Masalah Psikiatri Dalam Kelainan Gastrointesinal (Referat Jiwa)

15
Masalah Psikiatri dalam Kelainan Gastrointesinal Tri Salma Novina, S.Ked, Stella Handayani, S.ked, Gebina Wahyu Ardina, S.ked Departemen Ilmu Kesehatan Kejiwaan Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Mohammad Hoesin Palembang PENDAHULUAN Pada umumnya, kelainan psikologik (depresi, ansietas, dan gejala fisik) sering tidak terdiagnosis karena dokter seringkali membuat diagnosis hanya sesuai keluhan pasien. Komorbiditas dari kelainan psikologis dan kelainan gastrointestinal fungsional relatif tinggi. 1 Komorbiditas antara penyakit fisik dan gangguan psikiatri ada beberapa macam, yaitu: (1) faktor psikologis sebagai penyebab penyakit fisik, (2) gangguan psikiatri yang ditunjukkan dengan gejala fisik, (3) gangguan psikiatri akibat penyakit fisik, (4) gangguan psikiatri dan penyakit fisik yang terjadi secara bersamaan. 2 Gangguan psikiatri yang mendasari terjadinya masalah somatik pada pasien yang berkunjung ke dokter adalah gangguan cemas, depresi dan gangguan somatoform. Gangguan cemas dan depresi paling banyak pada gangguan psikiatri. 3 Cemas dan 1

description

zzzz

Transcript of Masalah Psikiatri Dalam Kelainan Gastrointesinal (Referat Jiwa)

Masalah Psikiatri dalam Kelainan GastrointesinalTri Salma Novina, S.Ked, Stella Handayani, S.ked, Gebina Wahyu Ardina, S.kedDepartemen Ilmu Kesehatan KejiwaanFakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUANPada umumnya, kelainan psikologik (depresi, ansietas, dan gejala fisik) sering tidak terdiagnosis karena dokter seringkali membuat diagnosis hanya sesuai keluhan pasien. Komorbiditas dari kelainan psikologis dan kelainan gastrointestinal fungsional relatif tinggi.1 Komorbiditas antara penyakit fisik dan gangguan psikiatri ada beberapa macam, yaitu: (1) faktor psikologis sebagai penyebab penyakit fisik, (2) gangguan psikiatri yang ditunjukkan dengan gejala fisik, (3) gangguan psikiatri akibat penyakit fisik, (4) gangguan psikiatri dan penyakit fisik yang terjadi secara bersamaan.2 Gangguan psikiatri yang mendasari terjadinya masalah somatik pada pasien yang berkunjung ke dokter adalah gangguan cemas, depresi dan gangguan somatoform. Gangguan cemas dan depresi paling banyak pada gangguan psikiatri.3 Cemas dan depresi merupakan komorbiditas tersering pada gangguan saluran pencernaan atas, termasuk inflammatory bowel disease (IBD), seseorang dengan riwayat IBD memiliki tiga kali tingkat depresi dibanding populasi pada umumnya. Cemas dan depresi diperkirakan mempengaruhi 30% pasien dengan IBD selama periode remisi dan 60-80% pasien selama eksaserbasi penyakit. Psikopatologi juga lebih sering terjadi pada pasien IBS termasuk ansietas (khususnya serangan panik), depresi dan masalah somatik 50-60%.4 Dasar patofisiologi dalam hal ini belum dapat dipahami jelas antara cemas dan depresi dapat menjadi dampak yang lebih berat terhadap gangguan saluran pencernaan atas yang kronik.3Stres psikologikal merupakan suatu faktor resiko independen terhadap perkembangan dan rekurensi ulkus duodenum. Hal ini menunjukkan bahwa ulkus peptikum dipicu oleh stres.4 Faktor psikososial dapat berperan dalam patofisiologi pada kelainan gastrointestinal, tetapi hubungan penyebab tersebut belum dapat diketahui secara pasti.1Pemeriksaan diagnostik perlu dilakukan dalam menentukan gejala gastrointestinal (onset, faktor yang menyebabkan rekurensi atau gangguan), kehidupan yang penuh tekanan dan masalah psikiatri lainnya, (umumnya cemas dan depresi), hal ini dilakukan untuk menegakkan diagnosis.Maka dari itu makalah ini bertujuan untuk memaparkan masalah psikiatri dalam kelainan gastrointestinal yang dirincikan berdasarkan penyakit gastrointestinal. EPIDEMIOLOGIGangguan psikiatri yang mendasari terjadinya masalah somatik pada pasien yang berkunjung ke dokter adalah gangguan cemas, depresi dan gangguan somatoform. Gangguan cemas dan depresi paling banyak pada gangguan psikiatri.3 Cemas dan depresi merupakan komorbiditas tersering pada gangguan saluran pencernaan atas, termasuk inflammatory bowel disease (IBD), seseorang dengan riwayat IBD memiliki tiga kali tingkat depresi dibanding populasi pada umumnya. Cemas dan depresi diperkirakan mempengaruhi 30% pasien dengan IBD selama periode remisi dan 60-80% pasien selama eksaserbasi penyakit. Psikopatologi juga lebih sering terjadi pada pasien IBS termasuk ansietas (khususnya serangan panik), depresi dan masalah somatik 50-60%.4 Dalam suatu penelitian yang telah dilakukan, kecemasan secara signifikan berpengaruh terhadap pasien dengan dispepsia fungsional. Semakin tinggi tingkat kecemasan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat keparahan dispepsia fungsionalnya, dan hal ini berlaku sama baik untuk laki-laki maupun perempuan.5

ETIOLOGICemas dan depresi sering tidak terdiagnosis karena pasien berobat dengan keluhan somatik. Dalam praktek tidak jarang dokter melakukan pemeriksaan penunjang berlebihan, walaupun hal ini dilakukan atas permintaan pasien. Keadaan ini terjadi karena gangguan yang berhubungan dengan faktor kejiwaan masih sering dianggap sebagai suatu stigma, serta keterbatasan komunikasi dan waktu antara dokter dan pasien.6Pasien dengan gangguan somatoform, selain cemas dan depresi juga sering datang ke praktek dokter dengan keluhan somatiknya. Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan-keluhan gejala fisik yang berulang-ulang, disertai dengan permintaan pemeriksaan medis, meskipun sudah berkali-kali terbukti hasilnya negatif dan juga sudah dijelaskan oleh dokter bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar keluhannya.7Penyebab keadaan tersebut terjadi karena adanya stimulasi atau stresor psikis mempengaruhi keseimbangan sistem syaraf otonom, mempengaruhi fungsi hormonal, serta sistem imun (psiko neuro- imun - endokrin). Jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung, terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, mempengaruhi sekresi, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa nyeri.5FAKTOR-FAKTORPengetahuan mengenai aspek psikososial terhadap kelainan gastrointestinal fungsional (FGID) merupakan dasar dan puncak dari pemahaman dari FGID dan tatalaksananya. Seorang dokter harus mampu secara alami mencari penjelasan patofisiologis terhadap fenomena yang terjadi. FGID dihasilkan dari interaksi kompleks biologis, psikologis, dan faktor sosial.Model biopsikososial menciptakan konsep dasar untuk hal ini. Pengalaman dasar hidup, stressor dewasa (perceraian atau kehilangan), dukungan sosial dan pengalaman pembelajaran sosial lainnya yang mempengaruhi fisiologis individu dan respon psikologi, termasuk distress, kelainan psikiatri, dan kepercayaan, dan strategi pertahanan. Faktor genetik dapat langsung mempengaruhi fisiologis dan membangun seorang individu yang rentan terhadap faktor lingkungan dan social yang mengawali perubahan dalam fisiologis.8PATOFISIOLOGIJalur Hormonal5Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui poros hipotalamus pituitary adrenal (HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormon kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung dan dapat menghambat Prostaglandin E yang merupakan penghambat enzim adenil siklase pada sel parietal yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung.Dengan demikian akan terjadi gangguan keseimbangan antara peningkatan asam lambung (faktor agresif) dengan penurunan prostaglandin (faktor defensif) sehingga menimbulkan keluhan sebagai sindroma dispepsia. Peninggian kortisol pada penderita dispepsia ini menurut Wehr (1982) didapatkan 9% pada depresi berat. Penelitian tersebut menyebutkan terdapat peningkatan nilai kortisol pada pasien yang mengalami gangguan psikosomatik seperti depresi.

Jalur Imun3Cemas dan depresi merupakan dua kondisi yang termasuk ke dalam masalah psikiatrik yang paling umum atau sering terjadi. bukti-bukti yang terkumpul menegaskan bahwa system imunitas terlibat dalam induksi dan menetapnya gangguan-gangguan tersebut sedikitnya pada sebagian pasien. Depresi meningkat pada pasien-pasien dengan penyakit kronik yang berhubungan dengan aktivasi imunitas seperti pada penyakit kardiovaskular, rheumatoid arthritis, penyakit paru obstruktif kronik, dan diabetes tipe 1. Meskipun pada beberapa kasus depresi menjadi sebuah konsekuensi dari penyakit kronik, terdapat kemungkinan bahwa suatu inflamasi juga merupakan suatu etiologi dasar dan terdapat keterkaitan antara proses-proses inflamasi perifer dan otak. Beberapa penelitian klinis memperlihatkan peningkatan marker inflamasi serum pada pasien yang mengalami depresi sesuai dengan keterkaitan antara tingkat sitokin plasma dan beratnya depresi, serta menunjukkan peningkatan depresi setelah terapi dengan anti inflamasi. gambaran penyakit terkait sitokin merupakan suatu kesatuan yang mudah dipahami yang terdiri dari faktor-faktor psikologis dan vegetatif, termasuk depresi dan cemas. perubahan psikiatri dan karakteristik tergambar dengan baik selama percobaan terapi kanker sitokin dan merupakan efek samping yang sering terjadi dari terapi interferon untuk hepatitis C. meskipun data-data ini menunjukkan bahwa suatu kondisi akut meningkat dalam proses sitokin proinflamasi sistemik terhadap depresi. peranan dari rendahnya jumlah sitokin-sitokin yang telah diamati selama inflamasi kronik masih controversial. Cemas dan depresi merupakan komorbiditas yang sering terjadi dalam masalah-masalah saluran pencernaan, termasuk penyakit inflammatory bowel disease. pasien-pasien dengan IBD mengalami tiga kali serangan depresi dibandingkan dengan populasi umum. cemas dan depresi diperkirakan mempengaruhi 30% pasien IBD yang sedang mengalami periode remisi dan sama banyaknya 60-80% dari pasien yang sedang mengalami eksaserbasi penyakit tersebut. Dasar patofisiologi keterkaitan ini masih tidak dapat dipahami dan tidak jelas meski cemas dan depresi dapat menjadi suatu akibat dari gangguan pencernaan kronik.PENATALAKSANAAN9Penatalaksanaan Secara UmumSecara umum, aspek yang terpenting dalam pengobatan adalah hubungan yang baik antara dokter dan pasien (patient - physician - relationship). Simtomsimtom cendrung menjadi kronis dan ditandai dengan periode yang berulang-ulang dan remisi. Dengan menenangkan pasien (re assurance) dan memberikan penjelasan adalah sangat penting, dimana patogenesis dispepsia fungsional maupun dispepsia organik harus diterangkan pada pasien.Merubah Kebiasaan HidupDiet dan obat-obatan harus ditinjau untuk faktor-faktor yang akan menimbulkan kemb ali simtom dispepsia.Obat-obatanObat-obatan yang sering dipakai antara lain yaitu a. Antasida: Golongan ini banyak jenisnya dan mudah didapat, pemakaian obat ini cendrung ke arah simptomatik. Pemakaian obat ini jangan terus menerus dan harus diperhatikan efek sampingnya serta penyakit lain yang diderita oleh pasien.b. Anti Kolinergik : Pemakaian obat ini harus diperhatikan sebab kerja obat ini tidak begitu selektif.c. Antagonis reseptor H2 : Golongan obat ini antara lain : simetidin, ranitidine; famotidin, roksatidin, nizatidin, dan lain-lain. Pemakaiannya lebih banyak ke arah kausal disamping bersifat simtomatik. Sebaiknya diberikan pada organik dan ulkus.d. Penghambat pompa asam : Obat ini sangat bermanfaat pada kasus kelainan saluran cerna bagian atas yang berhubungan dengan asam lambung. Dengan berkembangnya penemuan etiologi ulkus peptikum khususnya ulkus duodeni yaitu didapatkan helikobakter pylori, penggunaan obat penghambat pompa ini dengan kombinasi antibiotik dan metronidazol memberikan hasil yang cukup memuaskan.e. Prokinetik : Golongan obat ini sangat baik dalam mengobati pasien dyspepsia yang disertai disebabkan gangguan motilitas. Jenis obat ini antara lain metoklopamid, dompreridon, dan cisapride.f. Golongan lain : Yaitu obat-obat seperti sukraflat, bismuth subsitrat. Golongan ini mempunyai efek melenyapkan helikobakter pylori.g. Psikofarmakoterapi : Terapi ini khususnya pada pasien dengan sindrom dispepsia fungsional, memberi hasil yang cukup memuaskan terutama untuk mengurangi atau menghilangkan gejala / keluhan. Pada kasus ini terapi dengan anti depresan atau anti anxietas dapat membantu mengurangi gejala klinis.

Preparat dan dosis antidepresan :a. Siklik antidepresan :Antidepresan trisiklik yang pertama ditemukan adalah impramine dan memiliki sedikit kegunaan sejak tahun 1950. Trisiklik seperti : amitriptiline, imipramine, trimipramine dan dispramine, dengan dosis 150 300 mg/hari. Amoxapine dan trazodone dosis efektif secara klinis : 150 600 mg/hari. Efek amping yang sering dijumpai : sedasi, mulut kering, konstipasi dan hipotensi postural.b. Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs).MAOI memiliki kekurangan, dimana pasien harus melakukan diet bebas tiramine, untuk menghindari krisis hipertensi, yang disebut reaksi keju (chese rection). Moclobemide (Reversible MAOI =RIMA) dapat menghindari beberapa masalah yang dimiliki MAOI yang lainnya.c. Selective Serotonin re -uptake inhibitors (SSRI) Yang termasuk SSRI adalah : fluoxetin, fluvoxamine, sentraline, citalopram dan paraxetine. (13,34) Dosis fluoxetin 20-80 mg/hari, sentraline 50-200mg/hari.Antidepresan8Antidepresan seperti amitriptilin, clomipramin, desipramin, doxepin, trimipramin dan mianserin telah diteliti dan didapatkan hasil positif. Tujuan penilaian utama pada penatalaksanaan ini adalah adanya rasa sakit. Meskipun terapi ini memberikan kualitas terapi yang rendah, dari hasil kesimpulan penilaian bahwa anti-depresan trisiklik tidak efektif dalam pengobatan tanda-tanda IBS secara global tetapi dapat menjadi suatu penilaian dalam peningkatan rasa nyeri pada abdomen. Bagaimanapun perlu meninjau kembali terhadap gambaran yang jelas dari kesimpulan yang berhubungan dengan manfaat dari SSRIs didalam pengobatan IBS atau membedakan secara jelas antara efek obat dari analgesik dan anti-depresan. Dalam penelitian yang telah ditunjukkan berdasarkan bukti dengan alasan yang jelas bahwa anti-depresan trisiklik memperlihatkan manfaat pada pasien dengan IBS derajat sedang hingga berat. Pada dasarnya banyak yang menggunakan pengobatan anti-depresan untuk mengobati pasien IBS berdasarkan sumber yang valid. Bukti dari SSRIs tidak memberikan manfaat yang jelas; kemungkinan tanpa adanya efek noaradrenergik dari anti-depresan trisiklik dimana secara teori kurang bermanfaat pada rasa nyeri, meskipun demikian efek dalam mengurangi ansietas sentral memiliki efek kedua secara global yang telah diketahui secara pasti. Pada beberapa penelitian, fluoxetin SSRI tidak merubah sensitivitas dari pencernaan saluran bawah tetapi dapat merubah persepsi nyeri. Serotonin-menghambat pengambilan norepinephrine (SNRIs) merupakan kelas baru dari anti-depresan yang memiliki efek substansi serotonergik dan noradrenergic untuk mengurangi nyeri, tetapi tanpa efek antihistamin dan antikolinergik dari anti-depressan trisiklik yang menunjukkan sebagian besar dari efek pngobatan. Venlafaxine adalah suatu SNRI, mengurangi sensasi selama terjadinya distensi kolon dalam kesehatan manusia tetapi memiliki batasan kegunaan dalam FGID terhadap kecenderungannya untuk memproduksi distress GI, seperti mual dan muntah. Duloxetin diberikan dalam pengobatan gangguan depresi berat yang berhubungan denga nyeri dan telah diindikasikan untuk nyeri terhadap neuropati perifer dan memperlihatkan kemajuan yang sangat baik untuk fibromyalgia. Meskipun demikian, pengobatan tersebut memiliki peranan pengobatan pada pasien dengan FGIDs, dan memiliki efek utama yaitu mual. Ansietas8gen anxiolitik dapat digunakan pada pasien dengan FGIDs, khusunya ketika mengalami kelainan ansietas dan gangguan panic. Bagaimanapun, resiko ketergantungan terhadap benzodiazepine dan kecenderungan mereka untuk menunjukkan mild transient cognitive dysfunction yang memiliki makna bahwa mereka memiliki batasan dalam menggunakan pengobatan tersebut pada GI. Golongan terbaru dari agen ansietas seperti azapirones (buspiron), yang beraksi sebagai aktivitas agonis serotonin pada reseptor presinaptik 5-HT1A, yang mungkin lebih bermanfaat kegunaannya karena berpotensial terhadap aksi dari anti-depresan, yang sangat ditolerasi, dan tidak memiliki potensi ketergantungan.

PsikoterapiTiga jenis psikoterapi jangka pendek : terapi kognitif, terapi interpersonal, dan terapi perilaku yang telah diteliti manfaatnya dalam pengobatan gangguan depresi mayor. Harold G.K, dan kawan-kawan dalam penelitiannya memperoleh kesimpulan, bahwa psikoterapi psikoreligius dapat mempersingkat masa remisi pada pasien pasien depresi dengan penyakit-penyakit medis yang dirawat di rumah sakit.

9