dengan penelitian.

c) Bahan hukum tersier (penunjang) yaitu bahan-bahan yang

memberi petunjuk terhadap bahan hukum primer maupun

sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

3. Tehnik Pengumpulan Data

a. Data Primer

Data Primer yaitu tehnik pengumpulan data, dengan cara melakukan

Penelitian Lapangan (Field Reseach) di Kantor Pengadilan Negeri

Muara Enim. Data tersebut dikumpulkan melalui :

1. Wawancara (interview), yaitu dilakukan dengan cara

mengajukan pertanyaan langsung kepada responden (Pejabat

yang berwenang di Pengadilan Negeri Muara Enim) secara

Page 13: etika profesi peradilan

13

terarah (directive interview) dan mendalam (depth interview)

dengan berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah

dipersiapkan terlebih dahulu.

2. Pengamatan (observasi), yaitu mengadakan pengamatan dan

pencatatan secara metode pengumpulan data yang dilakukan

secara sistematis terhadap lingkungan kerja dalam kegiatan yang

ada untuk memperoleh hasil sesuai dengan sasaran dalam rangka

mendapatkan kelengkapan data melalui situs di internet.

b. Data Sekunder

Data sekunder, yaitu tehnik pengumpulan data yang diperoleh dari

penelitian Kepustakaan (library Research) yang relevan dengan

pokok permasalahan peran Peradilan Indonesia dalam mengawasi

Lembaga Peradilan.

4. Tehnik Analisa Data

Tehnik analisa data primer dan sekunder yang dikumpulkan

dalam penelitian akan dianalisa secara kualitatif, penelitian ini akan

menghasilkan data deskriptif analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh

responden secara tertulis atau lisan yang diteliti dan dipelajari sebagai

suatu yang utuh. Untuk selanjutnya di tarik suatu kesimpulan.

Page 14: etika profesi peradilan

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Etika dan Etika Profesi

Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang

berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika

akan berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu ataupun

kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah

dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik.3)

Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai “the discipline

which can act as the performance index or reference for our control

system”.

Etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena

segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan

kelompok social (profesi) itu sendiri.4)

Kehadiran organisasi profesi dengan perangkat “built-in

mechanism” berupa kode etik profesi dalam hal ini jelas akan diperlukan

3)

Munir Fuady, Citra Aditya. 2005. Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,

Notaris, Kurator, dan Pengurus. Bandung : Mandar Maju

4)

Ibid 3

Page 15: etika profesi peradilan

15

untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan di sisi lain

melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun

penyalah-gunaan keahlian (Wignjosoebroto, 1999).

Sebuah profesi hanya dapat memperoleh kepercayaan dari

masyarakat, bilamana dalam diri para elit profesional tersebut ada

kesadaran kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin

memberikan jasa keahlian profesi kepada masyarakat yang

memerlukannya.

Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang filsafat yang

berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan

keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus

bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma.

Norma ini masih dibagi lagi menjadi norma hukum, norma moral, norma

agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan

perundang- undangan, norma agama berasal dari agama sedangkan norma

moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari kehidupan

sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika. Etika (ethics) berarti

moral sedangkan etiket (etiquette) berarti sopan santun.5)

5)

Ibid 3 hal 14

Page 16: etika profesi peradilan

16

Persamaan antara etika dengan etiket yaitu:

1. Etika dan etiket menyangkut perilaku manusia. Istilah tersebut dipakai

mengenai manusia tidak mengenai binatang karena binatang tidak

mengenal etika maupun etiket.

2. Kedua-duanya mengatur perilaku manusia secara normatif artinya

memberi norma bagi perilaku manusia dan dengan demikian

menyatakan apa yag harus dilakukan dan apa yang tidak boleh

dilakukan. Justru karena sifatnya normatif maka kedua istilah tersebut

sering dicampuradukkan.

Perbedaan antara etika dengan etiket yaitu :

1. Etiket menyangkut cara melakukan perbuatan manusia. Etiket

menunjukkan cara yang tepat artinya cara yang diharapkan serta

ditentukan dalam sebuah kalangan tertentu.Etika tidak terbatas pada

cara melakukan sebuah perbuatan, etika memberi norma tentang

perbuatan itu sendiri. Etika menyangkut masalah apakah sebuah

perbuatan boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

2. Etiket hanya berlaku untuk pergaulan. Etika selalu berlaku walaupun

tidak ada orang lain. Barang yang dipinjam harus dikembalikan

walaupun pemiliknya sudah lupa.

Page 17: etika profesi peradilan

17

3. Etiket bersifat relatif. Yang dianggap tidak sopan dalam sebuah

kebudayaan, dapat saja dianggap sopan dalam kebudayaan lain.Etika

jauh lebih absolut. Perintah seperti “jangan berbohong”, “jangan

mencuri” merupakan prinsip etika yang tidak dapat ditawar-tawar.

4. Etiket hanya memadang manusia dari segi lahiriah saja sedangkan etika

memandang manusia dari segi dalam. Penipu misalnya tutur katanya

lembut, memegang etiket namun menipu. Orang dapat memegang etiket

namun munafik sebaliknya seseorang yang berpegang pada etika tidak

mungkin munafik karena seandainya dia munafik maka dia tidak

bersikap etis. Orang yang bersikap etis adalah orang yang sungguh-

sungguh baik.

Etika perlu dibedakan dari moral. Ajaran moral memuat pandangan

tentang nilai dan norma moral yang terdapat pada sekelompok manusia.

Ajaran moral mengajarkan bagaimana orang harus hidup. Ajaran moral

merupakan rumusan sistematik terhadap anggapan tentang apa yang

bernilai serta kewajiban manusia.

Etika merupakan ilmu tentang norma, nilai dan ajaran moral. Etika

merupakan filsafat yang merefleksikan ajaran moral. Pemikiran filsafat

mempunyai 5 ciri khas yaitu bersifat rasional, kritis, mendasar, sistematik

Page 18: etika profesi peradilan

18

dan normatif (tidak sekadar melaporkan pandangan moral melainkan

menyelidiki bagaimana pandangan moral yang sebenarnya).

Etika Dalam Penggunaan TI (Technology Informasi)

Etika secara umum didefinisikan sebagai suatu kepercayaan atau

pemikiran yang mengisi suatu individu, yang keberadaannya bisa

dipertanggungjawabkan terhadap masyarakat atas prilaku yang diperbuat.

Biasanya pengertian etika akan berkaitan dengan masalah moral.

Moral adalah tradisi kepercayaan mengenai prilaku benar dan salah yang

diakui oleh manusia secara universal. Perbedaannya bahwa etika akan

menjadi berbeda dari masyarakat satu dengan masyarakat yang lain.…….

Dua aktivitas utama etika komputer (James H. Moore) :

1. waspada,…………………………………………………………………..

2. sadar.

Tiga alasan utama minat masyarakat yang tinggi pada etika computer

1. kelenturan logika (logical malleability), kemampuan memrograman

komputer untuk melakukan apa pun yang kita inginkan.

Page 19: etika profesi peradilan

19

2. faktor transformasi (transformation factors), contoh fasilitas e-mail

yang bisa sampai tujuan dan dapat dibuka atau dibaca dimanapun kita

berada,

3. faktor tak kasat mata (invisibility factors).

Semua operasi internal komputer tersembunyi dari penglihatan, yang

membuka peluang pada nilai-nilai pemrograman yang tidak terlihat,

perhitungan yang rumit terlihat dan penyalahgunaan yang tidak tampak

Hak Sosial dan Komputer

(Deborah Johnson)6)

1. Hak atas akses komputer, yaitu setiap orang berhak untuk

mengoperasikan komputer dengan tidak harus memilikinya. Sebagai

contoh belajar tentang komputer dengan memanfaatkan software yang

ada;

2. Hak atas keahlian komputer, pada awal komputer dibuat, terdapat

kekawatiran yang luas terhadap masyarakat akan terjadinya

pengangguran karena beberapa peran digantikan oleh komputer. Tetapi

pada kenyataannya dengan keahlian di bidang komputer dapat

membuka peluang pekerjaan yang lebih banyak;

6)

wartawarga.gunadarma”etika-pemanfaatan-teknologi-informasi” Jakarta, 2005

Page 20: etika profesi peradilan

20

3. Hak atas spesialis komputer, pemakai komputer tidak semua

menguasai akan ilmu yang terdapat pada komputer yang begitu banyak

dan luas. Untuk bidang tertentu diperlukan spesialis bidang komputer,

seperti kita membutuhkan dokter atau pengacara;

4. Hak atas pengambilan keputusan komputer, meskipun masyarakat

tidak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan mengenai

bagaimana komputer diterapkan, namun masyarakat memiliki hak

tersebut.

Hak atas Informasi

(Richard O. Masson)7)

1. Hak atas privasi, sebuah informasi yang sifatnya pribadi baik secara

individu maupu dalam suatu organisasi mendapatkan perlindungan atas

hukum tentang kerahasiannya;

2. Hak atas Akurasi. Komputer dipercaya dapat mencapai tingkat akurasi

yang tidak bisa dicapai oleh sistem nonkomputer, potensi ini selalu ada

meskipun tidak selalu tercapai;

3. Hak atas kepemilikan. Ini berhubungan dengan hak milik intelektual,

umumnya dalam bentuk program-program komputer yang dengan

7)

Ibid 6 hal 19

Page 21: etika profesi peradilan

21

mudahnya dilakukan penggandaan atau disalin secara ilegal. Ini bisa

dituntut di pengadilan;

4. Hak atas akses. Informasi memiliki nilai, dimana setiap kali kita akan

mengaksesnya harus melakukan account atau izin pada pihak yang

memiliki informasi tersebut. Sebagai contoh kita dapat membaca data-

data penelitian atau buku-buku online di Internet yang harus bayar

untuk dapat mengaksesnya.

B. Pengertian Lembaga Peradilan

Kata ”lembaga” antara lain diartikan sebagai 1) ’asal mula (yang

akan menjadi sesuatu); bakal (binatang, manusia, tumbuhan)’; (2) ’bentuk

(rupa, wujud) yang asli’; (3) ’acuan; ikatan (tentang mata cincin dsb)’; (4)

’badan (oganisasi) yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau

melakukan suatu usaha’; dan (5) ’pola perilaku manusia yang mapan,

terdiri atas interaksi sosial berstruktur di suatu kerangka nilai yang relevan’.

Kamus tersebut juga memberi contoh frasa menggunakan kata lembaga,

yaitu lembaga pemerintah yang diartikan ’badan-badan pemerintahan

dalam lingkungan eksekutif. Kalau kata pemerintahan diganti dengan kata

Page 22: etika profesi peradilan

22

negara, diartikan ’badan-badan negara di semua lingkungan pemerintahan

negara (khususnya di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif).8)

Untuk memahami pengertian lembaga secara lebih dalam, kita dapat

mendekatinya dari pandangan Hans Kelsen mengenai the concept of the

State Organ dalam bukunya General Theory of Law and State. Hans

Kelsen menguraikan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the

legal order is an organ”, artinya siapa saja yang menjalankan suatu fungsi

yang ditentukan oleh suatu tata hukum (legal order) adalah suatu

organisasi. 9)

Menurut Kelsen, parlemen yang menetapkan undang-undang dan

warga negara yang memilih para wakilnya melalui pemilihan umum sama-

sama merupakan organisasi negara dalam arti luas. Demikian pula hakim

yang mengadili dan menghukum penjahat dan terpidana yang menjalankan

hukuman tersebut di lembaga pemasyarakatan adalah juga merupakan

organ negara. Pendek kata dalam pengertian yang luas ini organisasi negara

itu identik dengan individu yang menjalankan fungsi atau jabatan tertentu

dalam konteks kegiatan bernegara. Inilah yang disebut sebagai jabatan

8)

K.Wantjik Saleh, “kehakiman dan peradilan”, Jakarta : Simbur Cahaya, 1976

9) Ibid 8

Page 23: etika profesi peradilan

23

publik atau jabatan umum (public offices) dan pejabat publik atau pejabat

umum (public officials).10)

Di samping pengertian luas itu, Hans Kelsen juga menguraikan

adanya pengertian organisasi negara dalam arti yang sempit, yaitu

pengertian organ dalam arti materiil. Individu dikatakan organ negara

hanya apabila ia secara pribadi memiliki kedudukan hukum yang tertentu

(...he personally has a specific legal position). Suatu transaksi hukum

perdata, misalnya, kontrak, adalah merupakan tindakan atau perbuatan yang

menciptakan hukum seperti halnya suatu putusan pengadilan.11)

Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan

pengertian yang berbeda, perbedaannya adalah :12)

1. Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam

bahasa Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakkan hukum dan

keadilan.

2. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam

bahasa Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan

berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

10)

Ibid 9 11)

SANKRI, Buku I Prinsip-prinsip Penyelenggaraa Negara, LAN RI, 2003 12)

Dikutip dari artikel Hubungan antar Lembaga, Indoskripsi.com

Page 24: etika profesi peradilan

24

3. Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni

“adil” yang memiliki pengertian:

a. Proses mengadili.

b. Upaya untuk mencari keadilan

c. Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan.

d. Berdasar hukum yang berlaku.

Reformasi hukum di bidang lembaga hukum menyeruak dalam

penerapan system peradilan satu atap di Indonesia yang melahirkan

amandemen UUD 1945 yakni pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa

kekuasaan kehakiman dilakukan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung

dan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Kemudian UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 10

ayat (2) menyebutkan bahwa badan peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan

umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha Negara.

Page 25: etika profesi peradilan

25

Ke-4 lembaga peradilan tersebut berpuncak di Mahkamah Agung,

baik dalam hal teknis yudisialnya maupun non teknis yudisialnya. Adapun

strata ke-empat lembaga tersebut adalah :

a. Lingkungan peradilan umum terdiri dari Pengadilan Negeri sebagai

pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan

tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

b. Lingkungan peradilan agama terdiri dari Pengadilan Agama sebagai

pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai

pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI. Adapun

Pengadilan Agama yang ada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

berdasar Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2003 diubah menjadi

Mahkamah Syar’iyyah, seadangkan Pengadilan Tinggi Agama Banda

Aceh Darussalam diubah menjadi Mahkamah Syar’iyyah Provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam.

c. Lingkungan Peradilan militer terdiri dari Mahkamah Militer sebagai

pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Militer Tinggi sebagai

pengadilan tingkat banding dan berpuncak di MA-RI.

d. Lingkungan peradilan tata usaha Negara terdiri dari Pengadilan Tata

Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan

Page 26: etika profesi peradilan

26

Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat banding dan

berpuncak di MA-RI.

Adapun kewenangan absolut Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah

Syar’iyyah Provinsi adalah kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan

Tinggi Agama, ditambah dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan

kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’ar Islam yang ditetapkan

dalam Qanun. Kewenangan lain tersebut dilaksanakan secara bertahap

sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya

manusia dalam kerangka system peradilan nasional. Mengenai kewenangan

relatif Mahkamah Syar’iyyah adalah daerah hukum eks Pengadilan Agama

yang bersangkutan, sedangkan kewenangan relatif Mahkamah Syar’iyyah

Provinsi adalah daerah hukum eks Pengadilan Tinggi Agama Banda Aceh.

Pengalihan Badan Peradilan Konsekuensi dari UU Kekuasaan

Kehakiman adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan

peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya, pembinaan badan-

badan peradilan berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan

HAM, Departemen Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, namun saat

ini seluruh badan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi.

Page 27: etika profesi peradilan

27

Berikut adalah peralihan badan peradilan ke Mahkamah Agung:

1. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan

Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Pengadilan Tinggi, Pengadilan

Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tata

Usaha Negara, terhitung sejak tanggal 31 Maret 2004 dialihkan dari

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung.

2. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Pembinaan

Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi

Agama/Mahkamah Syariah Propinsi, dan Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariah, terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004

dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.

3. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Pengadilan Militer,

Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, terhitung

sejak tanggal 1 September 2004 dialihkan dari TNI ke Mahkamah

Agung. Akibat perlaihan ini, seluruh prajurit TNI dan PNS yang

bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih

menjadi personel organik Mahkamah Agung, meski pembinaan

keprajuritan bagi personel militer tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI.

Page 28: etika profesi peradilan

28

Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan

kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada

di bawah Mahkamah Agung.

C. Dasar Hukum yang menjadi landasan dalam lembaga peradilan

Disamping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan

kehakiman, UUD 1945 juga mengintroduksi suatu lembaga baru yang

berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi

Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku

hakim.

Seperti Dalam Dasar Hukum berikut :

A. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Perubahan UUD 1945 yang

membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan

kekuasaan kehakiman, membuat perlunya dilakukan perubahan

secara komprehensif mengenai Undang-Undang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai

Page 29: etika profesi peradilan

29

badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-

asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan

perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam

mencari keadilan.13)

B. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009

Tentang Perubahan kedua atas undang-undang nomor 14 Tahun

1985 Tentang Mahkamah agung. Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 24 menegaskan bahwa

kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

yang membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan

umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,

dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Undang-Undang ini

adalah Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2004. Perubahan dilakukan karena Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2004, khususnya yang menyangkut pengawasan,

13)

Undang – Undang No. 4 Tahun 2004 (Perubahan UUD 1945) tentang Kekuasaan

Kehakiman, Jakarta, Tim Visimedia Pustaka Newsroom, November : 2009.

Page 30: etika profesi peradilan

30

sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum

masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Agung adalah

pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang

berada di bawahnya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung melakukan

pengawasan tertinggi terhadap badan peradilan dalam lingkungan

peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan

militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. Akan tetapi,

Mahkamah Agung bukan satu-satunya lembaga yang melakukan

pengawasan karena ada pengawasan eksternal yang dilakukan oleh

Komisi Yudisial. Berdasarkan Pasal 24 B Undang- Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Komisi Yudisial

berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan

mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan

kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Oleh karena itu, diperlukan kejelasan tentang pengawasan

yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung dan pengawasan yang

menjadi kewenangan Komisi Yudisial. Pengawasan yang dilakukan

oleh Mahkamah Agung meliputi pelaksanaan tugas yudisial,

administrasi, dan keuangan, sedangkan pengawasan yang menjadi

Page 31: etika profesi peradilan

31

kewenangan Komisi Yudisial adalah pengawasan atas perilaku

hakim, termasuk hakim agung. Dalam rangka pengawasan

diperlukan adanya kerja sama yang harmonis antara Mahkamah

Agung dan Komisi Yudisial. Dalam Ayat (1): Yang dimaksud

dengan "calon hakim agung yang berasal dari hakim karier" adalah

calon hakim agung yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan

peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan

oleh Mahkamah Agung. Dalam Ayat (2): Yang dimaksud dengan

"calon hakim agung yang juga berasal dari nonkarier" adalah calon

hakim agung yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.

C. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

Dan Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor :

047/Kma/Skb/Iv/2009 Nomor : 02/Skb/P.Ky/Iv/2009 Tentang Kode

Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim .Pengadilan yang mandiri, netral

(tidak memihak), kompeten, transparan, akuntabel dan berwibawa,

yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum,

kepastian hukum dan keadilan merupakan conditio sine qua non atau

persyaratan mutlak dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum.

Pengadilan sebagai pilar utama dalam penegakan hukum dan

keadilan serta proses pembangunan peradaban bangsa.

Page 32: etika profesi peradilan

32

Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap

keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan

integritas Negara. Dan hakim sebagai aktor utama atau figur sentral

dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan

nurani, memelihara integritas, kecerdasan moral dan meningkatkan

profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi

masyarakat banyak.

Oleh sebab itu, semua wewenang dan tugas yang dimiliki oleh

hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran

dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang

seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, dimana setiap orang

sama kedudukannya di depan hukum dan hakim.

Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut

tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang

diucapkan dengan irah-irah ”Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan hukum,

kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara

horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal

dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Page 33: etika profesi peradilan

33

Untuk mewujudkan suatu pengadilan sebagaimana di atas, perlu

terus diupayakan secara maksimal tugas pengawasan secara internal dan

eksternal oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Komisi

Yudisial Republik Indonesia.

D. Tanggung Jawab Lembaga Peradilan

Salah satu masalah yang sangat penting dalam upaya perbaikan

sistem peradilan dan penegakan hukum dan keadilan di Indonesia adalah

masalah manajemen. Persoalan manajemen ini biasanya kurang mendapat

perhatian serius di kalangan sarjana hukum yang mendominasi pengelolaan

pelbagai lembaga-lembaga hukum di tanah air kita. Mulai dari fungsi

penyidikan, penuntutan, pembelaaan, pengadilan, sampai ke fungsi

eksekusi dan pemasyarakatan selalu didominasi oleh para sarjana hukum

yang tidak begitu terlatih dalam urusan administrasi dan manajemen.

Karena itu, hampir semua lembaga-lembaga hukum di tanah air kita

menghadapi persoalan-persoalan administrasi dan manajemen yang kurang

responsif dan cenderung ketinggalan zaman dalam menghadapi

perkembangan dalam masyarakat yang menuntut akses keadilan (access to

Page 34: etika profesi peradilan

34

justice) yang lebih adil dan berkepastian dan pelayanan hukum (legal

services) yang lebih efisien dan terbuka.14)

Dalam pengertiannya yang paling sederhana, urusan manajemen itu

menyangkut persoalan “man, money, and material”, yaitu sumber daya

manusia, sistem administrasi keuangan, dan urusan sarana dan prasarana

penunjang. Ketiganya dapat dibedakan dalam dua urusan, yaitu

administrasi yang langsung berhubungan dengan manajemen perkara, dan

administrasi yang berhubungan dengan kelembagaan organisasi lembaga

hukum yang bersangkutan. 15)

Dalam kaitan dengan lembaga peradilan, maka aspek administrasi

dan manajemen ini biasa dibedakan antara urusan kepaniteraan dan urusan

kesekretariatan badan-badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan

kehakiman. Dalam pengertiannya yang lebih kompleks, persoalan

manajemen itu dapat dibedakan dalam beberapa aspek, yaitu :16)

(i) perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi;

1. MANAJEMEN PERKARA

Dalam Manajemen perkara, dimulai sejak pelaporan, pengaduan,

ataupun pendaftaran pelayanan hukum sampai ke tahap eksekusi

14)

http://jimly.com/makalah/namafile/63/REFORMASI_TATA_KELOLA_MANAJEMEN_

PERADILAN.pdf diakses 14 desember 2011 15)

ibid 12 16)

ibid 14

Page 35: etika profesi peradilan

35

putusan dan pemasyarakatan merupakan satu kesatuan proses mulai dari

terjadinya peristiwa hukum dalam masyarakat sampai terwujudnya

keadaan atau terpulihkannya kembali keadilan dalam masyarakat.

Dalam proses itu diperlukan adanya jaminan bahwa:

(i) Prosesnya berlangsung tepat dalam menjamin keadilan (justice)

dan kepastian hukum (legal certainty);

(ii) Prosesnya berlangsung efisien, cepat dan tidak membebani para

pihak di luar kemampuannya;

(iii) menurut aturan hukumnya sendiri, yaitu berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku sejak sebelum perkara itu

sendiri terjadi;

(iv) Secara independen tanpa campur tangan atau dipengaruhi oleh

kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi dari pihak-pihak

lain atau kepentingan salah satu pihak dengan merugikan pihak

yang lain; dan

(v) Secara akuntabel dan transparan sehingga hasilnya dapat dipercaya

oleh para pihak dan masyarakat pada umumnya.

Untuk mengharapkan adanya perbaikan di lembaga peradilan,

kelima hal itu sangat penting untuk diperhatikan. Para pencari keadilan

Page 36: etika profesi peradilan

36

(justice seekers) harus dibuat yakin dan percaya bahwa proses yang ia

tempuh akan menghasilkan keadilan yang pasti dan kepastian yang adil.

Prosesnya cepat dan efisien, sehingga tidak membebani atau yang hanya

dapat dijangkau oleh mereka yang mampu. Misalnya, jika sesuatu

persoalan dapat diselesaikan dalam waktu hanya 1 hari, mengapa mesti

dtunggu sampai 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan 1 tahun. Proses

peradilan berjalan independen, sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku, tidak diintervensi untuk kepentingan politik

atau ekonomi oleh pihak manapun secara tidak adil. Kecuali untuk hal-

hal yang wajib dirahasiakan, maka keseluruhan proses menuju keadilan

itu haruslah terbuka sehingga dapat dikontrol oleh masyarakat dan para

pihak yang berperkara.

Untuk mewujudkan keenam hal tersebut dalam praktik, ada

beberapa faktor menentukan yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

(a) Faktor Substansi Aturannya. Dalam hal ini yang paling

menentukan adalah hukum acara yang diterapkan dalam proses,

baik peradilan pidana, perdata, tatausaha negara, peradilan agama,

maupun peradilan konstitusi (tata negara), perlu disempurnakan

sesuai dengan kebutuhan zaman;

Page 37: etika profesi peradilan

37

(b) Faktor Sumber Daya Manusia. Baik panitera maupun petugas

administrasi pada umumnya perlu terus menerus mengikuti

perkembangan zaman, sehingga dapat bekerja efisien dan

produktif. Demikian pula para hakim, dari waktu ke waktu harus

pula terus menerus memutakhirkan diri dengan pengetahuan-

pengetahuan baru tentang hukum dan peraturan perundang-

undangan yang berkembang sangat dinamis.

(c) Faktor Sistem Informasi dan Komunikasi Hukum. Oleh karena

dunia hukum dewasa ini sudah berkembang semakin kompleks,

maka teknologi informasi dan komunikasi (ICT) tidak dapat tidak

harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam

mengembangkan sistem administrasi dan manajemen, baik

manajemen peradilan maupun manajemen kelembagaan.

(d) Faktor Dukungan Sarana dan Prasarana serta Anggaran. Cara kerja

peradilan harus dilngekapi dengan pelbagai sarana dan prasarana

yang memadai. Prasarana bangunan, ruang persidangan,

perlengkapan teknologi, sistem renumerasi dan fasilitas

kesejahteraan yang memadai sangat diperlukan untuk menjamin

kualitas dan produktifitas kerja peradilan.

Page 38: etika profesi peradilan

38

(e) Faktor Kepemimpinan. Yang sering diabaikan adalah pentingnya

peran kepemimpinan dalam menyukseskan agenda perbaikan

sistem dan iklim kerja di lembaga hukum. Ketua, Wakil Ketua,

Sekretaris dan Panitera sangat menentukan berhasil tidaknya

upaya-upaya perbaikan sistemik.

2. ADMINISTRASI PERSONIL

Dalam Administrasi personalia perlu diperbaiki dengan didukung

oleh data dasar yang memadai. Harus dicegah jangan sampai masih ada

pengadilan di suatu daerah yang kekurangan jumlah hakim karena

jumlah perkaranya sangat banyak, sedangkan di daerah lain ada

pengadilan yang jumlah hakimnya banyak menganggung karena

perkaranya sangat sedikit. Pola distribusi hakim yang tidak didasarkan

atas data dasar yang benar, tentu dapat menyebabkan hal-hal semacam

itu.

Demikian pula dari segi kualitas dan proporsionalitas bidang

keahlian para hakim yang harus memeriksa perkara. Harus dicegah

jangan sampai hakim dengan keahlian berbeda harus menangani perkara

yang menuntut keahlian yang khusus. Di samping itu, perkembangan

pengetahuan hakim akan dinamika hukum dan peraturan perundang-

Page 39: etika profesi peradilan

39

undangan juga sangat penting, sehingga kegiatan pendidikan bagi para

hakim mutlak dlakukan secara bertahap dan terus menerus.

Sebaiknya, di setiap pengadilan, dapat pula diupayakan agar

terbentuk suatu kultur dan iklim kerja intelektual yang mendorong

semangat dan kegairahan belajar serta kegemaran membaca, mencari

informasi pengetahuan, dan berdiskusi yang intensif di kalangan para

hakim. Dengan demikian, kualitas para hakim dapat terus menerus

mengikati perkembangan hukum dalam teori dan praktik, yang justru

sangat diperlukan dalam menyelesaikan pelbagai perkara yang dihadapi.

3. ADMINISTRASI KEUANGAN

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga hukum

dan peradilan salah satunya disebabkan oleh masalah uang, yaitu uang

korupsi, suap, biaya perkara, dan lain-lain pelanggaran yang terkait

dengan uang. Semua ini, di samping berkaitan dengan kerakusan atau

motif jahat dari pelakunya, juga terkait dengan persoalan tertib

administrasi keuangan. Sebaiknya, setiap pengadilan berusaha keras

untuk memperbaiki sistem administrasi keuangan dengan menjadikan

kualifikasi nilai auditing atau pemeriksaan keuangan sebagai sasaran

atau target. Kualifikasi nilai tertinggi adalah ‘Wajar Tanpa

Page 40: etika profesi peradilan

40

Pengecualian’ (WTP). Setiap pengadilan harus didorong untuk

berlomba-lomba mendapatkan nilai WTP atas laporan keuangannya.

Sistem administrasi keuangan yang baik dapat menjadi modal

yang kuat dalam membangun sistem administrasi yang bersih dan bebas

korupsi. Bersihnya administrasi keuangan itu juga niscaya akan

mempengaruhi sistem administrasi di bidang-bidang yang lain, sehingga

secara keseluruhan sistem administrasi lembaga peradilan yang

bersangkutan akan menjadi baik dan bersih pula. Administrasi keuangan

yang baik akan menyebabkan administrasi personalia dan administrasi

pelayanan juga menjadi baik dan bersih. Hal ini pada gilirannya akan

menyebabkan efektif dan efisiennya tata kelola peradilan (judicial

governance) sebagai bahan utama untuk tercapainya tujuan

mewujudkan keadilan yang terpercaya.

4. SISTEM INFORMASI DAN KOMUNIKASI HUKUM

Tata kelola peradilan yang baik (good judicial governance)

sangat memerlukan ketersediaan pelbagai informasi dan data dasar yang

lengkap dan mudah diakses, serta media komunikasi yang efektif dan

efisien. Untuk itu, pengadilan harus memanfaatkan jasa teknologi

informasi dan komunikasi modern dengan sebaik-baiknya. Seperti

Page 41: etika profesi peradilan

41

halnya computer, internet dan sarana hand-phone tidak hanya berfungsi

rutin untuk komunikasi personal berkenaan dengan kegiatan rutin

sehari-hari. Internet, hand-phone, dan ipad dapat dipakai untuk jenis-

jenis komuinikasi yang serius dengan sangat efisien dan sekaligus

efektif.

Internet tidak hanya perlu dipakai untuk berkirim email ataupun

hanya untuk membuat website yang mudah diakses bagi pencari

keadilan. Internet dan teknologi informasi dan komunikasi modern

dapat dan harus pula dipakai untuk keperluan memperbaharui cara kerja

lembaga-lembaga hukum, khususnya pengadilan dalam memberikan

pelayanan-pelayanan keadilan. Internet dan bahan-bahan informasi

elektronik lainnya sudah seharusnya diperlakukan sebagai alat bukti

yuang sah dalam proses peradilan. Demikian pula alat-alat komunikasi

mutakhir harus dimungkinkan untuk dimanfaatkan dalam proses

pemeriksaan dan persidangan peradilan.

Keperluan semacam itu, untuk sebagian memerlukan perubahan

undang-undang yang berkaitan dengan hukum acara pemeriksaan. Akan

tetapi sebagian lainnya tidak memerlukan perubahan undang-undang

sama sekali. Pemanfaatan jasa teknologi informasi dan komunikasi

semacam itu dalam proses hukum dapat dilakukan tanpa harus

Page 42: etika profesi peradilan

42

menunggu peraturan yang membolehkan hal itu. Yang diperlukan

hanyalah kreatifitas kepemimpinan dan kesadaran pimpinan untuk

senantiasa memutakhirkan diri dengan segala jenis teknologi modern

yang berguna untuk efisiensi dan efektifitas upaya hukum dan

pelayanan keadilan.

5. FAKTOR KEPEMIMPINAN

Dari semua faktor di atas, dalam kenyataan praktiknya di

lapangan, yang paling utama adalah faktor kepemimpinan. Karena itu,

semua pimpinan lembaga-lembaga hukum haruslah mengalami

pencerahan yang tersendiri mengenai upaya-upaya perbaikan tata-kelola

yang dimaksudkan disini. Untuk itu, penting diatur kembali mengenai

persyaratan untuk menjadi Ketua, Wakil Ketua, dan Panitera

Pengadilan. Demikian pula, Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah serta

Panitera harus dipilih orang-orang yang mempunyai ‘sense of

administration and management’, bukan sekedar menguasai bidang

hukum tertentu. Penguasaan bidang hukum merupakan prasyarat

kualitatif bagi semua hakim dan apalagi hakim agung. Akan tetapi,

untuk menjadi pimpinan sudah seharusnya criteria kemampuan

menajerial menjadi prasyarat mutlak karena yang bersangkutan harus

Page 43: etika profesi peradilan

43

memimipin institusi peradilan. Apalagi di masa-masa sekarang dimana

lembaga-lembaga hukum kita pada umumnya sedang menghadapi

tantangan berat untuk berbenah diri secara internal guna memenuhi

standar-standar baru di bidang tata kelola yang baik (good judicial

governance). Tidak mengapa jika Ketua Pengadilan dan Ketua

Mahkamah Agung dibebaskan dari beban menangani perkara,

mengingat beban tugas di bidang administrasi dan manajemen

memerlukan perhatian yang sangat besar dewasa. Sedangkan

penanganan perkara dapat didistribusikan kepada para hakim anggota

yang harus memusatkan perhatiannya hanya kepada proses pemeriksaan

dan mengadili perkara.

Selama ini, memang berkembang pengertian bahwa setiap hakim

harus menangani perkara sesuai dengan tugas dan tanggungjawab

hakim sebagai penegak keadilan. Namun, dalam kenyataan praktik,

pengertian demikian ini tidak dapat dipahami secara kaku. Dalam

menangani perkara, tugas dan tanggungjawab Ketua dapat

didelegasikan kepada para anggota yang tentunya ketika menjatuhkan

pilihan kepada si A atau si B untuk menjadi ketua sudah harus

memahami konsekwensi dari pemilihan itu, yaitu bahwa para anggota

harus siap menerima pendelegasian tugas dan tanggungjawab untuk

Page 44: etika profesi peradilan

44

menangani perkara dan membebaskan ketua dan wakil ketua dari beban

tanggungjawab penenganan perkara.

Lagi pula harus diingat bahwa semua jabatan kepemimpinan

sudah dengan sendiri mengandung fungsi administrator. Karena itu,

Ketua dan Wakil Ketua memang mempunyai tugas dan fungsi yang

berbeda dari hakim pada umumnya, yaitu dalam menangani perkara.

Ketua dan Wakil Ketua adalah administrator tertinggi lembaga

peradilan, meskipun tugas dan tanggungjawab teknis administrasi

peradilan sehari-hari berada di pundak Panitera dan Sekretaris

Pengadilan. Karena itu, jika timbul masalah hukum dalam penanganan

urusan administrasi itu maka yang bertanggungjawab adalah Panitera

dan/atau Sekretaris sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Namun, dalam praktik, apalagi, dalam kultur politik dan

birokrasi yang masih sangat feodalistik dan paternalistik, faktor

kepemimpinan puncak lembaga peradilan memang terletak di tangan

ketua, bukan di tangan sekretaris atau panitera. Semua kewibawaan

pimpinan kelembagaan pengadilan ada di puncak pimpinan, yaitu pada

Ketua Pengadilan dan Ketua Mahkamah Agung, bukan terpusat pada

sekretaris atau pun panitera. Di bawah pengaruh kewibawaan para ketua

lah berhasil tidaknya upaya kita membenahi sistem administrasi dan

Page 45: etika profesi peradilan

45

manajemen peradilan ditentukan. Jika kita mendapat seorang ketua yang

cukup tercerahkan (enlightened), tentu sistem administrasi dan

manajemen peradilan akan dapat dibenahi sehingga berpengaruh bagi

terbentuknya iklim dan suasana kerja yang lebih progresif, efektif, dan

efisien di semua badan peradilan negara kita. Disamping itu juga, dapat

kita lihat fungsi daripada lembaga peradilan sebagai berikut :17)

1. FUNGSI PERADILAN

a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan

pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam

penerapan hukum melalui utusan kasasi dan peninjauan kembali

menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah

negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.

b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung

berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan

terakhir.

c. semua sengketa tentang kewenangan mengadili :

- permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34

Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985).

17)

Syafiie, Inu Kencana. 1994 . Ilmu Pemerintahan. Bandung : Mandar Maju.

Page 46: etika profesi peradilan

46

- semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan

muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan

peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang

Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985).

- Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu

wewenang menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan

dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan

ditinjau dari isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari

tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah

Agung Nomor 14 Tahun 1985).

2. FUNGSI PENGAWASAN

a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap

jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan

agar peradilan yang dilakukan Pengadilan-pengadilan

diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan berpedoman

pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa

mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan

perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok

Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).

Page 47: etika profesi peradilan

47

b. Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :

- Terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan

perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang

berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman,

yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan

meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan

teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk

yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32

Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang

menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah

Agung Nomor 14 Tahun 1985).

3. FUNGSI MENGATUR

a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang

diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila

terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang

tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk mengisi

kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi

Page 48: etika profesi peradilan

48

kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang

No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14 Tahun 1985).

b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana

dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur

Undang-undang.

4. FUNGSI NASEHAT

a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-

pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara

lain (Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun

1985). Mahkamah Agung.

b. memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam

rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang

Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan

Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14

Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk

memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara

selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan

pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum

ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.

Page 49: etika profesi peradilan

49

c. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan

memberi petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan

dalam rangka pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang

No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung).

5. FUNGSI ADMINISTRATIF

a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana

dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970

secara organisatoris, administrative dan finansial sampai saat ini

masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun

menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah

dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung.

b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,

susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-

undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang

No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan

Kehakiman).

Page 50: etika profesi peradilan

50

6. FUNGSI LAIN-LAIN

Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili

serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar

Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat

diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.

Page 51: etika profesi peradilan

51

BAB III

KUALITAS PROFESIONALISME DALAM

PROSES PEMBARUAN DAN KONSEKUENSI TERHADAP

PENCEDERAAN ETIKA PROFESI DALAM LEMBAGA PERADILAN.

A. Bangsa Indonesia dalam menempatkan Posisi Peradilan dalam

Sistem Penyelenggaraan Kehidupan bangsa dan Negara.

Undang - Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia ialah

Negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat). Pengaturan ini berarti

sebagai suatu Negara, Indonesia telah memilih Negara hukum sebagai

bentuk Negara, yang mengandung makna bahwa setiap tindakan dan

akibatnya yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat dinegara ini

harus didasarkan dan diselesaikan dengan cara-cara yang menurut hukum.

Untuk menghadapi permasalahan yang kompleks dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, maka lembaga peradilan sebagai lembaga yang

berfungsi menegakkan hukum harus mempergunakan peran yang

demikian sentral untuk menyelesaikannya, karenanya lembaga peradilan

harus mempunyai kemampuan yang memadai. Kemampuan lembaga

peradilan untuk menyelenggarakan fungsinya sangat dipegaruhi oleh

kemampuan elemen-elemen dalam sistem peradilan, karena lemahnya

dalam salah satu elemen dalam sistem peradilan sangat menentukan

Page 52: etika profesi peradilan

52

keberhasilan dalam menyelenggarakan fungsinya untuk mengadili

perkara sesuai dengan hukum dan keadilan.

Dalam mengomentari masalah tentang penegakan hukum dan

peranan penegak hukum, Charles Reith, Pakar ilmu kepolisian Inggris

berpendapat : “The problems of disorder is the problem of underforced

and unenforable laws”, dan “if lack of the securing law observance”. Hal

mana runtuhnya Republik Democratie Weimar di Jerman (1918-1933)

dan Republik Kuo Mintang Chiang Kay Shek di Tiongkok yang kedua-

duanya mulai dengan cita-cita yang tinggi tetapi runtuh, oleh karena

terlalu banyak membuat peraturan-peraturan yang “unerforced” bahkan

“unenforceable”, dan karena itu menimbulkan demoralisatie, coruptie,

kejahatan, dan perpecahan serta kekacauan dalam masyarakat.18)

Tidak sedikit pendapat ahli yang dengan tegas menyatakan bahwa

baik hukum materiil maupun hukum formil di Indonesia mengandung

berbagai masalah mulai out of date dan tidak sesuai lagi dengan semangat

demokrasi dan kemerdekaan karena masih merupakan warisan kolonial

Belanda, aturan yang tumpang tindih, tidak membela kepentingan rakyat

dan lebih merupakan legitimasi kebutuhan sesaat. Keberadaan perundang-

18)

Ateng Syafrudin, Catatan Kecil tentang Pemerintahan, Pendidikan, dan Hukum,

dalam Butir-butir pemikiran dalam hukum, memperingati 70 Tahun Prof.Dr.Arief Sidharta, SH., PT.Refika Aditama, 2008, hlm.231.

Page 53: etika profesi peradilan

53

undangan yang mengandung masalah sering menimbulkan kesulitan bagi

hakim dalam memutus perkara, hal mana dalam menghadapi masalah

tersebut, justru hakim yang dijadikan korban menjadi tempat tumpuan

kesalahan.

Masyarakat cenderung menuntut hakim untuk bersifat legalistik

mengikuti teks perundang-undangan, bahkan dalam kasus tertentu hakim

diharuskan mengesampingkan hukum tertulis demi membela kepentingan

sekelompok masyarakat. Meskipun pada prinsipnya, hakim adalah

merdeka menentukan sikap dalam putusannya, namun sebebas-bebasnya

hakim atau sepragmatis sekalipun, hakim tetap harus memutus menurut

hukum, baik hukum dalam arti harfiah berupa teks maupun hukum yang

sudah ditafsirkan atau direkonstruksi.19)

Karena dinamika masyarakat (dunia) yang begitu cepat,

memberikan implikasi terhadap kebutuhan membuat aturan cenderung

meningkat, sehingga menimbulkan keadaan over regulasi atau hiper

regulation, baik terjadi dalam tradisi common law maupun civil law.20)

19)

Bagir Manan, Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI Pada Peresmian Pengadilan

Tinggi Agama Ternate, 18 April 2006, dalam Kumpulan Naskah Pidato Ketua Mahkamah Agung RI,

Mahkamah Agung RI, 2007, hlm. 21.

20)

Richard Susskind, The Future of law, Facing the Challenges of Information

Technology.

Page 54: etika profesi peradilan

54

Sebagai akibat over regulasi atau hiper regulasi muncul

kecenderungan “aliansi hukum” (hukum makin lama makin terasing) dari

masyarakatnya sendiri, bahkan dari kalangan ahli hukum sendiri. Karena

itu dibutuhkan kelompok profesional yang mengkhususkan keahliannya

dibidang hukum, yang terus – menerus mengikuti perkembangan hukum.

Pendidikan bidang hukum juga dituntut menyesuaikan orientasi

kurikulumnya sesuai dengan irama perubahan itu. 21)

Seperti yang dikatakan oleh Prof. Dr. Bagir Manan, dalam

sambutan beliau ketika puluncuran buku “ Menegakkan Hukum Suatu

Pencarian”. tahun 2010 : bahwa ternyata peradilan Indonesia sudah

terlalu lama ditelantarkan orang. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat

dipahami bahwa peradilan Indonesia tidak dapat berjalan sendiri dalam

mengemban penegakan hukum dan keadilan di Indonesia, tetapi lembaga

peradilan harus didukung oleh kelompok profesi lain yang terkait dengan

penegakan hukum, sehingga apabila lembaga peradilan dibangun oleh

semua lapisan masyarakat, maka tugas dan tanggung jawabnya dalam

penegakan hukum dapat dilakukan secara optimal.

Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat yang mengkritisi putusan

pengadilan sangat bermanfaat untuk membangun, bahan masukan dan

21)

Richard Susskind, Megatrend 2000.

Page 55: etika profesi peradilan

55

cermin bagi lembaga peradilan agar menjadi lembaga yang lebih baik,

sebagai wujud kepeduliannya kepada institusi peradilan, dan lembaga

peradilan tidak membela putusan yang pernah diucapkan para hakim

yakin apa yang diputus tersebut adalah suatu kebenaran dan keadilan.

Kebenaran dan Keadilan tidak membutuhkan pembelaan karena apabila ia

dipergunjingkan oleh berbagai kepentingan yang melatarbelakanginya,

maka kebenaran dan keadilan itu cepat atau lambat akan menunjukkan

kebenaran dan keadilan itu sendiri.

Berbicara sekitar kasus-kasus pertanahan, penulis teringat pada

isyarat yang pernah diutarakan oleh alm. Prof. Dr. AP. Parlindungan, SH.,

ketika menjadi Rektor USU Tahun 1981 : “ bahwa hendaknya pemerintah

segera mengambil langkah kebijakan yang tepat dibidang pertanahan

khususnya distribusi tanah yang diperuntukkan bagi rakyat. Apabila

kebijakan-kebijakan itu terlambat dilakukan, tidak dapat dibayangkan

kekacauan apa yang akan terjadi”.22)

Isyarat ilmuwan tersebut disampaikan sudah sekitar 3 dasarwarsa

yang lalu, ternyata masih relevan sampai saat ini. Sebagai contoh :

Suatu keadaan yang terjadi di masyarakat perkebunan Sumatera

Utara, khususnya di Medan dan sekitarnya. Dahulu para buruh

22)

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/13337/1/10E00158.pdf diakses 14

Desember 2011

Page 56: etika profesi peradilan

56

perkebunan masih muda belia, kuat dan perkasa telah mengabdikan

dirinya demi kegiatan perkebunan yang dikelola oleh perusahaan

(BUMN), lokasinya ketika itu masih hutan belantara ± 20 km dari kota

Medan. Sang buruh bekerja dengan tekun, penuh pengabdian dengan gaji

sangat rendah, serta diberikan pemondokan seadanya dan lahan disekitar

pemondokan ± 5.000 m2

yang dapat mereka gunakan bercocok tanam,

hingga mereka beranak cucu dan akhirnya tua dan pensiun. Lahan

tersebut sekarang dijadikan perluasan kota. Orang bermodal melirik

tempat itu untuk tempat usahanya. Sang buruh di hari tuanya beserta

keluarga mengharapkan perolehan hak atas tanah yang dihuni puluhan

tahun itu dengan mengajukan permohonan untuk membeli dengan cara

mencicil dengan uang pensiunnya kepada perusahaan. Permohonan

mereka serta merta ditolak dengan alasan tanah tersebut diperlukan untuk

kepentingan perusahaan, sehingga buruh tadi diminta untuk

meninggalkan lokasi itu dengan diberikan uang pindah seadanya Rp

250.000,- (tahun 1998) dan sang pensiunan buruh diberikan tempat

pemondokan yang jauh dari kota (ditepi hutan lagi). Setelah sang

pensiunan buruh pindah ternyata lahan yang pernah mereka huni puluhan

tahun dan telah terjalin hubungan batin yang kuat antara penghuni dengan

tanah itu ternyata oleh perusahaan dialihkan haknya kepada para investor

Page 57: etika profesi peradilan

57

yang sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan emosional dengan

tanah. Melihat kenyataan demikian, sang pensiunan buruh tertusuk rasa

keadilannya dan anak cucunya menyaksikan ikut merasakan perilaku

ketidakadilan yang dialami orang tuanya. Manakala permasalahan ini

dibawa ke Pengadilan, meskipun yang dilakukan oleh perusahaan secara

yuridis formal tindakannya adalah benar, tetapi secara esensi tindakan

tersebut tidak adil dipandang dari sudut kepentingan para pensiunan

buruh dan keluarga yang telah mengabdikan hidupnya kepada

perusahaan. Apakah pada kondisi demikian pengadilan akan bersikukuh

dengan keadilan yang prosedural ? sementara masyarakat hukum

mendesak agar pengadilan yang professional mampu mengesampingkan

keadilan dan kebenaran yang prosedural demi tercapainya kebenaran dan

keadilan yang substansial. Mari kita renungkan jangan terburu untuk

menghujat pengadilan.

Dalam perwujudan perubahan hukum nasional, usaha menegakkan

hukum lebih menjanjikan untuk dapat dilakukan apabila hakim benar-

benar dibimbing dan dipimpin oleh perangkat peraturan yang benar-

benar berorientasi dan berpihak pada penegakan hukum dan keadilan.

Page 58: etika profesi peradilan

58

Hal tersebut sesuai dengan penetapan Sunaria K. Sunyatavijaya,

bahwa pembentuk undang-undang berkewajiban membuat undang-

undang yang sungguh bermanfaat dan hanya undang-undang dan

peraturan Negara yang dibentuk tidak dapat dilaksanakan adalah sumber

demoralisatie masyarakat, coruptie profiteurs dalam kekacauan dan

kejahatan dan menempatkan haki dan alat-alat Negara yang cakap dan

jujur dalam gewetensconflicts dan kesulitan-kesulitan lainnya.23)

Ketaatan kepada undang-undang menurut De Spiegel yang

dikutip oleh Van Poelje, tergantung pada keutamaan para penduduk.

Undang-undang harus banyak meyakinkan daripada memerintah, ia harus

mampu mempengaruhi kecenderungan-kecenderungan kehendak rakyat,

jika kehendak umum itu cenderung kepada yang buruk dan jahat, jika

suatu bangsa tidak lagi memiliki rasa hormat dan malu atau rasa takut,

maka undang-undang tidak lagi mempunyai pengaruh lagi sekalipun ia

ditulis dengan darah.24)

Dan juga, semestinya pengadilan juga mengubah perannya dan

semata-mata menjadi corong undang-undang, kepada pengadilan yang

mewakili dan mendengarkan suara rakyat. Bahkan ada ujaran, bahwa

23)

Ateng Syafrudin, Op cit., hlm. 231

24)

Ateng Syafrudin, Op cit., hlm. 232

Page 59: etika profesi peradilan

59

pengadilan hendaknya mampu menyuarakan mereka atau golongan yang

unrepresented dan underrepresented.25)

Pada era pembaruan ini, dimana interaksi sosial menghendaki

perilaku professional, transparan, akuntabel, dan efisien, maka hakim

sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman semakin dituntut mempunyai

integritas tinggi, dan professional sehingga hakim memperoleh

kepercayaan dari masyarakat dan pencari keadilan hal mana pada saat ini

aspek yang mendapat perhatian dari publik untuk meningkatkan

kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan (in casu hakim) antara

lain berkaitan dengan perilaku dan kualitas putusan hakim yang

bersangkutan.

Hakim sebagai salah satu profesi penegak hukum harus berbenah

dan mengubah pola pikir dan pola budaya yang selama ini dipahami dan

milikinya dalam rangka mempersiapkan dan menghadapi struktur hukum

nasional di era perubahan ini. Dalam mewujudkan lembaga peradilan

yang mandiri tidak hanya mensyaratkan adanya kemampuan dan

professionalisme hakim, tetapi juga memerlukan aspek penunjang dan

pendukung lembaga peradilan, agar proses peradilan dapat dilakukan

25)

Satjito Raharjo, Membedah Hukum Progresif, 2008 : 38

Page 60: etika profesi peradilan

60

secara optimal sebagaimana apa yang dikehendaki oleh para pencari

keadilan dan masyarakat.

Namun demikian, hakim dalam menyelenggarakan proses

peradilan sering terjadi melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman

perilaku hakim, hal mana tindakan hakim tersebut dapat dipengaruhi oleh

bebrapa faktor, diantaranya adalah tidak dipenuhinya sarana dan

prasarana bagi hakim selaku penegak hukum maupun sebagai

masyarakat, hal tersebut seharusnya menjadi tanggung jawab Negara

untuk memberikan jaminan keamanan bagi hakim dan pengadilan,

kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas, pemberian anggaran yang

memadai.

Secara realita, apakah perhatian Negara kepada hakim sudah

diberikan secara optimal, karena apabila kita mengamati gedung kantor

pengadilan negeri didaerah – daerah, rumah dinas hakim, sarana-sarana

perkantoran dipengadilan serta kesejahteraan hakim sangat

memprihatinkan.

Di samping itu, salah satu sebab hakim melakukan

penyimpangan terhadap kode etik dan pedoman perilaku hakim

dikarenakan masih kurangnya kecerdasan spiritual, yang menurut :

Satjipto Raharjo dikatakan, bahwa kecerdasan spiritual dapat menggugah

Page 61: etika profesi peradilan

61

rasa moral, dengan memberikan suatu kemampuan untuk mengendalikan

ketentuan yang kaku lewat pengertian (Understanding) dan rasa

keterlibatan.

Masyarakat dalam melihat keberadaan hakim, seharusnya harus

memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa hakim adalah manusia,

sehingga hakim harus diperlakukan secara adil oleh masyarakat dalam

penyelenggaraan peradilan, artinya hakim seharusnya diperlakukan secara

manusiawi yang mempunyai rasa, asa dan karsa, sehingga terhadap hakim

yang melakukan salah dan khilaf yang melanggar kode etik dan pedoman

perilaku hakim , hal tersebut dapat dikenai sanksi administrasi, atau

apabila tindakannya telah melanggar ketentuan hukum pidana maka dapat

juga dikenai sanksi pidana. Tetapi harus diingatkan dalam penindakan

tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang tepat melalui tangan

dewan kehormatan hakim. Untuk apa? Kehormatan Mahkamah

(Peradilan) dan Korps Hakim perlu djaga oleh semua pihak demi

keselamatan Negara hukum, jangan sampai bangsa ini terjebak oleh

pepatah : “karena nila setitik , rusak susu sebelanga”. Sebaliknya dalam

melakukan kebajkan, kearifan, dan keadilan di dalam tugasnya, Korps

Hakim tidak mengharapkan pujian-pujian atau penghargaan dari pihak

Page 62: etika profesi peradilan

62

manapun, karena hal itu dapat menurunkan kualitas keiklasan yang telah

dibangunnya.

B. Peradilan Indonesia Menjawab Tantangan Perubahan sebagai

Konsekuensi Perkembangan Global.

Pepatah kuno dari Heraklitus menyatakan bahwa semua senantiasa

berubah, dan yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri (Pantha

Rhei), perubahan dan dinamika hukum di Indonesia sangat dipengaruhi

perubahan lembaga peradilan, hal mana perubahan tersebut disebabkan

oleh adanya globalisasi.26)

Para ilmuwan dalam menanggapi gejala dan perkembangan

globalisasi berbeda pendapat, sebagian berpendapat, globalisasi adalah

keharusan bahkan berkah dari dunia modern, sedangkan sebagian

berpendapat bahwa globalisasi adalah saat Negara-negara kaya dan

perusahaan internsional secara bebas memperebutkan Negara dan warga

Negara dari Negara berkembang.

Para era globalisasi ini, usaha untuk membentuk sistem hukum

Indonesia yang utuh dan sempurna merupakan suatu upaya yang tidak

pernah berakhir, karena wajah hukum di Indonesia saat ini tampak

26)

Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 10

Page 63: etika profesi peradilan

63

semakin sulit untuk mengimbangi perubahan situasi terjadi begitu cepat,

sehingga usaha untuk melakukan perubahan penyesuaian hukum selalu

ketinggalan dengan perkembangan dan perubahan dibidang sosial,

budaya, ekonomi, politik, serta informasi teknologi.

Reformasi yang diperjuangkan mulai Tahun 1998 oleh elemen-

elemen bangsa dengan keras telah menuntut dengan paksa agar

pemerintahan diselenggarakan dengan menjunjung tinggi hukum dan

keadilan.

Kini, era Reformasi sudah berjalan, tapi tampaknya harapan untuk

mewujudkan Negara hukum yang demokratis untuk kesejahteraan rakyat

masih sebatas mimpi dan wacana. Rakyat sudah mulai kurang sabar untuk

menunggu kapan rakyat tidak lagi kesulitan untuk mengakses layanan

kesehatan dan memperoleh pendidikan yang berkualitas. Bahkan lebih

tragis lagi, sekarang ini sudah tampak masyarakat kecil kesulitan

memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, konflik sosial kerap terjadi,

penggusuran terhadap tempat tinggal masyarakat dan tempat usaha para

pedagang kecil terus marak dilakukan, lapangan pekerjaan kian

menyempit, dan berakhir pada pemiskinan dan kemiskinan.27)

27)

Asep Warlan Yusuf, Memuliakan Hukum yang Berkeadilan dalam Alam

Demokrasi yang Berkeadilan, dalam Butir-butir Pemikiran dalam Hukum, memperingati 70 Tahun

Prof. Dr. Arief Sidharta, SH., PT. Refika Aditama, 2008, hlm. 216

Page 64: etika profesi peradilan

64

Meskipun demikian, para hakim bukannya sama sekali menutup

mata terhadap kritik, tudingan, dan cibiran dari semua lapisan

masyarakat, Mahkamah Agung khususnya para hakim benar-benar

menyadari bahwa peningkatan kualitas keilmuan, keterampilan teknis

yudisial maupun kualitas integritas moral dan karakter para hakim

merupakan kebutuhan yang mendesak. Hal mana seiring telah

dibakukannya kode etik dan pedoman perilaku hakim, yang terdiri dari :

berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana,

berperilaku mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung

tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, bersikap

professional.

Tanpa berniat untuk membanggakan diri, Mahkamah Agung dan

lembaga peradilan yang ada dibawahnya telah berusaha keras untuk

melakukan perubahan yang meliputi : peningkatan kualitas SDM,

perubahan manajemen dan administrasi peradilan secara transparan dan

efisien, serta membuka akses seluas-luasnya kepada public untuk

mengetahui kinerja peradilan Indonesia, sebagaimana yang telah dimuat

dalam cetak biru pembaruan peradilan yang telah dimulai sejak Tahun

2003 yang diketahui oleh Bpk. Prof. Dr. Paulus E. Lotullung, SH., yang

Page 65: etika profesi peradilan

65

diawali dengan perubahan empat lingkungan peradilan telah berada satu

atap dibawah Mahkamah Agung RI.

Pada tahun 2007, Mahkamah Agung, Departemen Keuangan dan

BPK ditetapkan oleh pemerintah sebagai Pilot Project reformasi birokrasi

yang meliputi : reformasi manajeman SDM, reformasi manajemen

keuangan asset, reformasi manajemen teknologi dan informasi.

Dalam periode 2009, Mahkamah Agung RI telah melakukan

berbagai langkah strategis di bidang pembaruan, adapun program prioritas

Mahkamah Agung dan lembaga peradilan, 28)

antara lain :

1. Program keterbukaan informasi di Pengadilan

Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor :

144/KMA/SK/VIII/2007 tentang keterbukaan Informasi di Pengadilan,

secara prinsip mandate dari surat edaran tersebut adalah memberikan

kemudahan bagi masyarakat untuk dapat mengakses informasi di

Pengadilan, sehingga akses publik tersebut tidak semata-mata dilihat

dari bentuk fisik meja informasi yang ada di Pengadilan, tetapi sejauh

mana pengadilan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh

masyarakat.

28)

Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Periode Tahun 2009.

Page 66: etika profesi peradilan

66

2. Program Pengembangan Sistem Pengadilan yang Akuntabel dan

Transparan pada tanggal 4 Juni 2009 Mahkamah Agung telah

mengeluarkan SK Ketua MA RI Nomor 076/KMA/SK/VI/2009 tentang

Pedoman Pelaksanan Pengawasan di Lingkungan Lembaga Peradilan,

yang mengatur mengenai mekanisme pengaduan masyarakat yang

dilingkungan peradilan, sebagai upaya Mahkamah Agung untuk

menciptakan sistem pangaduan masyarakat yang ideal sehingga citra

dan wibawa lembaga peradilan terjaga dan kepercayaan masyarakat

terhadap lembaga peradilan pun meningkat.

3. Program Pengembangan Rencana Strategis dan Cetak Biru Pembaruan

MA - RI 2010 – 2035.

Dalam pengembangan cetak biru Mahkamah Agung 2010-2035,

selain berupaya untuk mengakomodasi asas-asas peradilan, tetapi juga

memuat kerangka pemikiran badan peradilan yang unggul (framework

for court excellence) yang dirumuskan oleh konsorsium internasional

sebagai acuan (benchmark).

Selain itu, dilakukan beberapa kegiatan terkait dengan

pengembangan ini, antara lain :Diagnosis organisasi (organizational

Page 67: etika profesi peradilan

67

diagnostic assessment) untuk mendapatkan pemetaan terhadap kondisi

terkini serta tantangan yang dihadapi oleh Mahkamah Agung RI ; 29)

a. Telah merumuskan visi dan misi Mahkamah Agung yang baru, yaitu :

Visi : Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung ;

Misi : 1. Menjaga kemandirian badan peradilan ;

2. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada

pencari keadilan ;

3. Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan ;

4. Meningkatkan kredibilitas dan transparansi badan peradilan;

b. Penyusunan Rencana Strategis Mahkamah Agung RI sejalan dengan

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan

Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional ;

c. Peningkatan Program Pengikisan Tunggakan Perkara ;

Mahkamah Agung RI telah menyempurnakan standar tentang

tunggakan perkara, dengan SK Ketua Mahkamah Agung RI Nomor

138/KMA/SK/IX/2009 tanggal 11 September 2009 tentang jangka

waktu penanganan perkara pada Mahkamah Agung RI yang

memberikan penekanan penyelesaian proses berperkara di Mahkamah

29)

www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2009.pdf

Page 68: etika profesi peradilan

68

Agung RI kepada administrator yudisial, juga memberikan batasan

waktu kepada Hakim Agung yang menangani perkara ;

d. Penyempurnaan Sistem Pengelolaan Keuangan Perkara Mahkamah

Agung;

e. Dengan Peraturan Mahkamah Agung RI nomor 02 Tahun 2009 tanggal

12 Agustus 2009, bahwa biaya proses penyelesaian perkara dibebankan

kepada para pihak yang berperkara, yang dikelola oleh panitera yang

dipertanggungjawabkan kepada pihak yang berperkara dan besarnya

ditetapkan dalam putusan ;

f. Peningkatan Sistem Informasi perkara, Kepaniteraan Mahkamah

Agung RI;

g. Penerbitan situs informasi perkara online,fitur ini juga dapat diakses

melalui situs Mahkamah Agung RI : http://www.mahkamahagung.go.id

dan dapat juga melalui http://sms.mahkamahagung.go.id/perkara yang

memuat informasi tentang status perkara yang ditangani oleh

Mahkamah Agung RI ;

h. Penyempurnaan Ketentuan Mengenai Peninjauan Kembali ;

i. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 10 Tahun 2009 tentang

Pengajuan Peninjauan Kembali, telah memberikan batasan peninjauan

kembali dalam satu perkara hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.

Page 69: etika profesi peradilan

69

j. Melakukan langkah strategis dalam bidang ; pembinaan dan

pengelolaan sumber daya manusia, pengawasan internal, Litbang

Diklat Mahkamah Agung RI.

Berdasarkan hasil penelitian dan wawancara terhadap hakim, didapat

mengenai bagaimanakah peradilan Indonesia menjawab tantangan

perubahan sebagai konsekuensi perkembangan global, di Indonesia saat ini

khususnya di lembaga peradilan telah adanya suatu sistem yang mengakar

dimana mempunyai peran yang sangat penting yaitu pelayanan prima

terhadap masyarakat, untuk menunjang sistem tersebut diperlukan bantuan

dan dukungan dari masyarakat banyak agar peradilan Indonesia dapat

berjalan dengan cepat mudah dan biaya ringan. Yang dilengkapi dengan

Informasi teknologi yang mana masyarakat dapat mengetahui lebih banyak

mengenai keterbukaan putusan pengadilan yang telah di masukkan kedalam

website dan internet lainnya.

Page 70: etika profesi peradilan

70

BAB IV

PENUTUP

Dari uraian – uraian diatas dan pembahasan bab - bab terdahulu, maka

penulis dapat memperoleh kesimpulan serta dapat memberikan saran – saran

sebagai berikut :

A. Simpulan

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa :

1. Melalui Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman semakin

dituntut mempunyai Integritas tinggi, dan professional, sehingga hakim

memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Hakim sebagai salah satu

profesi penegak hukum harus berbenah dan mengubah pola pikir dan

pola budaya yang selama ini dipahami dalam rangka mempersiapkan

dan menghadapi struktur hukum nasional di era perubahan ini. Usaha

menegakkan hukum lebih menjanjikan untuk dapat dilakukan apabila

hakim benar-benar dibimbing dan dipimpin oleh perangkat peraturan

yang benar-benar berorientasi dan berpihak pada penegakan hukum dan

keadilan.

Page 71: etika profesi peradilan

71

2. Tidak boleh atau bukannya sama sekali menutup mata terhadap kritik

dari semua lapisan masyarakat, Mahkamah Agung khususnya para

hakim benar-benar menyadari bahwa peningkatan kualitas keilmuan,

keterampilan teknis yudisial maupun kualitas integritas moral dan

karakter para Hakim merupakan kebutuhan yang mendesak. Adapun

sikap yang terbaik dalam melakukan pembenahan hukum di Indonesia

adalah dengan menyelenggarakan reformasi yang terkait perencanaan,

legislasi, dan penerapan hukum. Dalam pengembangan cetak biru

Mahkamah Agung 2010-2035, selain berupaya untuk mengakomodasi

asas-asas peradilan, tetapi juga memuat kerangka pemikiran badan

peradilan yang unggul (framework for court excellence) yang

dirumuskan oleh konsorsium internasional sebagai acuan (benchmark).

Karena sesuai dengan Peranan dan Fungsinya Lembaga Peradilan yaitu:

- Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan

kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahtan, dan melakukan upaya

inkapasiti terhadap orang yang merupakan ancaman terhadap

masyarakat.

- Menegakkan dan memajukkan the rule of law dan penghormatan

pada hukum dengan menjamin adanya due process of law dan

Page 72: etika profesi peradilan

72

perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana,

melakukan penuntutan dan membebaskan prang yang tidak bersalah

yang dituduh melakukan kejahatan.

- Menjaga hukum dan ketertiban.

- Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsalfah pemidanaan yang

diamut.

- Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan.

B. Saran – Saran

1. Hendaknya lembaga peradilan diperlukan dan ditempatkan pada posisi

yang adil di dalam penegakan hukum, dan harus dibangun oleh semua

lapisan masyarakat :

2. Keberadaan lembaga legislative juga sangat berperanan dalam

penegakan hukum, karena peraturan perundang-undangan yang

mengandung masalah sering menimbulkan kesulitan bagi hakim dalam

penegakan hukum, hal mana dalam menghadapi masalah tersebut, justru

hakim yang dijadikan korban dan tempat tumpuan kesalahan, sehingga

hukum nasional harus bercirikan responsive terhadap perkembangan

dan aspiratif terhadap penghargaan masyarakat.