MELACAK ASAL-USUL KATA AL-QUR’AN
Transcript of MELACAK ASAL-USUL KATA AL-QUR’AN
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
MELACAK ASAL-USUL KATA AL-QUR’AN(Sebuah Analisis Linguistik)
Oleh: Kamran As’at Irsyady, Lc
08.216.595
A. PENDAHULUAN
Wahyu Tuhan yang turun kepada Nabi Muhammad saw. selama kurun
waktu kurang lebih 23 tahun lazim secara populer disebut dengan nama “Al-
Qur’an”. Penting kiranya dicatat bahwa pemakaian al-Qur’an sebagai nama kitab
suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. merupakan sesuatu yang
unik dan menyimpang dari tradisi kalam Arab, baik secara keseluruhan maupun
bagian-bagiannya. Allah menamakan keseluruhan kitab-Nya dengan Qur’an,
sementara bangsa Arab menamakan keseluruhannya karyanya dengan istilah
Dîwân. Bagian dari al-Qur’an disebut surah, sementara dalam kalam Arab disebut
qashîdah. Bagian yang lebih kecil lagi disebut ayat, sementara dalam kalam Arab
disebut bait. Selanjutnya, bagian akhir ayat dinamai fâshilah, sementara hal
serupa dalam kalam Arab disebut qâfiyah.1 Keunikan ini juga dikarenakan sifat
hakikat bahasa yang terkandung dalam al-Qur’an sendiri yang memiliki fungsi
yang berbeda dengan fungsi bahasa lainnya dalam komunikasi antar
umatmanusia.2
Kata al-Qur’an menurut penelitian Taufik Adnan Amal, baik dengan atau
tanpa kata sandang “al-” muncul sekitar 70 kali di dalam al-Qur’an dengan
pengertian yang beragam. Dalam QS. Al-Qiyamah [75]:17-183, kata ini digunakan 1 Lihat Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an,
diterjemahkan dari judul asli Mafhum an-Nash: Dirasah fi ‘Ulûm al-Qur’ân oleh Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta: LKiS, cet. IV 2005), hlm. 57.
2 Kaelani M.A., “Kajian Makna Al-Qur’an (Suatu Pendekatan Analitika Bahasa)”, dalam Sahiron Syamsuddin dkk., Hermeneutika Alqur’an Mazhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 70.
3 Allah swt. berfirman:
مبی خب حب جب يئ ىئ مئ حئ جئ“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya; Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya
1
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
untuk menyebut wahyu-wahyu individual yang disampaikan satu-per-satu
kepada Nabi saw., atau sebagai suatu istilah umum untuk wahyu Ilahi yang
diturunkan bagian demi bagian. Sementara pada sebagian konteks lainnya, al-
Qur’an –terkadang tanpa partikel “al-“- disebut sebagai versi berbahasa Arab
dari al-kitab yang ada di Lauh Mahfûzh4. Kata ini juga merujuk pada sekumpulan
wahyu Ilahi yang diperintahkan untuk dibaca. Akan tetapi, penggunaan terma al-
Qur’an yang paling mendekati pengertian yang sering dipahami dewasa ini –
yakni sebagai Kitab Suci kaum muslimin- terdapat dalam QS. At-Taubah [9]:1115,
di mana kata ini secara bergandengan dengan dua kitab suci lain, Taurat dan Injil,
dalam suatu konstruksi yang memberi kesan tentang tiga kitab suci yang paralel.6
Selain itu, para sarjana muslim sendiri tidak padu dalam mendefinisikan
al-Qur’an secara kebahasaan (etimologis), meski sebagian besar mereka
mamandang bahwa nama tersebut secara sederhana berasal dari kata kerja
“qara’a”,7 bahkan di antara mereka pun masih berbeda pandangan soal arti kata
“qara’a” yang merupakan asal kata al-Qur’an. Sementara sebagian kalangan
orientalis, semisal Norman Daniel, merujukkan al-Qur’an pada kata Alcoranus
atau Althoranus. Menurutnya, al dalam bahasa Arab berfungsi the whole, dan
thoran berarti hukum, sehingga al-Qur’an berarti Kitab Himpunan Hukum.8
itu.”4 Isyarat pada firman Allah dalam surah al-Buruj [85]: 21-22:
ېئ ۈئ ۈئ ۆئ ۆئ ۇئ ۇئ وئ وئ“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia; yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.”
5 Allah swt. berfirman:
وئى وئ ەئ ەئ ائ ۇئائ“ (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran.“
6 Lihat Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, (Jakarta: Alvabet, 2005), hlm. 55-56. Lihat juga Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, cet. XI 1416/1995), hlm. 167-168.
7 Lihat Manna‘ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (T.t.t.: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, t.t.), hlm. 20.
2
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
Keragaman pandangan dalam mendefinisikan al-Qur’an ini menarik
penulis untuk melakukan analisis linguistik terhadap asal-usul kata al-Qur’an.
Pertanyaan yang ingin dijawab adalah apakah al-Qur’an memang berarti “Kitab
Bacaan” dan berasal dari asal kata “qara’a” (yang berarti membaca)
sebagaimana yang dipahami oleh mayoritas kaum muslimin sekarang ini,
ataukah ia memiliki arti lain dengan segala implikasinya?
Penelusuran akar kata al-Qur’an dan pengertian dasarnya penting
dilakukan, karena menyangkut identitas kebudayaan yang dibangun Islam.
Menurut Khalil Abdul Karim, mayoritas kaum muslimin menganggap peradaban
Islam sebagai peradaban membaca dengan asumsi wahyu pertama yang turun
adalah iqra’ yang berarti bacalah, padahal sesungguhnya jika merunut pada
pengertian dasar qara’a yang berarti menghimpun, maka peradaban Arabo-Islam
yang sebenarnya adalah peradaban hapalan dan didaktif, sebab pangkal dan
pilarnya adalah teks yang dihapal, dihimpun, diingat-ingat, dan seterusnya.9
Untuk kepentingan ini, penulis menggunakan metode analitis-deskriptif
dengan pendekatan linguistik. Penulis akan melacak secara detail asal-usul kata
al-qur’an menurut pengertian kebahasaan (al-wadh‘ al-lughawi), dengan
mengeksplorasi data-data faktual dan obyektif-kebahasaan entri kata “qara’a”
dan kata-kata lain yang diduga sebagai asal kata al-Qur’an menurut ashl al-wadh’
al-lughawi (status dasar kebahasaannya). Di sini, penulis belum melangkah pada
pengkajian tentang pengertian terminologis, melainkan lebih menfokuskan
perhatian untuk mendalami dan menganalisis implikasi dan esensi pemakaian
kata-kata tersebut secara etimologis terhadap al-Qur’an sebagai Kitab Suci.
B. RAGAM PENGERTIAN ETIMOLOGIS AL-QURAN
8 Norman Daniel, Islam and the West: The Making of an Image, (Oxford: Oneworld, 1993), hlm. 54.
9 Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab, diterjemahkan dari judul asli Daulah Yatsrîb: Bashâ’ir fi ‘Âm al-Wufûd oleh Kamran As’ad Irsyady, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 20-21.
3
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
Para ulama berbeda pendapat dalam menilai asal-usul kebahasaan kata
“al-qur’an”. Sebagian menganggapnya sebagai proper name (‘alam10) yang
berdiri sendiri dan bukan kata turunan, sementara mayoritas ulama
menganggapnya sebagai kata derivatif, namun mereka terpecah lagi menjadi
lima kubu pendapat dalam menentukan sumber kata yang menjadi akarnya.
Secara elaboratif, pendapat ulama mengenai pengertian etimologis kata
“al-qur’an” ini dapat dipetakan sebagai berikut:
1) Al-Qur’an adalah kata benda dasar non-derivatif:
Artinya, al-Qur’an adalah nama khusus yang disematkan pada Kalamullah,
bukan mahmûz lâmi dan “ra” dibaca fathah: “al-Quran” آ�ن] .[�لقر Ini adalah
bacaan versi Ibnu Katsir –salah seorang dari sepuluh qurrâ’ yang diakui
bacaannya, dan merupakan riwayat versi asy-Syafi’i yang dilansir oleh al-Hakim
an-Naisaburi (w. 405 H) dalam al-Mustadrak. Tuturnya: Imam asy-Syafi’i
bercerita: Saya pernah sorogan al-Qur’an pada Isma’il ibnu Qasthanthin, dan ia
mengatakan: Al-Quran adalah isim dan bukan mahmûz. Ia tidak berasal dari kata
“qara’a”, sebab jika ia merupakan derivasi kata “qara’a” (membaca), maka
segala sesuatu yang dibaca bisa disebut al-Qur’an. Akan tetapi, ia adalah nama
yang berdiri sendiri sebagaimana halnya Taurat dan Injil.”11 Pendapat ini dipilih
oleh as-Suyuthi dalam al-Itqân.12
10 ‘Alam adalah isim [kata benda] yang mendefinisikan obyek yang dinamainya (musammahu) secara mutlak tanpa batasan takallum, khithab, atau ghaibiyyah. Lihat Ibnu ‘Aqil; Baha’uddin ‘Abdullah ibnu ‘Aqil al-‘Aqili al-Mishri al-Hamadzani (w. 769 H), Syarh Ibn ‘Aqîl ‘ala Alfiyyah Ibn Malik, Tahqiq Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), I/118.
11 Lihat al-Hakim; Abu Abdullah Muhammad ibnu Abdullah an-Naisaburi [w. 405 H], Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Editor Mushthafa ‘Abdul Qadir ‘Atha, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1990), II/250.
12 Lihat as-Suyuthi; Jalaluddin Abdurrahman ibnu Abi Bakr [w. 911 H], al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Al-Maktabah ats-Tsaqafiyyah, t.t.), I/58.
4
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
Berdasarkan pendapat ini, al-Quran merupakan ‘alam murtajal13 (proper
name) yang melekat pada Kitab Suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw., sebagaimana halnya Taurat merupakan nama Kitab Suci yang diturunkan
pada Nabi Musa as. dan Injil merupakan nama Kitab Suci yang diturunkan pada
Nabi Isa as.
2) Al-Qur’an adalah kata derivatif:
Artinya, al-Qur’an adalah kata turunan yang terbentuk dari akar kata yang
telah ada sebelumnya. Ini adalah pendapat jumhur ulama, namun mereka
berbeda pendapat sendiri dalam menentukan kata mana yang merupakan asal
kata al-Qur’an sebagai berikut:
a- Derivasi kata “Qarana”:
Imam al-Asy’ari berpendapat bahwa al-Qur’an merupakan kata turunan
dari “qarana” yang berarti menggabungkan dan menyandingkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain. Jadi, secara etimologis, al-Qur’an menurut pendapat ini,
berarti Kitab Himpunan, sebab huruf-huruf dan kalimat-kalimatnya dihimpun
satu sama lain menjadi himpunan yang tak terpisahkan.14
Analisa ini secara implisit didukung oleh penuturan Ibnu Mas‘ud ra.:
�ا ن د إ�� ن�ا ن� د� إ� ن� ن� ن� نر� إق دل ن�ي � إ�� ظ� ن� ن� �د ��ن ء� ن� ء�ا ء� ق� ل� إ ي ا ل ن نن � ظ�� ن!ا نر دق ن# ن" إ$ ظي إ% إ& � ن ن)ى �ل ظ* ن( ( ن إ* �ل د+ ن) ن- ن, ( ن ن� ن�
ني إ� ن�ا ن� ن/ نر د0 ة� ن, ن2 د# ظ�و إ5 إ4 ن6 ن� ظ� دل إ# � د+ ن7 ن2 ظ�و د# ن� إ8 إ4 �- آ�
“Kami biasa mendengarkan bacaan al-Qur’an, dan aku benar-benar hapal
himpunan surah-surah al-Qur’an yang biasa dibaca Nabi saw., yaitu 18 surah
13 ‘Alam murtajal adalah nama yang sebelumnya tidak pernah digunakan sebagai nama untuk menyebut nama-nama yang lain [ism lam yasbiq lahu isti‘mal qabla al-‘alamiyyah fi ghairihi]. Kebalikannya adalah ‘alam manqul. Lihat Ibnu ‘Aqil, Syarh Ibn ‘Aqil, I/125.
14 Lihat as-Suyuthi, al-Itqân, I/58. Lihat juga asy-Syaukani; Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Muhammad [w. 1250 H], Fath al-Qadîr al-Jami’ baina ar-Riwâyah wa ad-Dirâyah min at-Tafsîr, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1415 H/1995 M), III/180.
5
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
dari kelompok mufashshal15 [surah-surah pendek] dan dua surah dari
kelompok surah-surah yang diawali Hâ Mîm”16
Pendapat ini didukung oleh al-Bukhari, mengingat dalam definisinya atas
al-Qur’an dan komponen-komponennya ia mengatakan: “Al-Qur’an disebut al-
Qur’an karena gabungan surah-surah; sementara surah disebut surah karena ia
terpotong dari yang lain, dan ketika ia disandingkan dan digabungkan satu sama
lain, barulah ia disebut al-Qur’an.”17
b- Derivasi kata “Qarînah”:
Al-Qur’an berasal dari akar kata “qarînah” yang berarti tanda. Disebut
demikian, karena ayat-ayatnya saling membenarkan satu sama lain, sehingga
ayat-ayat tersebut merupakan qarînah-qarînah yang menunjukkan kebenaran.
Definisi dinisbatkan as-Suyuthi pada al-Farra’, salah seorang di antara sepuluh
qurrâ’ yang diakui.18
Kedua pendapat terakhir menurut penulis memiliki kesamaan leksikon,
yaitu sama-sama berasal dari akar kata “q-r-n”, karena kata “qarînah” juga
berangkat dari kata tersebut.
Lebih lanjut, mengacu ketiga pendapat di atas, kata “Qur’an” berarti
mengikuti wazan “Fu’âl” [8ظ�9ا ] dan nun-nya adalah nun ashliyyah yang menjadi
bagian dasar dari kata tersebut.
c- Derivasi kata “Qara’a”:
15 Berdasarkan panjang-pendeknya, surah-surah dalam al-Qur’an diklasifikan dalam empat kelompok dengan urutan sebagai berikut: Ath-thiwal [surah-surah panjang], al-mi’un [surah-surah yang jumlah ayatnya sekitar 100 lebih], al-matsâni [surah-surah yang diawali al-hamdulillah], dan al-mufashshal [surah-surah pendek]. Lebih lanjut, lihat az-Zarkasyi; Muhammad ibnu Bahadur ibnu Abdullah, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, tahqiq Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391), I/244-248.
16 Al-Bukhari; Abu ‘Abdullah Muhammad ibnu Isma’il, Al-Jami’ ash-Shahih, tahqiq Dr. Musthafa Dib al-Bigha, (Beirut-Al-Yamamah: Dar Ibn Katsir, 1407 H/1987), IV/1924, Kitab Fadha’il al-Qur’an, Bab at-Tartil fi al-Qira’ah, Hadis no. 4756.
17 Al-Bukhari, ash-Shahih, IV/1769.18 As-Suyuthi, al-Itqân, I/58.
6
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
Kata al-Qur’an berasal dari akar kata “qara’a” (q-r-a). Namun kalangan
yang menunjuk kata ini sebagai asal kata al-Qur’an masih berbeda pendapat
mengenai pengertian linguistik kata tersebut antara arti menghimpun dan arti
membaca, atau gabungan antara keduanya hingga pengertian lain di luar
keduanya. Namun semuanya memiliki kesamaan persepsi bahwa hamzah pada
kata al-Qur’an adalah hamzah ashliyyah, sedangkan nun-nya adalah nun
tambahan. Dengan bahasa lain, kata al-Qur’an dalam hal ini mengikuti wazan
“Fu‘lân” [ظ�9لان ] sebagaimana halnya kata: ghufrân, syukrân, buhtân, dan lain-
lain.
Pertama, sebagian kalangan di antara mereka, semisal az-Zujjaj
berpendapat bahwa kata “qara’a” berarti menghimpun dan mengumpulkan. Hal
ini merujuk pada kebiasaan pemakaian kata “qara’a” oleh bangsa Arab yang
digunakan untuk menyebut aktivitas mengumpulkan. Disebutkan dalam Lisân
al-‘Arab d: لى %�ض��إ ن=* ظ< %� د� ن� ن? ظ * � د� ن� ن@ ةا آ�� در ظ� ن� ظA �ل0ي ��د نر ن� [Saya qara’a sesuatu
berarti saya mengumpulkannya dan menggabungkan satu sama lain].19
Analisis ini didukung oleh Abu Ishaq an-Nahwi. Ia mengatakan: Al-Qur’an
berarti mengumpulkan dan menghimpun. Disebut demikian, karena ia
mengumpulkan surah-surah, lalu menghimpunnya menjadi satu kitab.20 Analisis
yang sama dikemukakan oleh Abu Ubaidillah.21 Ibnu Faris juga cenderung
memilih pendapat ini.22 Sementara ar-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H) beralasan
karena ia menghimpun buah-buah kitab-kitab suci yang turun sebelumnya, atau
karena ia menghimpun segala macam ilmu pengetahuan.23
19 Lihat Ibnu Manzhur; Muhammad ibnu Makram ibnu Manzhur al-Ifriqi al-Mishri, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar Shadir, t.t.), I/128; entri kata “qara’a”.
20 Ibid.21 Abu Ubaidah; Mu’ammar ibnu al-Mutsanna at-Taimi, Majâz al-Qur’ân, tahqiq Dr.
Muhammad Fu’ad Sazkin, (Mesir: Al-Khanji al-Kutubi, 1954), hlm. 3.22 Ibnu Faris; Ahmad ibnu Faris ibnu Zakariyya ar-Razi, Mu’jam al-Maqâyîs fî al-Lughah,
tahqiq ‘Abdussalam Harun, (Beirut: Dar al-Jail, 1414 H/1991 M), II/78.
7
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
Berdasarkan pendapat ini, al-Qur’an adalah bentuk isim mashdar dengan
makna isim fa’il, yakni sebagai al-Jâmi’ [yang menghimpun surah dan ayat-ayat
ke dalam satu kitab suci].
Kedua, kata qara’a berarti “talâ” yakni membaca secara berulang-ulang.
Ini adalah pendapat jumhur ulama. Al-Qur’an menurut pendapat ini adalah isim
mashdar yang bermakna isim maf’ûl (maqrû’) dengan tambahan alif dan nun,
sebagaimana halnya “ghufrân” (dari asal kata ghafara) dan rujhân (dari asal kata
rajaha)”.24
Analisis ini didukung oleh Abdurrahman ats-Tsa’alibi dengan mengutip
sebuah bait syair dari Hassan ibnu Tsabit ra., penyair Rasulullah saw.:
�اش�ط ,�و�ن �لسجود ةا ?حو� % آ��ا �7س&+ح %* "قطع �ل)+5 �ر
Mereka jelang pagi dengan rambut beruban
Sebagai tanda simpuh sujud
Arungi malam dengan (membaca) al-Qur’an dan tasbih25
Ath-Thabari juga cenderung memilih pendapat ini. Ia mengatakan bahwa
sudah seharusnya kata ini (qara’a) dikembalikan menurut takwil Ibnu ‘Abbas,
yaitu membaca. Ia pun berargumen bahwa wahyu al-Qur’an yang pertama kali
turun pada Nabi Muhammad adalah firman Allah: ��د نر د� إ- � د� نJ إ%ا ن% ن2 … [Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan…].26 Allah juga berfirman:
23 Ar-Raghib al-Asfahani; Abu al-Qasim Husain ibnu Muhammad, Al-Mufradât fi Gharîb al-Qur’ân, tahqiq Muhammad Sayyid Kailani, (Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.), hlm. 398.
24 Asy-Syinqithi; Muhammad al-Amin ibnu Muhammad al-Mukhtar, Natsr al-Wurûd ‘ala Marâqî as-Su ‘ûd, tahqiq Muhammad Walad Sayyidi Walad Habib asy-Syinqithi, (Jeddah: Dar al-Manarah, 1415 H/1995), I/88.
25 Ats-Tsa’alibi, Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Makhluf al-Jaza’iri, Al-Jawâhir al-Hisân fi Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut: Dar al-Qalam, t.t.), I/32.
26 Qs. Al-Alaq [96]: 1-5.
8
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
ة�ا آ� در ظ� ظK ن� ن�ا د� نر ظK ن9 ��ن نر دق ن إل … [Dan Al Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-
angsur agar kamu membacakannya]27.28
Berdasarkan pendapat ini, al-Qur’an adalah bentuk mashdar dengan
makna isim maf’ûl, yakni maqrû’ atau matlû [Kitab yang Dibaca].
Mengutip Quthrub, al-Azhari berkomentar bahwa di antara kedua
pengertian etimologis al-Qur’an, makna qara’a sebagai aktivitas menghimpun
adalah pengertian yang ma’rûf, sementara yang satunya [qara’a=membaca]
bernilai hasan atau “laisa bi khârij min ash-shihhah” (tidak keluar dari
kesahihan).29 Namun, berbeda dengan Quthrub, ats-Tsa‘alibi justeru lebih
mengunggulkan makna yang kedua daripada makna yang pertama.30
Ketiga, sebagian ulama kontemporer selanjutnya berusaha
menggabungkan kedua pengertian di atas dengan memaknai “qara’a” sebagai
aktivitas membaca dan menghimpun sekaligus. Dr. Muhammad Abdullah Darraz
misalnya mengemukakan analisis berikut dalam Tafsirnya, an-Naba’ al-‘Azhîm:
“Pada mulanya, kata “qara’a” memang berarti menghimpun, namun setelah
kepopuleran penggunaan al-Qur’an sebagai isim mashdar-nya, ia kemudian lebih
dikenal untuk pengertian membaca; yakni menghimpun dan menggabungkan
lafal demi lafal dalam artikulasi bacaan”31
Sebagai himpunan lafal-lafal yang membentuk bacaan, al-Qur’an menurut
Darraz bisa berposisi sebagai isim fâ’il [Jâmi’ =Penghimpun] sekaligus sebagai
isim maf’ûl [Majmû’=Himpunan]. Artinya, al-Qur’an adalah kitab suci yang
menghimpun surah-surah dan ayat-ayat atau kitab himpunan surah-surah dan
27 Qs. Al-Isra’ [17]: 107.28 Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir [w. 310 H], Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîl al-
Qur’ân, (Mesir: Maktabah Mushthafa Babi al-Halabi wa Auladihi, 1388 H/1968 M), I/41.29 Al-Azhari, Abu Manshur Muhammad ibnu Ahmad [w. 380 H], Tahdzîb al-Lughah, Cairo:
T.np, 1964), III/262.30 Ats-Tsa’alibi, Al-Jawahir, hlm. 3.31 Muhammad Abdullah Darraz, An-Naba’ al-‘Azhîm, takhrij Abdul Hamid ad-Dakhakhini,
(Riyadh: Dar Thibah, 1417 H/1997 M), hlm. 6.
9
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
ayat-ayat. Dalam hal ini, ia tidak hanya sebagai teks-teks yang tersusun di dalam
lembaran-lembaran hati, atau sebagai huruf-huruf yang terpatri di dalam
Mushaf, atau hanya sebagai lantunan nada-nada suara yang tersusun dari dalam
bibir. Akan tetapi lebih dari itu al-Qur’an juga menghimpun segala unsur
semantik kata dan hakikat-hakikat, serta me lapisan-lapisan hikmah dan hukum,
sebagaimana firman Allah swt.: “Dan kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-
Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (Qs. An-Nahl [16]: 89).32
Keempat, Quthrub mengemukakan sebuah analisa yang berbeda terkait
dengan arti etimologis kata “qara’a” sebagai asal kata al-Qur’an, bahwa al-
Qur’an disebut al-Qur’an karena orang yang membacanya mempertunjukkan
bacaan al-Qur’an, menjelaskannya, dan melontarkannya keluar dari mulutnya.
Dalam hal ini, ia merujuk pada ujaran orang Arab: “ل�ا�ة �)ى �ط� A�� �ر mâ] ”4ا
qara’at an-nâqatu sall-an qaththu] yang berarti onta itu belum pernah
melahirkan seorang anak pun.33
Analisa ini diamini oleh Ibnu Qayyim. Ia mengatakan: “Kata qara’a dalam
bentuk mahmûz memiliki pengertian nampak dan keluar menurut timing (at-
tauqit) dan batasan (at-tahdid) yang jelas. Dan dari sinilah makna bacaan al-
Qur’an diderivasi, sebab orang yang membaca al-Qur’an menampakkan dan
mengeluarkannya dengan kadar yang terbatas, tidak lebih dan tidak kurang.”
Dalam hal ini, Ibnu Qayyim berargumen dengan surah al-Qiyamah ayat 17
dengan mengasumsikan perbedaan antara “jam’ahu” dan “qur’ânahu” sebagai
sesuatu yang terpisah, sebab jika sama maka yang terjadi hanya sekedar repetisi
belaka. Ia juga berdalih dengan komentar Ibnu ‘Abbas atas ayat tersebut bahwa
32 Ibid.33 Lihat at-Tibrizi; al-Khathib Abu Zakariyya Yahya ibnu ‘Ali ([w. 502 H], Syarh al-Qashâ’id
al-‘Asyr,diberi komentar dan anotasi oleh As-Sayyid Ahmad Khidhr, (Cairo: Maktabah ats-Tsaqafah ad-Diniyyah, t.t.), hlm. 380. Lihat juga, al-Suyuthi, al-Itqân, I/151.
10
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
yang dimaksud membaca dalam konteks tersebut adalah membaca dengan
jelas.34
Kelima, Khalil Abdul Karim dan sebagian kalangan pemikir Islam modern
berhaluan pro gresif kiri berpendapat bahwa qara’a yang menjadi asal kata al-
Qur’an memiliki pengertian hafizha [menghapal]. Khalil berargumen dengan
peristiwa turunnya wahyu pertama di Goa Hira, yakni perintah Jibril kepada
Muhammad saw.: Iqra’! Kata ini menurutnya tidak mungkin berarti “bacalah!”,
sebab Muhammad saw. adalah seorang ummi yang tidak bisa baca tulis, dan
Jibril sebagai kurir Allah tentu mengetahui status ini, sehingga mustahil ia
menyuruh Nabi saw. melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukannya. Pun,
seandainya bisa membaca, apa pula yang mau dibaca Muhammad saw. jika
disuruh membaca, sementara Jibril tidak menyodori atau memperlihatkan media
bacaan kepadanya, sehingga tidak logis jika ia menyuruhnya membaca. Jadi, apa
yang diminta Jibril dari Muhammad di Goa Hira’ dengan pernyataan: “Iqra’”
adalah “hapalkan, kumpulkan, pegang, dan ingat-ingatlah ayat-ayat dan surah-
surah yang bakal aku transmisikan kepadamu sebagai pesan dari Allah!”.35
Sebagai imbangan pendapat yang terakhir, perlu kiranya penulis
paparkan keterangan Quraish Shihab, bahwa membaca (qara’a) dalam bahasa
Arab tidak mengharuskan adanya suatu teks tertulis yang dibaca, dan tidak pula
harus diucapkan sehingga terdengar oleh orang lain. Karena itu, jika merujuk ke
kamus-kamus bahasa Arab, kata qara’a memang memiliki beragam arti, antara
lain: menyampaikan, menelaah, membaca, mendalami, meneliti, mengetahui
ciri-cirinya, dan sebagaimana yang kesemuaannya bisa dikembalikan pada
hakikat “menghimpun”.36
C. IMPLIKASI PENGERTIAN ETIMOLOGIS AL-QUR’AN
34 Ibnu Qayyim; Syamsuddin Muhammad ibnu Abu Bakr, Al-Fawâ’id al-Musyawwiqah ‘ila ‘Ulûm al-Qur’ân, (Beirut: Dar Maktabah al-Hilal, 1987), hlm. 333.
35 Khalil Abdul Karim, Negara Madinah, hlm. 13-14.36 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, hlm. 167.
11
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
Penelusuran pengertian etimologis kata al-Qur’an di atas menunjukkan
betapa beragamnya pemahaman ulama dalam menerjemahkan kata al-Qur’an
itu sendiri, dan pemilihan kata al-Qur’an untuk menjadi nama sandang tersendiri
bagi Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. tentu memiliki
dalâlât (signifasi) dan implikasi-implikasi logis yang bersifat unik sebagaimana
keunikan bahasa al-Qur’an itu sendiri.
Pertama, berdasarkan dua arus pendapat yang ada, asal-usul kebahasaan
kata al-Qur’an bisa dikerucutkan pada satu pangkal pemikiran (ashl at-tafkîr)
melalui upaya sinergis bahwa al-Qur’an adalah bentuk mashdar dari qara’a
menurut versi Jumhur, yang kemudian dijadikan sebagai nama sandang
(identitas) bagi Kitab Suci yang diterima Muhammad saw.
Atas dasar pemikiran ini, al-Qur’an secara morfologis berarti mengikuti
wazan “Fu‘lân” [ظ�9لان ]. Wazan ini sama-sama digunakan dalam konteks mashdar,
misalnya ghufrân, syukrân, buhtân, dan lain-lain maupun dalam konteks proper
name, seperti Utsman, dan lain-lain. Dan dalam hal ini, al-Qur’an relevan untuk
kedua konteks tersebut.
Karena itu, sebagian besar qurrâ’ [ahli qira’at al-Qur’an] sepakat untuk
membaca lafal آ�ن“ di ”�ر manapun posisinya di dalam al-Qur’an sebagai lafal
mahmûz yang mengandung unsur hamzah, yakni qur’ân [ �نن�د2ظق ]. Tidak ada yang
berbeda dalam hal ini kecuali Ibnu Katsir yang membaca ra’ pada lafal tersebut
dengan fathah plus alif setelahnya dan menghilangkan hamzah di dalamnya
(berdasarkan dialek Hijaz yang cenderung men-takhfîf (membaca samar-samar)
lafal mahmûz), menjadi “qurân” [ OOنن�2ظق ] . Meski demikian, keduanya tetap
semakna dan searti, baik yang mahmûz maupun mukhaffaf.37 Buktinya, Abu
‘Amru, salah seorang pakar nahwu, bahasa, dan qiraat juga yang pernah berguru
37 Lihat Thahir ibnu ‘Asyur, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, (t.t.t.: T.np., t.t.), I/71.
12
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
ilmu qira’at pada Ibnu Katsir mengambil versi bacaan yang populer hingga
sekarang ini [ OOنن�د2ظق� ]. Logikanya, jika memang tidak sama artinya, tentu Abu
‘Amru akan menukil versi bacaan yang selaras dengan gurunya.38
Dalam perspektif kesatuan makna ini, al-Qur’an –mengakomodasi
beragam pendapat di atas- adalah himpunan khusus suara-suara yang keluar dari
makhrajnya sehingga membentuk apa yang disebut al-Qur’an yang unsur-
unsurnya saling membenarkan satu sama lain. Kemudian artikulasi pelafalannya
disebut tilâwah, dan ia merupakan salah satu jenis qira’ah (membaca) yang
identik dengan al-Qur’an. Huruf-huruf ini lebih lanjut keluar dan terlontar dari
mulut pembacanya secara jelas, distingtif, dan definitif sesuai dengan yang
digariskan Syâri’. Inilah pangkal pemikiran yang melandasi asumsi bahkan
keyakinan mayoritas umat bahwa bacaan al-Qur’an bersifat tauqîfî (by given, dari
sono-nya).
Kedua, mengingat al-Qur’an sudah menjadi sebuah nama tersendiri bagi
Kitab Suci milik kaum muslimin sebagaimana segi-segi keunikan yang disinggung
di atas, maka lafal-lafalnya pun harus dibaca sesuai dengan karakteristik khasnya,
dan tidak sah dibaca sembarangan. Pendek kata, membaca al-Qur’an yang
berbahasa Arab berbeda dengan membaca materi lain yang sama-sama
berbahasa Arab.
Hal ini sesuai dengan ketentuan bahwa jika sebuah pesan syara’ (al-
khithâb asy-syar’i) datang dengan pengertian yang sesuai dengan dasar
pemakaian kata tersebut dalam bahasa Arab, maka kosakatanya pun harus
dipahami melalui tuntutan-tuntutan pemaknaannya (muqtadhayat ad-dalâlah)
dalam bahasa Arab, selama tidak ada pesan syara’ sejawat yang
mengamandemennya.39
38 Lihat Ibnu al-Jazari; Syihabuddin Ahmad ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Ali [w. 833 H], Thayyibah an-Nasyr fi al-Qirâ’ât al-‘Asyr, (Madinah: Maktabah Dar al-Huda, t.t.), hlm. 98 (Bab Naql al-hamz, pada bait: Kaifa jâ al-Qur’ân daff….).
39 Asy-Syathibi; Abu Ishaq Muhammad ibnu Musa al-Lakhmi al-Gharnathi [w. 790 H], Al-Muwâfaqât fi Ushûl asy-Syarî‘ah, (T.t.t.: Syirkah at-Tauzi’ Abbas Ahmad al-Baz, t.t.), II/89.
13
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
Ketiga, sebagaimana telah disinggung di muka, kata “al-Qur’an” memiliki
pengertian dasar menghimpun dan mengumpulkan. Fakta ini menuntut
konsekuensi penghimpunan huruf-huruf al-Qur’an dalam struktur kata yang utuh
saat melafalkannya dan tidak diperbolehkan melafalkan setiap huruf dalam kata
secara mandiri dan terpisah dari huruf sejawatnya dalam kata yang sama.
Aktivitas membaca al-Qur’an juga musti memperhatikan kadar keterhimpunan
kata-kata yang telah ditentukan kadar bacaannya berdasarkan didaksi Rasulullah
saw. (yang beliau terima dari Jibril dari Allah, kemudian beliau sampaikan kepada
shahabat kepada tabi’in dan seterusnya hingga terkodifikasikan dalam disiplin
ilmu tajwid).
Di sisi lain, sebagai sebuah satu kesatuan yang tak terpisahkan [Al-Jâmi’
dan al-Majmû’], al-Qur’an juga menuntut pembacaan kata-kata dan ayat-ayat al-
Qur’an secara holistik berdasarkan sistematika dan tata urutan yang telah
dibakukan oleh Rasulullah saw. Tidak boleh misalnya membaca surah al-Fatihah
secara terbalik dari ayat 7 ke atas maupun secara acak dari ayat 1 kemudian
meloncat ke ayat 6, balik lagi ke ayat 3.
Keempat, sebagai kitab bacaan, al-Qur’an menuntut artikulasi suara
dalam pembacaannya, baik secara samar-samar maupun keras. Kita belum
dianggap membaca al-Qur’an kecuali jika disertai dengan pelafalan huruf-
hurufnya dengan suara pelan maupun keras. Hal ini merujuk pada keterangan
arti kata “qara’a” itu sendiri yang dalam beberapa kamus dimaknai sebagai
pelafalan dan pelontaran sesuatu dari dalam mulut (atau rahim):
��لق+ * ��ي ةا آ�ن: ل�ظ< %* 4ج�و, ��A �لقر ��4ى �ر
[Membaca al-Qur’an berarti melafalkannya sebagai satu kesatuan
himpunan, atau dengan bahasa lain melontarkannya dari mulut].40
40 Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, I/128. Lihat juga Az-Zabidi; Muhammad ibnu Muhammad Murtadha al-Husaini, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qâmûs, (Software al-Maktabah asy-Syamilah Versi 3.15), I/191.
14
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
Kelima, implikasi kebahasaan lain dari kata “qara’a” dari aspek
keterkaitannya dengan lafal-lafal al-Qur’an adalah keharusan pengucapannya
secara jelas agar apa yang keluar dari mulut dianggap sebagai Qur’an, sehingga
tidak cukup hanya dengan keluar bunyi atau bersuara.
Hal ini merujuk pada komentar Ibnu ‘Abbas ra. ketika menafsiri firman
Allah swt. “ خب حب جب Jika telah Kami jelaskan kepadamu dengan“ :41”يئ
bacaan, maka kerjakanlah sesuai dengan apa yang telah Kami jelaskan
kepadamu.”42
Keenam, kata qirâ’ah (membaca) secara etimologis juga memberikan
implikasi keharusan membaca al-Qur’an dengan menahan nafas dan olahraga
rahang. Abu ‘Amru ibnu al-‘Ala’ –sebagaimana kutip para penyusun kamus babon
Arab mengatakan:
إ� إ &ر� د� نض للا ن7ح+ ن ى �ظT$ا ,� ها إس ظ�7 ن��ي ظU$ا نر نق ظ7 نة ن� ظ9لا ��لى ظ* ن إ2" نن @ا نع 9لا د9
“Si Fulan menyerahkan budak gadisnya kepada si Fulanah, maka si
Fulanah pun men-qirâ’ah budak tersebut. Artinya, ia menahannya di tempatnya
hingga si budak benar-benar bersih dari haid.”43
Menilik berbagai implikasi kebahasaan di atas, sudah tergambar jelas
kiranya mengapa Allah swt. menjatuhkan pilihan pada kata “al-Qur’an” sebagai
label nama Kalam Allah yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw.
Jawabannya karena implikasi-implikasi linguistik dari kata al-Qur’an telah
memosisikan lafal-lafal al-Qur’an dan cara pelafalannya sebagai sesuatu yang
bersifat tauqîfî (by given), bukan kreasi Nabi saw. Sehingga sebagai konsekuensi
lanjutanyya, dalam definisi terminologisnya pun ada penekanan bahwa al-Qur’an
41 Qs. Al-Qiyamah [75]: 18.42 Lihat Ibnu Manzhur, Lisan, I/128. 43 Ibid. Lihat juga az-Zabidi, Tâj al-‘Arûs, I/191; Al-Azhari, Tahdzîb al-Lughah, III/263, dan
al-Jauhari, ash-Shihhah fi al-Lughah, (Software al-Maktabah asy-Syamilah, Versi 3.15), II/67.
15
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
adalah “Kalâm Allâh al-muta‘abbid bi tilâwatihi” (Firman Allah yang bernilai
ibadah jika dibaca)44.
D. PENUTUP
Dari paparan di atas, penulis mendapat kesan dan pengalaman bahwa
pendekatan linguistik dalam studi al-Qur’an pada khususnya dan studi Islam pada
umumnya ternyata memperkaya wawasan dan memberikan perspektif baru
dalam memandang al-Qur’an yang agak berbeda dengan pemikiran mainstream.
Bahkan, ia bisa semakin mempertebal keimanan dan memperkuat keyakinan.
Wallâhu al-Hâdi ila shirathihi al-mustaqim.
*****
DAFTAR PUSTAKAAl-Qur’an al-Karim
Abu Ubaidah; Mu’ammar ibnu al-Mutsanna at-Taimi, Majâz al-Qur’ân, tahqiq Dr. Muhammad Fu’ad Sazkin, Mesir: Al-Khanji al-Kutubi, 1954.
Al-Azhari; Abu Manshur Muhammad ibnu Ahmad [w. 380 H], Tahdzîb al-Lughah, Cairo: T.np, 1964.
Al-Bukhari; Abu ‘Abdullah Muhammad ibnu Isma’il, Al-Jâmi’ ash-Shahîh, tahqiq Dr. Musthafa Dib al-Bigha, Beirut-Al-Yamamah: Dar Ibn Katsir, 1407 H/1987.
Darraz; Muhammad Abdullah, An-Naba’ al-‘Azhîm, takhrij Abdul Hamid ad-Dakhakhini, Riyadh: Dar Thibah, 1417 H/1997 M.
Al-Hakim; Abu Abdullah Muhammad ibnu Abdullah an-Naisaburi [w. 405 H], Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahîhain, editor Mushthafa ‘Abdul Qadir ‘Atha, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H/1990.
Ibnu ‘Aqil; Baha’uddin ‘Abdullah ibnu ‘Aqil al-‘Aqili al-Mishri al-Hamadzani (w. 769 H), Syarh Ibn ‘Aqîl ‘ala Alfiyyah Ibn Mâlik, tahqiq Muhammad Muhyiddin ‘Abdul Hamid, Damaskus: Dar al-Fikr, 1985.
44 Lihat definisi terminologis al-Qur’an dalam kitab-kitab ‘Ulumul Qur’an, seperti Manahil al-‘Irfan, al-Itqân, al-Burhân, hingga yang terbaru karangan Manna’ al-Qaththan; Mabahits fi ‘Ulûm al-Qur’ân.
16
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
Ibnu al-Jazari; Syihabuddin Ahmad ibnu Muhammad ibnu Muhammad ibnu Ali [w. 833 H], Thayyibah an-Nasyr fi al-Qirâ’ât al-‘Asyr, Madinah: Maktabah Dar al-Huda, t.t.
Ibnu Faris; Ahmad ibnu Faris ibnu Zakariyya ar-Razi, Mu’jam al-Maqâyîs fî al-Lughah, tahqiq ‘Abdussalam Harun, Beirut: Dar al-Jail, 1414 H/1991 M.
Ibnu Manzhur; Muhammad ibnu Makram ibnu Manzhur al-Ifriqi al-Mishri, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar Shadir, t.t.
Ibnu Qayyim; Syamsuddin Muhammad ibnu Abu Bakr, Al-Fawâ’id al-Musyawwiqah ‘ila ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Dar Maktabah al-Hilal, 1987.
Al-Jauhari, ash-Shihhah fi al-Lughah, (Software al-Maktabah asy-Syamilah, Versi 3.15), II/67.
Kaelani M.A., “Kajian Makna Al-Qur’an (Suatu Pendekatan Analitika Bahasa)”, dalam Sahiron Syamsuddin dkk., Hermeneutika Alqur’an Mazhab Yogya, Yogyakarta: Islamika, 2003.
Khalil Abdul Karim, Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab, diterjemahkan dari judul asli Daulah Yatsrîb: Bashâ’ir fi ‘Âm al-Wufûd oleh Kamran As’ad Irsyady, Yogyakarta: LKiS, 2005.
Manna‘ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulûm al-Qur’ân, T.t.t.: Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, t.t.
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an, diterjemahkan dari judul asli Mafhum an-Nash: Dirasah fi ‘Ulûm al-Qur’ân oleh Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, cet. IV 2005.
Norman Daniel, Islam and the West: The Making of an Image, Oxford: Oneworld, 1993.
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, cet. XI 1416/1995.
Ar-Raghib al-Asfahani; Abu al-Qasim Husain ibnu Muhammad, Al-Mufradât fi Gharîb al-Qur’ân, tahqiq Muhammad Sayyid Kailani, Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.
As-Suyuthi; Jalaluddin Abdurrahman ibnu Abi Bakr [w. 911 H], al-Itqân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, Beirut: Al-Maktabah ats-Tsaqafiyyah, t.t.
Asy-Syathibi; Abu Ishaq Muhammad ibnu Musa al-Lakhmi al-Gharnathi [w. 790 H], Al-Muwâfaqât fi Ushûl asy-Syarî‘ah, T.t.t.: Syirkah at-Tauzi’ Abbas Ahmad al-Baz, t.t..
Asy-Syaukani; Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Muhammad [w. 1250 H], Fath al-Qadîr al-Jâmi’ baina ar-Riwâyah wa ad-Dirâyah min at-Tafsîr, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1415 H/1995 M.
17
Melacak Asal-Usul Kata al-Qur’an: Sebuah Analisis Linguistik
Asy-Syinqithi; Muhammad al-Amin ibnu Muhammad al-Mukhtar, Natsr al-Wurûd ‘ala Marâqî as-Su ‘ûd, tahqiq Muhammad Walad Sayyidi Walad Habib asy-Syinqithi, Jeddah: Dar al-Manarah, 1415 H/1995.
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran, Jakarta: Alvabet, 2005.
ath-Thabari; Abu Ja’far Muhammad ibnu Jarir [w. 310 H], Jâmi’ al-Bayân fi Ta’wîl al-Qur’ân, Mesir: Maktabah Mushthafa Babi al-Halabi wa Auladihi, 1388 H/1968 M.
Thahir ibnu ‘Asyur, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, t.t.t.: T.np., t.t..
At-Tibrizi; al-Khathib Abu Zakariyya Yahya ibnu ‘Ali ([w. 502 H], Syarh al-Qashâ’id al-‘Asyr,diberi komentar dan anotasi oleh As-Sayyid Ahmad Khidhr, Cairo: Maktabah ats-Tsaqafah ad-Diniyyah, t.t.
Ats-Tsa’alibi; Abdurrahman ibnu Muhammad ibnu Makhluf al-Jaza’iri, Al-Jawâhir al-Hisân fi Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Qalam, t.t.
Az-Zabidi; Muhammad ibnu Muhammad Murtadha al-Husaini, Tâj al-‘Arûs min Jawâhir al-Qâmûs, (Software al-Maktabah asy-Syamilah Versi 3.15).
Az-Zarkasyi; Muhammad ibnu Bahadur ibnu Abdullah, Al-Burhân fi ‘Ulûm al-Qur’ân, tahqiq Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1391.
Software Program “al-Maktabah asy-Syamilah” Versi 3.15.
TAMAT
Sekarsuli - Kampus Metro, 23 Januari 2009
18