Sistem Peradilan Pidana

download Sistem Peradilan Pidana

of 27

Transcript of Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana

Desfan Mandala Putra11211136

1. Kriminal Sabtu, 31 Maret 2012 14:55:25 WIB Dibakar Api Cemburu, Sahabat Ditusuk SahabatDEPOK (Pos Kota) Aditia, 24, warga Jalan Cisokan Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok, Jumat (30/3) malam nyaris meregang nyawa akibat ditusuk menggunakan pisau dapur oleh temannya sendiri. Motifnya karena tersangka cemburu pacarnya diajak pergi oleh korban.Beruntung nyawa korban dapat diselamatkan oleh tetangga dengan melarikan ke rumah sakit terdekat. Sedangkan Andi Suwardi, 26, pelaku ditangkap warga saat akan melarikan diri dari rumah korban.Menurut AKP Syah Johan, Kanit Reskrim Polsek Sukmajaya, pertikaian antara kedua sahabat tersebut diduga berawal ketika korban akan membawa gadis pujaan Suwardi main ke rumahnya.Namun hal tersebut diketahui oleh Suwardi, dan karena geram pemuda pengangguran tersebut langsung mengambil pisau dapur dan langsung menghujaninya dengan tusukan.Rumah pelaku dengan korban bersebelahan. Karena dibakar api cemburu langsung saja pelaku menikam korban. Untung korban melawan sehingga tidak terjadi hal yang lebih parah, ujarnya kepada Pos Kota di ruang kerjanya, Sabtu (31/3) pagi.Dari peristiwa tersebut, korban mengalami luka sayat di tangan kanan dan pipi sebelah kanan. Pemicu pertengkaran tersebut kalau tidak suka melihat cewek pelaku diajak jalan dengan korban yang juga teman sekitar rumah. karena terbakar api cemburu langsung terjadi perkelahian,tambahnya. pelaku dikenakan sanksi pidana pasal 351 tentang penganiayaan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara. (Angga)Teks : AKP Syah JohanSumber : http://www.poskotanews.com/2012/03/31/dibakar-api-cemburu-sahabat-ditusuk-sahabat/Judul : Dibakar Api Cemburu, Sahabat Tusuk SahabatKasus tentang PenganiayaanTempat : Jalan Cisokan Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, DepokWaktu : Jumat, 30 Maret 2012Korban : Aditia (24)Pelaku : Andi Suwardi (26) Berlakunya Hukum Pidana Menurut TempatAsas Teritorial (pasal 2 dan 3 KUHP) Berlakunya hukum pidana disandarkan pada tempat dimana delik dilakukan. Jika dilakukan di Indonesia, maka KUHP Indonesia-lah yang berlaku atas delik tersebut.Dalam kasus, delik dilakukan di Indonesia, maa KUHP Indonesia-lah yang berlaku. Tindak pidana yang terjadi dalam kasus adalah Penganiayaan Berat, sehingga dapat dikenakan pasal 354 ayat (1) KUHP Pasal 354 ayat (1) KUHPBarang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.Unsur dari pasal ini adalah- Barang siapa, arti dari unsur ini adalah siapapun terkecuali dapat dikenakan ketentuan dari pasal ini- Dengan sengaja, yang dimaksud adalah sang pelaku harus memenuhi willen & wetten, yaitu mengetahui dan menghendaki dilakukannya perbuatannya yang sedemikian rupa sebagaimana dinyatakan dalam pasal ini.Unsur dengan sengaja ditunjukkan dengan teori kesengajaan.1. Teori KehendakApabila seseorang melakukan perbuatan maka bukan hanya perbuatan itu saja yang dikehendakinya tetapi juga akibat dari perbuatan tersebut. Jika ia tidak menghendaki akibat dari perbuatan itu, orang itu tidak akan melakukannya.2. Teori Perkiraan.Apabila seseorang hanya mengharapkan suatu wujud perbuatan tertantu, untuk suatu akibat yang muncul dari perbuatan tersebut, tidak mungkin secara tepat ia menghendakinya. Orang tersebut hanya bisa memperkirakan.3. Teori Determinasi mengenai Mazhab Antropologis/Mazhab Itali, Mazhab Sosiologis/Mazhab Prancis dan Mazhab Bio-SosiologisApabila seseorang melakukan suatu tindak pidana karena :adanya bakat dari lahir; keadaan lingkungan; keadaan ekonomi.4. Teori IndeterminasiTeori ini mengakui adanya pengaruh dari keadaan lingkungan, manusia pada dasarnya tetap dapat menentukan kehendaknya.Teori Kesengajaan yang terpenuhi dalam kasus ini adalah teori kehendak.Sehingga dapat disimpulkan, karena semua unsur dalam pasal 354 ayat (1) terpenuhi, berarti pelaku melakukan tindak pidana dengan sengaja.- Melukai berat orang lain, maksud dari unsur ini adalah perbuatan tersebut mengakibatkan luka berat pada orang lain, dimana luka tersebut memang dimaksudkan oleh sang pelaku. Artinya luka berat itulah yang memang dijadikan tujuan oleh pelaku. Jenis DelikDelik yang terjadi dalam kasus adalah :1. Delik Materil, yaitu delik yang di dalam perumusannya memuat suatu akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana, sedangkan bagaimana perbuatan tersebut dilakukan tidak begitu dipentingkan, tapi dalam beberapa hal dapat menjadi pertimbangan hakim dalam membuat putusan.2. Delik Komissi, yaitu perumusan suatu perbuatan yang melanggar suatu larangan yang dilakukan secara aktif.3. Delik Sederhana, yaitu delik yang hanya terdiri dari unsur-unsur yang pokok saja. Unsur-unsur pokok adalah unsur yang menentukan perbuatan tersebut menjadi tindak pidana.4. Delik Laporan/Biasa, yatu delik yang mana proses pemeriksaan penuntutannya dapat dilakukan cukup dengan adanya laporan dari seseorang, tanpa memperdulikan siapa orang tersebut dan sumber laporan. Laporan tidak dapat ditarik kembali.5. Delik Communa, yaitu delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa melihat kualitas atau sifat tertentu dari seseorang.6. Delik Umum, yaitu delik yang tidak mempunyai tujuan politik, yang tidak ditujukan kepada keamanan Negara dan kepala Negara.7. Delik Dolus, yaitu delik dimana kesengajaan tercantum dalam perumusan delik, dilakukan dengan sengaja.8. Delik yang Segera Selesai, yaitu delik yang terdiri atas satu atau beberapa perbuatan yang segera selesai dalam waktu singkat. KesengajaanKesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusanTeori kesengajaan yang saya pilih adalah teori kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusana. Argumentasi yang saya bawa untuk mendukung bahwa gradasi kesengajaan ini adalah elemen-elemen kesadaran pasti atau keharusan terhadap hal yang dilakukan dengan akibat yang dirumuskan dalam KUHP. Dalam kasus si pelaku adalah melakukan tusukan ke tubbuh korban dengan menggunakan pisau dapur. Tentu saja dengan melakukan penusukan dengan sebuah pisau ke tubuh akan mengakibatkan luka parah atau bahkan kematian. Hal ini menunjukkan bahwa kepastian korban akan terluka parah terpenuhi. Dengan demikian, ini sudah cukup menunjukkan bahwa gradasi kesengajaan dengan kesadaran pasti telah terpenuhi. Locus DelictiManfaat diketahuinya locus delicti adalah:1. untuk mengetahui berwewenang atau tidaknya suatu pengadilan mengadili suatu perkara(kompetensi relative)2. untuk mengetahui dapat tidaknya suatu hokum pidana diberlakukan terhadap suatu perkara.3. sebagai salah satu syarat mutlak sahnya surat dakwaan- Berdasarkan teori perbuatan fisik, delik terjadi di Cisokan Kelurahan Abadijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok. Oleh karena itu yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negri Depok.- Berdasarkan teori bekerja alat dalam kasus, pisau yang digunakan untuk menusuk tubuh korban, bekerja di tempat kejadian. Oleh karena itu yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negri Depok.- Berdasarkan teori akibat, maka akibat dari delik tersebut adalah luka parah yang dialami korban di tempat kejadian. Oleh karena itu yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negri Depok.- Sedangkan berdasarkan ajaran De Leer van de Meervoudige Plaats, bahwa sevara fisik delik tersebut terjadi di tempat kejadian (Depok) demikian pula alat yang digunakan dalam delik bekerja/berfungsi di tempat kejadian (Depok), maka atas dasar itu Pengadilan Negri Depok lah yang berwenang mengadilinya. Tempus DelictiManfaat diketahuinya tempus delicti1. usia pelaku (pasal 47KUHP) dan usia korban untuk delik susila(pasal 287 ayat 2 dan pasal 290 dan 291)2. keadaan jiwa pelaku ( pasal 44 KUHP)3. daluarsa dalam penuntutan dan menjalani pidana ( pasal 78-85 KUHP)4. asas legalitas pasal 1 ayat 1 KUHP)5. perubahan suatu undang-undang pidanapasal 1 ayat 2 KUHP)6. sebagai syarat mutl;aksahnya surat dakwaan.- Berdasarkan teori perbuatan secara fisik maka waktu terjadinya delik adalah pada saat pelaku melakukan penusukan tubuh korban dengan menggunakan pisau yang menyebabkan luka parah, dilakukan pada hari Jumat, 30 Maret 2012.- Berdasarkan teori bekerjanya alat maka waktu terjadinya delik adalah pada saat pisau di ayunkan oleh si pelaku ke tubuh korban, yaitu pada hari Jumat, 30 Maret 2012.- Berdasarkan teori akibat, maka waktu terjadinya delik adalah pada saat korban mengalami luka parah akibat tusukan pisau di tubuhnya, yaitu pada hari Jumat, 30 Maret 2012- Berdasarkan teori waktu yang jamak, maka waktu terjadinya delik adalah pada hari Jumat, 30 Maret 2012, karena bila dilihat dari perbuatan fisik tempus dari kasus ini adalah Jumat, 30 Maret 2012 dan bila dilihat dari akibat yang ditimbulkan dari perbuatan, tempusnya juga pada hari Jumat, 30 Maret 2012. Ajaran KausalitasUntuk menghadap delik yang lebih mementingkan akibat (delik materil), diperlukan ajaran kausalitas, yaitu ajaran yang mencari hubungan antara sebab dan akibat, dalam arti sampai bagaimana jauhkah akibat yang timbul memang berasal dari sebab tersebut.

2. PEMERASAN Liputan6.com, Solo: Seorang pemuda asal Sumber, Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu (7/7), dibekuk polisi lantaran diduga kerap memeras di rumah keluarga artis dan pelawak Nunung Srimulat. Pemuda bernama Andi Rismanto alias Ambon yang dikenal sebagai preman kampung meminta jatah Rp 150 ribu per minggu dengan alasan iuran keamanan.Saat dimintai keterangan, ia hanya bisa tertunduk lesu. Pemuda bertato ini ditangkap aparat Kepolisian Sektor Banjarsari, menyusul laporan salah seorang kerabat Nunung. Dari keterangan saksi, tersangka sering memeras di rumah keluarga tersebut. Jika tidak dituruti, maka pelaku tidak segan melakukan kekerasan. Perilaku tersangka pun dianggap meresahkan. Tidak hanya keluarga Nunung Srimulat yang menjadi korban, tapi juga warga lain di kawasan tersebut. Dari pengakuan tersangka, uang yang diperoleh digunakan untuk membeli rokok dan minuman keras. Selain menangkap tersangka, polisi menyita barang bukti uang sebesar Rp 20 ribu dan kartu tanda penduduk milik tersangka. Atas perbuatannya, tersangka dijerat pasal pemerasan dengan ancaman hukuman maksimal sembilan tahun penjara.(BJK/ANS) Analisis Kasus Pada kasus di atas, pelaku, Andi Rismanto telah melakukan tindak pidana pemerasan kepada keluarga Nunung dengan cara meminta secara paksa uang Rp 150.000,- setiap minggu. Karena yang melakukan tindak pidana adalah warga Negara Indonesia dan terjadi di wilayah Indonesia, maka berlaku hukum pidana Indonesia , yang berarti KUHPidana (asas teritorialitas). Pelaku dijerat oleh pasal mengenai pemerasan yang diatur dalam pasal 368 KUHPidana. Dalam ketentuan Pasal 368 KUHP tindak pidana pemerasan diramuskan dengan rumusan sebagai berikut : 1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 2. Ketentuan Pasal 365 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) berlaku dalam tindak pidana ini.> Unsur-Unsur yang ada di dalam ketentuan Pasal 368 KUHP >> Unsur-unsur dalam ketentuan ayat (1) Pasal 368 KUHP :[1] >>> Unsur obyektif yaitu unsur yang terdapat di luar diri si pelaku tindak pidana, yang meliputi unsur-unsur : 1. Memaksa . 2. Orang lain. 3. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. 4. Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang seleruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain). 5. Supaya memberi hutang. 6. Untuk menghapus piutang.>>> Unsur subyektif, yaitu unsur yang terdapat di dalam diri si pelaku tindak pidana yang meliputi unsur unsur : 1. Dengan maksud. 2. Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.> Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Unsur memaksa. Dengan istilah memaksa dimaksudkan adalah melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya sendiri. 2. Unsur untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang.Berkaitan dengan unsur itu, persoalan yang muncul adalah, kapan dikatakan ada penyerahan suatu barang? Penyerahan suau barang dianggap telah ada apabila barang yang diminta oleh pemeras tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang diperas, tanpa melihat apakah barang tersebut sudah benar benar dikuasai oleh orang yang memeras atau belum. Pemerasan dianggap telah terjadi, apabila orang yang diperas itu telah menyerahkan barang/benda yang dimaksudkan si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya. Penyerahan barang tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh orang yang diperas kepada pemeras. Penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh orang lain selain dari orang yang diperas. 3. Unsur supaya memberi hutang. Berkaitan dengan pengertian memberi hutang dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman yanag benar. Memberi hutang di sini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu perjanjianyang menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah uang tertentu. Jadi, yang dimaksud dengan memberi hutang dalam hal ini bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki. 4. Unsur untuk menghapus hutang. Dengan menghapusnya piutang yang dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki oleh pemeras. 5. Unsur untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Yang dimaksud dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain adalah menambah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula. Menambah kekayaan disini tidak perlu benar-benar telah terjadi, tetapi cukup apabila dapat dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.Kaitannya pada kasus: Pelaku memenuhi semua unsur unsur di atas, baik yang subjektif maupun yang obyektif. Pelaku memeras korban setiap minggu dengan cara memaksa untuk memberikan uang Rp 150.000,-, korban pun terpaksa memenuhi permintaan pelaku. Barang yang diserahkan adalah uang, yang akhirnya digunakan oleh pelaku untuk membeli rokok dan minuman keras untuk dirinya sendiri. Artinya, pelaku telah memeras korban untuk menguntungkan dirinya sendiri. Pengadilan yang berwenang mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negeri Solo, karena Solo merupakan tempat terjadinya tindak pidana (locus delicti) pemerasan tersebut. Dari sifat melawan hukumnya perbuatan yang dilakukan pelaku, terlihat bahwa pelaku pemerasan pada saat melakukan aksi pemerasannya itu telah mampu bertanggung jawab. Dilihat dari sisi umur, meski tidak disebutkan berapa umur pelaku, tapi karena ia ditakuti oleh masyarakat sekitar, berarti dapat disimpulkan bahwa pelaku telah berumur lebih dari 16 tahun yang artinya KUHP berlaku atas pelaku secara utuh dah sesuai dengan ketentuan yang berlaku didalamnya. Jarak antara perbuatan pemerasan yang dilakukan dengan pelaku tertangkan di sumber belum mencapai 30 tahun, sehingga perbuatan yang dilakukan belum dianggap sebagai perbuatan yang daluarsa. Pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku dilihat dari kemampuannya terlebih dahulu. Sesuai dengan fakta diatas maka pelaku dianggap sudah mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. pelaku jelas mengetahui dan menyadari bahwa perbuatan yang Ia lakukan telah melanggar hukum. Karena ia menyesali perbuatannya setelah tertangkap dan dimintai keterangan oleh polisi. Atas laporan korban, keterangan saksi dan alat bukti yang disita polisi sebesar uang dua puluh ribu dan kartu tanda penduduk, maka pelaku dapat dihukum penjara maksimal Sembilan tahun, kecuali bila ada hal hal yang dapat meringankan hukuman. Pelaku dapat dipenjara kurang dari Sembilan tahun bila hakim memutuskan begitu, sesuai dengan keyakinannya ataupun mengacu kepada jurisprudensi kasus yang sama. Delik pemerasan tergolong kepada: [2] 1. delik formal (formeel delict), karena merupakan delik yang terjadi dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang undang. Dalam kasus ini, perbuatannya adalah pemerasan. 2. delik komisi (commissie delict), karena merupakan delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan di dalam undang undang. Dalam hal ini, pelaku telah melakukan pemerasan terhadap korban, dan pemerasan dilarang oleh pasal 368 KUHP. 3. delik rampung (aflopend delict), karena merupakan satu perbuatan tertentu yang selesai dalam waktu yang singkat. 4. delik tunggal (enkelvoudig delict), karena merupakan delik yang hanya satu kali perbuatan sudah cukup untuk dikenakan pidana. 5. delik sederhana (eenvoudig delict) karena merupakan delik pokok tanpa pemberatan. 6. delik kesengajaan (doleus delict), karena dilakukan dengan sengaja oleh si pelaku. 7. delik umum (gemeen delict), karena tidak ditujukan kepada keamanan negara dan kepala negara. 8. delik umum (delicta communia), karena termasuk delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja. 9. delik aduan (klacht delict), dan merupakan delik aduan absolut (absolute klacht delict) karena menurut sifat kejahatannya delik pemerasan hanya dapat dituntut apabila diadukan. Pada kasus ini, yang melaporkan adalah kerabat korban yang merasa dirugikan, maka polisi pun menangkap pelaku. Bila tidak ada aduan dari keluarga korban maka pelaku pun tidak akan bisa ditangkap.

PENCURIAN Perampok Jarah Kantor Dinkes Gresik Laporan wartawan Kompas Adi Sucipto Sabtu, 4 Desember 2010 | 13:44 WIB GRESIK, KOMPAS.com Kawanan perampok pada Sabtu (4/12/2010) pukul 04.00 beraksi di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik. Dua anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang bertugas diplakban mata dan mulutnya serta diikat tali rafia. Pelaku berhasil membawa kabur uang tunai Rp 6,7 juta di laci. Kasus itu terungkap sekitar pukul 08.00 saat sebagian pegawai akan beraktivitas di kantor, lalu peristiwa itu dilaporkan ke polisi. Awalnya, petugas jaga Sunaryoto dan Rahmat didatangi empat orang yang membawa celurit dan parang. Keduanya sempat melawan, tetapi tidak bisa berkutik. Selain kalah banyak, keduanya juga khawatir karena pelaku juga mengancam dengan senjata tajam. Keduanya diringkus pelaku, mulut dan mata diplakban, serta tangan dan kaki diikat tali rafia. Petugas jaga lainnya, Nawawi, memilih sembunyi saat perampok beraksi membuka laci dan mengubrak-abrik isinya. Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik Sugeng Widodo, pelaku hanya berhasil menemukan uang tunai Rp 6,7 juta. Kepala Kepolisian Resor Gresik Ajun Komisaris Besar Jakub Prajogo menyatakan, polisi masih melakukan pemeriksaan dan penyelidikan. Dari tempat kejadian perkara, polisi mendapatkan plakban dan tali rafia. Analisis Kasus Pada kasus di atas, pelaku berjumlah empat orang telah melakukan tindak pidana pencurian dengan cara mengambil uang tunai Rp 6,7 juta di dalam Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik. Karena yang melakukan tindak pidana adalah orang Indonesia dan terjadi di wilayah Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum pidana Indonesia, yang berarti KUHPidana (asas teritorialitas). Perbuatan pelaku tergolong kepada delik berkualifikasi, karena perbuatan tersebut memiliki unsur unsur yang sama dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur unsur lain sehingga ancaman pidananya lebih berat daripada delik dasar. Dalam kasus ini, delik dasar adalah pasal 362 KUHP yaitu mengenai pencurian. Tetapi karena pencurian tersebut disertai dengan ancaman kekerasan pada penjaga malam, maka pelaku akan diancam dengan pasal 365 KUHP ayat (1) dan (2), (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, atau memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, dan atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya. (2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun: 1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; 2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; 3. jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu; 4. jika perbuatan mengakibatkan luka luka berat. Dalam Pasal 362 KUHP dikatakan pengambilan suatu barang, yang seluruh atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian. Berikut unsur unsur pencurian, > Unsur Unsur Objektif berupa : 1. Unsur perbuatan mengambil (wegnemen). Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak (Kartanegara, 1:52 atau Lamintang, 1979:79-80). Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Sebagai ternyata dari Arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12 Nopember 1894 yang menyatakan bahwa perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian melepaskannya karena diketahui. 2. Unsur benda. Pada mulanya benda benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda benda bergerak (roerend goed). Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja. Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (pasal 509 KUHPerdata). 3. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri. > Unsur Unsur Subjektif berupa : 1. Maksud untuk memiliki. Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Apabila dihubung kan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya. 2. Melawan hukum. Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Unsur maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan. Sedangkan apa yang dimaksud dengan melawan hukum (wederrechtelijk) undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil, dan kedua melawan hukum materiil. Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari hukum tertulis. Sedangkan melawan hukum materiil, ialah bertentangan dengan azas-azas hukum masyarakat.Kaitan dengan kasus: Sesuai dengan asas legalitas kasus ini jelas melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam KUHP, tepatnya tentang pencurian pasal 362: Barangsiapa mengambil sesuatu, yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah Dari sisi sifat melawan hukumnya tercantum secara eksplisit dalam bunyi pasal yang bersangkutan. Atas kasus diatas pengadilan yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri Gresik karena kasus perampokan tersebut dilakukan di Gresik. Dari sifat melawan hukumnya perbuatan yang dilakukan pelaku, terlihat bahwa para pelaku perampokan pada saat melakukan aksinya telah mampu bertanggung jawab, karena dengan sadar mengancam penjaga kantor menggunakan senjata tajam lalu mengikat mereka, kemudian mengambil uang yang ada di dalam kantor. Ini memenuhi unsur pada pasal 365 ayat 1, yaitu pencurian yang disertai dengan ancaman kekerasan. Dilihat dari sisi umur, para pelaku disimpulkan telah berumur lebih dari 16 tahun, karena telah memiliki kematangan dalam tindakan mereka. yang artinya KUHP berlaku atas para pelaku secara utuh dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku didalamnya, karena para pelaku telah dewasa dan cakap hukum. Jarak antara perbuatan yang dilakukan dengan para pelaku tertangkap bila seandainya belum mencapai 30 tahun maka perbuatan yang dilakukan belum dianggap sebagai perbuatan yang daluarsa, sehingga masih bisa diadili. Perbuatan yang dilakukan para pelaku dari kasus diatas terbukti bahwa perbuatan tersebut tertangkap tangan. Artinya perbuatan tersebut jelas diketahui oleh orang lain, mengingat aksi yang dilakukan diketahui oleh kedua petugas jaga yang merupakan anggota Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam keadaan seperti itu mereka masih saja mengambil dan membawa uang Rp 6,7 juta yang ada di kantor dengan maksud untuk dimiliki. Perbuatan ini jelas melanggar ketentuan yang terdapat dalam KUHP. Kesalahan yang diperbuat merupakan kesalahan yang disengaja, yaitu kesalahan yang dengan sengaja (doleus delicti), dalam keadaan sadar, diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang hukum. Para pelaku dengan sadar mencuri disertai ancaman kekerasan pada kedua petugas jaga. Pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku dilihat dari kemampuannya terlebih dahulu. Sesuai dengan fakta diatas maka kedua pelaku dianggap sudah mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. Para pelaku jelas mengetahui dan menyadari bahwa perbuatan yang mereka lakukan telah melanggar hukum. Hal ini terlihat setelah mereka berhasil mengambil uang dari kantor, mereka lalu melarikan diri. Hal ini mereka lakukan karena mereka takut dan sadar jika tertangkap akan diadili massa atau oleh pihak yang berwajib (polisi). Selain itu mereka mengetahui bahwa perbuatan mereka telah melanggar nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hukum pidana Indonesia dalam hal pertanggungan jawab menganut sistem fiktif, artinya menurut hukum Indonesia, setiap pelaku perbuatan pidana pada dasarnya selalu dianggap sebagai orang yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. Pengecualian dari system fiktif tersebut terdapat pada pasal 44 KUHP, dengan kata lain dianggap tidak mampu bertanggung jawab, yaitu apabila : 1) Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, 2) Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh penyakit, sehingga akalnya kurang berfungsi membedakan yang baik dan yang buruk, seperti orang gila atau epilepsy. Jika melihat kasus diatas lagi, para pelaku tidak termasuk dalam pengecualian yang dimaksud dalam pasal 44 KUHP diatas. Para pelaku tidak mengalami gangguan psikis, tidak mengalami cacat mental sejak pertubuhannya dan juga tidak mengalami gangguan jiwa seperti gila, epilepsy dan lain sebagainya. Unsur kesalahan yang ada dalam perbuatan pelaku dalam kasus diatas jelas mencakup tiga unsur yang ada dalam landasan teori, yaitu pertanggungjawaban, adanya hubungan batin perbuatan dengan pelaku perbuatan dan tidak adanya alasan penghapusan pidana. Perbuatan yang dilakukan telah dianggap merugikan orang lain, sehingga patut untuk dipidana karena perbuatan merugikan orang lain tersebut. Salah satu teori pemidanaan yang dikenal adalah teori pembalasan yaitu kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, maka harus dibalas dengan ketidakadilan pula (Immanuel Kant). Seperti yang telah disebutkan di atas, keempat pelaku dapat dijerat dengan pasal 365 KUHP. Semua unsur, mulai dari pencurian, ancaman kekerasan, jumlah pelaku lebih dari seorang, dilakukan di malam hari ke pekarangan tertutup yang ada rumahnya, memasukinya menggunakan kejahatan dengan merusak, maka ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada mereka adalah dipenjara paling lama dua belas tahun. Pencurian tergolong kepada delik delik yang sama seperti pemerasan, yang membedakan hanyalah pencurian bukan termasuk golongan delik aduan, melainkan merupakan golongan delik biasa (gewone delict), yaitu delik yang tidak membutuhkan adanya pengaduan untuk menuntutnya. Dalam kasus ini ketika terjadi perampokan memang diperlukan adanya laporandari masyarakat, tapi bukan pengaduan. Seandainya tanpa ada laporan tapi polisi mengetahui ada pencurian, maka tetap bisa dilakukan penuntutan.

HUKUM PIDANA INTERNASIONAL

Desfan Mandala Putra11211136

1. Kasus Charles Taylor Di Peradilan InternasionalPada rabu 30 mei 2012, mantan presiden Liberia Charles Taylor dijatuhi hukuman penjara 50 tahun oleh hakim pengadilan kejahatan perang di Den Haag Belanda. Hakim menegaskan, Taylor bertanggung jawab penuh atas beberapa kejahatan paling keji dan brutal yang terekam dalam sejarah manusia. Dalam sidang mahkamah bulan lalu, Taylor telah dinyatakan bersalah atas 11 tuduhan kriminal, termasuk terror, membantu pembunuhan, pemerkosaan, dan memaksa anak-anak jadi tentara. dia juga didakwa membantu dan bersekongkol dengan pemberontak yang mengamuk membabi buta selama satu dekade di Sierra Leone, yang memakan korban lebih dari 50 000 warga sipil.Why Charles Taylor must be tried by the International Criminal Court?IntroductionKejahatan yang telah dilakukan mantan presiden Liberia, Charles Taylor beberapa tahun yang lalu termasuk kejahatan yang paling keji yang pernah diperbuat dalam sejarah manusia. Mantan presiden yang telah melakukan kejahatan murni di Sierra Leone seharusnya di adili dan dihukum di tempat asalnya yaitu Liberia, tetapi pada kenyataanya tidak. Mengapa demikian?Discussion/Analysis of the casePria kelahrian Arthington, Liberia bernama Charles Taylor adalah mantan presiden Liberia yang menjabat selama 6 tahun sejak tahun 1997 hingga 2003 sebagai presiden ke 22 Liberia. Selama dan sebelum menjabat sebagai presiden, Charles Taylor telah terbukti melakukan kejahatan-kejahatan yang termasuk extraordinary-crimes seperti kejahatan HAM, terror, perbudakan, pembunuhan massal, memperkosa, memaksa anak dibawah umur untuk berperang, dan membantu pemberontak dalam perang saudara di Sierra Leone yang mengakibatkan ribuan nyawa hilang.Pertama, kita harus mengetahui dimana Charles Taylor melakukan tindak kejahatannya. Mantan presiden Liberia tersebut terbukti melakukan kejahatan di Sierra Leone, yang menjadikan locus delicti kasus ini adalah negara Sierra Leone.Menurut asas Territorial, Sierra Leone mempunyai hak untuk mengadili Charles Taylor sesuai dengan hukum setempat. Tetapi karena pada saat itu Charles Taylor menjabat sebagai kepala negara Liberia, maka ia memiliki immunitas dan kekebalan hukum Sierra Leone dan dikembalikan ke negaranya yaitu Liberia. Setelah Charles Taylors dikembalikan ke negaranya, dia tetap tidak diadili disana, dan justru diadili di Peradilan Pidana Internasional.Kedua, kita juga harus melihat kondisi peradilan di Liberia. Peradilan Liberia tidak mengadili Charles Taylor karena beberapa alasan. Pertama peradilan Liberia tidak bersedia (unwill), dan kedua tidak mampu (unable) untuk mengadili kasus tersebut karena pada saat itu Charles Taylor masih memiliki dukungan kuat di Liberia yang menyebabkan Ellen Johnson Sirleaf, presiden ke 24 Liberia mengusulkan agar Charles Taylor diadili di Den Haag. Tetapi mengapa Peradilan Pidana Internasional yang mempunyai kewenangan untuk mengadili kasus tersebut?Ketiga, kita perlu tahu apa saja kewenangan hukum atau jurisdiksi yang dimiliki oleh International Criminal Court agar bisa mengadili kasus Charles Taylor. Saat Peradilan Pidana Internasional dibentuk pada tahun 2002 di kota Den Haag, Belanda, peradilan tersebut diberi kewenangan-kewenangan oleh Statuta Roma yang dibuat tahun 1998 untuk mengadili beberapa kejahatan Internasional seperti genosida, kejahatan terhadap peri kemanusiaan, kejahatan perang, dan sebagainya.Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan: a) Pembunuhan; b) Pemusnahan c) Perbudakan; d) Pengusiran atau pemindahan penduduk e) Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain f) Menganiaya; g) Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya; h) Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional i) Penghilangan seseorang secara paksa; j) Kejahatan apartheid; k) Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.Sedangkan kejahatan Charles Taylor memenuhi 11 tuntutan prosecutor ICC yang sesuai dengan jurisdiksi Peradilan Pidana Internsional, yaitu:1. Perbuatan terrorisme.2. Pembunuhan.3. Kekerasan terhadap kehidupan, kesehatan dan fisik atau mental kesejahteraan seseorang, dalam beberapa pembunuhan.4. Pemerkosaan.5. Perbudakan seksual dan bentuk kekerasan seksual lainnya.6. Memalukan martabat pribadi seseorang.7. Kekerasan terhadap kehidupan, kesehatan dan fisik atau mental kesejahteraan orang, dalam beberapa perbuatan kejam.8. Perbuatan tidak manusiawi lainnya.9. Merekrut atau mendaftar anak di bawah usia 15 tahun ke angkatan bersenjat, atau menggunakan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam pertempuran.10. Perbudakan11. Penjarahan.Karena kejahatan yang telah dilakukan Charles Taylor termasuk dalam jurisdiksi Peradilan Pidana Internasional, maka ICC mempunyai kewenangan untuk mengadili kasus tersebut.Walaupun Charles Taylor diadili oleh Peradilan Pidana Internasional, tempat dia diadili bukan di ICC Den Haag, tetapi di sebuah badan peradilan internasional khusus yang dibentuk oleh pemerintah Sierra Leone dan PBB atas nama Peradilan Pidana Internasional di Ibukota Sierra Leone, Freetown yang bernama Special Court for Sierra Leone (SCSL) yang artinya Peradilan Khusus untuk Sierra Leone. Di badan peradilan tersebutlah Charles Taylor dieksekusi dan divonis hukuman penjara selama 50 tahun di penjara PBB Sierra Leone.ConclusionCharles Taylor diadili di badan peradilan internasional karena beberapa alasan. Pertama, dia tidak dapat diadili di locus delicti yaitu Sierra Leone karena dia mempunyai imunitas dan kekebalan hukum sebagai presiden Liberia pada saat itu. Kedua dia tidak bisa diadili di Liberia karena negaranya tidak bisa dan tidak mampu untuk mengadili kasus tersebut dan mengusulkan Peradilan Pidana Internasional yang mengurusnya. Ketiga, sesuai denga pasal 7 Statuta Roma tahun 1998, Peradilan Pidana Internasional mempunyai wewenang atau jurisdiksi untuk mengadili kasus Charles Taylor sesuai dengan kejahatan yang ia telah perbuat.Jadi karena itulah kenapa Charles Taylor diadili oleh badan peradilan internasional dan mengapa harus disana.2. LaGrand Case (Germany vs USA) Pada tanggal 7 Januari 1982, Karl LaGrand dan Walter LaGrand, dua orang warga negara Jerman yang telah tinggal di Amerika Serikat sejak berusia 3 tahun, melakukan sebuah perampokan bersenjata yang menewaskan 1 orang warga Negara Amerika dan melukai 1 orang lainnya.

Berdasarkan putusan yang dibuat oleh Lembaga Peradilan Amerika Serikat, LaGrand bersaudara dijatuhi hukuman mati dengan dakwaan tindakan terorisme. LaGrand bersaudara tidak diinformasikan sehubungan dengan adanya hak pendampingan konsuler berdasarkan Vienna Convention of Consular Relation (VCCR) 1963, dan pemerintah Amerika Serikat pun tidak memberitahukan Kantor Konsuler Pemerintah Jerman di wilayahnya (Marana, Arizona) akan tertangkapnya dan diadilinya 2 orang warga Negara Jerman.

LaGrand bersaudara pun mengajukan permohonan asistensi konsuler agar mendapatkan keringanan putusan. Namun pemerintah Amerika Serikat tidak menggubris permohonan ini.

Karl LaGrand dieksekusi dengan menggunakan metode suntik mati pada 24 Februari 1999. Sedangkan Walter LaGrand dieksekusi dengan metode gas chamber pada 3 Maret 1999. Beberapa jam sebelum eksekusi Walter LaGrand, pemerintah Negara Jerman mengajukan permohonan ke ICJ untuk mendapatkan Provisional Court Order untuk menunda eksekusi Walter LaGrand, namun US Supreme Court menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus ini dan tetap menajalankan eksekusi Walter LaGrand.

3. Analisis Kasus Pembantaian Sabra dan Shatila pada bulan September 1982, di Beirut, Lebanon

Pembantaian Sabra dan Shatila/Chatila terjadi pada September 1982, di Beirut, Lebanon yang saat itu diduduki oleh Israel. Pembantaian ini dilakukan oleh para milisi Kristen Maronit Lebanon atas para pengungsi Palestina di kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Pasukan-pasukan Maronit berada langsung di bawah komando Elie Hobeika yang belakangan menjadi anggota parlemen Lebanon, dan pada tahun 1990-an juga menjadi seorang menteri di kabinet Lebanon. Sepanjang peristiwa ini, kamp-kamp ini dikepung oleh tentara-tentara Israel, dan para milisi itu dikirim oleh Israel untuk mencari anggota-anggota PLO. Sejauh mana Israel bersalah dalam pembantaian ini banyak diperdebatkan, dan Israel menyangkal bahwa pihaknya bertanggungjawab langsung. Namun temuan-temuan membuktikan bahwa orang-orang Israel, antara lain Ariel Sharon, secara tidak langsung bertanggungjawab. Sejak 1975 hingga 1990, Lebanon terlibat dalam perang saudara antara kelompok-kelompok yang bersaingan, dan didukung oleh sejumlah negara tetangga. Orang-orang Kristen Maronit, yang dipimpin oleh partai Falangis dan milisi, mula-mula bersekutu dengan Suriah, dan kemudian dengan Israel, yang mendukung mereka dengan senjata dan latihan untuk memerangi fraksi PLO (Organisasi Pembebasan Palestina). Sementara itu, fraksi-fraksi yang lainnya bersekutu dengan Suriah, Iran dan negara-negara lain di wilayah itu. Selain itu, sejak 1978 Israel telah melatih, mempersenjatai, memasok dan menyediakan seragam bagi Tentara Kristen Lebanon Selatan, yang dipimpin oleh Saad Haddad. Pertempuran dan pembantaian antara kelompok-kelompok ini mengakibatkan korban hingga ribuan orang. Beberapa pembantaian yang terjadi selama periode ini termasuk Pembantaian Karantina (Januari 1976) oleh pihak Falangis terhadap para pengungsi Palestina, pembantaian Damour (Januari 1976) oleh PLO terhadap orang-orang Maronit dan Pembantaian Tel el-Zaatar (Agustus 1976) oleh Falangis terhadap pengungsi-pengungsi Palestina. Dua penyerbuan besar atas Lebanon oleh Israel (1978 dan 1982) mengakibatkan tewasnya 20.000 orang, kebanyakan kaum sipil Lebanon dan Palestina. Jumlah keseluruhan korban di Lebanon selama masa perang saudara ini diperkirakan sampai 100.000 orang. Sabra adalah nama dari sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama bertahun-tahun penduduk dari kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga istilah "kamp Sabra dan Shatila" menjadi biasa. Penduduknya membengkak oleh karena pengungsi-pengungsi Palestina dan Syi'ah dari selatan yang melarinkan diri dari perang. PLO telah menggunakan Lebanon selatan sebagai pangkalan untuk penyerangan-penyerangan mereka atas Israel, dan sebagai balasan Israel mengebomi posisi-posisi di Lebanon selatan. Upaya-upaya pembunuhan atas Duta besar Israel, Shlomo Argov di London pada 4 Juni menjadi sebuah alasan peperangan (meskipun pada akhirnya ternyata ini dilakukan oleh sebuah kelompok yang memusuhi PLO, Abu Nidal) dan mengubah saling permusuhan ini menjadi perang besar-besaran. Pada 6 Juni 1982, Israel menyerang Lebanon dengan 60.000 pasukan dalam suatu tindakan yang dikutuk oleh Dewan Keamanan PBB. Dua bulan kemudian, di bawah suatu kesepakatan gencatan senjata yang disponsori AS yang ditandatangani pada akhir Agustus, PLO setuju untuk menyerahkan Lebanon kepada pengawasan internasional, dan Israel setuju untuk tidak menyerang lebih jauh ke Beirut, dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang tertinggal di kamp-kamp pengungsi. Pada 23 Agustus 1982, Bachir Gemayel, yang sangat populer di antara kaum Maronit, terpilih menjadi Presiden Lebanon oleh Dewan Nasional. Israel telah mengandalkan Gemayel dan pasukan-pasukannya sebagai suatu kekuatan tandingan terhadap PLO. Pada 1 September, evakuasi para pejuang PLO dari Beirut selesai. Dua hari kemudian, Israel mengerahkan angkatan bersenjatanya di sekitar kamp-kamp pengungsi. Hal ini jelas merupakan pelanggaran atas kesepakatan gencatan senjata, tetapi Israel tidak diminta mengundurkan diri oleh tentara-tentara pengawas internasional yang mengawasi penarikan mundur PLO dan menjamin keamanan para pengungsi Palestinayang tertinggal pada 11 September, setelah penarikan yang lebih awal dari pasukan-pasukan AS. Hari berikutnya Ariel Sharon, menteri pertahanan Israel pada waktu itu, mengklaim bahwa 2.000 pejuang PLO masih berada di Beirut. Klaim ini dibantah oleh pihak Palestina. Perdana Menteri Israel Menachem Begin membawa Gemayel ke Nahariya dan dengan keras mendesaknya untuk menandatangani perjanjian damai dengan Israel. Menurut sejumlah sumber, ia pun menuntut diterimanya kehadiran militer di Lebanon selatan di bawah pengawasan Mayor Saad Haddad (seorang pendukung Israel), dan tindakan dari Gemayel untuk memindahkan para pejuang Palestina yang menurut Israel masih bersembunyi di kamp-kamp pengungsi, termasuk Sabra dan Shatila. Namun, kaum Falangis, yang sebelumnya bersatu sebagai sekutu Israel yang dapat diandalkan, kini terpecah karena berkembangnya aliansi dengan Suriah, yang menentang Israel. Gemayel kini harus mengimbangi kepentingan-kepentingan dari banyak fraksi yang bersaing di Lebanon. Selain itu, menurut sejumlah laporan saksi mata, ia secara pribadi merasa tersinggung atas apa yang dilihatnya sebagai sikap yang sok dari Begin atas dirinya. Ia menolak tuntutan-tuntutan Israel untuk menandatangani perjanjian itu ataupun memberikan kuasa untuk dilakukannya operasi militer di kamp-kamp pengungsi. Pada 14 September 1982, Gemayel dibunuh dalam sebuah ledakan hebat yang menghancurkan markas besarnya. Para pemimpin Palestina dan Muslim menyangkal bahwa mereka bertanggung jawab. Namun Ariel Sharon mempersalahkan orang-orang Palesina, sehingga membangkitkan kemarahan kaum Falangis terhadap mereka. Hari berikutnya, 15 September, tentara Israel menduduki kembali Beirut Barat, membunuh 88 orang dan melukai 254 orang. Tindakan Israel ini melanggar perjanjiannya dengan AS untuk tidak menduduki Beirut Barat. AS pun telah memberikan jaminan tertulis bahwa AS akan menjamin perlindungan warga Muslim di Beirut Barat. Pendudukan Israel juga melanggar perjanjian perdamaiannya dengan tentara-tentara Muslim di Beirut dan dengan Suriah. Menachem Begin membenarkan pendudukan Israel sebagai "hal yang perlu untuk mencegah langkah-langkah balasan oleh orang-orang Kristen terhadap orang Palestina" dan untuk "menjaga keamanan dan kestabilan setelah pembunuhan Gemayel." Namun, beberapa hari kemudian, Sharon mengatakan kepada Knesset, parlemen Israel: "Masuknya kita ke Beirut Barat dimaksudkan untuk memerangi infrastruktur yang ditinggalkan oleh para teroris." Tentara Israel kemudian melucuti senjata para milisi yang tidak pro Israel maupun warga sipil di Beirut Barat, semampu mereka, sementara membiarkan para milisi Falangis Kristen di Beirut Timur tetap bersenjata lengkap. Ariel Sharon kemudian mengundang satuan-satuan milisi Falangis Lebanon untuk memasuki kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila untuk membersihkannya dari para teroris. Di bawah rencana Israel, tentara-tentara Israel akan mengontrol daerah sekeliling kamp-kamp pengungsian itu dan memberikan dukungan logistik sementara milisi Falangis memasuki kamp-kamp itu, mencari para pejuang PLO dan menyerahkannya kepada pasukan-pasukan Israel. Namun pada akhirnya tidak seorangpun yang diserahkan kepada pasukan-pasukan Israel. Tak ada pertempuran ataupun senjata yang ditemukan di kamp-kamp itu. Dokumen-dokumen yang diajukan kepada tuntutan atas kejahatan-kejahatan perang di Belgia terhadap Ariel Sharon konon memperlihatkan bahwa kalim mengenai kehadiran para pejuang PLO di kamp-kamp itu hanyalah sebuah cerita rekaan yang disiapkan oleh Israel. Perintah Sharon kepada para milisi Falangis menekankan bahwa militer Israel berkuasa atas seluruh pasukan di daerah itu. Militer Israel telah sepenuhnya mengepung dan menyegel kamp-kamp itu dan mendirikan pos-pos pengintaian di atap gedung-gedung tinggi di sekitarnya pada 15 September. Hari berikutnya Israel mengumumkan bahwa mereka telah mengendalikan semua posisi penting di Beirut. Militer Israel bertemu sepanjang hari dengan pucuk pimpinan Falangis untuk mengatur rincian operasi. Selama dua malam berikutnya, sejak senja hingga larut malam, militer Israel menembakkan cahaya-cahaya suar di atas kamp-kamp itu. Pada malam 16 September, 1982, para milisi Falangis di bawah komando Elie Hobeika, memasuki kamp-kamp itu. Selama 36 hingga 48 jam berikutnya, para milisi Falangis membantai para penghuni kamp pengungsian itu, sementara militer Israel menjaga pintu-pintu keluar dan terus-menerus menembakkan suar di malam hari. Sebuah satuan yang terdiri atas 150 milisi Falangis (termasuk sejumlah pasukan SLA, menurut Saad Haddad, seperti yang dikutip oleh Robert Fisk, dan juga sumber-sumber lainnya) dikumpulkan pada pk. 4 sore. Para milisi ini dipersenjatai dengan senapan, pisau, dan kapak dan memasuki kamp-kamp itu pada pk. 18.00. Seorang perwira Falangis melaporkan 300 pembunuhan, termasuk korban sipil, kepada pos komando Israel pada pk. 20.00, dan lebih jauh melaporkan bahwa pembunuhan-pembunuhan ini berlanjut sepanjang malam. Sebagian dari laporan-laporan ini diteruskan kepada pemerintah Israel di Yerusalem, dan dibaca oleh sejumlah pejabat senior Israel. Pada satu kesempatan, seorang anggota milisi mengirimkan lewat berita pertanyaan kepada komandannya Hobeika tentang apa yang harus dilakukannya dengan kaum perempuan dan anak-anak di kamp pengungsian itu, dan terdengar oleh seorang perwira Israel yang mendengar jawaban Hobeika bahwa Ini adalah kali terakhir anda mengajukan pertanyaan seperti itu kepada saya, anda tahu benar apa yang harus dilakukan. Para tentara Falangis kedengaran tertawa di belakang. Sang perwira Israel melaporkan hal ini kepada atasannya, Jenderal Yaron, yang memperingatkan Hobeika agar tidak melukai warga sipil, tetapi tidak mengambil langkah lebih jauh. Letnan Avi Grabowsky dikutip oleh Komisi Kahan bahwa ia melihat (pada hari Jumat itu) pembunuhan atas lima orang perempuan dan anak-anak. Ia berbicara kepada komandan batalyonnya tentang hal ini; ia menjawab Kita tahu, memang kita tidak menyukainya, dan kita tidak ikut campur. Pasukan-pasukan Israel yang mengepung kamp-kamp itu bermasa bodoh terhadap para pengungsi yang melarikan diri dari pembantaian itu, seperti yang difilmkan oleh seorang kamerawan Visnews. Para milisi Falangis secara teratur kembali ke satuan-satuan Israel dan diberikan makanan, air, dan amunisi selama pembantaian itu berlangsung. Belakangan sore itu, terjadilah rapat antara Kepala Staf Israel dengan staf Falangis. Menurut laporan Komisi Kahan (berdasarkan laporan seorang agen Mossad), Kepala Staf itu menyimpulkan bahwa kaum Falangis harus melanjutkan aksi, menyapu bersih kamp-kamp yang kosong di selatan Fakahani sampai besok pukul 5 pagi; pada saat itu mereka harus menghentikan aksi mereka karena adanya tekanan dari Amerika. Ia mengklaim bahwa ia tidak merasa bahwa sesuatu yang tidak lazim telah terjadi atau akan terjadi di kamp-kamp itu. Pada rapat itu, ia pun setuju untuk memberikan milisi itu sebuah buldozer, yang konon dimaksudkan untuk merubuhkan bangunan-bangunan. Pada hari Jumat, 18 September, sementara kamp-kamp itu masih disegel, beberapa pengamat independen berhasil masuk. Di antara mereka adalah seorang wartawan Norwegia, diplomat Norwegia, Ane-Karine Arvesen, yang mengamati kaum Falangis pada operasi-operasi pembersihan mereka, yang menyingkirkan mayat-mayat dari rumah-rumah yang dihancurkan di kamp Shatila.

Pasukan-pasukan Falangis tidak meninggalkan kamp-kamp itu pada pukul 05.00 pagi hari Sabtu, seperti yang diperintahkan. Mereka memaksa mereka yang masih tersisa untuk berbaris keluar dari kamp, dan secara acak membunuhi mereka, sementara yang lainnya dikirim ke stadion untuk diinterogasi. Hal ini berlangsung sehari penuh. Milisi akhirnya meninggalkan kamp pada pukul 08.00 pagi pada 18 September. Wartawan-wartawan asing pertama yang diizinkan masuk ke kamp pada pukul 09.00 pagi menemukan ratusan jenazah yang berserakan di seluruh kamp itu, banyak di antaranya yang terpotong-potong. Berita resmi pertama tentang pembantaian ini disiarkan sekitar tengah hari. Jumlah korban sebenarnya diperdebatkan. Ada kesepakatan umum bahwa jumlah yang pasti sulit ditentukan, karena kondisi yang kacau pada saat dan setelah pembantaian, penguburan, dan penghitungan awal para korban. Selain itu, malah ini juga sangat sensitif secara politis bahkan hingga hari ini. Diperkirakan bahwa sekurang-kurangnya seperempat dari para korban adalah orang Lebanon dan sisanya Palestina. Berikut ini adalah klaim-klaim utama yang disusun berdasarkan jumlah korban:

1. Surat dari kepala utusan Palang Merah kepada Menteri Pertahanan Lebanon, yang dikutip dalam laporan Komisi Kahan sebagai "bukti 153", menyatakan bahwa wakil-wakil Palang Merah telah menghitung 328 mayat; tetapi komisi ini mencatat bahwa "namun demikian angka ini tidak mencakupsemuamayat..."

2. Komisi Kahan mengatakan bahwa, menurut "sebuah dokumen yang tiba di tangan kami (bukti 151), jumlah korban keseluruhan yang tubuhnya ditemukan sejak 18.9.82 hingga 30.9.82 adalah 460". Komisi ini mengklaim bahwa angka ini terdiri dari "jumlah mayat yang dihitung oleh Palang Merah Lebanon, Palang Merah Internasional, Pertahanan Sipil Lebanon, korps medis dari tentara Lebaon, dan oleh keluarga para korban."

3. Angka yang diberikan Israel, berdasarkan intelijen Angkatan Pertahanan Israel (IDF), menyebutkan 700-800 mayat. Menurut pandangan Komisi Kahan, "ini mungkin sekali angka yang paling dekat dengan realitas."

4. Menurut BBC, "sekurang-kurangnya 800" orang Palestina meninggal.

5. Bayan Nuwayhed al-Hout dalam bukunya Sabra and Shatila: September 1982 (Pluto, 2004) menyebutkan jumlah minimum 1.300 nama korban berdasarkan perbandingan terinci dari 17 daftar korban dan bukti-bukti pendukung lainnya dan memperkirakan jumlah yang bahkan lebih tinggi lagi.

6. Robert Fisk, salah seorang wartawan pertama yang mengunjungi tempat kejadian, mengutip (tanpa membenarkan) para perwira Falangis yang mengatakan bahwa "2.000 'teroris' -perempuan maupun laki-laki- telah terbunuh di Chatila." Bulan Sabit Merah Palestina menyebutkan angka lebih dari 2.000 orang.

7. Dalam bukunya yang diterbitkan segera setelah pembantaian itu, wartawan Israel, Amnon Kapeliouk dari Le Monde Diplomatique, menyimpulkan sekitar 2.000 jenazah yang disingkirkan setelah pembantaian itu menurut sumber-sumber resmi dan Palang Merah dan "perkiraan yang kasar sekali" menduga 1.000-1.500 korban lainnya yang disingirkan oleh para Falangis itu sendiri. Angka keseluruhannya yaitu 3.000-3.500 ini yang sering dikutip oleh orang Palestina.

Pembantaian ini membangkitkan kemarahan di seluruh dunia. Pada 16 Desember 1982, Sidang Umum PBB mengutuk pembantaian ini dan menyatakannya sebagai suatu tindakan genosida. Namun tidak ada tindakan, baik nasional maupun internasional, yang dilakukan terhadap komandan Falangis, Elie Hobeika, yang terbunuh oleh sebuah bom di Beirut pada 2002. Dalam pernyataan-pernyataan awalnya, pemerintah Israel mula-mula menyatakan bahwa para kritikus yang menganggap bahwa Pasukan Bela Diri Israel (IDF) bertanggungjawab atas kejadian-kejadian di Sabra dan Shatila telah melakukan "tuduhan berdarah terhadap negara Yahudi dan pemerintahnya". Namun demikian, sementara berita tentang pembantaian itu menyebar ke seluruh dunia, kontroversi itu makin berkembang dan pada 25 September, 300.000 orang Israel berdemonstrasi di Tel Aviv menuntut jawaban. Pada 28 September, pemerintah Israel memutuskan untuk membentuk sebuah Komisi Penyelidik, yang dipimpin oleh bekas Hakim Agung Kahan. Laporan itu mencakup bukti-bukti dari para personil pasukan Israel, maupun para tokoh politik dan perwira Falangis. Dalam laporan itu, yang diterbitkan pada musim semi 1983, Komisi Kahan menyatakanb bahwa tidak terbukti bahwa satuan-satuan Israel ikut serta langsung dalam pembantaian itu dan bahwa semua itu adalah "tanggung jawab langsung kaum Falangis." Namun demikian, Komisi itu mencatat pula bahwa personil militer Israel sadar bahwa pembantaian itu berlangsung tanpa mengambil langkah-langkah serius untuk menghentikannya, dan bahwa laporan-laporan mengenai pembantaian yang berlangsung itu disampaikan kepada para perwira senior Israel dan bahkan kepada seorang menteri di kabinet Israel. Karena itu, Komisi menyimpulkan bahwa Israel ikut "bertanggung jawab secara tidak langsung". Di antara mereka yang dianggap "bertanggung jawab secara tidak langsung", komisi itu menyimpulkan bahwa Ariel Sharon bertanggung jawab "secara pribadi", dan mengusulkan agar ia dipecat dari kedudukannya sebagai menteri pertahanan. Komisi juga merekomendasikan pemecatan Direktur Intelijen Militer Yehoshua Saguy, dan penurunan pangkat atas Komandan Divisi Amos Yaron sekurang-kurangnya selama tiga tahun. Rekomendasi-rekomendasi ini dilaksanakan. Meskipun Komisi Kahan menyimpulkan bahwa Sharon tidak boleh mengemban jabatan publik lagi, belakangan ia menjadi Perdana Menteri Israel

Para kritikus laporan komisi itu menunjukkan kenyataan bahwa Israel melakukan investigasi atas dirinya sendiri dan berpendapat bahwa laporan itu merupakan upaya untuk membersihkan nama Israel. Misalnya, Noam Chomsky mengatakan:

"Laporan Komisi Kahan ini adalah upaya pembersihan nama yang memalukan; lihat Fateful Triangle, chapter 6, and Shimon Lehrer, Ha'ikar Hehaser ("The Missing Crucial-Point"; Amit, Jerusalem, 1983). Dalam analisis kritis yang cermat terhadap kejadian-kejadian sekitar pembantaian itu dan laporan Komisi Kahan, Lehrer memperlihatkan bahwa kesimpulan-kesimpulannya tidak dapat dipertahankan dan berpendapat bahwa, di bawah hukum Israel, Menteri Pertahanan dan Kepala Staf mestinya diganjar hukuman penjara selama 20 tahun atas pembunuhan terencana. Sementara dikritik tajam di Israel, di AS, laporan Komisi Kahan itu digambarkan, tanpa analisis, sebagai laporan yang paling mengesankan dan bahkan hampir menakjubkan."

Sebagian komentator, seperti Noam Chomsky dan Robert Fisk, menyatakan bahwa Israel mestinya dapat mencegah pembantaian itu. Lebih jauh, mereka meragukan bahwa di kamp-kamp itu memang ada anggota PLO, karena:

1. Komisi Kahan mengklaim bahwa pasukan Israel hanya mengirim 150 orang Falangis untuk memerangi anggota PLO yang konon jumlahnya 2.000 orang. Ini tentu suatu keputusan militer yang tidak realistik dan buruk. 2. kaum Falangis hanya menderita dua korban, sebuah hasil yang tidak mungkin terjadi dalam sebuah pertempuran yang berlangsung selama 36 jam antara 150 orang militan melawan 2.000 pasukan PLO yang berpengalaman. Para pembela Israel menunjukkan bahwa Israel tidak pernah mengklaim bahwa semua anggota PLO (dan bukan para militan Fatah) itu bersenjata atau berusaha menyusun suatu pertahanan. Selain itu, pada beberapa kesempatan sebelumnya, kaum Falangis digunakan oleh tentara Israel untuk menyaring para anggota PLO dari sisa penduduk Lebanon. Mereka mengklaim bahwa pada kesempatan-kesempatan lain itu, kaum Falangis berperilaku baik. Israel menunjukkan bahwa komandan lapangan Falangis, Elie Hobeika, pada saat itu sudah memelihara hubungan dengan Suriah (ia secara terbuka mengalihkan kesetiaannya kepada Suriah), hingga memberikan kesan bahwa ia mungkin telah menciptakan pembantaian itu sebagai sebuah provokasi politik terhadap sekutu-sekutu Israelnya. Akhirnya, Israel menyatakan bahwa ia tidak pernah mengeluarkan perintah (pada kesempatan ini maupun yang lainnya) yang akan mengizinkan pembunuhan terhadap kaum sipil yang tidak bersenjata. Namun demikian, Israel telah memberikan komitmen tertulis bahwa ia akan melindungi kaum sipil Palestina (sebagai tanggung jawabnya sebagai kekuatan pendudukan di bawah hukum internasional), namun Israel tidak melakukan apa-apa untuk melindungi warga sipil ketika ia sadar bahwa pembantaian sedang berlangsung. Pada 4 Februari 1983, Der Spiegel (sebuah majalah Jerman terkemuka) memuat sebuah wawancara dengan salah seorang falangis yang ikut serta dalam pembantaian itu. Menurut orang ini, para pasukan Israel berperang bersama-sama kaum falangis serta mengebomi kamp itu untuk menolong mereka mengatasi perlawanan Palestina. Pada 1987, "Time" menerbitkan sebuah laporan yang menyiratkan bahwa Sharon bertanggung jawab secara langsung atas pembantaian-pembantaian itu. Sharon menuntut Time dengan tuduhan pencemaran di pengadilan Amerika dan Israel. Time memenangi tuntutan itu di pengadilan AS karena Sharon tidak dapat membuktikan bahwa Time telah "bertindak dengan maksud jahat," sebagaimana yang diharuskan di bawah undang-undang pencemaran AS, meskipun para juri merasa bahwa artikel itu keliru dan mencemarinya. Israel mulai meninggalkan Beirut tak lama setelah berita tentang pembantaian itu menyebar. Perlindungan kamp-kamp itu dipercayakan kepada Italia. Setelah sejumlah serangan atas pasukan penjaga perdamaian, Italia meninggalkan Lebanon. Keamanan kamp-kamp itu kemudian dipercayakan kepada milisi Amal. Setelah terpilihnya Sharon pada tahun 2001 sebagai Perdana Menteri Israel, kaum keluarga para korban pembantaian ini mengajukan tuntutan di Belgia dan menuduh bahwa ia secara pribadi bertanggung jawab atas pembantaian-pembantaian itu, dengan menggunakan undang-undang yang pertama kali digunakan terhadap mereka yang terlibat dalam Genosida Rwanda. Mahkamah Agung Belgia memutuskan pada 12 Februari 2003 bahwa Sharon (dan mereka yang terlibat lainnya, seperti Jenderal Yaron dari israel) dapat dikenai tuntutan di bawah tuduhan ini. Israel mengklaim bahwa tuntutan ini dilakukan dengan alasan-alasan politis. Sebuah kasus lain diajukan di Belgia yang menyatakan bahwa Presiden George H. W. Bush dan Menteri Luar Negeri Colin Powell bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan perang dalam Perang Irak pertama. AS mempertanyakan yurisdiksi pengadilan Belgia untuk mengadili kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan di tempat lain, dan meminta sekutu-sekutu Eropanya untuk menekan Belgia serta mengancam untuk memindahkan markas besar NATO dari Belgia. Selain itu sejumlah kasus lainnya terhadap para pemimpin dunia, seperti Fidel Castro, Augusto Pinochet, dan Yasser Arafat, juga diajukan di pengadilan Belgia, hingga menimbulkan sejumlah masalah diplomatik. Akhirnya Belgia mengamandemen hukumnya dan menyatakan bahwa pengaduan-pengaduan hak asasi manusia hanya bisa diajukan apabila korban atau tertuduhnya adalah warga Belgia atau sudah lama menjadi penduduk negara itu pada waktu kejahatan yang dituduhkan itu terjadi. Parlemen Belgia juga menjamin kekebalan diplomatik bagi para pemimpin dunia dan pejabat pemerintahan lainnya yang berkunjung ke negara itu. Elie Hobeika, komandan Falangis pada waktu pembantaian itu tidak pernah diadili dan ia memegang jawaban menteri di pemerintahan Lebanon pada tahun 1990-an. Ia dibunuh dengan sebuah bom mobil di Beirut pada 24 Januari 2002, sementara ia bersiap-siap untuk memberikan kesaksian dalam sebuah peradilan Sharon. Pada 24 September 2003, pengadilan tertinggi Belgia menolak pengaduan kejahatan perang terhadap Ariel Sharon, dan menyatakan bahwa pengaduan itu tidak mempunyai basis hukum untuk dijadikan tuntutan.

Disini dapat dilihat peran mahkamah pengadilan hukum internasional tidak menjalankan pencegahan serta pengadilan yang adil terhadap kasus genosida. Alasannya karena beberapa negara menolak amnesti yang diberikan oleh mahkamah pengadilan bagi para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia. Mereka menilai bahwa mengadili pelaku kejahatan tidak menjamin akan terulangnya kejadian yang serupa di masa depan.

Beberapa sumber kewajiban untuk mengadili terdapat dalam konvensi internasional yang menyatakan bahwa Hak negara untuk memberikan amnesti terhadap suatu kejahatan dapat dilangkahi oleh perjanjian yang ditandatangani negara tersebut. Seperti dijelaskan Pasal 27 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, salah satu pihak tidak boleh menggunakan ketentuan hukum nasionalnya sebagai justifikasi atas kegagalannya menaati sebuah perjanjian. Beberapa konvensi yang diberlakukan diantaranya adalah konvensi jenewa 1949, konvensi genosida, dan konvensi penyiksaan. Konvensi-konvensi tersebut diberlakukan untuk pemberian amnesti terhadap orang-orang yang memiliki kriteria sesuai definisi dalam konvensi tersebut yang dinegosiasikan dalam konteks perang dingin, jadi konvensi tersebut diberlakukan hanya dalam situasi tertentu saja.