Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

download Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

of 38

Transcript of Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    1/38

    Gambar 3 dan 4. apak A. Dar

    praktik si

    iri memberik

    ang percerai

    n arahan pe

    n

    laksanaan

    33

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    2/38

    Gambar 1.Mimbar tem

    Gambar 2. S

    LAMPI

    at hakim me

    uasana prose

    AN

    beri putusa

    s praktik per

    perkara per

    dilan percer

    dilan

    ian

    32

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    3/38

    31

    DAFTAR PUSTAKA

    Harahap M. Yahya. 1993. Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata

    Agama. Jakarta: Pustaka Kartinii.

    Sulaikin, Lubis. 2005. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama

    diindonesia. Jakarta: Kencana

    Retnowulan, Sutantio. 1996.Hukum Acara Perdata. Jakarta: Gema Insani

    Press.

    Bahan Penyuluhan Hukum, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

    Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Direktorat Jenderal Bimbingan

    Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Departemen Agama RI Tahun 2001.

    Rasyid, A. Roihan. 2003. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: Radja

    Grafindo Persada.

    Sanusi, Achmad. 1977. Rangkaian Sari Kuliah Pengantar Ilmu Hukum

    dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: PT. Tarsit.

    Soedikno, Mertokusumo. 1988. Hukum Acara Perdata di Indonesia.

    Yogyakarta: Liberty.

    Subekti. 1977.Hukum Acara Perdata. Bandung: Bina Cipta.

    Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-

    Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

    http://www.hukumacaraperdata.com/2012/12/04/eksepsi-kewenangan-mengadili/,

    Santoso,Macam-macamEksepsi,

    2010, http://www.santoslolowang.com/macammacam-eksepsi/, diakses pada hari

    Jumat, 22 November 2013, pada jam 09:00 WIB.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    4/38

    30

    perceraian, karena perceraian merupakan hal yang dibenci oleh Allah

    SWT.

    5.2.2 Saran dari penulis bagi guru adalah, ini merupakan terobosan baru yang

    sangat baik, dan diapresiasi oleh Instansi terkait. Dimana sekolah-sekolah

    yang ada di Pasuruan tidak ada satupun yang melakukan hal ini.

    5.2.3

    Saran bagi Instansi terkait, adalah bahwa mereka sangat terbuka melayani

    dengan penuh hormat dan tanggung jawab, dalam memberikan informasi

    yang diperlukan oleh penulis.

    5.2.4 Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata baik, dan oleh

    karena itu perlu penyempurnaan agar dapat berguna dengan baik, bagi

    semua.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    5/38

    29

    BAB V

    PENUTUP

    5.1

    Kesimpulan

    Setelah membahas secara mendalam, maka kesimpulan yang didapatkan

    adalah sebagai berikut

    5.1.1 Kekuasaan mutlak peradilan agama dilingkungan peradilan agama terdapat

    dua tingkat pengadilan, yaitu pengadilan agama tingkat pertama dan

    pengadilan tinggi agama sebagai pengadilan tingkat banding.

    5.1.2 Kekuasaan relative adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara

    pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang

    berhubungan dengan wilayah hukum antar Pengadilan Agama dalam

    lingkungan Peradilan Agama.

    5.1.3 Kewenangan absolute adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis

    perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan. Kekuasaan pengadilan di

    lingkungan Peradilan agama adalah memeriksa, memutus, dan

    menyelesaikan perkara perdata tertentu di kalangan golongan rakyat

    tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.

    5.1.4

    Tugas kewenangannya yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan

    perkara-perkara perdata bidang

    a. Perkawinan,

    b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum

    islam,

    c. Wakaf dan sedekah,

    d.

    Zakat, infaq, dan ekonomi syariah.5.2 Saran

    Penulis

    5.2.1 Saran yang dapat diajukan adalah disarankan agar siswa dan masyarakat

    lebih memperkokoh iman dan mematangkan pikiran agar tidak menikah

    dalam usia dini. Menikah merupakan ibadah, sehingga mental dan pikiran

    harus dipersiapkan agar tidak terjadi perselisihan yang berujung

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    6/38

    28

    anak-anak), hingga munculnya ketidakcocokan antara anda dan suami yang

    mendorong terjadinya perceraian, dengan alasan-alasan yang diajukan dan

    uraiannya yang kemudian menjadi dasar tuntutan (petitum). Contoh posita

    misalnya :

    1. Bahwa tanggal 1 Agustus 1994 pihak Tergugat II telah mengadakan lelang

    secara terbuka untuk mengerjakan Proyek Site Reclamation and Filling di Laguna

    View Cector I, Zone A, Sektor 2, Zone A dan B Surabaya Timur, sebagaimana

    Dokumen Lelang No. 054/D.0710/94-S4; (Bukti P-1)

    c. Petitum (tuntutan hukum) yaitu tuntutan yang diminta oleh Istri sebagai

    Penggugat agar dikabulkan oleh hakim (pasal 31 PP No 9/1975, Pasal 130

    HIR).

    4.4.6 Gugatan Provisional (Pasal 77 Dan 78 Uu No.7/89)

    Sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional

    di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:

    a. Memberikan izin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami.

    Izin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri

    yang bertikai tinggal serumah.

    b. Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya

    diberikan oleh suami.

    c. Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan

    pendidikan anak.

    d. Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang

    menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta

    bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    7/38

    27

    b. Bukti hasil pemeriksaan dokter atas perintah dari pengadilan, bila alasan Anda

    adalah suami mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tak

    mampu memenuhi kewajibannya (pasal 75 UU 7/1989)

    c.

    Keterangan dari saksi-saksi, baik yang berasal dari keluarga atau orang-orang

    dekat yang mengetahui terjadinya pertengkaran antara anda dengan suami

    anda (pasal 76 UU 7/1989 jo pasal 134 KHI).

    4.4.4 Surat-surat yang Harus disiapkan

    1. Surat Nikah asli

    2. Foto kopi Surat Nikah 2 (dua) lembar, masing-masing dibubuhi materai,

    kemudian dilegalisir

    3.

    Foto kopi Akta Kelahiran anak-anak (bila punya anak), dibubuhi materai,

    juga dilegalisir

    4. Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) terbaru Penggugat (istri)

    5. Fotokopi Kartu Keluarga (KK)

    Bila bersamaan dengan gugatan perceraian diajukan pula gugatan terhadap

    harta bersama, maka perlu disiapkan bukti-bukti kepemilikannya seperti sertifikat

    tanah (bila atas nama penggugat/pemohon), BPKB (Bukti Pemilikan Kendaraan

    Bermotor)/STNK(Surat Tanda Nomor Kendaraan) untuk kendaraan bermotor,

    kwitansi, surat jual-beli, dll.

    Untuk itu, sangat penting untuk menyimpan surat-surat berharga yang anda miliki

    dalam tempat yang aman.

    4.4.5 Isi Surat Gugatan

    a. Identitas para pihak (Penggugat/Tergugat) atau persona standi in judicio,

    terdiri dari nama suami dan istri (beserta bin/binti), umur, tempat tinggal, hal ini

    diatur dalam pasal 67 (a) UU No. 7/1989. Identitas para pihak ini juga disertai

    dengan informasi tentang agama, pekerjaan dan status kewarganegaraan

    b. Posita (dasar atau alasan gugat) disebut juga Fundamentum Petendi, berisi

    keterangan berupa kronologis (urutan peristiwa) sejak mulai perkawinan anda

    dengan suami anda dilangsungkan, peristiwa hukum yang ada (misalnya: lahirnya

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    8/38

    26

    4.4.2 Alasan dalam Gugatan Perceraian

    Alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan perceraian anda di Pengadilan Agama

    antara lain:

    a. Suami berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya

    b. Suami meninggalkan anda selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ada ijin

    atau alasan yang jelas dan benar, artinya: suami dengan sadar dan sengaja

    meninggalkan anda

    c. Suami dihukum penjara selama (lima) 5 tahun atau lebih setelah perkawinan

    dilangsungkan

    d. Suami bertindak kejam dan suka menganiaya anda

    e. Suami tak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami karena cacat badan

    atau penyakit yang dideritanya

    f. Terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus tanpa kemungkinan untuk

    rukun kembali

    g. Suami melanggar taklik-talak yang dia ucapkan saat ijab-kabul

    h. Suami beralih agama atau murtad yang mengakibatkan ketidaakharmonisan

    dalam keluarga.

    (Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam jo Pasal 19 PP No 9 tahun 1975)

    4.4.3 Saksi dan Bukti

    Anda atau kuasa hukum anda wajib membuktikan di pengadilan kebenaran dari

    alasan-alasan tersebut dengan:

    a. Salinan Putusan Pengadilan, jika alasan yang dipakai adalah suami mendapat

    hukuman 5 (lima tahun) atau lebih (pasal 74 UU No. 7/1989 jo KHI pasal

    135).

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    9/38

    4.4 Prose

    4.4.1 Pro

    Bi

    dan mem

    mengajuk

    diajukan

    tentang P

    Dimanak

    Bi

    Pengguga

    isteri atau

    Pengadila

    Luar Neg

    suami ist

    Agama di

    Agama Ja

    Percerai

    Ga

    edur Men

    a (pihak Is

    tuskan un

    an Gugata

    i Pengadil

    laksanaan

    h Gugatan

    a isteri ya

    dan sua

    kuasa huk

    Agama

    ri, gugata

    ri tinggal

    wilayah t

    karta Pusat

    n Peradila

    bar 4.4

    gajukan G

    tri) merasa

    uk bercera

    Perceraia

    an Agama

    U No 1 ta

    Diajukan?

    g mengaju

    i adalah

    m isteri (b

    PA) di wil

    diajukan d

    di luar ne

    empat ister

    (Pasal 73

    n Agama

    lur proses pe

    ugatan Pe

    bahwa per

    i, langkah

    . Bagi ya

    (Pasal 1 B

    hun 1974 t

    an gugata

    ergugat.

    ila isteri m

    ayah temp

    i PA wilay

    eri, maka

    i berdua

    U No 7/89

    ceraian di Pe

    ceraian di

    awinan tid

    pertama y

    g beraga

    ab I Keten

    ntang Per

    perceraia

    ntuk meng

    nggunaka

    at tinggal

    ah tempat t

    gugatan d

    enikah du

    tentang Pe

    ngadilan Aga

    Pengadila

    ak dapat di

    ng dapat

    a Islam, g

    uan Umu

    awinan).

    , berarti is

    ajukan gu

    kuasa hu

    steri. Bila

    nggal sua

    ajukan ke

    u, atau ke

    radilan Ag

    ma

    n Agama

    pertahanka

    ilakukan a

    ugatan ini

    PP No 9

    teri adalah

    atan perce

    um) mend

    isteri ting

    i. Bila and

    ada Peng

    ada Peng

    ma)

    25

    lagi

    dalah

    dapat

    1975

    pihak

    aian,

    tangi

    al di

    a dan

    dilan

    dilan

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    10/38

    24

    diperiksa oleh pengadilan. Disebut juga eksepsi sub-judice yang berarti

    gugatan yang diajukan masih tergantung (aanhagig) atau masih berlangsung

    atau sedang berjalan pemeriksaannya dipengadilan.

    Macam-macam Eksepsi/tangkisan dalam Hukum Acara yaitu:

    a. Eksepsi mengenai kekuasaan relatif, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa

    PN tidak berwenang mengadili perkara. Diajukan sebelum tergugat menjawab

    pokok perkara.

    b. Eksepsi mengenai kekuasaan absolut, yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa

    PN tidak berwenang untuk mengadili perkara tsb (psl 143 HIR), eksepsi

    mengenai kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan

    perkara berlangsung, bahkan hakim wajib karena jabatannya (tanpa harus

    diminta oleh tergugat)

    c.

    Eksepsi Deklinatoir (mengelakkan), hakim tidak berwenang (psl 133, 134)

    jika benar maka gugatan penggugat diputus tidak dapat diterima. Dalam hal

    ini penggugat dapat mengajukan gugatan baru pada pengadilan yang

    berwenang.

    d. Eksepsi Dilatoir (menangguhkan, menunda): contoh, tergugat menyatakan

    bahwa gugatan diajukan prematur, belum saatnya. Kalau gugatan penggugat

    dinyatakan tidak dapat diterima, penggugat dapat menggugat kembali setelah

    tiba saatnya.

    e. Eksepsi Peremptoir (menyudahi, menyelesaikan): Contoh daluwarsa, kalau

    oleh hakim gugatan tersebut ditolak, maka penggugat tidak dapat mengajukan

    gugatan lagi.

    f. Eksepsi Diskualifikatoir: yaitu penggugat dianggap tidak mempunyai

    kedudukan yang dimaksud dalam gugatan.g.

    Eksepsi ne bis in idem: eksepsi yang menyatakan bahwa perkara yang

    sekarang seluruhnya sama dengan perkara yang terdahulu diputus yaitu baik

    objeknya, persoalannya maupun pihak-pihaknya sama (nebis in idem).

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    11/38

    23

    3. Exceptio Temporis (eksepsi daluarsa). Menurut pasal 1946 KUH Perdata

    daluarsa atau lewat waktu (expiration) selain menjadi dasar hukum untuk

    memperoleh sesuatu, juga menjadi landasan hukum untuk membebaskan

    (release) seseorang dari suatu perikatan setelah lewat jangka waktu tertentu.

    Dan mengenai pengajuannya dapat diajukan disetiap tahapan sedangkan

    diperiksanya dan diputus bersama dengan pokok perkara dalam bentuk

    putusan akhir.

    4. Exceptio non pecuniae numeratae, eksepsi yang berisikan sangkalan

    tergugat (tertagih), bahwa uang yang dijanjikan untuk dibayar kembali, tidak

    pernah diterima. Akan tetapi eksepsi ini sangat erat kaitannya denan

    kemampuan atau keberhasilan tergugat membuktikan bahwa uang yang

    disebut dalam perjanjian tidak pernah diterima. Apabila tergugat tidak mampu

    membuktikan eksepsinyapun ditolak.

    5. Exceptio doli mali, atau biasa disebut juga exceptio doli presentis, yaitu

    keberatan mengenai penipuan yang dilakukan dalam perjanjian. Jadi eksepsi

    yang menyatakan penggugat telah menggunakan tipu daya dalam perbuatan

    perjanjian. Dengan demikian eksepsi ini berikaitan dengan ketentuan pasal

    1328 KUH Perdata.

    6. Exceptio metus, eksepsi ini mengandung keberatan terhadap gugatan

    pengguagat yang bersumber dari perjanjian yang mengandung paksaan

    (dwang) atau compulsion (dures). Eksepsi ini berkaitan erat dengan ketentuan

    pasal 1323 dan 1324 KUH Perdata.

    7. Exceptio non adimpleti contractus, eksepsi ini dapat diterapkan dalam

    gugatan yang bersumber pada perjanjian timbal balik, masing masing pihak

    dibebani kewajiban (obligation) untuk memenuhi prestasi secara timbal balik.Seseroang tidak berhak menggugat apabilia dia sendiri tidak memenuhi apa

    yang menjadi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

    8. Exceptio domini, eksepsi ini merupakan tangkisan yang diajukan tergugat

    terhadap gugatan, yang berisi bantahan yang menyatakan objek barang yang

    digugat bukan milik penggugat, tetapi milik orang lain atau milik tergugat.

    9. Exceptio litis pendentis, yaitu eksepsi yang berisikan bantahan bahwa

    sengketa yang digugat oleh penggugat, sama dengan perkara yang sedang

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    12/38

    22

    sebagai dasar hukum PMH tidak menyebutkan bentuk ganti ruginyam juga tidak

    menyebutkan rincian ganti rugi dengan demikian dapat dituntut: a) ganti rugi

    nyata (actual loss) kerugian materiil; b) kerugian immateril berupa ganti rugi

    pemulihan kepada keadaan semula ataurestoration to original condition (herstel

    in de oorspronkelijk toestand, hestel in de vorige toestand).

    Berdasarkan uraian tersebut pada dasarnya tidak sama antara wanprestasi

    dengan PMH ditinjau dari sumber, bentuk, maupun wujudnya. Oleh karena itu

    dalam merumuskan dalil gugatan tidak dibenarkan 1) mencampur adukan

    wanprestasi dengan PMH dalam gugatan, 2) dianggap keliru merumuskan dalil

    PMH dalam gugatan jika terjadi in konkreto secara realistis adalah wanprestasi 3)

    atau tidak tepat jika gugatan wanpretasi sedang peristiwa hukum yang terjadi

    secara objektif ialah PMH, akan tetapi dimungkinkan menggabungkan atau

    mengakumulasikan keduanya dalam satu gugatan dengan syarat harus tegas

    pemisahannya.

    Eksepsi Hukum Materiil (materiele exceptie) dari pendekatan doktrin

    terdapat beberapa macam eksepsi hukum materiil yang cara pengajuannya tunduk

    pada pasal 136 dan 114 Rv dengan demikian caranya sama dengan eksepsi

    prosesual. Namun perlu diketahui jenis jenis eksepsi materil sebagai berikut:

    1. Exceptio dilatoria, atau disebut juga dilatoria exceptie yaitu gugatan

    penggugat tidak dapat diperiksa karena prematur dalam arti gugatan

    mengandung sifat atau keadaan prematur karena batas waktu untuk

    menggugat belum sampai pada waktu yang disepakati atau karena telah dibuat

    penundaan pembayaran oleh kreditur. Atau dengan kata lain tertundanya

    gugatan disebabkan adanya faktor yang menangguhkan.

    2.

    Exceptio Premtoria, yaitu jenis eksepsi yang dapat menyingkirkan (set aside)gugatan karena masalah yang digugat tidak dapat diperkarakan. Karena apa

    yang digugat telah tersingkir umpanya hal yang digugat bersumber dari

    perjanjian yang telah hapus berdasarkan 1381 KH Perdata, misalnya

    permasalahan yang digugat telah dibayar, dikonsinyasi, dinovasi,

    dikompensasi, dan sebagainya. Atau apa yang digugat telah dieksekusi

    berdasarkan pasal 224 HIR.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    13/38

    21

    dengan petitum. Selanjutnya hanya yang dijelaskan dalam posita yang dapat

    diminta dalam petitum. Sesuatu yang tidak dikemukakan dalam dalil gugatan,

    tidak dapat diminta dalam petitum.

    Masalah Posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, meskipun

    ada yang berpendapat wanprestasi atau ingkar janji (default) merupakan genus

    spesifik dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Alasannya,

    seorang debitur yang ingkar janji atau lalai memenuhi pembayaran utang tepat

    pada waktunya, jelas telah melakukan pelanggaran atas hak kreditur. Dengan

    demikian, terdapat persamaan antara wanprestasi dengan perbuatan melawan

    hukum. akan tetapi jika diteliti lebih lanjut terdapat perbedaan prinsip antara

    keduanya, antara lain

    Ditunjau dari segi hukum, wanprestasi menurut pasal 1243 KUH Perdata

    timbul dari persetujuan (aggreement) yang berdasarkan pasal 1320 KUH Perdata,

    1) harus ada lebih dahulu perjanjian para pihak, 2) salah satu perjanjian

    menggariskan apa yang telah disepakati harus dipenuhi atau promise must be

    kept, 3) wanprestasi terjadi apabila debitur, tidak memenuhi janji, tidak memenuhi

    prestasi tepat waktu, tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan. Sementara

    Perbuatan Melawan Hukum (PMH) menurut pasal 1365 KUH Perdata lahir akibat

    perbuatan orang yang merupakan perbuatan melanggar hukum pidana atau perdata

    maupun keduanya.

    Ditinjau dari segi timbulnya hak menuntut, dasar timbulnya hak menuntut

    dalam wanprestasi pada prinsipnya diperlukan ingebrekkestelling atau pernyataan

    lalai atau in mora stelling (interpellatio) kecuali jika dalam perjanjian telah

    mencantumkan mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan PMH tidak diperlukan

    somasi, kapan saja terjadi PMH pihak yang dirugikan langsung mendapat hakuntuk menuntut ganti rugi.

    Dari segi tuntutan ganti rugi, bertolak dari ketentual pasal 1237 KUH

    Perdata, mengatur jangka waktu perhitungan ganti rugi yang dapat dituntut sejak

    terjadi kelalaian (wanprestasi), dan pasal 1236 DAN 1243 KUH Perdata mengatur

    tentang jenis dan julah ganti rugi yang dapat dituntut yang terdiri dari: kerugian

    yang dialami oleh kreditur, keuntungan yang diperoleh sekiranya perjanjian

    dipenuhi dan ganti rugi bunga atau interest. Sedangkan pasal 1365 KUH Perdata

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    14/38

    20

    Exceptio Obscuur Libel, yang dimaksud dengan obscuur libel surat

    gugatan tidak terang isinya atau disebut juga formulasi gugatan tidak jelas,

    padahal agar gugatan dianggap memenuhi syarat formil dalil gugatan harus terang

    dan jelas atau tegas (duidelijk). Dalam praktik dikenal beberapa bentuk eksepsi

    gugatan kabur. Masing masing bentuk didasarkan pada faktor faktor tertentu

    antara lain

    Tidak jelasnya dasar hukum gugatan, posita atau fundamentum petendi

    tidak menjelaskan dasar hukum (rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang

    mendasari gugatan. Bisa juga, dasar hukum jelas, tetapi tidak dijelaskan dasar

    fakta (Fatelijke grond). Dalil gugatan seperti itu tidak memenuhi syarat formil

    gugatan dengan kata lain gugatan dianggap tidak jelas dan tidak tertentu

    (eenduideljke en bepaalde conclusie).

    Tidak jelasnya Objek Sengketa, kekaburan objek sengketa sering terjadi

    mengenai tanah terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek

    gugatan mengenai tanah, anatara lain tidak disebutnya batas batas objek sengketa,

    luas tanah berbeda dengan pemeriksaan setempat, tidak disebutnya letak tanah

    yang menjadi objek gugatan, tidak samanya batas dan luas tanah dengan yang

    dikuasainya tergugat.

    Petitum gugatan tidak jelas dan atau Petitum tidak rinci, untuk memahami

    hal ini perlu mengambil contoh putusan MA No. 582 K/Sip/1973. Petitum

    gugatan meminta: 1) menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa, 2)

    menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apapun atas tanah

    terebut. Namun hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat

    ingin ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa. Begitu juga

    petitum berikutnya, tidak jelas tindakan apa yang dihentikan tergugat. MAberpendapat, oleh karena petitum gugatan tidak jelas, gugatan harus dinyatakan

    tidak dapat diterima.

    Kontradiksi antara Posita dengan Petitum, sudah dijelaskan, posita dengan

    petitum harus saling mendukung tidak boleh saling bertentangan. Apabila hal itu

    tidak dipenuhi, mengakibatkan gugatan menjadi kabur. Sehubungan dengan hal

    itu hal hal yang dapat dituntut dalam petitum, harus mengenai penyelesaian

    sengketa yang didalilkan. Mesti terbina sinkronisasi dan konsistensi antara posita

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    15/38

    19

    eksepsi karena surat kuasa dibuat oleh orang yang tidak berwenang misalnya surat

    kuasa yang diberikan oleh komisaris perseroan, padahal menurut UU no 40 tahun

    2007 tentang perseroan yang dapat mewakili perseroan didalam maupun diluar

    peradilan adalah direksi.

    EksepsiError in Persona, tergugat dapat mengajukan eksepsi ini, apabila

    gugatan mengandung cacat error in persona yang disebut juga exceptio in person.

    Bentuk atau jenis eksepsi ini meliputi peristiwa sebagai berikut

    Eksepsi diskulifikasi atau gemis aanhoedanigheid, yaitu eksepsi yang

    mengemukakan bahwa penggugat tidak memiliki persona standi in judicio

    didepan PN karena penggugat bukan orang yang berhak oleh karenanya tidak

    mempunyai hak dan kapasitas untuk menggugat. Sebagai contoh apabila yang

    mengajukan gugatan atas nama yayasan bukan pengurus. Dalam hal ini tergugat

    dapat mengajukan exceptio in persona, atas alasan diskulifikasi in person, yakni

    orang yang mengajukan gugatan bukan orang yang mempunyai kedudukan

    hukum untuk menggugat atas nama yayasan.

    Keliru pihak yang ditarik sebagai Tergugat, sebagai contoh putusan MA

    no 601 K/Sip/1975, tentang seorang pengurus yayasan yang digugat secara

    pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa yang berkaitan dengan

    yayasan. Dalam kasus demikian, orang yang ditarik sebagai tergugat tidak tepat,

    karena yang mestinya ditarik sebagai Tergugat adalah yayasan.

    Exceptio plurium litis consortium, alasan dalam mengajukan eksepsi ini

    adalah apabila orang yang ditarik sebagai tergugat tidak lengkap. Atau orang yang

    bertindak sebagai penggugat tidak lengkap, masih ada orang yang harus diikut

    sertakan sebagai penggugat atau tergugat, baru sengketa yang dipersoalkan dapat

    diselsaikan secara tuntas dan menyeluruh.Ekseptio Res Judicataatau Nebis In Idem, atau disebut juga exceptie van

    gewijsde zaak, kasus perkara yang sama tidak dapat diperkarakan dua kali, apabila

    suatu kasus perkara telah pernah diajukan kepada pengadilan, dan terhadapnya

    telah dijatuhkan putusan, serta putusan tersebut telah memperoleh kekuatan

    hukum tetap maka terhadap kasus perkara itu, tidak boleh diajukan gugatan baru

    untuk memperkarakannya kembali.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    16/38

    18

    pokok perkara sehingga putusan yang dijatuhkan menyelesaikan persengketaan

    yang terjadi secara tuntas antara penggugat dan tergugat.

    4.3.3 Jenis Eksepsi

    Pasal 136 HIR mengindikasikan adanya beberapa jenis eksepsi. Sebagian

    besar diantaranya bersumber dari ketentuan pasal perundang-undangan tertentu.

    Misalnya eksepsi nebis in indem ditarik dan dikonstruksikan dari pasal 1917 KUH

    Perdata. Eksepsi dari surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat, bertitik

    tolak dari pasal 123 ayat (1) HIR, dan sebagainya. Eksepsi Prosesual (Processuele

    Exceptie) yaitu eksepsi yang berkenaan dengan syarat formil gugatan. Apabila

    gugatan yang diajukan mengandung cacat formil maka gugatan yang diajukan

    tidak sah, dengan demikian harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet

    Onvantkelijke verklaard). Secara garis besar eksepsi prosesual dapat dibagi

    kepada dua bagian

    Eksepsi tidak berwenang mengadili yang sebelumnya telah dijelaskan dan

    dapat diklasifikasikan, eksepsi karena pengadilan tidak berwenang secara absolut

    dan eksespsi karena pengadilan tidak berwenang secara relatif. Dan untuk eksepsi

    kewenangan relatif pengadilan berkaitan langsung dengan pasal 118 HIR dan

    Pasal 99 Rv. Berdasarkan ketetuan tersebut telah digariskan cara menentukan

    kewenangan relatif PN berdasarkan patokan: (actor sequitor forumrer), (actor

    sequitor forumrer dengan hak opsi), (actor sequitor forumrer tanpa hak opsi),

    tempat tinggal tergugat, forum rei sitae, forum rei sitae dengan hak opsi, dan

    domisili pilihan.

    Lebih lanjut dibawah ini dibahas mengenai eksepsi prosesual diluar

    eksepsi kompetensi. Eksepsi ini terdiri dari berbagai bentuk atau jenis dan yang

    paling sering ditemukan dalam praktek antara lainEksepsi Surat Kuasa Khusus Tidak Sah, dalam hal ini dapat diajukan

    berbagai bentuk eksepsi, antara lain karena surat Kuasa bersifat umum, hal ini

    dapat menjadi bagian eksepsi karena untuk berperkara dipengadilan harus

    menggunakan surat kuasa khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 123

    HIR. Kemudian eksepsi karena surat kuasa tidak memenuhi syarat formil

    sebagaimana yang telah ditentukan oleh pasal 123 HIR dan SEMA No. 1 tahun

    1971 (23 januari 1971) jo. SEMA No. 6 tahun 1994 (14 Oktober 1994). Dan

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    17/38

    17

    Meskipun undang-undang hanya menyebut eksepsi kompetensi mengadili

    secara absolut dan relatif, namun masih banyak lagi eksepsi lain yang diakui

    keberadaannya dalam praktek hukum dan doktrin hukum. dan sebenarnya

    keabsahan dan keberadaan eksepsi selain eksepsi kompetensi diakui secara tersirat

    dalam pasal 136 HIR, Pasal 114 Rv, yang mengatur sebagai berikut

    Perlawanan yang hendak dikemukakan oleh tergugat (exceptie), kecuali tentang

    hal hakim tidak berkuasa, tidak akan dikemukakan dan ditimbang masing-masing,

    tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara.

    Dalam praktik acara perdata ternyata banyak sekali bentuk eksepsi diluar eksepsi

    mengenai kompetensi yang cara pengajuannya diatur dalam pasal 114 Rv.

    Ketentuan tersebut telah dijadikan pedoman oleh para praktisi hukum yang pada

    pokoknya menggariskan

    semua eksepsi kecuali eksepsi kompetensi absolut harus disampaikan bersama

    sama dengan jawaban pertama terhadap pokok perkara, dan jika tidak dilakukan

    bersamaan maka hilang hak tergugat untuk mengajukan eksepsi.

    Bentuk pengajuan eksepsi tersebut dapat dilakukan secara lisan dan

    tertulis, sepanjang eksepsi disampaikan sekaligus bersama dengan

    bantahan/jawaban pokok perkara. Dan jika eksepsi tersebut terdiri dari beberapa

    jenis eksepsi selain eksepsi kompetensi absolut maka harus dilakukan secara

    sekaligus tidak bisa dipisah-pisahkan. Eksepsi lain yang tidak diajukan secara

    sekaligus bersama jawban pertama dianggap gugur sebagaimana tafsir pasal 136

    HIR dan 114 Rv.

    Penyelesaian Eksepsi lain diluar Eksepsi Kompetensi, diperiksa dan

    diputus bersama-sama pokok perkara. Berdasarkan pasal 136 HIR penyelesaian

    eksepsi lain diluar eksepsi kompetensi diperiksa dan diputus bersama-samadengan pokok perkara dengan demikian pertimbangan dan amar putusan

    mengenai eksepsi dan pokok perkara, dituangkan bersama secara keseluruhan

    dalam putusan akhir dan jika eksepsi dikabulkan maka putusan bersifat negatif,

    yaitu dengan amar putusan: mengabulkan eksepsi tergugat dan menyatakan

    gugatan penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard). Dan bila

    eksepsi ditolak maka pengadilan akan mengeluarkan putusan positif berdasarkan

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    18/38

    16

    Pengajuan Eksepsi kewenangan Absolut diatur dalam Pasal 134 HIR dan Pasal

    132 Rv, dalam kedua pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa:

    Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan tergugat setiap saat selama proses

    pemeriksaan berlangsung di sidang tingkat pertama (PN), dengan kata lain

    tergugat berhak mengajukannya sejak proses dimulai sampai sebelum putusan

    dijatuhkan. Bahkan dapat diajukan pada tingkat banding dan kasasi. Selanjutnya

    berdasarkan pasal 132 Rv, telah mengatur sebagai berikut dalam hal hakim tidak

    berwenang karena jenis pokok perkaranya, maka ia meskipun tidak diajukan

    tangkisan tentang ketidakwenangannya, karena jabatannya wajib menyatakan

    dirinya tidak berwenang. Yang dimaksud dalam pasal ini adalah Hakim secara ex

    officio, wajib menyatakan diri tidak berwenang mengadili perkara yang

    diperiksanya, apabila perkara diajukan secara absolut berada diluar yurisdiksinya

    atau termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain, kewajiban tersebut

    mesti dilakukan secara ex-officio meskipun tergugat tidak mengajukan eksepsi

    tentang itu.

    Cara pengajuan Eksepsi Kompetensi Relatif (Relative Competentie)

    Bentuk dan saat pengajuan eksepsi kompentensi relatif diatur dalam pasal 125 (2)

    dan pasal 133 HIR bertitik tolak dari kedua pasal tersebut dapat dijelaskan hal

    sebagai berikut:

    Bahwa pengajuan eksepsi kompetensi relatif dapat diajukan secara lisan

    hal tersebut diatur dalam pasal 133 HIR oleh karenanya PN tidak boleh menolak

    dan mengenyampingkannya, dan hakim harus menerima dan mencatatnya dalam

    berita acara sidang, untuk dinilai dan dipertimbangkan sebagaimana mestinya.

    Selain itu pengajuan eksepsi kompetensi relatif diatur dapat diajukan secara

    tulisan (in writing) hal tersebut diatur dalam pasal 125 ayat (2) Jo. Pasal 121 HIR.Menurut Pasal 121 HIR, tergugat pada hari sidang yangditentukan diberi hak

    mengajukan jawaban tertulis, sedang pasal 125 ayat (2) HIR menyatakan dalam

    surat jawaban terguugat dapat mengajukan eksepsi kompetensi relatif yang

    menyatakan perkara yang disengketakan tidak termasuk kewenangan relatif PN

    yang bersangkutan. Oleh karenanya eksepsi itu dikemukakan dalam surat

    jawaban, berarti oengajuannya bersama-sama dan merupakan bagian yang tidak

    terpisah dari bantahan terhadap pokok perkara.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    19/38

    15

    absolut dapat diajukan oleh tergugat setiap saat selama proses pemeriksaan

    berlangsung sejak proses pemeriksaan dimulai sampai sebelum putusan

    dijatuhkan di persidangan tingkat pertama (Pengadilan Negeri).

    4.3.2 Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)

    Kompetensi relatif berkaitan dengan wilayah hukum dari suatu pengadilan

    dalam satu lingkungan peradilan yang sama, hal ini sebagaimana diatur dalam

    Pasal 118 HIR.

    Pasal 125 ayat (2) dan Pasal 133 HIR mengatur bahwa pengajuan eksepsi

    kewenangan relatif harus disampaikan pada sidang pertama dan bersamaan pada

    saat mengajukan jawaban pertama terhadap materi pokok perkara. Eksepsi

    kewenangan relatif hanya dapat diajukan bersama-sama dengan penyampaian

    jawaban pertama. Tidak terpenuhinya syarat tersebut, mengakibatkan hak tergugat

    untuk mengajukan eksepsi menjadi gugur.

    Pengajuan eksepsi kewenangan relatif dapat secara lisan atau berbentuk

    tulisan. Pasal 133 HIR memberikan hak kepada tergugat untuk mengajukan

    eksepsi kompetensi relatif secara lisan. Hakim yang menolak dan tidak

    mempertimbangkan eksepsi lisan, dianggap melanggar tata tertib beracara dan

    tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai penyalah gunaan wewenang.

    Selain secara lisan, eksepsi kewenangan relatif dapat diajukan dalam bentuk

    tertulis sebagaimana diatur dalam Pasal 125 ayat (2) Rv jo Pasal 121 HIR.

    Eksepsi berkaitan dengan kompetensi absolut yang diajukan bersamaan

    dengan pengajuan jawaban setelah pembacaan gugatan/permohonan pokok

    perkara, dan wajib diputus sebelum putusan pokok perkara. Namun, jika eksepsi

    menyangkut kewenangan relatif, maka majelis hakim dapat memutus sebelum

    maupun bersamaan dengan pokok perkara.Cara pengajuan eksepsi diatur dalam beberapa pasal 125 ayat (2), Pasal

    133, Pasal 134, dan Pasal 136 HIR, cara pengajuan berkenaan dengan ketentuan

    kapan eksepsi disampaikan dalam proses pemeriksaan berdasarkan pasal pasal

    tersebut terdapat perbedaan cara mengenai saat pengajuan eksespsi, dikaitkan

    dengan jenis eksepsi yang bersangkutan.

    Cara mengajukan Eksepsi Kewenangan Absolut dan Relatif (Exceptio

    Declinatoir)

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    20/38

    14

    Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung

    Republik Indonesia tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

    Pasal 1 PERMA tersebut menyatakan bahwa :

    1.

    Hakim pengadilan dalam lingkungan peradilan agama yang memeriksa,

    mengadili dan menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan ekonomi

    syariah, mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi

    Hukum Ekonomi Syariah.

    2. Mempergunakan sebagai pedoman prinsip syariah dalam Kompilasi Hukum

    Ekonomi Syariah sebagaimana dimaksud ayat (1), tidak mengurangi

    tanggung jawab hakim untuk menggali dan menemukan hukum untuk

    menjamin putusan yang adil dan benar.

    4.3Eksepsi Peradilan Agama

    Eksepsi dalam konteks hukum acara perdata memiliki makna tangkisan

    atau bantahan (objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan

    tergugat terhadap materi gugatan penggugat. Namun, tangkisan atau bantahan

    yang diajukan dalam bentuk eksepsi ditujukan kepada hal yang menyangkut

    syarat formalitas gugatan dan tidak ditujukan atau menyinggung bantahan

    terhadap pokok perkara (verweer ten principale). Salah satu eksepsi dalam hukum

    acara perdata adalah eksepsi mengenai kewenangan mengadili. Eksepsi

    kewenangan mengadili diajukan apabila dianggap pengadilan tidak berwenang

    mengadili perkara yang bersangkutan. Eksepsi kewenangan mengadili dibagi

    menjadi:

    4.3.1 Eksepsi Kewenangan Absolut (Exceptio Declinatoir)

    Kompetensi absolut berkaitan dengan kewenangan absolut 4 (empat)

    lingkungan peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, PeradilanAgama, dan Peradilan Militer) dan Peradilan Khusus (Arbitrase, Pengadilan

    Niaga, dan lain-lain). Masing-masing pengadilan mempunyai yurisdiksi tertentu.

    Yurisdiksi suatu pengadilan tidak boleh dilanggar oleh yurisdiksi pengadilan lain.

    Pengajuan eksepsi kewenangan absolut (exceptio declinatoir) diatur dalam

    Pasal 134Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dan Pasal 132Reglement op de

    Rechsvordering (RV). Eksepsi kewenangan absolut dapat diajukan oleh tergugat

    setiap saat. Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv mengatur bahwa eksepsi kewenangan

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    21/38

    13

    Tahun 1977 merupakan peraturan perwakafan dalam ajaran islam yang telah

    menjadi hukum positif dan pengaturannya memiliki cakupan yang lengkap.

    Namun demikian, permasalahan wakaf juga semakin kompleks, seiring dengan

    kemajuan dan perkembangan masyarakat. oleh karena itu, jika ada perselisihan

    tentang perwakafan tanah milik, maka penyelesaiannya dapat diajukan kepada

    pengadilan agama sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

    4.2.2.4 Kewenangan mengadili perkara Zakat, Infaq dan Ekonomi Syariah

    1. Zakat

    Yang dimaksud dengan zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh

    seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai

    dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

    2. Infaq

    Yang dimaksud dengan infaq adalah perbuatan seseorang memberikan

    sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan,

    minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu

    kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wataala.

    3. Ekonomi Syariah

    Yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau

    kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi:

    a. bank syariah;

    b. lembaga keuangan mikro syariah;

    c. asuransi syariah;

    d. reksa dana syariah;

    e. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah;

    f.

    sekuritas syariah;g.

    pembiayaan syariah;

    h. pegadaian syariah;

    i. dana pensiun lembaga keuangan syariah;

    j. dan bisnis syariah.

    Dalam perkara ekonomi syariah belum ada pedoman bagi hakim dalam

    menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Untuk memperlancar proses

    pemeriksaan dan penyelesaian sengketa ekonomi syariah, dikeluarkan Peraturan

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    22/38

    12

    Dalam pasal 2 jo. pasal 49 ayat (1) jo. penjelasan umum angka 2 alinea

    ketiga telah ditentukan bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini

    adalah asas personalitas keislaman. Oleh karena itu, dengan mengaitkan asas ini

    dengan ketentuan pasal 49 ayat 1 huruf b, jo. penjelasan umum angka 2 alinea

    tersebut, berarti asas personalitas keislaman dalam bidang perdata kewarisan,

    meliputi seluruh golongan rakyat beragama islam. Dengan perkataan lain, dalam

    hal ini terjadi sengketa kewarisan bagi setiap orang yang beragama islam,

    kewenangan mengadilinya tunduk dan takluk pada lingkungan peradilan agama,

    bukan kelingkungan peradilan umum. Jadi luas jangkauan mengadili lingkungan

    peradilan agama ditinjau dari subjek pihak yang berperkara, meliputi seluruh

    golongan rakyat yang beragama islam terkecuali.

    Mengenai jangkauan kewenangan mengadili sengketa kewarisan ditinjau

    dari sudut Hukum Waris Islam, dapat dilakukan melalui pendekatan pasal 49 ayat

    (3) jo penjelasan umum angka 2 alinea keenam. Jadi uraian singkat dari ketentuan

    pasal tersebut adalah bahwa pokok-pokok hukum waris islam yangakan

    diterapkan pada golongan rakyat yang beragama islam diperadilan agama terdiri

    atas:

    1. Siapa-siapa yang menjadi ahli waris, meliputi penentuan kelompok ahli

    waris, siapa yang berhak mewaris, siapa yang terhalang menjadi ahli waris,

    dan penentuan hak dan kewajiban ahli waris.

    2. Penentuan mengenai harta peninggalan, antara lain tentang penentuan tirkah

    yang dapat diwarisi dan penentuan besarnya harta warisan.

    3. Penentuan bagian masing-masing ahli waris, hal ini telah diatur dalam Al-

    Quran, as-Sunnah, dan Ijtihad, dan

    4. Melaksanakan pembagian harta peninggalan.4.2.2.3 Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf dan Sedekah

    Pasal 1 ayat (1) PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik

    menentukan pengertian tentang wakaf. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang

    atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaan yang berupa tanah

    milik dan melembagakannya untuk selama-selamanya untuk kepentingan

    peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam.

    Wakaf ini sangat penting ditinjau dari sudutpelembagaan keagamaan. PP No.28

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    23/38

    11

    13.Penentuan kewajiban memberi biaya peng-hidupan oleh suami kepada bekas

    istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;

    14.putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;

    15.

    putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

    16.pencabutan kekuasaan wali;

    17.

    penunjukkan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan

    seorang wali dicabut;

    18.menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18

    (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada

    penunjukkan wali oleh orang tuanya;

    19.

    pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan

    kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;

    20.

    penetapan asal usul seorang anak;

    21.putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan

    perkawinan campuran;

    22.pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang

    Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan

    yang lain.

    Dalam Kompilasi Hukum Islam juga ada pasal-pasal memberikan

    kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara perkawinan, yaitu:

    23.Penetapan WaliAdlal;

    24.Perselisihan penggantian mahar yang hilang sebelum diserahkan.

    4.2.2.2 Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Kewarisan, Wasiat, dan

    Hibah

    Menurut pasal 49 ayat (3) UU No. 7 Tahun 1989, kewenangan pengadilanagama dibidang kewarisan yang disebut dalam pasal 49 ayat (1) huruf b, adalah

    mengenai:

    a. Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris

    b. Penentuan harta peninggalan

    c. Bagian masing-masing ahli waris dan

    d. Melaksanakan pembagian harta peninggalan.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    24/38

    10

    d. Zakat, infaq dan ekonomi syariah

    Dengan perkataan lain, bidang-bidang tertentu dari hukum perdata yang

    menjadi kewenangan absolut peradilan agama adalah bidang hukum keluarga dari

    orang-orang yang beragama islam. Oleh karena itu, menurut Prof. Busthanul

    Arifin, perdilan agama dapat dikatakan sebagai peradilan keluarga bagi orang-

    orang yang beragama islam, seperti yang terdapat dibeberapa negara lain. Sebagai

    suatu peradilan keluarga, yaitu peradilan yang menangani perkara-perkara

    dibidang Hukum Keluarga, tentulah jangkauan tugasnya berbeda dengan

    peradilan umum. Oleh karena itu, segala syarat yang harus dipenuhi oleh para

    hakim, panitera dan sekretaris harus sesuai dengan tugas-tugas yang diemban

    peradilan agama.

    4.2.2.1Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Perkawinan

    Mengenai bidang perkawinan pasal 49 ayat (2) menyatakan bahwa yang

    dimaksud ialah hal-hal yang diatur dalam undang-undang mengenai perkawinan

    yang berlaku, pasal 49 ayat (2).Yang menjadi kekuasaan mutlak Pengadilan

    Agama adalah perkara perkawinan sebagaimana diatur UU No. 1 Th. 74 dan PP

    No. 9 Th. 75. Perkara-perkara perkawinan dimaksud adalah:

    1.

    Izin beristri lebih dari seorang;

    2.

    Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh

    satu) tahun dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada

    perbedaan pendapat;

    3. Dispensasi kawin;

    4. Pencegahan perkawinan;

    5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

    6.

    Pembatalan perkawinan;7.

    Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri;

    8. Perceraian karena talak;

    9. Gugatan perceraian;

    10.Penyelesian harta bersama;

    11.Penguasaan anak-anak;

    12.Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan bila mana bapak

    yang seharusnya bertangung jawab tidak memenuhinya;

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    25/38

    9

    pasal 118 HIR atau pasal 142 R. Bg.jo. pasal 66 dan pasal 73 UU No. 7 tahun

    1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan

    ke pengadilan agama mana gugatan diajukan agar gugatan memenuhi syarat

    formal. Pasal 118 ayat (1) HIR. Menganut asas bahwa yang berwenang adalah

    pengadilan ditempat kediaman tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut

    actor sequitur forum rei, namun ada beberapa pengecualian yaitu yang

    tercantum dalam pasal 118 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), yaitu:

    a. Apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan

    yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat.

    b. Apabila ada tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan

    kepada pengadilan ditempat tinggal penggugat.

    c.

    Apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan

    kepada peradilan diwilayah hukum dimana barang tersebut terletak.

    d. Apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akta, maka gugatan

    dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang diplih dalam akta

    tersebut.

    4.2.2 Kompetensi Absolut Peradilan Agama

    Kewenangan absolut (absolute competentie) adalah kekuasaan peradilan

    yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkat

    Pengadilan,dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan atau

    tingkat Pengadilan lainnya. Kekuasaan pengadilan di lingkungan Peradilan agama

    adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara perdata tertentu di

    kalangan golongan rakyat tertentu, yaitu orang-orang yang beragama Islam.

    Pasal 10 UU No. 7 Tahun 1970 menetapkan empat jenis lingkungan

    peradilan dan masing-masing mempunyai kewenangan mengadili bidang tertentudalam kedudukan sebagai badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat

    banding. Untuk lingkungan peradilan agama menurut Bab I pasal 2 jo Bab III

    pasal 49 UU No. 7 tahun 1989 ditetapkan tugas kewenangannya yaitu memeriksa,

    memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perdata bidang:

    a. Perkawinan

    b. Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam

    c. Wakaf dan sedekah.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    26/38

    8

    BAB IV

    PEMBAHASAN

    4.1

    Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama

    Kata kekuasaansering disebut kompetensiyang berasal dari bahasa

    Belandacompetentie, yang kadang-kadang diterjemahkan

    dengan kewenangandan kadang dengankekuasaan. Kekuasaan atau

    kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum acara.

    Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama di lingkungan Peradilan Agama

    terdapat dua tingkat Pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai pengadilan

    tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai Pengadilan Tingkat

    Banding.

    4.2Wewenang atau Kompetensi Peradilan Agama

    Wewenang (kompetensi) Peradilan Agama diatur dalam pasal 49 sampai

    dengan Pasal 53 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Wewenang

    tersebut terdiri atas wewenang relatif dan wewenang absolut. Wewenang relatif

    Peradilan Agama merujuk pada pasal 118 HIR atau Pasal 142 RB.g. jo. Pasal 66

    dan pasal 73 UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sedang wewenang

    absolut berdasarkan pasal 49 UU No. 7 tahun 1989.

    Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat

    dilingkungan Peradilan Agama, yaitu:

    1. Fungsi kewenangan mengadili,

    2. Memberi keterangan, pertimbangan,

    3. Kewenangan lain berdasarkan undang-undang,

    4. Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkatbanding dan mengadili sengketa kompetensi relatif,

    5. Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.

    4.2.1 Kompetensi Relatif Peradilan Agama

    Dalam pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 ditentukan bahwa acara yang

    berlaku pada lingkungan peradilan agama adalah Hukum Acara Perdata yang

    berlaku pada lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu, landasan untuk

    menentukan kewenangan relatif pengadilan agama merujuk kepada ketentuan

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    27/38

    7

    3.2Narasumber

    Yang bertindak sebagai narasumber dalam wawancara untuk mendapatkan

    informasi mengenai proses perceraian di peradilan agama adalah Bapak Ahmad

    Dardiri S.H.

    3.3Lokasi dan Waktu

    Wawancara dilaksanakan Kantor Pengadilan Agama, Jl. Ir H. Juanda No

    11A, Pasuruan. Pada hari Kamis, 21 November 2015.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    28/38

    6

    BAB III

    METODOLOGI PENELITIAN

    3.1

    Teknik Pengumpulan Data

    Metode pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan

    untuk mengumpulkan data. Sesuai dengan perintah pada tugas yang diberikan,

    digunakan teknik pengumpulan data berupa wawancara.

    Adapun wawancara yang dilakukan adalah wawancara terstruktur dan tidak

    terstruktur. Awalnya disiapkan pertanyaan-pertanyaan pokok pada narasumber.

    Pada proses ketika narasumber menjawab pertanyaan, apabila informasi dirasa

    kurang lengkap maka akan diajukan pertanyaan lain. Sistem wawancara yang

    demikian, memungkinkan narasumber untuk memersiapkan materi wawancara

    dengan baik dan kami dapat menggali informasi lebih dalam tentang masalah

    yang kurang jelas.

    Selain itu, kami juga melakukan praktik perceraian. Dalam proses

    perceraian tidak semua kelompok yang datang melakukan praktik perceraian,

    namun perwakilan dari setiap kelompok yang hadir pada hari itu. Hal ini

    bertujuan agar kami lebih mengerti tentang tata cara proses perceraian pada

    peradilan agama, dan juga menghemat waktu pada pengumpulan informasi pada

    hari itu, serta bukan hanya secara teori tetapi juga memahami prosesnya secara

    utuh. Adapun yang melakukan dan mengajarkan praktik pernikahan adalah

    sebagai berikut:

    1. Bapak Ahmad Dardiri S.H. sebagai pemberi arahan atau yang mengajarkan,

    2. Alya Nur Hanifah sebagai hakim ketua,

    3.

    Isnaini Rahma A. sebagai hakim anggota (penasihat suami),4.

    Satrio Anggoro sebagai hakim anggota (penasihat isteri),

    5. Maulana Alif F. sebagai pantera pengganti,

    6. Yudhananto W. K. sebagai suami,

    7. Islamiah Nur Cahyani sebagai isteri,

    8. Teman-teman yang lain sebagai penonton jalannya proses perceraian.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    29/38

    5

    menerangkan atau menetapkan suatu keadaan atau status tertentu. Produk

    pengadilan dalam perkara gugatan berupa putusan atau vonnis, yang putusan

    dapat berupa putusan condemnatoir yaitu putusan yang bersifat menghukum

    kepada para pihak yang bersengketa.

    e. Penetapan hanya mengikat pada pemohon saja sehingga tidak mempunyai

    kekuatan eksekutorial atau penetapan tidak dapat dilaksanakan/eksekusi.

    Sedangkan putusan gugatan mengikat kepada kedua belah pihak sehingga

    mempunyai kekuatan eksekutorial.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    30/38

    4

    2.2Pengertian Kewenangan

    Kewenangan disebut juga kekuasaan atau kompetensi, kompetensi berasal

    dari bahasa Latin competo, kewenangan yang diberikan undang-undang mengenai

    batas untuk melaksanakan sesuatu tugas; wewenang mengadili. Kompetensi

    dalam bahasa Belanda disebut competentie, kekuasaan (akan) mengadili;

    kompetensi. Kompetensi disebut juga kekuasaan atau kewenangan mengadili

    yang berkaitan dengan perkara yang diperiksa di pengadilan atau pengadilan mana

    yang berhak memeriksa perkara tersebut. Ada dua macam kompetensi atau

    kekuasaan/kewenangan mengadili, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan

    absolut.

    Sebelum membahas tentang kewenangan relatif dan kewenangan absolut

    sebaiknya perlu diketahui terlebih dahulu jenis-jenis perkara yang diperiksa

    Pengadilan di lingkungan Peradilan Agama. Perkara yang diperiksa Pengadilan di

    lingkungan Peradilan Agama ada dua macam, yaitu permohonan (voluntaire) dan

    gugatan (contentieus).

    2.3Permohonan dan Gugatan

    Pemohonan adalah mengenai suatu perkara yang tidak ada pihak-pihak

    lain yang saling bersengketa. Gugatan adalah suatu perkara yang terdapat

    sengketa antara dua belah pihak.

    Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah sebagai berikut:

    a. Dalam permohonan hanya ada satu pihak saja sedangkan dalam gugatan

    terdapat dua pihak yang bersengketa.

    b. Dalam permohonan tidak terdapat sengketa sedangkan perkara gugatan

    terdapat sengketa antara kedua belah pihak.

    c.

    Dalam permohonan hakim hanya menjalankan fungsi executive poweratauadministratif saja sehingga permohonan disebutjurisdictio voluntaria atau

    peradilan yang bukan sebenarnya. Sedangkan dalam gugatan hakim berfungsi

    sebagai hakim yang mengadili dan memutus pihak yang benar dan yang tidak

    benar. Gugatan disebut juga jurisdictio contentieus atau peradilan yang

    sesungguhnya.

    d. Produk pengadilan dalam perkara permohonan berupa penetapan

    atau beschikking, disebut juga putusan declaratoir yaitu putusan yang sifatnya

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    31/38

    3

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    2.1

    Pengertian Peradilan Agama

    Peradilan Agama adalah terjemahan dari Godsdienstige Rechtspraak

    (Bahasa Belanda), berasal dari kata godsdienst yang berarti agama; ibadat;

    keagamaan dan kata rechtspraak berarti peradilan, yaitu daya upaya mencari

    keadilan atau penyelesaian perselisihan hukum yang dilakukan menurut

    peraturan-peraturan dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.

    Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

    Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa yang

    dimaksud Peradilan Agama dalam undang-undang ini adalah peradilan bagi

    orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun

    2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

    Peradilan Agama menyatakan bahwa Peradilan Agama adalah salah satu

    pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama

    Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang

    ini.

    Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Peradilan Agama

    adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari keadilan atau

    menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang beragama Islam

    melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan kekuasaan

    kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan yang berada di

    bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia.Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung

    dan badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah

    Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung adalah

    badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan

    Agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha

    Negara.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    32/38

    2

    1.4Manfaat kunjungan

    1.4.1 Manfaat Teoritik

    1.4.1.1Dengan mengetahui tata cara serta hal-hal lain seputar perceraian

    diharapkan dapat menambah sumber pustaka untuk pengembangan ilmu

    pengetahuan.

    1.4.2 Manfaat Praktik

    1.4.2.1Dengan mengetahui tata cara serta hal-hal lain seputar perceraian

    diharapkan kita dapat mengetahui proses perceraian yang ada,

    1.4.2.2Dengan mengetahui tata cara serta hal-hal lain seputar pernikahan

    membuat kita mengetahui proses peradilan perceraian yang sesungguhnya.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    33/38

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1

    Latar Belakang Masalah

    Indonesia telah menumbuhkan sebuah negara yang berdasarkan pada

    kedaulatan hukum. Oleh karena itu, supermasi hukum menjadi dari tujuan segala

    elemen didalam pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Oleh karena melihat

    kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara yang

    terbentuk dari berbagai agama, ras, bahasa, dan budaya. Maka tuntutan hukum

    yang digunakan di dalam Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan. Dalam

    hal ini, jenis-jenis perkara yang dikuasai oleh sebuah badan peradilan juga

    ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di Indonesia, telah ditentukan dalam

    hal apa saja dan di mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan. Sudah

    tentunya, Peradilan Agama yang berada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang

    sama. Ini dikarenakan kesemua peradilan yang ada di Indonesia ini berada di

    bawah naungan/kekuasaan Mahkamah Agung. Peradilan Agama pada awalnya

    diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang tersebar di berbagai

    peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu

    peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

    tentang Peradilan Agama. Dan telah dirubah sebanyak dua kali.Dengan adanya

    perubahan tersebut Peradilan Agama mengalami pula perubahan tentang

    kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada lingkungan Peradilan

    Agama.

    1.2Rumusan Masalah

    1.2.1

    Bagaimana kekuasaan mutlak Peradilan Agama?1.2.2

    Bagaimana wewenang atau kompetensi Peradilan Agama?

    1.2.3 Apa saja eksepsi Peradilan Agama?

    1.2.4 Bagaimana proses perceraian di Peradilan Agama?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Siswa di harapkan mengetahui tugas dan wewenang peradilan agama.

    1.3.2 Siswa dapat mengetahui bagaimana proses-proses yang di limpahkan di

    dalam peradilan agama.

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    34/38

    iii

    Halaman

    4.2.2.3 Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Wakaf

    dan Sedekah ........................................................................ 12

    4.2.2.4 Kewenangan mengadili perkara Zakat, Infaq

    dan Ekonomi Syariah......................................................... 13

    4.3 Eksepsi Peradilan Agama ............................................... 14

    4.3.1 Eksepsi Kewenangan Absolut ..................................... 14

    4.3.2 Eksepsi Kewenangan Relatif (Relative Comprtitie)........ 15

    4.3.3 Jenis Eksepsi .............................................................. 18

    4.4 Proses Perceraian Peradilan Agama ............................... 25

    4.4.1 Prosedur Mengajukan Gugatan Perceraian

    di Pengadilan Agama ........................................................... 25

    4.4.2 Alasan dalam Gugatan Perceraian .............................. 26

    4.4.3 Saksi dan Bukti ........................................................ 26

    4.4.4 Surat-surat yang Harus disiapkan ............................... 27

    4.4.5 Isi Surat Gugatan ..................................................... 27

    4.4.6 Gugatan Provisional (Pasal 77 Dan 78 UU No.7/89) .... 28

    BAB V PENUTUP

    5.1 Kesimpulan .................................................................... 29

    5.2 Saran ............................................................................. 29

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................... 31

    LAMPIRAN ............................................................................. 32

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    35/38

    ii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR .................................................................. i

    DAFTAR ISI ............................................................................ ii

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah ................................................ 1

    1.2 Rumusan Masalah .......................................................... 1

    1.3 Tujuan Penelitian ..................................................... 1

    1.4 Manfaat Penelitian................................................... 2

    BAB II LANDASAN TEORI

    2.1 Pengertian Peradilan Agama ........................................ 3

    2.2 Pengertian Kewenangan ................................................ 4

    2.3 Permohonan dan Gugatan ............................................. 4

    BAB III METODOLOGI PENELITIAN

    3.1 Teknik Pengumpulan Data .......................................... 6

    3.2 Narasumber ............................................................... 7

    3.3 Lokasi dan Waktu ....................................................... 7

    BAB IV PEMBAHASAN

    4.1 Kekuasaan Mutlak Peradilan Agama .............................. 8

    4.2 Wewenang dan Kompetensi Peradilan Agama ............... 8

    4.2.1 Kompetensi Relatif Peradilan Agama .......................... 8

    4.2.2 Kompetensi Absolut Peradilan Agama ........................ 9

    4.2.2.1 Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Perkawinan.. 10

    4.2.2.2 Kewenangan Mengadili Perkara Bidang Kewarisan,

    Wasiat, dan Hibah .............................................................. 11

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    36/38

    i

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena

    rahmat dan hidayah-Nya, penulis diberi kemudahan untuk mengerjakan sekaligus

    menyelesaikan tugas ini, dengan judul Wewenang Peradilan Agama Dalam

    Menangani Kasus Perceraian Umat Muslim. Laporan ini dibuat untuk memenuhi

    tugas studi semester gasal kelas dua belas MIPA satu, mata pelajaran Pendidikan

    Agama Islam. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

    1. Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan hidayahnya kita semua dapat

    menyelesaikan makalah ini,

    2. Kepala Pengadilan Agama Kota Pasuruan, Bpk Dr. H. Anang Setio Budi,

    S.H, M.H. yang telah memberi izin kita semua untuk melakukan

    kunjungan terkait dengan tugas ini.

    3.

    Panmud Hukum Pengadilan Agama Kota Pasuruan, Bpk. A. Dardiri, S.H.

    yang telah memberikan informasi, dan penjelasan terkait dengan fungsi

    dan wewenang perkara Pengadilan Agama.

    4. Kepala Sekolah SMAN 1 Kota Pasuruan, Drs. Taufikkurachman, M.Pd.

    5.

    Guru pengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, Bpk. Sukandar,

    S.Pd, M.Pd. yang telah membimbing kami semua dalam penyelesain

    laporan ini.

    6. Serta pihak-pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian laporan

    ini.

    Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh

    karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan

    untuk meningkatkan mutu dari laporan ini. Akhir kata, semoga laporan ini dapat

    berguna dan bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya. Amin.

    Pasuruan, 28 November 2015

    Penulis

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    37/38

    WEWENANG PERADILAN AGAMA DALAM MENANGANI KASUS

    PERCERAIAN UMAT MUSLIM

    Laporan Wawancara

    Disusun untuk memenuhi tugas Mata Pelajaran Pendididkan Agama Islam

    tentang wewenang peradilan agama dalam menangani

    kasus perceraian umat muslim

    Oleh:

    Hafizh Tsaqib 10643

    Islamiah Nur C. 10648

    Miftahul Jannah 10683

    Nabil Miftah Irfandha 10690

    Rangga Try Rahayu 10659

    XII MIPA 1

    SMA NEGERI 1 PASURUAN

    JL. SOEKARNO HATTA 40 PASURUAN

    TAHUN AJARAN 2015-2016

  • 7/25/2019 Wewenang Peradilan Agama Dalam Menangani Kasus Peradilan Umat Muslim

    38/38

    WEW

    NANG P

    I

    NR

    J

    RADILA

    PERCE

    AFIZH T

    LAMIAH

    IFTAHU

    ABIL MIANGGA

    SMA

    . SOEKA

    TAH

    AGAM

    AIAN U

    LAPO

    Oleh

    AQIB

    NUR C.

    JANNA

    TAH IRFRY RAH

    EGERI 1

    NO HAT

    N AJAR

    DALAM

    AT MUS

    AN

    :

    NDHAYU

    PASURU

    A 40 PAS

    N 2015 20

    MENAN

    IM

    10643

    10648

    10683

    1069010659

    N

    URUAN

    6

    ANI KAS S